Leptospirosis pada Sapi

Leptospirosis pada Sapi

Leptospirosis adalah salah satu penyakit zoonosis yang paling luas penyebarannya di seluruh dunia. Setiap tahun diperkirakan 1,03 juta orang terinfeksi, 873.000 orang mengalami infeksi parah, dan 49.000 orang meninggal karena tertular bakteri ini. Penyakit ini umumnya menyerang berbagai hewan mamalia, termasuk sapi dimana dapat menyebabkan kerugian ekonomi yang signifikan bagi peternak. Leptospirosis dapat menyebabkan kematian pada ternak, penurunan produksi susu, dan gangguan reproduksi (infertilitas, aborsi).

Leptospirosis pada sapi dapat menyebar melalui kontak langsung antara sapi yang terinfeksi dan sapi yang rentan. Bakteri Leptospira dapat masuk ke tubuh sapi melalui kulit yang terluka, mukosa, atau saluran pencernaan. Bakteri Leptospira juga dapat menyebar melalui air atau makanan yang terkontaminasi.

Leptospirosis dapat menyerang manusia dan menyebabkan gejala mirip influenza dengan sakit kepala parah, namun dapat diobati secara efektif. Peternak sapi perah sangat berisiko tertular penyakit akibat percikan urin ke wajah saat memerah susu sapi. Namun demikian, dengan proses pasteurisasi organisme yang diekskresikan dalam air susu ini masih dapat  dihancurkan.

Penyebab
Leptospirosis disebabkan oleh bakteri Leptospira hardjo, yaitu Leptospira borgpetersenii serovar Hardjo dan Leptospira interrogans serovar Hardjo. Infeksi timbul dari kontak dengan urin yang terinfeksi atau produk aborsi. Di negara 4 musin, penyakit ini paling sering menyebar pada musim semi dan musim panas saat ternak berada di padang rumput. Leptospira sp. rentan terhadap kekeringan, paparan sinar matahari, pH<5,8 atau suhu ekstrem.

Leptospira Hardjo tidak dibawa oleh hama atau satwa liar tetapi ternak domba dapat menjadi carrier dan shedding bakteri ini ke lingkungan, sehingga jika dalam padang gembalaan terjadi kontak maka resiko tertular sangat tinggi.
Faktor resiko penting lainnya yang perlu diperhatikan adalah penggunakan pejantan terinfeksi dan cemaran pada sumber air di padang penggembalaan.

Gejala Klinis
Penurunan produksi susu secara tiba-tiba dapat teramati dalam 2-7 hari setelah sapi yang rentan terinfeksi, dimana ambing akan menjadi lunak dan lembek dan terlihat sekret seperti kolostrum atau susu yang mengandung darah. Gejala yang nampak mungkin terlihat ringan atau tidak terdeteksi, namun beberapa sapi akan menjadi lesu, kaku disertai demam dan berkurangnya nafsu makan.

Aborsi dapat terjadi dalam 3-12  minggu setelah infeksi dan sebagian besar terjadi pada 3 bulan terakhir fase kebuntingan, atau jika mampu bertahan umumnya anak sapi akan lahir prematur dan lemah. Gangguan lain yang bisa diamati adalah tingginya kasus kawin berulang pada induk sapi yang terinfeksi saluran reproduksinya. Leptospira Hardjo juga dapat menyebabkan kematian embrio.

Penularan lewat proses perkawinan dengan pejantan bisa terjadi, namun umumnya tidak berdampak buruk karena Leptospira Hardjo akan mati oleh sistem pertahanan pada rahim selama periode estrus. Percobaan aplikasi vaksinasi leptospira di area endemik menunjukkan peningkatan parameter kesuburan pada sapi dibandingkan dengan yang tidak divaksin.

Diagnosis banding
Dilapangan, jika ada kejadian penurunan volume air susu tidak serta merta disebabkan oleh Leptospira sp., oleh karena itu kita harus tetap melakukan pengujian dan evaluasi lebih lanjut sebelum melakukan terapi. Sebaiknya anda berkonsultasi dengan dokter hewan agar diagnosa tidak salah.

Kejadian penurunan produksi air susu dapat dipengaruhi perubahan mendadak dalam pola makan/komposisi nutrisi didalam pakan. Sedangkan selain Leptospirosis, penyakit lain yang bisa menyebabkan penurunan produksi air susu antara lain adalah Bovine Virus Diarrhea (BVD), infestasi cacing paru-paru, Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR), Bovine Respiratory Syncytial Virus (BRSV), influenza A dan Salmonellosis.

