Memulai Usaha Peternakan Babi yang Ideal

Memulai Usaha Peternakan Babi yang Ideal

Langkah pertama dalam memulai usaha peternakan babi adalah menentukan jenis produksi babi yang ingin kita jalankan, baik itu breeding, penggemukan, atau keduanya. Namun, untuk menentukan pilihan yang terbaik sesuai kemampuan kita, maka kita harus terlebih dahulu mempertimbangkan hal-hal berikut : 1.) jumlah modal, tenaga kerja, dan tanah yang tersedia artinya sumber daya apa yang sudah dimiliki/tersedia dan investasi apa yang masih diperlukan 2.) tingkat keterampilan manajemen dan pemasaran yang dibutuhkan artinya jenis karyawan yang perlu direkrut dan berapa banyak? 3.) implikasi sosial dan lingkungan yang terkait dengan pengelolaan pupuk kandang artinya apakah kita siap dalam pengolahan limbah, dimana  menyimpan, membuang limbah atau mengolah kotoran ternak?

Setelah mempertimbangkan 3 hal diatas, maka kita juga harus mengerti pilihan sistem produksi yang bisa kita jalankan dalam usaha peternakan babi. Ada tiga jenis sistem produksi babi yang bisa dilakukan yaitu farrow-to-finish, farrow-to-feeder, dan feeder-to-finish.

Farrow-to-Finish

Sistem ini melibatkan seluruh proses pemeliharaan dari awal sampai akhir karena mencakup breeding untuk proses pembiakan dan pembibitan induk babi, serta pemeliharaan anak babi sampai mereka mencapai berat pasar (di Indonesia sekitar 100kg). Seluruh periode produksi ini memerlukan waktu sekitar 10 bulan, dimana 4 bulan untuk pembibitan dan kebuntingan dan 6 bulan untuk pembesaran sampai panen. Jika kita memilih menjalankan sistem ini, maka diperlukan modal dan tenaga kerja paling banyak, serta membutuhkan komitmen jangka panjang untuk bisnis babi.

Farrow-to-Feeder

Sistem ini melibatkan proses pembiakan dan pembibitan induk babi, kemudian anak babi yang dihasilkan dijual ke peternak lain untuk dibesarkan sampai panen. Anak babi biasanya dijual setelah lepas sapih dengan berat sekitar 13 – 30kg. Dibandingkan dengan sistem farrow-to-finish, sistem ini mengurangi kebutuhan fasilitas, modal, jumlah pakan dan limbah/kotoran yang ditangani. Sistem ini juga memungkinkan peternak untuk memaksimalkan jumlah induk babi atau  memperluas usahanya menjadi farrow-to-finish dimasa depan.

Kelemahan dari sistem ini adalah produsen harus mengikuti kondisi pasar babi yang fluktuatif, terutama pelaku usaha skala kecil yang cinderung mengikuti harga pasar. Oleh karena itu, biasanya sistem kemitraan dikembangkan para pemodal dan bekerja sama dengan para peternak skala kecil yang kesulitan dalam pengadaan bibit yang berkualitas baik dengan sistem kontrak kerja sama yang saling menguntungkan. Peternak biasanya hanya menyediakan tempat, tenaga kerja dan fasilitasnya sedangkan bibit dan sapronak lainnya akan disuplai oleh perusahaan inti, termasuk penjualan babi saat panen tiba.

Feeder-to-Finish

Sistem ini adalah pilihan yang paling simpel dari semua pilihan sistem produksi peternakan babi. Jadi sistem ini hanya membeli sapihan dari produsen untuk digemukkan sampai berat panen. Anak babi berat sekitar 13-30kg dibeli dari peternak pembibitan. Pemeliharaan juga relatif lebih mudah karena umumnya anak babi yang dipilih sudah disiapkan kondisinya dengan baik, sudah diberikan vaksin komplit sehingga resiko kematian juga lebih minimal. Sistem ini memungkinkan investasi modal minimum, persyaratan tenaga kerja rendah, dan tidak ada komitmen jangka panjang.

Di level peternak kecil, kita bisa menjalankan usaha secara mandiri ataupun bergabung dalam sistem kemitraan. Hal yang perlu diperhatikan saat kita memutuskan untuk mandiri tentunya adalah kualitas bibit dari sumber yang terpercaya dan kualitas pakan karena hal ini akan berpengaruh terhadap kesehatan dan kualitas babi potong yang akan dihasilkan. Hindari membeli bibit dari peternakan yang belum teruji kualitasnya, dan sebisa mungkin berasal dari satu peternakan untuk mengurangi potensi masalah kesehatan karena tantangan penyakit dan status kesehatan dari satu produsen dan lainnya bisa berbeda.

Hal-hal yang harus diperhatikan untuk menjaga status kesehatan ternak babi kita antara lain  adalah membeli indukan/anak  babi dan bahan pakan dari sumber terpercaya serta terbukti bebas penyakit, menjaga fasilitas dalam kandang tetap bersih dengan sistem ventilasi yang memadai, menyusun program kesehatan (vaksinasi dan medikasi bersama dengan dokter hewan), menghindari kunjungan ke peternakan babi lain untuk mengurangi risiko penularan penyakit.

https://www.thepigsite.com/articles/how-to-farm-pigs-housing

Praktek manajemen biosekuriti praktis diatas sangat penting untuk mengurangi resiko penularan penyakit.  Peternak umumnya mengabaikan hal-hal penting ini, padahal aset yang dipunyai jika terserang penyakit tentunya bukan keuntungan yang dihasilkan. Jangan sampai kita sudah membeli babi yang mahal tetapi lupa untuk “menjaga” status kesehatannya dengan mengabaikan biosekuriti, vaksinasi dan medikasi yang seharusnya dilakukan. Baca juga : Antibiotik pada Dunia Kedokteran Hewan

Setelah sistem produksi kita bisa memilah mana yang sesuai dengan kemampuan kita, lalu bagaimana dengan sistem perkandangannya? Disini kita akan coba membandingkan beberapa jenis kandang yang mungkin bisa menjadi bahan pertimbangan.

Free range

Sistem ini seperti halnya padang penggembalaan sapi, dimana tidak ada struktur bangunan, babi memanfaatkan padang rumput sebagai sumber pakan walaupun tidak seefisien ruminansia.

https://australianpork.com.au/about-pig-farming/free-range-farming

Keuntungan sistem penggembalaan terbuka ini adalah membuka peluang untuk kostumer yang concern dengan animal welfare karena harganya lebih mahal. Babi yang dipelihara akan mampu mengekspresikan dirinya seperti halnya babi hutan yang hidup di alam bebas. Babi dapat beraktivitas dengan leluasa dalam mencari makan.

