Diare pada Babi

Diare pada Babi

Membahas masalah penyakit pada ternak babi sepertinya tidak ada habisnya. Kali ini kita akan mencoba membahas tentang gangguan pencernaan yang umumnya ditemui pada usaha peternakan babi. Apa saja patogen yang berperan dan bagaimana kita menganalisanya? Berikut adalah penyakit pencernaan yang umumnya dihadapi para peternak babi di lapangan :

Enteric Colibacillosis. Gangguan yang paling umum dialami anak babi adalah diare yang disebabkan oleh bakteri Escherichia coli. Strain patogen E. coli mudah diisolasi dan termasuk dalam bakteri gram negatif. Ada lima jenis E.coli yang ditemukan pada babi yaitu F4 (K88), F5 (K99), F41 dan F6 (987P) yang memediasi adhesi pada neonatus, serta F18 yang bertanggung jawab terhadap kejadian kolibasilosis pasca penyapihan seperti halnya F4.

Strain patogen Enterotoksik E. coli (ETEC) menghasilkan satu atau lebih enterotoksin, yaitu eksotoksin yang diuraikan secara lokal di usus kecil yang dapat memiliki efek lokal atau sistemik. Racun yang diuraikan oleh E. coli patogen pada babi (ETEC) adalah toksin labil (LT), toksin A (StA) yang stabil dan toksin B yang stabil (StB) yang menyebabkan hiperekskresi cairan dari usus, serta verotoksin (toksin seperti shiga, SLT) yang bertanggung jawab atas efek vaskular sistemik penyakit edema. Selain itu, beberapa strain juga memiliki kemampuan untuk mengikis epitel (AEEC). Gejala klinis yang nampak adalah diare encer dan kemungkinan adanya muntah juga. Lesi biasanya ringan/minimal, jejunum dan ileum mungkin mengalami atrofi vili ringan. E. coli juga dapat menyebabkan poliserositis fibrinosa.

Hal-hal yang bisa kita lakukan untuk mencegah kolibasilosis antara lain adalah managemen, biosekuriti dan vaksinasi. Sedapat mungkin breeding stock harus diperoleh dari sumber yang tidak bermasalah dengan kolibasilosis. Proses alkimatisasi saat calon induk datang selama 3-6 minggu sebelum dikawinkan diharapkan bisa mengembangkan kekebalan terhadap patogen ini sehingga memungkinkan produksi antibodi spesifik dalam jumlah yang cukup dalam kolostrum dan susu. Vaksinasi bisa menjadi alternatif pilihan untuk membentuk kekebalan. Induk bunting biasanya diberikan vaksin 2x dengan interval 2-3 minggu sebelum melahirkan. Sistem pemeliharaan menggunakan sistem all in / all out dalam memelihara anak babi relatif lebih mudah dalam mengendalikan patogen penyakit. Selain itu program sanitasi dan desinfeksi juga penting.

Ketika upaya pencegahan gagal, antimikroba dapat diberikan pada neonatus secara oral atau melalui suntikan. Karena sifat organisme yang menular, saat merawat babi yang sakit sebelum disapih, semua babi di litter juga perlu dirawat secara bersamaan. Pemberian antibiotik yang sesuai bisa diberikan via air minum. Larutan pengganti elektrolit oral terkadang digunakan untuk membantu mengontrol dehidrasi. Pastikan kita juga melakukan evaluasi untuk melakukan perbaikan yang diperlukan guna mencegah gangguan penyakit ini terulang kembali di periode selanjutnya.

Rotavirus Enteritis. Setidaknya ada 7 serogrup yang berbeda secara antigen dari rotavirus (A, B, C, D, E, F, G) dimana 4 diantaranya (A, B, C, E) mempengaruhi babi. Grup A sejauh ini adalah yang paling umum ditemukan pada babi, dan tipe C telah dikaitkan dengan wabah. Rotavirus sangat stabil di lingkungan. Mereka tahan terhadap perubahan suhu, bahan kimia, pH, dan beberapa disinfektan. Disinfektan yang direkomendasikan untuk permukaan yang dibersihkan termasuk disinfektan berbahan dasar formaldehida dan klorin.

