Kesejahteraan Hewan dalam Proses Penyembelihan Ternak

Kesejahteraan Hewan dalam Proses Penyembelihan Ternak

Kesejahteraan hewan (animal welfare) dalam industri pemotongan hewan di AS, bahkan mungkin diseluruh dunia terus menjadi salah satu prioritas utama, dimana ada peraturan mengenai transportasi, penanganan, dan penyembelihan sapi secara manusiawi.

Terkait proses perjalanan ternak dari kandang ke tempat pemotongan hewan bisa dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan manusia yang dapat berdampak positif atau negatif terhadap kesejahteraan hewan. Sapi dalam perjalanan bisa menjadi stres karena kebisingan, hewan dan manusia asing, suhu ekstrem, kekurangan makanan/air, jarak dan pengalaman transportasi yang bervariasi, serta kondisi lokasi/kandang yang baru. Penyediaan truk/trailer pengangkut ternak yang  nyaman dan aman dari cuaca ekstrem, selain juga tersedia cukup pakan dan air minum menjadi sangat penting agar hewan terhindar dari stress yang berlebihan selama proses transportasi berlangsung.

Penanganan ternak selama masa pemeliharaan juga penting untuk memastikan ternak mendapatkan nutrisi yang baik dengan didukung oleh kondisi lingkungan yang aman dan nyaman. Diperlukan tenaga kerja yang terlatih, termotivasi dan bertanggung jawab terhadap kesejahteraan ternak dan pekerjanya. Terkait hal ini, maka pelatihan dan komunikasi mengenai animal welfare sangat penting  untuk dipahami oleh semua yang terlibat di peternakan, dimana aspek interaksi antara manusia dan hewan saat ini menjadi tantangan utama bagi industri ini.

Lebih lanjut mengenai identifikasi, pengukuran, pemantauan  dan pengelolaan tantangan kesejahteraan hewan dalam industri pemotongan sapi potong menjadi hal yang tidak kalah penting karena ternak juga harus terbebas dari rasa sakit saat proses penyembelihan. Ini mungkin adalah prioritas utama difase akhir kehidupan ternak, dimana pelaksanaan program pelatihan yang meningkatkan kesejahteraan sapi dicapai saat hewan melewati tahap akhir sebelum akhirnya dikonsumsi oleh manusia.

Saat ini dikenal beberapa metode restraint yang masih dipakai  sebelum proses pemotongan hewan dilakukan, yaitu :

Metode Burley.

Ini adalah teknik untuk merebahkan/menjatuhkan  sapi dengan aman dan efisien yang ditemukan oleh Dr. Burley dari Georgia. Metode ini umumnya menggunakan alat penahan logam yang digunakan untuk mengamankan kaki ternak, terdiri dari dua bagian yang menjepit bagian atas kaki depan dan belakang.

Kelebihan dari metode ini antara lain adalah

  1. Tidak perlu mengikat tali di sekitar tanduk atau leher sapi, yang dapat menyebabkan stres atau cedera
  2. Tidak menekan dada sapi sehingga tidak mengganggu pernapasan
  3. Tidak membahayakan alat kelamin sapi jantan atau ambing sapi betina
  4. Memungkinkan untuk mengikat kedua kaki belakang sapi setelah direbahkan.

Langkah pelaksanaan metode Burley:

  1. Siapkan tali sepanjang 15 meter
  2. Sapi dipegang dengan tali leher yang kuat yang berfungsi  untuk  pengaman tambahan
  3. Tali dibagi menjadi 2 dan diletakkan di atas punggung dengan bagian tengah tepat di atas pundak
  4. Kedua ujung tali dilewatkan di antara kaki depan sapi dan disilangkan di tulang dada (sternum)
  5. Masing-masing ujung tali diangkat pada kedua sisi badan sapi dan disilangkan di punggung
  6. Tali diturunkan kembali dan dimasukkan pada sisi dalam dari kaki belakang dan sternum atau ambing
  7. Setelah siap, tarik kedua ujung tali secara perlahan, sampai sapi condong ke arah depan dan roboh ke samping.

Hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan metode Burley :

  1. Metode ini paling efektif untuk sapi yang sudah terbiasa  dekat/kontak dengan manusia
  2. Tali yang digunakan sebaiknya tidak licin, seperti tali tambang agar tidak lepas saat menjerat sapi.
  3. Arah robohnya sapi bisa dikendalikan dengan menarik salah satu ujung tali lebih kuat
  4. Pastikan area perebahan sapi aman dan bersih dari benda tajam atau keras.

Metode Squeeze Rope.

Selain metode burley, metode squeeze rope ini juga umum dilakukan untuk proses merebahkan hewan ternak sebelum proses penyembelihan.

Langkah-langkah metode squeeze rope adalah :

  1. Siapkan tali yang kuat dengan panjang yang cukup untuk melilit tubuh ternak yang akan direbahkan
  2. Lilitkan tali dari arah depan hingga ke belakang tubuh sapi dengan membentuk simpul
  3. Setelah semua siap, tarik tali ke arah belakang dengan perlahan, hati-hati dan terkoordinasi – sesuaikan jumlah orang dengan mempertimbangkan ukuran ternak
  4. Tekanan yang dihasilkan akan membuat sapi merosot dan roboh ke samping

Meskipun 2 metode diatas umum dilakukan dan memang cukup efektif dan efisien dalam membantu proses penyembelihan ternak, namun sebenarnya dari aspek kesejahteraan hewan masih banyak perdebatan. Hal ini karena masih dapat menimbulkan stres bagi hewan karena membatasi pergerakan dan menyebabkan ketidaknyamanan, selain itu tarikan tali saat proses perebahan ini juga relatif sulit untuk dinilai karena pada kenyataannya masih berpotensi menyebabkan rasa sakit yang tidak semestinya.

Alternatif lain yang bisa mengakomodasi kesejahteraan hewan lebih baik dalam proses penyembelihan adalah :

Head Restraint and Chute.

Metode ini dilakukan menggunakan alat seperti penjepit yang akan  mengurung hewan dan memudahkan restrain kepala. Proses ini relatif lebih baik karena pengekangan kepala akan menjaga kepala tetap diam, sehingga memungkinkan terciptanya lingkungan yang lebih tenang bagi ternak dan keamanan bagi pekerja juga mengingat ada beberapa hewan memiliki tingkat agresivitas yang sulit ditebak yang beresiko membahayakan manusia disekitarnya.

Proses selanjutnya adalah stunning (pemingsanan), yangmana tahap ini sangat penting untuk membuat ternak tidak sadarkan diri sebelum disembelih. Dengan cara ini, ternak tidak akan merasakan sakit saat proses penyembelihan sehingga juga akan meminimalkan penderitaan ternak.

Teknik stunning salah satunya adalah dengan menggunakan pistol captive bolt atau percussive bolt stunning yang diarahkan dari kepala sehingga membuat hewan tidak sadarkan diri sebelum proses penyembelihan. Setelah hewan tidak sadarkan diri, proses penyembelihan dilakukan sekitar 1 menit kemudian. Tanda-tanda yang bisa diamati saat hewan tidak sadarkan diri adalah :

  1. mata tidak berkedip, baik spontan atau ketika mata disentuh
  2. tidak ada respons terhadap cubitan di hidung/telinga
  3. tidak ada upaya untuk berdiri
  4. kaki/telinga/ekor/rahang/lidah dalam kondisi relaks
  5. nafas tidak teratur
  6. otot kaku dan diikuti oleh kaki berkedut/menendang

Baca juga : Restraint pada Sapi

Diatas adalah beberapa paparan mengenai metode restraint dalam proses penyembelihan hewan ternak. Semua metode yang ada saat ini kemungkinan masih berpotensi menimbulkan rasa stres, takut dan sakit pada ternak jika dilakukan dengan cara yang tidak tepat. Oleh karena itu, penting bagi semua operator yang terlibat dalam proses ini memiliki kompetensi, terlatih dan mempunyai sikap yang positif terhadap kesejahteraan hewan. Perlakuan yang baik terhadap setiap hewan saat proses penyembelihan akan berkontribusi positif terhadap kesejahteraan hewan. Hewan yang tidak stres atau takut akan berperilaku lebih tenang sehingga meningkatkan keselamatan kerja karyawan dan juga mengurangi cedera fisik pada hewan.

Jadi, yang terpenting adalah bagaimana kita tetap bisa memprioritaskan animal welfare dalam proses pemotongan ternak, yaitu meminimalkan stres dan rasa sakit pada hewan.  Pertimbangkan juga untuk berkonsultasi dengan dokter hewan atau tim ahli yang berpengalaman untuk mendapatkan teknik restraint yang tepat dan juga sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Referensi :

  1. https://www.researchgate.net/publication/237092560_Stunning_and_animal_welfare_from_Islamic_and_scientific_perspectives
  2. https://www.slideshare.net/slideshow/restraining-of-animals/47243800
  3. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC7134563/ animal welfare focus in cattle
  4. https://www.pashudhanpraharee.com/handling-restraining-techniques-of-farm-animals/
  5. https://www.mdpi.com/2076-2615/14/7/1112 Movements after Captive Bolt Stunning in Cattle and Possible Animal- and Process-Related Impact Factors—A Field Study
  6. https://food.ec.europa.eu/document/download/077686aa-5832-4b4d-98c8-201240546f6f_en?filename=aw_prac_slaughter_factsheet-2018_stun_cattle_en.pdf
Restraint pada Sapi

Restraint pada Sapi

Peternak sapi umumnya sudah sangat memahami bagaimana pentingnya restraint. Saat menangani ternak sapi, penting untuk mengenali potensi bahaya saat melakukan upaya pengendalian/pengekangan ternak dan penerapan teknik pengalih perhatian untuk penanganan yang aman. Pekerja kandang harus selalu menyadari seberapa jauh hewan mampu mengayunkan kepala, ekor atau kakinya agar terhindar dari gigitan, tandukan, kibasan atau sepakan dari hewan yang akan dihandling.

Sapi dapat menggunakan bagian tubuhnya untuk menjepit pekerja/pawangnya di antara ternak lain, pagar, atau dinding atau terkadang bisa menjatuhkan pekerja dan menginjak dengan kaki depan/menanduk dengan kepalanya. Kaki belakang juga sangat berbahaya karena ternak tidak hanya bisa menendang lurus ke belakang, tapi juga bisa menendang ke luar
sisi. Bagian lain yang juga harus diwaspadai adalah ekor, karena juga bisa dipakai untuk ternak mempertahankan diri dengan mengibas-kibaskan kearah pekerja kandang yang mencoba mendekatinya. Oleh karena itu, jangan lupa untuk selalu membersihkan bagian ekor dari kotoran yang mengeras yang bisa menciderai kita.

Saat kita mencoba mendekati sapi, selalu hindari gerakan tiba-tiba agar tidak mengagetkan hewan tersebut. Sapa mereka  dengan nada rendah sehingga mereka menyadari kehadiran kita. Hindari mendekati ternak dari arah depan karena akan menimbulkan kecurigaan dan memunculkan naluri untuk bertahan atau bahkan menyerang jika ternak merasa terganggu.  Tempat yang relatif aman untuk berdiri di samping sapi adalah di bahunya, tetapi ingat bahwa sapi bisa menendang
melewati bahu lho ya…jadi selalu waspada.

Sapi memiliki bidang pandang yang luas dengan blind spot yang terletak tepat di belakangnya dan beberapa lainnya di kiri dan kanan pantat. Jika Anda sudah berdiri di zona blind spot, tetapi kemudian mengeluarkan suara yang mengagetkan atau memukul mereka dengan cambuk, ternak biasanya akan reflek menendang atau lari.

Terkait dengan restraint, sapi memiliki respon yang berbeda saat terjadi kontak dengan manusia. Hal ini tergantung pada ras dan jenis kelamin. Sapi-sapi potong import yang masuk ke Indonesia, umumnya juga memiliki tingkat agresifitas yang tinggi mengingat umumnya mereka dikembangbiakan secara liar dialam terbuka yangmana kondisinya dilapangan sangat minim kontak.

