Prospek dan Tantangan Peternakan 2024

Prospek dan Tantangan Peternakan 2024

Prospek peternakan di Indonesia pada tahun 2024 diperkirakan akan tetap positif. Hal ini didukung oleh beberapa faktor, antara lain:

  • Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang diperkirakan mencapai 5,15% pada tahun 2024. Pertumbuhan ekonomi yang positif akan meningkatkan daya beli masyarakat, sehingga permintaan akan produk peternakan juga akan meningkat.
  • Peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya konsumsi protein hewani. Protein hewani merupakan sumber nutrisi yang penting bagi kesehatan, sehingga permintaan akan produk peternakan, seperti daging, telur, dan susu, diperkirakan akan terus meningkat.
  • Pemerintah Indonesia yang terus mendorong pengembangan industri peternakan. Pemerintah telah menetapkan target swasembada daging sapi pada tahun 2026. Untuk mencapai target tersebut, pemerintah telah melakukan berbagai upaya, seperti penyediaan bibit ternak yang berkualitas, pemberian subsidi, dan pengembangan teknologi peternakan.

Berdasarkan faktor-faktor tersebut, komoditas peternakan yang diperkirakan akan memiliki prospek yang baik di tahun 2024 adalah:

  • Daging sapi. Permintaan akan daging sapi diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya konsumsi protein hewani.
  • Telur. Permintaan akan telur juga diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan peningkatan daya beli masyarakat dan kesadaran masyarakat akan pentingnya konsumsi protein hewani.
  • Susu. Permintaan akan susu juga diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan peningkatan daya beli masyarakat dan kesadaran masyarakat akan pentingnya konsumsi protein hewani.

Selain komoditas-komoditas tersebut, komoditas peternakan lain yang juga memiliki prospek yang baik di tahun 2024 adalah:

  • Daging ayam
  • Daging kambing
  • Daging domba
  • Susu sapi
  • Susu kambing

Untuk memanfaatkan prospek yang baik tersebut, para pelaku usaha peternakan perlu meningkatkan produktivitas dan efisiensi usahanya. Selain itu, para pelaku usaha peternakan juga perlu berinovasi dan mengembangkan produk baru yang sesuai dengan kebutuhan konsumen.

Selain prospek yang positif, industri peternakan juga menghadapi beberapa tantangan, antara lain:

  • Harga pakan yang tinggi. Harga pakan merupakan salah satu biaya produksi yang paling besar dalam usaha peternakan. Harga pakan yang tinggi akan menyebabkan biaya produksi juga menjadi tinggi, sehingga akan mengurangi keuntungan usaha peternakan.
    Image of Harga pakan yang tinggi
  • Kelangkaan tenaga kerja. Tenaga kerja merupakan salah satu faktor produksi yang penting dalam usaha peternakan. Namun, saat ini, tenaga kerja yang terampil di bidang peternakan masih terbatas. Hal ini akan menyebabkan kesulitan bagi pelaku usaha peternakan untuk mendapatkan tenaga kerja yang berkualitas.
    Image of Kelangkaan tenaga kerja
  • Penyakit hewan. Penyakit hewan merupakan salah satu ancaman serius bagi industri peternakan. Penyakit hewan dapat menyebabkan kematian ternak, sehingga akan menurunkan produksi dan pendapatan usaha peternakan. Semua ternak memiliki resiko penyakit yang harus diwaspadai, seperti Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) dan Lumphy Skin Disease (LSD) pada ternak sapi, African Swine Fever (ASF) pada ternak babi, Newcastle Disease, Avian Influenza, Infectious Bursal Disease dan Infectious Coryza pada unggas.
  • Perubahan iklim. Perubahan iklim dapat berdampak negatif terhadap industri peternakan. Perubahan iklim dapat menyebabkan kekeringan, banjir, dan hama, sehingga akan mengganggu produksi ternak.
    Image of Perubahan iklim

Untuk mengatasi tantangan-tantangan tersebut, para pelaku usaha peternakan perlu melakukan berbagai upaya, antara lain:

  • Mencari sumber pakan alternatif. Para pelaku usaha peternakan perlu mencari sumber pakan alternatif yang lebih murah dan tersedia secara lokal.
  • Meningkatkan produktivitas ternak. Para pelaku usaha peternakan perlu meningkatkan produktivitas ternak agar dapat mengurangi biaya produksi.
  • Meningkatkan keterampilan tenaga kerja. Para pelaku usaha peternakan perlu meningkatkan keterampilan tenaga kerja agar dapat meningkatkan produktivitas dan efisiensi usaha.
  • Meningkatkan biosekuriti. Para pelaku usaha peternakan perlu meningkatkan biosekuriti untuk mencegah penyebaran penyakit hewan. Vaksinasi juga menjadi faktor penting dalam program pengendalian penyakit. Baca juga : Biosekuriti di era new normal
  • Beradaptasi dengan perubahan iklim. Para pelaku usaha peternakan perlu beradaptasi dengan perubahan iklim dengan menerapkan praktik peternakan yang lebih ramah lingkungan.

Jadi peluang itu ada, hanya kita harus benar-benar berhitung dan mempersiapkan semuanya dengan matang. Dengan kita siap dan mampu menghadapi tantangan-tantangan yang ada saat ini, industri peternakan di Indonesia diharapkan dapat terus berkembang dan memenuhi kebutuhan masyarakat akan protein hewani.

Referensi :

  1. https://www.idxchannel.com/economics/harga-pakan-ternak-terlalu-tinggi-ternyata-ini-sebabnya
  2. https://buletin.bpdp.or.id/?p=1015 Isu kelangkaan tenaga kerja ditengah pandemi
Biosekuriti pada Peternakan Babi

Biosekuriti pada Peternakan Babi

Persepsi tentang pentingnya kesehatan hewan dan hubungannya dengan biosekuriti semakin meningkat dalam beberapa tahun terakhir, terutama karena adanya penyakit seperti African Swine Fever (ASF) dan Porcine Epidemic Diarrhoea (PED). Biosekuriti yang lebih baik dapat membantu meningkatkan produktivitas dan berkontribusi mengurangi penggunaan antibiotik. Biosekuriti dapat didefinisikan sebagai penerapan langkah-langkah yang bertujuan untuk mengurangi resiko kemungkinan masuknya patogen (eksternal) dan penyebaran patogen lebih lanjut di dalam peternakan (internal).

Pengetahuan tentang epidemiologi penyakit idealnya menjadi referensi dalam menentukan strategi biosekuriti di lapangan. Dalam menyusun program biosekuriti yang efektif, dokter hewan harus mengetahui bagaimana penyakit ditularkan, resiko dan kepentingannya, tindakan mitigasi mana yang dianggap lebih efektif dan bagaimana mengevaluasi biosekuriti yang dijalankan dan perubahan yang mungkin diperlukan. Oleh karena itu, dalam artikel kali ini kita akan belajar bersama tentang tinjauan teknis yang bisa menjadi sumber informasi mengenai langkah-langkah biosekuriti eksternal dan internal untuk mengurangi resiko penyakit pada peternakan babi, epidemiologi penyakit serta analisis resiko dan penilaian biosekuriti.

Pencegahan penyakit menular pada babi penting untuk kesejahteraan hewan dan produktivitas ekonomi. Selain itu, pencegahan juga penting untuk keamanan pangan dan kesehatan masyarakat ketika patogen zoonosis menjadi perhatian. Biosecurity mencakup semua aspek pencegahan patogen masuk dan menyebar dalam kelompok hewan. Penerapan langkah-langkah biosekuriti di sepanjang rantai produksi meminimalkan risiko masuknya patogen baru ke dalam peternakan, serta penyebarannya di dalam peternakan. Namun demikian, implementasi program biosekuriti yang berkelanjutan dan peningkatannya yang berkelanjutan masih menjadi tantangan bagi banyak peternakan babi.

Konsep biosekuriti pada peternakan babi global ada sejak dekade 1960, dimana produksi babi bergeser secara progresif dari sistem peternakan kecil skala keluarga menuju industri skala besar.  Lalu pada dekade 1980, konsep “minimal disease” atau “specific-pathogen free farms” mulai umum dan mengarah pada konsep biosekuriti yang lebih modern. Definisi awal tentang biosekuriti adalah sebagai bentuk keamanan dari penularan penyakit menular, parasit dan hama. Konsep dan persepsi penyakit telah berubah dari level individu ke peternakan dan dari peternakan ke wilayah karena hal ini menjadi salah satu elemen kunci dalam keberhasilan produksi ternak babi.

BIOSEKURITI EKSTERNAL

Secara umum, biosekuriti eksternal dapat dipahami secara intuitif sebagai pemblokiran peternakan dari bahaya yang datang dari dunia luar. Tindakan ini berfungsi sebagai penghalang fisik yang melarang/membatasi masuknya hewan, manusia, atau kendaraan tertentu.

Lalu lintas ternak. Pengenalan induk pengganti/masuknya hewan baru atau penggunaan semen menjadi faktor resiko tertinggi dalam penularan patogen baru jika kita tidak mengerti asalnya. Untuk menjaga produktifitas ternak babi tetap baik, maka proses peremajaan induk harus dilakukan. Minimal dalam 2-2,5 tahun, umumnya populasi indukan akan berganti agar usaha peternakan tetap optimal. Calon induk bisa diperoleh dari produksi kandang sendiri dengan memilih anakan betina unggul yang dihasilkan, atau membeli dari peternakan lain yang terpercaya. Namun, membeli calon induk dari luar ini ada konsekwensi ganda, yaitu semakin tinggi frekuensi entri baru, semakin tinggi kemungkinan masuknya patogen baru dan semakin tinggi tingkat penggantian induk, semakin sulit mempertahankan level kekebalan dalam kawanan terhadap patogen yang sudah ada di kandang.

Dengan asumsi bahwa masih banyak peternakan yang bergantung pada calon induk eksternal, maka cara pengelolaan hewan baru tersebut akan menjadi kunci keberhasilan. Proses  karantina harus dilakukan untuk memastikan calon induk baru tidak menjadi sumber penularan patogen baru di kandang kita, baru kemudian dilanjutkan dengan proses aklimatisasi untuk mengenalkan calon induk dengan patogen yang sudah bersirkulasi dikandang dan beradaptasi sehingga saat nanti dimasukkan dalam kawanan sudah siap. Proses karantina yang dirancang dan dikelola dengan baik adalah tindakan paling efektif untuk mengurangi risiko yang terkait dengan masuknya patogen eksternal.

Jika kita baru mengawali usaha peternakan babi, proses karantina harus dikelola dalam sistem all-in/all-out (AIAO) yang ketat untuk menghindari potensi penularan patogen antar batch calon induk yang berbeda. Peternak idealnya harus sudah menetapkan target produksi, kapasitas kandang dan memikirkan alur pemasukan ternak dengan baik agar performa yang dihasilkan stabil. Sistem AIAO ini bisa dilakukan dengan intervensi penggunaan preparat hormon untuk proses sinkronisasi estrus pada calon induk. Ingat, semakin besar jumlah batch kawanan induk/calon induk, maka semakin besar ruang yang dibutuhkan untuk menampungnya.

Lokasi kandang karantina yang ideal adalah >1 km dari unit kandang babi lainnya. Jarak ini relatif aman untuk mengantisipasi penularan sebagian besar patogen, terutama yang melalui udara dan juga menurunkan resiko penularan karena vektor hewan pengerat, lalat, dll. Yang patut menjadikan perhatian adalah virus Aujeszky, virus penyakit mulut dan kuku (PMK), porcine reproductive and respiratory syndrome (PRRS), dan bakteri Mycoplasma hyopneumoniae karena telah dilaporkan berpotensi ditularkan melalui udara dari radius yang lebih jauh.

Peternakan modern telah menambahkan filter udara khusus untuk mengantisipasi tantangan ini. Filter HEPA adalah gold standard untuk penyaringan udara karena dapat menahan debu atau partikel yang berukuran mikron. Dalam kondisi laboratorium, kombinasi filter halus (EU kelas M dan F) menghasilkan efektifitas penyaringan > 98% terhadap virus equine arteritvis dan > 99,9% terhadap bakteri Actinobacillus pleuropneumoniae (APP), sedangkan filter MERV 14 (EU 8) atau filter polypropylene berlapis yang diperlakukan dengan senyawa mikrobiosidal sepenuhnya efisien untuk memblokir virus PRRS atau M. hyopneumoniae.

Lalu, berapa lama proses karantina yang baik? Hal ini tergantung 3 elemen, yaitu masa inkubasi penyakit yang terdeteksi, durasi penularan penyakitnya dan waktu untuk menegakkan diagnosa. Observasi status kesehatan ini dilakukan dengan pemeriksaan calon induk setiap hari, dan jika ditemukan hasil positif patogen yang tidak diinginkan, maka isolasi juga harus diperpanjang sampai status kesehatannya baik sebelum lanjut ke proses aklimatisasi.

Perlu dicatat bahwa proses karantina dan aklimatisasi adalah konsep yang agak bertentangan dan berbeda. Karantina bertujuan untuk menghindari masuknya patogen yang dibawa oleh hewan baru yang masuk sehingga mewajibkan meminimal kontak (lokasi sebaiknya terpisah), sedangkan aklimatisasi adalah proses lanjutannya yang dilakukan untuk mengembangkan kekebalan terhadap patogen yang ada di peternakan yang  membutuhkan kontak dekat antara hewan baru baru dan kawanan yang sudah ada di kandang ataupun dengan vaksinasi.

Lalu lintas Orang dan Kendaraan. Orang dan kendaraan dapat menjadi jalur penting untuk penularan penyakit di peternakan. Peternakan biasanya menerima kunjungan orang dan kendaraan baik itu pekerja kandang, dokter hewan, tukang, pengangkutan bahan pakan dan bangkai. Fomites (sepatu bot, pakaian, peralatan dll)  dan orang melalui kulit yang terkontaminasi dapat menyebarkan patogen seperti Salmonella, PRRS, PED, TGE, Brachyspira atau Lawsonia.

Risiko yang terkait dengan kunjungan dapat diminimalkan dengan kombinasi tindakan penghalangan dan peraturan yang membatasi lalu lintas ke area pemeliharaan ternak. Sebaiknya hanya yang berkepentingan saja yang memiliki akses ke dalam lokasi kandang atau jika memang harus masuk maka ada peraturan yang harus ditaati untuk meminimalkan risiko.

Penetapan batasan area bersih dan kotor sangatlah penting.  Bersihkan area yang berada di dalam perimeter peternakan dan  yang bersentuhan dengan ternak babi. Pintu masuk, dinding, kamar mandi, ruang ganti, jalur transportasi harus dibedakan dengan jelas sehingga tidak ada yang boleh melintasi area kotor menuju area bersih tanpa didekontaminasi.

Pagar pembatas dengan pintu tertutup permanen sebaiknya hanya bisa dibuka dari dalam lokasi peternakan, sedangkan pagar keliling juga penting untuk membatasi akses hewan liar seperti babi hutan, anjing, kucing dll. Area parkir sebaiknya ada diluar peternakan, terlebih kendaraan yang tamu.

Kendaraan, pengemudi dan pekerja yang terlibat pengiriman bahan pakan atau mengumpulkan hewan mati sebaiknya juga dipikirkan dengan matang agar kontak bisa diminimalkan. Penempatan gudang pakan/silo, sebaiknya diluar area kandang sehingga mobil tidak mempunyai akses untuk kontak dengan ternak. Sedangkan untuk penanganan hewan mati/bangkai, sebaiknya juga ada jalur khusus yang berbeda dan tidak melewati area ternak sehingga kendaraan pengangkut bangkai ini mudah dalam mengakses tempat penampungan bangkai yang ditempatkan di luar pagar pembatas dan menghindari truk pengumpul memasuki peternakan.

Langkah selanjutnya adalah menetapkan aturan untuk memasuki fasilitas yang berhubungan langsung dengan ternak. Dalam kondisi apapun kendaraan, pengemudi, atau personel asisten lainnya tidak boleh melakukan kontak dengan hewan jika tidak ada keperluan, karena kotoran yang terkontaminasi dalam jumlah kecil di alas kaki/pakaian pengemudi cukup untuk menginfeksi peternakan. Jika ada dokter hewan luar yang perlu masuk ke lokasi kandang, sebaiknya sudah mendapatkan persetujuan terkait maksud dan tujuannya.