Tingkat keparahan tergantung pada berapa banyak patogen yang masuk dan jumlah maternal antibodi yang didapatkan dari kolostrum di awal kehidupan. Wabah di peternakan sering berulang ketika anak babi mencapai usia di mana kekebalan laktogenik tidak lagi memadai untuk melindungi dari tingkat paparan, ditambah dengan praktek manajemen dan kondisi lingkungan yang buruk. Gejala klinis yang muncul adalah diare berwarna putih – kuning, dan umumnya berlanjut selama beberapa hari sampai babi membentuk kekebalan aktif, dehidrasinya sedang, serta muntah. Babi yang mati biasanya mengalami dehidrasi dan mungkin menunjukkan noda kotoran di area perineum. Dinding usus tipis, lembek dan agak transparan. Usus kecil dan usus besar mengandung cairan dan kotoran berwarna kuning atau abu-abu.

Tidak ada terapi spesifik yang terbukti untuk infeksi rotaviral pada anak babi. Namun, peternakan yang menerapkan manajemen pemeliharaan yang baik dan pemberian terapi suportif termasuk elektrolit dalam air minum dapat bermanfaat untuk mengurangi resiko dehidrasi. Lingkungan yang kering, hangat, dan nutrisi yang baik penting untuk mengurangi keparahan wabah. Antibiotik tidak efektif untuk infeksi rotaviral tetapi dapat diindikasikan untuk penyakit bakteri yang terjadi bersamaan. Vaksin mungkin bisa menjadi solusi ideal.

Transmissible Gastroenteritis (TGE). TGE adalah penyakit virus babi akut yang disebabkan oleh coronavirus (TGEv) yang pertama kali ditemukan di USA tahun 1943. Menyebar dengan cepat dari segala usia, ditandai dengan diare dan muntah. Pada anak babi, gejala yang teramati antara lain adalah dehidrasi, distensi usus kecil dengan cairan berbusa, kuning, dan berbau . Dinding usus umumnya sangat tipis dan hampir transparan. Perut bisa kosong karena muntah tetapi terkadang ada susu yang mengental. Selain itu, sering teramati juga urat kuning atau abu-abu pada papila ginjal. Isi kolon biasanya juga encer. Kematian tinggi pada anak babi < 2 minggu umum terjadi dan akan menurun seiring bertambahnya usia. TGE bisa endemik, terlihat pada kawanan dengan kekebalan parsial atau infeksi porcine respiratory coronavirus (PRCV) babi yang terjadi bersamaan, dan gejalanya tidak terlalu parah dengan angka kematian jauh lebih rendah. Kejadian bisa sepanjang tahun tetapi biasanya lebih tinggi pada saat suhu dingin.

Pada kasus akut, masa inkubasi TGE sangat singkat, yaitu 18 jam sampai tiga hari. Anak babi rentan akan mengalami diare berat, sering muntah, dehidrasi cepat, menggigil, lemah dan biasanya mati dalam 1-2 hari kemudian. Asupan kolostrum menjadi kunci penting karena bisa mendapatkan imunitas pasif dari induk. Pada kasus akut ini, babi bunting dapat diinduksi untuk membentuk antibodi terhadap TGE dengan paparan alami menggunaka kotoran atau usus anak babi yang sakit parah. Antibodi akan terbentuk dari paparan alami ini dan akan diturunkan ke anaknya melalui kolostrum sehingga akan memberikan perlindungan di saat ada tantangan TGEv. Kasus endemik dapat terjadi setelah wabah akut, terutama pada kawanan yang lebih besar di mana seluruh kawanan tidak terinfeksi secara bersamaan. Virus terus menginfeksi hewan yang rentan, bertahan, dan seringkali sulit untuk dicegah atau dibasmi.