Untuk sapi perah, biasanya lebih mudah karena interaksi dengan manusia relatif lebih banyak. Teknik restraint atau pengekangan biasanya dilakukan dengan tiang penyangga atau dengan mengikat mereka ke pagar. Sapa dan bicaralah dengan lembut saat menangani sapi perah atau mereka akan menjadi gugup dan menolak. Walaupun relatif lebih mudah, sapi perah memerlukan teknik pengendalian khusus karena kita juga tidak tidak dapat memprediksi reaksinya.

Berikut adalah beberapa metode restraint yang bisa dilakukan,  yaitu :

Halter and Lead.

Halter adalah tutup kepala yang terbuat dari tali atau kulit yang dipasang di hidung dan kepala sapi. Metode ini relatif sederhana dan berguna untuk membantu peternak dalam menuntun hewan ternak yang jinak.

Metode tali ini adalah teknis mendasar yang harus dikuasai oleh peternak. Kita bisa membuat sendiri dengan tali atau membeli dipasaran yang sudah siap pakai.

Cattle Chute.

Metode mekanik ini dilakukan seperti kandang jepit, dimana ternak digiring masuk kedalamnya untuk kemudian dilakukan prosedur seperti vaksinasi, penyuntikan obat, pemotongan kuku/tanduk dan lainnya.

Pada peternakan sapi yang memiliki berbagai bentuk dan ukuran, penggunaan alat ini dapat mengakomodasi semua kebutuhan unik kawanan ternak yang dipelihara. Hal ini tentunya akan memudahkan pekerja ataupun dokter hewan dalam menangani masalah yang ada, karena ternak bisa diakses dengan mudah tanpa perlawanan berarti.

Perlengkapan tambahan seperti penahan kepala dapat memberikan keamanan ekstra saat kita mencoba merawat area di dekat wajah/kepala. Atau jika ternak terlalu lemah dan cenderung terjatuh, maka penambahan palang disekitar tulang dada juga bisa menjadi pertimbangan untuk ditambahkan.

Crowd Pen.

Ini adalah metode mekanik lain yang umumnya digunakan untuk memindahkan kelompok ternak ke suatu tempat. Kandang-kandang kecil ini menjadi “alur antrian” bagi ternak yang akan dipindahkan. Pada peternakan skala industri, kelompok ternak dikumpulkan lalu digiring menuju crowd pen untuk dimasukkan ke dalam truk trailer dan dipindahkan ke lokasi lain. Metode ini jamak dilakukan di peternakan sapi potong dimana ternak umumnya dialam liarkan sehingga minim kontak dengan manusia. Agresifitas ternak ini akan sangat membahayakan bagi pekerja jika tidak ditangani dengan baik.

Head Restraint.

Untuk perlakuan di area kepala, penggunaan pengikat/sandaran kepala ini akan cukup membantu. Alat ini umumnya dipasang di kandang jepit (lihat gambar cattle chute diatas) sehingga membantu menahan kepala ternak dan mencegahnya bergerak sehingga tindakan atau perawatan di area kepala bisa dilakukan dengan leluasa.

Nose Tongs.

Ini adalah alat yang digunakan untuk menjepit hidung sapi/ternak lainnya. Ini berguna saat digunakan untuk menahan sapi/ternak lain untuk perlakuan dalam waktu singkat seperti ear tagging, sampling darah dari vena jugularis atau hanya sekedar untuk menuntun sapi. Metode ini juga bisa digunakan untuk mencegah sapi menggerakkan kepalanya sehingga saat pememeriksaan atau tindakan sekitar kepala lebih mudah.

Tail Restraint.

Metode pengangkatan ekor ini dilakukan untuk mengalihkan perhatian ternak sehingga mencegah adanya tendangan kaki yang beresiko melukai pekerja. Teknik ini harus dilakukan dengan benar agar tidak mematahkan ekornya, yaitu dengan cara menjepit tulang belakang dan ekornya sehingga ternak akan fokus pada reaksi saraf yang dihasilkan.

Penting untuk dicatat bahwa metode penanganan dan pengendalian ternak bervariasi, dan paparan diatas hanya sebagian saja yang dikupas. Pemilihan metode yang terbaik adalah yang sesuai dengan situasi dan kondisi di lapangan. Hal lain yang perlu digaris bawahi lagi untuk keamanan dan kenyaman baik ternak maupun pekerja adalah  :

  1. Penerapan animal welfare
  2. Menangani ternak dengan tenang
  3. Hindari gerakan tiba-tiba atau suara keras
  4. Waspadai zona jangkauan sapi dan hindari berdiri di dalamnya agar terhindar dari gigitan/sepakan
  5. Gunakan tongkat atau bendera untuk memandu sapi, tetapi bukan untuk memukulnya
  6. Mintalah bantuan dari orang lain jika anda sedang menangani sapi/ternak yang besar atau agresif.

Semoga bermanfaat !!

Referensi :

  1. https://www.beefmagazine.com/farm-business-management/your-ultimate-cattle-chute-buying-guide
  2. https://www.youtube.com/watch?v=XVrcEtUhn6s Crowd Pen
  3. https://animalhandlingavbs1002.weebly.com/cattle-restraint-within-a-cattle-crush.html
  4. https://ouv.vt.edu/content/dam/ouv_vt_edu/sops/large-animal/sop-bovine-restraint.pdf
  5. https://www.vettechprep.com/_pps/HKEVCQTBLLCQNHY29010.PDF Cattle Restraint
  6. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4693213/How Farm Animals React and Perceive Stressful Situations Such As Handling, Restraint, and Transport
Tantangan Masa Menyusui Ternak Babi

Tantangan Masa Menyusui Ternak Babi

Sering menemukan kasus diare pada anak babi setelah proses kelahiran? Apakah treatment yang anda lakukan selama ini sudah benar? Ini sebenarnya adalah kondisi klasik yang hampir selalu dihadapi oleh para peternak babi. Kebanyakan peternak  menanggapinya dengan biasa karena itu seperti sudah menjadi “agenda” yang harus dihadapi setiap periode menyusui. Nah, melanjutkan artikel kita sebelumnya, kita saat ini akan belajar bersama mengenai masalah yang dihadapi saat fase ikut induk ini.

Sebenarnya relatif sulit untuk menentukan satu penyakit “utama” pada anak babi yang menyusui karena memang ada beberapa kondisi umum dapat menyebabkan masalah yang signifikan yang tidak jarang berujung pada kematian anak babi.

Jika melihat bagan diatas, maka yang mendominasi kasus pada anak babi sebelum sapih antara lain adalah :

Porcine Epidemic Diarrhea (PED).

Penyakit virus yang sangat menular ini dapat menyebabkan diare parah, muntah, dehidrasi, dan kematian pada anak babi yang berusia < 5 hari. Tingkat kematian bisa sangat buruk karena bisa mencapai hampir 100% pada kelompok yang naif (ternak yang belum pernah terpapar).

PED ini dapat diatasi dengan praktek biosekuriti yang baik dan vaksinasi pada induk. Saat kondisi outbreak beberapa tahu lalu dimana vaksin belum tersedia, peternak melakukan penguatan terhadap induk dengan memberikan gerusan usus dari anak babi yang terkena PED. Dengan paparan menggunakan gerusan usus ini, diharapkan induk mendapatkan kekebalan yang nantinya penting untuk diturunkan ke anak babi yang akan dilahirkan pada kebuntingan selanjutnya.

Colibacillosis.

Penyakit bakteri yang disebabkan oleh strain Eschericia coli tertentu ini dapat menyebabkan diare, lesu, dan kematian pada anak babi yang sedang menyusui. Angka kematian tidak sehebat PED, namun demikian cukup moderat untuk mendapatkan perhatian lebih dari peternak. Kondisi ini biasanya bisa diatasi dengan perbaikan management pemeliharaan, sanitasi lingkungan atau vaksinasi di induk.

Ada 2 jenis Collibacilosis yaitu :

  1. Enterotoxigeni E.coli (ETEC) : Jenis ini menyebabkan diare cair yang parah dalam beberapa jam setelah lahir.
  2. Enterophatogenic E.coli (EPEC) : Jenis ini menyebabkan diare ringan beberapa hari setelah lahir.

Swine colibacillosis bertanggung jawab atas berbagai masalah, seperti diare neonatal, post weaning diarrhea (PWD), edema disease (ED), septikemia, poliserositis, mastitis coliform, dan infeksi saluran kemih. Di antara keragaman yang sangat besar, strain E. coli enterotoksigenik (ETEC) mampu menyebabkan penyakit pencernaan yang mengakibatkan diare pada anak babi yang baru lahir, PWD dan ED. Infeksi babi ini merupakan ancaman paling besar bagi industri peternakan babi di seluruh dunia karena kerugian ekonomi yang signifikan terkait dengan morbiditas, mortalitas, penurunan berat badan, meningkatnya biaya perawatan, vaksinasi, dan suplemen pakan.

PWD dan ED dapat terjadi secara terpisah atau bersamaan. Dalam waktu 2-3 minggu setelah disapih, anak babi lebih rentan terhadap infeksi mikroba. Oleh karena itu, periode ini sangat penting dan biasanya berhubungan dengan tantangan bentuk infeksi E. coli  yang paling parah, yang diwujudkan dengan kematian mendadak atau diare berat.

Diatas adalah model infeksi Escherichia coli enterotoksigenik (ETEC) pada sel epitel usus. (1) anak babi menelan ETEC, sehingga memungkinkan peralihannya ke saluran pencernaan. (2) Fimbriae yang diekspresikan oleh ETEC memungkinkan bakteri menempel pada reseptor spesifik yang ada di sel epitel usus. (3) Kolonisasi terjadi pada mukosa usus kecil, yang menyebabkan produksi racun. (4) Enterotoksin ini menyebabkan hilangnya air dan elektrolit ke dalam lumen usus, sehingga meningkatkan permeabilitas usus. (5) Akibat peningkatan permeabilitas usus dan kehilangan banyak air, diare, penurunan berat badan, dan kematian dapat terjadi.

Baca juga : Diare pada Babi

Selain 2 penyakit diatas, gangguan pada fase laktasi ini bisa juga disebabkan oleh :

  1. Rotavirus
  2. Transmissible gastroenteritis (TGE)
  3. Clostridium sp
  4. Coccidiosis  
  5. Enterococcus sp
  6. Salmonellosis  

Karena diare bisa disebabkan oleh beberapa jenis patogen, maka selalu berkonsultasilah dengan dokter hewan untuk melakukan tahapan diagnosa yang benar sehingga program kontrol dan pengendalian penyakit sesuai dengan tantangan yang ada di lapangan. Biosekuriti dan vaksinasi mungkin bisa menjadi solusi untuk menyempurnakan managemen pemeliharaan yang sudah dijalankan. Baca juga : Biosekuriti Pada Peternakan Babi

Referensi :

  1. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC10135039/#:~:text=Porcine%20infection%20caused%20by%20Escherichia,urinary%20tract%20infection%20%5B1%5D. swine colibacillosis
  2. https://vetmed.iastate.edu/vdpam/FSVD/swine/index-diseases/diarrheal-diseases
  3. https://www.mdpi.com/2076-2615/13/3/338 Diagnostic approach to enteric disorders in pigs
Fakta tentang Kolostrum untuk Anak Babi

Fakta tentang Kolostrum untuk Anak Babi

Apakah kematian anak babi ikut induk di peternakan anda cukup tinggi? Mungkin salah satu penyebabnya adalah managemen kolostrum yang kurang tepat sehingga membahayakan kelangsungan hidup dan kesehatan anak babi. Atau jika ada lebih sering membeli sapihan dan bermasalah, kita juga perlu curiga jika anak babi saat di peternakan asal tidak mendapatkan kolostrum yang cukup.