Untuk kejadian aborsi, selain Leptospirosis kita juga harus memperhatikan gangguan infeksi lain seperti Neospora caninum, BVD, Salmonella spp., Bacillus likeniformis, atau Campylobacter.

Baca juga : 5 penyakit penting pada sapi perah

Diagnosa

Diagnosis leptospirosis pada sapi dapat dilakukan dengan pemeriksaan laboratorium terhadap sampel darah, urin, atau jaringan tubuh. Pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan dengan metode kultur, serologi, atau molekuler. Tes untuk mendeteksi antibodi terhadap Leptospira Hardjo dari sampel darah dengan titer MAT serum >1/100 yang dianggap cukup  signifikan.

Jika kita menghadapi kasus penurunan produksi air susu, pada infeksi yang akut, pengambilan 2x sampel serum dengan interval  waktu 3-4 minggu biasanya akan menunjukkan peningkatan konsentrasi MAT atau ELISA. Sedangkan jika menggunakan sampel urin, bakteri Leptospira dapat dilihat menggunakan dark-field microscopy.

Jika terjadi kasus aborsi, kita bisa melakukan uji Elisa terhadap indukan namun penggunaannya terbatas karena titer MAT dapat turun dengan cepat setelah infeksi akut dan menjadi negatif pada saat kejadian aborsi sehingga hasil positif mungkin hanya mencerminkan paparan sebelumnya. Selama ada peningkatan kasus aborsi, gambaran titer MAT >1/400 pada beberapa sapi  mungkin bermakna. Titer Elisa dilaporkan tetap positif lebih lama setelah infeksi sehingga mungkin hanya mengindikasikan paparan sebelumnya.

Selain uji Elisa terhadap induk yang mengalami aborsi, kita juga bisa melakukan uji terhadap fetus yang diaborsi. Antibodi yang terdeteksi dalam cairan fetus mungkin mengindikasikan paparan Leptospira Hardjo di dalam rahim setelah usia kebuntingan 4 bulan, namun fetus kemungkinan mati sebelum respon imunnya meningkat. Konfirmasi deteksi antigen dapat dilakukan dengan Tes antibodi fluoresen (FAT) menggunakan sampel jaringan fetus, dimana ginjal dan paru-paru adalah sampel terbaik untuk memastikan diagnosis kasus aborsi. Pastikan sampel diambil segera setelah kasus terdeteksi agar tidak terjadi autolisis yang berpotensi mengacaukan hasil uji.

Untuk mengevaluasi kawanan, maka uji Elisa bisa dilakukan terhadap semua kelompok induk secara berkala sebagai bagian dari program pengawasan pada kelompok yang naif. Selain itu, sampling terhadap sapi dara laktasi pertama juga idealnya dilakukan untuk memantau status infeksi dalam suatu kawanan.

Perlakuan
Pemberian antibiotik pada kasus penurunan produksi air susu sangat dianjurkan untuk mengurangi ekskresi bakteri leptospira dan resiko penularan terhadap manusia (zoonosis). Suntikan tunggal menggunakan streptomisin/dihidrostrepomisin secara  intramuskular (IM) sebanyak 25mg/kg akan menghilangkan infeksi pada sebagian besar ternak. Namun, vaksinasi adalah pendekatan yang lebih baik untuk menghindari penggunaan antibiotik yang tidak perlu karena tidak semua antibiotik zero residu di air susu sehingga meningkatkan resiko terjadinya kasus antimikrobial resistensi jika dikonsumsi oleh manusia.

Tindakan pencegahan bisa dilakukan dengan penambahan streptomisin ke air mani sapi jantan yang dikoleksi untuk  inseminasi buatan (IB). Pengendalian Leptospira Hardjo pada ternak sapi bergantung pada kombinasi keputusan manajemen untuk mengurangi risiko infeksi, pengobatan antibiotik strategis, dan vaksinasi.

Untuk program vaksinasi, diprogramkan dengan memberikan 2x suntikan dengan interval waktu 4 minggu, diikuti dengan booster tahunan. Vaksinasi diharapkan mampu mencegah shedding bakteri leptospira melalui urin saat ada paparan penyakit serta akan melindungi terhadap kejadian penurunan produksi air susu dan aborsi.