Idealnya, prosedur biosekuriti sebelum masuk ke lokasi ternak mewajibkan minimal 24-48 jam sebelumnya tamu tidak ada kontak dengan ternak lain. Di peternakan dengan standar yang baik membutuhkan setidaknya mencuci tangan/mandi, mengganti pakaian luar dan sepatu bot, semprot/celup desinfektan dan sinar UV untuk barang-barang bawaan (HP, laptop dll) karena  resiko penularan dari kontaminasi rambut atau adanya patogen di mukosa oronasal.

Terkait ancaman African Swine Fever (ASF) saat ini, maka konsumsi produk daging babi di peternakan harus dihindari.

Transportasi hewan. Walaupun masih termasuk kendaraan, akan tetapi kendaraan yang digunakan khusus untuk mengangkut hewan antar peternakan atau ke rumah jagal dan pengemudinya dapat memiliki peran penting dalam transmisi patogen antar peternakan. Bagaimana sebaiknya pengaturannya?

Kendaraan ini sebaiknya memang diinvestasikan khusus untuk transportasi ternak yang aman saja. Sebaiknya truk yang ditujukan untuk pengangkutan calon induk, tidak boleh digunakan untuk mengangkut hewan ke rumah potong hewan.  Oleh karena itu, membuat daftar batasan untuk setiap kendaraan beserta desain rutenya akan menjadi langkah pertama yang krusial, kemudian penetapan prosedur proses pembersihan dan disinfeksi truk harus dilakukan secara terencana dan teliti.

Agar pembersihan dan disinfeksi kendaraan ini efektif, maka  prosesnya harus mencakup pembersihan bahan organik terlebih dahulu, dilanjutkan dengan pembersihan dengan air (sebaiknya air panas dan sabun/kerak), lalu dikeringkan dan terakhir baru proses desinfeksi dengan desinfektan. Jadi pastikan materi organik dari setiap sudut dan ceruk di bak truk bisa dibersihkan agar kinerja desinfektan bisa optimal. Tantangan terjadi di musim dingin, karena pengeringan truk secara alami bisa memakan waktu berhari-hari.

Proses transportasi ternak adalah salah satu situasi paling kritis karena terkait kontak hewan di peternakan dengan kendaraan dan atau orang dari luar peternakan. Dengan situasi tantangan ASF saat ini, pendekatan terbaik untuk meminimalkan risiko adalah membangun lokasi khusus untuk bongkar muat di lingkungan kandang (perbatasan area bersih/kandang dan kotor/area truk parkir) atau meeting point yang agak jauh dari area kandang (kendaraan penjual dan pembeli bertemu dengan tetap meminimalkan kontak).

Lingkungan. Lokasi peternakan yang saling berdekatan juga menjadi tantangan tersendiri. Probabilitas infeksi karena lokasi peternakan akan bervariasi dan dipengaruhi oleh populasi, jenis peternakan (pembibitan/penggemukan), keberadaan rumah pemotongan hewan (RPH), tempat pembuangan sampah atau bangkai dalam radius 1 km ke peternakan dapat meningkatkan kemungkinan tersebut.

Salah satu kemungkinan jalur penularan patogen antar tetangga adalah penyebaran melalui udara yangmana juga bervariasi tergantung kondisi cuaca dan kondisi tanah. PMK bisa menular hingga 10 km lebih, apalagi saat terjadi kelembaban tinggi > 60%, kecepatan angin rendah dengan arah stabil, suhu di < 27C dan tidak ada curah hujan. Untuk PRRSV, salah satu faktor utama kelangsungan hidup virus di aerosol adalah suhu dengan waktu paruh yang sangat singkat (kurang dari 30 menit) pada suhu 20C. Dalam kasus PRRSV, studi selama 2 tahun menunjukkan bahwa suhu dingin, tingkat sinar matahari yang rendah, angin dengan kecepatan rendah bersamaan dengan hembusan, peningkatan kelembaban dan tekanan adalah kondisi yang lebih mungkin mendukung transmisi via udara.

Jalur via udara, penularan patogen terkait dengan lingkungan adalah hewan pengerat, vektor mekanis seperti lalat, dan hewan lain (anjing, kucing) atau burung. Hewan pengerat, tikus, walaupun radius aksinya normal <150 m ternyata dapat menjadi pembawa banyak patogen yang menyerang babi, seperti beberapa serovar Salmonella, Leptospira, Yersinia pseudotuberculosis, Toxoplasma gondii, Campylobacter spp., Brachyspira spp., Lawsonia intracellularis atau virus encephalomyocarditis. Lalat yang mempunyai radius terbang 2-3 km dapat bertindak sebagai vektor mekanik untuk penularan PRRS, Streptococcus suis, atau Brachyspira spp. 

Beberapa spesies burung telah dikaitkan dengan wabah penyakit penyakit seperti TGE, Salmonella, Lawsonia intracellularis, Brachyspira hyopdisenteriae dan E. coli dan dapat bertindak sebagai reservoir. Penempatan jaring biasanya cukup membantu mengurangi resiko ini.

Pakan dan air. Bahan pakan itu sendiri umumnya tidak menimbulkan risiko karena kondisi higienis dalam produksi, terutama jika pakan tersebut diberi perlakuan panas. Misalnya, pembuatan pelet mampu menghilangkan porcine epidemic diarrhea virus (PED) dari bahan  pakan yang terkontaminasi. Ada penelitian yang menyebutkan bahwa virus PED, ASF, senecavirus-A (SVA), CSF(classical swine fever/hog cholera), Pseudorabies (PRV), dan PMK dapat ditemukan didalam bungkil kedelai, suplemen vitamin D, lisin dan kolin.

Strategi mitigasi proaktif terkait rantai bahan baku bisa dilakukan dengan mengembangkan fasilitas penyimpanan dan menentukan jadwal sampling untuk bahan yang dianggap berisiko lebih tinggi. Batasi lalu lintas orang (karyawan di pabrik pakan dan pengunjung, seperti tamu, supir truk, dan orang subkontraktor) dan kendaraan yang beresiko mengkontaminasi fasilitas pembuatan pakan.

Penambahan aditif seperti asam organik (format, laktat atau propionat), asam lemak dan minyak esensial telah terbukti memiliki khasiat melawan patogen tertentu. Penambahan formaldehyde telah terbukti efektif dalam mencegah risiko yang terkait dengan PED dan Salmonella, selain juga dapat menyebabkan perpindahan bakteri yang merugikan pada usus babi.  Mengingat pentingnya pakan untuk ternak, maka sangat disarankan untuk membeli dari pemasok yang memiliki reputasi baik dengan sistem jaminan mutu yang diakui.

Terkait dengan kontaminasi air minum, penyakit yang secara klasik dikaitkan adalah leptospirosis. Leptospira dari tikus dan hewan lain dapat mencemari air. Sebagian besar patogen yang mengikuti siklus penularan fekal-oral berpotensi terbawa melalui air, oleh karena itu, kualitas bakteriologis air harus diperiksa secara rutin minimal 1x setahun. Biofilm pada tangki dan pipa harus dibersihkan dan didesinfeksi secara teratur, selain juga pengolahan sumber air merupakan alat penting dalam manajemen risiko. Teknik pengolahan air umum yang bisa dilakukan adalah dengan menghilangkan kontaminan kimia dan biotik secara fisik melalui filtrasi (sistem reverse osmosis dan/atau menonaktifkan patogen dengan menerapkan sinar ultraviolet atau disinfektan oksidan kimia seperti klorin, kloramin dan ozon.

BIOSEKURITI INTERNAL

Biosekuriti internal bertujuan untuk mengurangi kemungkinan penyebaran patogen setelah peternakan terinfeksi. Hal ini meliputi langkah-langkah yang berkaitan dengan pengelolaan ternak, kebersihan umum fasilitas, pembersihan dan disinfeksi dan, dan juga personel.

Manajemen. Langkah-langkah terkait managemen ini bertujuan untuk mengelola ternak dengan mengontrol alur pemeliharaan untuk menghindari pencampuran babi dari kelompok umur yang berbeda. Pengaturan alur ini dapat dicapai dengan penerapan ketat sistem AIAO yang dilengkapi dengan pembersihan dan disinfeksi fasilitas untuk kelompok hewan baru.

Sistem AIAO dilaporkan efektif untuk mengurangi sirkulasi patogen sehingga mampu mengurangi jumlah dan variasi aplikasi penggunaan obat di peternakan. Walaupun demikian, kontrol alur ini ternyata belum cukup untuk kontrol semua penyakit, terutama untuk penyakit-penyakit yang penularannya dapat terjadi saat persalinan seperti PRRS, cross fostering, bahkan di antara ternak dalam satu kawanan yang sama.

Yang perlu kita pahami saat memelihara ternak babi adalah bahwa induk babi yang kita pelihara menjadi reservoir bagi banyak patogen yang ada di lokasi peternakan. Oleh karena itu, sejak akhir 1970-an sistem penyapihan dini mulai dipelajari dan dipraktekkan untuk mencegah penularan patogen sehingga mengurangi atau bahkan menghilangkan penyakit tertentu, walaupun hal ini sedikit mengabaikan aspek animal welfare.

Hal praktis lainnya yang juga harus diperhatikan adalah menetapkan rutinitas kerja bagi anak kandang untuk  mengatur lalu lintas orang. Rekomendasi yang ideal dalam handling ternak adalah membuat alur kerja mengikuti alur babi, yaitu dari yang umur muda ke yang lebih tua. Jadi pekerja yang sudah bekerja di unit penggemukan tidak boleh masuk ke kandang pembibitan untuk meminimalkan resiko.

Fasilitas Kandang. Desain dan bahan kandang, alas dan partisi/pembatas antar pen serta segala fasilitasnya harus berkontribusi mengurangi resiko penularan penyakit atau menghambat penyebarannya. Saat memulai usaha peternakan babi, maka sangat disarankan untuk merancang layout kandang yang baik sehingga alur pemeliharaan memungkinkan untuk ternak berpindah ke fase pemeliharaan selanjutnya tanpa melewati kandang bacth yang lebih muda.

Pengaturan untuk pekerja bisa dibedakan areanya dengan identitas yang berbeda (seragam, sepatu bot atau cat tembok yang berbeda antar fase pemeliharaan) sehingga pelanggaran wilayah kerja bisa diminimalkan karena pekerja dengan mudah akan teridentifikasi.

Contoh, lantai logam dan plastik lebih bersih baik digunakan untuk kandang melahirkan, walaupun mungkin sedikit kurang nyaman untuk ternak dan alas jerami mungkin lebih nyaman, tetapi meningkatkan risiko wabah diare. Sistem ventilasi juga harus ditambahkan agar sirkulasi lebih baik dan mengurangi jumlah mikroorganisme di lingkungan, terutama patogen pernapasan.

Pembersihan dan Desinfeksi Kandang. Mirip dengan proses pada truk, kandang juga harus dibersihkan terlebih dahulu dari sampah organik, lalu dicuci dengan air sabun/air panas, bilas dan dikeringkan, baru kemudian di desinfeksi.  Streptococcus suis dapat diantisipasi dengan penggunaan desinfektan yang mengandung senyawa fenil, klorin, dan yodium.

Kemudian terkait tindakan higienis saat pemberian vaksin dan obat-obatan, managemen jarum suntik harus dijalankan dengan baik. Seringkali pekerja melihat penggantian jarum sebagai pemborosan waktu sehingga perlu diingatkan dan dimonitor agar transmisi penyakit karena penggunaan jarum tidak dilakukan.  Idealnya adalah 1 induk 1 jarum, atau 1 jarum untuk 1 induk dan anak sekelahirannya.

Pekerja Kandang. Personel yang bekerja di peternakan juga memegang peran penting untuk menjaga biosekuriti internal. Misalnya, seorang pekerja di fase penggemukan tidak boleh pergi ke kandang breeding melahirkan. Untuk memudahkan, umumnya ada pewarnaan area dinding, alas kaki/bot dan pakaian seragam yang berbeda antar fase pemeliharaan.

Penggunaan sarung tangan, mencuci tangan secara berkala, dan perawatan footbath untuk merendam alas kaki akan mengurangi dampak pekerja yang bertindak sebagai sumber penularan. Khusus untuk foot bath membutuhkan perhatian yang terus menerus untuk menghindari penumpukan bahan organik yang berlebihan yang berpotensi menurunkan kinerja desinfektan. Waktu kontak menjadi point utama dalam pemilihan disinfektan mengingat proses ini berjalan relatif cepat. Jika di lokasi peternakan tidak tersedia footbath, maka paling ideal adalah memiliki alas kaki khusus di setiap fase pemeliharaan.

Agar proses desinfeksi optimal, sangat disarankan untuk terlebih dahulu membersihkan sepatu bot dari material organik dengan menggunakan sikat dan air sabun, baru diikuti proses perendaman sepatu bot yang sudah bersih ke dalam larutan disinfektan minimal 5 menit. Larutan desinfektan sebaiknya juga diganti setiap hari.

PENILAIAN BIOSEKURITI.

Tidak ada sistem yang sempurna, oleh karena itu saat sebuah peternakan sudah merancang dan menerapkan program biosekuriti harus tetap dilakukan evaluasi secara berkala. Penilaian tersebut dapat digunakan untuk memprioritaskan tindakan biosekuriti mana yang harus ditingkatkan atau diterapkan terlebih dahulu untuk mengurangi kemungkinan pengenalan dan/atau penyebaran penyakit. Evaluasi ini  memungkinkan untuk meningkatkan manajemen risiko yang terkait dengan penularan penyakit baik di tingkat peternakan maupun di tingkat wilayah sehingga juga mampu meningkatkan motivasi dan kesadaran pada peternak, pekerja dan dokter hewan.

Menilai list program biosekuriti juga termasuk mengukur rute potensial untuk penularan penyakit. Survei terkait epidemiologi termasuk pertanyaan yang mengevaluasi langkah-langkah biosekuriti eksternal dan internal yang diterapkan pada berbagai rute pengenalan dan penyebaran patogen dapat digunakan.

Penilaian Berdasarkan Skor. Penilaian biosekuriti ini yang paling umum dilakukan yang didasarkan pada nilai standart yang ditetapkan tenaga ahli biosekuriti.

Beberapa sistem penilaian sudah dikembangkan, antara lain adalah yang dikembangkan peneliti  dari Universitas Ghent (Biocheck UGent™), dimana nilai praktik biosekuriti dan jalur yang berbeda untuk penularan penyakit dikalikan dengan faktor bobot yang memperhitungkan kepentingan relatifnya, sehingga memperoleh skor berbasis risiko. Sistem evaluasi diatas serupa dengan sistem BioAsseT. Selain evaluasi yang bersifat umum, ada juga dilaporkan sistem yang secara khusus mengevaluasi untuk patogen tertentu (PRRS, Brachyspira hyodysenteriae, Mycoplasma hyopneumoniae). Beberapa metode statistik untuk mengembangkan skor biosekuriti berdasarkan peringkat praktik biosekuriti menurut kepentingannya juga jamak diterapkan di peternakan.

Penilaian Biosecurity dengan Probabilitas. Model statistik multivariat, Bayesian Belief Networks dan mesin algoritma adalah beberapa model statistik yang digunakan untuk mengukur kemungkinan terjadinya penyakit dan untuk mengevaluasi dampak penerapan program biosekuriti. Metode ini mungkin berguna untuk pengembangan alat untuk mengukur, membandingkan, dan mengelola praktek biosekuriti.

Penilaian resiko kuantitatif yang dijelaskan oleh OIE mungkin juga berguna untuk memperkirakan probabilitas pengenalan penyakit dan untuk memprioritaskan tindakan biosekuriti berdasarkan dampaknya terhadap kemungkinan penularan penyakit. Tujuan akhir dari analisis risiko adalah untuk memberikan bukti yang mendukung keputusan yang diambil untuk mengurangi resiko penyebaran penyakit. Model ini mempertimbangkan jalur dan peristiwa yang berbeda dimana patogen dapat diperkenalkan dan ditransmisikan. Probabilitas didasarkan pada pengetahuan terbaik saat itu dengan mempertimbangkan ketidakpastian/variabilitas, dan kemudian ditentukan probabilitas untuk setiap jalur dan secara global dengan indikasi interval kepercayaan. Model penilaian risiko kuantitatif terutama digunakan untuk memperkirakan probabilitas pengenalan penyakit di tingkat negara dan untuk penyakit tertentu.