Saat anak babi dilahirkan, mereka memasuki babak baru kehidupan yang berbahaya karena banyak tantangan yang bisa berakibat fatal. Cadangan energi relatif kecil sehingga anak babi harus segera mendapatkan makanan karena tubuh kehilangan panas dengan cepat. Jika anak babi tidak mendapatkan kolostrum, suhu tubuh akan segera turun dan membuat pergerakan menjadi lamban dan tidak mampu berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Pada induk yang jumlah anaknya banyak, setiap induvidu anak babi harus bersaing  untuk mendapatkan ambing induk babi. Kondisi ini juga sangat beresiko jika peternak tidak melakukan intervensi.

Kondisi lain yang juga berbahaya adalah, jika anak babi dilahirkan tanpa adanya kekebalan yang cukup sehingga menjadi rentan terhadap berbagai virus, bakteri, dan parasit. Status kesehatan induk babi disini memegang peran yang sangat penting, sehingga peternak juga harus memperhatikan nutrisi dan program vaksinasi yang tepat. Jadi, cara sederhana dan alami bagi anak babi untuk mengatasi bahaya pada masa neonatal adalah kolostrum, ‘air susu pertama’ yang kaya akan energi dan antibodi dari induk sebagai imunitas pasif.

Apakah anak babi lahir tanpa kekebalan? Jawabanya adalah TIDAK. Kita perlu memahami lebih banyak tentang sistem kekebalan tubuh, yangmana sistem imun dibagi menjadi tiga subsistem, yaitu imunitas bawaan (innate imunity), imunitas non-spesifik, dan imunitas spesifik.

Imunitas bawaan.
Tidak sepenuhnya benar bahwa anak babi dilahirkan tanpa pertahanan sama sekali. Kulit adalah pertahanan yang mampu  menghalangi patogen menyerang jaringan di bawahnya, mukosa menghasilkan lendir yang untuk menangkap bakteri, silia di trakea membersihkan/menyaring saluran udara dari kotoran dan mikroorganisme, dan pH asam di lambung juga berfungsi sebagai penghalang. Secara keseluruhan, seluruh mekanisme perlindungan ini disebut ‘imunitas bawaan’.

Kekebalan non spesifik
Sistem kekebalan tubuh yang tepat memiliki jaringan yang dapat melawan dan menonaktifkan mekanisme keganasan patogen yang menyerang. Makrofag dapat melahap partikel yang dianggap asing dan mencurigakan. Terdapat imunoglobulin (IgG dan IgA) yang menempel pada patogen yang masuk ke tubuh, kemudian ia akan memberi sinyal pada makrofag bahwa ada benda asing menyerang. Proses ini disebut aglutinasi, dimana imunoglobulin ini menggumpal di sekitar patogen dan menonaktifkannya.

Imunitas spesifik
Ternak pada umumnya  telah mengembangkan mekanisme pertahanan yang sangat rumit untuk mengenali dan menghancurkan patogen yang menyerang. Limfosit adalah sel yang dapat mengenali patogen berbahaya dan menyebabkan patogen tersebut menghancurkan dirinya sendiri. Limfosit lain memanfaatkan kekuatan sistem kekebalan tubuh dan mengarahkannya sel T untuk dihancurkanm, sedangkan sel B akan menghasilkan antibodi yang nantinya akan mengenali protein spesifik (antigen) di dinding sel patogen. Terbentuknya sel memori ini akan membantu sistem kekebalan dalam bereaksi ketika patogen yang sama datang menyerang lagi.

Jadi, imunitas spesifik bisa bekerja setelah terjadi paparan patogen tertentu atau pemberian vaksinansi sehingga tubuh akhirnya mengenalinya sehingga ketika suatu saat patogen itu datang lagi tubuh bisa langsung dengan cepat bereaksi untuk melawan karena sudah terbentuk antibodi yang siap melawan.

Pertanyaan selanjutnya adalah mengapa anak babi di masa laktasi ikut induk masih rawan kematian jika sudah ada kekebalan di dalam tubuhnya? Anak babi yang dilahirkan dari induk yang sehat, setelah mendapatkan kolostrum akan memiliki yang namanya pasif imunity untuk bertahan dari serangan patogen penyebab penyakit. Jika status kesehatan breeding anda tidak baik, maka imunitas dari induk mungkin tidak terbentuk dengan baik sehingga ketika tantangan datang, anak babi tidak cukup kuat untuk melawan dan akhirnya mati.

Nah, disinilah peran kolostrum. ‘Air susu pertama’ dari induk babi ini mengandung antibodi IgG dan IgM yang memungkinkan anak babi menangkis sebagian besar serangan sampai mereka mampu mengembangkan respon kekebalannya sendiri. Kolostrum mengandung antibodi yang dimiliki induk babi yang umumnya sudah “berpengalaman” melawan patogen baik secara alami ataupun intervensi dengan program vaksinasi  sehingga antibodi ini spesifik terhadap patogen yang beredar di peternakan tersebut.

Jadi, mulai sekarang lakukan evaluasi terhadap status kesehatan farm anda, apa saja patogen yang bersirkulasi, untuk kemudian lakukan tindakan pencegahan dengan program vaksinasi dan biosekuriti yang baik, sesuai dengan kondisi di lapangan. Walaupun anak babi memiliki sistem kekebalan yang matang di dalam rahim, meraka tidak akan mampu menghasilkan antibodi terhadap patogen yang akan mereka hadapi di dunia luar diawal kehidupan mereka. Oleh karena itu, dengan mendapatkan antibodi spesifik dari induk, anak babi ini diberi kesempatan untuk bertahan hidup karena adanya kolostrum tidak hanya mengandung antibodi, tetapi juga sel kekebalan dan faktor lain yang penting untuk mekanisme pertahanan anak babi yang baru lahir.

Perlu diingat, plasenta babi desainnya berbeda. Pada primata dan hewan pengerat terdapat kontak signifikan antara jaringan induk dan janin sehingga terdapat lebih banyak transfer kekebalan pasif dari dalam rahim. Namun pada sapi, kuda, dan babi, plasentanya sangat efisien dan praktis sehingga tidak ada transfer kekebalan pasif sama sekali saat masih didalam rahim. Inilah alasan mengapa asupan kolostrum adalah persoalan hidup dan mati yang harus diperhatikan. Anak babi yang baru lahir yang tidak minum cukup kolostrum dengan alasan apapun, maka  tidak akan mendapat manfaat dari antibodi induknya karena proses pasif imunity gagal. Baca juga : Kunci pemeliharaan anak babi 

Berikut adalah beberapa hal penting yang perlu kita ketahui terkait managemen kolostrum antara lain adalah :

Nutrisi dan Kesehatan Induk

Perawatan Pra-farrowing.

Pastikan induk babi menerima nutrisi dan air minum yang cukup pada minggu-minggu menjelang farrowing. Hal ini akan membantu mereka menghasilkan kolostrum berkualitas baik dalam jumlah yang cukup.

Program Vaksinasi

Vaksinasi induk babi dilakukan sesuai dengan rekomendasi dokter hewan. Hal ini memperkuat sistem kekebalan tubuh mereka dan mentransfer antibodi ke anak babi melalui kolostrum.

Koleksi Kolostrum 

Seleksi

Kumpulkan kolostrum dari induk babi sehat pada parity akhir (sudah melahirkan 3-5x) dengan ambing yang berkembang dengan baik daripada gilt/dara.

Waktu

Kumpulkan kolostrum 1-3 jam setelah masa farrowing dimulai, setelah anak babi menerima menyusu awal. Idealnya anak babi harus mendapatkan kolostrum dari induk aslinya, sehingga hal ini penting dilakukan jika jumlah anakan yang dilahirkan banyak atau puting susu tidak cukup.

Stimulasi

Pemberian oksitosin (di bawah bimbingan dokter hewan) mungkin perlu dilakukan untuk merangsang keluarnya air susu sehingga mudah dikoleksi.

Kebersihan

Jaga kebersihan selama pengumpulan untuk mencegah kontaminasi. Pastikan lingkungan kandang sudah disanitasi dan desinfeksi unutk meminimalkan kontaminasi.

Pemberian Kolostrum

Waktu

Anak babi perlu mengonsumsi kolostrum dalam 6 jam pertama setelah lahir, atau lebih idealnya dalam 2 jam pertama lebih baik karena semakin lama jeda waktunya, maka kualitas kolostrum mungkin berbeda signifikan atau hanya seperti air susu biasa saja.

Jumlah

Usahakan agar anak babi mengonsumsi setidaknya 150 ml kolostrum per kg berat badannya dalam waktu 16 jam setelah lahir. Pastikan semua anak babi mendapatkan jatah kolostrum yang memadai agar pasif imunity dari induk optimal melindungi anak babi dari penyakit.

Anak Babi Lemah

Untuk anak babi yang lemah atau kecil, langsung berikan kolostrum menggunakan wadah atau botol. Peternak harus memperhatikan lebih khusus agar anak babi yang kecil juga mendapatkan kolostrum yang cukup. Jangan biarkan mereka berkompetisi sendiri, karena sudah pasti akan kalah. Ini adalah salah satu alasan mengapa kematian anak babi selama ini cinderung terjadi pada anak babi yang berat badannya kecil, karena mereka kalah bersaing dengan teman-temannya dalam mendapatkan kolostrum induk.

Praktis di Lapangan.

Cross fostering

Jika anak babi yang dilahirkan cukup banyak, pertimbangkan untuk memindahkan beberapa anak babi ke induk babi lain yang memiliki anak lebih sedikit setelah mereka mendapatkan kolostrum dari induk aslinya. Pengasuhan silang ini umum dilakukan para peternak untuk memastikan anak babi mendapatkan kolostrum tambahan dan air susu yang cukup untuk proses pertumbuhannya.

Menyusui terpisah

Jika terdapat ukuran anak babi yang tidak rata, maka untuk anak babi berukuran besar bisa disisihkan terlebih dahulu dan mengutamakan anak babi yang kecil/lemah untuk menyusu induk pertama sehingga tidak kalah dalam berkompetisi dengan anak babi yang besar/kuat.

Bank Kolostrum

Di peternakan babi modern yang lebih besar, menyimpan kolostrum berkualitas tinggi dari induk babi yang sehat dapat menjadi cadangan bagi anak babi yang mengalami gangguan. Penyimpanan dan penanganan yang tepat sangat penting agar kualitas tetap baik.

Referensi :

  1. https://ahdb.org.uk/pork
  2. https://swinehealth.ceva.com/blog/how-to-manage-colostrum-for-optimal-piglet-performance
Kunci Pemeliharaan Anak Babi

Kunci Pemeliharaan Anak Babi

Mulai bulan ini, kita akan mencoba mengulik tentang basic management pemeliharaan babi untuk merefresh kembali hal-hal penting yang mungkin kita lupakan. Kita akan mengawali dari management pemeliharaan piglet / anak babi terlebih dahulu ya…

Managemen pemeliharaan anak babi penting untuk dipahami karena kita dituntut untuk fokus pada status kesehatan dan kesejahteraan anak babi sejak dari lahir – disapih (6-8 minggu). Saat ini kita akan belajar bersama tentang apa saja yang menjadi point utama dalam tahap ini. Target yang idealnya dicapai pada tahap ini adalah angka kematian yang rendah, angka sapihan tinggi dan pertumbuhan berat badan yang ideal.

Berikut adalah point-point penting yang harus kita kuasai agar target kita tercapai, yaitu :

Pra-kelahiran.

  1. Hyperprolific. Induk babi mempunyai kecinderungan untuk memiliki anak yang banyak dengan lama waktu bunting sekitar 3 bulan 3 minggu 3 hari.
  2. Nutrisi. Formulasi pakan induk yang tepat selama periode kebuntingan  sangat penting untuk memastikan induk memiliki cadangan yang cukup untuk proses melahirkan anak babi yang sehat dan menghasilkan air susu yang cukup. Terlampir adalah strategi nutrisi dan konsep manajemen pemberian pakan untuk bisa menghasilkan produksi kolostrum yang maksimal.

