Leptospirosis adalah salah satu penyakit zoonosis yang paling luas penyebarannya di seluruh dunia. Setiap tahun diperkirakan 1,03 juta orang terinfeksi, 873.000 orang mengalami infeksi parah, dan 49.000 orang meninggal karena tertular bakteri ini. Penyakit ini umumnya menyerang berbagai hewan mamalia, termasuk sapi dimana dapat menyebabkan kerugian ekonomi yang signifikan bagi peternak. Leptospirosis dapat menyebabkan kematian pada ternak, penurunan produksi susu, dan gangguan reproduksi (infertilitas, aborsi).
Leptospirosis pada sapi dapat menyebar melalui kontak langsung antara sapi yang terinfeksi dan sapi yang rentan. Bakteri Leptospira dapat masuk ke tubuh sapi melalui kulit yang terluka, mukosa, atau saluran pencernaan. Bakteri Leptospira juga dapat menyebar melalui air atau makanan yang terkontaminasi.
Leptospirosis dapat menyerang manusia dan menyebabkan gejala mirip influenza dengan sakit kepala parah, namun dapat diobati secara efektif. Peternak sapi perah sangat berisiko tertular penyakit akibat percikan urin ke wajah saat memerah susu sapi. Namun demikian, dengan proses pasteurisasi organisme yang diekskresikan dalam air susu ini masih dapat dihancurkan.
Penyebab
Leptospirosis disebabkan oleh bakteri Leptospira hardjo, yaitu Leptospira borgpetersenii serovar Hardjo dan Leptospira interrogans serovar Hardjo. Infeksi timbul dari kontak dengan urin yang terinfeksi atau produk aborsi. Di negara 4 musin, penyakit ini paling sering menyebar pada musim semi dan musim panas saat ternak berada di padang rumput. Leptospira sp. rentan terhadap kekeringan, paparan sinar matahari, pH<5,8 atau suhu ekstrem.
Leptospira Hardjo tidak dibawa oleh hama atau satwa liar tetapi ternak domba dapat menjadi carrier dan shedding bakteri ini ke lingkungan, sehingga jika dalam padang gembalaan terjadi kontak maka resiko tertular sangat tinggi.
Faktor resiko penting lainnya yang perlu diperhatikan adalah penggunakan pejantan terinfeksi dan cemaran pada sumber air di padang penggembalaan.
Gejala Klinis
Penurunan produksi susu secara tiba-tiba dapat teramati dalam 2-7 hari setelah sapi yang rentan terinfeksi, dimana ambing akan menjadi lunak dan lembek dan terlihat sekret seperti kolostrum atau susu yang mengandung darah. Gejala yang nampak mungkin terlihat ringan atau tidak terdeteksi, namun beberapa sapi akan menjadi lesu, kaku disertai demam dan berkurangnya nafsu makan.
Aborsi dapat terjadi dalam 3-12 minggu setelah infeksi dan sebagian besar terjadi pada 3 bulan terakhir fase kebuntingan, atau jika mampu bertahan umumnya anak sapi akan lahir prematur dan lemah. Gangguan lain yang bisa diamati adalah tingginya kasus kawin berulang pada induk sapi yang terinfeksi saluran reproduksinya. Leptospira Hardjo juga dapat menyebabkan kematian embrio.
Penularan lewat proses perkawinan dengan pejantan bisa terjadi, namun umumnya tidak berdampak buruk karena Leptospira Hardjo akan mati oleh sistem pertahanan pada rahim selama periode estrus. Percobaan aplikasi vaksinasi leptospira di area endemik menunjukkan peningkatan parameter kesuburan pada sapi dibandingkan dengan yang tidak divaksin.
Diagnosis banding
Dilapangan, jika ada kejadian penurunan volume air susu tidak serta merta disebabkan oleh Leptospira sp., oleh karena itu kita harus tetap melakukan pengujian dan evaluasi lebih lanjut sebelum melakukan terapi. Sebaiknya anda berkonsultasi dengan dokter hewan agar diagnosa tidak salah.
Kejadian penurunan produksi air susu dapat dipengaruhi perubahan mendadak dalam pola makan/komposisi nutrisi didalam pakan. Sedangkan selain Leptospirosis, penyakit lain yang bisa menyebabkan penurunan produksi air susu antara lain adalah Bovine Virus Diarrhea (BVD), infestasi cacing paru-paru, Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR), Bovine Respiratory Syncytial Virus (BRSV), influenza A dan Salmonellosis.
Untuk kejadian aborsi, selain Leptospirosis kita juga harus memperhatikan gangguan infeksi lain seperti Neospora caninum, BVD, Salmonella spp., Bacillus likeniformis, atau Campylobacter.
Diagnosis leptospirosis pada sapi dapat dilakukan dengan pemeriksaan laboratorium terhadap sampel darah, urin, atau jaringan tubuh. Pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan dengan metode kultur, serologi, atau molekuler. Tes untuk mendeteksi antibodi terhadap Leptospira Hardjo dari sampel darah dengan titer MAT serum >1/100 yang dianggap cukup signifikan.
Jika kita menghadapi kasus penurunan produksi air susu, pada infeksi yang akut, pengambilan 2x sampel serum dengan interval waktu 3-4 minggu biasanya akan menunjukkan peningkatan konsentrasi MAT atau ELISA. Sedangkan jika menggunakan sampel urin, bakteri Leptospira dapat dilihat menggunakan dark-field microscopy.
Jika terjadi kasus aborsi, kita bisa melakukan uji Elisa terhadap indukan namun penggunaannya terbatas karena titer MAT dapat turun dengan cepat setelah infeksi akut dan menjadi negatif pada saat kejadian aborsi sehingga hasil positif mungkin hanya mencerminkan paparan sebelumnya. Selama ada peningkatan kasus aborsi, gambaran titer MAT >1/400 pada beberapa sapi mungkin bermakna. Titer Elisa dilaporkan tetap positif lebih lama setelah infeksi sehingga mungkin hanya mengindikasikan paparan sebelumnya.
Selain uji Elisa terhadap induk yang mengalami aborsi, kita juga bisa melakukan uji terhadap fetus yang diaborsi. Antibodi yang terdeteksi dalam cairan fetus mungkin mengindikasikan paparan Leptospira Hardjo di dalam rahim setelah usia kebuntingan 4 bulan, namun fetus kemungkinan mati sebelum respon imunnya meningkat. Konfirmasi deteksi antigen dapat dilakukan dengan Tes antibodi fluoresen (FAT) menggunakan sampel jaringan fetus, dimana ginjal dan paru-paru adalah sampel terbaik untuk memastikan diagnosis kasus aborsi. Pastikan sampel diambil segera setelah kasus terdeteksi agar tidak terjadi autolisis yang berpotensi mengacaukan hasil uji.
Untuk mengevaluasi kawanan, maka uji Elisa bisa dilakukan terhadap semua kelompok induk secara berkala sebagai bagian dari program pengawasan pada kelompok yang naif. Selain itu, sampling terhadap sapi dara laktasi pertama juga idealnya dilakukan untuk memantau status infeksi dalam suatu kawanan.
Perlakuan
Pemberian antibiotik pada kasus penurunan produksi air susu sangat dianjurkan untuk mengurangi ekskresi bakteri leptospira dan resiko penularan terhadap manusia (zoonosis). Suntikan tunggal menggunakan streptomisin/dihidrostrepomisin secara intramuskular (IM) sebanyak 25mg/kg akan menghilangkan infeksi pada sebagian besar ternak. Namun, vaksinasi adalah pendekatan yang lebih baik untuk menghindari penggunaan antibiotik yang tidak perlu karena tidak semua antibiotik zero residu di air susu sehingga meningkatkan resiko terjadinya kasus antimikrobial resistensi jika dikonsumsi oleh manusia.
Tindakan pencegahan bisa dilakukan dengan penambahan streptomisin ke air mani sapi jantan yang dikoleksi untuk inseminasi buatan (IB). Pengendalian Leptospira Hardjo pada ternak sapi bergantung pada kombinasi keputusan manajemen untuk mengurangi risiko infeksi, pengobatan antibiotik strategis, dan vaksinasi.
Untuk program vaksinasi, diprogramkan dengan memberikan 2x suntikan dengan interval waktu 4 minggu, diikuti dengan booster tahunan. Vaksinasi diharapkan mampu mencegah shedding bakteri leptospira melalui urin saat ada paparan penyakit serta akan melindungi terhadap kejadian penurunan produksi air susu dan aborsi.
Jika dalam suatu kelompok ternak tidak ada bukti adanya infeksi leptospirosis sebelumnya atau kita berencana memasukkan kawanan baru yang naif, maka semua hewan ternak pengganti, termasuk pejantan harus diisolasi selama 3 minggu dan diberikan 2x suntikan streptomisin 25 mg/kg dengan interval waktu 10-14 hari sebelum dimasukkan ke dalam kelompok baru.
Untuk pemeliharaan kawanan di kawasan yang endemik dan dikonfirmasi melalui skrining kelompok atau catatan serologi kasus aborsi maka yang harus dilakukan adalah pelaksanaan program vaksinasi dengan booster tahunan. Sapi dara pengganti harus menyelesaikan program vaksinasi sebelum dikawinkan.