Model penilaian resiko kuantitatif juga memiliki beberapa keterbatasan karena rumit, memakan waktu dan membutuhkan banyak data yang tidak selalu tersedia. Namun demikian, metode ini membantu dalam memperkirakan kemungkinan masuknya penyakit berdasarkan praktek biosekuriti yang ada sehingga dapat mendukung pengambilan keputusan mengenai tindakan biosekuriti apa saja yang harus diprioritaskan.

Desain dan Implementasi Program Biosekuriti. Program biosekuriti dapat dirancang untuk penyakit tertentu dan fokus pada langkah-langkah terhadap penyakit itu, atau bisa lebih umum dan dapat dirancang untuk mengurangi resiko yang umum terhadap beberapa penyakit yang berbeda. Oleh karena itu, langkah pertama yang harus dilakukan adalah mengetahui daftar penyakit yang bersirkulasi di peternakan dan resiko penyakit lain tidak diinginkan, untuk kemudian dilakukan identifikasi rute penularan yang mungkin terjadi sehingga tindakan pencegahan dapat disiapkan di tempat yang paling efektif.

Setelah program disepakati, maka untuk pelaksanaanya harus dibuat aturan yang detail yang menjelaskan langkah demi langkah tindakan yang akan diterapkan serta disosialisasikan ke seluruh pekerja yang terlibat di peternakan. Training dan pelatihan biosekuriti ini idealnya dilakukan secara periodik untuk menjaga level kewaspadaan tetap tinggi, karena jika program berhasil terkadang bisa membuat kita lengah dan terjadi pelonggaran dalam penerapannya dilapangan. Program ini harus dipahami oleh semua tanpa terkecuali dan ada team khusus yang mengawasi.

Faktor lain yang berdampak besar dalam penerapan langkah-langkah biosekuriti adalah persepsi resiko penyakit dan konsekuensinya di peternakan. Tantangan terbesar praktek biosekuriti ini umumnya terjadi di lingkungan komplek peternakan, dimana tidak semua peternak memiliki pemahaman dan level biosekuriti yang sama. Kekompakan seringnya baru terwujud ketika wabah sudah terlanjur masuk ke area peternakan.  Seharusnya, program biosekuriti dalam suatu komplek peternakan bisa disinergikan sehingga potensi penularan penyakit antar tetangga bisa diminimalkan saat ada wabah terjadi.  Jadi semua peternak harus berpartisipasi dan bertanggung jawab untuk mencegah penyebaran penyakit.

Kesimpulan
Biosekuriti menjadi elemen penting dalam produksi ternak, khususnya dalam sistem pemeliharaan intensif di peternakan skala industri. Upaya menghindari pengenalan patogen baru dan membatasi penyebarannya akan berkontribusi pada peningkatan kesejahteraan babi, produktivitas peternakan dan juga akan berkontribusi pada kesehatan masyarakat.  Pengetahuan yang lebih baik tentang epidemiologi penyakit babi akan berkontribusi pada desain program biosekuriti yang tepat sasaarn. Pastikan semua pihak yang terkait ikut berpartisipasi dan terlibat, serta lakukan evaluasi dan training berkelanjutan untuk menjaga tingkat kewaspadaan tetap tinggi. Baca juga : Biosekuriti di Era New Normal

Referensi :

  1. https://link.springer.com/article/10.1186/s40813-020-00181-z Biosecurity in Pig Farm : a review
Perkembangan Vaksin ASF

Perkembangan Vaksin ASF

Kasus African Swine Fever (ASF) di Asia sudah berjalan hampir 3 tahun ini sejak pertama kali ditemukan di China Agustus 2018 lalu. Namun demikian, tanda-tanda perkembangan penelitian vaksin sepertinya masih belum sesuai harapan dan peternak dibuat galau menunggu. Kenyataan bahwa ASF sudah ditemukan sejak tahun 1910 di Kenya Afrika tidak serta merta membuatnya menjadi prioritas utama dalam pengembangan vaksin. Negara-negara di Eropa lebih mengutamakan biosekuriti dalam upaya penaanggulangan ASF selama ini, sedangkan negara-negara di Asia harus berjuang ekstra keras untuk melawan ganasnya serangan virus ASF, termasuk negara kita. Perbedaan sistem pemeliharaan di Asia yang didominasi backyard farm membuat ASF seperti dengan mudahnya menyerang karena lemahnya biosekuriti dan juga kondisi peternakan yang umumnya saling berdekatan dalam suatu kompleks. Berikut adalah laporan update laporan perkembangan penyebaran kasus ASF periode 1-15 april 2021 :

Lalu apa sebenarnya yang membuat vaksin ASF belum ada sampai saat ini? Mari kita coba belajar bersama mengenai hal ini.

Epidemiologi. Periode panjang kejadian ASF di Afrika kemungkinan telah menyebabkan terjadinya variasi virus dengan berbagai tingkat virulensi / keganasan. Ada 23 Genotipe virus ASF yang berbeda telah berhasil di identifikasi oleh para ahli dengan area geografis yang berbeda dalam waktu yang lama di Afrika. Babi Hutan / liar di Afrika yang sudah terinfeksi ASF dalam jangka panjang akhirnya sudah “kebal” dengan virus ini. Babi ini walaupun terpapar oleh virus ASF tidak menunjukkan gejala klinis (subklinis dan asimptomatik).

ASF hanya mempengaruhi spesies dalam family suidae, baik babi liar maupun domestik dari semua ras dan usia. Saat ASF pertama masuk ke Eropa tahu 1950an, babi hutan / liarnya (Sus scrofa) dan babi domestiknya yang masih FREE ASF akhirnya mengalami wabah seperti yang dialami Asia saat ini. Babi hutan / liar di Eropa saat itu masih sangat rentan terhadap virus ASF dan menunjukkan gejala klinis yang sama dan mematikan seperti kejadian pada babi domestik. Saat itu, banyak negara di Eropa menerapkan startegi biosekuriti ketat dan depopulasi total untuk peternakan domestik yang terdampak ASF. Hal ini tentunya bertujuan untuk eliminasi virus ASF di lapangan dan menghindari adanya babi carrier yang berpotensi sebagai sumber penularan. Opsi penggunaan vaksin sempat dilakukan di Spanyol tetapi berakibat sulitnya eliminasi virus ASF tersebut. Karena penggunaan vaksin yang belum teruji keamanan dan keampuhannya ini, maka penyebaran virus menjadi sulit dikendalikan dan memerlukan waktu 30 tahun untuk proses eliminasinya. Oleh karena itu, penerapan strategi deteksi dini, depopulasi dan biosekuriti ketat menjadi pilihan negara-negara Eropa dan terbukti berhasil mengendalikan penyebaran ASF di peternakan domestik dalam jangka waktu yang cukup lama. Baca juga : Pengendalian Penyakit ASF di Masa Lalu.

Tahun 2007 ASF kembali muncul di Eropa (Georgia) dan dari tahun ke tahun ternyata kejadian ASF semakin meluas. Mengingat situasi yang semakin berbahaya ini, maka tahun 2017 diputuskanlah untuk memulai proyek pengembangan vaksin ASF oleh European Commission (Kesehatan dan keamanan pangan) dengan target 8-10 tahun. Artinya proses penemuan vaksin yang aman dan ampuh ini ditargetkan terwujud paling cepat pada tahun 2025. Penelitian ini melibatkan beberapa ahli dan laboratorium di seluruh dunia sebagai upaya untuk mendapatkan vaksin ASF yang aman dan ampuh. Semoga berhasil ya, karena kita sudah beberapa kali mendengar adanya informasi progress pengembangan vaksin yang baik dalam 2 tahun terakhir.

Terkait kejadian di peternakan babi domestik, ini umumnya terjadi pada kandang yang masih menerapkan sistem free range. Sistem ini tentunya lebih rentan dengan kontak langsung dengan babi hutan / liar yang kemungkinan besar sudah positif ASF. Jadi skenario epidemiologi yang terjadi di Eropa ini terjadi kemungkinan karena tidak adanya upaya pengendalian dan kontrol ASF terhadap babi hutan / liar. Penyebaran virus diantara babi hutan / liar sulit terdeteksi, sehingga terjadi peningkatan jumlah hewan pembawa yang menjadi reservoar / sumber penularan diantara populasi tersebut. Berikut adalah gambaran epidemiologi / perkembangan kasus ASF di Eropa yang memperlihatkan peningkatan kasus ASF dari tahun ke tahun.

Mutasi virus ASF di China. Dari update penelitian terbaru, dilaporkan bahwa pengawasan terhadap virus ASF di 7 propinsi Cina, dari periode Juni – Desember 2020 ditemukan ada sebanyak 22 virus ASF jenis baru. Semua virus ASF yang berhasil diisolasi ini dicirikan dan termasuk dalam genotipe II, tetapi menunjukkan gambaran mutasi, penghapusan, penyisipan, atau penggantian fragmen pendek yang terjadi di semua isolat. Hal ini berbeda dengan virus ASF yang berhasil diisolasi pada awal kejadian di Cina, yaitu Pig/HLJ/2018 (HLJ/18).

Proses panjang dan tantangan infeksi yang terus-menerus, mengakibatkan ternak babi bertindak sebagai reservoir virus dan menyebabkan infeksi terus-menerus selama hidupnya. Hal ini bisa terjadi dalam kondisi outbreak yang meninggalkan populasi yang selamat sebagai hewan carrier ataupun penggunaan vaksin yang belum terbukti keamanan dan keampuhannya. Inilah gambaran yang juga terjadi di Cina, dimana penelitian juga berhasil mengidentifikasi virus ASF yang kehilangan 2 gennya (double gen deleted). Proses ini tentunya bukan merupakan mutasi alamiah yang dimungkinkan terjadi pada virus, melainkan ini diyakini merupakan hasil intervensi manusia. Ada oknum yang berusaha memproduksi vaksin dengan memanipulasi gen virus ASF tetapi proses pembuatannya tidak sempurna sehingga mengakibatkan virus yang disuntikkan tersebut akhirnya “terlepas” ke lingkungan dan menjadi strain baru yang menyulitkan dalam monitoring dan pengendaliannya.

Temuan virus vaksin ilegal ini kemudian diteliti lebih jauh terkait dampaknya di peternakan. Vaksin double gene deleted ini menimbulkan efek samping berupa gejala yang mirip dengan penyakit PRRS (Porcine Reproductive and Respiratory Syndrome). Gangguan yang ditimbulkan pada breeding meliputi stillbirth, mumifikasi, embryonic death, infertilitas dan aborsi, serta terkadang juga berakhir dengan kematian (walaupun sedikit). Untuk kejadian di anakan babi umumnya lahir lemah dan yang bisa bertahan sampai periode grower dan finisher akan mengeluarkan virus terus-menerus dan sehingga menjadi sumber penularan yang berbahaya. Peternak akhirnya juga mengalami kesulitan membedakan antara kasus PRRS dengan PRRS like karena vaksin ilegal ini. Bentuk kronis ini bisa mengganggu sistem kekebalan tubuh ternak. Lesi yang terlihat umumnya berupa infark dan juga perubahan pada limpoglandula dan ginjal, sedangkan secara mikroskopis akan terlihat kerusakan jaringan dan perdarahan pada berbagai organ.

Penggunaan ilegal vaksin secara umum memang bisa memunculkan antibodi untuk melawan ASF setelah 2-3 minggu pelaksanaan vaksinasi, tetapi ini ternyata terjadi hanya pada sebagian ternak babi saja. Kondisi outbreak ASF bisa meninggalkan 5-20% ternak yang selamat. Namun, selain terbentuknya antibodi dalam tubuh survival tadi ternyata didalam tubuh ternak tersebut juga ditemukan adanya virus ASF (wild type). Kondisi ini bisa terjadi dalam beberapa minggu bahkan beberapa bulan setelah paparan virus ASF. Selain ditemukan didalam darah, wild type virus ini juga bisa terdeteksi di jaringan.

Mekanisme sistem kekebalan yang belum sepenuhnya dipahami ini juga menjadi alasan mengapa vaksin ASF yang aman dan ampuh sampai saat ini belum bisa ditemukan. Harbin veterinary research juga sedang melakukan penelitian terkait vaksin attenuated dengan memotong 7 gen dari virus ASF, namun mereka tidak mau terburu-buru untuk melakukan produksi masal untuk komersial sebelum berhasil lolos uji keamanan yang diwajibkan oleh otoritas yang berwenang.

Februari lalu, Navetco National Veterinary JSC yang berada dibawah Departemen Pertanian Vietnam, juga mengumumkan hasil yang menggembirakan berkenaan dengan keberhasilan uji coba vaksin ASF mereka. Penelitian yang bekerja sama dengan USDA (Departemen Pertanian Amerika Serikat) ini mencatatkan 5x trial dengan tingkat proteksi 94,7%. Namun demikian, mereka menyatakan bahwa masih ada tantangan untuk memproduksi vaksin ini dalam skala besar. Selain terkait biaya produksi, memastikan kualitas produk yang konsisten dengan menjaga kemurnian untuk menghindari efek samping juga menjadi perhatian besar. Jadi, sekali lagi masalah safety / keamanan masih menjadi issue yang harus diselesaikan sebelum melangkah ke tahapan pengembangan vaksin selanjutnya.

ASF Alert. Setelah adanya publikasi bahwa ada mutasi virus ASF di China, maka FAO dan OIE mengeluarkan surat tentang adanya “atypical ASF Strain” ini pada tanggal 29 Maret 2021 untuk meningkatkan kewaspadaan para pelaku usaha peternakan babi, terutama terhadap bahaya penggunaan vaksin ilegal ini. Dengan tegas mereka menyatakan bahwa :

  1. BELUM ADA satupun vaksin ASF yang direstui di dunia ini, yang bisa membuktikan dengan kelengkapan bukti data safety dan efficacy. Jadi, jika dilapangan anda menemukan adanya vaksin ASF dalam bentuk apapun yang ditawarkan, maka itu adalah vaksin palsu ataupun vaksin yang berisi virus ASF yang tidak stabil / proses pelemahannya tidak sempurna yang beresiko mencemari lingkungan dan berpotesi menjadi sumber penyebaran virus ASF.
  2. BIOSEKURITI tetap menjadi strategi pengendalian dan kontrol ASF yang terbukti efektif. Kombinasi antara upaya deteksi dini dan respon cepat menjadi kunci dalam mencegah penyebaran virus ASF. Pengawasan ketat di perbatasan harus dimaksimalkan, sedangkan pengawasan lalu lintas pergerakan babi hutan / liar masih memerlukan usaha yang ekstra.
  3. Penggunaan vaksin yang belum teruji keefektifan dan keamanannya akan menimbulkan dampak besar bagi industri peternakan babi dan berpotensi mengganggu usaha pengendalian dan kontrol ASF di level negara dan internasional. Vaksin ASF yang saat ini beredar tidak akan mampu melindungi ternak babi secara penuh dan beresiko menjadi sumber penularan kepada peternakan lainnya. Efek buruk penggunaan vaksin ilegal ini bisa teramati di fase penggemukan dan breeding. Selain itu, angka kejadian kasus ASF bentuk kronis juga akan meningkat sehingga semakin menyulitkan dalam mengidentifikasi dan mengeliminasi virus ini. Jika ternyata proses pembuatan vaksin tidak benar maka juga akan berpotensi terjadinya kontaminasi patogen lain yang akan meningkatkan resiko penularan penyakit yang lain.
  4. Penggunaan vaksin ilegal ini akan meningkatkan resiko dalam jangka panjang. Semua vaksin harus melewati tahapan uji yang ketat untuk memastikan keamanan dan keampuhannya, serta harus melalui persetujuan dari pihak-pihak yang berwenang sebelum kemudian menjadi produk final yang berbukti klinis aman dan ampuh. Jika vaksin yang dibuat ini merupakan virus hidup yang dilemahkan (attenuated) tetapi tidak melewati uji keamanan dan keampuhan maka bisa mengakibatkan terulangnya sejarah kelam di Spanyol dan Portugal pada tahun 1960an, dimana vaksin ilegal akhirnya membuat proses eradikasi memakan waktu sekitar 30 tahun.
  5. Temuan ASF “jenis baru” ini entah karena penggunaan ilegal vaksin ataupun mutasi alami akan mengakibatkan kajian epidemiologi menjadi semakin sulit. Jika gejala klinis berubah menjadi bentuk kronis atau tanpa gejala maka tindakan deteksi dini, surveilence dan upaya pencegahan menjadi terlambat.