Jika dalam suatu kelompok ternak tidak ada bukti adanya infeksi leptospirosis sebelumnya atau kita berencana memasukkan kawanan baru yang naif, maka semua hewan ternak  pengganti, termasuk pejantan harus diisolasi selama 3 minggu dan diberikan 2x suntikan streptomisin 25 mg/kg dengan interval waktu 10-14 hari sebelum dimasukkan ke dalam kelompok baru.

Untuk pemeliharaan kawanan di kawasan yang endemik dan dikonfirmasi melalui skrining kelompok atau catatan serologi kasus aborsi maka yang harus dilakukan adalah pelaksanaan program vaksinasi dengan booster tahunan. Sapi dara pengganti harus menyelesaikan program vaksinasi sebelum dikawinkan.

Selain tindakan pencegahan diatas, yang tidak kalah penting adalah penerapkan biosekuriti yang ketat. Tindakan biosekuriti yang dapat dilakukan untuk mencegah penyebaran leptospirosis meliputi:

  • Isolasi ternak baru
  • Pemeriksaan kesehatan ternak secara rutin
  • Desinfeksi kandang dan peralatan secara teratur
  • Pembersihan dan sanitasi pekerja, kendaraan dan fasilitas lainnya

Referensi :

  1. https://www.nadis.org.uk/disease-a-z/cattle/leptospirosis-in-cattle/
  2. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC9360731Bovine leptospirosis: effects on reproduction and an approach to research in Colombia
5 Penyakit Penting pada Sapi Perah

5 Penyakit Penting pada Sapi Perah

Dalam menjalankan usaha peternakan sapi perah, tentunya banyak tantangan yang harus dihadapi, terutama penyakit. Pada peternakan skala industri, tindakan pencegahan atau pengendalian penyakit umumnya menyangkut beberapa hal, yaitu managemen pemeliharaan, medikasi dan vaksinasi dan biosekuriti.

Penyakit strategis pada peternakan sapi perah adalah penyakit yang dapat menyebabkan kerugian ekonomi yang besar bagi peternak. Penyakit ini dapat menyebabkan kematian ternak, penurunan produksi susu, dan peningkatan biaya produksi.

Berikut adalah beberapa penyakit strategis pada peternakan sapi perah:

  • Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR) adalah penyakit pernapasan yang disebabkan oleh virus. Penyakit ini dapat menyebabkan demam, batuk, dan sekresi hidung. IBR dapat menyebabkan penurunan produksi susu, gangguan reproduksi, dan kematian.
    Image of Infeksi Bovine Rhinotracheitis (IBR) pada sapi perah
  • Bovine Viral Diarrhea (BVD) adalah penyakit pencernaan yang disebabkan oleh virus. Penyakit ini dapat menyebabkan diare, dehidrasi, dan kematian. BVD dapat menyebabkan penurunan produksi susu, gangguan reproduksi, dan kematian.
    Image of Bovine Viral Diarrhea (BVD) pada sapi perah
  • Mastitis adalah infeksi pada kelenjar susu. Penyakit ini dapat disebabkan oleh bakteri, virus, atau jamur. Mastitis dapat menyebabkan penurunan produksi susu, kualitas susu yang buruk, dan kematian. Baca juga : Mastitis  pada  sapi
    Image of Mastitis pada sapi perah
  • Leptospirosis adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri. Penyakit ini dapat menyebabkan demam, sakit kepala, dan nyeri otot. Leptospirosis dapat menyebabkan kematian.
    Image of Leptospirosis pada sapi perah
  • Brucellosis adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri. Penyakit ini dapat menyebabkan abortus, infertilitas, dan kematian. Brucellosis dapat menular ke manusia (zoonosis).
    Image of Brucellosis pada sapi perah

Untuk mencegah penyebaran penyakit strategis, peternak perlu melakukan biosekuriti yang ketat. Biosekuriti adalah serangkaian tindakan yang dilakukan untuk mencegah masuknya penyakit ke dalam peternakan. Baca juga : Peternakan Sapi Perah di Indonesia.

Tindakan biosekuriti meliputi:

  • Isolasi ternak baru. Sapi baru harus dikarantina selama beberapa minggu sebelum dicampur dengan ternak yang ada.
  • Pemeriksaan kesehatan ternak. Ternak harus diperiksa secara rutin untuk mendeteksi penyakit.
  • Desinfeksi kandang dan peralatan. Kandang dan peralatan harus dibersihkan dan didesinfeksi secara teratur.
  • Pembersihan dan sanitasi diri. Tenaga kerja harus mencuci tangan dan menggunakan pakaian yang bersih setelah menangani ternak.