Selain tindakan pencegahan diatas, yang tidak kalah penting adalah penerapkan biosekuriti yang ketat. Tindakan biosekuriti yang dapat dilakukan untuk mencegah penyebaran leptospirosis meliputi:
Isolasi ternak baru
Pemeriksaan kesehatan ternak secara rutin
Desinfeksi kandang dan peralatan secara teratur
Pembersihan dan sanitasi pekerja, kendaraan dan fasilitas lainnya
Bovine Viral Diarrhea (BVD) merupakan penyakit virus utama pada ternak yang mempunyai dampak ekonomi yang signifikan. Hal ini dapat menyebabkan berbagai masalah klinis dan reproduksi, sehingga menyebabkan hilangnya produktivitas, kesuburan, dan kesehatan anak sapi.
Bovine virus diare (BVD) adalah virus RNA dalam genus Pestivirus dari keluarga Flaviviridae. Genus Pestivirus ini, selain ada virus BVD tipe 1 dan 2, juga berkerabat dekat dengan Classical Swine Fever (CSF pada babi) dan Ovine Border Disease pada domba.
Sapi dari segala umur rentan terhadap infeksi BVD. Penyebaran virus ini adalah di seluruh dunia meskipun beberapa negara baru-baru ini telah memberantas virus ini. Infeksi BVD menyebabkan berbagai macam penyakit dengan manifestasi klinis, termasuk penyakit enterik dan pernafasan atau reproduksi dan janin. Infeksi mungkin bersifat subklinis atau meluas hingga fatal. Gambaran klinis dan tingkat keparahan penyakit dapat bervariasi tergantung jenis virus yang berbeda.
Virus BVDV juga menyebabkan penekanan kekebalan yang dapat membuat hewan yang terinfeksi lebih rentan terhadap infeksi virus lain dan bakteri. Dampak klinis mungkin lebih nyata pada ternak yang dikelola secara intensif. Hewan yang bertahan dari infeksi in-utero pada trimester pertama kebuntingan hampir selalu akan terinfeksi secara persisten (PI), dimana ternak ini menjadi reservoir utama dalam suatu populasi dan mengeluarkan sejumlah besar virus (shedding) melalui urin, feses, kotoran, susu dan air mani.
Virus ini menyebar terutama melalui kontak erat antara hewan PI dengan ternak lainnya dan dapat bertahan di lingkungan untuk waktu yang singkat ataupun lama, serta ditularkan melalui bahan/material reproduksi yang terkontaminasi. Transmisi vertikal memainkan peran penting.
BVDV-1: Jenis ini menyebabkan infeksi akut dan persisten. Infeksi akut sering kali menimbulkan gejala pernapasan dan pencernaan, sedangkan infeksi yang menetap dapat menyebabkan terhambatnya pertumbuhan, masalah reproduksi, dan menekan kekebalan. BVDV-2: Jenis ini terutama menyebabkan penyakit mukosa, suatu bentuk BVD parah yang menyerang anak sapi secara persisten di dalam rahim. Gejalanya meliputi maag, demam, diare, dan seringkali kematian.
Tanda Klinis
BVD akut: Demam, kehilangan nafsu makan, gangguan pernapasan, diare, penurunan produksi ASI, aborsi. BVD yang persisten: Seringkali tanpa gejala, namun dapat muncul dengan pertumbuhan terhambat, kinerja buruk, peningkatan kerentanan terhadap penyakit lain. Penyakit Mukosa: Demam tinggi, diare parah disertai darah, sariawan, penurunan berat badan yang cepat, kematian dalam 5-10 hari.
Diagnosa
Tes ELISA atau PCR pada sampel darah atau jaringan dapat mendeteksi keberadaan virus atau antibodi.
Tes kebuntingan dapat mengidentifikasi kebuntingan yang terkena dampak BVD.
Dampak Ekonomi
BVD menyebabkan hilangnya produktivitas secara signifikan karena penurunan produksi susu, kematian anak sapi, dan peningkatan kerentanan terhadap penyakit lain. Pembatasan perdagangan dapat diberlakukan pada ternak yang terinfeksi BVD, sehingga berdampak lebih jauh pada pendapatan.
Ada dua jenis hewan yang terinfeksi secara persisten, yaitu hewan “pestiferous” yang mengeluarkan sejumlah besar virus dan menimbulkan risiko yang signifikan terhadap kawanannya, dan hewan “non-pestiferous” yang hanya mengeluarkan sedikit atau tidak ada virus sama sekali sehingga minim resiko terhadap penyakit lain.
Pencegahan dan Pengendalian
Vaksinasi: Memvaksinasi sapi yang rentan sebelum dibiakkan dapat membantu mencegah infeksi pada janin dan perkembangan hewan yang terinfeksi secara terus-menerus. Biosekuriti: Mengisolasi hewan baru, mengkarantina sapi bunting, dan menerapkan kebersihan yang baik dapat membantu mencegah penularan. Pemantauan: Pengujian rutin terhadap anak sapi dan sapi bunting dapat membantu mengidentifikasi hewan yang terinfeksi untuk dikeluarkan dari kawanannya.
Jadi, dengan memahami BVD, menerapkan langkah-langkah pencegahan dan pengendalian yang tepat, maka peternak dapat secara signifikan mengurangi dampaknya terhadap ternak mereka dan meningkatkan keuntungan secara keseluruhan.
Setelah beberapa waktu lalu kita membahas tentang managemen reproduksi pada sapi, artikel kali ini akan mengulas lebih jauh tentang tehnologi yang dikembangkan untuk menunjang performa reproduksi peternakan sapi. Jika anda belum membaca, kami sarankan untuk membaca terlebih dahulu sebelum masuk ke artikel kali ini agar mendapatkan sudat pandang yang utuh : Managemen Reproduksi Sapi.
Trimester terakhir kebuntingan umumnya terjadi keseimbangan energi negatif selama periode postpartum dan peningkatan suhu tubuh (respon stress). Hal ini akan mengganggu interaksi antara oosit dan sel granulosa di dalam folikel, sehingga menimbulkan masalah pada tingkat kesuburan dan berkontribusi terhadap inefisiensi dalam perkembangan embrio atau bahkan meningkatkan resiko kehilangan embrio. Area ini memerlukan penyelidikan intensif karena kemungkinan efek pada hierarki folikel dapat berkontribusi pada durasi penurunan kesuburan selama periode postpartum dan periode penurunan kesuburan yang diperpanjang setelah periode stres panas musiman.
Beberapa perkembangan tehnologi telah mampu meningkatkan kinerja reproduksi sapi perah laktasi. Pemberian hormon progesteron sebelum hari ke-6 setelah inseminasi buatan (AI) telah berhasil meningkatkan angka kehamilan. Selain itu, induksi korpus luteum (CL) dengan injeksi human chorionic gonadotropin (hCG) pada hari ke-5 setelah AI juga mampu meningkatkan angka kebuntingan. Strategi untuk meningkatkan perkembangan CL dan atau peningkatan sinkronisasi sebelumnya dalam progesteron kemungkinan akan memajukan perkembangan embrio dan meningkatkan sekresi selanjutnya dari sinyal antiluteolitik, yaitu interferon-τ yang bertanggung jawab untuk pemeliharaan kebuntingan.
Penggunaan perparat Bovine Somatotropin (bST) bisa memicu pertumbuhan dan meningkatkan produksi susu. Penggunaan bST saat inseminasi pada sapi mengikuti protokol Ovsynch atau saat deteksi estrus meningkatkan angka kebuntingan dan mengurangi kematian embrio akhir antara hari 31 – 45 setelah inseminasi. Selain itu, bST juga mampu meningkatkan angka pembuahan, mempercepat perkembangan embrio, meningkatkan kualitas embrio, dan meningkatkan panjang konsepsi pada saat kebuntingan dipertahankan. Peningkatan fertilitas secara keseluruhan tampak paling nyata setelah inseminasi pertama setelah masa tunggu postpartus.