Farrowing (saat kelahiran).

  1. Kehangatan. Anak babi umumnya dilahirkan dengan sedikit kandungan lemak dan tidak dapat mengatur suhu tubuhnya dengan baik. Oleh karena itu, kita harus menyediakan lampu/pemanas untuk menjaga suhu ideal  34°C dan mencegah hipotermia.
  2. Kebersihan. Lingkungan kandang kelahiran yang bersih dan kering akan mengurangi tingkat resiko penyebaran penyakit. Alas tidur harus kering dan sering diganti untuk menghindari penumpukan kotoran.
  3. Perawatan tali pusar. Desinfeksi tali pusar segera setelah lahir untuk mencegah infeksi.

Pasca kelahiran.

  1. Kolostrum. Air susu pertama yang dihasilkan oleh induk babi yang kaya akan antibodi untuk membantu anak babi melawan penyakit. Kita harus memastikan setiap anak babi menerima kolostrum yang cukup dalam 2-6 jam pertama, atau maksimal 24 jam pertama untuk kelangsungan hidup mereka. Jika jumlah anak terlalu banyak dibandingkan puting susu aktif, maka perlu tindakan intervensi dengan teknik menyusu secara terpisah. Kita bisa mengeluarkan beberapa anak babi untuk sementara waktu untuk “antri” mendapatkan asupan kolostrum induk. Anakan yang ukurannya lebih besar mungkin kita sisihkan terlebih dahulu agar anak babi yang lebih kecil memiliki angka kelangsungan hidup lebih baik.
  2. Pemberian zat Besi. Anak babi rentan terkena anemia, terutama yang dipelihara secara intensif. Suntikan zat besi idealnya diberikan untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan anak babi. Untuk anak babi yang dipelihara dengan alas tanah atau diumbar, mereka bisa mencari sendiri secara alami di tanah. Zat besi ini umumnya diberikan pada umur 2-5 hari awal kehidupan dan terkadang perlu diulang tergantung kondisi di lapangan.
  3. Potong gigi dan ekor. Gigi taring anak babi relatif tajan dan beresiko melukai puting susu induk dan anak babi lainnya jika terjadi perkelahian. Proses potong gigi umumnya dilakukan bersamaan dengan potong ekor. Ingat, pastikan proses ini dilakukan se-aseptik mungkin agar meminimalkan terjadinya infeksi dan juga minimal stres. Oleh karena itu, umumnya di peternakan proses ini dilakukan bersamaan dengan suntik zat besi sehingga anak babi tidak stres karena terlalu sering dipegang.

Performa anak babi di kandang pembibitan dapat bervariasi tergantung pada berat badan, usia saat disapih, pengelolaan, dan tantangan patogen di fasilitas peternakan babi. Pemeliharaan di awal kehidupan ini sangatlah penting dan mungkin memiliki konsekuensi jangka panjang, karena pertumbuhan yang lambat menimbulkan kerugian yang signifikan dan peternakan menjadi tidak efisien.

Penelitian penting telah membuktikan bahwa ada beberapa strategi yang dapat digunakan untuk meningkatkan kinerja dan kesejahteraan babi saat penyapihan. Serangkaian manajemen awal dan strategi nutrisi pakan yang kompleks perlu dilakukan pada induk dan anak babi yang masih menyusui untuk mencapai pertumbuhan anak babi yang optimal dan efisien setelah disapih.

Dari bagan diatas, terdapat korelasi pengaruh kelahiran dan berat penyapihan sampai panen.  Bobot badan pada tahapan produksi yang berbeda juga akan menentukan jumlah hari untuk mencapai bobot badan pasar 105 kg.

Setelah kita tahu secara garis besar proses persiapan kelahiran diatas, berikut ada beberapa tips yang mungkin berguna di lapangan terkait kondisi-kondisi yang memerlukan intervensi manusia.

Praktek manajemen praktis.

  1. Cross-fostering. Pengasuhan silang dilakukan jika induk  babi memiliki jumlah anak yang banyak dan beresiko tidak mendapatkan cukup asupan air susu untuk pertumbuhannya. Teknis ini dilakukan dengan cara  memindahkan beberapa anak babi ke induk babi lain yang memiliki jumlah anak lebih sedikit. Ingat, proses ini bisa  dilakukan setelah anak babi mendapatkan cukup kolostrum dari induk aslinya, sehingga maternal antibodi terpenuhi dahulu sebelum “dititipkan ke induk lainnya.
  2. Transisi Penyapihan. Sekitar 6-8 minggu, anak babi disapih dari induknya. Bahkan di peternakan modern, sapihan dilakukan sekitar 3 minggu untuk mengejar performa breeding. Anak babi idealnya diperkenalkan dengan pakan padat terlebih dahulu sebelum mereka berhenti menyusui sepenuhnya. Hal ini tentunya untuk membantu mereka menyesuaikan diri dengan pola pakan yang baru pasca penyapihan.
  3. Vaksinasi. Anak babi idealnya divaksinasi sesuai dengan tantangan penyakit yang terdeteksi di lapangan. Jadwal vaksinasi bisa dikomunikasikan dengan dokter hewan agar perlindungan terhadap anak ini bisa dioptimalkan dan  mereka lebih aman dari serangan penyakit. Program vaksin yang umumnya dilakukan adalah Classical swine fever, PCV2, PRRS, Mycoplasma hyopneumoniae, Glasser’s Disease dan vaksin lainnya yang dirasa diperlukan dan sesuai dengan tantangan yang ada. Oleh karena itu, penting bagi setiap peternak untuk memiliki catatan yang jelas terkait penyakit yang sering muncul di kandang untuk kemudian dilakukan antisipasi dengan vaksinasi.
  4. Minimalkan stres. Kondisi stres yang mungkin terjadi dilapangan dapat berdampak negatif pada kesehatan anak babi. Oleh karena itu, pastikan kita menyediakan ruang yang cukup, tangani dengan hati-hati, dan hindari perubahan yang tiba-tiba.
  5. Monitoring/Pemantauan. Periksa tanda-tanda penyakit pada anak babi secara teratur, seperti lesu, kehilangan nafsu makan, atau batuk. Deteksi dan pengobatan dini sangat penting untuk segera melakukan tindakan agar resiko penyakit bisa diminimalkan.

Dengan mengikuti point penting praktek-praktek dan tips diatas, maka diharapkan peternak bisa memenuhi target pemeliharaan di awal kelahiran – sapih ini dengan menekan angka kematian anak babi, jumlah sapihan lebih banyak dan pertumbuhan yang baik.

Referensi :

  1. https://gb.pic.com/resources/piglet-management-around-weaning/
  2. https://ahdb.org.uk/knowledge-library/small-piglet-management
  3. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC7911825/ Management and Feeding Strategies in Early Life to Increase Piglet Performance and Welfare around Weaning: A Review
Parasit pada Sapi

Parasit pada Sapi

Sapi rentan terhadap berbagai macam parasit, baik internal maupun eksternal, yang dapat berdampak signifikan terhadap kesehatan dan produktivitas mereka. Berikut adalah beberapa parasit penting yang umumnya ditemukan saat kita beternak sapi :

Parasit internal

Cacing gelang (roundworm)

Ini adalah parasit internal yang paling umum pada sapi, termasuk cacing perut, cacing usus, dan cacing paru-paru. Mereka memakan darah dan jaringan hewan, menyebabkan penurunan berat badan, diare, anemia, dan penurunan produksi susu.

Contoh cacing gelang yang biasa ditemui adalah Brown stomach worm (Ostertagia ostertagi), instestinal worms (Cooperia oncophora and punctata, Nematodirus helvetianus), dan cacing paru ((Dictyocaulus viviparous).

Gambar diatas adalah siklus hidup cacing Ostertagia ostertagi, namun sebenarnya siklus hidup parasit cacing gelang lainnya seperti Cooperia oncophora, Cooperia puntata, Nematodirus helvetiatianus sangat mirip. Kunci penularan dan pengendalian parasit untuk spesies cacing gelang ini adalah kontaminasi padang rumput.

Cacing pipih (Flukes)

Cacing pipih ini hidup di hati atau rumen sapi, dimana mereka merusak jaringan dan mengganggu pencernaan. Hal ini dapat menyebabkan penurunan berat badan, produksi air susu yang buruk, dan bahkan kematian.

Menggembalakan ternak di padang rumput dekat perairan berlumpur atau dangkal sangat rentan terhadap serangan cacing hati pada sapi (fasciola hepatica) atau cacing hati pada rusa (fasciola magna). Dibawah ini adalah gambaran siklus hidup cacing pipih :

Cacing pita (tapeworm)

Cacing bersegmen ini menempel pada lapisan usus kecil, tempat mereka menyerap nutrisi dari makanan hewani. Hal ini dapat menyebabkan penurunan berat badan, diare dan pertumbuhan yang buruk.

Berikuta adalah gambaran siklus hidup tidak langsung dari cacing pita yang biasa ditemukan pada sapi, yaitu Moniezia benedeni dimana melibatkan tungau rumput (mites) sebagai inang perantara dan sapi sebagai inang terakhir.

Protozoa

Organisme bersel tunggal ini, seperti coccidia, dapat menyebabkan diare, dehidrasi, dan penurunan berat badan pada anak sapi.

Untuk informasi lebih lanjut mengenai ini silahkan bisa baca di artikel ini : Diare pada sapi

Parasit eksternal

Lalat (fly)

Lalat tanduk (horn flies), lalat kuda (horse flies), lalat muka (face flies), lalat tumit (heel flies) dan lalat kandang (stable flies) merupakan hama utama yang mengganggu ternak dan dapat menurunkan produksi susu.

Lalat tanduk adalah lalat kecil penghisap darah yang paling banyak terlihat dan banyak terdapat pada ternak yang digembalakan. Lalat kandang, yang biasanya menjadi hama di sekitar kandang ternak, telah menjadi masalah bagi ternak yang digembalakan juga. Lalat kuda, Tabanus abactor adalah vektor mekanis anaplasmosis. Lalat muka berperan penting dalam penyebaran Moraxella bovis, bakteri penyebab penyakit Pink Eye pada sapi. Lalat muka bukanlah pengisap darah seperti lainnya, menyerupai lalat rumah dan makan tanaman berbunga serta air mata, air liur, lendir, dan darah yang mungkin keluar/mengalir dari hewan ternak kita. Terakhir adalah lalat tumit, lalat tumit yang berukuran sebesar lebah madu. Lalat ini bertelur dan menetas menjadi larva yang mampu menembus kulit ternak.

Kutu (lice)

Serangga kecil ini mengiritasi kulit dan menyebabkan ternak gatal, sehingga dapat merusak kulitnya dan mengganggu pertambahan berat badan, terutama pada sapi potong.

Kutu dapat menyebabkan stres ekstrem pada ternak karena  menghabiskan banyak energi untuk menggaruk, menjilat, dan mencakar bagian tubuhnya sendiri karena gangguan yang dihasilkan. Dan pada kasus yang parah, kutu bahkan bisa menyebabkan anemia. Perlu ketelitian dalam evaluasi dilapangan, karena kurap (ringworm) terkadang bisa disalahartikan sebagai infestasi kutu.

Dari gambar diatas, ada kita tahu bahwa ada 2 jenis kutu yang menyerang sapi potong, yaitu kutu pengunyah (chewing lice), seperti cattle biting louse dan kutu penghisap (sucking lice), seperti the long-nosed cattle louse, the little blue cattle louse dan the short-nosed cattle louse. Kutu kunyah sering ditemukan di bagian atas dan samping ternak, sedangkan kutu penghisap di sepanjang kepala dan bahu ternak.