Dengan menerapkan biosekuriti yang ketat, peternak dapat membantu mencegah penyebaran penyakit strategis dan melindungi ternak dari kerugian.

Referensi :

  1. https://www.slideshare.net/Naipospos/permasalahan-penyakit-infectious-bovine-rhinotracheitis-ibr-pada-sapi-jakarta-10-september-2014
  2. https://www.researchgate.net/publication/339530763_Kajian_Epidemiologi_Infeksi_Bovine_Viral_Diarrhea_BVD_pada_Sapi_Perah_di_Kabupaten_Sleman_Yogyakarta
  3. https://unair.ac.id/mastitis-masih-menjadi-ancaman-sapi-perah-di-indonesia/
  4. https://gdm.id/penyakit-pada-sapi/
  5. https://diperpa.badungkab.go.id/artikel/18200-mengenal-dan-pencegahan-terhadap-brucellosis
Gangguan Reproduksi pada Babi

Gangguan Reproduksi pada Babi

Memelihara ternak babi tentunya tidak lepas dari tantangan penyakit. Jika kita adalah peternak breeding, maka gangguan reproduksi menjadi kendala yang paling utama karena target untuk menghasilkan keturunan akan terkoreksi jika ada penyakit yang tidak tertangani dengan baik. Bagaimana cara yang mudah untuk mengevaluasi performa reproduksi kandang kita? Apa saja  parameter yang harus kita evaluasi?

https://www.researchgate.net/publication/263541549_Reproductive_Diseases_in_Sows_Sus_scrofa_domestica_A_Review

Berikut adalah perhitungan sederhana yang bisa menjadi bahan evaluasi kita, apakah breeding kita sudah optimal atau masih bisa dikembangkan lagi.

Potensi reproduksi induk babi yang ideal dihitung adalah 31,2 ekor anak babi yang disapih per tahun, dengan perhitungan sbb :

Jika lama kebuntingan 114 hari, lama menyusui = 21 hari, dan re-breed 5 hari maka total waktu yang diperlukan adalah 140 hari.

Dalam setahun maka dihitung 365 hari / 140 = 2,6 litter/tahun, artinya dalam 1 tahun induk melahirkan 2x dan jalan bunting 1x.

Asumsi per induk melahirkan anak 12 ekor, maka potensi jumlah anak babi yang disapih dalam setahun adalah 2,6 x 12 babi/litter = 31,2 ekor.

Di Indonesia, mungkin saat ini kita tidak terlampau sulit menemukan induk dengan jumlah anak yang banyak pada peternakan komersial, tetapi di level backyard farm relatif sulit. Hanya saja variabel untuk bisa selamat sampai panen cukup banyak, baik itu kendala teknis ataupun non teknis.

https://www.researchgate.net/publication/263541549_Reproductive_Diseases_in_Sows_Sus_scrofa_domestica_A_Review

Bagan diatas adalah gambaran mengenai penyebab gangguan reproduksi yang berpotensi mengganggu breeding farm kita. Berikut adalah beberapa kasus reproduksi akan kita sharingkan dan yang harus kita perhatikan agar performa reproduksi kandang kita tetap baik :

Porcine Reproductive and Resipratory Syndrome (PRRS)

Virus PRRS adalah virus RNA berselubung dalam genus Arterivirus, diklasifikasikan dalam keluarga virus, Arteriviridae. Ada US strain dan EU strain yang saat ini bersirkulasi, dimana ada perbedaan genetik dan antigenik yang signifikan antara isolat ini. Keragaman genetik dan antigenik antara isolat ini, bahkan di dalam suatu negara tetap menjadi tantangan berkelanjutan dalam pengendaliannya. HP PRRS yang berkembang di Asia adalah turunan dari US strain yang lebih ganas.

https://www.researchgate.net/publication/263541549_Reproductive_Diseases_in_Sows_Sus_scrofa_domestica_A_Review

PRRS mungkin saat ini merupakan penyakit babi yang paling penting dalam setengah abad terakhir. Pengujian serologis telah mengungkapkan ada banyak kawanan yang terinfeksi di mana tanda-tandanya tidak terlihat (subklinis). Gejala klinis yang teramati umumnya bervariasi karena  dipengaruhi oleh virulensi virus, tahapan infeksi (apakah itu infeksi awal atau berkelanjutan – endemik dengan herd immunity), kelompok usia yang terkena, ada tidaknya gangguan penyakit lain serta ukuran kawanan dan praktik manajemen.

