Coronavirus pada Ayam (Infectious Bronchitis)

Coronavirus pada Ayam (Infectious Bronchitis)

Coronaviruses (CoV) adalah virus RNA yang tersebar di seluruh dunia yang mempengaruhi beberapa spesies, termasuk manusia dan menyebabkan spektrum penyakit yang luas. Secara historis, ancaman serius bagi kesehatan masyarakat baru disadari saat kejadian kasus pneumonia manusia terkait CoV yang berasal dari inang hewan muncul pada 2002 dan 2012. Kekhawatiran terkait infeksi CoV meningkat secara dramatis setelah wabah global COVID-19, yang kemungkinan besar juga terjadi dari hewan liar. Mengingat risiko zoonosis CoV ini, dan kemampuan mereka untuk beradaptasi dengan spesies baru dan menyebar secara dramatis, tampaknya penting untuk memahami patofisiologi dan mekanisme kerusakan jaringan CoV yang diketahui dalam konsep “one health”. Menyelidiki lesi dan distribusi CoV dapat menjadi penting untuk memahami/memantau evolusi virus ini serta patogen lain, untuk lebih memperdalam patogenesis dan penularan penyakit ini, membantu tindakan pencegahan dan terapi kesehatan masyarakat.

Infeksi virus korona bisa ditemukan pada babi, sapi, kuda, kucing, anjing, tikus, burung, kelelawar, kelinci, musang, cerpelai, dan berbagai spesies satwa liar, meskipun banyak infeksi virus corona bersifat subklinis atau asimtomatik. Famili Coronaviridae termasuk dalam famili Arteriviridae dan Roniviridae dalam ordo Nidovirales dimana virus di ketiga keluarga ini memiliki strategi replikasi yang berbeda. Genus Coronavirus mengandung sejumlah besar patogen mamalia dan burung yang secara individual menyebabkan berbagai macam penyakit, termasuk pneumonia, penyakit reproduksi, enteritis, polyserositis, sialodacryoadenitis, hepatitis, encephalomyelitis, nephritis, dan berbagai gangguan lainnya.

Genus Coronavirus dibagi setidaknya tiga kelompok cluster berdasarkan sifat genetik dan serologis. Kelompok 1a meliputi virus gastroenteritis babi yang dapat menular, virus korona pernapasan babi, virus corona anjing, virus korona enterik kucing, virus korona musang dan cerpelai, dan virus corona hyena tutul. Kelompok 1b meliputi virus korona manusia tertentu, virus diare epidemik babi, dan virus korona kelelawar. Kelompok 2a meliputi virus hepatitis tikus, virus corona sapi, virus sialodacryoadenitis tikus, virus babi hemagglutinating encephalomyelitis, virus corona pernapasan anjing, dan virus corona manusia lainnya. Kelompok 2b termasuk virus korona SARS manusia dan musang kucing, anjing rakun, dan virus corona kelelawar. Kelompok 3 mencakup virus bronkitis menular burung/unggas, virus corona kalkun, dan beberapa spesies baru yang potensial tetapi sebagian besar masih belum dicirikan dari bebek, angsa, dan merpati.

Bagaimana dengan virus korona pada ayam? Spesies burung/unggas yang terinfeksi virus korona pada umumnya digolongkan dalam coronavirus kelompok 3. Virus ini juga menyerang unggas domestik (Gallus gallus), kalkun (Meleagris gallopavo) dan burung pegar (Phasianus colchicus). Virus korona pada unggas domestik mengakibatkan penyakit infectious bronchitis (IB). Penyakit ini sangat menular dan menyebar dengan cepat melalui aerosol. Kotoran, litter dan bahan yang terkontaminasi menyebarkan virus ini dan menjadikan IB sebagai agen penyebab gangguan pernafasan yang paling menular pada unggas. Gejala klinis yang teramati adalah bersin dan mata berair diikuti oleh depresi, batuk, dan ingus. Kualitas cangkang telur yang buruk, albumen encer, bulu kusut, dan kotoran basah terlihat pada unggas petelor. Gangguan produksi telur, penurunan berat badan, gangguan pernafasan dan diare dengan asam urat juga dapat diamati.