Tindakan pencegahan untuk populasi yang negatif terhadap TGE adalah menerapkan biosekuriti yang ketat. TGEv juga dapat dihancurkan oleh banyak disinfektan, seperti iodine, senyawa amonium kuaterner, fenol dan natrium hipoklorit. Belilah bibit dari sumber yang juga tidak memiliki riwayat kejadian TGE. Perlakuan karantina penting untuk memastikan status kesehatan ternak baru dan sistem produksi all in / all out dengan pembersihan dan desinfeksi di antara farrowing sangat membantu. Penggunaan vaksin pada induk sebelum melahirkan juga bisa dipertimbangkan. Anak babi < 3 minggu jarang berespon baik terhadap pengobatan. Intervensi termasuk tindakan penyapihan, pemberian elektrolit oral, dan lingkungan yang hangat serta pakan yang baik mungkin bisa membantu. Babi yang lebih tua biasanya mampu sembuh secara spontan. Antibiotik bisa diberikan untuk mencegah infeksi bakteri sekunder.

Porcine Endemic Diarrhea. Virus PED termasuk dari coronavirus yang mirip dengan TGE (TGE like) yang menyebabkan diare pada sebagian besar dari semua umur babi saat mewabah. Jika endemik, diare diamati dengan morbiditas yang lebih rendah pada anak babi yang sebagian besar menyusu dan yang baru saja disapih. Ada dua jenis PEDv, yaitu PEDv tipe I yang hanya memengaruhi babi yang sedang tumbuh dan PEDv tipe II yang memengaruhi semua usia. PEDv tipe II adalah galur yang lebih ganas yang menyebabkan kematian lebih dari 1 juta babi di USA pada tahun 2013-14, dengan kematian hingga 100% terlihat pada anak babi yang berusia kurang dari 7 hari. PEDv tidak berbahaya bagi manusia dan hewan ternak lainnya, serta bukan merupakan risiko keamanan pangan.

Masa inkubasi PEDv juga cepat, yaitu 2-4 hari. PEDv akan merusak vili usus babi, mengurangi jumlah luas permukaan absorpsi yang mengakibatkan hilangnya cairan, diare dan dehidrasi. Hingga 100% induk babi dalam satu kawanan dapat terpengaruh, menunjukkan diare ringan – berair. Kekebalan yang kuat dapat berkembang selama 2-3 minggu dan kolostrum sekali lagi menjadi kunci dalam melindungi anak babi. Gejala klinis sangat spesifik terhadap usia dan kejadiannya akan jauh lebih parah pada hewan yang lebih muda. Pada anak babi yang sangat muda terjadi diare encer yang banyak, tanpa darah atau lendir, biasanya berwarna kuning kehijauan, sering disertai dengan muntah dan anoreksia yang dapat menyebabkan kematian hingga 100% anak babi yang berumur < 1 minggu. Babi yang berumur > 1 minggu biasanya pulih tetapi dengan penurunan tingkat pertumbuhan sekitar 10%, sedangkan pada hewan yang lebih tua (pembibitan, pembudidaya, finisher, babi betina, babi hutan) terinfeksi, umumnya akan berhenti makan 2-4 hari, kotoran encer atau diare berair tanpa darah atau lendir dan muntah – dehidrasi. Kematian 1-3% pada hewan pasca-penyapihan adalah tipikal. Untuk penanganan PEDv bisa mengadopsi dari program pencegahan dan pengendalian terhadap TGEv.

Clostridial Diarrhea. Penyakit yang berhubungan dengan Clostridium perfringens (Cp) dan clostridia lainnya terjadi pada banyak spesies hewan yang berbeda. Kasus enterotoksemia karena toksin beta nekrotikans dari Cp tipe C (CptC) ditandai dengan morbiditas variabel dan mortalitas tinggi pada neonatus atau babi menyusui dengan kematian mendadak, diare berdarah, atau enteritis nekrotik. Diare neonatal juga dikaitkan dengan toksin alfa dan beta dari Cp tipe A (CptA) tetapi dengan morbiditas sedang dan mortalitas lebih rendah dibandingkan dengan CptC. Infeksi Clostridium difficile (Cd) pada sekum dan usus besar menyebabkan diare dengan morbiditas dan mortalitas yang bervariasi.