Kekurangan dari sistem ini adalah perilaku rooting yang berlebihan dari babi yang dapat menyebabkan masalah erosi tanah, resiko lepas dan menjadi babi liar yang sulit dikendalikan, masalah parasit internal dapat menjadi parah pada sistem penggembalaan yang tidak dikelola dengan baik, babi yang didomestikasi kemungkinan akan menderita karena cuaca ekstrem, serta resiko kontak dengan hewan liar cukup tinggi. Selain itu, pengelolaan padang gembalaan membutuhkan banyak waktu dan komitmen untuk membuatnya berhasil.

Hoop Barns

Digunakan untuk kandang pembesaran babi hingga mencapai berat pasar. Ini adalah pilihan lain bagi produsen untuk digunakan sebagai fasilitas produksi babi dimana lebih biayanya relatif lebih rendah. Kandang ini bisa menggunakan lantai beton atau tanah, dengan penambahan tempat pakan dan air minum yang mudah dibersihkan. Kondisi atap bisa dimodifikasi sesuai dengan ketersediaan bahan.

Keuntungan dari kandang ini  adalah struktur jangka pendek yang dapat dilepas setelah digunakan atau yang dapat disesuaikan untuk penggunaan lain, biaya relatif rendah sehingga pilihan yang tepat bagi yang modalnya terbatas, cocok untuk kapasitas 150 – 200 ekor finisher, bisa untuk  memanfaatkan sisa jerami sebagai alas tidur ternak. Mungkin juga memenuhi syarat untuk beberapa pasar khusus dengan harga premium.

Kekurangan model ini adalah pengamatan kelompok besar relatif lebih sulit, pakan kurang efisien selama cuaca dingin, hewan liar beresiko sebagai vektor penularan penyakit.

Confinement Building

Sistem ini berupa bangunan tertutup, dimana hal ini memungkinkan produsen untuk mengontrol banyak aspek untuk membuat kondisi nyaman sesuai kebutuhan ternak. Kandang closed house ini dibangun dengan mempertimbangkan praktik biosekuriti dan fasilitas yang lengkap untuk mencegah penyakit. Umumnya kandang ini sudah melibatkan teknologi terbaru dan memiliki sistem pemantauan ketat untuk membantu produsen memantau kesehatan dan ransum pakan babi yang diberikan.

https://pig-farming.net/blog/pig-breeding/design-of-modern-pig-farms/

Keuntungan dari sistem ini adalah kontrol pasokan babi yang lebih ketat, bisa mempraktekkan batch management dan sistem all in all out,  mengurangi risiko serangan penyakit, sistem pemantauan yang lebih dekat dan detail. Sedangkan kekurangannya adalah memerlukan pengetahuan manajemen perkandangan tambahan untuk memantau dan merawat babi di dalamnya dan biaya jauh lebih mahal. Baca juga : Biosekuriti di era New Normal

Bagaimana sistem perkandangan di Indonesia?

Di banyak negara tropis, populasi peternak skala menengah kecil cukup banyak. Di Indonesia, di beberapa wilayah bahkan masih kita bisa menjumpai ternak babi berkeliaran dengan bebas mencari makanan atau dibesarkan di halaman belakang rumah (backyard farm) di mana mereka bergantung pada limbah untuk pakan ternak mereka. Umumnya mereka memelihara babi sebagai sampingan dengan metode pemeliharaan yang sangat sederhana bahkan mungkin tidak mempraktekkan biosekuriti dengan baik.

https://www.thepigsite.com/articles/how-to-farm-pigs-housing

Diatas adalah contoh bentuk perkandangan yang mungkin bisa menjadi referensi bagi para peternak pemula. Tantangan di Indonesia terkait lokasi peternakan adalah kecinderungan untuk memelihara berdekatan antara 1 farm dengan lainnya. Pada area yang padat penduduk dan padat peternakan seperti ini, seharusnya up grade praktek manajemen yang sederhana harus dilakukan untuk membantu meningkatkan produktivitas dan kesehatan ternak babi ini.

Walaupun mungkin kapasitas kandang tidak banyak, tetapi seharusnya ternak kita juga mendapatkan perlakuan yang baik agar nantinya juga bisa memberikan hasil yang optimal. Jangan sampai peternakan kita mengalami gangguan yang mengakibatkan usaha kita rugi karena kelalaian kita dalam memelihara ternak yang asal-asalan.

https://www.thepigsite.com/articles/how-to-farm-pigs-housing

Gambar diatas menunjukkan bahwa kondisi kandang yang tidak baik akan berimbas pada performa reproduksi kita. Oleh karena itu, jika kita ingin beternak dengan benar maka pastikan kita juga mempersiapkan semuanya dengan benar.

Berikut adalah kondisi minimal yang idealnya terpenuhi untuk kandang pemeliharaan ternak babi, 1.) pagar keliling dengan atap yang baik untuk melindungi dari sinar matahari langsung atau cuaca dingin ekstrem, babi juga diberikan pakan dengan nutrisi yang baik dan praktek program kesehatan yang sesuai tantangan di kandang 2.) kandang sederhana setengah tertutup terbuat dari kayu dengan atap jerami dan lantai beton/tanah sudah cukup untuk memberikan kenyamanan ternak asal kebersihan dan sanitasinya terjaga 3.) jika kita memelihara di lingkungan yang panas, tempat berkubang mungkin bisa ditambahkan untuk memberikan suasana kandang mirip dengan habitat di alam, dimana babi bisa menurunkan suhu tubuhnya. Baca juga : Kondisi Peternakan pasca Outbreak ASF 

Semoga bermanfaat !

Referensi :

  1. https://www.fao.org/3/s1250e/S1250E14.htm housing for small scale pig unit
  2. https://www.fao.org/3/s1250e/S1250E13.htm pig housing
  3. https://www.thepigsite.com/articles/how-to-farm-pigs-housing
  4. https://www.pigprogress.net/health-nutrition/building-a-new-pig-farm/
  5. https://pig-farming.net/blog/pig-breeding/design-of-modern-pig-farms/
  6. https://www.iowaagliteracy.org/Article/Pig-Housing-and-Facility-Design
  7. https://porkgateway.org/resource/managing-market-pigs-in-hoop-structures/
Gangguan Reproduksi pada Babi

Gangguan Reproduksi pada Babi

Memelihara ternak babi tentunya tidak lepas dari tantangan penyakit. Jika kita adalah peternak breeding, maka gangguan reproduksi menjadi kendala yang paling utama karena target untuk menghasilkan keturunan akan terkoreksi jika ada penyakit yang tidak tertangani dengan baik. Bagaimana cara yang mudah untuk mengevaluasi performa reproduksi kandang kita? Apa saja  parameter yang harus kita evaluasi?

https://www.researchgate.net/publication/263541549_Reproductive_Diseases_in_Sows_Sus_scrofa_domestica_A_Review

Berikut adalah perhitungan sederhana yang bisa menjadi bahan evaluasi kita, apakah breeding kita sudah optimal atau masih bisa dikembangkan lagi.