Gejala umum yang nampak pada gilt, induk betina dan jantan adalah anoreksia, demam, lesu, depresi, dan mungkin gangguan pernapasan atau muntah. Sianosis ringan pada telinga, perut dan vulva juga bisa teramati pada beberapa kasus. Gejala reproduksi yang patut kita curigai antara lain adalah penurunan jumlah induk yang mengandung atau beranak, peningkatan kelahiran prematur, aborsi di fase akhir kebuntingan, anak babi yang lahir mati atau lemah, dan mumifikasi fetus . Kematian anak sebelum disapih relatif tinggi. Babi menyusui mungkin mengalami dispnea (thumping).

Periode tanda-tanda reproduksi bervariasi menurut ukuran kawanan tetapi biasanya terjadi dalam 2 – 3 bulan, dan proses perbaikan performa relatif lambat sehingga menjadi sebuah kerugian besar bagi peternak. Jadi sangat penting untuk kita mengetahui status kesehatan calon induk sebelum didatangkan dalam kawanan di peternakan kita, karena jika kita lalai maka resiko penularabn dan shedding virus menjadi bahaya yang sangat merugikan. Kualitas semen pejantan umumnya juga bisa terpengaruh dan bisa menjadi sumber penularan ke induk betina yang dikawini.

Anak babi yang terkena PRRS, umumnya akan menunjukkan demam, depresi, lesu, kerdil karena penyakit sistemik dan pneumonia. Gangguan pernafasan lebih mendominasi kejadian pada anak babi, seperti bersin, demam dan lesu, dispnea dimana kejadiannya akan memuncak dalam 4-10  minggu. Selain itu, angka kematian/mortalitas pasca sapih sering meningkat secara nyata, terutama jika terjadi outbreak dengan galur virulen atau terjadinya infeksi bersamaan dan diikuti infeksi sekunder. Baca juga : PRRS pada Babi

Porcine Circovirus

Porcine circovirus tipe 2 atau PCV2 adalah virus DNA yang sangat kecil yang menginfeksi babi. Infeksi PCV2 tersebar luas dan pada dasarnya semua kawanan babi terinfeksi PCV2. Manifestasi dari PCV2 di lapangan meliputi infeksi PCV2 sistemik, pneumonia terkait PCV2, enteritis terkait PCV2, kegagalan reproduksi terkait PCV2, dan Porcine Sindrom Dermatitis dan Nefropati (PDNS).

Penyakit PCV2 umumnya akan menyebabkan berbagai kondisi klinis termasuk penyakit reproduksi terkait PCV2 (PCV2-RD) yang ditandai dengan aborsi dan mumifikasi. Diagnosa yang bisa dilakukan secara umum meliputi adanya gangguan reproduksi, temuan histopatologi miokarditis, dan deteksi viral load sedang – tinggi dalam jaringan jantung fetus. Kebutuhan untuk mengidentifikasi lesi histopatologis pada jaringan jantung fetus tampaknya tidak valid atau berlebihan dalam mengkonfirmasi diagnosis PCV2-RD, setidaknya pada tingkat janin individu. Sedangkan viral load tertinggi (1012 GE/g jaringan) terdeteksi pada babi yang autolisis atau mumifikasi umumnya teridentifikasi sebagai PCV2d, meskipun deteksi bersamaan PCV2d + a dan PCV2d + b juga terjadi.

Baca juga : Porcine Circovirus

Parvovirus
Parvovirus ini telah menginfeksi kawanan babi di seluruh dunia. Gejala Klinis ditandai dengan adanya kematian embrio dan janin pada induk babi. Selain itu tertundanya estrus atau anestrus (bunting semu), jumlah anakan yang sedikit, mumifikasi fetus juga harus kita curigai sebagai tanda utama infeksi parvovirus. Aborsi bisa terjadi tetapi jarang. Parvovirus umumnya menyerang induk muda atau parity 1.