Gejala klinis Cp bervariasi tergantung pada dosis infeksi, virulensi, dan kuantitas imunitas kolostral. Neonatus yang rentan dapat menunjukkan gejala sakit hanya dalam beberapa jam setelah terpapar CptC dan dapat mati dalam 4-8 jam. Anak babi yang sakit segera menjadi lemah, diam dan kemudian mati. Anak babi yang memiliki resistensi yang baik dapat hidup beberapa hari dan mungkin mengalami diare berdarah. Kadang-kadang, anak babi juga masih mampu bertahan beberapa minggu, dengan penampakan tubuh berwarna kekuningan dengan kondisi diare berlendir. Pada wabah akut, kematian dapat terjadi bahkan sebelum anak babi mengalami diare. Morbiditas bervariasi tetapi mortalitas tinggi, hingga 100%. Pada infeksi CptA tanpa adanya komplikasi pada anak babi yang baru lahir dan yang disapih, biasanya muncul diare berwarna krem, pucat, atau kuning dan berbusa. Morbiditas tinggi tetapi mortalitas umumnya rendah, sedangkan diare yang dihasilkan oleh Cd mungkin tidak dapat dibedakan dari CptA atau colibacillosis neonatal.

Pada infeksi tipe C mungkin ada yang gambaran menghitam pada kulit perut. Rongga peritoneal dan pleura bisa nampak berisi cairan berlebih berwarna darah. pada kasus akut umumnya akan terlihat usus kecil berwarna merah tua, perdarahan dan nekrosis. Lesi biasanya mengenai seluruh usus kecil tetapi dalam beberapa kasus mungkin hanya sebagian saja, biasanya di jejunum atau ileum walaupun terkadang sekum dan usus besar terkadang terpengaruh. Gas dan cairan berdarah terkadang ada di lumen dan dinding usus. Pada kasus CptA, usus kecil biasanya berdinding tipis dan berisi cairan sedangkan lesi Clostridium difficile terbatas pada sekum dan kolon, dan termasuk edema mesokolonik sedang-berat, isi kolon encer, dan terkadang diikuti gejala pernapasan atau kematian mendadak.

Kekebalan pasif segera dapat diberikan untuk CptC dengan antiserum imun (antitoksin) yang diberikan secara oral atau parenteral dalam waktu dua jam setelah kelahiran. Selain itu, antibiotik yang efektif melawan clostridia dapat diberikan selama beberapa hari dan dapat memberikan perlindungan. Perlindungan anak babi terhadap CptC dan CptA dapat diberikan dengan menyuntikkan bakterin-toksoid ke induk, yaitu saat 5-6 minggu pertama dan 2-3 minggu sebelum melahirkan. Beberapa antiklostridial pada induk babi bisa juga diberikan sebelum melahirkan-menyusui. Agen antimikroba yang digunakan antara lain bacitracin, tylosin, virginiamycin, dan lincomycin. Bakteri-toksoid komersial tersedia untuk CptC dan CptA. Program untuk pengendalian Cd yang konsisten masih dalam proses penelitian lebih lanjut dan belum bisa dipahami secara memadai, namun penggunaan terapi antibiotik strategis pada anak babi dan vaksinasi pada induk dengan sediaan bakterin-toksoid autogen sebelum proses kelahiran sedang diteliti.

Salmonellosis. Penyakit ini bisa disebabkan oleh lebih dari 2000 serotipe Salmonella. Pada babi biasanya bermanifestasi sebagai septikemia dan / atau enterokolitis. Infeksi salmonella pada babi tanpa gejala dapat menjadi sumber infeksi Salmonella pada manusia melalui kontaminasi produk daging babi. Penyakit ini sebenarnya relatif jarang tetapi bisa terjadi sepanjang tahun di semua daerah yang ada populasi babi karena semua kelompok umur rentan, terutama babi yang disapih atau sedang tumbuh. Produk babi yang terkontaminasi bukanlah sumber utama wabah salmonellosis yang ditularkan melalui makanan pada manusia, tetapi upaya untuk mengurangi salmonella dalam rantai makanan babi merupakan prioritas tinggi untuk industri babi.