Jika kita melakukan bedah bangkai, maka perubahan yang teramati antara lain adalah eksudat di trakea, kantung udara menebal atau berbusa dan pneumonia dapat terlihat. Pada unggas muda cacat sel telur dan saluran telur serta adanya kuning telur di rongga perut juga bisa menjadi indikasi IB, selain juga ginjal yang membengkak dengan akumulasi asam urat.

Diagnosa dengan uji Netralisasi virus, tes HI atau ELISA untuk mengukur antibodi sangat membantu. Isolasi virus dalam embrio atau kultur sel ginjal ayam dan / atau PCR diperlukan untuk diagnosis yang pasti. Pengeritingan, pengerdilan dan kematian embrio dapat dilihat pada telur berembrio yang diinokulasi. Tanda dan lesi pernapasan dengan lesi ginjal juga bisa membantu tentatif diagnosa di lapangan sehingga minimal ada perlakuan awal yang dilakukan. Namun demikian, diagnosa laboratorium sebaiknya dilakukan mengingat gejala klinis yang nampak di lapangan terkadang mirip dengan kasus Newcastle Disease (ND), Mikoplasmosis, Avian Influenza (AI), Infectious Laringotracheitis (ILT), atau reaksi post vaksinal saja,

Pencegahan dengan vaksinasi dirasa masih cukup baik manfaatnya, hanya saja diperlukan surveilans terhadap serotipe yang ada dilapangan agar bisa memberikan proteksi terbaik dengan melakukan pemilihan strain vaksin yang sesuai. Vaksinasi dengan H120 atau clone dan varian penggunaannya harus benar-benar berdasarkan kondisi tantangan di kandang. Maternal antibodi induk (MAb) secara teori bisa bertahan dan memberikan perlindungan ke anak ayam sampai usia 2-3 minggu, sedangkan kekebalan humoral yang terbentuk dari vaksinasi biasanya muncul 10-14 hari setelah dilakukan vaksinasi. Kombinasi dengan penggunaan vaksin IB kill juga lazim dilakukan para peternak (ND + IB kill, ND EDS IB) untuk mendapatkan kekebalan seluler yang durasi proteksinya relatif lebih lama daripada vaksin hidup. Jika terjadi kasus IB akut di lapangan, pemberian sodium salicylate 1gm / liter bisa dilakukan untuk mengurangi keparahan dan antibiotik diindikasikan untuk mengontrol infeksi sekunder. Baca juga : Program vaksin di peternakan Ayam.

Referensi :

  1. https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/33322366/
  2. https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/16537157/
  3. https://www.sciencedirect.com/topics/veterinary-science-and-veterinary-medicine/coronavirus
  4. https://www.poultryworld.net/Health/health_tool/Infectious-bronchitis/
  5. https://www.thepoultrysite.com/disease-guide/infectious-bronchitis-ib
Avian Influenza (AI)

Avian Influenza (AI)

Avian influenza umumnya disebabkan oleh virus avian influenza tipe A. Penyakit yang juga dikenal dengan nama flu burung ini muncul di antara burung air liar di seluruh dunia dan dapat menginfeksi unggas peliharaan, spesies burung dan hewan lainnya. Avian influenza tipe A sangat menular di antara burung dan bahkan membunuh spesies burung/unggas peliharaan tertentu termasuk ayam, bebek, dan kalkun. Unggas/burung yang terinfeksi dapat menyebarkan virus avian influenza A melalui air liur, sekresi hidung, dan kotorannya.

Virus AI dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu patogen rendah (low pathogenic avian influenza/LPAI) dan sangat patogen (high pathogenic avian influenza/HPAI). Hal ini mengacu pada karakteristik molekuler dari virus dan kemampuan virus untuk menyebabkan penyakit dan kematian. Infeksi virus LPAI biasanya tidak menyebabkan penyakit atau hanya penyakit ringan saja (seperti bulu yang kusut dan produksi telur yang turun) dan mungkin tidak terdeteksi, sedangkan virus HPAI dapat menyebabkan penyakit yang parah dengan kematian yang tinggi. Virus HPAI dan LPAI dapat menyebar dengan cepat melalui ternak unggas, namun pada bebek terkadang bisa tertular tanpa ada tanda-tanda penyakit. Virus AI telah berhasil diisolasi dari lebih dari 100 spesies burung liar yang berbeda. Oleh karena itu, ketika kita memelihara ternak domestik (layer/broiler/kalkun) sebaiknya juga melakukan kontrol terhadap burung liar dan juga unggas air seperti bebek dan angsa karena mereka termasuk reservoir (inang) virus avian influenza A yang beresiko menularkan ke ternak kita.