Potensi reproduksi induk babi yang ideal dihitung adalah 31,2 ekor anak babi yang disapih per tahun, dengan perhitungan sbb :

Jika lama kebuntingan 114 hari, lama menyusui = 21 hari, dan re-breed 5 hari maka total waktu yang diperlukan adalah 140 hari.

Dalam setahun maka dihitung 365 hari / 140 = 2,6 litter/tahun, artinya dalam 1 tahun induk melahirkan 2x dan jalan bunting 1x.

Asumsi per induk melahirkan anak 12 ekor, maka potensi jumlah anak babi yang disapih dalam setahun adalah 2,6 x 12 babi/litter = 31,2 ekor.

Di Indonesia, mungkin saat ini kita tidak terlampau sulit menemukan induk dengan jumlah anak yang banyak pada peternakan komersial, tetapi di level backyard farm relatif sulit. Hanya saja variabel untuk bisa selamat sampai panen cukup banyak, baik itu kendala teknis ataupun non teknis.

https://www.researchgate.net/publication/263541549_Reproductive_Diseases_in_Sows_Sus_scrofa_domestica_A_Review

Bagan diatas adalah gambaran mengenai penyebab gangguan reproduksi yang berpotensi mengganggu breeding farm kita. Berikut adalah beberapa kasus reproduksi akan kita sharingkan dan yang harus kita perhatikan agar performa reproduksi kandang kita tetap baik :

Porcine Reproductive and Resipratory Syndrome (PRRS)

Virus PRRS adalah virus RNA berselubung dalam genus Arterivirus, diklasifikasikan dalam keluarga virus, Arteriviridae. Ada US strain dan EU strain yang saat ini bersirkulasi, dimana ada perbedaan genetik dan antigenik yang signifikan antara isolat ini. Keragaman genetik dan antigenik antara isolat ini, bahkan di dalam suatu negara tetap menjadi tantangan berkelanjutan dalam pengendaliannya. HP PRRS yang berkembang di Asia adalah turunan dari US strain yang lebih ganas.

https://www.researchgate.net/publication/263541549_Reproductive_Diseases_in_Sows_Sus_scrofa_domestica_A_Review

PRRS mungkin saat ini merupakan penyakit babi yang paling penting dalam setengah abad terakhir. Pengujian serologis telah mengungkapkan ada banyak kawanan yang terinfeksi di mana tanda-tandanya tidak terlihat (subklinis). Gejala klinis yang teramati umumnya bervariasi karena  dipengaruhi oleh virulensi virus, tahapan infeksi (apakah itu infeksi awal atau berkelanjutan – endemik dengan herd immunity), kelompok usia yang terkena, ada tidaknya gangguan penyakit lain serta ukuran kawanan dan praktik manajemen.

Gejala umum yang nampak pada gilt, induk betina dan jantan adalah anoreksia, demam, lesu, depresi, dan mungkin gangguan pernapasan atau muntah. Sianosis ringan pada telinga, perut dan vulva juga bisa teramati pada beberapa kasus. Gejala reproduksi yang patut kita curigai antara lain adalah penurunan jumlah induk yang mengandung atau beranak, peningkatan kelahiran prematur, aborsi di fase akhir kebuntingan, anak babi yang lahir mati atau lemah, dan mumifikasi fetus . Kematian anak sebelum disapih relatif tinggi. Babi menyusui mungkin mengalami dispnea (thumping).

Periode tanda-tanda reproduksi bervariasi menurut ukuran kawanan tetapi biasanya terjadi dalam 2 – 3 bulan, dan proses perbaikan performa relatif lambat sehingga menjadi sebuah kerugian besar bagi peternak. Jadi sangat penting untuk kita mengetahui status kesehatan calon induk sebelum didatangkan dalam kawanan di peternakan kita, karena jika kita lalai maka resiko penularabn dan shedding virus menjadi bahaya yang sangat merugikan. Kualitas semen pejantan umumnya juga bisa terpengaruh dan bisa menjadi sumber penularan ke induk betina yang dikawini.

Anak babi yang terkena PRRS, umumnya akan menunjukkan demam, depresi, lesu, kerdil karena penyakit sistemik dan pneumonia. Gangguan pernafasan lebih mendominasi kejadian pada anak babi, seperti bersin, demam dan lesu, dispnea dimana kejadiannya akan memuncak dalam 4-10  minggu. Selain itu, angka kematian/mortalitas pasca sapih sering meningkat secara nyata, terutama jika terjadi outbreak dengan galur virulen atau terjadinya infeksi bersamaan dan diikuti infeksi sekunder. Baca juga : PRRS pada Babi

Porcine Circovirus

Porcine circovirus tipe 2 atau PCV2 adalah virus DNA yang sangat kecil yang menginfeksi babi. Infeksi PCV2 tersebar luas dan pada dasarnya semua kawanan babi terinfeksi PCV2. Manifestasi dari PCV2 di lapangan meliputi infeksi PCV2 sistemik, pneumonia terkait PCV2, enteritis terkait PCV2, kegagalan reproduksi terkait PCV2, dan Porcine Sindrom Dermatitis dan Nefropati (PDNS).

Penyakit PCV2 umumnya akan menyebabkan berbagai kondisi klinis termasuk penyakit reproduksi terkait PCV2 (PCV2-RD) yang ditandai dengan aborsi dan mumifikasi. Diagnosa yang bisa dilakukan secara umum meliputi adanya gangguan reproduksi, temuan histopatologi miokarditis, dan deteksi viral load sedang – tinggi dalam jaringan jantung fetus. Kebutuhan untuk mengidentifikasi lesi histopatologis pada jaringan jantung fetus tampaknya tidak valid atau berlebihan dalam mengkonfirmasi diagnosis PCV2-RD, setidaknya pada tingkat janin individu. Sedangkan viral load tertinggi (1012 GE/g jaringan) terdeteksi pada babi yang autolisis atau mumifikasi umumnya teridentifikasi sebagai PCV2d, meskipun deteksi bersamaan PCV2d + a dan PCV2d + b juga terjadi.

Baca juga : Porcine Circovirus

Parvovirus
Parvovirus ini telah menginfeksi kawanan babi di seluruh dunia. Gejala Klinis ditandai dengan adanya kematian embrio dan janin pada induk babi. Selain itu tertundanya estrus atau anestrus (bunting semu), jumlah anakan yang sedikit, mumifikasi fetus juga harus kita curigai sebagai tanda utama infeksi parvovirus. Aborsi bisa terjadi tetapi jarang. Parvovirus umumnya menyerang induk muda atau parity 1.