Kejadian salmonellosis di intestinal berupa enteritis nekrotikans pada usus besar dan kecil, kelenjar getah bening mesenterika membesar, dan paru-paru tersumbat.
Jika kejadian sampai terjadi septikemia, maka akan muncul lesi kulit berwarna merah / ungu di telinga, ekor, moncong, kaki, dan perut. Selain itu, biasanya kondisi paru-paru juga tersumbat, terjadi splenomegali dan hepatomegali serta bentukan warna abu-abu di hati (nodul paratifoid pada hasil uji histologi). Diagnosa bisa dilakukan dengan melakukan uji kultur terhadap salmonella dari kelenjar getah bening, hati, paru-paru, limpa, ginjal, dan otak jika muncul juga gangguan saraf.

Serotipe yang merupakan penyebab paling umum dari penyakit pada manusia dan babi adalah S. typhimurium, S. enteritidis, S. agona dan S. heidelberg. Sedangkan S. choleraesuis dan S. typhisuis secara umum bisa diadaptasi oleh ternak babi dan jarang terisolasi. Salmonella adalah bakteri gram-negatif yang kecil, kuat, ada di mana-mana. Salmonella dapat dengan mudah bertahan hidup di berbagai kondisi lingkungan tetapi dapat dinonaktifkan oleh disinfektan seperti klorin, yodium dan fenol.

Baca juga : Biosekuriti di era New Normal.

Swine Dysentery. Disentri pada babi adalah penyakit menular yang ditandai dengan diare muko-hemoragik (perdarahan) dan peradangan terbatas pada usus besar. Kejadiannya hanya pada babi meskipun bisa menginfeksi hewan pengerat. Semua usia babi bisa terpapar meskipun jarang terlihat pada anak babi < 3 minggu. Penyakit ini lebih sering terjadi selama masa pertumbuhan / fase akhir. Penyebabnya adalah bakteri gram negatif Brachyspira (Serpulina atau Treponema) hyodysenteriae. Bersifat anaerobik dan strain yang paling patogen sangat beta-hemolitik. Brachyspira hyodysenteriae memiliki kemampuan untuk bertahan hidup dalam berbagai kondisi lingkungan tetapi rentan terhadap panas, sinar ultraviolet (UV), pengeringan, sabun dan disinfektan. Spirochetes lain, terutama B. innocens dan B. pilosicoli ditemukan juga di usus besar banyak babi dan sering disalahartikan sebagai B. hyodysenteriae. Jika kita menemui diare persisten ringan, non fatal, berlendir tetapi tidak berdarah pada babi maka kemungkinana besar disebabkan oleh Brachyspira pilosicoli (Spirochaetal Colitis).

Jika B. hyodysenteriae tertelan, maka gejala klinis biasanya muncul 5-21 hari kemudian tergantung seberapa banyak patogen yang masuk. Bakteri ini kemudian akan mencapai usus besar dan berkoloni, berkembang biak, menembus lapisan lendir, melekat dan merusak sel epitel, serta mengeluarkan toksin sehingga manifestasinya berupa diare berdarah yang bisa berujung pada kematian. Jika kita mengamati secara detail, diare yang muncul awalnya berwarna abu-abu hingga kuning dan berlendir, kemudian akan melanjut menjadi muko-hemoragik, dengan lendir berlebih yang disertai dengan darah segar. Setelah diare berkepanjangan, maka babi akan menunjukkan gejala dehidrasi, yaitu mata cekung, lemah dan penurunan berat badan. Pada ternak yang tidak diobati maka angka morbiditas akan tinggi dan angka mortalitas bisa mendekati 50%. Pada kasus akut, mukosa usus besar akan merah, edema dan bengkak, sedikit fibrin tetapi dengan lendir yang berlebihan, darah terlihat di feses, kemudian bisa terjadi mati mendadak.