Terlampir adalah surat resmi berkenaan dengan ditemukannya mutasi virus ASF :

Nah, bagaimana…apakah kita sudah memiliki sudut pandang yang positif dari perkembangan vaksin ASF saat ini. Vaksin yang aman dan ampuh pasti akan ditemukan, namun kita memang harus lebih bersabar dan tetap menunggu dengan sikap optimis. Proses penelitian dan uji-uji klinis masih terus berjalan dan memerlukan waktu untuk memastikan industri ini mendapatkan vaksin yang aman dan ampuh tanpa efek samping yang membahayakan. Jangan tergoda untuk mencoba menggunakan vaksin ilegal demi kelangsungan industri babi yang berkelanjutan. Pastikan kita meningkatkan kemampuan deteksi dini dan juga meningkatkan fasilitas kandang terutama menyangkut biosekuriti, karena hanya dengan cara inilah kita bisa mengupayakan pengendalian dan kontrol ASF dengan cara yang baik. Baca juga : Pentingnya Biosekuriti pada Peternakan Babi. dan Bioosekuriti di Era New Normal.

Sukses selalu.

Referensi :

  1. Events detail (gf-tads.org)
  2. African_swine_fever_virus_virion_TEM.jpg (625×625) (wikimedia.org)
  3. Emergence and prevalence of naturally occurring lower virulent African swine fever viruses in domestic pigs in China in 2020 (sciengine.com)
  4. PigProgress – ASFv mutation in China: What does it mean on-farm?
  5. PigProgress – ASF China: Mutations confirmed by Chinese scientists
  6. ASF vaccine on track for unveiling (vir.com.vn)
  7. African Swine Fever – Generalized Conditions – Merck Veterinary Manual (merckvetmanual.com)
  8. African swine fever: OIE – World Organisation for Animal Health
  9. cff_animal_vet-progs_asf_blue-print-road-map.pdf (europa.eu)
Biosekuriti di era New Normal

Biosekuriti di era New Normal

Biosekuriti adalah pendekatan strategis dan terintegrasi yang mencakup kerangka kebijakan dan peraturan untuk menganalisis dan mengelola resiko yang relevan terhadap kehidupan manusia, hewan dan tumbuhan, serta kesehatan dan lingkungan. Biosekuriti meliputi keamanan pangan, zoonosis, dan pengenalan penyakit serta hama hewan dan tumbuhan, pengenalan dan evaluasi hasil modifikasi organisme hidup (living modified organisms – LMOs) dan produknya (genetik organisme yang dimodifikasi atau genetically modified organisms – GMOs), dan managemen pengelolaan terhadap spesies asing. Jadi biosekuriti adalah konsep holistik yang memiliki relevansi langsung, keberlanjutan dan secara luas meliputi beraneka ragam aspek dalam kesehatan masyarakat dan perlindungan lingkungan, termasuk keanekaragaman hayati. Goal dari biosekuriti secara luas meliputi human life and health (manusia, termasuk keamanan pangan), animal life and health (hewan, termasuk ikan), plant life (tanaman, termasuk hutan), dan environmental protection (lingkungan).

Dalam dunia peternakan, penyakit dapat ditularkan melalui paparan hewan ke hewan, kendaraan, peralatan, pakaian, dan sepatu pengunjung atau karyawan yang pernah kontak dengan kawanan, kontak dengan hewan lain (kuda, anjing, kucing, satwa liar, hewan pengerat, burung, serangga), dan kontaminan yang lainnya termasuk makanan dan pengelolaan kotoran. Pencegahan penyebaran penyakit infeksi di peternakan dan lingkungannya dilakukan dengan menggunakan tindakan biosekuriti yang meliputi kondisi higienis dan iklim pemeliharaan ternak, perawatan, nutrisi, surveilans, regenerasi dan penularan penyakit, pengendalian wabah, perawatan peralatan dan proses produksi. Diperlukan evaluasi menyeluruh terhadap kondisi lingkungan dan sejarah kasus penyakit untuk memetakan tantangan, menganalisa serta menyusun strategi yang sesuai agar usaha peternakan kita menguntungkan. Oleh karena itu, dalam perencanaan program biosekuriti umumnya meliputi kondisi aktual berdasarkan data rekording yang baik, isolasi peternakan (keseluruhan atau individu, termasuk ternak baru dalam kawanan), status kesehatan ternak, evaluasi peralatan kandang dan pegawai, pengendalian lalu lintas (manusia, sumber air dan pakan, pupuk kandang, dan kendaraan, penanganan bangkai), lokasi (kemungkinan kontak dengan hewan liar dan hewan pengerat, burung) serta sanitasi.

Terlepas ada tidaknya program vaksinasi dalam menjalankan usaha peternakan, program biosekuriti menjadi komponen penting untuk mencegah penularan penyakit. Peternakan yang menjalankan manajemen dengan baik dengan didukung program biosekuriti dan vaksinasi yang sesuai dengan tantangan lapangan mempunyai resiko yang lebih kecil terhadap kejadian penyakit. Baca juga : Penyakit Pernafasan pada Babi. Terkait dengan penyakit yang sudah ada vaksinnya, peternak idealnya bisa memaksimalkan imunitas dengan melakukan program vaksinasi. Vaksinasi tentunya tidak menjamin ternak kita aman dari serangan penyakit, akan tetapi dengan vaksinasi kita meminimalkan resiko ternak kita dari kerugian yang parah jika sampai ada outbreak penyakit. Akan tetapi, jika terjadi wabah dimana belum ditemukan vaksin seperti halnya African Swine Fever (ASF) saat ini maka menajemen dan biosekuriti menjadi tumpuan dalam menghadapi resiko serangan penyakit tersebut. Contoh biosekuriti di negara eropa terkait pengendalian ASF adalah pembuatan pagar sebagai barrier fisik untuk mencegah ternak berinteraksi dengan babi hutan/liar dan hewan liar lainnya, pelarangan praktek swill feeding di peternakan babi, kontrol lalu lintas kendaraan dan manusia dengan menempatkan rambu-rambu dilarang masuk/biosecurity allert di pintu masuk lokasi kandang. Pengendalian hewan liar seperti anjing, kucing, burung dan hama (tikus, lalat, nyamuk, serangga) juga menjadi bagian penting dalam program biosekuriti karena bisa jadi vektor penularan penyakit. Baca juga : Pentingnya biosekuriti pada peternakan babi

Terkait praktek biosekuriti di peternakan babi, Johnna S. Seaman dan Thomas J. Fangman dari Departemen Kedokteran Hewan Universitas Missouri menyampaikan bahwa pengendalian penyakit adalah bagian yang paling menantang bagi produsen/peternak dan dokter hewan. Biosekuriti sering dianggap sebagai upaya menjauhkan penyakit dari kawanan babi. Hal ini menurut saya mungkin benar jika kita mengacu pada kasus ASF, dimana kita tidak ingin ternak kita yang masih “bersih” dari ASF akhirnya terpapar dan berakibat kematian karena ternak kita belum memiliki imunitas terhadap ASF. Namun, dalam konteks penyakit yang sudah ada di lingkungan kandang, program biosekuriti ini lebih ditujukan untuk mencegah patogen tersebut menginfeksi ternak atau jika sampai terinfeksi kejadiannya tidak menular ke kawanan ternak yang lainnya sehingga meminimalkan resiko kerugian. Mengapa demikian? Karena pada kenyataannya, proses mengeliminasi/menghilangkan patogen dalam suatu kandang bukanlah pekerjaan mudah karena faktor alami keberadaan patogen, kondisi endemik suatu kawasan, dan adanya populasi ternak itu sendiri sebagai target dari patogen tersebut. Oleh sebab itu, jika suatu kandang terpapar ASF maka tindakan yang dilakukan saat ini adalah depopulasi, yaitu mengosongkan kandang, proses sanitasi dan desinfeksi, serta istirahat kandang yang relatif lama untuk memastikan virus ASF sudah tidak terdeteksi lagi, baru kemudian memulai proses repopulasi dengan serangkaian uji laboratorium. Secara umum, dengan program biosekuriti yang baik maka pertumbuhan optimal dalam usaha peternakan dapat dicapai dengan meminimalkan efek negatif penyakit dan produktivitas yang tinggi. Prinsipnya adalah bagaimana kita menekan kasus reproduksi di breeding seperti kawin berulang, aborsi, mummifikasi, lahir lemah/mati sehingga jumlah anakan yang dihasilkan induk banyak serta bagaimana kita menekan deplesi di anakan di fase menyusi dan sapihan sehingga angka panen juga tinggi. Untuk bisa mencapai hal itu dan memaksimalkan potensi genetik ternak babi kita, maka paparan terhadap patogen harus diminimalkan dengan manajemen, biosekuriti dan vaksinasi yang baik. Paparan patogen yang minimum ini adalah tujuan dari program biosekuriti di peternakan sehingga penghasilan peternak bisa optimal. Baca juga : Bagaimana-menjalankan-usaha-peternakan-babi-yang-menguntungkan?

Di masa sekarang ini, biosekuriti juga dimaksudkan untuk mengurangi penggunaan antibiotik di peternakan sehingga mengurangi resiko resistensi antibiotik pada manusia. Elemen biosekuriti seharusnya mencakup :

  1. Pembersihan semua ruangan secara menyeluruh dengan mesin bertekanan tinggi dan desinfektan berspektrum luas.
  2. Konstruksi bangunan kandang yang optimal untuk menghindari kontak fisik atau udara bersama di antara kelompok umur babi yang dipelihara.
  3. Jika dalam kandang terdapat banyak ruangan/pen dan populasi babi dari berbagai umur, maka harus diatur urutan pemelihaannya sehingga babi dengan status kesehatan tertinggi (biasanya babi yang lebih muda) harus ditangani terlebih dahulu. Lalu lintas pekerja juga kandang diatur jika dia harus memelihara beberapa kelompok umur.
  4. Pekerja sebelum masuk ke area kandang idealnya harus mandi dan selalu mengenakan pakaian bersih dan alas kaki/sepatu bot khusus untuk aktifitas di dalam kandang serta lakukan pembersihan dan sanitasi pakaian/sepatu bot tersebut dengan baik.
  5. Bangunan kandang harus tahan terhadap hewan pengerat dan lakukan pembasmian/kontrol hama dengan baik
  6. Kendaraan tidak boleh memasuki lokasi kecuali telah dibersihkan dan di desinfeksi.
  7. Tempatkan hewan mati di luar (tempat penampungan khusus) untuk kemudian dipindahkan atau dikuburkan.
  8. Sediakan tempat untuk fasilitas pemuatan saat panen di sekitar kandang – akan lebih baik jika lokasinya agak jauh sehingga tidak ada mobil panen yang masuk dalam lokasi kandang
  9. Minimalkan jumlah pengunjung, dan minta mereka mengenakan pakaian dan sepatu bot yang bersih yang disediakan khusus untuk tamu.
  10. Pasang pagar pembatas di sekitar kandang untuk mencegah kontak yang tidak diinginkan dari orang, hewan peliharaan, dan hewan liar.

Lokasi. Kawanan babi idealnya harus ditempatkan sejauh mungkin dari kawanan babi yang lain (jarak antar lokasi peternakan 1,5 mil). Selain itu, perhatian juga harus diberikan terhadap arah angin dan keberadaan babi hutan/satwa liar lain. Beberapa patogen dapat menyebar melalui udara, seperti Porcine Reproductive and Respiratory Syndrome (PRRS) dan Mycoplasma hyopneumoniae. Jika dalam lokasi peternakan terdapat hewan atau ternak lain, maka fasilitas ternak babi harus ditempatkan setidaknya 100 yard dari hewan lain. Jarak bangunan kandang dalam 1 lokasi peternakan yang sama sebaiknya sekitar 50 yard. Selain itu, bangunan harus terletak setidaknya 100 yard dari jalan umum terutama jika ada lalu lintas/transportasi babi di jalan tersebut untuk meminimalkan paparan. Pagar/pembatas kandang juga idealnya harus dibuat mengelilingi lokasi peternakan untuk menjaga lalu lintas dan interaksi hewan liar/manusia yang tidak berkepentingan. Selain itu, pintu masuk harus dipagari dan dikunci serta memiliki tanda peringatan bahwa peternakan kita memiliki kebijakan biosekuriti.

Orang. Kantor dan pintu masuk utama peternakan sebaiknya terletak di dekat pagar / perimeter dan harus memiliki dapur umum sehingga karyawan dapat makan tanpa harus meninggalkan fasilitas selama hari kerja. Pekerja kandang tidak boleh tinggal di lokasi peternakan babi lain atau bersentuhan dengan babi di luar peternakan tempat mereka bekerja. Sangat disarankan juga untuk menempatkan orang khusus untuk mengawasi lalu lintas orang dan kendaraan dalam aktivitas di peternakan. Jika ada tamu/dokter hewan yang harus masuk ke lokasi kandang, harus dipastikan tidak boleh ada kontak dengan babi setidaknya selama 24 jam sebelum tiba di kandang kita. Buku tamu pengunjung penting untuk menyimpan catatan siapa saja yang telah melakukan kontak dengan ternak kita sehingga jika ada penyakit muncul, dimungkinkan untuk melakukan evaluasi dari mana patogen itu berasal. Pintu harus senantiasa ditutup terutama saat karyawan tidak berada di lokasi, dan selain itu juga bisa berfungsi sebagai penghalang masuknya hewan liar ke dalam lokasi kandang. Semua karyawan dan pengunjung harus mandi sebelum memasuki fasilitas peternakan dan berganti seragam/baju dan alas kaki khusus untuk aktifitas di dalam kandang. Setelah selesai, segera bersihkan alas kaki dan baju kemudian dicuci. Pekerjaan harian harus diselesaikan dalam urutan status kesehatan tertinggi ke status kesehatan terendah untuk mencegah penyebaran patogen dari kawanan ternak ke babi yang lebih muda/rentan.

Pig Flow. Babi seharusnya dipindahkan secara all-in / all-out (AIAO), artinya konsep memindahkan babi dengan usia sama pada waktu yang bersamaan juga. Hal ini bertujuan untuk menghindari resiko penularan penyakit dari babi yang lebih tua ke muda, selain itu hal ini juga bisa meningkatkan efisiensi pakan. Sering kali peternak “meninggalkan” babi yang pertumbuhannya lambat ke kelompok yang lebih kecil. Praktek ini sebaiknya dihindari karena ketika sebuah kelompok dipindahkan dari fasilitas mana pun, area yang ditinggalkan tersebut perlu dibersihkan, dicuci dan di desinfeksi dengan benar (minimal 6-8 jam sebelum kembali diisi hewan baru flok selanjutnya). Jika kandang yang akan dipakai tidak ada perlakuan dan masih ada kelompok umur yang lain tersisa disitu, maka resiko kejadian penyakit akan lebih tinggi. Jadi pengelompokan untuk anak babi yang baru lahir, sapihan, grower, finisher perlu ditempatkan secara terpisah karena tingkat kesehatan dan biosekuriti yang berbeda untuk setiap kelompok umur. Sering ditemukan bahwa agen penyakit mungkin tidak menyebabkan sakit pada satu kelompok usia, tetapi sangat patogen bagi kelompok lain karena perbedaan status imunitas. Untuk pemeliharaan di kandang melahirkan (farrowing house), sebaiknya batasi akses orang yang tidak berkepentingan dan tempatkan indukan bunting yang prediksi kelahirannya berada dalam interval dibawah 14 hari. Karena perbedaan status kekebalan dan paparan patogen, sekali lagi sebaiknya jangan mencampur babi dari kelompok/peternakan yang berbeda dan jika ada babi mati harus segera disingkirkan untuk menghindari cemaran, hewan liar ataupun lalat.

Fasilitas. Semua bangunan, terutama bangunan berventilasi alami / kandang terbuka, harus memiliki sekat/barrier untuk mencegah masuknya serangga, burung, dan hewan peliharaan atau hewan liar. Selalu jaga kebersihan agar lalat, tikus dan hewan pengerat lainnya tidak memiliki akses ke lokasi pakan atau air. Lakukan pembersihan untuk menghilangkan bahan organik yang dapat menghambat kerja sebagian besar disinfektan. Pencucian dengan air panas adalah cara yang baik untuk menjaga kebersihan fasilitas, penggunaan deterjen dan desinfektan akan semakin mengurangi kemungkinan patogen bertahan hidup di dalam lokasi peternakan. Usahakan untuk memilih bahan kandang yang tahan lama dan mudah dicuci. Jika kita menggunakan peralatan bekas pakai sebaiknya didesinfeksi dahulu sebelum memasuki fasilitas. Pastikan kita mempunyai protokol biosekuriti yang baik dan dipahami oleh semua personel di dalam lokasi peternakan kita. Footbath / celup kaki dengan desintektan idealnya ditempatkan di pintu masuk setiap ruangan sehingga meminimalkan resiko penularan jika kondisi karyawan kita terpaksa harus memelihara lebih dari satu kelompok umur babi, dan lakukan penggantian larutan desinfektan tersebut secara teratur.