Pengendalian yang bisa kita upayakan adalah pemilihan calon induk/gilt yang baik. Kita harus pastikan status kesehatannya sebelum kita masukkan dalam kawanan. Hal yang umumnya dilakukan adalah dengan memberikan 2x vaksin terhadap Parvovirus (3 dan 6 mgg sebelum kawin) pada periode aklimatisasi. Kita juga bisa melakukan uji laboratorium dengan pengambilan sampel darah saat umur 6,5 bulan untuk memastikan gilt yang akan kita pakai sehat.

Enterovirus
Ada minimal 10 serotipe dari Porcine Enterovirus ini dan penyakit ini umum ditemukan dalam kawanan ternak babi. Istilah “SMEDI” (stillbirths, mummies, embryonic death and infertility) – lahir mati, mumifikasi, kematian embrio dan infertilitas adalah akronim yang pertama kali digunakan dalam 1965 untuk menggambarkan sekelompok virus yang menyebabkan sindrom reproduksi pada babi.

Enterovirus menyebabkan gejala klinis yang mirip dengan parvovirus. 90% masalah reproduksi pada gilt dan babi betina dilaporkan sebagai akibat parvovirus. Oleh karena itu, uji laboratorium ini sangat penting untuk membedakan patogen yang masuk. Idealnya ketika ada diagnosa parvovirus, ada baiknya untuk juga melakukan uji terhadap enterovirus.

Enterovirus dapat dikendalikan dengan mencampurkan babi jantan/betina pengganti agar mereka berinteraksi, atau pemberian tantangan dengan memberikan feses selama 30 hari sebelum proses perkawinan. Proses ini diharapkan mampu untuk membangun kekebalan terhadap setiap serotipe baru enterovirus yang mungkin masuk ke dalam kawanan melalui hewan pengganti. Pastikan kita melakukan monitoring yang ketat untuk menghindari resiko yang tidak diinginkan.

Leptospirosis
Leptospirosis disebabkan oleh bakteri genus spirochete. Setidaknya ada 6 spesies telah
terlibat dalam masalah reproduksi pada babi di USA, yaitu L. pomona, L. grippotyphosa, L. canicola, L. icterohemorrhagiae, L. hardjo, dan L. bratislava. Gejala klinis yang umumnya teramati adalah aborsi, lahir mati dan anak babi yang lemah. Secara  umum, tanda-tanda ini terjadi pada akhir kebuntingan atau pada waktu farrowing.

https://www.researchgate.net/publication/263541549_Reproductive_Diseases_in_Sows_Sus_scrofa_domestica_A_Review

Leptospirosis didiagnosis dengan tes darah dari induk babi pada saat masalah reproduksi atau identifikasi/kultur organisme dari anak babi yang terkena di laboratorium. Upaya pencegahan yang dilakukan adalah pemberian vaksinasi pada gilt, induk dan pejantan 3 -4 minggu sebelum gejala klinis muncul. Secara historis, vaksin bakterin yg berisi 5 species Leptospira telah digunakan, dan single banterin yang mengandung L. bratislava secara komersial juga tersedia. Pastikan anda berkonsultasi dengan dokter hewan setempat untuk memastikan vaksin mana yang sebaiknya digunakan.

Leptospirosis dapat diobati dengan menyuntikkan dihydrostreptomycin di bawah pengawasan dokter hewan. Pemberian chlortetracycline pada level 400 gram/ton (atau 1 gram per induk per hari) selama 10 hari juga metode yang efektif untuk mengobati leptospirosis. Pelaksanaan terapi pengobatan ini sebaiknya dikoordinasikan dengan vaksinasi agar bisa memberikan efek yang terbaik.

Leptospirosis ada resiko menular ke manusia (zoonosis) zoonosis sehingga memberikan implikasi terhadap kesehatan masyarakat. Berbagai spesies Leptospira menyebabkan Weil’s Disease (bentuk parah leptospirosis dan penyakit lainnya pada manusia). Oleh karena itu, tindakan pencegahan dengan program sanitasi yang tepat harus dilakukan oleh personel yang bekerja di peternakan ataupun area yang terdapat kawanan babi untuk meminimalkan resiko terinfeksi.

Brucellosis
Brucellosis adalah penyakit menular pada babi yang disebabkan oleh bakteri Brucella suis.
Brucellosis juga beresiko menular ke manusia karena dapat menyebabkan demam undulan pada manusia yang ditandai dengan demam intermiten dan berkeringat.

Gejala klinis yang bisa teramati adalah aborsi, infertilitas, orchitis (radang testis), kelumpuhan posterior dan kepincangan. Kejadian aborsi bisa menyerang kapan saja selama periode kebuntingan, berbeda dengan leptospirosis yang mengakibatkan aborsi pada fase akhir.

Pseudorabies (PRV)
Pseudorabies sering juga kita sebut dengan Aujeszky’s disease yang disebabkan oleh virus herpes yang di USA sejak 1961. Gejala klinisnya adalah air liur berlebihan, demam, depresi dan kejang-kejang. Kematian tinggi sampai > 80% bisa terjadi anak babi < 3 minggu, sedangkan pada babi dewasa hanya sekitar 2%.

https://www.researchgate.net/publication/263541549_Reproductive_Diseases_in_Sows_Sus_scrofa_domestica_A_Review

Untuk induk betina bunting dan babi yang terinfeksi PRV umumnya akan mengalami kematian embrio, aborsi, dan kelahiran maserasi (janin melunak dan membusuk) dan lahir mati. Jika terjadi kasus dilapangan, biasanya angka konsepsi cinderung lebih rendah bahkan terjadi beberapa bulan setelah wabah dalam kawanan.

Pseudorabies bisa dikendalikan vaksinasi di breeding setiap 6 bulan atau 3 – 4 minggu sebelum farrowing. Pastikan untuk anda berkonsultasi dengan dokter hewan untuk menyusun program pengendalian penyakit yang lebih baik.

Classical Swine Fever (CSF)
Classical swine fever atau lebih kita kenal dengan nama Hog Cholera adalah penyakit virus yang sampai saat ini masih menjadi masalah disebagian besar peternakan babi di dunia. USA sudah free CSF sejak 1976.

https://www.researchgate.net/publication/263541549_Reproductive_Diseases_in_Sows_Sus_scrofa_domestica_A_Review

Gejala klinis CSF adalah babi terlihat kesakitan, kurang nafsu makan, depresi, lesu, demam 106°F, konjungtivitis (kemerahan pada mata) dengan kelopak mata saling menempel, anak babi cinderung menumpuk dan meringkuk, sianosis atau warna kebiruan pada kulit di perut. Dari aspek reproduksi, serangan CSF dapat mengakibatkan aborsi, mumifikasi, malformasi, lahir mati, babi lemah/gemetar.