Gejala utama HPAI pada unggas adalah depresi, kehilangan nafsu makan, penurunan produksi bertelur, pembengkakan dan warna biru pada jengger dan pial akibat gangguan sirkulasi darah, batuk, bersin dan diare. Kematian mendadak bisa terjadi tanpa tanda-tanda sebelumnya. Tingkat kematian dapat mencapai hingga 100% tergantung pada spesies, usia mereka, jenis virus yang terlibat dan faktor lingkungan seperti infeksi bakteri yang terjadi bersamaan. Sedangkan gejala klinis LPAI terutama terdiri dari penyakit pernafasan ringan, depresi dan penurunan produksi telur pada unggas petelur. Infeksi virus HPAI pada unggas seperti virus H5 atau H7 dapat menyebabkan penyakit yang menyerang berbagai organ dalam dengan mortalitas 100% dalam waktu singkat (48 jam).

Wabah AI menjadi perhatian serius pada unggas peliharaan karena potensi virus H5 dan H7 yang sangat patogen, potensi penyebaran yang cepat dengan angka kesakitan dan kematian yang tinggi, dampak ekonomi dan pembatasan perdagangan serta adanya resiko virus avian influenza A menular ke manusia. Walaupun kejadian virus avian influenza A tidak biasanya menginfeksi manusia, tetapi infeksi sporadis pernah dilaporkan. Kejadian pada manusia memiliki tingkat keparahan yang beragam, dari asimtomatik, ringan, parah dan fatal. Infeksi pada manusia paling sering terjadi setelah kontak dengan unggas yang terinfeksi atau sekresi/ekskresinya. Subtipe virus avian influenza A yang diketahui menginfeksi manusia adalah virus H5, H7 dan H9 (H5N1 dan H7N9 paling dominan). Infeksi virus LPAI H9N2 sporadis pada manusia telah dilaporkan di beberapa negara (China, Bangladesh, Mesir). H9N2 paling sering menyerang anak-anak dengan gejala penyakit saluran pernapasan bagian atas ringan, tetapi pneumonia juga pernah dilaporkan pada orang dewasa yang mengalami gangguan kekebalan/imunosupresi dan satu kasus fatal dilaporkan di Cina.

Ketika wabah AI H5 atau H7 terjadi pada unggas, langkah depopulasi/stamping out biasanya harus dilakukan. Surveilans terhadap flok yang berdekatan atau terkait dengan flok yang terinfeksi dan juga proses karantina dengan pemusnahan (jika penyakit terdeteksi) adalah metode pengendalian dan pemberantasan yang idealnya harus dilakukan agar wabah segera bisa diatasi.

Pada peternakan ayam, tindakan pencegahan dengan proses biosekuriti seperti pembersihan dan desinfeksi menjadi sangat penting mengingat resiko yang tinggi jika AI sampai menyerang. Pada area kompleks peternakan, kesadaran bersama dalam program pengendalian penyakit di antara peternak dan kerjasama semua orang di sektor unggas diperlukan untuk memastikan bahwa tindakan biosekuriti yang ketat diterapkan secara baik dan berkesinambungan. Di Indonesia, vaksinasi termasuk dalam upaya pengendalian AI di lapangan. Namun demikian, keberadaan sejumlah besar subtipe virus yang berbeda di lapangan tidak jarang menimbulkan masalah tersendiri terkait proses produksi dan pemilihan jenis vaksin influenza yang sesuai. Pastikan kita melakukan tindakan pencegahan yang terbaik agar ternak kita aman dari gangguan Avian Influenza tipe A ini.