Identifikasi awal sapi yang tidak bunting hingga inseminasi pertama (∼23 – 24 hari) melalui sinkronisasi estrus yang tepat waktu dengan penggunaan insert progesteron intravaginal (CIDR) dan atau AI waktunya segera setelah diagnosis tidak bunting merupakan strategi tambahan untuk meningkatkan kinerja reproduksi. Dalam skenario terakhir dari sinkronisasi ulang, sapi yang menerima perangkat CIDR antara hari ke 14 – 23 setelah inseminasi menerima suntikan GnRH pada saat penarikan CIDR untuk membalik folikel pada hari ke 23. Test kebuntingan bisa dikonfirmasi dengan diagnosis ultrasound 7 hari kemudian, yaitu pada hari ke 30 setelah inseminasi. Jika sapi tidak bunting maka PGF2α disuntikkan dan diikuti 3 hari kemudian dengan injeksi GnRH dan AI waktunya bersamaan. Akibatnya, re-inseminasi terjadi dalam 3 hari setelah diagnosis tidak bunting atau hari ke-33 setelah inseminasi sebelumnya. Baca juga : Kawin Silang Ternak Sapi Potong
Selama 25 tahun terakhir, teknologi reproduksi buatan (ART) telah menjadi yang terdepan dalam penelitian reproduksi. Meskipun banyak teknik sekarang tersedia yang menjanjikan untuk meningkatkan kinerja reproduksi, penyempurnaan dan pengoptimalan tambahan yang memungkinkan perkembangan embrio selanjutnya dan kesejahteraan keturunan juga tetap diperlukan. Berikut beberapa tehnologi yang sudah mulai dikembangkan :
Superovulasi dan Transfer Embrio
Munculnya manipulasi hormonal dari siklus reproduksi sapi, menginduksi beberapa ovulasi, ditambah dengan AI, koleksi embrio, dan transfer embrio, memungkinkan produsen susu untuk mendapatkan banyak keturunan dari betina unggul secara genetik, dengan mentransfer embrio mereka ke penerima manfaat genetik yang lebih rendah. . Selain itu, embrio dengan keunggulan genetik tinggi dapat dibekukan untuk kemudian ditransfer atau dijual. Prosedur transfer embrio nonsurgical pertama kali dikembangkan pada tahun 1964, lalu tahun 1972 mulai bisa dilakukan pengumpulan embrio dan kemudian tersedia secara komersial sejak tahun 1980-an. Upaya terbaru telah memasukkan transfer embrio berjangka waktu, membuat proses ini lebih mudah dikelola oleh produsen. Saat ini, biaya yang terkait dengan superovulasi dan pengumpulan serta penyimpanan embrio adalah sekitar $100/embrio, dan biaya transfer rata-rata $25 – $50/transfer.
Produksi Embrio In Vitro
Manipulasi in vitro gamet untuk produksi embrio pertama kali berhasil pada tikus pada tahun 1958 dan pada kelinci pada tahun 1959. Pada awalnya, oosit matang yang diambil dari betina dibuahi dengan sperma di laboratorium diikuti dengan transfer ke ibu penerima. Pada tahun 1981, anak sapi hidup pertama diproduksi dengan fertilisasi in vitro (IVF/ in vitro fertilization). Kemajuan telah dibuat dalam kondisi kultur, sehingga oosit yang belum matang sekarang dapat diambil dan dimatangkan secara in vitro (IVM/matured in vitro). Anak sapi hidup pertama dari oosit matang in vitro dilaporkan pada tahun 1986. Tiga tahun kemudian, Sirard dan rekan kerja melaporkan anak sapi hidup pertama yang diproduksi oleh IVM/IVF dan kultur in vitro. Kemajuan ini memungkinkan untuk produksi embrio yang layak dari oosit yang diisolasi dari ovarium yang diperoleh di rumah jagal. Penggunaan semen dengan nilai genetik tinggi untuk membuahi oosit yang diambil dari ovarium rumah jagal adalah salah satu metode untuk menghasilkan embrio dalam jumlah besar dengan potensi genetik yang lebih baik.
Kemajuan besar lainnya dalam bidang ini adalah teknik pengambilan sel telur (OPU/ovum pick-up) non-bedah. Pada tahun 1988, Pieterse dan rekan menunjukkan bahwa pemeriksaan ultrasound transvaginal dengan panduan jarum dapat digunakan untuk mengaspirasi oosit dari folikel yang sedang tumbuh pada betina donor hidup. Oosit kemudian dimatangkan dan dibuahi secara in vitro untuk menghasilkan embrio yang layak untuk ditransfer. Kemajuan ini memungkinkan pengambilan oosit dari betina pada hampir semua usia atau status reproduksi, termasuk sapi dara prapubertas dan sapi bunting. Ini memiliki potensi untuk secara substansial meningkatkan produktivitas seumur hidup betina dengan prestasi genetik tinggi, dan secara efektif mengurangi interval generasi.
Saat ini, 20 – 50% oosit yang dibuahi secara in vitro berkembang menjadi embrio yang hidup tergantung pada kondisi kultur, dan cocok untuk transfer embrio ke penerima. Tingkat konsepsi untuk embrio IVF (30 – 40%) berkurang dibandingkan dengan AI atau embrio yang dipulihkan tanpa pembedahan dari hewan donor (50 – 70%). Kehilangan paling sering terjadi selama 30 hari pertama kebuntingan, walaupun hal ini bisa terjadi juga di semua fase. Selain itu, beberapa keturunan yang diproduksi secara in vitro memiliki masa kebuntingan yang relatif berkepanjangan dengan peningkatan berat badan lahir (8 – 50% lebih besar). Hal ini sering dikaitkan dengan sindrom keturunan besar (LOS/large offspring syndrome), dan operasi caesar sering diperlukan sebagai intervensi proses kelahiran. Masalah-masalah ini menunjukkan bahwa kondisi kultur in vitro masih memerlukan perbaikan tambahan untuk mencapai tingkat perkembangan yang serupa dengan embrio yang diproduksi secara in vivo.
Seleksi Semen
Mengubah rasio jenis kelamin untuk mendukung anak sapi dara akan menjadi keuntungan besar bagi industri susu untuk memproduksi sapi dara pengganti. Sampai saat ini, satu-satunya pilihan adalah embrio seks.
Tahun 1987, Larry Johnson di USDA memperkenalkan metode untuk menyortir sperma berdasarkan kandungan DNA. Menggunakan pewarna fluoresen pengikat DNA (Hoechst 33342), sperma diwarnai dan disortir pada penyortir sel yang diaktifkan fluoresensi (FACS). Sperma yang mengandung kromosom X dari sapi mengandung DNA 3,8% lebih banyak daripada sperma yang mengandung Y, memungkinkan untuk dipisahkan. Teknologi ini sekarang tersedia secara komersial melalui XY Inc., yang berbasis di Fort Collins, CO, yang telah melisensikan teknologi untuk semen sapi ke Inguran di Texas dan TransOva Genetics di Iowa.
Saat ini, tehnologi ini 95% efektif menghasilkan sapi jenis kelamin yang diinginkan, namun demikian ada 2 kelemahan yang terkait dengan teknologi ini. Pertama, ini adalah proses yang sangat lambat, hanya menghasilkan 150 – 200 sedotan air mani berjenis kelamin/mesin/hari, sehingga diperlukan alat yang sangat banyak untuk memenuhi target. Selain itu, 70% sperma gagal disortir karena rusak atau tidak dapat dibedakan, sehingga membuat teknologi ini menjadi sangat mahal bagi produsen. Kedua, rendahnya tingkat konsepsi. Tingkat konsepsi pada sapi dara dengan menggunakan semen berjenis kelamin rata-rata hanya 35% vs 55% untuk semen tanpa kelamin.
Strategi penggunaan semen jenis kelamin untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas biaya sedang dikembangkan. Salah satu strategi tersebut adalah dengan melakukan service breeding pertama dengan sexed semen yang dilanjutkan dengan penggunaan unsexed seed pada repeat breeding. Metode ini telah terbukti menghasilkan 62% keturunan betina saat pertama kali melahirkan. Cara lain untuk meningkatkan efisiensi dengan air mani berjenis kelamin adalah penggunaannya untuk program fertilisasi in vitro. Rata-rata, dianjurkan untuk menggunakan 2 juta sperma berjenis kelamin untuk membuahi seekor sapi betina. Sebaliknya, kurang dari 100.000 sperma dapat secara efektif membuahi 100 oosit secara in vitro, sehingga mengurangi masalah kecepatan dan jumlah sperma yang rendah setelah kawin. Perbaikan lebih lanjut perlu diterapkan agar teknologi ini dapat digunakan secara luas di industri susu.
Kloning
Kloning adalah produksi salinan atau salinan individu, dan terjadi pada hewan baik secara alami atau buatan, ketika embrio dibelah untuk menghasilkan kembar identik. Kata “klon” juga telah digunakan untuk menggambarkan hewan yang dihasilkan untuk produksi keturunan identik secara genetik dalam jumlah tak terbatas. Keberhasilan pertama dalam mengkloning ternak terjadi pada tahun 1986, ketika Steen Willadsen menggabungkan sel dari embrio 16 sel menjadi oosit bernukleus.
Terobosan terbesar dalam kloning datang pada tahun 1996, ketika Ian Wilmut dan rekan-rekannya menghasilkan domba Dolly dengan menggabungkan sel somatik dewasa yang dikultur dengan oosit yang dienukleasi. Meskipun masih cukup tidak efisien, kloning dengan sel dewasa menawarkan keuntungan dari kloning hewan yang terbukti secara genetik dan memiliki persediaan sel donor yang tidak terbatas. Kloning sel somatik kini telah berhasil menghasilkan semua spesies ternak, serta banyak hewan laboratorium dan hewan peliharaan.
Aplikasi utama kloning pada industri susu adalah untuk memperluas penggunaan hewan yang unggul secara genetik. Hewan yang berjasa tinggi tersebut, jantan atau betina, dapat dipilih untuk kloning berdasarkan sifat yang diinginkan, termasuk produksi susu, pertumbuhan, efisiensi pakan, atau ketahanan terhadap penyakit. Selanjutnya, gizi, reproduksi, dan kesehatan hewan hasil kloning harus lebih mudah dikelola karena keseragaman hewan. Transplantasi juga berguna untuk menghasilkan individu unggul secara genetik yang sudah tua, terluka, atau baru saja mati. Selain itu, kloning akan bermanfaat untuk menghasilkan sapi perah yang dimodifikasi secara genetik, dengan menambahkan sifat-sifat yang menguntungkan atau menghilangkan sifat-sifat yang kurang diinginkan.