Program vaksinasi sangat disarankan untuk area yang memang endemis dengan SCF. Diagnosa laboratorium sangat penting untuk memastikan penyebab penyakit, terlebih saat ini secara gejala klinis sanga CSF mirip dengen African Swine Fever (ASF) dan hanya bisa dibedakan dengan uji laboratorium. Baca juga : Classical Swine Fever

Swine Infuenza Virus (SIV)
Swine Flu atau flu babi disebabkan oleh infeksi virus influenza tipe A. Gejala klinis yang teramati adalah gangguan pernapasan, namun demikian SIV juga dilaporkan menjadi penyebab kasus reproduksi pada babi.

Bentuk pernapasan SIV ditandai dengan serangan paroksismal yang keras/sangat dalam berupa  batuk dan sesak nafas, atau napas tersengal-sengal. Kelelahan ekstrim dan kehilangan nafsu makan umum teramati juga, dan bisa disertai dengan demam sampai 108°F.

Masalah reproduksi yang terkait dengan SIV utamanya adalah jumlah anak sedikit, laju pertumbuhan lambat, kerdilan dan kematian selama masa menyusui dan setelah disapih. Induk babi dan gilt yang terinfeksi juga dapat mengalami keguguran pada akhir kebuntingan dan resorpsi embrio. Dahulu, SIV kebanyakan terjadi saat cuaca dingin mendekati musim gugur, tetapi sekarang kita bisa menemukan kasus sepanjang tahun.

Tidak ada pengobatan untuk bentuk pernapasan dari infeksi SIV, namun pemberian antibakteri
berguna sebagai pengobatan untuk infeksi bakteri sekunder. Program vaksinasi sebaiknya dipertimbangkan mengingat kejadian SIV saat ini bisa sepanjang tahun. Seleksi calon induk yang baik juga membantu dalam upaya pengendalian penyakit ini. Baca juga : Swine influenza pada Babi

Ensephalomyocarditis (EMCV)
Encephalomyocarditis virus adalah penyebab lahir mati, mumi dan maserasi fetus pada ternak babi. Selain itu, EMCV juga menyebabkan lesi jantung dan kematian mendadak pada anak babi, biasanya hingga usia 21 hari.

EMCV telah ditemukan di Australia dan berhasil diisolasi di USA dari kasus lapangan oleh para peneliti di University of Minnesota. Jika tidak ada diagnosis penyebab lain dari kejadian lahir mati, mumi dan bersamaan dengan kematian pada anak babi yang menyusui, maka EMCV harus dipertimbangkan.

Streptococcus suis
Streptococcus suis ada sekitar 29 serotipe bakteri sekarang. Gejala klinis yang bisa diamati adalah keputihan pada gilt atau babi betina dari sebelum kawin sampai setelah beranak. Biasanya, keputihan ini akan banyak pada 1 hari setelah melahirkan. Karena kejadian ini, angka konsepsi bisa turun 50-60%. Anak babi bisa terinfeksi saat proses kelahiran dimana vagina induk terdapat kolonisasi S.suis.

Induk babi dan gilt yang mengalami gejala ini biasanya ditreatment dengan antibiotik golongan penisilin. Untuk program pengendalian, kita bisa lakukan isolasi Streptococcus suis yang spesifik  untuk kemudian lakukan vaksinasi yang sesuai dengan tantangan di lapangan. Gilt idealnya  berikan vaksinasi 2x, yaitu 5 dan 2 minggu sebelum dikawinkan.

Steptococcus suis juga bisa menyebabkan meningitis dan gangguan pendengaran pada manusia. Oleh karena itu, pekerja di lingkungan peternakan dan yang bersentuhan dengan daging babi sebaiknya waspada, selalu menjaga kebersihan dan sanitasi untuk meminimalkan resiko. Silahkan baca juga : Streptococcus suis, bahayakah?

Erysipelas
Erysipelas disebabkan oleh bakteri Erysipelothrix rhusiopathiae. Gejala klinis yang teramati adalah adanya aborsi yang dapat terjadi pada induk babi dan gilt yang terkontaminasi oleh bakteri ini. Kondisi pada umumnya kelihatan kesakitan dan demam tinggi 108°F. Lesi khas dari erysipelas adalah gambaran berbentuk berlian, merah muda – ungu tua pada kulit. Kadang-kadang lesinya juga cukup besar dan bernoda (bercak atau bintik-bintik).

Suntikan dengan preparat penisilin bisa diberikan per individu untuk mengobati kasus ini, kemudian kita bisa lakukan pengobatan massal dengan antibiotik golongan tetrasiklin via air minum selama 5 hari setelah tidak ada induk babi atau gilt sakit.

Parasit
Infestasi tungau kudis Sarcoptic bisa menyebabkan anemia pada induk babi. Anemia ini jika tidak ditangani dengan baik akan menyebabkan penurunan tingkat konsepsi. Oleh karena itu, lakukan juga program pengendalian parasit dengan baik agar kinerja reproduksi di peternakan babi kita bisa dioptimalkan.

Ringkasan
Penyebab gangguan reproduksi pada breeding peternakan babi yang paling dominan adalah adanya infeksi karena PRRS, PCV2, Parvovirus, Pseudorabies, Enterovirus, dan Leptospirosis. Penyebab infeksi lain yang kurang umum dari masalah reproduksi adalah Brucellosis, CSF, SIV,  Encephalomyocarditis, Streptococcus suis, Erysipelas dan gangguan parasit.

Produsen babi harus memberikan prioritas tertinggi untuk mengendalikan masalah reproduksi. hal ini tentunya membutuhkan peran serta dari tenaga ahli baik dokter hewan ataupun manager farm untuk saling support. Diagnosa laboratorium akan sangat membantu untuk diagnosa, sehingga kita bisa melakukan tindakan pencegahan yang diperlukan baik itu vaksinasi, biosekuriti ataupun perbaikna management lainnya. Baca juga : Kontrol Penyakit pada Ternak Babi

Referensi :

  1. https://digitalcommons.unl.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=2375&context=extensionhist#:~:text=The%20most%20common%20infectious%20causes,streptococcus%20suis%2C%20erysipelas%20and%20parasites.
  2. https://www.researchgate.net/publication/263541549_Reproductive_Diseases_in_Sows_Sus_scrofa_domestica_A_Review
  3. https://vetmed.iastate.edu/vdpam/FSVD/swine/index-diseases/porcine-reproductive
  4. https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S1090023321000551
Penyakit Mulut dan Kuku pada Babi

Penyakit Mulut dan Kuku pada Babi

Setelah bulan lalu kita membahas penyakit mulut dan kuku (PMK) pada sapi, kali ini kita akan membahas kejadian pada babi. PMK adalah penyakit virus yang sangat menular. Ini adalah penyakit hewan lintas batas atau transboundary animal disease (TAD) yang sangat mempengaruhi produksi ternak dan mengganggu perdagangan hewan dan produk hewan regional dan internasional. Penyakit ini diperkirakan beredar di 77% dari populasi ternak global, di Afrika, Timur Tengah dan Asia, serta di daerah terbatas di Amerika Selatan.

