Dunia peternakan babi masih menghadapi ancaman serius dari virus African Swine Fever (ASF). Kenyataan dilapangan, gejala klinis ASF ini ternyata mirip dengan Classical Swine Fever atau yang juga dikenal dengan nama Hog Cholera. Walaupun memiliki gejala klinis yang serupa dan beberapa karakter patogen yang sama, ASF dan CSF ini disebabkan oleh virus yang sangat berbeda. Jika kita mendiagnosa hanya berdasarkan evaluasi visual baik klinis maupun patologis tanpa uji laboratorium maka sangat besar kemungkinan kita akan salah, terutama pada kasus subakut, kronis dan atipikal. Perbedaan tanda klinis dan lesi post mortem yang mungkin terjadi pada wabah akut dan perakut dari kedua penyakit tersebut sangat mirip, oleh karena itu diagnosis tentatif dari ASF atau CSF sekali lagi harus dikonfirmasi dengan uji laboratorium. Terkait hal ini, hari ini kita akan belajar bersama mengenai apa itu CSF. Hal ini penting mengingat kita di Asia merupakan wilayah yang endemis terhadap virus ini karena jika sampai terjadi wabah, kedua penyakit tersebut secara umum dapat menimbulkan konskuensi ekonomi yang besar. Berikut adalah perbedaan penting dari ASF dan CSF yang idealnya kita ketahui :
Apa itu CSF? penyakit ini ditemukan pertama kali di Amerika Serikat pada abad ke-19. Classical Swine Fever di Indonesia lebih dikenal dengan nama Hog Cholera. Ini merupakan penyakit virus yang sangat menular baik pada babi domestik maupun babi liar. Penyakit ini disebabkan oleh virus dari genus Pestivirus dari famili Flaviviridae, yang berkerabat dekat dengan bovine viral diarrhoea pada sapi dan border disease pada kambing/domba. Hanya ada satu serotipe virus CSF di dunia dan beberapa genotipe yang secara teori bisa saling proteksi silang. Terkait resiko kesehatan masyarakat, manusia tidak terpengaruh oleh virus ini karena babi adalah satu-satunya spesies yang diketahui rentan terhadap virus CSF ini.
Penularan dan penyebaran. Cara penularan yang paling umum adalah melalui kontak langsung antara babi yang sehat dan yang terinfeksi virus CSF. Virus bisa terdeteksi keluar dari air liur, sekresi hidung, urin, dan feses. Selain itu, kontak dengan kendaraan, kandang, pakan, atau pakaian yang terkontaminasi juga dapat menyebarkan penyakit. Yang tidak kalah penting adalah keberadaan hewan carrier di lokasi kandang, karena babi ini sebenarnya sakit secara kronis dan mengeluarkan virus ke lingkungan melalui kotorannya (shedding virus) tetapi tidak menunjukkan gejala klinis penyakit sehingga peternak biasanya tidak menyadari bahayanya. Jika terjadi infeksi secara vertikal dari induk ke anak, maka hal ini juga berbahaya karena anak babi yang dihasilkan ini juga dapat dapat melepaskan virus selama berbulan-bulan ke lingkungan sehingga beresiko menjadi sumber penularan. Virus CSF dapat bertahan hidup pada daging babi dan produk daging babi olahan selama berbulan-bulan saat daging disimpan di lemari es dan selama bertahun-tahun saat dibekukan, oleh karena itu babi juga dapat terinfeksi dengan memakan daging babi atau produk asal babi yang terinfeksi CSF. Di Eropa, telah dibuktikan bahwa di beberapa negara yang terdapat populasi babi hutan juga berperan dalam epidemiologi penyakit CSF ini, dan penyebarannya melalui pengangkutan hewan secara legal dan ilegal, ataupun pada peternakan yang melakukan swill feeding (bahan pakan dari sisa limbah rumah makan, pelabuhan, bandara dll).