Referensi :

  1. https://www.cdc.gov/flu/avianflu/index.htm
  2. https://www.who.int/influenza/resources/avian_influenza/en/
  3. https://www.thepoultrysite.com/articles/avian-influenza-in-poultry
Mikoplasma Pada Unggas

Mikoplasma Pada Unggas

Mikoplasmosis pada unggas disebabkan oleh Mycoplasma spp., yangmana lebih dikenal sebagai agen bakterial dikalangan peternak. Akan tetapi, sebenarnya agak sulit untuk menempatkan penggolongannya karena para ahli menyatakan bahwa Mycoplasma itu bukan merupakan virus maupun bakteri. Apapun itu, spesies Mycoplasma yang paling signifikan dalam produksi unggas adalah M. gallisepticum, M. synoviae, M. meleagridis, M. iowae. Penyakit ini tersebar luas di seluruh dunia dan memiliki signifikansi ekonomi yang besar. Higiene dan antibiotik membantu pengendalian penyakit ini.

M. Gallisepticum

Infeksi MG biasanya disebut penyakit pernapasan kronis (CRD) pada ayam dan sinusitis infeksius pada kalkun. Penyakit ini berlangsung lama dan gejala muncul perlahan-lahan, antara lain saluran napas, batuk, ingus, sinusitis dengan pembengkakan sinus pada kalkun. Infeksi seringkali dipersulit oleh E. coli. Terkadang, CRD ini disalah artikan sebagai snot / coriza karena gejalanya mirip. Baca juga : Infectious Coriza pada Unggas. Penyakit CRD ini sering kali ditemukan pada peternakan ayam broiler dan layer. Program medikasi biasanya menjadi alternatif pengobatan yang dilakukan di peternakan untuk mengurangi resiko kerugian. Pada beberapa kasus di peternakan layer/petelor yang mungkin berat atau peternakan skala industri (breeding), penggunaan vaksin juga menjadi pilihan.

M. Synoviae

Hal ini sering menyebabkan infeksi saluran pernapasan atas subklinis atau, bila sistemik, sinovitis menular pada ayam dan kalkun. Gangguan sendi sering kali juga dihubungkan dengan patogen ini. Gejala yang mungkin bisa diamati adalah bengkak pada persendian kaki dan malas bergerak.

M. Meleagridis

Patogen khusus untuk kalkun Ini adalah penekan kekebalan dan menginduksi tanda-tanda klinis seperti airsacculitis, kelainan tulang dan kinerja pertumbuhan yang buruk. Ini dapat dikaitkan dengan Mycoplasma atau patogen lain.

M. Iowae

Ini adalah penyakit penting di tingkat peternak kalkun, karena menyebabkan penurunan daya tetas serta kematian embrio.

Kita tahu sekarang bahwa mikoplasma ada beberapa spesies, namun demikian CRD sepertinya menjadi penyakit yang paling umum ditemukan di Indonesia karena peternakan kalkun di masih belum ada dalam skala industri yang besar. Penerapan management dan sanitasi lingkungan turut membantu dalam program pengendalian penyakit ini. Antibiotik atau vaksin sudah biasa juga dipraktekkan di lingkungan peternakan unggas untuk meminimalkan resiko. Baca juga : Program vaksin di Peternakan Ayam.

Referensi :

  1. http://www.fao.org/ag/againfo/programmes/en/empres/gemp/avis/poult-over/tools/0-tabl-bacterial-infections.html
  2. https://www.oie.int/doc/ged/D9309.PDF
Infectious Coriza pada Unggas

Infectious Coriza pada Unggas

Ini adalah penyakit pernapasan akut yang disebabkan oleh Avibacterium (Haemophilus)paragallinarum. Hal ini dapat terjadi pada ayam yang sedang tumbuh dan ayam petelur, menyebabkan peningkatan jumlah kematiann dan penurunan yang nyata (10-40%) dalam produksi telur. Semua umur rentan, unggas pembawa kronis dan sehat dapat menjadi reservoir penularan. Gejalanya sebagian besar berupa cairan hidung, edema wajah dan konjungtivitis, gangguan pertumbuhan dan hilangnya produksi telur. Vaksinasi dan antibiotik dapat digunakan untuk mencegah atau mengobati infeksi ini.