Sepert halnya pada sapi, gejala PMK yang mirip juga teramati pada babi, yaitu ditandai dengan vesikel pada kaki, moncong, dan mulut. Berbagai macam hewan liar dan domestik, terutama mamalia berkaki terbelah, rentan terhadap PMK. Kuda adalah hewan yang resisten terhadap PMK sehingga ini bisa menjadi acuan dalam diagnosa penyakit. Di negara-negara di mana PMK terjadi secara endemik dan populasi babi relatif banyak, maka babi juga beresiko terinfeksi. Semua kelompok umur rentan.

Jika kita melihat sejarah, PMK ini sudah teramati tahun 1546. PMK menyebabkan kerugian besar pada ternak di seluruh dunia, bukan karena jumlah kematian yang terjadi tetapi lebih kepada hilangnya produktivitas ternak. Negara yang terjangkit PMK, akan mengalami embargo ekspor karena produk yang dihasilkan umumnya akan ditolak. Upaya pembebasan terhadap status PMK juga tidak murah, depopulasi seluruh ternak yang bertujuan untuk menghambat penularan secara tidak langsung juga menghancurkan industri babi di negara-negara ini.

Terkait ternak babi, kejadian penyakit vesikular tidak bisa disimpulkan langsung sebagai PMK. Lesi vesikular ini harus dikonfirmasi dengan uji laboratorium karena kemiripan yang ada. Babi perlu mendapatkan perhatian khusus karena mereka lebih rentan terhadap penyakit vesikular daripada spesies ternak lainnya. Selain itu, babi juga bisa berperan dalam penyebaran PMK dengan memproduksi aerosol virus dalam jumlah yang besar.

Apa penyebab dari PMK? Aphthovirus dari keluarga Picornaviridae adalah agen penyakit yang menyebabkan PMK. Setidaknya ada 7 jenis virus yang berbeda secara imunologis, yaitu A, O, C, South African Territory (SAT) 1, 2, 3 dan Asian 1. Lebih dari 60 subtipe virus PMK telah diidentifikasi dan subtipe baru terus berkembang dengan perbedaan antigenik. Hal ini membuat kita untuk terus mengupdate ketersediaan vaksin yang sesuai untuk pengendaliannya. Variasi antigenik virus dan perlindungan silang yang terbatas di antara galur-galur ini mengharuskan kita untuk mempunyai varian vaksin yang beragam, dimana pemilihannya tergantung tantangan yang muncul dilapangan. Vaksin tunggal hampir mustahil mampu melindungi maksimal terhadap semua galur. Oleh karena itu, peran biosekuriti harus dioptimalkan. Disinfektan yang bisa dipilih untuk melawan virus PMK dengan efektif antara lain termasuk natrium hidroksida, asam asetat, atau natrium karbonat.

Penularan virus PMK ini bisa terjadi melalui aerosol pernapasan dan kontak langsung atau tidak langsung dengan hewan yang terinfeksi. Pada kondisi tertentu, penularan secara aerosol bisa terjadi sejauh 30 mil atau sekitar 48 km. Babi yang terinfeksi adalah penyebar virus yang luar biasa, bahkan mereka mampu menghasilkan virus aerosol dengan konsentrasi yang berkali-kali lebih besar daripada sapi atau domba. Babi juga disebut sebagai “amplifier host/hospes penguat” untuk kejadian PMK.

Babi yang terinfeksi mampu menyebarkan virus dalam ekskresi dan sekresinya. Virus PMK juga bertahan untuk jangka waktu yang lama dalam produk daging beku sehingga cukup beresiko terutama jika dikaitkan dengan swill feeding. Konsumsi pakan dari produk asal babi/sisa makanan mentah yang mengandung daging yang terkontaminasi dapat menularkan virus ke ternak dalam waktu yang relatif singkat. Manusia juga bisa menjadi vektor penyebaran sehingga sangat penting untuk menerapkan biosekuriti yang baik.

Catatan penting yang harus kita sadari adalah secara umum ternak ada kemungkinan pulih dari PMK. Ternak yang sembuh ini akan menjadi carrier/pembawa penyakit selama berminggu-minggu, berbulan-bulan dan bahkan bertahun-tahun. Hati-hati, karena hewan carrier ini berpotensi menyebarkan virus dan menjadi penyebab munculnya wabah PMK baru. Namun demikian, ternak babi diyakini bukan merupakan agen pembawa virus PMK dalam jangka panjang.

Proses penularan PMK diawali dengan adanya virus yang menempel pada mukosa saluran pernapasan. Makrofag kemudian membawa virus ke epitel, mukosa dan miokardium untuk bereplikasi atau memperbanyak diri sehingga terjadi viremia. Dalam beberapa hari kemudian, vesikel akan berkembang pada moncong, mulut, lidah, dan terutama kaki. Infeksi sekunder bisa terjadi pada kaki beberapa babi dan menyebabkan kepincangan kronis.

Pada sapi, virus PMK juga mempengaruhi epitel kelenjar susu sehingga air susu yang dihasilkan bisa menjadi sumber penularan dalam waktu yang lama. Meskipun belum terbukti, kejadian serupa mungkin saja  terjadi pada babi. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk memastikan hal ini. Baca juga : PMK pada Sapi

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/core/lw/2.0/html/tileshop_pmc/tileshop_pmc_inline.html?title=Click%20on%20image%20to%20zoom&p=PMC3&id=4876306_fvets-03-00041-g004.jpg  

Gambar diatas memperlihatkan kondisi jantung babi dengan miokarditis yang disebabkan oleh virus PMK. Otot jantung nampak pucat multifokal baik pada vetrikel kanan maupun kiri. Virus PMK ini sering menyebabkan terjadinya nekrosis atau kematian jaringan pada miokardium yang cukup parah pada anak babi yang baru lahir atau babi umur muda. Hal ini akan mengakibatkan kematian mendadak akibat gagal jantung. Miokardium yang berbintik-bintik membentuk garis ini disebut dengan lesi tiger heart yang cukup berguna dalam proses diagnosa PMK.

https://www.cabi.org/isc/datasheet/82823#toPictures

Lalu bagaimana tanda-tanda klinis PMK? Bahaya dari virus PMK ini adalah ternak yang sehat bisa saja sudah terpapar tanpa ada gejala yang signifikan. Masa inkubasi 1-5 hari ini terkadang terlambat memberikan signal kepada kita. Ketimpangan sering kali merupakan tanda pertama yang harus diperhatikan yang diikuti dengan kenaikan suhu tubuh akut. Tanda yang umum untuk kasus PMK adalah slobbering dan chomping atau berliur dan gerakan mengunyah. Depresi, kuku lepas dan peningkatan kematian pada anak babi yang masih menyusu juga harus diwaspadai.