Mencegah masuknya B. hyodysenteriae ke kawanan negatif adalah prioritas tinggi, oleh karena itu jika kita membeli bibit dari luar selalu pastikan status kesehatannya dengan memilih yang terbukti bebas dari kasus disentri. Vaksinasi juga belum menunjukkan hasill yang baik dalam upaya pengendalian dan eliminasi bakteri ini. Pada kondisi kasus, peternak yang ingin melakukan metode eliminasi biasanya akan melakukan penyapihan dini (< 3 minggu) dan dipindahkan ke tempat lain yang bersih, sementara ternak yang terinfeksi harus di culling, fasilitas dibersihkan dan di desinfeksi. Sistem all in all out tentunya akan lebih memudahkan penanganan kasus. Metode kedua bergantung pada pengobatan yang relatif mahal dengan menggunakan tiamulin, linkomisin atau karbadoks. Setelah melakukan seleksi ketat maka yang harus dilakukan adalah melakukan perawatan intensif terhadap hewan yang dipelihara. Metode ketiga adalah depopulasi. Hal ini biasanya dipilih pada lokasi kasus yang sulit untuk menerapkan biosekuriti dan sanitasi ketat. Semua fasilitas dan peralatan harus dibersihkan dan di desinfeksi secara menyeluruh, dikosong setidaknya selama 2 minggu, tergantung pada cuaca dan tingkat sanitasi yang dapat dicapai. Brachyspira hyodysenteriae tidak akan bertahan lebih dari 2 minggu di tanah. Setelah itu, kita bisa memulai repopulasi dengan menggunakan ternak yang bebas dari swine dysentery agar kasus tidak terulang kembali.

Porcine Proliferative Enteritis (PPE). PPE adalah penyakit enterik yang ditandai dengan penebalan selaput lendir pada bagian usus kecil dan / atau usus besar. Lesi sangat bervariasi menurut lokasi, luas, dan durasi. Penyakit ini juga dikenal dengan nama lain, yaitu Proliferative Hemorrhagic Enteropathy (PHE), Porcine Intestinal Adenomatosis (PIA), Necrotic Enteritis (NE), Regional / Terminal Ileitis (RI), atau Ileitis. Penyebabnya adalah bakteri gram negatif Lawsonia intracellularis (Li). Penyakit ini bisa dikategorikan bentuk akut (proliferative hemorrhagic enteropathy atau PHE) yang lebih sering terjadi pada dewasa muda, sedangkan bentuk kronis / nekrotik yang lebih umum terjadi biasanya nampak pada fase pertumbuhan. Laporan pertama PPE terjadi tahun 1931, namun baru pada tahun 1993 dikonfirmasi sebagai Lawsonia intracellularis dalam kultur jaringan.

Fase inkubasi, pemulihan, dan karier karena infeksi L. intracellularis berjalan cukup lama pada beberapa babi, mungkin berbulan-bulan sehingga tidak diragukan lagi akan ada populasi babi carrier / pembawa yang berpotensi menyebarkan melalui fesesnya ke populasi babi yang rentan melalui jalur fecal-oral. Kondisi ini akan membuat monitoring relatif sulit mengingat seringkali menyebabkan penyakit subklinis / tanpa gejala. Induk carrier telah terbukti dapat menginfeksi anak mulai umur 6 hari dan jika proses penyapihan dini tidak dilakukan, maka kemungkinan untuk mengendalikan penyakit akan lebih sulit. Wabah sering dikaitkan juga dengan berbagai kondisi stres, sedangkan penularan secara lateral juga telah dibuktikan tetapi tidak terjadi pada semua babi.