Prosedur kloning melibatkan pemindahan DNA kromosom dari oosit dewasa dan menggantinya dengan sel dari hewan donor untuk dikloning. Sel donor kemudian menyatu dengan oosit enukleasi dan diaktifkan baik secara kimia atau dengan kelistrikan untuk menginduksi aktivasi dan pemrograman ulang genom sel somatik dengan genom embrionik. Embrio kloning yang direkonstruksi kemudian dikultur selama 6 – 9 hari dan embrio yang layak dipindahkan ke penerima yang disinkronkan untuk menghasilkan keturunan kloning hidup.
Meskipun kloning tersedia secara komersial, teknologinya masih cukup tidak efisien dan sangat mahal. Inefisiensi berasal dari mikromanipulasi oosit dan embrio dan kultur sel donor dan embrio kloning. Proses kloning ini relatif sangat sulit, karena banyaknya aborsi yang terjadi sepanjang masa kebuntingan, umur kebuntingan lebih lama dan ukuran berat lahir besar (LOS) sehingga harus intervensi dengan operasi sesar karena adanya distokia. Keturunan yang besar ini sering mengalami kelemahan pasca kelahiran, hipoksia, hipoglikemia, asidosis metabolik, dan hipotermia yang memerlukan perawatan intensif segera, sehingga masalah ini menghambat penerapan tehnologi kloning ini secara luas pada industri susu.
Akhirnya, tantangan terbesar lainnya adalah potensi hilangnya keanekaragaman genetik. Meskipun jumlah sapi identik yang tidak terbatas dapat diproduksi dengan kloning, hal itu tidak boleh menggantikan pembiakan alami. Jika hal itu terjadi, dapat mengakibatkan perkawinan sedarah dan hilangnya variasi genetik yang tidak diinginkan. Kekhawatiran yang sama ketika AI diimplementasikan secara komersial dan luas. Kloning diperkirakan tidak akan digunakan secara luas seperti AI karena relatif mahal. Dengan manajemen skema pemuliaan yang tepat, masalah seperti ini seharusnya tidak akan terjadi.
Transgenesis
Metode tradisional untuk melakukan perbaikan genetik oleh produsen susu adalah melalui analisis silsilah dan seleksi genetik stok benih. Meskipun ini akan terus menjadi yang terdepan, produsen akan segera melihat hasil dari pendekatan baru untuk meningkatkan genetika sapi perah. Teknologi transgenik memungkinkan perbaikan yang saat ini tidak mungkin dilakukan melalui skema pemuliaan tradisional. Sifat-sifat yang menguntungkan dapat ditambahkan dari spesies lain. Sebagai contoh, baru-baru ini ditunjukkan bahwa gen bakteri dapat diekspresikan dalam kelenjar susu yang memungkinkan resistensi terhadap jenis mastitis tertentu. Selain itu, Brophy dan rekan meningkatkan kualitas susu dengan meningkatkan produksi kasein. Perubahan ini meningkatkan padatan susu yang tersedia untuk dijual dan meningkatkan sifat produksi keju.
Perusahaan farmasi juga menaruh minat pada sapi perah sebagai unit produksi biofarmasi, dimana sapi transgenik diproduksi yang mengandung gen untuk obat tertentu yang hanya diekspresikan dalam susu. Selama menyusui, sapi berfungsi sebagai pabrik yang sangat efisien, memproduksi sejumlah besar obat dalam susu yang kemudian dapat dipanen dan dimurnikan dengan harga yang lebih murah dibandingkan metode pembuatan obat-obatan tradisional. Obat ini sedang dalam uji klinis dan kemungkinan besar akan dipasarkan dalam beberapa tahun ke depan.
Produksi hewan transgenik pertama kali diperkenalkan pada tahun 1980 oleh Jon Gordon dan rekan. Salinan gen asing disuntikkan ke dalam pronukleus embrio tikus 1 sel yang baru dibuahi. Teknologi yang sama ini juga dikembangkan pada produksi babi, kambing, domba, dan sapi transgenik yang berhasil. Namun demikian, tingkat efisiensinya sangat rendah dan seringkali < 1%. Dibutuhkan biaya hingga $5 juta untuk memproduksi satu hewan transgenik penghasil biofarmasi.
Modifikasi genetik sapi perah melalui transgenesis menawarkan banyak manfaat untuk meningkatkan kesehatan dan produksi hewan, namun inefisiensi dan pertimbangan etis dapat menghambat penerimaannya. Selain itu, pemahaman dan respon penerimaan publik saat ini terhadap makanan yang dimodifikasi secara genetik masih belum semuanya positif. Agar teknologi ini berdampak pada industri susu, efisiensi produksi embrio transgenik dan persepsi publik tentang sains harus meningkat secara substansial.
Demikian beberapa tehnologi yang saat ini dikembangkan untuk meningkatkan produksi terutama pada sapi perah. Semua bertujuan baik, tetapi mungkin tidak semua segmen bisa menerapkannya karena biaya yang relatif besar.
Setelah beberapa lalu kita membahas mengenai gangguan reproduksi pada sapi, maka saat ini kita akan mengulas mengenai management reproduksinya. Ilmu reproduksi terus mengalami perkembangan dan kemajuan yang tentunya membantu para dokter hewan dan pelaku usaha peternakan yang fokus pada pembibitan.
Faktor utama yang mempengaruhi pemilihan waktu beranak pada negara dengan 4 musim adalah meliputi kondisi cuaca, kualitas dan ketersediaan pakan ternak, pakan tambahan, tenaga kerja, modal, target produksi (persentase beranak, bobot sapih, interval beranak), bobot relatif pedet, dan tantangan penyakit. Idealnya, sapi harus dikawinkan kembali dalam 80 – 85 hari setelah melahirkan jika interval beranak 365 hari ingin dipertahankan. Kalender reproduksi sapi diatas adalah jadwal yang sangat ketat jika tujuannya adalah untuk menghasilkan 1 ekor anak sapi setiap tahun dari setiap indukan sapi. Nutrisi yang memadai sangat penting untuk memenuhi tujuan ini.
Periode dari pembuahan – lahir adalah sekitar 283 hari. Kebanyakan sapi tidak akan estrus/berahi sekitar 30 – 45 hari setelah melahirkan (bisa lebih lama jika kualitas nutrisi buruk). Sapi akan mengalami estrus dengan interval 21 hari. Dari 365 hari dalam setahun jika kita kurangi masa kebuntingan 283 hari dan 40 hari lagi masa tidak estrus setelah melahirkan, maka praktis kita hanya memiliki sisa waktu 42 hari (dua siklus) jika kita tetap pada jadwal untuk tahun berikutnya.. Artinya, kita harus memastikan induk sapi akan kembali bunting dalam maksimum 2x kesempatan proses perkawinan/insminasi buatan. Inilah tantangan yang kita hadapi sebagai pelaku usaha peternakan sapi agar bisa memperoleh hasil yang optimal.
Tantangan target 1 calf per cow per year ini idealnya harus diimbangi dengan update pengetahuan terkait perkembangan terbaru dari ilmu reproduksi agar tingkat keberhasilannya tinggi. Perkembangan folikel ovarium dengan regresi corpus luteum (CL) selama siklus estrus adalah salah satu yang mengalami kemajuan besar yang harus kita kuasai. Kita bisa belajar dari para peneliti dimana mereka dapat memantau dinamika perkembangan folikel dari hari ke hari pada hewan yang sama tanpa mengorbankan status ovarium dan endokrin sapi dengan menggunakan pencitraan ultrasonografi.
Gambar diatas menunjukan adanya gelombang folikel yang terjadi pada siklus estrus sapi. Folikel-folikel berukuran besar yang berulang berkembang dalam gelombang sebagai respons terhadap lonjakan FSH (follicle stimulating hormone). Setiap gelombang ini terdiri dari fase berurutan, yaitu seleksi, deviasi, dominasi, dan atresia. Rekrutmen folikel terjadi setiap 8 – 10 hari, dimana sapi pada umumnya akan memiliki 2 – 3 gelombang folikel selama siklus estrusnya. Dari gelombang folikel yang direkrut FSH ini kemudian dipilih 1 folikel dan mengalami deviasi pada ukuran sekitar 8,5 mm. Folikel yang terseleksi ini akan tumbuh secara linier menjadi dominan, sedangkan folikel lainnya berhenti tumbuh dan kemudian mengalami atresia. Folikel dominan ini akan menghalangi perekrutan gelombang folikel berikutnya sampai mengalami atresia.