Sifat infeksi coryza yang sangat berbeda ketika ada patogen lain dan faktor stres telah dibuktikan oleh laporan dari negara-negara seperti Argentina, India, Maroko, dan Thailand. Presentasi klinis yang unik seperti artritis dan septikemia, yang diduga adanya patogen lain yang terdeteksi, seperti Mycoplasma gallisepticum, M. synoviae, Pasteurella spp., Salmonella spp., Dan virus ini telah ditemukan pada ayam pedaging dan ayam petelur di Argentina. Isolasi H. paragallinarum dari organ non-pernafasan seperti hati, ginjal, dan tarsus dilaporkan untuk pertama kalinya pada wabah ini. Di distrik Kurnool di India, coryza menular telah dilaporkan sebagai penyakit bakteri terpenting kedua yang terkait dengan kematian setelah salmonellosis. Sebuah penelitian di Maroko melaporkan 10 wabah coryza yang dikaitkan dengan penurunan produksi telur 14 hingga 41% dan kematian 0,7 hingga 10%. Sebuah penelitian terhadap ayam kampung di Thailand telah melaporkan bahwa coryza adalah penyebab kematian paling umum pada ayam berusia kurang dari 2 bulan dan ayam berusia di atas 6 bulan. Secara keseluruhan, laporan ini menekankan bahwa tanda klinis dan dampak ekonomi dari infeksi coryza yang terlihat di negara berkembang dapat sangat berbeda dari infeksi yang biasanya terlihat di negara maju. Baca juga : Klasifikasi Penyakit Unggas.

Diagnosa dapat ditegakkan pada tanda lesi, identifikasi bakteri pada apusan yang diwarnai Gram dari sinus. Konfirmasi dilakukan dengan isolasi dan identifikasi – memerlukan faktor X (Haematin) dan V (NAD), lebih disukai dalam peningkatan CO2 seperti wadah lilin. Serologi: HI, DID, aglutinasi dan IF semuanya telah digunakan tetapi tidak rutin.

Pengobatan terhadap Coriza dapat menggunakan antibiotik seperti Streptomisin, dihidrostreptomisin, sulfonamida, tylosin, eritromisin. Flouroquinolones bersifat bakterisidal dan mungkin mencegah karier. Sedangkan upaya pencegahan dapat dilakukan dengan kebijakan produksi all-in / all-out. Vaksin setidaknya diperlukan dua dosis,walaupun mungkin tidak sepenuhnya melindungi dari semua strain tetapi mengurangi keparahan. Baca juga : Program vaksin di Peternakan Ayam.

Referensi :

  1. http://www.fao.org/ag/againfo/programmes/en/empres/gemp/avis/poult-over/tools/0-tabl-bacterial-infections.html
  2. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC88928/
  3. https://www.thepoultrysite.com/disease-guide/infectious-coryza
Newcastle Disease pada Unggas

Newcastle Disease pada Unggas

Penyakit Newcastle (ND) atau tetelo adalah penyakit yang sangat menular dan seringkali ditemukan di seluruh dunia, disebabkan oleh keluarga paramyxovirus. Penyakit ini muncul dalam tiga bentuk, lentogenic/ringan, mesogenic/sedang dan velogenic/sangat virulen. Biasanya muncul gejala klinis berupa penyakit pernapasan, tetapi depresi, manifestasi saraf, atau diare mungkin merupakan bentuk klinis yang dominan. Ditemukan di seluruh dunia, penyakit ini saat ini telah dikendalikan di Kanada, Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa Barat. ND masih berlanjut di beberapa bagian Afrika, Asia dan Amerika Selatan. Namun, karena burung liar terkadang dapat membawa virus tanpa menjadi sakit, wabah dapat terjadi di mana pun unggas dibesarkan.

Penyakit ND paling sering ditularkan melalui kontak langsung dengan unggas yang sakit atau pembawa penyakit/carrier. Unggas yang terinfeksi dapat menyebarkan virus melalui kotorannya dan mencemari lingkungan kemudian penularan terjadi melalui kontak langsung dengan kotoran. Makanan, air, peralatan, dan pakaian manusia yang terkontaminasi juga menjadi faktor resiko penyebaran. Virus dapat bertahan hidup selama beberapa minggu di lingkungan, terutama pada cuaca yang sejuk. Burung liar juga telah terbukti menyebabkan wabah pada unggas peliharaan. Penyakit ini sangat menular, ketika virus masuk ke dalam kandang hampir semua unggas akan tertular dalam 2 -6 hari. Baca juga : Klasifikasi Penyakit Unggas.