Babi bunting dapat terjadi keguguran atau melahirkan anak babi yang lahir mati dan terinfeksi. Kematian mendadak dapat terjadi pada babi yang baru lahir, terkadang sebelum tanda atau lesi terlihat pada babi tersebut. Tahap awal lesi akan tampak pucat dan kecil pada kulit moncong, jaringan lunak kaki, dan mungkin puting susu induk babi yang menyusui. Pada saat gejala klinis mulai nampak, biasanya vesikel atau bula kulit akan teramati. Tanda-tanda berkembang dengan cepat dan morbiditas meningkat dengan cepat. Mortalitas biasanya kurang dari 5% tetapi dapat terjadi kematian yang lebih tinggi pada babi muda.

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/core/lw/2.0/html/tileshop_pmc/tileshop_pmc_inline.html?title=Click%20on%20image%20to%20zoom&p=PMC3&id=4876306_fvets-03-00041-g003.jpg

Pada gambar diatas menunjukkan perkembangan lesi pada kaki babi yang terinfeksi PMK strain Cruzeiro A24 pada 2 hari setelah infeksi (dpi) dan 24 hari setelah infeksi (dpi) dengan inokulasi intraorofaringeal. Gambar A adalah kondisi lesi vesikuler pada 2 dpi dimana epitel menjadi pucat dan meluas ke bola tumit dan kulit interdigitalis dengan demarkasi yang jelas dari kulit normal. Gambar B adalah kondisi saat 24 dpi dimana jaringan parut diskeratosis proliferatif telah menggantikan lapisan epitel yang mengelupas.

Vesikel dan bula berkembang di moncong, di belakang tepi moncong, di nares, di lidah dan bibir, dan pada jaringan lunak kaki. Lesi pada kaki ini lebih sering terjadi, mengakibatkan pengelupasan kuku dan pincang. Lesi jarang terjadi pada vulva, puting susu induk babi, atau skrotum babi jantan. Vesikel biasanya pecah dalam 24 jam dan epidermis superfisial mengelupas untuk menunjukkan hiperemia dan perdarahan pada jaringan di bawahnya. Lesi tanpa komplikasi umumnya sembuh dalam 2 minggu. Kejadian PMK yang parah terutama pada babi muda bisa terlihat area nekrosis miokard yang luas dan berbintik-bintik.

Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, babi cukup rentan dengan penyakit vesikuler lain yang sulit dibedakan dengan PMK. Oleh karena itu, diagnosa pada babi tidak dapat hanya dengan melihat tanda-tanda klinis dan lesi yang nampak karena gambarannya sangat mirip. Diagnosis banding penyakit virus vesikular pada babi idealnya harus dilakukan uji laboratorium.

Teknik diagnostik yang digunakan meliputi uji serologis untuk mengidentifikasi virus infection-associated antigen (VIA), complement fixation (CF) and enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). Selain itu juga test viral antigen, virus isolation (VI) and neutralization (VN), electron microscope (EM) dan studi inokulasi hewan. Uji Polymerase chain reaction (PCR) juga telah  dikembangkan dan sering digunakan.

Tidak ada obat untuk PMK.  Deteksi dini dan pemberian support terapi yang didukung biosekuriti yang ketat menjadi hal yang harus dilakukan. Upaya pencegahan PMK tergantung pada kebijakan masing-masing negara. Umumnya peraturan dibuat terkait biosekuriti, yaitu mengatur impor hewan, produk hewani, semen, embrio, dan peraturan yang terkait dengan keamanan vaksin dan produk biologis lainnya. Di negara-negara yang positif PMK, program vaksin secara kontinyu digunakan untuk upaya pencegahan. Selain itu, pengendalian juga bisa dilakukan dengan pengawasan lalu lintas ternak dan proses penyembelihan hewan terinfeksi diikuti dengan penguburan atau pembakaran hewan dan desinfeksi tempat produksi.

Apa strategi yang dilakukan untuk negara yang masih bebas PMK? Tindakan yang harus diupayakan negara-negara yang bebas PMK adalah dengan menerapkan langkah-langkah pencegahan nasional yang ditegakkan secara ketat. Kontrol atas impor hewan berkuku terbelah dan daging dari hewan harus jelas (country base vs zona base). Virus dapat bertahan di sumsum tulang dan kelenjar getah bening dari bangkai yang terinfeksi selama beberapa minggu. Jika penyakit masuk ke daerah bebas, idealnya kebijakan pemotongan paksa/depopulasi harus diterapkan, semua hewan yang sakit dan kontak disembelih. Lockdown  pergerakan hewan diberlakukan dan penelusuran dilakukan untuk memeriksa kemungkinan penyebaran penyakit melalui kontak sebelumnya. Vaksinasi juga dapat digunakan di sekitar wilayah yang terkena agar resiko penyebaran bisa diminimalisir.

Jika peternakan kita berada di zona beresiko PMK, maka kita harus mengambil tindakan pencegahan yang ketat terhadap kontaminasi kawanan ternak. Tantangan terbesar adalah penularan via udara. Babi yang terinfeksi dapat menghasilkan sejumlah besar virus infektif sebagai aerosol. Dalam cuaca kering ketika ada panas yang kuat, virus aerosol dengan cepat dinonaktifkan sehingga angin tidak membawa aerosol infektif terlalu jauh. Jika vaksinasi diizinkan dan kawanan babi berada di daerah berisiko tinggi, sebaiknya kita mempertimbangkan untuk melaksanakan vaksinasi rutin.

Berikut adalah langkah-langkah biosekuriti dasar yang dapat membantu meminimalkan penyebaran penyakit : standarisasi pig flow management, batasi lalu lintas orang dan kendaraan yang berpotensi menjadi sumber penularan, batasi pengunjung ke peternakan atau sediakan sepatu bot serta pakaian khusus sebelum masuk lokasi kandang, sediakan bilik untuk mandi atau minimal cuci tangan, tempatkan foot dips di semua akses penting dengan menggunakan disinfektan. Selalu monitor semua prosedur pembersihan dan desinfeksi, pastikan kendaraan sudah dibersihkan dan didesinfeksi sebelum masuk lokasi peternakan. Lakukan tindakan pencegahan khusus saat pengiriman pakan ataupun saat memuat ternak dengan desinfeksi di semua area pemuatan sebelum dan sesudah digunakan, periksa drainase peternakan dan bersihkan secara menyeluruh.