Fasilitas bongkar muat/panen. Fasilitas ini sebaiknya terletak di luar kandang sehingga kendaraan tidak masuk ke dalam lokasi peternakan. Jika memungkinkan, fasilitas ini bisa berada minimal satu mil dari kandang dengan jalan yang hanya bisa diakses terbatas. Hal ini mungkin memerlukan investasi kendaraan pengangkut dan lokasi meeting point untuk pemindahan ternak, akan tetapi kita lebih aman karena akses ke lokasi peternakan kita bisa minimal. Kendaraan untuk aktifitas transportasi ternak harus dicuci dan didesinfeksi terlebih dahulu untuk meminimalkan resiko. Jika lokasi panen masih di lokasi kandang, pastikan kita mengantisipasi resiko kontaknya. Selain kendaraan, sopir / orang luar yang terlibat dalam proses transportasi ternak ini harus mengenakan pakaian yang bersih dan sepatu bot serta tidak boleh memasuki area dalam kandang. Jadi karena fase panen ini relatif beresiko, maka idealnya kita harus melakukan proses panen dengan meminimalkan kontak antara pegawai kandang dan orang luar. Fasilitas pemuatan harus dicuci dan didisinfeksi segera setelah digunakan, dan pastikan aliran airnya tidak mengarah masuk kembali ke lokasi kandang. Setelah aktifitas panen ini, jika pekerja akan kembali beraktifitas di dalam kandang sangat disarankan untuk mandi dan ganti baju dahulu.

Babi sakit/mati. Pisahkan babi yang sakit dengan membuat kandang isolasi untuk meminimalkan kontak dengan kawanan lainnya. Jika ada masalah penyakit dalam kawanan, pemeriksaan postmortem dan uji laboratorium sangat bermanfaat dalam memberikan informasi status kesehatan ternak kita. Dalam menjalankan usaha peternakan, tentunya kita akan dihadapkan dengan resiko kematian ternak entah karena kesalahan managemen ataupun penyakit. Oleh karena itu, kita seharusnya mempunyai tempat khusus untuk menangani masalah ini. Metode pembuangan bangkai hewan yang diterapkan harus seminimal mungkin mencemari lingkungan kandang untuk menjamin kesehatan ternak kita (dikubur, dibakar, atau menggunakan jasa dari luar). Pastikan hewan pengerat dan lalat ataupun hewan lain tidak memiliki akses ke babi mati karena dikhawatirkan akan membawa agen penyakit kembali ke dalam lokasi kandang.

Pakan dan pengolahan limbah. Gudang pakan jika memungkinkan harus ditempatkan diluar lokasi kandang untuk mengurangi resiko kontaminasi dari truk dari luar / transportasi pengangkut bahan baku pakan. Investasi kendaraan khusus pengangkut pakan ke lokasi farm bisa dipertimbangkan. Pelaksanaan pengiriman pakan bisa dikondisikan dilakukan pagi hari setelah dibersihkan hari sebelumnya (dicuci pada sore/malam setelah aktifitas kandang selesai). Pembuangan limbah feses di kandang juga penting. Feses bisa ditampung di lokasi khusus untuk kemudian diolah menjadi pupuk. Pastikan peralatan yang dipakai tidak dicampur dengan peralatan yang dipakai dalam aktifitas di dalam kandang untuk mengurangi resiko pencemaran.

Membeli dan memasukkan hewan baru ke dalam kawanan. Jika kita mempertimbangkan untuk membeli bibit/anakan dari luar, maka harus dipastikan berasal dari satu sumber yang terpercaya dan jelas status kesehatannya. Kandang breeding memiliki level biosekuriti dan tingkat kesehatan paling tinggi karena merupakan “mesin” uang para peternak agar bisa menghasilkan anakan yang banyak tanpa gangguan penyakit. Oleh karena itu, sangatlah disarankan untuk melakukan proses karantina dan aklimatisasi dahulu minimal 60 hari terhadap calon indukan yang akan dimasukkan ke dalam breeding. Untuk memastikan status kesehatannya, maka calon induk biasanya akan dimonitor tanda-tanda klinis, di uji laboratorium (Elisa dan PCR), cek parasit dan pemberian obat cacing serta disiapkan imunitasnya dengan program vaksinasi yang sesuai dengan tantangan penyakit yang sudah teridentifikasi di kandang. Baca juga : Pentingkah Vaksinasi di Peternakan Babi? Beberapa peternak terkandang juga “mengenalkan” patogen ke hewan baru dengan menggunakan feses / gerusan organ (feedback) dan mencampurkan indukan/babi yang akan diafkir. Jika kita menggunakan inseminasi buatan dan membeli semen dari sumber luar kita juga harus memastikan sumbernya dari farm yang sehat untuk mengurangi resiko penularan penyakit yang berpotensi menimbulkan mengganggu reproduksi breeding kita. Biosekuriti untuk babi pejantan penerapannya hampir sama dengan program biosekuriti unit produksi, termasuk proses isolasi dan aklimatisasi.

Demikianlah uraian mengenai tindakan biosekuriti yang penting untuk diterapkan dalam usaha peternakan kita. Saya mungkin banyak memberikan contoh aplikasi di peternakan babi ya, akan tetapi pada prinsipnya hal ini bisa diterapkan pada peternakan lainnya. Silahkan bisa di modifikasi dan disesuaikan dengan kondisi di lapangan untuk mendapatkan hasil yang terbaik. Jika peternakan babi anda terkena ASF dan merencanakan untuk memulai usaha kembali, silahkan baca dahulu : Proses Repopulasi Pasca Outbreak ASF atau lihat videonya disini.

Semoga bermanfaat. Salam sukses!!

Referensi :

  1. http://www.fao.org/3/a1140e/a1140e01.pdf
  2. https://www.researchgate.net/publication/282946231_MAKING_A_PLAN_OF_BIOSECURITY_ON_A_PIG_FARM
  3. https://extension.missouri.edu/publications/g2340
  4. https://www.thepigsite.com/disease-and-welfare/managing-disease/biosecurity#:~:text=Reduce%20visitors%20to%20a%20minimum,adds%20to%20the%20farm%20biosecurity.

Bagaimana Menjalankan Usaha Peternakan Babi yang Menguntungkan ?

Bagaimana Menjalankan Usaha Peternakan Babi yang Menguntungkan ?

Pada artikel kali ini, kita akan belajar bersama mengenai aspek-aspek penting dalam kita menjalankan usaha peternakan babi. Dalam kacamata bisnis, baik itu peternakan dalam skala kecil – besar, tentunya orientasi yang dituju adalah keuntungan. Bagaimana kita mempersiapkan sarana prasarana dan strategi / managemen pemeliharaan tentunya tidak boleh asal-asalan agar hasil yang didapatkan juga tidak asal-asalan. Banyak faktor yang sebenarnya menentukan keberhasilan usaha ini, antara lain pemilihan bibit/genetik, lokasi, kondisi lingkungan, nutrisi, recording/data performance, manajemen, fasilitas, biosekuriti, dan disease control. Dari 9 aspek diatas yang paling berkaitan langsung dengan resiko usaha ternak selama ini pastinya kita setuju jika masalah penyakit adalah yang terutama, sehingga faktor manajemen, biosecuriti dan program pengendalian penyakit menjadi krusial, selain juga faktor kualitas pakan. Namun demikian, walaupun hampir semua peternak sadar dan tahu kalo penyakit adalah faktor resiko yang mengancam kelangsungan usaha, pada kenyataannya banyak peternak yang mengabaikan/tidak mempunyai strategi pengendalian penyakit di kandang mereka, dalam hal ini program medikasi/vaksinasi. Ironis bukan, menjalankan usaha ternak dengan tujuan memperoleh penghasilan tetapi tanpa didukung dengan praktek manajemen, biosekuriti dan vaksinasi yang baik. Kondisi diatas mungkin menggambarkan kondisi peternakan skala kecil dimana keterbatasan finansial dan akses pengetahuan tentang beternak yang sangat kurang, sehingga kelompok inilah yang dianggap mempunyai faktor resiko tertinggi. Kasus African Swine Fever (ASF) menjadi contoh yang paling nyata saat ini. Semua tahu jika ASF belum ada vaksinnya, oleh karena itu sudah sewajarnya program pengendalian penyakit tidak bisa mengandalkan vaksinasi tetapi memaksimalkan manajemen dan biosekuriti yang baik, termasuk didalamnya menghidari pemberian pakan sisa rumah makan, airport, pelabuhan dll tanpa dimasak terlebih dahulu.

Selain itu, ada juga peternak yang sebenarnya punya kekuatan finansial bagus tetapi mengabaikan faktor resiko terjadinya penyakit karena sejarah masa lalu tidak pernah terjadi kasus yang parah. Sikap peternak ini akan menjadi berbahaya jika berada dalam sebuah area komplek peternakan karena kandangnya akan menjadi sumber penularan terhadap kandang-kandang lain disekitarnya jika sampai terjadi outbreak penyakit. Kembali saya mencontohkan kasus ASF ini. Ada lho peternak yang masih menganggap ASF itu HOAX, berita yang dibesar-besarkan untuk menakuti peternak. Kalo hal ini terjadi dan dia melakukan usaha beternaknya tanpa menerapkan manajemen dan biosekuriti yang bagus, maka potensi virus ASF masuk ke area komplek itu menjadi tinggi. Faktor resiko terbesar adalah dari transportasi, lalu lintas orang dan kendaraan pengangkut babi, pakan dll yang mungkin keluar masuk tanpa perlakuan desinfeksi. Jadi ketika kita beternak pada area komplek, artinya kita seharusnya tahu aspek lokasi ini menjadi tantangan tersendiri dalam usaha peternakan kita. Idealnya semua peternak yang berada dalam satu lokasi ini duduk bersama dan menyamakan persepsi mereka dalam menjalankan usaha, minimal dalam hal ini meningkatkan kesadaran dalam menjalankan praktek manajemen, biosekuriti dan vaksinasi yang baik dalam upaya pengendalian penyakit. Sulit dong…jelas!! Apakah semua itu menjamin penyakit tidak datang?…TIdak juga !!! Tetapi hal ini harus dilakukan sebagai upaya untuk meminimalkan resiko. Penyakit memang yang paling beresiko mencuri keuntungan usaha peternakan kita sehingga program pengendalian/kontrol penyakit biasanya menjadi fokus utama dari para peternak. Namun demikian, sekali lagi jangan lupakan ya faktor / aspek yang lainnya agar usaha peternakan kita benar-benar mendapatkan keuntungan yang optimal…

Terkait penyakit, apa saja sih yang sudah berhasil diidentifikasi di peternakan babi Indonesia? Gangguan pernafasan, pencernaan dan reproduksi adalah yang paling umum bisa kita amati dilapangan. Classical Swine Fever/Hog Cholera, Mycoplasma sp., Porcine Reproductive and Respiratory Syndrome (PRRS), Porcine Circovirus type 2 (PCV2), Haemophilus parasuis, Eschericia coli dan penyakit lainnya dilapangan sudah berhasil diidentifikasi. Jika kita melihat di peternakan babi di Amerika, penyakit yang masih dominan mengganggu adalah PRRS, Pseudorabies dan Porcine Epidemic Diarrhea (PED), sedangkan ASF mereka masih aman, serta CSF dan Foot and Mouth Disease (FMD) sudah berhasil dieradikasi. Biosekuriti menjadi point penting dalam program pengendalian penyakit ini. Baca juga : Apa itu Porcine Respiratory Disease Complex ?

Strategi pencegahan penyakit babi harus menjadi praktik yang umum bagi semua peternak babi. Untuk menjadi peternak sukses, menjaga kesehatan hewan adalah suatu keharusan karena akan membantu meminimalkan timbulnya penyakit. Kejadian penyakit di peternakan dapat berdampak besar bagi ternak, peternakan, dan manusia itu sendiri. Sekali lagi aspek managemen, biosekuriti dan vaksinasi menjadi sangat penting. Biosekuriti adalah tindakan pencegahan yang dirancang untuk menghentikan masuknya atau penyebaran penyakit ke dalam peternakan, termasuk babi. Biosekuriti ini biasanya mencakup praktek manajemen yang baik, pengamatan/monitoring yang cermat, program karantina, pakan yang baik, sanitasi dan desinfeksi serta menyediakan lingkungan yang bersih dan sehat untuk hewan. Baca juga : Pentingnya Biosekuriti pada Peternakan Babi

Jika kita berencana untuk memulai usaha beternak babi, pastikan bahwa kita membeli bibit babi dari sumber yang memiliki reputasi baik dan bersertifikat. Memilih babi yang sehat adalah cara terbaik untuk menghindari penyakit babi. Pengamatan yang jeli adalah kunci untuk melihat ada tidaknya tanda-tanda yang tidak normal atau babi yang berpotensi sakit. Selanjutnya, kita harus melakukan proses karantina terhadap babi yang baru kita beli tadi untuk memastikan status kesehatannya. Jika kita ingin menambah populasi, jangan pernah memasukkan babi baru ke dalam kawanan secara langsung sebelum kita memastikan status kesehatannya di masa karantina. Selama proses aklimatisasi/karantina ini, pastikan ternak diuji terhadap status penyakit tertentu (sesuai tantangan penyakit yang ada) sebelum mereka dicampur dengan populasi babi yang lain. Pengendalian parasit dan vaksinasi merupakan bagian utama dalam pengendalian penyakit, sehingga biasanya peternak juga melakukan vaksinasi dimasa karantina ini sehingga babi mempunyai kekebalan yang dipersiapkan untuk melawan patogen penyebab penyakit. Nutrisi yang baik merupakan faktor penting untuk menjaga kesehatan kawanan, jadi pastikan kita memberikan pakan dengan kualitas bagus agar performa bisa maksimal. Jika kita terpaksa masih penggunaan pakan dari sisa-sisa/limbah rumah makan, airport, pelabuhan dan lain-lain maka sangat disarankan untuk dimasak terlebih dahulu untuk menghindari resiko penyakit, terutama ASF yang saat ini masih merebak. Hal lain yang tidak kalah penting adalah rekording. Pencatatan yang baik akan membantu peternak dalam mengevaluasi performa farm, baik itu reproduksi ataupun status kesehatan pada anakan. Selain itu, peternak juga bisa melakukan evalusi terhadap perlakuan yang dilakukan dikandang, seperti saat mencoba formulasi pakan yang baru, program vaksinasi yang baru, dan perubahan manajemen yang mungkin kita lakukan di dalam kandang. Dengan adanya rekording ini akan memudahkan dalam menjalankan usaha peternakan kita.

Jadi jika kita ingin menjadi peternak yang berhasil, maka diperlukan langkah-langkah dan strategi yang terbaik sesuai dengan tantangan yang ada dilapangan. Pastikan kita menguasai dan mengerti kondisi peternakan kita terutama tantangan penyakit yang ada, kemudian kita mempersiapkan strategi manajemen, biosekuriti dan program vaksinasi yang disesuaikan dengan kondisi lapangan kita untuk menurunkan risiko patogen masuk atau menyebar di peternakan babi. Babi yang sehat menghasilkan daging babi yang aman. Pencegahan jauh lebih menguntungkan daripada pengobatan!!