Pemahaman tentang mekanisme kontrol gelombang folikel ini sangat penting bagi peternak dalam mengembangkan sistem yang optimal dalam mengontrol kesuburan pada ternak sapi, terutama sapi perah yang umumnya dipelihara secara intensif dalam kandang. Folikel yang dipilih sebagai menjadi dominan memiliki konsentrasi estradiol yang lebih tinggi dalam cairan folikel dan konsentrasi yang lebih besar dari insulin-like growth factor (IGF)-I yang berkontribusi pada potensi estrogenik folikel. Peningkatan sekresi estradiol dan inhibin ovarium akan mencapai kelenjar hipofisis melalui sirkulasi dan menyebabkan penurunan sekresi FSH, sehingga mencegah pertumbuhan lebih lanjut dari folikel bawahan lainnya. Setelah fase deviasi dimana folikel dominan mencapai 10 mm, sel granulosa mulai mengekspresikan reseptor LH (luteinizing hormone) dan dapat diinduksi untuk berovulasi dengan ukuran sekitar 12 mm. Pertumbuhan berkelanjutan dan dominasi folikel dominan ini tergantung pada sekresi LH sehingga dengan tidak adanya peningkatan frekuensi LH, folikel dominan akan mengalami atresia fungsional yang memungkinkan peningkatan sekresi FSH dan perekrutan gelombang folikel baru kembali.
Peristiwa ini berulang pada setiap gelombang sampai regresi CL spontan terjadi karena sekresi hormon prostaglandin (PGF2α) melalui mekanisme luteolitik. Jika level progesteron rendah setelah luteolisis, umpan balik negatif pada hipofisis akan berkurang dan LH meningkat, sehingga mengarah pada perkembangan akhir folikel dominan. Saat ukuran mencapai 17 – 20 mm, maka folikel dominan menjadi sepenuhnya estrogenik dan menginduksi lonjakan LH pra-ovulasi yang pada akhirnya akan memicu terjadinya ovulasi.
Kembali ke sistem produksi farm komersial yang dilakukan secara intensif, untuk sapi perah laktasi akan memerlukan manajemen pemuliaan yang cermat, yaitu memprogram gelombang folikel, regresi CL, dan induksi ovulasi. Hal ini terjadi karena tingkat produksi susu yang tinggi, asupan dry matter (DM) dan metabolisme sapi perah menyusui cinderung menurunkan efisiensi deteksi estrus yang pada akhirnya akan menurunkan tingkat kebuntingan. Keadaan ini tidak terlihat pada sapi dara atau sapi yang tidak laktasi sehingga kesulitan dalam deteksi estrus hampir tidak terjadi dan angka kebuntingan cinderung lebih baik dari sapi laktasi.
Pemahaman tentang mekanisme siklus estrus saat ini telah mengarah pada pengembangan sistem kontrol ovulasi untuk menentukan waktu inseminasi. Pada peternakan modern, sistem ini dikembangkan dengan memanfaatkan preparat hormonal atau obat-obatan yang sebanding dengan hormon atau analognya yang mengatur fungsi ovarium normal pada sapi. Salah satu kisah sukses dalam intervensi sistem reproduksi sapi adalah penggunaan PGF2α pada awal 1970-an sebagai luteolysin uterus alami pada sapi. PGF2α dikembangkan untuk menginduksi regresi CL.
Suntikan PGF2α untuk meregresi CL berhasil setelah hari ke-5 dari siklus estrus. Selain itu, ada perbedaan yang cukup besar mengenai kapan estrus akan terjadi selama periode diestrus yang responsif. Interval terpendek terjadinya estrus adalah 2 – 3 hari, dimana ini bisa terjadi ketika PGF2α diberikan antara hari ke-7 dan 9 atau hari ke-14 dan 16 dari siklus estrus. Interval yang lebih lama terjadi dalam 4 – 7 hari, dimana terjadi jika waktu pemberian dilakukan antara hari ke-10 dan 12 dari siklus.
Waktu injeksi PGF2α dan fase gelombang folikel yang tidak diketahui pasti ini menyebabkan variasi dalam respon di lapangan. Jika injeksi PGF2α dilakukan saat ada folikel aktif estrogen yang dominan, misalnya pada hari ke-7 siklus maka akan terjadi estrus lebih awal dibandingkan jika injeksi diberikan pada hari ke-11. Hal ini terjadi karena pada hari ke 11 folikel gelombang kedua sedang diseleksi dan diperlukan sekitar 7 hari untuk perkembangan folikel dominan baru dan estrus. Oleh karena itu, strategi awal intervensi untuk menyinkronkan estrus dengan injeksi PGF2α didasarkan pada 2 injeksi berturut-turut dengan jarak 11 hari (sapi dara) atau 14 hari (sapi menyusui). Hal ini untuk memastikan sebagian besar hewan akan menjalani regresi CL pada injeksi PGF2α kedua dan memiliki tingkat sinkronisasi estrus yang lebih tinggi. Baca juga : Gangguan Reproduksi pada Sapi
Berdasarkan pemahaman dinamika folikel normal selama siklus estrus, menjadi jelas bahwa sinkronisasi folikel harus digabungkan dengan regresi CL yang diinduksi untuk lebih mengontrol ketepatan terjadinya estrus. Pelepasan LH yang diinduksi GnRH menyebabkan ovulasi atau luteinisasi folikel dominan >10 mm. Pergantian folikel dominan yang diinduksi GnRH mengarah pada perekrutan gelombang folikel baru, sehingga folikel dominan baru yang matang hadir 7 hari kemudian, ketika seseorang dapat menginduksi regresi CL dan/atau yang diinduksi GnRH, serta meningkatkan presisi dari estrus yang diinduksi. Urutan terprogram seperti itu adalah dasar dari program inseminasi yang disebut Ovsynch, di mana injeksi GnRH primer diberikan pada waktu yang telah ditentukan setelah melahirkan, diikuti oleh PGF2α 7 hari kemudian. Injeksi tambahan GnRH diberikan 48 jam setelah injeksi PGF2α. Inseminasi harus terjadi 12 – 16 jam setelah injeksi GnRH, yang akan diikuti oleh ovulasi tersinkronisasi pada 28 jam setelah GnRH.
Dari gambar diatas, kita bisa melihat alternatif manajemen reproduksi untuk meningkatkan performa reproduksi sapi perah laktasi dengan penggunaan presynchronization. Perawatan endokrin meliputi injeksi bovine somatotropin (bST) dan injeksi human chorionic gonadotropin (hCG) pada hari ke-5 setelah inseminasi. Sinkronisasi ulang sapi yang tidak bunting akan melibatkan penyisipan perangkat progesteron intravaginal (CIDR=controlled internal drug release) antara hari ke 14 dan 23 setelah inseminasi buatan dan injeksi GnRH pada hari ke 23 pada saat penghentian CIDR. Sapi yang terindikasi tidak bunting pada hari ke 30 menerima suntikan PGF2α, dan pada hari ke 33 disuntik dengan GnRH dan diinseminasi secara bersamaan.
Kemampuan injeksi GnRH pertama untuk menginduksi pergantian folikel tergantung pada induksi ovulasi dari folikel dominan. Jika penyuntikan pertama dilakukan pada fase metestrus, maka folikel baru tidak akan diinduksi dan folikel ovulasi pada penyuntikan GnRH kedua adalah folikel tua dengan tingkat fertilitas yang lebih rendah saat diinseminasi. Oleh karena itu, intervensi program presynch/ovsynch dilakukan dengan pemberian 2x suntikan PGF2α dengan interval 14 hari, dan program ini dimulai 12 – 14 hari setelah injeksi PGF2α kedua dari fase prasinkronisasi.
Jika sapi mengekspresikan estrus antara hari ke 3 – 7 setelah penyuntikan kedua PGF2α, mereka akan berada di antara hari ke 5 – 11 dari siklus estrus ketika ovsynch dimulai. Oleh karena itu, sekitar 80% sapi harus memiliki folikel yang berovulasi saat injeksi GnRH pertama dan semua sapi harus memiliki CL fungsional selama interval antara injeksi GnRH dan PGF2α. Hal ini bertujuan untuk mengurangi terjadinya ovulasi prematur sebelum injeksi GnRH kedua. Skema sinkronisasi folikel ini meningkatkan kemungkinan memperoleh folikel fresh yang berovulasi, diikuti dengan injeksi GnRH kedua untuk mengarah pada pengembangan CL yang memadai guna pemeliharaan kebuntingan.
Tehnologi terbaru saat ini sudah menyediakan perangkat intravaginal untuk pelepasan progesteron (CIDR) yang bisa diaplikasikan pada sapi perah laktasi sebagai alat tambahan untuk sinkronisasi. Pada sapi perah laktasi, perangkat CIDR dapat dimasukkan kedalam vagina pada saat injeksi GnRH pertama dan dilepas saat PGF2α disuntikkan sebagai bagian dari program ovsynch. Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya estrus prematur sebelum injeksi ovulasi GnRH pada sapi yang mengalami regresi CL selama 7 hari pertama protokol ovsynch, dan dapat juga menginduksi aktivitas siklik pada sapi anovulasi yang diobati dengan program ini. CIDR ini berfungsi sebagai alat pra-sinkronisasi untuk memastikan sinkronisasi folikel atau ovulasi ke program ovsynch berikutnya, dan sinkronisasi ulang estrus pada sapi yang tidak berhasil bunting pada inseminasi buatan pertama.