Tungau (mite)

Tungau adalah parasit yang umum ditemukan pada banyak hewan, termasuk anjing, ayam, dan sapi. Makhluk ini berada dibawah kulit untuk mencari makan dan berkembang biak, yang pada akhirnya menyebabkan terbentuknya keropeng besar. Tungau ini menyebabkan kudis (mange), suatu kondisi kulit yang menyebabkan gatal-gatal, rambut rontok, dan penurunan berat badan.

Berbagai macam tungau menginfeksi ternak, dan beberapa di antaranya dapat menyebabkan jenis kudis (penyakit kulit) tertentu. Spesies tungau yang umum meliputi:

  1. Sarcoptes scabiei (tungau kudis)
  2. Psoroptes ovis (tungau psoroptik)
  3. Chorioptes bovis (tungau keropeng chorioptic)
  4. Demodex bovis (tungau folikel sapi)

Sapi yang terkena Psoroptes bovis mungkin menderita keropeng sapi, atau kudis psoroptik. Selain keropeng, kondisi ini dapat menimbulkan gejala berikut:

  1. Infeksi kulit
  2. Iritasi/Gatal
  3. Berdarah
  4. Penurunan berat badan
  5. Abrasi kulit
  6. Pembuluh darah bengkak

Sapi yang terkena Chorioptes bovis  akan mengalami chorioptic scab. Gejala yang paling umum adalah keropeng pada kulit, sedangkan gejala lain yang mungkin mungkin muncul adalah lesi berisi nanah, skaling, kulit yang menebal, rambut rontok, gerakan menghentak (stomping), menggosok dan mengunyah, serta eritema (ruam kulit).

Tungau keropeng korioptik sering kali berada di tungkai dan kaki sapi,  oleh karena itu sering disebut kudis kaki/tungkai. Sapi yang sehat juga mungkin membawa tungau tetapi tidak menunjukkan gejala apa punm sehingga terkadang dapat menulari sapi-sapi yang sistem imunnya lemah.

Caplak (tick)

Parasit penghisap darah ini dapat menularkan penyakit seperti babesiosis dan anaplasmosis, yang dapat berakibat fatal bagi ternak. Dibawah ini adalah macam-macam caplak yang bisa temui pada ternak sapi di seluruh dunia :

 

Diperkirakan lebih dari 80% populasi sapi di seluruh dunia terkena serangan caplak. Di Mexico, Rhipicephalus (Boophilus) microplus (Canestrini), R. (B.) annulatus (Say) dan Amblyomma mixtum (Koch) adalah yang paling  penting.

 

Dampak parasit

Infestasi parasit dapat menimbulkan dampak negatif yang signifikan terhadap kesehatan, produktivitas, dan keuntungan ternak. Hal ini dapat menyebabkan:

  1. Mengurangi pertambahan berat badan dan produksi susu
  2. Konversi pakan buruk
  3. Peningkatan kerentanan terhadap penyakit lain
  4. Kematian

Pengendalian dan Pencegahan

Program pengendalian parasit yang komprehensif sangat penting untuk menjaga kesehatan dan produktivitas ternak. Program ini idealnya harus mencakup:

  1. Pengujian tinja secara teratur untuk mengidentifikasi parasit internal
  2. Pengobatan yang sesuai
  3. Pengendalian lalat dengan penggunaan pengusir lalat dan ear tag insektisida
  4. Pengelolaan kotoran yang tepat untuk mengurangi risiko infeksi ulang
  5. Karantina dan pengobatan hewan baru
  6. Vaksinasi terhadap beberapa parasit, seperti cacing paru

Baca juga : Antiparasit pada Sapi

Dengan menerapkan langkah-langkah ini, produsen ternak dapat membantu melindungi hewan mereka dari parasit,  memastikan kesehatan dan produktivitas jangka panjang, serta memaksimalkan keuntungan.

Ini adalah gambaran singkat mengenai parasit pada sapi. Secara bertahap, kami akan membahas satu-persatu di artikel selanjutnya.

Semoga informasi ini bermanfaat! Silahkan hubungi kami jika anda memiliki pertanyaan DISINI.

Referensi :

  1. https://www.beefresearch.ca/topics/parasites-internal/
  2. https://www.canadiancattlemen.ca/livestock/controlling-liver-flukes-in-beef-cattle/
  3. https://wormboss.com.au/about-worms/worm-life-cycles-and-life-stages/cattle-tapeworm-life-cycle-adult-worms-in-cattle-herbivorous/
  4. https://extension.okstate.edu/fact-sheets/beef-cattle-ectoparasites.html
  5. https://onpasture.com/2020/11/02/got-lice-keep-them-from-sucking-the-life-out-of-your-herd/
  6. https://diamondhoofcare.com/8-common-causes-of-scabs-on-cows/
  7. https://www.frontiersin.org/articles/10.3389/ffunb.2021.657694/full Entomopathogenic Fungi for Tick Control in Cattle Livestock From Mexico
Fase Pemeliharaan Ternak Babi

Fase Pemeliharaan Ternak Babi

Saat ini kita akan belajar bersama mengenai siklus produksi atau pemeliharaan di peternakan babi. Mungkin materi ini lebih cocok untuk para pemula yang sedang berencana untuk memulai usaha peternakan babi ya. Namun jika anda sudah berkecimpung di bisnis ini dan ada waktu longgar, ya silahkan saja meneruskan membaca untuk sekedar merefresh kembali apa yang selama ini dilakukan…

Secara garis besar, siklus hidup dimulai dari kelahiran anak babi yang biasanya memiliki berat 1,5-2 kg. Induk umumnya melahirkan 8-12 ekor anak babi, meskipun bisa juga ditemui anak sekelahiran > 20 ekor. Jika jumlah anak yang dilahirkan banyak, kecinderungannya anak babi yang dilahirkan memiliki berat badan yang relatif kecil dan pertumbuhannya juga lebih lambat dibandingkan  dengan induk yang memiliki anak <10 ekor. Hal ini penting untuk diantisipasi agar resiko kematian dapat ditekan.

Fase ikut induk ini umumnya berlangsung sekitar 21-42 hari,  tergantung pada praktek pengelolaan babi di peternakan. Anak babi disapih dengan cara mengeluarkan babi dari kandangnya. Setelah itu, mereka diberi pakan hasil formulasi. Sebelum dipisahkan dari induknya, anak babi harus diperkenalkan dahulu dengan pakan padat yang nantinya akan mereka konsumsi setelah tidak mendapatkan air susu induk.

Periode sapih umumnya berlangsung 1-2 bulan dengan berat sekitar rata-rata 20 kg, baru kemudian dipindahkan lagi ke kandang penggemukan sampai bobot panen sekitar 100 kg. Proses ini umumnya berlangsung selama 150-230 hari sejak lahir hingga rumah potong hewan tergantung kualitas bibit dan pakan yang diberikan. Daging babi yang dihasilkan umumnya 70% dari bobot hidupnya.

Berikut secara rinci adalah periode/siklus pemeliharaan ternak babi yang umumnya dibagi menjadi empat tahap utama :

Breeding/Gestation

Fase ini berfokus pada proses reproduksi, yaitu mengawinkan, menjaga kebuntingan sampai  melahirkan anak. Pada peternakan modern, anak babi akan disapih lebih awal dengan support managemen pemeliharaan dan kualitas nutrisi yang baik. Hal ini tentunya menjadi upaya agar peternakan menjadi lebih efektif dan efisien, karena semakin cepat proses sapih, induk juga akan semakin cepat untuk kawin dan bunting kembali.

Jika kondisinya normal, biasanya induk akan estrus segera setelah menyapih anaknya sekitar 3-7 hari, sedangkan masa kebuntingan berlangsung sekitar 113-116 hari atau kita lebih mudah “menghafal” angka 333 (3 bulan 3 minggu 3 hari). Intervensi dengan menggunakan preparat hormon juga umum dilakukan di peternakan skala besar untuk memudahkan pengaturan batch anakan babi sesuai dengan target produksi yang dicanangkan atau pada saat ada gangguan reproduksi, seperti induk kesulitan dalam proses melahirkan atau kejadian kawin berulang.

Selama masa kebuntingan, induk babi akan ditempatkan pada kandang secara individual untuk mencegah perkelahian dengan induk babi lainnya, membatasi aktivitas dan konsumsi pakannya. Angka kebuntingan yang baik di peternakan idealnya diatas 90% dengan kondisi umumnya 80% terjadi kebuntingan setelah perkawinan pertama (tidak diulang).

Siklus estrus pada induk babi adalah 21 hari. Jika induk babi gagal bunting dalam waktu 28 hari setelah proses sapih, umumnya peternak akan melakukan evaluasi terkait kondisi induk tersebut, apakah masih bisa diperbaiki atau harus di culling. Idealnya, jika induk melewati proses perkawinan 2-3x dan gagal maka akan dikeluarkan dari kawanan untuk digantikan dengan calon induk yang baru.

Setiap proses kawin yang gagal memberikan konsekwensi bagi peternak untuk tetap memberikan pakan selama 21 hari untuk mencapai estrus selanjutnya. Jika ini terjadi, maka induk babi harus menghasilkan 2 ekor anak babi ekstra untuk membayar kompensasi waktu dan biaya pakan yang telah dikonsumsinya.

Untuk melindungi calon anakan yang nantinya dilahirkan, biasanya induk akan mendapatkan beberapa suntikan vaksinasi sebelum proses melahirkan. Jenis vaksin tentunya tergantung dengan tantangan penyakit yang ada dilapangan. Program vaksin yang umumnya dimasukkan adalah PRRS, PCV2, Mycoplasma hyopneumoniae, Glasser’s disease, Porcine Parvo Virus, Foot and Mouth disease, Psudorabies. Hal ini penting untuk memastikan kecukupan maternal antibodi induk yang diturunkan ke anak lewat kolostrum. Baca juga : Mengapa breeding performance ternak babi itu penting?

Farrowing/Lactation 

Fase ini meliputi proses melahirkan, periode menyusui dan merawat anakan sampai waktu sapih dan evaluasi induk pasca sapih. Sekitar seminggu sebelum induk babi dijadwalkan melahirkan akan dipindahkan ke kandang farrowing individu untuk mendapatkan perawatan dan perhatian khusus. Masa sejak lahir sampai penyapihan disebut masa laktasi/menyusui.

Idealnya induk mampu menjalani proses persalinannya sendiri, namun terkadang juga ada yang memerlukan bantuan. Oleh karena itu, tenaga kandang sebaiknya stand by untuk antisipasi jika ada induk yang kesulitan dalam proses melahirkan. Masa laktasi atau sucking piglet adalah masa menyusui induk babi yang dimulai saat ia beranak sampai 3-5 minggu, semakin cepat maka peternakan kita semakin efektif dan efisien karena memiliki tingkat produktivitas yang baik.

Gambar diatas adalah ilustrasi kandang melahirkan. (A) ada jeruji dimana ada saatnya induk dikekang (tahap R) dan dilepas (tahap F) untuk memungkinkan pergerakan bebas dan interaksi antara babi dan anak babinya. Pemberian tali dan potongan karung goni untuk “mainan” sebelum dan sesudah farrowing masing-masing ditandai dengan warna hijau dan biru. (B) Gambaran induk berinterkasi dengan anak-anaknya dengan bermain tali (CR) dan potongan karung goni (J).

Hal penting dari fase laktasi adalah memastikan setiap anak babi mendapatkan cukup kolostrum dari induk pada 1-2 hari pertama kehidupan. Kolostrum ini mengandung maternal antibodi yang nantinya akan membantu anak babi untuk bertahan hidup dari resiko serangan penyakit.

Ingat, kolostrum ini tidak bertahan lama sehingga anak babi harus diproteksi dengan program vaksinasi sesuai dengan tantangan penyakit yang pernah muncul di kandang agar bisa bertahan sampai panen. Di Indonesia, vaksin yang sudah resmi beredar adalah clasical swine fever/hog cholera, Mycoplasma Hyopneumoniae, PCV2, PRRS, Glasser’s disease dan Aujeszky’s disease. Peternak sebaiknya melakukan test terkait patogen apa saja yang sudah bersirkulasi di kandang, sehingga program vaksin yang dibuat sesuai dengan kebutuhan di lapangan.