Terkait kejadian diare akut biasanya dengan diikuti adanya darah berwarna kecoklatan – hitam, hewan pucat, lemas, dan mati sering terjadi, sedangkan kasus subakut / kronik lebih sering terjadi pada tahap pertumbuhan, yang dimanifestasikan dengan adanya diare sporadis, wasting, dan variasi laju pertumbuhan. Selain itu lesi sering memperlihatkan adanya enteritis nekrotik. Kondisi diare yang mirip satu sama lain ini sering membuat kita sulit membedakan kasus salmonelosis, cacingan, desentri bahkan PCV2. Morbiditas dan mortalitas juga sangat bervariasi karena beberapa babi mungkin secara klinis asimtomatik. Jika kita melakukan bedah bangkai, penebalan beberapa bagian mukosa usus kecil dan / atau besar umumnya akan teramati dengan pola menyerupai gambaran otak, dan tidak jarang usus mengalami perdarahan (PHE). Saat ini vaksin terhadap L. intracellularis bisa menjadi alternatif solusi untuk mengendalikan kasus Ileitis ini.

Whipworm Infection. Infestasi cacing Trichuris suis umum terjadi pada babi domestik dan liar yang rentan, tetapi kebanyakan pada babi < 6 bulan. Kasus lebih banyak terjadi pada babi yang dibebas liarkan di luar ruangan / padang rumput dimana babi dengan mudah mengakses tanah di lingkungannya. Meskipun cacing dewasa memiliki masa hidup yang relatif pendek dan hanya bertelur secara sporadis, tetapi sel telur tetap infektif di sebagian besar lingkungan hingga enam tahun. Program pengendalian dengan obat cacing bisa menjadi strategi intervensi yang efektif.

Saat ternak menelan telur, larvanya kemudian menetas dan memasuki mukosa usus halus anterior lalu kembali ke lumen usus dan memasuki mukosa / submukosa usus besar. Penetrasi ini menghasilkan penebalan dinding usus, mukofibrin dan muko-hemoragik. Evaluasi ulserasi fokal mungkin dipersulit oleh invasi patogen sekunder seperti salmonella, protozoa, dan Balantidium coli. Gejala klinis terkait infestasi cacing akan terlihat dalam 2-4 minggu setelah terkontaminasi, yaitu meliputi anoreksia, diare mukoid atau muko-hemoragik, dehidrasi, dan kemungkinan kematian pada hewan yang parah.

Coccidiosis. Penyakit ini ditandai dengan diare anak babi yang menyusu dan sapihan. Coccidiosis “diare neonatal” yang disebabkan oleh Isospora suis biasanya terjadi pada anak babi umur 1-3 minggu, sedangkan Eimeria spp umumnya menginfeksi babi umur 1-3 bulan (jarang). Tingkat keparahan lesi berhubungan dengan jumlah ookista yang tertelan dan juga keberadaan bakteri di usus termasuk Clostridium sp. Pada infeksi yang serius, proses erosi epitel vili yang tidak diimbangi regenerasi yang cepat menyebabkan hilangnya cairan dan kegagalan epitel untuk menyerap nutrisi dan cairan sehingga menyebabkan diare, dehidrasi, dan kehilangan elektrolit, mungkin kematian.

Gejala klinis umumnya muncul paling cepat 5 hari setelah lahir, tetapi lebih sering terlihat pada anak babi yang berusia 1-3 minggu. Penampakan umum adalah diare kuning-bening, diare pasta-berair, dehidrasi, bulu kasar, dan pertumbuhan lambat. Penyakit ini dapat muncul dalam dua gelombang, pertama saat 4-6 hari saat beberapa populasi mulai terinfeksi dan kedua setelah 4-8 hari kemudian dimana semua populasi akhirnya terinfeksi. Anak babi yang menyusu mungkin akan memuntahkan air susunya. Angka morbiditas tinggi tetapi mortalitas bervariasi (umumnya sedang). Kasus diare neonatal ini menyerupai colibacillosis, tetapi kita bisa analisa lebih lanjut dengan bagaimana ternak merespons terapi antibiotik. Coccidiosis tidak akan berespon terhadap pemberian antibiotik. Kita juga bisa memeriksa kotoran babi dengan mikroskop terkait ada tidaknya ookista. Coccidiosis dapat terjadi bersamaan dengan penyakit lain sehingga harus benar-benar teliti dalam menganalisa diare ini.