Pengendalian yang bisa kita upayakan adalah pemilihan calon induk/gilt yang baik. Kita harus pastikan status kesehatannya sebelum kita masukkan dalam kawanan. Hal yang umumnya dilakukan adalah dengan memberikan 2x vaksin terhadap Parvovirus (3 dan 6 mgg sebelum kawin) pada periode aklimatisasi. Kita juga bisa melakukan uji laboratorium dengan pengambilan sampel darah saat umur 6,5 bulan untuk memastikan gilt yang akan kita pakai sehat.

Enterovirus
Ada minimal 10 serotipe dari Porcine Enterovirus ini dan penyakit ini umum ditemukan dalam kawanan ternak babi. Istilah “SMEDI” (stillbirths, mummies, embryonic death and infertility) – lahir mati, mumifikasi, kematian embrio dan infertilitas adalah akronim yang pertama kali digunakan dalam 1965 untuk menggambarkan sekelompok virus yang menyebabkan sindrom reproduksi pada babi.

Enterovirus menyebabkan gejala klinis yang mirip dengan parvovirus. 90% masalah reproduksi pada gilt dan babi betina dilaporkan sebagai akibat parvovirus. Oleh karena itu, uji laboratorium ini sangat penting untuk membedakan patogen yang masuk. Idealnya ketika ada diagnosa parvovirus, ada baiknya untuk juga melakukan uji terhadap enterovirus.

Enterovirus dapat dikendalikan dengan mencampurkan babi jantan/betina pengganti agar mereka berinteraksi, atau pemberian tantangan dengan memberikan feses selama 30 hari sebelum proses perkawinan. Proses ini diharapkan mampu untuk membangun kekebalan terhadap setiap serotipe baru enterovirus yang mungkin masuk ke dalam kawanan melalui hewan pengganti. Pastikan kita melakukan monitoring yang ketat untuk menghindari resiko yang tidak diinginkan.

Leptospirosis
Leptospirosis disebabkan oleh bakteri genus spirochete. Setidaknya ada 6 spesies telah
terlibat dalam masalah reproduksi pada babi di USA, yaitu L. pomona, L. grippotyphosa, L. canicola, L. icterohemorrhagiae, L. hardjo, dan L. bratislava. Gejala klinis yang umumnya teramati adalah aborsi, lahir mati dan anak babi yang lemah. Secara  umum, tanda-tanda ini terjadi pada akhir kebuntingan atau pada waktu farrowing.

https://www.researchgate.net/publication/263541549_Reproductive_Diseases_in_Sows_Sus_scrofa_domestica_A_Review

Leptospirosis didiagnosis dengan tes darah dari induk babi pada saat masalah reproduksi atau identifikasi/kultur organisme dari anak babi yang terkena di laboratorium. Upaya pencegahan yang dilakukan adalah pemberian vaksinasi pada gilt, induk dan pejantan 3 -4 minggu sebelum gejala klinis muncul. Secara historis, vaksin bakterin yg berisi 5 species Leptospira telah digunakan, dan single banterin yang mengandung L. bratislava secara komersial juga tersedia. Pastikan anda berkonsultasi dengan dokter hewan setempat untuk memastikan vaksin mana yang sebaiknya digunakan.

Leptospirosis dapat diobati dengan menyuntikkan dihydrostreptomycin di bawah pengawasan dokter hewan. Pemberian chlortetracycline pada level 400 gram/ton (atau 1 gram per induk per hari) selama 10 hari juga metode yang efektif untuk mengobati leptospirosis. Pelaksanaan terapi pengobatan ini sebaiknya dikoordinasikan dengan vaksinasi agar bisa memberikan efek yang terbaik.

Leptospirosis ada resiko menular ke manusia (zoonosis) zoonosis sehingga memberikan implikasi terhadap kesehatan masyarakat. Berbagai spesies Leptospira menyebabkan Weil’s Disease (bentuk parah leptospirosis dan penyakit lainnya pada manusia). Oleh karena itu, tindakan pencegahan dengan program sanitasi yang tepat harus dilakukan oleh personel yang bekerja di peternakan ataupun area yang terdapat kawanan babi untuk meminimalkan resiko terinfeksi.

Brucellosis
Brucellosis adalah penyakit menular pada babi yang disebabkan oleh bakteri Brucella suis.
Brucellosis juga beresiko menular ke manusia karena dapat menyebabkan demam undulan pada manusia yang ditandai dengan demam intermiten dan berkeringat.