Perlu diingat, bahwa sapi perah laktasi memiliki konsentrasi progesteron dan estradiol yang suboptimal dan dianggap kurang subur karena metabolisme yang terkait dengan asupan DM yang tinggi. Oleh karena itu, program inseminasi buatan pada sapi laktasi yang mencakup estradiol eksogen (estradiol cypionate) yang diberikan 24 jam setelah PGF2α ternyata mampu mendorong terjadinya estrus dan benar-benar meningkatkan tingkat konsepsi. Namun demikian, dibeberapa negara seperti Amerika Utara, penggunaan preparat estrogen pada sapi perah laktasi masih diperdebatkan karena dianggap berpotensi mengganggu pasokan makanan karena issue residu yang masih membutuhkan pembuktian lebih lanjut.
Tantangan lain yang umumnya dihadapi peternak adalah terjadinya kematian embrio. Terlepas dari kemajuan dalam biologi reproduksi dan berbagai teknik yang tersedia untuk mengontrol proses reproduksi, pada kenyataannya efisiensi reproduksi kawanan terus menurun pada sapi perah laktasi. Berbagai faktor yang bisa kita evaluasi terhadap kejadian subfertilitas ini adalah adanya ovulasi folikel persisten atau tua, ovulasi folikel praovulasi berukuran kecil, periode pro-estrus yang lebih pendek, paparan progesteron yang tidak memadai selama periode sinkronisasi, dan insufisiensi luteal setelah ovulasi yang diinduksi. Total kerugian dari pembuahan sampai kelahiran pada sapi perah laktasi mencapai 60% dengan tingkat konsepsi akhir hanya sebesar 28%. Hal ini disebabkan oleh rendahnya angka pembuahan, penurunan viabilitas embrio, ukuran embrio, serta kehilangan embrio pada umur 24 – 42 hari. Baca juga : Analisa Fertilitas pada Ternak Sapi
Gangguan saat proses kelahiran seperti kejadian distokia, retensi placenta dan milk fever akan mempengaruhi tingkat kesuburan sapi periode selanjutnya. Kejadian metritis dan endometritis subklinis juga berpotensi mengurangi tingkat kebuntingan. Oleh karena itu, penting bagi para peternak untuk mengoptimalkan kualitas nutrisi, kandungan gizi dan status kesehatan sapi selama periode kebuntingan dan pasca kelahiran dimana fungsi kekebalan umumnya sedikit terganggu pada periode awal laktasi.
Demikian paparan mengenai siklus reproduksi dan intervensi yang umumnya bisa dilakukan di kalangan industri peternakan sapi. Pada artikel selanjutnya kita nanti akan belajar bersama mengenai teknologi yang dikembangkan untuk mengoptimalkan performa reproduksi ternak.
Tantangan terbesar dalam peternakan adalah bagaimana kita bisa menjalankan usaha dengan baik, dengan minimal resiko dan mengoptimalkan keuntungan. Pengendalian penyakit menjadi hal yang krusial, mengingat ternak tidak akan menghasilkan performance terbaik jika terjadi masalah. Jika kita bergerak di usaha pembibitan atau sapi perah, penyakit pada organ reproduksi menjadi hal yang harus ditangani dengan baik.
Gangguan reproduksi pada sapi biasanya berkembang secara kronis sehingga terkadang tidak disadari. Hewan yang terinfeksi biasanya tidak mati, dalam kebanyakan kasus terutama pada pejantan akan nampak tetap sehat. Beberapa hewan tidak pernah menunjukkan gejala penyakit, namun tetap menjadi ancaman utama bagi kawanan lainnya karena mereka membawa organisme penyakit. Jika hal ini tidak terdeteksi sedini mungkin, maka kerugian karena waktu dan biaya pakan sudah pasti cukup besar.
Untuk mencegah penyakit reproduksi, produsen/peternak harus selalu waspada dan idealnya mempraktekkan manajemen yang baik seperti pengadaan ruang isolasi sapi yang baru didatangkan dan melakukan vaksinasi bila diperlukan. Tenaga dokter hewan profesional juga sebaiknya juga ada untuk menjaga status kesehatan ternak yang kita pelihara.
Sebelum kita membahas tentang penyakit reproduksi, ada baiknya kita juga sedikit mengingat kembali apa saja yang harus kita kuasai terkait reproduksi pada sapi. Tingkat fertitas yang buruk dalam suatu farm akan menghasilkan produktivitas yang lebih rendah, peningkatan culling rate, keturunan yang kurang baik dan tentunya pada akhirnya menggerus keuntungan peternak.
Apapun sistem peternakannya, manajemen reproduksi perlu efisien sehingga sapi mempunyai level kesuburan yang baik, dan segera bunting dengan perlakuan layanan kawin/inseminasi buatan yang seminimal mungkin. Manajemen reproduksi tidak hanya melibatkan sapi indukan ataupun sapi perah dewasa saja, tetapi juga sudah dimulai dari ketika sapi dara lahir. Proses mencetak bibit unggul dan pemeliharaan sapi dara yang berkualitas sangat penting untuk mendapatkan sapi yang dewasa kelamin pada umur 13 bulan, bunting umur 15 bulan dan melahirkan pada usia 24 bulan. Jadi pada setiap tahap kehidupan sapi, kita memerlukan rencana pengelolaan yang efektif untuk memaksimalkan kesuburan yang akhirnya akan mempengaruhi performa reproduksi dan tentunya jumlah air susu jika kita bicara uasaha sapi perah.
Siklus berahi
Sapi adalah poliestrus, yang berarti mereka menjadi memiliki siklus birahi sepanjang tahun secara berkala. Hormon utama dalam reproduksi adalah progesteron dan estrogen. Progesteron adalah hormon kehamilan dan diproduksi di ovarium oleh corpus luteum (CL), sedangkan estrogen adalah hormon utama yang bertanggung jawab untuk munculnya perilaku estrus (3M – abang, abuh, anget) yang diproduksi di ovarium oleh folikel tempat sel telur berasal.
Sapi menjadi estrus ketika progesteron turun dan estrogen naik. Rata-rata siklus estrus sapi adalah setiap 21-22 hari (atau berkisar 18-26 hari). Heifer atau sapi dara cenderung memiliki interval yang lebih pendek, tetapi hanya sekitar satu hari atau lebih. Sapi dengan interval di luar rentang 18-26 hari kemungkinan besar tidak normal dan kita harus melakukan evaluasi detail sebelum memutuskan untuk tahap selanjutnya dalam proses breeding. Jika kondisi tidak membaik, biasanya sapi ini akan dijadikan untuk penggemukan, bukan sebagai bibit.
Masa pubertas
Usia di mana sapi dara mencapai pubertas tergantung pada berat badan mereka. Sapi dara yang lebih ringan mulai siklus lebih lambat daripada hewan yang lebih berat. Jadi, untuk bisa memaksimalkan kesuburan sapi, kita membutuhkan penambahan berat badan yang baik dan konsisten selama masa pemeliharaan
Untuk membuat sapi dara bunting pada umur 15 bulan dan melahirkan pada umur 2 tahun, mereka harus mulai dewasa kelamin pada umur 12-13 bulan. Kita bisa mulai mengawinkan sapi dara pada siklus estrus mereka yang ke-2 atau 3 kali idealnya untuk memastikan kesiapan organ reproduksinya.
Untuk memastikan bahwa semua sapi dara bisa mengalami dewasa kelamin pada 12-13 bulan, sapi dara harus memiliki berat sekitar 50% dari berat badan dewasa yang diharapkan pada saat berumur 12 bulan dan bertambah sekitar 10% lagi saat 15 bulan. Misalkan sapi Holstein yang berat dewasanya bisa sampai 600 kg, maka idealnya harus memiliki berat minimal 300 kg pada umur 12 bulan dan menambah 60 kg lagi sebelum 15 bulan. Mengukur bobot sapi dara dan menetapkan target bobot hidup merupakan bagian penting dari manajemen kesuburan sapi.
Post Partus
Setelah melahirkan, sistem reproduksi perlu memperbaiki dan memulihkan dirinya sendiri sebelum siklus estrusnya normal kembali. Untuk ternak sapi, perah pada khususnya, kebanyakan siklus normal akan berlangsung kembali dalam 40 hari setelah melahirkan. Kegagalan untuk melanjutkan siklus normal setelah melahirkan adalah salah satu penyebab utama dari fertilitas yang buruk. Hal ini umumnya bisa nampak dari tertundanya estrus 80-100 hari setelah melahirkan, atau sapi bisa mulai estrus 20 hari setelah melahirkan tetapi kemudian berhenti. Jadi, dampak utama dari kondisi delay estrus ini adalah bahwa sapi tidak bisa dikawinkan dan interval antara saat melahirkan dan estrus kembali menjadi lebih lama sehingga angka kebuntingan menjadi jauh lebih rendah.