Referensi :

  1. https://osbornelivestockequipment.com/news/swine-disease-prevention-strategies/
  2. https://www.preventionworks.info/en/swine-diseases
  3. https://www.pork.org/production/animal-disease/
  4. https://rr-asia.oie.int/wp-content/uploads/2020/05/webinar2_biosecurity-small-farms_k-jazdzewski_14may2019.pdf

Proses Repopulasi Pasca Outbreak African Swine Fever (ASF)

Proses Repopulasi Pasca Outbreak African Swine Fever (ASF)

Kasus ASF di dunia menjadi tantangan luar biasa bagi peternakan babi beberapa tahun terakhir ini. Populasi babi yang terkoreksi cukup dalam ini mengakibatkan suplai dan demand terhadap daging babi tidak seimbang dan mengakibatkan fluktuasi harga yang luar biasa. Cara menyikapi kejadian inipun berbeda-beda diantara para pelaku usaha. Di China, beberapa pengusaha melihat ini mungkin sebagai “peluang” karena kebutuhan daging babi dimasa akan datang pastinya akan sangat kurang dan siapa yang bisa suplai tentunya yang akan memetik hasilnya. Lalu strategi apa yang mereka lakukan untuk menghadapi ASF yang belum ada vaksinnya ini? Berikut adalah resume dari langkah-langkah / point penting terkait proses repopulasi yang dilakukan dan mungkin bisa kita modifikasi dan sesuaikan dengan kondisi di Indonesia :

  1. Kecepatan adalah kunci – deteksi dini, tindakan cepat dan penanganan sumber infeksi sangat penting untuk menghindari penyebaran virus lebih lanjut dalam sistem produksi. Monitoring pergerakan babi pada daerah terdampak juga harus diperketat, dan perlakuan karantina plus pengujian berkala harus dilakukan dengan disiplin dan konsisten. Baca juga : African Swine fever
  2. Desinfeksi terhadap truk pengangkut babi – proses pembersihan, desinfeksi dan pengeringan
  3. Membuat perimeter – zone untuk menahan penyebaran virus secara sistematis : ‘zona wabah’ radius 1 km, ‘zona kontrol’ radius 3-5 km, dan ‘zona pengawasan’ radius >10 km (tergantung Geografis dan kepadatan babi)
  4. Larangan di zona kontrol – batasi akses orang luar yang tidak berkepentingan, dilarang menjual/pindahkan babi ke luar zona, dilarang menyembelih babi, menjual bangkai dan produk sampingannya, pengawasan lalu lintas pakan/bahan baku dan transportasi
  5. Perlakuaan penting di zona kontrol – menempatkan titik pemeriksaan dan desinfeksi di pintu keluar masuk lokasi terdampak dan zona kontrol, desinfeksi kendaraan yang keluar dari zona kontrol, ganti pakaian dan sepatu di pos pemeriksaan sebelum memasuki zona kontrol, dan singkirkan hewan liar.
  6. Perlakuan penting di zona wabah – bersihkan semua babi dan produknya dengan seminimal mungkin kontaminasi darah (virus ASF ditemukan dalam jumlah tinggi di dalam darah); bakar/kuburkan babi mati, produk babi, fomites dan semua yang terkontaminasi sedalam 4m, lalu tutup lobang dengan kotoran dan kapur, serta desinfektan agar tidak mengundang hewan liar; proses ini sebisa mungkin dimulai dari lokasi yang paling parah untuk meminimalkan resiko penyebaran/kontaminasi; staf yang terlibat harus menerapkan protokol yang ketat (mandi, ganti baju dan alas kaki dll); lakukan pengendalian vektor
  7. Langkah desinfeksi yang tepat – virus ASF adalah virus ‘DNA enveloped’ yang kompleks dan tahan terhadap lingkungan. Agar disinfektan sepenuhnya efektif, maka sebelumnya harus dilakukan pembersihan semua bahan organik dengan deterjen, dikeringkan baru kemudian masuk ke proses disinfeksi; pastikan waktu kontak dan dosis sesuai rekomendasi, dan penguapan dengan suhu panas jika memungkinkan.
  8. Disinfektan yang terbukti mampu menonaktifkan virus ASF adalah natrium hidroksida, natrium hipoklorit, kalsium hipoklorit, glutaraldehyde, asam sitrat, yodium monoklorida, formaldehida, senyawa amonium kuarter dan kalium peroksimonosulfat. Konsultasikan ke distributor desinfektan anda ya untuk memastikan efektifitasnya terhadap ASF.
  9. Lakukan desinfeksi terhadap semua bahan dan fasilitas kandang yang terkontaminasi saat proses pembersihan memusnahkan babi
  10. Pembersihan intensif fase I – karena virus ASF sangat resisten, maka sekali lagi sangat penting untuk membersihkan dan mendisinfeksi dengan benar semua bahan yang mungkin telah bersentuhan dengan virus. Langkah fase I ini meliputi pembersihan mekanis semua bahan organik (pakan, feses, kotoran) dengan menggunakan sikat dan sekop, buang/bakar peralatan yang tidak dapat didisinfeksi dengan benar, semprotkan air ke semua permukaan, siram dengan deterjen, bilas dengan air dan biarkan waktu mengering serta semprot disinfektan ke semua permukaan dan naikkan suhu ruangan jika memungkinkan.
  11. Pembersihan intensif fase II – ulangi semua proses fase I, pastikan semua peralatan dan fasilitas bersih dan buang/bakar semua pakaian yang digunakan selama desinfeksi. Sedikit saya tambahkan disini, sharing dari kolega dokter hewan di China yang membantu proses repopulasi di sebuah farm besar menyebutkan bahwa, proses cleaning/pembersihan ini harus di test dengan ATP fluorescence detector sebelum masuk ke tahap desinfeksi. Jadi mereka harus melakukan swab terhadap semua permukaan kandang yang diduga masih terdapat cemaran patogen. Jika ternyata hasil deteksi ATP ini masih menunjukkan angka patogen yang melebihi ambang batas yang disarankan maka proses pembersihan harus diulang kembali.
  12. Pembersihan intensif fase III – disinfektsi semua permukaan dengan tekanan rendah atau menggunakan desinfektan bubuk (biarkan < 6 jam), tingkatkan suhu ruangan bila memungkinkan dan tutup area kandang
  13. Perlakuan di lingkungan luar kandang – bersihkan dan desinfeksi lingkungan dengan benar, cek tempat penampungan limbah/kotoran, cek sisa-sisan bahan baku/pakan dan tempat pakan/silo, bakar pakaian yang dipakai selama fase ini dan tutup lokasi kandang selama masa karantina sebelum mulai proses repopulasi.
  14. Bioassay – memulai kembali bisnis harus menjadi salah satu prioritas bagi setiap peternakan yang terkena ASF. Proses pengujian harus detail untuk memastikan patogen sudah tidak terdeteksi lagi. Investasi, daya dan upaya relatif besar untuk memastikan infeksi tidak terulang lagi. Peran otoritas lokal menjadi penting untuk mengatur kapan proses repopulasi bisa dimulai. Bioassay adalah metode analisis yang memastikan apakah sebuah peternakan cukup bersih untuk dihuni kembali. Baca juga : Bagaimana Kondisi Peternak Pasca Outbreak ASF?
  15. Memulai repopulasi dengan memasukkan hewan sentinel – pilih sumber hewan terpercaya dan konfirmasikan melalui pengujian laboratorium, atur transportasi dengan truk yang bersih dan didesinfeksi, tempatkan karyawan untuk tinggal di dalam kandang selama masa observasi (60 hari) dan siapkan pakan sekaligus dari sumber yang terpercaya juga; mulai masukkan babi sentinel 5-10% dari kapasitas peternakan, lalu cuci dan desinfeksi mobil pengangkut babi, keringkan sebelum digunakan kembali.
  16. Perlakuan terhadap hewan sentinel – babi dibiarkan bebas mengakses semua area kandang sehingga memastikan bahwa lingkungan dalam kandang aman dari patogen yang mungkin terlewatkan saat proses pembersihan dan desinfeksi.
  17. Monitoring hewan sentinel – pantau selama 60 hari, lakukan pengujian PCR mingguan dengan jumlah statistik yang signifikan, periksakan semua hewan yang mati ke dokter hewan dan lakukan pengujian laboratorium terhadap ginjal, tonsil, kelenjar getah bening, paru-paru dan limpa; kumpulkan sampel darah dari semua babi di akhir periode 60 hari dan lakukan uji Elisa (cek antibodi) dan uji PCR (deteksi antigen)
  18. Jika semua terlewati selama fase 60 hari (periode karantina berakhir) dan setelah semua tes menunjukkan hasil negatif maka kita kemudian bisa memasukkan populasi babi selanjutnya sampai kapasitas yang diharapkan tetapi harus terus menjalankan program monitoring dan biosekuriti yang ketat karena vaksin belum ditemukan.

Jika di China kita bisa belajar bagaimana mereka sukses dalam proses repopulasi pada peternakan besar, ternyata tidak demikian dengan contoh di Vietnam. Proses repopulasi pada peternakan skala kecil di Vietnam ternyata tidak kuasa untuk menahan gempuran virus ASF karena tindakan biosekuriti mereka yang relatif lemah. Hal ini akhirnya menyebabkan peternak mengalami kerugian ganda karena investasi mereka kembali direnggut oleh ASF. Kita tahu bahwa Vietnam terdampak ASF mulai Februari 2019, dan Oktober 2019 perusahaan skala besar disana sudah bersiap membantu peternak skala kecil untuk mulai usaha kembali. Gejolak kenaikan harga yang sangat tinggi ini juga mendapat respon positif beberapa peternak kecil sehingga mereka berani membeli dan berencana memulai beternak kembali pada bulan November 2019. Namun apa yang terjadi, hanya dalam selang waktu 3 hari setelah babi diterima dikandang ternak tersebut sakit, mati dan dinyatakan positif ASF kembali. Mengapa bisa terjadi reinfeksi setelah sekian lama kandang dikosongkan (>6 bulan) ? Mungkin jawabannya terletak pada proses pembersihan dan desinfeksi pasca ASF yang kurang baik. Baca juga : Bagaimana Proses Eradikasi dimasa lalu dan update perkembangan vaksin saat ini

Pelajaran apa yang bisa kita ambil dari 2 contoh diatas? Secara umum pengendalian penyakit dalam pemeliharaan ternak melibatkan manajemen, vaksinasi dan biosekuriti. Jika kita berbicara ASF untuk saat ini yang belum ada vaksinnya, maka sudah seharusnya kita memaksimalkan perbaikan manajemen dan memperketat biosekuriti. Peternak kecil menjadi sangat beresiko mengingat kemungkinan besar implementasi faktor-faktor tersebut kurang maksimal. Selain itu, biasanya peternak di Indonesia rata-rata juga berada dalam satu lokasi yang sama dengan peternak lainnya. Hal ini juga menjadi tantangan tersendiri, mengingat idealnya peternak dalam suatu komplek wilayah yang sama harus saling terbuka dan memiliki pemahaman yang sama dalam proses pengendalian penyakit ini agar semua populasi aman. Pembentukan kelompok ternak dan bimbingan teknis bisa menjadi sarana yang baik untuk memberikan update informasi kepada para peternak kecil sehingga tidak ada lagi peternak yang menjalankan usahanya “asal-asalan” yang pada akhirnya beresiko terhadap kelangsungan usaha peternak yang lain.

Akhir kata, untuk memulai usaha ternak kembali pasca ASF diperlukan proses cleaning dan desinfeksi, serta istirahat kandang yang relatif lama. Setelah itu, proses repopulasi bisa dilakukan idealnya setelah zona wabah sudah dikonfirm aman (lama waktunya tergantung situasi dilapangan) dan dilakukan monitoring terhadap kemungkinan kejadian penyakit dengan uji-uji laboratorium (ELISA, PCR dll). Sekali lagi, perbaikan manajemen dan biosekuriti memegang peranan penting dalam upaya pengendalian penyakit ASF ini, mengingat vaksin masih dalam tahap penelitian. Lihat juga : Video Strategi Menghadapi ASF

Referensi :

  1. https://www.pigprogress.net/Health/Articles/2019/8/ASF-on-farm-Back-on-track-in-18-steps—Part-1-461484E/
  2. https://www.pigprogress.net/Health/Articles/2019/8/ASF-on-farm-Back-on-track-in-18-steps—part-2-461974E/
  3. https://www.agricensus.com/Article/Vietnam-s-pig-repopulation-plans-in-disarray-after-fresh-ASF-scare-9476.html
  4. http://www.fao.org/3/Y0510E/Y0510E06.htm
Kondisi Peternakan Pasca Outbreak African Swine Fever

Kondisi Peternakan Pasca Outbreak African Swine Fever

Sejarah kasus ASF

Gambaran sejarah tentang situasi ASF sejak 2016 menunjukkan pola peningkatan yang signifikan dalam jumlah wabah telah diidentifikasi. Data update per juni 2020 dari organisasi kesehatan hewan dunia (OIE) menyampaikan bahwa pada periode 2016-2020 ini, kejadian ASF sudah dilaporkan dari Afrika, Eropa, dan Asia dengan total 30% (60/201) negara. Di Eropa, banyak negara yang melaporkan kejadian pertama penyakit itu sejak 2016. Mulai dari Moldova pada September 2016, Republik Ceko pada Juni 2017, Rumania pada Juli 2017, Hongaria pada April 2018, Bulgaria pada Agustus 2018, Belgia pada September 2018 (peristiwa terakhir terjadi pada tahun 1985), Slowakia pada Juli 2019, Serbia pada Januari 2020 dan Yunani pada Februari 2020. Di Asia dan Pasifik, China menjadi negara pertama yang terkena pada Agustus 2018, Mongolia pada Januari 2019, Vietnam pada Februari 2019, Kamboja pada Maret 2019, Hong Kong pada Mei 2019, Korea Utara pada Mei 2019, Laos pada Juni 2019, Myanmar pada Agustus 2019, Filipina pada Juli 2019, Korea Selatan pada September 2019, Timor-Leste pada September 2019, Indonesia pada November 2019, Papua Nugini pada Maret 2020 dan India pada Mei 2020. Berita terkini juga menyebutkan bahwa, September 2020 Jerman mengumumkan kejadian ASF pada populasi babi liar di wilayah perbatasan dengan Polandia. Baca Juga : African Swine Fever

https://academic.oup.com/view-large/figure/209755227/vfaa037f0001.jpg

Kondisi Umum sebelum ASF

Selama tiga dekade terakhir, sebenarnya produksi babi telah tumbuh cepat dari peternak kecil, menengah sampai skala industri di banyak negara Asia Pasifik. Perkembangan teknologi, pengetahuan, dan inovasi di peternakan babi telah mendorong peningkatkan manajemen, sistem perkandangan, formulasi makan dan lain-lain. Performa yang lebih baik ini dapat disebabkan oleh efisiensi galur dan pengelolaan genetik yang lebih baik yang mengarah pada peningkatan produktivitas ternak babi. Namun demikian tipikal peternakan di Asia cinderung masih menggunakan sistem yang boleh dibilang tradisional, sehingga produktifitasnya belum optimal dan masih kalah dengan negara maju yang sudah menggunakan sistem pemeliharaan modern. Di Indonesia, sistem produksi skala besar dan menengah juga telah dipraktekkan, namun demikian jumlahnya masih kalah jauh dari sistem tradisional skala kecil. Sama halnya di Thailand, tahun 2018 peternak babi skala kecil dengan kapasitas <50 babi cukup banyak (93,51%), sedangkan peternak skala besar dibagi lagi menjadi peternakan kecil kapasitas 50-500 babi (4,98%), peternakan sedang kapasitas 500-5000 babi (1,37 %), dan peternakan besar kapasitas >5000 babi (0,13%).

Area utama produksi babi berada di Asia (China memiliki > 50% populasi babi dunia), Uni Eropa, Amerika Serikat, Brasil, dan Rusia. China telah dikenal sebagai negara penghasil dan konsumsi babi terbesar di dunia. Pada tahun 2016, konsumsi daging babi di China mencapai ~ 54,98 juta ton (sekitar 1,62 juta ton daging babi masih harus diimpor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri).