Gejala klinis yang bisa teramati adalah aborsi, infertilitas, orchitis (radang testis), kelumpuhan posterior dan kepincangan. Kejadian aborsi bisa menyerang kapan saja selama periode kebuntingan, berbeda dengan leptospirosis yang mengakibatkan aborsi pada fase akhir.

Pseudorabies (PRV)
Pseudorabies sering juga kita sebut dengan Aujeszky’s disease yang disebabkan oleh virus herpes yang di USA sejak 1961. Gejala klinisnya adalah air liur berlebihan, demam, depresi dan kejang-kejang. Kematian tinggi sampai > 80% bisa terjadi anak babi < 3 minggu, sedangkan pada babi dewasa hanya sekitar 2%.

https://www.researchgate.net/publication/263541549_Reproductive_Diseases_in_Sows_Sus_scrofa_domestica_A_Review

Untuk induk betina bunting dan babi yang terinfeksi PRV umumnya akan mengalami kematian embrio, aborsi, dan kelahiran maserasi (janin melunak dan membusuk) dan lahir mati. Jika terjadi kasus dilapangan, biasanya angka konsepsi cinderung lebih rendah bahkan terjadi beberapa bulan setelah wabah dalam kawanan.

Pseudorabies bisa dikendalikan vaksinasi di breeding setiap 6 bulan atau 3 – 4 minggu sebelum farrowing. Pastikan untuk anda berkonsultasi dengan dokter hewan untuk menyusun program pengendalian penyakit yang lebih baik.

Classical Swine Fever (CSF)
Classical swine fever atau lebih kita kenal dengan nama Hog Cholera adalah penyakit virus yang sampai saat ini masih menjadi masalah disebagian besar peternakan babi di dunia. USA sudah free CSF sejak 1976.

https://www.researchgate.net/publication/263541549_Reproductive_Diseases_in_Sows_Sus_scrofa_domestica_A_Review

Gejala klinis CSF adalah babi terlihat kesakitan, kurang nafsu makan, depresi, lesu, demam 106°F, konjungtivitis (kemerahan pada mata) dengan kelopak mata saling menempel, anak babi cinderung menumpuk dan meringkuk, sianosis atau warna kebiruan pada kulit di perut. Dari aspek reproduksi, serangan CSF dapat mengakibatkan aborsi, mumifikasi, malformasi, lahir mati, babi lemah/gemetar.

Program vaksinasi sangat disarankan untuk area yang memang endemis dengan SCF. Diagnosa laboratorium sangat penting untuk memastikan penyebab penyakit, terlebih saat ini secara gejala klinis sanga CSF mirip dengen African Swine Fever (ASF) dan hanya bisa dibedakan dengan uji laboratorium. Baca juga : Classical Swine Fever

Swine Infuenza Virus (SIV)
Swine Flu atau flu babi disebabkan oleh infeksi virus influenza tipe A. Gejala klinis yang teramati adalah gangguan pernapasan, namun demikian SIV juga dilaporkan menjadi penyebab kasus reproduksi pada babi.

Bentuk pernapasan SIV ditandai dengan serangan paroksismal yang keras/sangat dalam berupa  batuk dan sesak nafas, atau napas tersengal-sengal. Kelelahan ekstrim dan kehilangan nafsu makan umum teramati juga, dan bisa disertai dengan demam sampai 108°F.

Masalah reproduksi yang terkait dengan SIV utamanya adalah jumlah anak sedikit, laju pertumbuhan lambat, kerdilan dan kematian selama masa menyusui dan setelah disapih. Induk babi dan gilt yang terinfeksi juga dapat mengalami keguguran pada akhir kebuntingan dan resorpsi embrio. Dahulu, SIV kebanyakan terjadi saat cuaca dingin mendekati musim gugur, tetapi sekarang kita bisa menemukan kasus sepanjang tahun.

Tidak ada pengobatan untuk bentuk pernapasan dari infeksi SIV, namun pemberian antibakteri
berguna sebagai pengobatan untuk infeksi bakteri sekunder. Program vaksinasi sebaiknya dipertimbangkan mengingat kejadian SIV saat ini bisa sepanjang tahun. Seleksi calon induk yang baik juga membantu dalam upaya pengendalian penyakit ini. Baca juga : Swine influenza pada Babi

Ensephalomyocarditis (EMCV)
Encephalomyocarditis virus adalah penyebab lahir mati, mumi dan maserasi fetus pada ternak babi. Selain itu, EMCV juga menyebabkan lesi jantung dan kematian mendadak pada anak babi, biasanya hingga usia 21 hari.