Faktor penyakit dan defisiensi nutrisi juga mempengaruhi seberapa cepat kembalinya siklus estrus normal. Untuk pubertas pada sapi dara, salah satu faktor penting yang mempengaruhi kembalinya siklus adalah berat badan. Sapi yang kehilangan berat badan berlebihan pasca melahirkan, umumnya memiliki siklus abnormal dan untuk mencapai kebuntingan selanjutnya juga relatif lebih sulit/lambat. Oleh karena itu, upaya untuk mengembalikan body condition score (BCS) dan meminimalkan kehilangan berat badan induk pasca melahirkan merupakan bagian penting dari pengelolaan fertilitas pada sapi laktasi, terutama induk muda yang baru mengalami masa laktasi awal. Kelompok sapi ini harus menghadapi pemerahan untuk pertama kalinya, mempertahankan pertumbuhan tubuh dan menyesuaikan diri dengan kondisi baru pada saat yang bersamaan sehingga kita sebagai peternak harus memberikan perhatian ekstra.
Kesuburan optimal terlihat pada sapi dengan BCS rata-rata 2,5 saat melahirkan. Dalam kelompok kandang breeding, induk laktasi dengan kondisi BCS > 3 tidak boleh lebih dari 15%, sedangkan BCS < 2 harus dibawah 15% saat melahirkan agar performa reproduksi lebih terjaga. Cara terbaik adalah dengan mengkondisikan sapi sebelum pengeringan dan kemudian mengelola sapi selama periode kering untuk memenuhi target BCS. Jika masalah utamanya adalah kondisi yang buruk, maka kita harus melakukan evaluasi kandungan nutrisi agar pakan yang kita berikan sesuai dengan kebutuhan induk. Pemberian pakan tambahan pada akhir masa laktasi adalah waktu yang paling ekonomis dan efektif untuk mencapai kondisi BCS yang ideal sebelum dikawinkan kembali.
Setelah kita sedikit refresh mengenai siklus reproduksi normal sapi dan kendala teknis yang mungkin muncul, maka saat ini kita juga akan belajar tentang penyakit reproduksi pada sapi. Gangguan reproduksi sapi yang paling umum adalah brucellosis, leptospirosis, infectiousi bovine rhinotracheitis (IBR) dan bovine viral diarhea (BVD), vibriosis, serta trikomoniasis.
Brucellosis
Brucellosis masih menyebabkan aborsi dan infertilitas yang mengganggu di kalangan pengusaha pembibitan sapi atau sapi perah. Penting untuk dipahami bahwa tidak semua sapi yang terinfeksi brucellosis akan mengalami aborsi, menghasilkan anak sapi yang lemah, mempertahankan plasenta atau mengalami kesulitan untuk berkembang biak kembali. Karena bisa terjadi seekor sapi yang terpapar brucellosis tampak normal. Lalu apa yang harus kita alamti?
Setiap kali induk melahirkan atau mengeluarkan cairan kelamin, jutaan organisme brucella mungkin ada di permukaan plasenta, anak sapi, atau kotorannya. Kotoran yang dihasilkan tersebut kemudian mencemari padang rumput, peralatan kadang dan lingkungan tempat mereka berada, termasuk mungkin bahan pakan lainnya, seperti jerami. Hal inilah yang menjadi biang malapetakan di suatu peternakan yang tentunya mengancam ternak lainnya. Jika hewan dalam kawanan ada yang dalam kondisi lemah/rentan dan terpapar bakteri ini, kemungkinan besar mereka akan terinfeksi juga.
Meskipun infeksi biasanya terjadi melalui saluran pencernaan, hewan yang rentan juga dapat terpapar bakteri melalui kulit atau mata. Pakan, tempat tidur, air atau tempat yang terkontaminasi dapat tetap infektif selama beberapa hari hingga beberapa minggu, tergantung pada kondisi lingkungan. Infeksi menyebar terutama ketika ternak yang terinfeksi dimasukkan ke dalam kawanan, baik melalui pembelian individu/kelompok baru atau ketika mereka berada di padang rumput dengan ternak dengan gangguan subklinis.
Untuk menjaga kawanan dari brucellosis, maka hal yang perlu dilakukan adalah memelihara kawanan secara eksklusif dengan memproduksi sendiri sapi dara untuk menggantikan sapi-sapi tua yang akan diafkir. Jika hal ini belum bisa dilakukan hal ini, maka sangat disarankan untuk kita membeli dari sumber yang dapat dipercaya sehingga mengurangi resiko kita memasukkan patogen penyakit dari lokasi lain. Jika harus membeli sapi dara pengganti, anda harus mengetahui reputasi peternakan/penjualnya. Pastikan bahwa semua ternak yang Anda beli berasal dari kawanan yang bersih, manajemen yang baik dan program vaksinnya jelas.
Apa lagi yang harus kita lakukan? Isolasi bibit pembibitan selama 30-60 hari setelah tiba di lokasi peternakan kita, dimonitor status kesehatannya dan uji ulang pada akhir periode isolasi sebelum dimasukkan ke dalam kawanan. Repot ya? Ya memang, tetapi jika melihat ini sebagai proses membangun kawanan yang baik, maka ini adalah investasi/upaya awal yang akan mempengaruhi tingkat keberhasilan usaha pembibitan anda. Kelangsungan usaha peternakan dalam jangka panjang dipertaruhkan dari upaya kita membangun kawanan yang berkualitas. Pada saat fase isolasi ini, kita juga harus melakukan uji guna melihat status kesehatan ternak baru untuk potensi penyakit lainnya. Jadi peran dokter hewan sangat penting disini. Pada umumnya, peternak melakukan program vaksinasi sesuai tantangan yang sudah ada di kandang. Semua sapi dara berusia 4-12 bulan harus sudah mendapatkan program yang lengkap. Jika kita berbicara dalam skala industri, sapi harus diidentifikasi dengan benar. Ear tag sistem dengan label telinga resmi dan tato di telinga kanan akan lebih memudahkan peternak untuk melihat silsilah dari sapi yang dibeli.
Lalu bagaimana dengan pejantan? Pastikan sapi jantan bebas dari brucellosis dan semua penyakit reproduksi. Meskipun brucellosis jarang menyebar melalui pembiakan, tetapi jika peternak melakukan model pemeliharaan yang diumbar dan kawin alami, maka pejantan yang kita miliki berpotensi terinfeksi dari induk yang bermasalah saat mereka berada di padang umbaran. Jika hal ini terjadi, maka pejantan ini akan berpotensi menularkan ke induk yang lainnya. Gejala yang bisa kita lihat adalah ukuran testis atau skrotum yang membengkak. Jika produsen sudah menggunakan teknik inseminasi buatan (IB), maka sebaiknya juga harus menghindari semen dari pejantan yang terinfeksi brucellosis, karena air mani mereka dapat menjadi sumber penularan.
Leptospirosis
Leptospirosis umumnya bisa menjadi masalah, terutama pada ternak yang tidak divaksinasi di daerah yang endemis. Penyakit ini menyebabkan kasus yang selalu berulang, karena bisa terjadi infeksi rahim, aborsi, mastitis dan kadang-kadang infeksi sistemik. Strain bakteri yang dominan pada sapi adalah Leptospira pomona, Leptospira hardjo dan Leptospira grippotyphosa.
Sama dengan brucellosis, leptospirosis dapat terjadi dalam suatu kawanan tanpa kita sadari karena minimnya gejala klinis yang muncul. Sapi yang dipelihara secara intensif tetapi dengan sanitasi yang buruk mungkin lebih beresiko karena tetesan urin dari sapi yang terinfeksi dapat menginfeksi sapi normal setelah kontak dengan mata atau selaput lendir hidung atau mulut. Penyakit ini mampu menginfeksi lebih banyak ternak setiap hari dan menggangu performa reproduksi breeding kita.
Untuk mencegah leptospirosis, sebaiknya lakukan vaksinasi dengan bakterin yang mengandung 3-5 serotipe setiap 6 bulan, perbaiki sanitasi/kebersihan kadang dan hindari/perbaiki area yang berpotensi air menggenang dan yang tidak kalah penting adalah kontrol vektor. Pengendalian populasi hewan pengerat terutama tikus dari gudang pakan dan lingkungan kandang menjadi faktor penting dalam upaya pengendalian kasus leptospirosis.
IBR dan BVD
Kasus komplek yang melibatkan IBR dan BVD adalah penyakit yang disebabkan oleh virus yang bertanggung jawab atas banyak aborsi dan kemungkinan infeksi pernapasan, lesi “mata merah” dan lesi kaki. Infertilitas sementara dapat terjadi mengikuti kejadian IBR karena vaginitis dan/atau infeksi uterus ringan. Baca juga : Penyakit Pernafasan pada Sapi
Karena penyakit ini sangat kompleks, sebaiknya kita melakukan evaluasi secara detail sebelum melakukan intervensi. Penggunaan vaksin menjadi hal yang penting dalam upaya pengendalian penyakit ini dalam jangka panjang. Aplikasi vaksin diharapkan dilakukan dengan hati-hati, mengingat pada beberapa kejadian, pelaksanaan vaksin disaat yang tidak tepat juga berpotensi menyebabkan aborsi. Pastikan status kesehatan kawanan dalam kondisi baik. Oleh karena itu, sebelum memutuskan untuk melakukan vaksinasi konsultasikan dengan dokter hewan untuk mendapatkan saran tentang prosedur vaksinasi dalam suatu untuk kawanan. Baca juga : Diare pada Sapi
Vibriosis
Vibriosis adalah penyakit kelamin yang menyebabkan kemandulan dan terkadang juga aborsi. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Campylobacter yang hidup di celah-celah kulit pejantan (kulup). Sumber utamanya adalah pejantan yang berumur diatas 4 tahun karena disitulah celah-celah kulit mulai terbentuk dan menjadi tempat persembunyian bakteri ini.