Dampak Penyebaran ASF

China, sejak wabah ASF pertama dilaporkan Agustus 2018, >1 juta babi telah dimusnahkan dalam upaya menghentikan penyebaran ASF dan berdampak langsung kepada peternak kecil untuk menutup usaha ternak mereka. Kehilangan populasi babi ini tidak hanya terjadi di peternakan yang terinfeksi tetapi juga produsen yang area peternakannya berada di dalam zona terdampak ASF karena juga harus ikut dimusnahkan. Rabobank memperkirakan produksi daging babi China turun 25% pada 2019 dan 10-15% pada 2020. Hampir 70% dari semua wabah ditemukan pada peternak kecil yang memiliki <50 babi karena kurangnya kesadaran mereka tentang penerapan biosekuriti yang tepat. ASF kemudian menyebar cepat dalam waktu 3 bulan. Faktor-faktor yang mempengaruhi adalah kurangnya kontrol pergerakan babi hidup, kurangnya kapasitas deteksi cepat ASF, karantina hewan yang tidak memadai, dan lemahnya penegakan larangan pengangkutan. Selain itu, terbatasnya ruang untuk pembuangan babi dan bangkai yang terinfeksi memaksa peternak di banyak daerah gagal dalam pengelolaan bangkai yang terinfeksi dengan tepat sehingga mengakibatkan terjadinya pembuangan babi mati di jalan, sungai, atau di hutan. Situasi ini juga membuat para peternak panik dan menjual babi mereka secepat mungkin mendapatkan uang tunai yang akhirnya menyebabkan ternak babi dan produk babi yang terkontaminasi berputar dalam rantai pasokan dan menyebar ke seluruh China dan negara tetangga. Dampak lain yang dirasakan adalah perubahan yang dramatis pada fluktuasi harga daging babi. Karena produksi daging babi China sangat terganggu, mengakibatkan harga daging babi mencapai titik tertinggi (naik 47% pada agustus 2019) dan kemudian diikuti dengan peningkatan permintaan sumber protein lain seperti daging ayam dan produk budidaya. Karena permintaan yang tinggi ini akhirnya pengendalian lalu lintas produk babi hidup dan produk babi antar wilayah di China sangat sulit.

Pemerintah China pada awal bulan Desember 2019 merilis “action plan” untuk mempercepat pemulihan dan pengembangan produksi babi dalam 3 tahun. Hal ini bertujuan untuk menjaga ketersediaan ternak babi, menghentikan lonjakan harga babi, memastikan pasokan daging babi stabil, memulihkan rata-rata kapasitas produksi tahunan pada akhir 2020, dan mencapai pemulihan penuh pada tahun 2021. Rencana besar ini meliputi dukungan pembangunan peternakan babi skala besar, mengamankan lahan untuk peternakan babi, membantu peternak kecil dan menengah melalui pola hubungan kemitraan, waralaba, atau sewa dengan perusahaan produksi babi besar, promosikan penilaian dampak lingkungan, memperkuat pencegahan dan pengendalian penyakit hewan utama seperti ASF, membangun dan meningkatkan sistem manajemen resiko penyakit hewan, serta mendukung pembentukan zona bebas penyakit / komunitas (hotline ASF untuk pelaporan).

Sharing pengalaman dari kolega di China, untuk proses repopulasi disana memerlukan waktu sekitar 6 bulan untuk memastikan kandang aman. Proses cleaning dan desinfeksi menjadi kunci penting sebelum proses repopulasi. Setelah proses cleaning, mereka harus melakukan evaluasi dengan serangkaian test dan inspeksi dari pihak terkait. Jika ternyata hasilnya masih belum memenuhi syarat maka proses pembersihan harus diulangi lagi sebelum masuk ke tahapan proses desinfeksi. Selain itu, proses repopulasi juga dilakukan bertahap dengan memasukkan babi sentinel dan dimonitor secara ketat. Jika populasi sentinel aman, baru dilanjutkan memasukan babi batch selanjutnya sampai populasi yang ditargetkan terpenuhi.

Vietnam, Februari 2019 adalah wabah ASF pertama kali dikonfirmasi di provinsi utara Vietnam yangmana memiliki kemiripan dengan strain dari China. Meskipun resiko penularan ini telah diprediksi sebelumnya, strategi dan implementasi pencegahan/pengendalian penyakit ASF ini tidak mampu menghalangi penyebarannya. Perdagangan, perjalanan manusia antar negara, pergerakan hewan dan produk hewan masih sering terjadi dan cukup rumit untuk mencegah resiko penularan dan pengendalian ASF. Ciri khas virus ASF adalah persistensi jangka panjang dan kelangsungan hidup virus dalam makanan terkontaminasi yang berasal dari babi yang terinfeksi, yangmana jika pemeriksaan barang bawaan dari lalu lintas manusia tidak dilakukan dengan baik akan juga meningkatkan resiko penularan ASF. Kejadian penyebaran ASF di Vietnam juga cukup cepat. Epidemi mencapai puncaknya dan menyebar ke lebih dari 8.200 komunitas ternak di seluruh negeri dan jumlah ternak yang terdampak sekitar ~ 6 juta ekor babi (21,5%). Produksi daging babi sangat penting bagi masyarakat Vietnam dan kegiatan sosial ekonomi terkait dengan kebijakan, ketahanan pangan, pakan ternak, dokter hewan, lapangan pekerjaan, ilmu pengetahuan dan pendidikan, transportasi, dan kegiatan terkait lainnya. Akibat penurunan volume produksi ternak babi ini mendorong pertumbuhan pesat produksi unggas (16,5%), ruminansia (>5%), dan hewan ternak lainnya (>3%), sedangkan angka impor daging babi yang meningkat pesat pada tahun 2019 ( 63,0%).

Banyak solusi telah diterapkan pemerintah Vietnam, seperti restrukturisasi sektor peternakan, model produksi daging babi, rantai pasokan lokal yang terpusat dan terkontrol, dan peningkatan pencegahan penyakit dengan meningkatkan biosekuriti di berbagai tingkatan untuk mengurangi resiko ASF dan upaya mereproduksi kapasitas pasokan daging babi. Dalam jangka panjang, kondisi yang diperlukan untuk re-stocking babi dengan biosekuriti tinggi menimbulkan kesulitan bagi peternakan kecil – menengah karena untuk menjaga area bebas dari penyakit diperlukan upaya bersama dan juga investasi yang tidak sedikit, selain juga faktor ketersediaan bibit yang baik.

Repopulasi merupakan strategi implementasi awal untuk mempersiapkan skenario kekurangan daging babi, namun yang harus dilakukan sebelumnya adalah penelitian/evaluasi untuk mengklarifikasi masalah utama termasuk model peternakan yang sesuai di daerah yang terkontaminasi virus ASF, prosedur pengujian bebas penyakit untuk populasi kembali, analisis risiko pada rantai pasokan, dan evaluasi resiko air/pakan yang terkontaminasi. Selain itu, keberadaan babi liar/babi hutan mungkin juga harus dikaji lebih dalam apakah mempunyai peranan besar dalam penularan ASF ke babi domestik seperti di negara Eropa. Program pelatihan dan pendidikan teknis idealnya juga diberikan kepada otoritas lokal, dokter hewan, kelompok peternak dan semua yang terlibat untuk meningkatkan pengetahuan tentang managemen secara umum dan program pengendalian penyakit, terutama ASF. Pada akhirnya, penelitian tentang pengembangan vaksin dan obat antivirus merupakan strategi dan harapan yang lebih proaktif untuk pengendalian penyakit saat ini bagi para peternak babi di negara yang terinfeksi.

Thailand, salah satu negara yang sampai saat ini masih aman dari ASF. Walaupun demikian, resiko masuknya ASF ke Thailand cukup tingi mengingat negara tersebut dikelilingi oleh tetangga yang sudah terinfeksi ASF. Untuk mengantisipasi wabah ini, pemerintah Thailand telah menyetujui anggaran 150 juta baht (USD 4,7 miliar) untuk persiapan keadaan darurat di tingkat nasional dengan melibatkan kerjasama antara Dinas Peternakan dengan instansi terkait, peternak babi, dan pihak swasta. Rencana terdiri dari tiga fase, yaitu pra wabah, wabah, dan pasca wabah. Anggaran ini terutama untuk pengendalian faktor resiko yang terkait dengan pengenalan ASF, yaitu perpindahan ternak babi dan produk babi ilegal di sepanjang daerah perbatasan, pengawasan wisatawan/pengunjung dari negara-negara yang terkena ASF, perlakuan terhadap kendaraan, peralatan, ternak babi, makanan, dan pakan dari area berisiko. Selain itu, pengembangan diagnosis penyakit, pembentukan jaringan laboratorium, dan peningkatan kesadaran masyarakat juga disertakan terutama terhadap peternak skala kecil. Standar biosekuriti di peternakan juga dilakukan dengan mendorong investasi tindakan karantina, manajemen pemeliharaan, pelatihan, program sanitasi dan disinfeksi.

Indonesia, Pemerintah mengumumkan outbreak ASF pertama di Medan, Sumatra Utara akhir tahun 2019. Kasus ini dalam pengamatan dan informasi di lapangan pada akhirnya menyebar ke daerah-daerah kantong peternakan babi di Indonesia. Nusa Tenggara Timur yang merupakan daerah populasi terbesar ternak babi di Indonesia juga ikut terdampak, kemudian dugaan kasus ASF juga terjadi di Bali, Pulau Nias, Palembang, Lampung, Jawa Tengah dan mungkin area lainnya. Penyakit ASF ini menjadi ancaman nyata bagi populasi ternak babi kita yang mencapai 8,5 juta. Estimasi penurunan populasi ternak babi karena ASF ini diperkirakan minimal 30%.

Karena sampai saat ini belum ditemukan vaksin untuk pencegahan ASF, maka perlakuan perbaikan manajemen dan biosekuti harus diperketat. Jika sampai ada kasus, maka diharuskan melakukan langkah isolasi hewan sakit dan peralatan serta dilakukan pengosongan kandang selama 2 bulan, untuk babi yang mati karena penyakit ASF dimasukkan ke dalam kantong dan harus segera dikubur oleh petugas untuk mencegah penularan yang lebih luas, tidak menjual babi/ karkas yang terkena penyakit ASF serta tidak mengkonsumsinya.

Berdasarkan kajian analisa risiko, faktor yang menyebabkan masuknya ASF ke Indonesia diantaranya melalui pemasukan daging babi dan produk babi lainnya, penggunaan sisa-sisa katering transportasi internasional baik dari laut maupun udara untuk pakan ternak tanpa perlakuan, orang yang terkontaminasi virus ASF dan riwayat kontak dengan babi di lingkungannya. Langkah strategis utama dalam mencegah terjadi ASF adalah melalui penerapan biosekuriti dan manajemen peternakan babi yang baik serta pengawasan yang ketat dan intensif  untuk daerah yang berisiko tinggi. Upaya deteksi cepat melalui kapasitasi petugas dan penyediaan reagen untuk mendiagnosa ASF ini telah dilakukan oleh laboratorium Kementerian Pertanian yakni Balai Veteriner dan Balai Besar Veteriner di seluruh Indonesia yang mampu melakukan uji dengan standar internasional. Selain itu, pemerintah juga mengkaji untuk kebijakan ketat terhadap importasi babi hidup dan produk-produk daging babi, terutama dari negara-negara yang tertular ASF. Pemerintah menghimbau agar semua provinsi dengan populasi babi yang tinggi, seperti NTT, Sulut, Kalbar, Sulsel, Bali, Jateng, Sulteng, Kepri, dan Papua selalu waspada dan siap siaga terhadap resiko kejadian penyakit ASF dan terus aktif melakukan sosialiasi kepada peternak serta advokasi kepada pimpinan daerah terkait ancaman ASF.

Tantangan pasca ASF

Setelah wabah ASF, ketahanan pangan global akan dihadapkan pada kondisi suplai dan permintaan babi/produk babi yang tidak seimbang. Kekurangan ketersediaan daging babi saat ini berdampak pada harga daging babi dan mengubah perilaku konsumsi daging ke sumber protein alternatif lainnya. Uni Eropa telah menjadi benua teratas pengekspor produk daging babi setelah wabah ASF di Asia, selain Amerika Serikat, Kanada, dan Brasil. Secara bisnis ini adalah peluang sebenarnya, tinggal bagaimana kita mempersiapkan strategi untuk meminimalkan resiko ASF.

Untuk memulai usaha ternak babi kembali pasca ASF, perbaikan manajemen, proses sanitasi dan desinfeksi, program biosecuriti serta dampak kenaikan harga bahan pakan terhadap biaya produksi ternak juga akan berpengaruh pada kekuatan investasi masing-masing pelaku usaha, mengingat 60-70% biaya produksi babi terserap pada biaya pakan. Kondisi ini kemungkinan akan menyebabkan beberapa peternak skala kecil-menengah berpikir ulang untuk repopulasi kembali, atau bahkan sudah melirik usaha yang lain. Oleh karena itu, transformasi industri babi dari peternakan skala kecil ke peternakan skala menengah dan besar bersama dengan perbaikan sistem produksi dan didukung dengan manajemen serta biosekuriti yang lebih baik akan bertahan di masa depan. Baca Juga : Biosekuriti pada Peternakan babi . Jika semua aspek diatas bisa ditangani, kendala pasca ASF selanjutnya adalah terbatasnya ketersediaan calon induk yang baik untuk memulai restocking. Pastikan kita memilih suplier yang terpercaya dan babi yang kita beli bebas dari penyakit. Lakukan monitoring kesehatan ternak secara berkala untuk memastikan status kesehatnya terjamin dan jangan lupa untuk tetap memperhatikan tantangan penyakit selain ASF, penggunaan program vaksinasi bisa dioptimalkan untuk mengendalikan penyakit-penyakit tersebut.

Kesimpulan

ASF memang menjadi predator yang mematikan bagi para peternak babi di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Kita sudah banyak mendengar, membaca dan menyaksikan sendiri, bahwa penyebaran ASF yang cepat ini mengakibatkan hilangnya populasi babi yang sangat besar berdampak signifikan terhadap pasokan protein global sehingga mengubah perilaku konsumsi daging babi ke sumber protein alternatif lainnya. Tetapi kita juga bisa belajar dari pengalaman tersebut untuk mengawali semuanya kembali dengan sikap optimis. Dalam skenario apapun, segmen yang paling terkena dampak dan paling rentan dari populasi babi adalah peternak skala kecil. Pendampingan dan transformasi industri babi menjadi peternakan skala menengah dan besar bersama dengan sistem manajemen produksi dan biosekuriti yang baik akan bertahan di masa depan. Walaupun strategi pengendalian penyakit dari berbagai sistem produksi babi di Asia memang menjadi tantangan tersendiri, tetapi dengan komitmen dan kerja sama semua pihak terkait tidak mustahil perbaikan dan pemulihan pasca ASF ini akan berhasil

Referensi :

  1. https://www.oie.int/en/animal-health-in-the-world/information-on-aquatic-and-terrestrial-animal-diseases/african-swine-fever/reports-on-asf/
  2. https://academic.oup.com/af/article/10/4/30/5943513
  3. https://www.pig333.com/latest_swine_news/asf-in-china-plan-to-recover-from-asf-announced_15600/
  4. https://www.thepigsite.com/articles/global-update-on-african-swine-fever-asia-russia-germany-romania
  5. https://www.pertanian.go.id/home/?show=news&act=view&id=4141#:~:text=KEMENTERIAN%20PERTANIAN%20REPUBLIK%20INDONESIA&text=African%20Swine%20Fever%20(ASF)%20adalah,relatif%20lebih%20tahan%20terhadap%20disinfektan.
Porcine Reproductive and Respiratory Syndrome pada Babi

Porcine Reproductive and Respiratory Syndrome pada Babi

Porcine Reproductive and Respiratory Syndrome (PRRS) adalah salah satu penyakit virus yang menyebabkan kerugian besar pada industri peternakan babi di dunia. PRRS menyebabkan tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi, performance reproduksi tidak baik dan pertumbuhan yang lambat pada anak babi karena gangguan pernafasan.

Di US, PRRS diperkirakan menyebabkan kerugian sekitar $ 664 juta/tahun. Pada tahun 2012, analisa ekonomi pada 9 breeding babi di Belanda menunjukkan bahwa kerugian akibat outbreak PRRS selama 18 minggu adalah 126 euro/induk  atau sekitar 2 juta rupiah/induk. PRRS relative sulit untuk dikontrol, namun demikian sebuah studi di Denmark berhasil membuktikan bahwa eliminasi PRRS bisa dilakukan dari wilayah Horne Peninsula, dimana 12 farm yang saling berdekatan berkomitmen untuk saling support dan bekerja sama melakukan proyek ini.

Kita tahu bahwa PRRS mulai merebak di dunia pada tahun 1980an. Penyakit ini kemudian disinyalir masuk ke Indonesia tahun 1990an. Paling tidak sudah ada 2  penelitian membuktikan bahwa PRRS telah terdeteksi di wilayah Indonesia. Maka, sudah sewajarnya kita memproteksi asset kita agar tidak mengalami kerugian. Baca juga : Apa itu Porcine Respiratory Disease Complex?