Pemberian zat besi juga penting untuk mengurangi resiko anemia yang juga berbahaya bagi anak babi. Anak babi biasanya disapih pada umur 3-5 minggu sesuai dengan kemampuan dan kapasitas peternakan. Periode ikut induk ini memerlukan perhatian lebih agar angka sapihannya tinggi dan resiko kematian bisa ditekan. Anak babi juga harus mulai dikenalkan dengan pakan padat sebelum disapih agar mereka nantinya siap untuk lepas dari air susu induk.

Segera setelah masa laktasi berakhir, peternak akan mengevaluasi induk babi yang tua dan tidak produktif untuk digantikan calon induk yang baru. Oleh karena itu, peternak harus memikirkan untuk mempersiapkan calon induk pada setiap proses kelahiran yang dihasilkan agar produktivitas breeding tetap tinggi. Calon induk umumnya dipersiapkan sekitar 50-60% populasi breeding dalam setahun, atau  direkomendasikan agar 1 anakan dipilih untuk setiap 3-4 anak babi yang dilahirkan. Peternak juga bisa membeli calon induk dari peternak lain yang terpercaya untuk proses ini.

Calon induk umumnya disiapkan sekitar umur 5-6 bulan, dan mulai dikawinkan umur 8 bulan (estrus ke-2 atau 3). Proses isolasi dan aklimatisasi calon induk penting untuk dilakukan  agar mereka siap untuk digabungkan dengan kawanan yang sudah ada. Mengapa peternak sebaiknya menunggu siklus estrus yang ke-3 untuk calon induk mulai dikawinkan? Hal ini dikarenakan jumlah sel telur yang dihasilkan relatif masih sedikit, sehingga jumlah anak yang dihasilkan cinderung sedikit juga. Namun pada prakteknya, tidak sedikit juga peternak yang mengawinkan calon induknya di estrus ke-2 namun dengan memperhatikan resiko stres yang dapat berpotensi mengganggu pertumbuhannya dan mengakibatkan kesulitan dalam membesarkan anak. Baca juga : Management Calon Induk

Nursery.

Setelah disapih, anak-anak babi dipindahkan ke kandang  pembibitan yangmana mereka umumnya akan ditempatkan bersama dalam kelompok bersama anakan seumuran lainnya.  Nutrisi yang baik sangat dibutuhkan untuk mendorong pertumbuhan dan perkembangan anak babi. Periode ini berlangsung sampai anakan mencapai berat sekitar 35-60 pound (15-27kg). Setelah anak babi disapih, beberapa anak babi betina terbaik akan mulai dipilih dan dimonitor perkembangannya untuk nantinya disiapkan sebagai gilt/calon induk pengganti.

Masa penyapihan merupakan yang paling menegangkan bagi anak babi karena mereka diambil dari induknya, dipindahkan ke kandang yang baru dan beradaptasi dengan pakan padat/kering tanda air susu induk. Peternak harus mampu mengelola stres yang dialami anak babi sehingga pertumbuhannya tidak terganggu terlalu lama.

Kebanyakan peternak mengatur jadwal produksi dengan tetap menempatkan anak babi di kandang farrowing 3-7 hari setelah disapih untuk mengurangi stres lebih lanjut. Jika praktek ini ingin digunakan, maka peternak harus dipertimbangkan dalam tahap perencanaan pengembangan peternakan mereka, karena akan diperlukan lebih banyak kandang dilokasi peternakan. Kerugian dari skema ini adalah adanya biaya tambahan untuk kandang farrowing dan ruang tambahan yang dibutuhkan.

Gambar diatas adalah ilustrasi kondisi kandang weaning to finish. (A) Pen dengan lokasi yang disarankan untuk menggantung “mainan” di area aktif (X biru). (B) tali juga difungsikan sebagai media pengambilan sampel air liur karena anak babi suka mengunyahnya. (C) Pada kandang finisher, jerami bisa disediakan untuk alas dan tempat istirahat babi.

Baca juga : Managemen pemeliharaan anak babi

Grower Finisher.

Ini adalah fase terakhir dalam pemeliharaan ternak babi. Umumnya, babi ditempatkan dalam kelompok yang lebih besar dan diberi pakan yang diformulasikan untuk penambahan berat badan dengan cepat. Mereka tetap di sini sampai mencapai bobot pasar yang biasanya sekitar 250-275 pound (113-125kg   saat umur 5-6 bulan).

Demikian sedikit gambaran mengenai fase pemeliharaan ternak babi ya. Dilapangan mungkin penerapannya bervariasi  tergantung pada ukuran peternakan, model pengelolaan, dan jenis babi yang dipelihara.

Referensi :

  1. https://www.savewater-china.com/info/pig-production-cycle_i0026.html
  2. https://www.researchgate.net/figure/Environmental-enrichment-during-farrowing-and-lactation-period-A-Designed-farrowing_fig1_336168152
  3. https://porkcheckoff.org/pork-branding/facts-statistics/life-cycle-of-a-market-pig/
Prospek dan Tantangan Peternakan 2024

Prospek dan Tantangan Peternakan 2024

Prospek peternakan di Indonesia pada tahun 2024 diperkirakan akan tetap positif. Hal ini didukung oleh beberapa faktor, antara lain:

  • Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang diperkirakan mencapai 5,15% pada tahun 2024. Pertumbuhan ekonomi yang positif akan meningkatkan daya beli masyarakat, sehingga permintaan akan produk peternakan juga akan meningkat.
  • Peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya konsumsi protein hewani. Protein hewani merupakan sumber nutrisi yang penting bagi kesehatan, sehingga permintaan akan produk peternakan, seperti daging, telur, dan susu, diperkirakan akan terus meningkat.
  • Pemerintah Indonesia yang terus mendorong pengembangan industri peternakan. Pemerintah telah menetapkan target swasembada daging sapi pada tahun 2026. Untuk mencapai target tersebut, pemerintah telah melakukan berbagai upaya, seperti penyediaan bibit ternak yang berkualitas, pemberian subsidi, dan pengembangan teknologi peternakan.

Berdasarkan faktor-faktor tersebut, komoditas peternakan yang diperkirakan akan memiliki prospek yang baik di tahun 2024 adalah:

  • Daging sapi. Permintaan akan daging sapi diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya konsumsi protein hewani.
  • Telur. Permintaan akan telur juga diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan peningkatan daya beli masyarakat dan kesadaran masyarakat akan pentingnya konsumsi protein hewani.
  • Susu. Permintaan akan susu juga diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan peningkatan daya beli masyarakat dan kesadaran masyarakat akan pentingnya konsumsi protein hewani.

Selain komoditas-komoditas tersebut, komoditas peternakan lain yang juga memiliki prospek yang baik di tahun 2024 adalah:

  • Daging ayam
  • Daging kambing
  • Daging domba
  • Susu sapi
  • Susu kambing

Untuk memanfaatkan prospek yang baik tersebut, para pelaku usaha peternakan perlu meningkatkan produktivitas dan efisiensi usahanya. Selain itu, para pelaku usaha peternakan juga perlu berinovasi dan mengembangkan produk baru yang sesuai dengan kebutuhan konsumen.

Selain prospek yang positif, industri peternakan juga menghadapi beberapa tantangan, antara lain:

  • Harga pakan yang tinggi. Harga pakan merupakan salah satu biaya produksi yang paling besar dalam usaha peternakan. Harga pakan yang tinggi akan menyebabkan biaya produksi juga menjadi tinggi, sehingga akan mengurangi keuntungan usaha peternakan.
    Image of Harga pakan yang tinggi
  • Kelangkaan tenaga kerja. Tenaga kerja merupakan salah satu faktor produksi yang penting dalam usaha peternakan. Namun, saat ini, tenaga kerja yang terampil di bidang peternakan masih terbatas. Hal ini akan menyebabkan kesulitan bagi pelaku usaha peternakan untuk mendapatkan tenaga kerja yang berkualitas.
    Image of Kelangkaan tenaga kerja
  • Penyakit hewan. Penyakit hewan merupakan salah satu ancaman serius bagi industri peternakan. Penyakit hewan dapat menyebabkan kematian ternak, sehingga akan menurunkan produksi dan pendapatan usaha peternakan. Semua ternak memiliki resiko penyakit yang harus diwaspadai, seperti Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) dan Lumphy Skin Disease (LSD) pada ternak sapi, African Swine Fever (ASF) pada ternak babi, Newcastle Disease, Avian Influenza, Infectious Bursal Disease dan Infectious Coryza pada unggas.
  • Perubahan iklim. Perubahan iklim dapat berdampak negatif terhadap industri peternakan. Perubahan iklim dapat menyebabkan kekeringan, banjir, dan hama, sehingga akan mengganggu produksi ternak.
    Image of Perubahan iklim

Untuk mengatasi tantangan-tantangan tersebut, para pelaku usaha peternakan perlu melakukan berbagai upaya, antara lain:

  • Mencari sumber pakan alternatif. Para pelaku usaha peternakan perlu mencari sumber pakan alternatif yang lebih murah dan tersedia secara lokal.
  • Meningkatkan produktivitas ternak. Para pelaku usaha peternakan perlu meningkatkan produktivitas ternak agar dapat mengurangi biaya produksi.
  • Meningkatkan keterampilan tenaga kerja. Para pelaku usaha peternakan perlu meningkatkan keterampilan tenaga kerja agar dapat meningkatkan produktivitas dan efisiensi usaha.
  • Meningkatkan biosekuriti. Para pelaku usaha peternakan perlu meningkatkan biosekuriti untuk mencegah penyebaran penyakit hewan. Vaksinasi juga menjadi faktor penting dalam program pengendalian penyakit. Baca juga : Biosekuriti di era new normal
  • Beradaptasi dengan perubahan iklim. Para pelaku usaha peternakan perlu beradaptasi dengan perubahan iklim dengan menerapkan praktik peternakan yang lebih ramah lingkungan.

Jadi peluang itu ada, hanya kita harus benar-benar berhitung dan mempersiapkan semuanya dengan matang. Dengan kita siap dan mampu menghadapi tantangan-tantangan yang ada saat ini, industri peternakan di Indonesia diharapkan dapat terus berkembang dan memenuhi kebutuhan masyarakat akan protein hewani.

Referensi :

  1. https://www.idxchannel.com/economics/harga-pakan-ternak-terlalu-tinggi-ternyata-ini-sebabnya
  2. https://buletin.bpdp.or.id/?p=1015 Isu kelangkaan tenaga kerja ditengah pandemi
Brucellosis pada Sapi

Brucellosis pada Sapi

Brucellosis merupakan penyakit bakteri yang disebabkan oleh Brucella sp., yang terutama menginfeksi sapi, babi, kambing, domba dan anjing. Brucellosis bersifat zoonosis, dan manusia umumnya tertular melalui kontak langsung dengan hewan yang terinfeksi, makan atau minum produk hewani yang terkontaminasi, atau dengan menghirup bakteri yang ditularkan melalui udara. Namun, sebagian besar kasus pada manusia disebabkan oleh konsumsi susu atau keju yang tidak dipasteurisasi dari kambing atau domba yang terinfeksi. Gejala brucellosis pada manusia antara lain demam, berkeringat, anoreksia, malaise, penurunan berat badan, depresi, sakit kepala, dan nyeri sendi.

 Brucellosis adalah salah satu penyakit zoonosis yang paling luas ditularkan melalui hewan dan di daerah endemik, brucellosis pada manusia mempunyai konsekuensi kesehatan masyarakat yang serius. Perluasan industri peternakan dan urbanisasi, serta kurangnya tindakan higienis dalam peternakan dan penanganan makanan, turut menyebabkan brucellosis tetap menjadi bahaya kesehatan masyarakat.