Gejala klinis. Penyakit CSF ini memiliki bentuk akut dan kronis, namun demikian kejadian sub akut dan persisten juga bisa ditemukan dengan tingkat keparahan tergantung pada virulensi strain CSF yang menyerang. Pada bentuk akut, biasanya bisa muncul pada semua kelompok umur dengan gejala klinis berupa demam, bergerombol, nafsu makan hilang, bulu kusam, lemas, konjungtivitis, sembelit yang diikuti diare, dan inkoordinasi (berjalan tidak stabil). Beberapa hari setelah timbulnya gejala klinis, maka akan diikuti dengan perubahan warna pada telinga, perut, dan paha bagian dalam (sianosis/warna keunguan). Jika kita melakukan bedah bangkai maka biasanya terjadi perdarahan pada organ dalam. Hewan dengan penyakit akut biasanya akan mati dalam 7-20 hari. Bentuk subklinis bisa diakibatkan oleh strain CSF yang virulen juga dengan gejala demam yang bisa bertahan antara 2-3 minggu. Babi bisa bertahan relatif lebih lama dan kematian bisa terjadi dalam 1 bulan. Untuk bentuk kronis dari strain yang virulensinya sedang / rendah, satu-satunya ekspresi mungkin bisa kita amati adalah performa reproduksi yang buruk dan anak babi juga muncul gejala saraf seperti tremor kongenital. Ketika sistem kekebalan tidak bisa mengeliminasi virus, maka babi akan mengalami kejadian CSF yang kronis dengan gejala klinis yang tidak spesifik (demam, depresi, wasting / kurus, dan dermatitis). Babi ini bisa shedding virus selama 1-3 bulan dan akan mati jika lesi melanjut menjadi lebih parah dan berkembang di ileum dan rektum. Infeksi persisten bisa terjadi saat induk-induk bunting terinfeksi CSF, kemudian virus melewati plasenta dan menginfeksi janin. Infeksi persisten terkadang disebut sebagai prenatal course atau “late onset CSF prenatal“. Hasil dari infeksi prenatal akan bergantung pada virulensi penyakit tersebut dan masa kebuntingannya. Jika terinfeksi pada awal kehamilan dengan strain sedang atau rendah maka induk babi dapat terjadi aborsi, lahir mati, atau mumifikasi fetus. Infeksi pada induk babi sekitar 50–70 hari kebuntingan dapat menyebabkan sebagian anak babi yang lahir hidup beberapa hari kemudian mengalami tremor bawaan sementara. Anak babi yang tertular secara terus-menerus mungkin tidak akan menunjukkan tanda-tanda spesifik. Kita biasanya bisa curiga jika ada pertumbuhan babi yang terhambat selama beberapa bulan setelah kelahiran. Beberapa akan bisa bertahan hidup selama lebih dari 6 bulan, tetapi jarang melewati satu tahun. Babi ini bersifat carrier dan beresiko untuk shedding selama hidupnya sehingga menjadi salah satu sumber penularan ke ternak babi yang lainnya.
Diagnosa. Karena tanda klinis yang muncul tidak spesifik dan sangat bervariasi, maka tes laboratorium diperlukan untuk mendeteksi antibodi atau virus itu sendiri. Diagnosis banding untuk CSF mencakup penyakit hewan endemik dan asing seperti african swine fever, salmonellosis, porcine dermatitis and nephropathy syndrome (PDNS), erysipelas, porcine circovirusassociated disease (PCV2), hemolytic disease of the newborn, porcine reproductive and respiratory syndrome (PRRS), pasteurellosis, actinobacillosis, Haemophilus suis, thrombocytopenic purpura, anticoagulant (e.g. warfarin) poisoning, salt poisoning, pseudorabies, parvovirus infection, and eperythrozoonosis.
Pencegahan dan pengendalian. Karena CSF adalah virus maka metode pengobatan dengan antibiotik tidak akan membantu, kecuali hanya untuk mengontrol adanya infeksi bakterial sekunder saja jika ada. Babi yang sudah terkena CSF harus segera dievakuasi dari lokasi kandang agar mengurangi tingkat resiko penyebaran. Jika ada yang mati juga harus dikubur atau dibakar. Untuk daerah yang sudah endemis CSF, program pencegah idealnya dilakukan dengan menerapkan sanitasi dan desinfeksi yang ketat dan juga melakukan program vaksinasi untuk membentuk kekebalan. Di kawasan yang bebas penyakit CSF, maka umumnya diterapkan kebijakan depopulasi atau stamping out dalam usaha pengendaliannya, yaitu meliputi upaya deteksi dini, pengendalian pergerakan ternak, handling bangkai secara tepat, serta pembersihan dan desinfeksi. Dengan pemberlakuan kebijakan ini, ternyata juga telah berhasil mengeliminasi kejadian CSF dari Amerika Utara dan sebagian besar Eropa Barat. Hal yang sama dilakukan juga terhadap proses eliminasi kasus ASF dibanyak wilayah yang terinfeksi saat ini, karena vaksin ASF belum ada.