Program kontrol penyakit PRRS ataupun penyakit lain pada umumnya adalah sama, yaitu bagaimana kita mencegah infeksi, memaksimalkan kekebalan dan meminimalkan tantangan lapangan. Kontrol PRRS tidak cukup  hanya terpaku pada program vaksinasi saja, tetapi menuntut lebih banyak pihak untuk secara mendasar tahu tentang penyakit ini dan tahu kondisi kandang/lingkungan, dan juga managemen yang baik agar bisa sukses dalam jangka panjang. Biosecurity memiliki peran penting untuk menunjang program vaksinasi agar berjalan maksimal. Kemampuan menganalisa faktor resiko dari luar dan dalam, lingkungan dan managemen  menjadi titik kritis keberhasilan farm dalam menanggulangi datangnya penyakit.

Pada kondisi kandang yang lokasinya berdekatan satu sama lain tidak jarang komitmen antar peternak sulit untuk dilakukan. Maka, memaksimalkan kontrol terhadap faktor resiko Internal dan managemen menjadi hal yang wajib dilakukan. Disisi lain, pengawasaan terhadap resiko dari  faktor lokasi dan resiko ekternal tetap harus dimonitor meski  lebih sulit karena diluar kendali kita.  Baca juga : Pentingnya Biosekuriti pada Peternakan Babi.

Silahkan anda dapat mengunjungi www.prrs.com untuk lebih detail mengenal penyakit PRRS dan juga mengunduh aplikasi COMBAT for PRRS di android/IOS untuk mengukur level biosecurity di farm kita. Semoga dengan pemahaman yang baik akan penyakit PRRS akan membantu kita dalam upaya kontrol penyakit ini sehingga pada akhirnya performance farm menjadi optimal.

References

 1.  Lunney JK, Benfield DA, Rowland RR. Porcine reproductive and respiratory syndrome virus: an update on an emerging and re-emerging viral disease of swine. Virus Res. 2010;154:1–6.

 2.  Holtkamp DJ, Kliebenstein JB, Neumann EJ, Zimmerman J, Rotto H, Yoder T, et al. Assessment of the economic impact of porcine reproductive and respiratory syndrome virus on United States pork producers. J Swine Health Prod. 2013;21:72–84.

 3.  Nieuwenhuis N, Duinhof TF, van Nes A. Economic analysis of outbreaks of porcine reproductive and respiratory syndrome virus in nine sow herds.Vet Rec. 2012;170:225.

4.https://www.researchgate.net/publication/312267717_Control_and_eradication_of_porcine_reproductive_and_respiratory_syndrome_virus_type_2_using_a_modified-live_type_2_vaccine_in_combination_with_a_load_close_homogenise_model_An_area_elimination_study10 Golden Rules

5.https://www.prrs.com/en/publications/articles/prrs-underestimated-disease/

6.https://www.researchgate.net/publication/256131165_SEROLOGICAL_SURVEILLANCE_OF_PORCINE_REPRODUCTIVE_AND_RESPIRATORY_SYNDROME_IN_PIGGERIES_IN_BALI

7.https://www.researchgate.net/publication/267689332_DETEKSI_ANTIBODI_TERHADAP_VIRUS_PORCINE_REPRODUCTIVE_AND_RESPIRATORYSYNDROME_PRRS_PADA_BABI_DI_BEBERAPA_DAERAH_INDONESIA_BAGIAN_TIMUR

Swine Influenza pada Babi

Swine Influenza pada Babi

Swine Influenza atau Flu babi adalah infeksi virus influenza A, RNA virus golongan orthomyxovirus yang sangat menular pada babi. Penyakit ini biasanya menyebar sangat cepat di dalam unit pemeliharaan babi meskipun semua babi yang terinfeksi mungkin tidak menunjukkan tanda-tanda klinis infeksi, kemudian diikuti dengan pemulihan cepat. Subtipe yang paling umum ditemukan pada babi adalah influenza A H1N1, H1N2 dan H3N2. Angka kesakitan penyakit ini mencapai 100%, sedangkan angka kematian pada umumnya rendah. Dampak ekonomi yang terutama terkait dengan perlambatan kenaikan berat badan yang mengakibatkan peningkatan jumlah hari untuk mencapai bobot pasar.

Virus flu babi ditemukan terutama pada babi, tetapi juga ditemukan pada spesies lain termasuk manusia, kalkun, dan bebek. Babi yang terinfeksi dapat mulai mengeluarkan virus flu babi dalam waktu 24 jam setelah terinfeksi, dan biasanya mengeluarkan virus (shedding) selama 7-10 hari. Infeksi flu babi pada manusia pernah dilaporkan dan biasanya terjadi pada orang yang bersentuhan langsung dengan babi yang terinfeksi dan menyerupai influenza musiman. Selain itu virus flu babi sangat jarang menyebar pada populasi manusia. Flu babi juga bukanlah penyakit bawaan makanan sehingga jika ada informasi risiko terinfeksi virus flu babi melalui konsumsi daging babi atau produk babi dapat diabaikan karena virus influenza umumnya terbatas pada saluran pernapasan babi, dan tidak terdeteksi pada otot (daging) babi, bahkan selama sakit akut sekalipun.

Tanda-tanda klinis flu babi pada ternak biasanya muncul dalam 1 -3 hari dan kebanyakan hewan pulih dalam waktu 3-7 hari kemudian jika tidak ada infeksi sekunder atau komplikasi lain. Flu babi adalah penyakit saluran pernapasan atas akut yang ditandai dengan demam, lesu, anoreksia, penurunan berat badan, dan sesak napas. Batuk, bersin, dan ingus biasanya juga terlihat, sedangkan konjungtivitis dan aborsi adalah tanda klinis yang kurang umum tetapi bisa terjadi pada ternak babi kita. Tidak jarang babi yang terkena flu tidak menunjukkan gejala, akan tetapi jika ada komplikasi dengan patogen yang lain termasuk infeksi bakteri sekunder atau virus lainnya biasanya bisa mengakibatkan bronkopneumonia sekunder yang berpotensi fatal. Dari gejala klinis yang nampak dilapangan tersebut, sebenarnya kita bisa dengan mudah melihat kasus flu babi pada ternak kita, akan tetapi untuk memastikan diagnosa sebaiknya tetap dilakukan uji laboratorium (Elisa, PCR) untuk mengantisipasi ada tidaknya patogen yang lain juga.

Kalkun yang terinfeksi virus flu babi dapat mengalami gangguan pernapasan, penurunan produksi telur, atau menghasilkan telur yang tidak normal. Pada kejadian flu babi yang menyerang manusia, gejala yang diamati dan dilaporkan umumnya menyerupai influenza musiman, termasuk penyakit saluran pernapasan atas, penyakit pernapasan akut, atau pneumonia dan namun kejadian di manusia sangat jarang berakibat fatal.

Bagaimana upaya pencegahan dan pengendalian yang bisa kita lakukan? Program biosekuriti yang baik sangat penting untuk mencegah penularan melalui fomites (alat-alat peternakan) dan vektor mekanis. Jika kandang babi terinfeksi flu babi, virus dapat bertahan dalam kawanan dan menyebabkan wabah secara berkala, akan tetapi manajemen yang baik dapat menurunkan resiko penularan tingkat keparahan penyakit. Perlu kita ketahui bahwa setelah flu babi terindikasi muncul di sebuah peternakan, akan sangat sulit untuk sepenuhnya diberantas dan depopulasi ternak mungkin diperlukan. Namun demikian virus influenza sensitif terhadap panas, pengeringan, deterjen, dan disinfektan sehingga sebenarnya relatif mudah untuk dikendalikan jika kita melakukan prosedur biosekuriti yang benar. Baca juga : Pentingnya Biosekuriti pada Peternakan Babi.

Berkaitan dengan kejadian flu babi pada manusia tahun 2009 lalu, sebuah penelitian menyampaikan bahwa babi telah lama dianggap sebagai inang perantara yang potensial sebagai tempat virus avian influenza (flu burung) dapat beradaptasi dengan manusia. Surveilans 2005-2009 menemukan bahwa 52 sampel babi di 4 provinsi telah terinfeksi avian influenza A (H5N1) selama 2005–2007, sedangkan surveilans 2008-2009 hasilnya negatif. Analisia menunjukkan bahwa virus yang normalnya ditemukan pada unggas ini telah masuk ke dalam populasi babi di Indonesia paling sedikit 3 kali. Secara visual, tidak ada babi terinfeksi yang memiliki gejala mirip influenza, sehingga hal ini menunjukkan bahwa virus influenza A (H5N1) yang menginfeksi ternak babi dapat berkembang biak tanpa terdeteksi untuk waktu yang lama dan kemudian memfasilitasi adaptasi virus unggas ke inang mamalia. Dari penelitian ini menunjukkan bahwa babi juga berisiko terinfeksi saat terjadi wabah virus influenza A (H5N1) di unggas. Kesimpulan dari penelitian ini salah satunya adalah meskipun infeksi virus influenza A (H5N1) tidak dilaporkan terjadi di antara pekerja kandang babi di Indonesia, akan tetapi ada pekerja yang menunjukkan peningkatan kadar antibodi terhadap flu babi A ( H1N1) virus. Hal ini menunjukkan bahwa manusia memang rentan terhadap virus hasil adaptasi (mutasi) pada babi. Kemudian ketika terjadi pandemi flu babi (H1N1) tahun 2009 lebih lanjut menunjukkan bahwa babi dapat menjadi sumber virus potensial yang mampu menyebabkan pandemi influenza pada manusia. Penemuan ini menunjukkan bahwa ketika virus avian influenza A (H5N1) menyebar di antara babi dan kemudian beradaptasi untuk mengenali tipe reseptor manusia, maka peternak, pekerja babi, dan keluarganya akan berada pada risiko terbesar untuk terinfeksi oleh virus yang baru beradaptasi di ternak babi tersebut. Baca juga : African Swine Fever.

Bagaimana dengan vaksin influenza ? Mungkin di pasar global sudah ada vaksin influenza yang tersedia untuk dipakai sebagai salah satu upaya pengendalian infeksi virus influenza pada babi. Vaksin akan memberikan perlindungan yang baik, jika mencerminkan subtipe dan strain di suatu wilayah dan harus terus dimonitor tingkat keberhasilannya mengingat mutasi virus yang bisa saja terjadi. Kita harus tahu, vaksin tidak selalu bisa mencegah terjadinya infeksi atau shedding virus di lapangan, tetapi babi yang sudah divaksinasi umumnya memiliki tingkat keparahan penyakit yang lebih ringan jika terinfeksi daripada babi yang tidak divaksin. Di Indonesia, vaksin swine influenza belum tersedia sehingga pelaksanaan managemen pemeliharaan yang baik dan biosekuriti menjadi hal yang harus dioptimalkan dalam upaya pengendalian penyakit ini.

Referensi :

  1. https://www.oie.int/en/animal-health-in-the-world/animal-diseases/Swine-influenza/
  2. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3294999/
  3. https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/19516283/
  4. https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/18258038/
  5. https://www.pigprogress.net/Health/Health-Tool/diseases/Swine-influenza-SI/
Pentingnya Biosekuriti pada Peternakan Babi

Pentingnya Biosekuriti pada Peternakan Babi

Biosekuriti adalah implementasi tindakan mengurangi risiko masuknya dan penyebaran agen penyakit. Tindakan biosekuriti harus digunakan untuk menghindari masuknya patogen ke dalam peternakan (biosekuriti eksternal) dan untuk mencegah penyebaran penyakit pada hewan yang tidak terinfeksi di dalam kawanan atau dari peternakan satu dan ke peternakan lain, ketika patogen sudah ada (biosekuriti internal). Elemen utama biosekuriti meliputi pemisahan pemeliharaan untuk membatasi peluang hewan yang terinfeksi dan bahan yang terkontaminasi untuk masuk; pembersihan (kendaraan, peralatan kandang) secara menyeluruh untuk menghilangkan kotoran dan debu yang terlihat; disinfeksi untuk menonaktifkan patogen yang ada pada bahan / area kandang yang telah dibersihkan secara menyeluruh.

Tindakan untuk meningkatkan biosekuriti bergantung pada sistem produksi babi, geografi dan sosial ekonomi setempat. Langkah segregasi / pemisahan meliputi pengendalian masuknya babi liar di luar peternakan, karantina, membeli babi hanya dari sumber yang terpercaya, membuat pagar untuk kontrol lalu lintas manusia serta hewan liar (burung, kelelawar, tikus, kucing dan anjing), menyediakan alas kaki dan pakaian khusus aktifitas di kandang, dan sedapat mungkin menggunakan sistem manajemen all-in-all-out. Tindakan pembersihan dan desinfeksi melibatkan penggunaan mesin pompa air bertekanan tinggi dan bertekanan rendah, dan diterapkan tidak hanya pada bangunan, tetapi juga kendaraan, peralatan, pakaian, dan alas kaki. Kemauan untuk melaksanakan langkah-langkah ini sangat bergantung pada kapasitas investasi dan status sosial dan ekonomi dari peternak. Peternakan di masyarakat pedesaan pada umumnya lemah dalam hal ini, namun ideal mereka tetap harus memiliki pemahaman yang jelas tentang pentingnya faktor-faktor penentu kesuksesan dalam beternak babi sehingga performance yang dihasilkan secara ekonomi bisa menunjang kelangsungan kehidupan dan menjadi mata pencaharian yang dapat dihandalkan. Praktek managemen pemeliharaan yang praktis seharusnya masih bisa diaplikasikan walaupun dalam lingkup peternakan kecil sekalipun.

Biosekuriti bisa diterapkan pada semua sistem pemeliharaan, hanya saja mungkin perlu penyesuaian dengan kondisi kandang. Peternak perlu fokus pada kontrol dari bahan pakan, kontaminasi air, hewan liar dan lalu lintas orang. Faktor lain seperti transportasi, fomites / peralatan kandang dan sumber calon induk juga perlu diperhatikan mengingat risikonya sama dengan sistem produksi lainnya. Peran pembeli / perantara, kendaraan pengangkut juga sangat penting dalam hubungannya dengan rantai pemasaran tetapi mereka juga berpotensi penularan penyakit. Rumah potong hewan harusnya menerapkan biosekuriti yang baik agar hewan yang akan dipotong tetap dalam kondisi sehat saat di penampungan.

Kita tahu bahwa, babi rentan terhadap berbagai macam penyakit yang akhirnya bisa mempengaruhi produktivitas. Pandemi influenza 2009, yang disebabkan oleh strain baru flu babi H1N1 juga menjadi contoh tentang risiko penularan penyakit ke manusia terkait dengan produksi ternak. Sedangkan sekarang African Swine Fever (ASF) juga menjadi ancaman bagi kelangsungan usaha peternakan babi di Indonesia, bahkan dunia karena belum ditemukannya metoda pengobatan / vaksin yang ampuh untuk menanggulangi wabah ini. Di antara solusi yang dibutuhkan untuk meminimalkan risiko penyebaran penyakit, penguatan biosekuriti adalah prioritas. Pengetahuan menyeluruh tentang epidemiologi penyakit babi dan jalur penularan penyakit harusnya menjadi alarm bagi peternak dan pihak berwenang untuk mengembangkan langkah-langkah biosekuriti yang terbaik untuk sektor babi agar kerugian bisa dihindari.

Sekali lagi berkaitan dengan penerapan biosekuriti, peternakan skala besar biasanya sudah mempunyai standart operasional yang jelas sedangkan peternakan di masyarakat pedesaan relatif kurang. Pendekatan holistik multi-sektoral diperlukan mengidentifikasi poin risiko kritis untuk penyebaran penyakit dan untuk memahami evolusi penyakit di lingkungan tertentu, serta dampak penyakit pada manusia. Kampanye program biosekuriti berkelanjutan dengan penggunaan metodologi partisipatif dan strategi komunikasi yang dirancang dengan baik bisa menjadi jembatan untuk menutup gap managemen pemeliharaan diantara para peternak. Dengan pemahaman yang sama, maka tingkat resiko penyakit dalam suatu lingkungan peternakan yang padat bisa diminimalkan. Tidak mudah memang, tetapi hal ini harus dilakukan untuk kesuksesan bersama.

Referensi :

  1. http://www.fao.org/3/a-i1435e.pdf
  2. https://www.researchgate.net/publication/6247939_Biosecurity_measures_on_swine_farms_in_Spain_Perceptions_by_farmers_and_their_relationship_to_current_on-farm_measures
  3. https://www.pork.org/food-safety/biosecurity-management-best-practices/
error: Content is protected !!