Penyebab

Brucellosis disebabkan oleh bakteri Brucella abortus yang terdiri dari 8 biovar (1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, dan 9) berdasarkan sebaran geografis. Brucella abortus menyebabkan penyakit terutama pada sapi, domba, kambing, dan hewan peliharaan lainnya.  Sapi juga bisa terinfeksi Brucella suis dan Brucella melitensis ketika ternak ini berada pada pada tempat penggembalaan bersama babi, kambing, atau domba yang terinfeksi. Brucella abortus adalah bakteri intraseluler kecil, Gram-negatif, dan fakultatif.

Gejala Klinis

Gejala utama adalah terjadinya aborsi pada tahap akhir kebuntingan pada sapi betina, serta orchitis dan bursitis pada sapi jantan. Infeksi ini dapat menyebabkan aborsi, anak lahir mati, retensi plasenta, prematur dan kelemahan pada anak sapi. Retensi selaput fetus dan endometritis umumnya adalah akibat lanjutan setelah kejadian aborsi, sedangkan higroma pada sendi kaki sapi  merupakan tanda khas akibat infeksi kronis Brucella sp.

Penularan 

Brucellosis biasanya ditularkan ke sapi lain melalui interaksi langsung atau tidak langsung dengan sapi yang sakit atau kotorannya. Konsumsi pakan, air minum, atau koilostrum yang terkontaminasi bakteri saat proses kelahiran atau induk sapi  menjilati anaknya yang baru lahir bisa menjadi rute penularan juga karena cairan uterus mungkin memiliki tingkat bakteri yang sangat tinggi dan merupakan sumber utama infeksi.  Brucellosis jarang menular melalui proses kawin alami pada sapi, namun inseminasi buatan (IB) terbukti menyebarkan infeksi dari sapi yang terinfeksi ke sapi yang sehat.

Manusia biasanya tertular melalui konsumsi susu atau produk susu yang tidak dipasteurisasi. Interaksi mukosa dengan cairan atau jaringan fetus yang abortus dari sapi yang sakit juga dapat menjadi sumber penyakit pada manusia sehingga pekerja rumah potong hewan, peternakan, dan laboratorium, serta dokter hewan memiliki resiko tinggi terinfeksi.

Faktor Resiko

Faktor resiko umumnya dipengaruhi oleh berbagai hal yang berhubungan dengan sistem manajemen, inang, dan lingkungan. Hal ini mencakup umur, jenis kelamin, dan ras sapi (ada anggapan ras campuran lebih rentan), ukuran dan jenis ternak, serta agroekologi.

Umur menjadi faktor intrinsik, dimana seroprevalensinya lebih tinggi ditemukan pada sapi dewasa dibandingkan pada sapi muda dimana bakteri akan tumbuh karena adanya konsentrasi eritriol yang dihasilkan fetus sapi didalam rahim. Sapi betina lebih besar kemungkinannya terkena infeksi dibandingkan sapi jantan sehingga gejala seperti epididimitis dan orchitis pada pejantan relatif lebih mudah diatasi. Pada sapi betina yang tidak bunting brucellosis bisa menjadi kronis, carrier dan sulit diidentifikasi dengan metode serologis standar.

Terkait kawanan, populasi besar cinderung memiliki resiko penularan yang relatif besar jika tidak menerapkan managemen yang baik. Interaksi antar ternak, kompleks peternakan atau penggunaan lahan penggembalaan bersama, serta teknik pembersihan dan disinfeksi yang tidak memadai akan memicu tingginya kasus bucellosis jika ada ternak yang terinfeksi.

Penggembalaan beberapa spesies ternak dalam satu kawasan juga menjadi faktor resiko brucellosis, meskipun tidak ada indikasi kerentanan yang lebih tinggi pada spesies tertentu.  Kejadian brucellosis sendiri jarang menyebar dari ruminansia kecil ke sapi, namun demikian ancaman terhadap peternakan sapi yang juga memelihara ruminansia kecil dilokasi yang sama menunjukkan bukti bahwa beberapa kasus mungkin berasal dari ruminansia kecil, karena ternyata B. melitensis biovar 3 telah diisolasi dari air susu sapi.

Sapi perah mempunyai kemungkinan yang jauh lebih besar untuk tidak hanya tertular infeksi Brucellosis namun juga menyebarkannya lebih cepat dibandingkan sapi potong. Sapi yang dipelihara di area kecil akan lebih mudah terjadi kontak  satu sama lain saat diberi pakan dan diperah. Selain itu, jika kondisi peternakan tidak nyaman, sapi perah akan mengalami stres sehingga hal ini lebih kondusif bagi infeksi Brucellosis. Sebagian besar penyakit menular pada ternak yang sebelumnya bebas brucellosis dimulai dengan aktifitas pembelian sapi yang sakit/carrier. Oleh karena itu, pastikan kita membeli dari peternak yang mempunyai reputasi baik dan terpercaya.

Agroekologi juga diakui sebagai faktor resiko infeksi Brucellosis. Prevalensi yang lebih tinggi umumnya terjadi di daerah yang  kering, karena kurangnya padang rumput menyebabkan ternak terkonsentrasi atau ditempatkan dilokasi yang memungkinkan interaksi antar ternak yang tidak terkendali.  Selain itu, kemungkinan besar terjadi penularan melalui penghirupan aerosol dari debu yang terkontaminasi dari cairan fetus atau aborsi dari ternak yang terinfeksi. Pengelolaan intensif dengan managemen pemeliharaan yang baik idealnya akan mengurangi resiko penularan penyakit karena proses pengelolaan aborsi, identifikasi ternak yang sakit, serta interaksi antar ternak bisa dimonitor dan dibatasi.

Diagnosa

Brucellosis tidak dapat didiagnosis hanya berdasarkan gejalanya saja, sehingga perlu dilakukan pengujian laboratorium terhadap sampel darah atau air susu, serta uji kultur dari selaput fetus, leleran vagina atau air susu dari sapi yang terinfeksi.

Diagnosa langsung. 

Dapat dipastikan dengan ditemukannya bakteri pada preparat apus dengan pewarnaan mikroskopis. Preparat apus dapat dibuat dari sekret vagina, plasenta, kolostrum, cairan lambung fetus, lokia sapi yang diaborsi, atau abomasum fetus yang diaborsi, dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen (MZN) yang dimodifikasi, dengan hasil tampak  coccobacilli intraseluler berwarna merah atau berbentuk batang, sedangkan bakteri lain berwarna biru.

Semua strain Brucella tumbuh relatif lambat dan karena spesimen yang diisolasi seringkali sangat terkontaminasi, maka  penggunaan media selektif (media Farrell, media Brucella albimi) sangat dianjurkan untuk proses inkubasi.  Sampel yang dapat digunakan untuk isolasi B. abortus antara lain cairan lambung fetus, limpa, hati, plasenta, lokia, air susu (kolostrum atau air susu dalam waktu seminggu setelah melahirkan), air mani, dan kelenjar getah bening (limpoglandula supramammary untuk infeksi laten/kronis dan limpoglandula retrofaringeal untuk infeksi awal). Jika reaksi serologis diduga disebabkan oleh strain vaksin S19, maka kelenjar getah bening prescapular juga harus diambil. Semua isolat kemudian dikirim ke laboratorium yang memiliki fasilitas biotyping.

Diagnosis Tidak Langsung

Jika tidak ada fasilitas kultur bakteri, diagnosa brucell0sis biasanya didasarkan pada uji serologis, dengan berbagai uji aglutinasi seperti Rose Bengal Plate Test (RBPT), uji aglutinasi serum, dan antiglobulin. Deteksi antibodi merupakan metode yang lebih sensitif dan dapat digunakan untuk monitoring suatu kawanan. Uji Indirect Elisa (i-ELISA) dan Competitive Elisa (c-ELISA) juga bisa digunakan untuk konfirmasi diagnosa brucellosis.

RBPT adalah tes yang sangat sensitif yang digunakan untuk skrining sampel serum, cepat, murah dan mudah dilakukan namun metode ini tidak dapat membedakan antara reaksi lapangan dan strain vaksin S19. Diagnosa bisa dipengaruhi oleh adanya reaksi silang yang memberikan hasil tes serologis positif palsu hasil vaksin S19 atau bakteri gram negatif lain yang memiliki epitop serupa. Bakteri B. abortus O-chain polysaccharides, Yersinia enterocolitica 0:9Escherichia coli 0157:H7Salmonella group N (0:30), Francisella tularemiaStenotrophomonas maltophiliaPasteurella sp., dan Vibrio cholera  dapat bereaksi dalam uji serologis ini. Oleh karena itu, reaksi positif ini harus ditindaklanjuti dengan konfirmasi serologi yang sesuai dan/atau penyelidikan epidemiologi lebih lanjut. The complement fixation test (CFT) adalah tes yang paling umum digunakan untuk konfirmasi serologis kasus brucellosis pada sapi dan direkomendasikan oleh Organisasi Kesehatan Hewan Dunia ketika uji RBPT positif. Uji CFT didasarkan pada deteksi antibodi IgM dan IgG1.

Spesifisitas c-ELISA adalah sangat tinggi dan mampu mengidentifikasi semua isotop antibodi (IgM, IgG1, IgG2, dan IgA). c-ELISA memiliki spesifisitas diagnostik yang tinggi (100%) dan sensitivitas 98,8%, sehingga dianggap sebagai uji yang paling tes spesifik. Uji i-ELISA juga telah digunakan untuk diagnosis serologis serum atau air susu sapi, serta sensitif dan  spesifik untuk B. abortus atau B. melitensis, namun tidak mampu membedakan antibodi yang diinduksi oleh strain vaksin S19 atau Rev1. Sensitivitas i-ELISA bervariasi dari 96-100% dan spesifisitasnya dari 93,8-100%. Uji konfirmasi ini harus menunjukkan tingkat spesifisitas diagnostik yang tinggi dan mempertahankan sensitivitas yang efektif untuk mengurangi jumlah reaksi positif palsu hingga paling minimum.

Baca juga : 5 Penyakit penting pada sapi perah

Pencegahan/Pengobatan

Pengobatan brucellosis yang dilakukan di lapangan umumnya tidak efektif karena bersifat intraseluler, yaitu bakteri dapat bertahan dan berkembang biak di dalam sel. Infeksi biasanya masuk ke dalam kawanan karena adanya ternak yang sakit, atau dari semen pejantan yang terinfeksi dan fomites yang terkontaminasi. Program vaksinasi pada anak sapi atau sapi dara merupakan cara yang paling efektif dalam menangani Brucellosis di daerah endemik.

Jika ingin memasukkan sapi baru, harus dipastikan sapi sehat dan berasal dari daerah bebas penyakit. Ternak harus melalui proses karantina dan diuji terhadap brucellosis sebelum dimasukkan ke dalam kelompok. Brucellosis dapat diberantas dengan mengkarantina sapi yang terinfeksi, vaksinasi, serta metode uji dan penyembelihan.

Sangat penting untuk mewaspadai sapi-sapi impor. Walaupun mungkin telah dites negatif sebelum diimpor, namun pada banyak sapi, hasil tesnya akan negatif sampai sapi tersebut beranak atau abortus. Semua sapi yang diimpor harus diuji setelah melahirkan meskipun anak sapi tersebut normal.

Peraturan yang berlaku saat ini mengharuskan semua ternak yang pernah melakukan kontak dengan hewan yang terinfeksi harus disembelih. Artinya, jika sapi impor yang kemudian diketahui terinfeksi brucellosis, dicampur dengan indukan sebelum beranak, maka sapi-sapi yang dicampur tersebut harus disembelih juga. Oleh karena itu penting untuk memastikan bahwa hewan impor dikarantina dengan benar sampai hasil tes brucellosis mereka negatif setelah melahirkan untuk pertama kalinya. Selain itu, lakukan program biosekuriti yang tepat dan berkonsultasi dengan dokter hewan untuk semua proses ini.

Bagaimana di Indonesia?