Bagaimana resiko terhadap kesehatan manusia? Banyak yang tidak menyadari bahwa ND adalah merupakan zoonosis minor (penyakit hewan yang juga dapat menginfeksi manusia). ND dapat menyebabkan konjungtivitis pada manusia, namun kondisi tersebut umumnya sangat ringan dan dapat sembuh sendiri. Penyakit Newcastle yang ganas bukanlah masalah keamanan pangan. Tidak ada kasus penyakit Newcastle pada manusia yang pernah terjadi karena memakan produk unggas. Produk unggas yang dimasak dengan benar aman untuk dimakan.

Tanda-tanda klinis ND sangat bervariasi dan bergantung pada faktor-faktor seperti jenis virus, spesies burung/unggas yang terinfeksi, umur (muda yang paling rentan), infeksi bersamaan dengan organisme lain, faktor lingkungan dan status kekebalan. Dalam beberapa keadaan, infeksi strain virus yang sangat ganas dapat mengakibatkan banyak unggas ditemukan mati dengan gejala klinis yang relatif sedikit. Penyakit ini timbul dengan cepat dengan gejala yang muncul antara 2 – 12 hari setelah terpapar, dan menyebar dengan cepat melalui kawanan. Beberapa strain virus ND juga menyerang sistem saraf, sistem pernapasan, atau pencernaan. Pada kondisi ini gejala yang muncul biasanya adalah :

  1. gangguan pernapasan – terengah-engah, batuk, bersin
  2. gangguan saraf – tremor, sayap dan kaki lumpuh, leher bengkok, berputar-putar, kejang, dan kelumpuhan;
  3. gangguan pencernaan – diare
  4. penurunan produksi telur sebagian atau seluruhnya dapat terjadi. Telur mungkin abnormal dalam warna, bentuk, atau permukaan, dan memiliki albumen encer
  5. mortalitas bervariasi tetapi bisa mencapai 100%.

Penyakit ND dapat memberikan gambaran klinis yang sangat mirip dengan flu burung, sehingga pengujian laboratorium penting untuk memastikan diagnosis. Metode diagnosis yang disukai adalah isolasi virus dan karakterisasi. Tindakan vaksinasi untuk upaya pencegahan/profilaksis umum dilakukan, kemudian didukung dengan surveilans dan menerapkan prosedur biosekuriti menjadi hal yang penting dan efektif untuk mencegah masuknya penyakit ND ini. Biosekuriti yang bisa dilakukan adalah mencuci tangan sebelum dan setelah menangani unggas, memakai alas kaki khusus dan pakaian saat keluar masuk kandang, bersihkan dan disinfeksi alat kandang, perhatikan tanda-tanda penyakit dan laporkan unggas yang sakit segera. Baca juga : Pentingnya Biosekuriti pada Peternakan Babi.

Ketika penyakit ND muncul di suatu wilayah, hal yang bisa dilakukan adalah :

  1. isolasi ketat atau karantina
  2. pemusnahan semua burung/unggas yang tertular dan terpapar, serta pembuangan karkas yang benar (OIE Terrestrial Animal Health Code)
  3. pembersihan dan desinfeksi tempat secara menyeluruh
  4. pengendalian hama pada ternak
  5. depopulasi diikuti dengan 21 hari tanpa unggas sebelum restocking
  6. menghindari kontak dengan burung yang status kesehatannya tidak diketahui
  7. kontrol akses ke peternakan unggas.

Referensi :

  1. https://www.oie.int/en/animal-health-in-the-world/animal-diseases/newcastle-disease/
  2. https://www.aphis.usda.gov/aphis/ourfocus/animalhealth/animal-disease-information/avian/virulent-newcastle/vnd
  3. http://www.poultryhub.org/health/disease/types-of-disease/newcastle-disease/
error: Content is protected !!