Program sanitasi dan desinfeksi penting dilakukan untuk mengeliminasi protozoa ini di lingkungan kandang. Permukaan kayu dan beton sangat sulit dibersihkan secara efektif, sedangkan penggunaan lantai logam / plastik berlubang akan bermanfaat dalam pengendalian koksidiosis dan penyakit enterik neonatal lainnya karena kotoran akan jatuh kebawah dan minim kontak dengan ternak babi kita. Program pengobatan rutin biasanya dilakukan pada semua anak babi dengan toltrazuril untuk meminimalkan kejadian dan keparahan koksidiosis.

Setelah kita tahu apa saja penyakit pencernaan pada babi, lalu bagaimana cara pendekatan diagnosa yang baik terkait kasus diare pada babi? Dengan gejala klinis yang relatif mirip satu sama lain tentunya sering membuat kita mengalami kesulitan saat melakukan evaluasi di lapangan secara visual. Terkait hal ini, berikut langkah-langkah yang bisa kita lakukan dalam menganalisa kasus diare pada babi, yaitu

1. Di fase apa kejadian diare ini muncul dan gambaran klinisnya. Langkah ini menjadi strategis untuk kita kemudian bisa mempersempit patogen yang kemungkinan berperan. Berikut differensial diagnosa yang bisa kita amati dalam menghadapi kasus pencernaan di lapangan :

2. Diagnosa bisa kita lakukan dengan 4 pendekatan, melihat sejarah kasus masa lalu, melihat visual gejala klinis di lapangan, melakukan nekropsi babi yang terindikasi sakit dan juga uji laboratorium. Berikut uji laboratorium yang bisa kita lakukan untuk menegakkan diagnosa penyebab diare di kandang :

3. Jika kita menemukan kasus diare dengan perdarahan, maka kita bisa lebih fokus pada patogen seperti salmonella, swine dysentery dan Ileitis, ataupun kejadian hemoraghic bowel syndrome (HBS) dan gastric ulser.

4. Lakukan upaya pengendalian dengan strategi yang tepat berdasarkan diagnosa penyakit yang sudah kita lakukan. Perbaikan manajemen, praktek biosekuriti, medikasi dengan antibiotik untuk kasus bakterial atau antikoksi untuk kasus protozoa dan vaksinasi bisa menjadi alternatif pilihan.

Kesimpulan. Kasus diare pada babi jika kita belum terbiasa maka akan kesulitan dalam menganalisa. Evaluasi dan diagnosa kasus pencernaan pada anak babi sebelum sapih umumnya relatif lebih mudah karena berbentuk infeksi akut dibandingkan fase post weaning dan grow-finish yang umumnya kronis. Anak babi yang mengalami diare di minggu awal kehidupannya akan mempengaruhi pertambahan berat badan yang berakibat pada waktu panen yang lebih lama. Selain dengan melihat sejarah kasus pada masa lalu dan melihat gejala klinis langsung di lapangan, kita bisa melakukan nekrosi terhadap anak babi yang menunjukkan gejala diare dalam 12-24 jam terakhir dan belum mendapatkan treatment antibiotik. Jika ingin memastikan lagi, kita sebaiknya melakukan uji laboratorium. Sekali lagi, pendekatan diagnosa yang baik akan memudahkan kita dalam menentukan patogen apa yang sebenarnya sedang menyerang kawanan ternak kita sehingga terapi dan strategi yang kita pilih juga lebih tepat sasaran.

Semoga bermanfaat.

Baca juga : Penyakit Saraf pada Babi. dan Penyakit babi lainnya.

Referensi :

  1. SWINE-health-table-1.jpg (600×441) (nationalhogfarmer.com)
  2. Table1.jpg (896×602) (plusvet.eu)
  3. fullsizerender-81_2_orig.jpg (1100×780) (minipiginfo.com)
  4. Diagnostic approach to enteric diseases of swine (aasv.org)
  5. PigProgress – Diagnosis of enteric diseases in pigs
  6. ALIMENTACION DE LAS (produccion-animal.com.ar)
  7. Diarrheal Diseases | Iowa State University (iastate.edu)
  8. Porcine epidemic diarrhoea (PED) | The Pig Site

error: Content is protected !!