Bovine brucellosis merupakan penyakit zoonosis dan endemik di Indonesia yang menyebabkan kerugian ekonomi signifikan akibat aborsi, lahir mati, infertilitas, sterilitas, dan berkurangnya produksi susu. Brucella abortus terdiri dari 8 biovar (1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, dan 9) berdasarkan sebaran geografis.  Sebuah penelitian dilakukan untuk mengetahui biovar mana yang bertanggung jawab terhadap brucellosis di peternakan sapi di Indonesia. Hasilnya adalah dari 50 isolat B. abortus  yang diisolasi dari sampel susu (29 sampel) dan cairan hygroma (21 sampel), ditemukan bahwa 42 isolat (84%) merupakan B. abortus biovar 1, lalu 2 isolat merupakan biovar 2 (12%), dan 3 isolat merupakan biovar 3 (4%). Maka, dari penelitian ini mengungkapkan bahwa B. abortus biovar 1 adalah penyebab paling umum dari brucellosis pada sapi di Indonesia.

Brucellosis adalah penyakit serius dengan implikasi ekonomi dan kesehatan masyarakat yang signifikan. Dengan kita  mengerti kondisi tantangan ini, maka menyusun program pemeliharaan dan biosekuriti yang benar, serta melakukan vaksinasi untuk area-area yang memang sudah endemik menjadi sebuah keharusan. Hal ini penting untuk meminimalkan resiko kejadian brucellosis, baik itu pada ternak maupun manusia.

Referensi:

  1. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC8752066/ Bovine Brucellosis :epidemiology, public health implication and status of brucellosis in Ethiopia
  2. https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/brucellosis
  3. https://www.nadis.org.uk/disease-a-z/cattle/brucellosis/
  4. https://scholar.ui.ac.id/en/publications/identification-of-brucella-abortus-biovars-isolated-from-cattle-i
  5. https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/01652176.2020.1868616 bovine brucellosis – comprehensive review
  6. https://cuidateplus.marca.com/enfermedades/infecciosas/brucelosis.html
Leptospirosis pada Sapi

Leptospirosis pada Sapi

Leptospirosis adalah salah satu penyakit zoonosis yang paling luas penyebarannya di seluruh dunia. Setiap tahun diperkirakan 1,03 juta orang terinfeksi, 873.000 orang mengalami infeksi parah, dan 49.000 orang meninggal karena tertular bakteri ini. Penyakit ini umumnya menyerang berbagai hewan mamalia, termasuk sapi dimana dapat menyebabkan kerugian ekonomi yang signifikan bagi peternak. Leptospirosis dapat menyebabkan kematian pada ternak, penurunan produksi susu, dan gangguan reproduksi (infertilitas, aborsi).

Leptospirosis pada sapi dapat menyebar melalui kontak langsung antara sapi yang terinfeksi dan sapi yang rentan. Bakteri Leptospira dapat masuk ke tubuh sapi melalui kulit yang terluka, mukosa, atau saluran pencernaan. Bakteri Leptospira juga dapat menyebar melalui air atau makanan yang terkontaminasi.

Leptospirosis dapat menyerang manusia dan menyebabkan gejala mirip influenza dengan sakit kepala parah, namun dapat diobati secara efektif. Peternak sapi perah sangat berisiko tertular penyakit akibat percikan urin ke wajah saat memerah susu sapi. Namun demikian, dengan proses pasteurisasi organisme yang diekskresikan dalam air susu ini masih dapat  dihancurkan.

Penyebab
Leptospirosis disebabkan oleh bakteri Leptospira hardjo, yaitu Leptospira borgpetersenii serovar Hardjo dan Leptospira interrogans serovar Hardjo. Infeksi timbul dari kontak dengan urin yang terinfeksi atau produk aborsi. Di negara 4 musin, penyakit ini paling sering menyebar pada musim semi dan musim panas saat ternak berada di padang rumput. Leptospira sp. rentan terhadap kekeringan, paparan sinar matahari, pH<5,8 atau suhu ekstrem.

Leptospira Hardjo tidak dibawa oleh hama atau satwa liar tetapi ternak domba dapat menjadi carrier dan shedding bakteri ini ke lingkungan, sehingga jika dalam padang gembalaan terjadi kontak maka resiko tertular sangat tinggi.
Faktor resiko penting lainnya yang perlu diperhatikan adalah penggunakan pejantan terinfeksi dan cemaran pada sumber air di padang penggembalaan.

Gejala Klinis
Penurunan produksi susu secara tiba-tiba dapat teramati dalam 2-7 hari setelah sapi yang rentan terinfeksi, dimana ambing akan menjadi lunak dan lembek dan terlihat sekret seperti kolostrum atau susu yang mengandung darah. Gejala yang nampak mungkin terlihat ringan atau tidak terdeteksi, namun beberapa sapi akan menjadi lesu, kaku disertai demam dan berkurangnya nafsu makan.

Aborsi dapat terjadi dalam 3-12  minggu setelah infeksi dan sebagian besar terjadi pada 3 bulan terakhir fase kebuntingan, atau jika mampu bertahan umumnya anak sapi akan lahir prematur dan lemah. Gangguan lain yang bisa diamati adalah tingginya kasus kawin berulang pada induk sapi yang terinfeksi saluran reproduksinya. Leptospira Hardjo juga dapat menyebabkan kematian embrio.

Penularan lewat proses perkawinan dengan pejantan bisa terjadi, namun umumnya tidak berdampak buruk karena Leptospira Hardjo akan mati oleh sistem pertahanan pada rahim selama periode estrus. Percobaan aplikasi vaksinasi leptospira di area endemik menunjukkan peningkatan parameter kesuburan pada sapi dibandingkan dengan yang tidak divaksin.

Diagnosis banding
Dilapangan, jika ada kejadian penurunan volume air susu tidak serta merta disebabkan oleh Leptospira sp., oleh karena itu kita harus tetap melakukan pengujian dan evaluasi lebih lanjut sebelum melakukan terapi. Sebaiknya anda berkonsultasi dengan dokter hewan agar diagnosa tidak salah.

Kejadian penurunan produksi air susu dapat dipengaruhi perubahan mendadak dalam pola makan/komposisi nutrisi didalam pakan. Sedangkan selain Leptospirosis, penyakit lain yang bisa menyebabkan penurunan produksi air susu antara lain adalah Bovine Virus Diarrhea (BVD), infestasi cacing paru-paru, Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR), Bovine Respiratory Syncytial Virus (BRSV), influenza A dan Salmonellosis.

Untuk kejadian aborsi, selain Leptospirosis kita juga harus memperhatikan gangguan infeksi lain seperti Neospora caninum, BVD, Salmonella spp., Bacillus likeniformis, atau Campylobacter.

Baca juga : 5 penyakit penting pada sapi perah

Diagnosa

Diagnosis leptospirosis pada sapi dapat dilakukan dengan pemeriksaan laboratorium terhadap sampel darah, urin, atau jaringan tubuh. Pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan dengan metode kultur, serologi, atau molekuler. Tes untuk mendeteksi antibodi terhadap Leptospira Hardjo dari sampel darah dengan titer MAT serum >1/100 yang dianggap cukup  signifikan.

Jika kita menghadapi kasus penurunan produksi air susu, pada infeksi yang akut, pengambilan 2x sampel serum dengan interval  waktu 3-4 minggu biasanya akan menunjukkan peningkatan konsentrasi MAT atau ELISA. Sedangkan jika menggunakan sampel urin, bakteri Leptospira dapat dilihat menggunakan dark-field microscopy.

Jika terjadi kasus aborsi, kita bisa melakukan uji Elisa terhadap indukan namun penggunaannya terbatas karena titer MAT dapat turun dengan cepat setelah infeksi akut dan menjadi negatif pada saat kejadian aborsi sehingga hasil positif mungkin hanya mencerminkan paparan sebelumnya. Selama ada peningkatan kasus aborsi, gambaran titer MAT >1/400 pada beberapa sapi  mungkin bermakna. Titer Elisa dilaporkan tetap positif lebih lama setelah infeksi sehingga mungkin hanya mengindikasikan paparan sebelumnya.

Selain uji Elisa terhadap induk yang mengalami aborsi, kita juga bisa melakukan uji terhadap fetus yang diaborsi. Antibodi yang terdeteksi dalam cairan fetus mungkin mengindikasikan paparan Leptospira Hardjo di dalam rahim setelah usia kebuntingan 4 bulan, namun fetus kemungkinan mati sebelum respon imunnya meningkat. Konfirmasi deteksi antigen dapat dilakukan dengan Tes antibodi fluoresen (FAT) menggunakan sampel jaringan fetus, dimana ginjal dan paru-paru adalah sampel terbaik untuk memastikan diagnosis kasus aborsi. Pastikan sampel diambil segera setelah kasus terdeteksi agar tidak terjadi autolisis yang berpotensi mengacaukan hasil uji.

Untuk mengevaluasi kawanan, maka uji Elisa bisa dilakukan terhadap semua kelompok induk secara berkala sebagai bagian dari program pengawasan pada kelompok yang naif. Selain itu, sampling terhadap sapi dara laktasi pertama juga idealnya dilakukan untuk memantau status infeksi dalam suatu kawanan.

Perlakuan
Pemberian antibiotik pada kasus penurunan produksi air susu sangat dianjurkan untuk mengurangi ekskresi bakteri leptospira dan resiko penularan terhadap manusia (zoonosis). Suntikan tunggal menggunakan streptomisin/dihidrostrepomisin secara  intramuskular (IM) sebanyak 25mg/kg akan menghilangkan infeksi pada sebagian besar ternak. Namun, vaksinasi adalah pendekatan yang lebih baik untuk menghindari penggunaan antibiotik yang tidak perlu karena tidak semua antibiotik zero residu di air susu sehingga meningkatkan resiko terjadinya kasus antimikrobial resistensi jika dikonsumsi oleh manusia.

Tindakan pencegahan bisa dilakukan dengan penambahan streptomisin ke air mani sapi jantan yang dikoleksi untuk  inseminasi buatan (IB). Pengendalian Leptospira Hardjo pada ternak sapi bergantung pada kombinasi keputusan manajemen untuk mengurangi risiko infeksi, pengobatan antibiotik strategis, dan vaksinasi.

Untuk program vaksinasi, diprogramkan dengan memberikan 2x suntikan dengan interval waktu 4 minggu, diikuti dengan booster tahunan. Vaksinasi diharapkan mampu mencegah shedding bakteri leptospira melalui urin saat ada paparan penyakit serta akan melindungi terhadap kejadian penurunan produksi air susu dan aborsi.

Jika dalam suatu kelompok ternak tidak ada bukti adanya infeksi leptospirosis sebelumnya atau kita berencana memasukkan kawanan baru yang naif, maka semua hewan ternak  pengganti, termasuk pejantan harus diisolasi selama 3 minggu dan diberikan 2x suntikan streptomisin 25 mg/kg dengan interval waktu 10-14 hari sebelum dimasukkan ke dalam kelompok baru.

Untuk pemeliharaan kawanan di kawasan yang endemik dan dikonfirmasi melalui skrining kelompok atau catatan serologi kasus aborsi maka yang harus dilakukan adalah pelaksanaan program vaksinasi dengan booster tahunan. Sapi dara pengganti harus menyelesaikan program vaksinasi sebelum dikawinkan.

Selain tindakan pencegahan diatas, yang tidak kalah penting adalah penerapkan biosekuriti yang ketat. Tindakan biosekuriti yang dapat dilakukan untuk mencegah penyebaran leptospirosis meliputi:

  • Isolasi ternak baru
  • Pemeriksaan kesehatan ternak secara rutin
  • Desinfeksi kandang dan peralatan secara teratur
  • Pembersihan dan sanitasi pekerja, kendaraan dan fasilitas lainnya

Referensi :

  1. https://www.nadis.org.uk/disease-a-z/cattle/leptospirosis-in-cattle/
  2. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC9360731Bovine leptospirosis: effects on reproduction and an approach to research in Colombia
error: Content is protected !!