EMCV telah ditemukan di Australia dan berhasil diisolasi di USA dari kasus lapangan oleh para peneliti di University of Minnesota. Jika tidak ada diagnosis penyebab lain dari kejadian lahir mati, mumi dan bersamaan dengan kematian pada anak babi yang menyusui, maka EMCV harus dipertimbangkan.

Streptococcus suis
Streptococcus suis ada sekitar 29 serotipe bakteri sekarang. Gejala klinis yang bisa diamati adalah keputihan pada gilt atau babi betina dari sebelum kawin sampai setelah beranak. Biasanya, keputihan ini akan banyak pada 1 hari setelah melahirkan. Karena kejadian ini, angka konsepsi bisa turun 50-60%. Anak babi bisa terinfeksi saat proses kelahiran dimana vagina induk terdapat kolonisasi S.suis.

Induk babi dan gilt yang mengalami gejala ini biasanya ditreatment dengan antibiotik golongan penisilin. Untuk program pengendalian, kita bisa lakukan isolasi Streptococcus suis yang spesifik  untuk kemudian lakukan vaksinasi yang sesuai dengan tantangan di lapangan. Gilt idealnya  berikan vaksinasi 2x, yaitu 5 dan 2 minggu sebelum dikawinkan.

Steptococcus suis juga bisa menyebabkan meningitis dan gangguan pendengaran pada manusia. Oleh karena itu, pekerja di lingkungan peternakan dan yang bersentuhan dengan daging babi sebaiknya waspada, selalu menjaga kebersihan dan sanitasi untuk meminimalkan resiko. Silahkan baca juga : Streptococcus suis, bahayakah?

Erysipelas
Erysipelas disebabkan oleh bakteri Erysipelothrix rhusiopathiae. Gejala klinis yang teramati adalah adanya aborsi yang dapat terjadi pada induk babi dan gilt yang terkontaminasi oleh bakteri ini. Kondisi pada umumnya kelihatan kesakitan dan demam tinggi 108°F. Lesi khas dari erysipelas adalah gambaran berbentuk berlian, merah muda – ungu tua pada kulit. Kadang-kadang lesinya juga cukup besar dan bernoda (bercak atau bintik-bintik).

Suntikan dengan preparat penisilin bisa diberikan per individu untuk mengobati kasus ini, kemudian kita bisa lakukan pengobatan massal dengan antibiotik golongan tetrasiklin via air minum selama 5 hari setelah tidak ada induk babi atau gilt sakit.

Parasit
Infestasi tungau kudis Sarcoptic bisa menyebabkan anemia pada induk babi. Anemia ini jika tidak ditangani dengan baik akan menyebabkan penurunan tingkat konsepsi. Oleh karena itu, lakukan juga program pengendalian parasit dengan baik agar kinerja reproduksi di peternakan babi kita bisa dioptimalkan.

Ringkasan
Penyebab gangguan reproduksi pada breeding peternakan babi yang paling dominan adalah adanya infeksi karena PRRS, PCV2, Parvovirus, Pseudorabies, Enterovirus, dan Leptospirosis. Penyebab infeksi lain yang kurang umum dari masalah reproduksi adalah Brucellosis, CSF, SIV,  Encephalomyocarditis, Streptococcus suis, Erysipelas dan gangguan parasit.

Produsen babi harus memberikan prioritas tertinggi untuk mengendalikan masalah reproduksi. hal ini tentunya membutuhkan peran serta dari tenaga ahli baik dokter hewan ataupun manager farm untuk saling support. Diagnosa laboratorium akan sangat membantu untuk diagnosa, sehingga kita bisa melakukan tindakan pencegahan yang diperlukan baik itu vaksinasi, biosekuriti ataupun perbaikna management lainnya. Baca juga : Kontrol Penyakit pada Ternak Babi

Referensi :

  1. https://digitalcommons.unl.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=2375&context=extensionhist#:~:text=The%20most%20common%20infectious%20causes,streptococcus%20suis%2C%20erysipelas%20and%20parasites.
  2. https://www.researchgate.net/publication/263541549_Reproductive_Diseases_in_Sows_Sus_scrofa_domestica_A_Review
  3. https://vetmed.iastate.edu/vdpam/FSVD/swine/index-diseases/porcine-reproductive
  4. https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S1090023321000551
error: Content is protected !!