Status free CSF ini harus dimaintain dengan program yang baik agar resiko outbreak kembali kecil. Jepang adalah contoh negara yang sudah free CSF selama lebih dari 20 tahun dan mengalami outbreak lagi tahun beberapa tahun yang lalu. Studi / penelitian di Jepang juga dilakukan untuk mendeskripsikan karakteristik epidemiologi kejadian luar biasa dari CSF. Kasus pertama dikonfirmasi pada September 2018, 26 tahun setelah kasus terakhir yang diketahui. Outbreak terjadi pada 39 farm, yaitu 34 farm komersial dan 5 nonkomersial. Hal ini terjadi pada periode antara September 2018 hingga Agustus 2019. Dalam penelitian ini dilakukan analisis deskriptif terhadap data epidemiologi karakteristik kandang yang terkena dampak, manifestasi klinis, jalur penularan di peternakan, keberadaan babi hutan yang terinfeksi, dan tindakan pengendalian yang diterapkan. Dari 34 farm komersial yang terdampak, 28 diantaranya terjadi di farrow-to-finish dan diasumsikan bahwa faktor risiko utama adalah seringnya interaksi antara manusia dan ternak babi, serta lalu lintas perpindahan babi antar peternakan. Baca juga : biosekuriti di era new normal.
Ketika wabah CSF terjadi, berikut adalah langkah-langkah yang harus segera dilakukan :
- Culling semua babi di peternakan yang terkena dampak
- Membersihkan / pembuangan bangkai dan sarana prasarana yang diduga terkontaminasi – pembersihan mekanis material organik di kandang dengan air panas dan deterjen. Diamkan sampai mengering dahulu sebelum proses desinfeksi.
- Desinfeksi semua area kandang yang terdampak
- Pemberlakuan zona wabah untuk melakukan kontrol terhadap lalu lintas ternak, orang dan kendaraan
- Investigasi epidemiologi penyakit secara terperinci dengan evaluasi kemungkinan sumber penularan, lakukan perbaikan / investasi up grade fasilitas kandang dan biosekuriti, serta pengawasan zona secara optimal sebelum memulai lagi usaha peternakan
- Di daerah yang endemik CSF, vaksinasi sebaiknya dipertimbangkan untuk digunakan dalam program pengendalian / mencegah penyebaran penyakit
Distribusi geografis. CSF sampai saat ini masih ditemukan di Amerika Tengah dan Selatan, Eropa, dan Asia serta sebagian Afrika. Amerika Utara, Australia dan Selandia Baru saat ini bebas dari penyakit ini. Sejarah kejadian outbreak CSF di dunia terjadi sekitar tahun 1990an, yaitu di Belanda (1997), Jerman (1993-2000), Belgia (1990, 1993, 1994) dan Italia (1995, 1996, 1997).
Bagaimana dengan kejadian CSF di Indonesia? Penyakit CSF merupakan salah satu penyakit hewan menular yang tercantum dalam daftar Penyakit Hewan Strategis Nasional serta mendapatkan prioritas dalam usaha pencegahan, pengendalian dan pemberantasannya. Sebelum tahun 1995, CSF merupakan penyakit eksotik di Indonesia karena memang belum ditemukan di negara kita. Kasus CSF pertama kali ditemukan di Sumatra Utara dan akhirnya menyebar ke hampir semua wilayah dengan cepat melalui perdagangan babi lintas daerah di tahun 1997, termasuk Sumatra Barat, Riau, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara dan Selatan, serta Bali. Sampai saat ini CSF diyakini sudah menjadi endemis di hampir semua wilayah yang terdapat populasi ternak babi, oleh karena itu pemerintah dan sebagian besar peternak juga selalu melakukan pengadaan dan pelaksanaan vaksinasi secara rutin guna mengurangi resiko kejadian penyakit ini. Bahkan mungkin pelaksanaan vaksinasi CSF ini sudah menjadi hal yang umum dilakukan mengingat para peternak, baik skala besar ataupun kecil karena semua sudah tahu resikonya.
Rerefences :
- https://link.springer.com/chapter/10.1007%2F978-1-4613-2343-3_8 Differential Diagnosis Between African Swine Fever and Hog Cholera
- https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5706370/ African and classical swine fever: similarities, differences and epidemiological consequences
- https://www.frontiersin.org/articles/10.3389/fvets.2020.573480/full Epidemiology of Classical Swine Fever in Japan—A Descriptive Analysis of the Outbreaks in 2018–2019
- https://www.oie.int/en/animal-health-in-the-world/animal-diseases/classical-swine-fever/
- https://www.oie.int/fileadmin/Home/fr/Health_standards/tahm/3.08.03_CSF.pdf
- https://www.cfsph.iastate.edu/diseaseinfo/disease/?disease=classical-swine-fever
- http://bvetbukittinggi.ditjenpkh.pertanian.go.id/bvet_admin/file_download/hc2015.pdf