Setelah kandang dikosongkan, protokol untuk repopulasi dimulai dengan membersihkan fasilitas kandang. Lakukan pembersihan kotoran dan pupuk kandang di semua area menggunakan sapu/sikat lalu semprot dengan air bertekanan rendah dan dilanjutkan dengan tekanan tinggi (750 psi – 2.000 psi) untuk menghilangkan semua kotoran dan bahan organik. Semprotkan pada langit-langit terlebih dahulu, lalu dinding dan terakhir lantai dengan ukuran nozel yang memungkinkan untuk mencuci area yang sulit dijangkau. Bilas semua permukaan untuk menghilangkan akumulasi bahan organik, deterjen bisa menjadi pilihan yang ekonomis. Setelah pembersihan selesai, lakukan proses desinfeksi menyeluruh. Ingat desinfekan akan bekerja optimal pada permukaan yang sudah bersih dari bahan-bahan organik dan juga paling baik dilakukan pada suhu di atas 18°C ​​(65°F), tetapi tidak di atas 43°C (110°F). Aplikasi desinfeksi secara kabut atau aerosol adalah alternatif yang bisa dilakukan untuk lebih menjangkau area yang sulit. Setelah proses desinfeksi selesai, biarkan mengering dan kosongkan area selama beberapa waktu sebelum diisi ternak kembali.

Semoga bermanfaat ya…

Referensi :

  1. https://vetmed.iastate.edu/vdpam/FSVD/swine/index-diseases/foot-mouth-disease#:~:text=Definition,snout%20and%20in%20the%20mouth.
  2. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4876306/ The Patogenesis of Foot and Mouth Disease in Pigs
  3. https://www.woah.org/en/disease/foot-and-mouth-disease/
  4. https://www.cabi.org/isc/datasheet/82823 Foot and Mouth Disease in Pigs
  5. https://www.pig333.com/pig-diseases/foot-and-mouth-disease_43
  6. https://www.pigprogress.net/topic/foot-and-mouth-disease-fmd/
  7. https://www.thepigsite.com/disease-guide/foot-mouth-fmd-vesicular-disease
Glasser’s Disease (Haemophilus parasuis)

Glasser’s Disease (Haemophilus parasuis)

Glasser’s disease adalah penyakit menular pada babi yang ditandai  dengan adanya meningoensephalitis, polyserositis dan polyarthritis. Penyebab Glasser’s disease adalah  Haemophilus parasuis (Hps), bakteri gram negatif bentuk batang yang kecil dan pleomorfik. Penyakit ini terjadi secara sporadis dan biasa diamati pada babi usia 3-12 minggu, bahkan lebih tua. Kasus biasanya muncul saat stres karena penyapihan, perubahan lingkungan, atau ko-infeksi dengan penyakit lainnya. Sedikitnya 21 serovars Hps yang berhasil  diidentifikasi. Serovars 4, 5, 13 dan 14 lebih lazim di Amerika Utara dan merupakan  Hps yang pathogen di dunia.  Cross proteksi  dapat terjadi tetapi tidak lengkap. Contoh, Vaksin yang berisi Hps serovars 4 & 5 biasanya melindungi terhadap homolog dan heterologous serovars 4 & 5 dan mengurangi jumlah lesi yang disebabkan oleh serovars 13 & 14.

Glasser’s disease biasanya terjadi secara akut dengan gejala demam (40-41°c), hilang nafsu makan, nafas dangkal dan sulit seperti ada gerakan menjulurkan kepala, batuk dan nasal discharge mungkin terjadi,  sendi bengkak dan hangat, mati dalam 2-5 hari. Babi yang bertahan biasanya akan tampak arthritis kronis, pericarditis dan gagal jantung, meningitis atau obstruksi usus.  Hal lain yang harus kita perhatikan, jika ada finisher atau calon induk SEHAT di farm terjadi  kematian mendadak disertai batuk dan demam, maka kemungkinan disebabkan oleh Haemophilus parasuis.

Secara klinis, Hps jika ko-infeksi dengan patogen lain seperti PRRS (Porcine Reproductive and Respiratory Syndrome), PCV2 (Porcine Circovirus type 2), Streptococcus suis dan Pasteurella multocida akan menyebabkan meningkatnya kerugian ekonomi. Ko-infeksi PCV2 dan Hps adalah kombinasi yang paling lazim terkait dengan PMWS (Post weaning  Multisystemic Wasting Syndrome) di Korea dan Cina. Sebuah penelitian yang dilakukan di China menyatakan bahwa, ko-infeksi antara (PCV2) dan Hps4 menginduksi cedera sistem dan meningkatkan keganasan PCV2 di piglet.

Bagaimana mekanisme penyakit ini terjadi sebenarnya kurang dipahami dengan jelas, tetapi vaskulitis memainkan peran penting. Hps dapat menjadi patogen utama, tetapi bisa juga dikaitkan dengan penyakit lain seperti virus PRRS atau virus influenza babi (SIV).  Bakteri Hps akan masuk ke dalam darah dan menyebabkan septicemia,  lalu tumbuh dan berkembang  pada permukaan serosal, seperti pericardium/selaput jantung, pleura/selaput paru-paru, peritoneum/rongga perut, sendi, meninges/otak. Oleh karena itu, lesi-lesi yang muncul biasanya adalah polyserositis, baik itu pericarditis, pleuritis, peritonitis, polyarthritis, dan meningitis.

Diagnosis terhadap  Glasser’s disease bisa dikonfirmasi dengan pengamatan gejala klinis, pemeriksaan post-mortem dan isolasi dari organisme di laboratorium, walaupun  tidak mudah tumbuh. Hps harus dibedakan dengan bakteri lainnya seperti Actinobacillus suis, App., Mulberry heart disease, Streptococcal meningitis, dan Streptococcal septicaemias karena memiliki kemiripan.

Untuk pencegahan, kontrol penyakit ini harus melibatkan perbaikan manajemen untuk mengurangi stress, biosekuriti,  pengendalian penyakit primer seperti PRRS dan SIV, antimikrobials profilaksis (penisilin, ampisilin, tetrasiklin, ceftiofur, enrofloxacin dan trimethoprim-sulphonamide), atau VAKSINASI karena kolonisasi Hps bisa terjadi di fase awal kehidupan, yaitu kurang dari 10 hari. Baca juga : Perlukah Program Vaksinasi pada Peternakan Babi?

Oleh karena itu, mulai sekarang kenali dan evaluasi patogen apa saja yang sudah bersirkulasi di farm kita, sehingga kita bisa menyusun program vaksinasi, medikasi dan biosekuriti yang baik agar usaha kita terus menghasilkan keuntungan yang optimal.

References :

  1. https://vetmed.iastate.edu/vdpam/FSVD/swine/index-diseases/glasser-disease
  2. https://www.pigprogress.net/Health/Health-Tool/diseases/Glassers-Disease-/
  3. https://thepigsite.com/disease-guide/glässers-disease-haemophilus-parasuis-hps
  4. https://www.sciencedirect.com/topics/agricultural-and-biological-sciences/haemophilus-parasuis
  5. https://www.pig333.com/articles/glassers-disease-an-update_11406/
  6. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5696968/#!po=0.806452
error: Content is protected !!