Vibriosis menyebar dari sapi jantan yang terinfeksi ke induk selama proses perkawinan, dan hal itu terus bergulir saling menularkan jika kita tidak menyadarinya. Penyakit ini juga berpotensi ditularkan melalui inseminasi buatan jika tindakan pemeriksaan terhadap semen dan perlakuan untuk pencegahan ini tidak dilakukan. Pejantan yang positif terhadap vibrosis jika yang tidak diobati dapat tetap menjadi pembawa untuk waktu yang lama dan menjadi sumber penularan dalam kawanan.
Vibriosis yang terjadi pada induk dapat menyebabkan endometritis dan mengakibatkan kegagalan proses kebuntingan atau kematian embrio. Induk terkadang masih bisa mengalami kebuntingan dan tidak menunjukkan gejala berahi 21 hari kemudian, namun embrio yang baru terbentuk kemudian mati dan diserap kembali oleh induk. Jika hal ini terjadi, maka induk sapi akan menunjukkan gejala estrus 27-53 hari setelah proses perkawinan, artinya ada keterlambatan dalam siklus estrus normalnya. Aborsi dapat juga terjadi pada akhir masa kebuntingan, tetapi sangat jarang.
Diagnosis untuk penyakit ini relatif sulit. Kita idealnya melakukan identifikasi biakan organisme dari alat kelamin sapi yang terinfeksi, atau dari abomasum janin yang aborsi. Setelah kita mendapatkan konfirmasi bakteri yang menyerang, maka kita bisa melakukan tindakan pencegahan dengan program vaksinasi untuk meningkatkan kekebalan terhadap penyakit vibrosis. Selain itu, kita juga harus melakukan pemeliharaan yang baik terhadap pejantan yang semennya kita koleksi untuk proses inseminasi buatan (IB), mengobati sampai sembuh sebelum semennya kita gunakan kembali yang terinfeksi, dan melakukan pengecekan secara berkala terhadap kualitas semen yang dihasilkan agar performa reproduksi yang dihasilkan baik.
Trikomoniasis
Tenyakit ini disebabkan oleh protozoa, yaitu Trichomonas yang menyebabkan gangguan penyakit kelamin. Gejala yang ditimbulkan meliputi aborsi sesekali dan pyometra (adanya nanah dalam rahim) yang berpotensi mengganggu efisiensi proses perkawinan. Pyometra ini akan berkembang setelah embrio sapi yang berada dalam rahim induk terinfeksi dan mati.
Untuk pengobatan di induk, kita harus melakukan treatment terhadap infeksi rahim sampai bersih dan untuk sementara tidak dikawinkan dahulu sampai benar-benar sehat. Umumnya kan diperlukan sekitar 90 hari istirahat seksual untuk menghilangkan protozoa ini dari rahim. Kita mungkin perlu berhitung jika hal ini terjadi di indukan tua, apakah kita akan mempertahankan atau kita ganti dengan sapi dara.
Vaksinasi juga merupakan pilihan jika memang tersedia dipasaran. Upaya pencegahan yang bisa kita lakukan selain vaksin adalah rutin melakukan uji status kesehatan dari pejantan dan indukan di breeding farm kita. Metode kultur setidaknya 3x dalam interval mingguan. Pemilihan calon induk, pejantan atau semen yang berkualitas juga menjadi screening pertama yang wajib kita lakukan untuk meminimalkan resiko terjadinya infeksi. Air mani beku yang mengandung organisme ini dapat menyebabkan infeksi jika kita gunakan dalam proses IB.
Kesimpulan
Manajemen reproduksi membutuhkan fokus pada semua tahap kehidupan sejak sapi dilahirkan.
Siklus estrus pada sapi adalah keseimbangan antara progesteron dan estrogen, dimana itu akan berulang setiap 21-22 hari sampai akhirnya mereka bunting. Sapi dara diharapkan mulai dewasa kelamin siklus saat umur 12 bulan, kawin umur 15 bulan dan melahirkan saat berumur 24 bulan. Menetapkan dan memenuhi target BCS sangat penting untuk mengoptimalkan performa reproduksi pada sapi, terutama sapi dara sehingga induk bisa segera kembali estrus dan memiliki tingkat kesuburan yang baik. Managemen pengendalian penyakit reproduksi juga menjadi faktor penentu keberhasilan dalam usaha breeding ataupun sapi perah. Pastikan kita mempunyai strategi yang tepat agar peternakan kita bisa memberikan hasil terbaik.
Sejak tahun 1990-an, industri babi di dunia telah melihat peningkatan yang dramatis terhadap kasus Porcine Circovirus type 2 (PCV2). Istilah PCVAD dipakai di Amerika, sedangkan di Eropa mereka lebih mengenal dengan sebutan Porcine Circoviral Disease (PCVD). Kejadian penyakit ini meluas baik di Amerika, Eropa dan dilaporkan juga di sebagian besar daerah-daerah penghasil babi. Virus ini menyerang nodus limpa sehingga merusak sistem kekebalan tubuh dan menyebabkan babi rentan terhadap penyakit lainnya.
Pneumonia dan penyakit pernapasan lainnya yang sering disebut dengan Porcine Respiratory Disease Complex (PRDC), Postweaning Multisystemic Wasting Syndrome (PMWS), Porcine Dermatitis and Nephropathy Syndrome (PDNS), dan Enteritis adalah beberapa penyakit yang sering dikaitkan dengan PCV2.
Kejadian PCVAD secara umum dapat mengakibatkan kerugian yang signifikan karena peningkatan kematian dan culling, penurunan berat badan, serta terkadang terjadi juga gangguan reproduksi (aborsi, lahir mati, mummifikasi fetus). Gejala klinis juga terkadang tidak spesifik, seperti lesu, lemah, dyspnea, limpadenopati, diare, pucat/ikterus pada mukosa. Karena kerugian yang luar biasa, akhirnya penelitian terus dilakukan para ahli saat itu dan akhirnya pada tahun 2004 vaksin PCV2 pertama berhasil diluncurkan untuk membantu melindungi ternak babi di dunia. Baca Juga : Perlukah Program Vaksinasi di Peternakan Babi?
Penularan PCVAD umumnya dapat terjadi secara vertikal saat kebuntingan/selama menyusui dan secara horisontal melalui sekresi hidung dan feses. Kondisi bisa semakin parah jika ada faktor penunjang seperti adanya infeksi patogen yang lain (PRRS, virus influenza IAV/SIV, Porcine Parvovirus, Salmonella dan Mycoplasma hyopneumoniae). Faktor stress karena lingkungan dan managemen juga bisa menjadi faktor lain yang memperberat resiko.
Bagaimana dengan Indonesia? Penelitian tahun 2008 telah berhasil mendeteksi adanya PCV2 dari deteksi Polymerase Chain Reaction (PCR) pada babi yang dikirim dari Indonesia ke Singapura (c). Selain itu, penelitian tahun 2015 menyimpulkan bahwa infeksi PCV2 pada peternakan babi di Bali bersifat endemis dengan prevalensi antibody anti-PCV2 sebesar 84,1% dan prevalensi virus PCV2 sebesar 1,7%. Bahkan, tahun 2016 juga sudah ada yang berhasil meneliti karakteristik PCV2 di Papua. Jadi, tantangan ini sebenarnya sudah ada di lapangan dan siap sewaktu-waktu untuk mencuri keuntungan kita.
Oleh karena itu, mengingat tantangan penyakit yang semakin sulit, alangkah baiknya jika kita selalu menerapkan prinsip dasar dalam pengendalian penyakit dengan baik. Pencegahan infeksi (Biosecurity, Pig Flow, Managemen), maksimalkan IMUNITAS (Vaksinasi induk dan anak babi) , dan meminimalkan tantangan (Program menyeluruh) harus menjadi prosedur standart yang wajib dilakukan agar kontrol terhadap penyakit lebih optimal.
Allan, G.M. and Ellis, J.A., 2000.Porcine Circoviruses : a review. J Vet Diagn Invest. 12 : 3-14
Manokaran,G., Lin, Y.N., Soh, M.L., Lim, E.A., Lim, C.W., and Tan, B.H., 2008. Detection of Porcine Circovirus Type 2 in Pigs Imported from Indonesia. Veterinary Microbiology 132 (1-2) : 165-170
Suartha, I.N., Anthara I.M.S., Wirata, W., Dewi, N.M.R.K., Narendra, I.G.N., Mahardika, I.G.N., 2015. Prevalensi Porcine Circo Virus secara Serologis pada Peternakan Babi di Bali. Jurnal Kedokteran Hewan Vol.9 No.1
Nugroho, W., Hemmatzadeh, F., Artanto, S., Reichel, M.P., 2016.Complete Genome Characteristics of Porcine Circovirus Type 2(PCV2) Isolates from Papuan Pigs, Indonesia. International Journal of Advanced Veterinary Science and Technology. Vol.5, Issue1, pp.239-247.