Prospek Peternakan Tahun 2023

Prospek Peternakan Tahun 2023

Tahun 2022 telah berlalu dengan segala tantangan yang ada. Lalu bagaimana dengan prospek peternakan pada tahun 2023 ini. Jika mengacu pada prediksi prospek protein hewani global 2023 dari Rabobank, berikut beberapa informasi penting yang bisa menjadi referensi kita dalam mengarungi tantangan sektor peternakan di tahun ini :

Meskipun produksi protein hewani global diperkirakan akan tumbuh secara moderat pada tahun 2023, tahun ini akan menjadi tahun perubahan bagi sektor ini. Industri peternakan akan menghadapi biaya tinggi di sepanjang rantai pasokan, tingkat konsumsi masyarakat yang belum stabil, dan area ketidakpastian lainnya bagi produsen (tekanan penyakit yang meningkat serta perubahan regulasi dan hal lain yang digerakkan oleh pasar). Akibatnya, margin akan terjepit karena pembeli akan menekan biaya produksi yang lebih tinggi lagi akibat menurunnya daya beli. Dengan kata lain, peluang tetap ada, meski akan lebih dibatasi.

Ringkasan global.
Kami melihat pertumbuhan yang mendukung produk “value for money“, perusahaan produsen dan pemrosesan yang efisien, perusahaan yang gesit, eksportir yang diuntungkan oleh pergerakan nilai tukar mata uang, dan produsen yang aman.

“Beberapa perusahaan protein hewani akan melihat tahun 2023 sebagai tahun untuk mengkalibrasi ulang ekspektasi dan rencana pertumbuhan mereka,” kata Justin Sherrard, Pakar Strategi Global – Protein Hewani. “Beberapa perusahaan akan mempertahankan fokus jangka pendek dan memperkuat ketangkasan sehingga mereka dapat mengikuti perubahan siklus yang terjadi. Perusahaan protein hewani lainnya akan fokus pada pertumbuhan jangka panjang dan mulai berinvestasi dan memposisikan diri untuk sukses mengingat perubahan struktural di masa depan.”

Tren keseluruhan untuk tahun 2023 adalah pertumbuhan produksi yang cinderung melambat  dengan keuntungan kecil di beberapa wilayah tetapi kontraksi di wilayah lain. Pertumbuhan yang lambat ini diperkirakan terjadi di Cina pada semua kelompok spesies, dan pertumbuhan berkelanjutan diperkirakan terjadi di Brasil dan Asia Tenggara. Oseania akan mengalami pertumbuhan yang lambat, sementara produksi Amerika Utara dan Eropa akan menyusut.

Akuakultur memimpin pertumbuhan global di seluruh kelompok spesies, dan perluasannya yang berkelanjutan didukung oleh kemandirian relatif dari harga komoditas pertanian. Unggas akan mempertahankan pola pertumbuhannya yang konsisten, tangkapan liar akan sedikit meningkat, produksi daging sapi akan sedikit menurun, dan daging babi juga diprediksi akan mengalami penurunan.

Berikut adalah beberapa poin penting dari prospek protein hewani pada tahun 2023 :

Amerika Utara: Daging sapi akan berkontraksi saat siklus AS berubah dan memasuki penurunan, unggas akan berkembang karena permintaan yang kuat, meskipun ada tekanan penyakit, sementara daging babi akan cinderung stabil.

Eropa: Produksi akan berada di bawah tekanan untuk semua spesies karena resiko penyakit, perubahan yang didorong oleh pasar dan peraturan, dan pengurangan kapasitas ekspor. Konsumsi diharapkan tetap stabil, dengan unggas kemungkinana lebih diuntungkan sementara daging babi dan sapi akan sedikit menurun.

Cina: Produksi daging babi akan mengalami pertumbuhan marjinal, dengan pembatasan layanan makanan masih berpotensi menekan permintaan. Unggas diperkirakan akan sedikit berkembang namun tertahan oleh biaya tinggi dan ketidakpastian. Daging sapi cinderung akan lebih mudah.

Brazil: Produksi daging sapi akan terus meningkat dan didukung oleh aktivitas ekspor. Produksi ayam dan babi juga ditetapkan untuk tujuan ekspansi dan berpotensi mendapatkan keuntungan ekspor.

Asia Tenggara: Produksi daging babi diperkirakan akan pulih di Vietnam dan Filipina karena risiko ASF berkurang. Produksi unggas juga berkembang secara perlahan, karena permintaan terus pulih.

Australia & Selandia Baru: Produksi daging sapi dan domba Australia diperkirakan akan berkembang dengan dinamika kawanan yang terjadi. Namun, di Selandia Baru produksi daging sapi dan domba diperkirakan akan menurun akibat tekanan pasar.

Ikan salmon
Kehadiran ritel yang kuat akan mendukung harga pada tahun 2023, meskipun fundamental ekonomi makro melemah.

Udang
Pasokan tetap kuat, meskipun harga lebih rendah dan biaya lebih tinggi. Ekuador dan Amerika Latin diperkirakan akan terus mendorong pasokan udang tambak pada tahun 2023.

Tepung Ikan dan Minyak Ikan
Harga komoditas yang bersaing mendukung harga keduanya, yang mungkin sedikit menurun pada tahun 2023.

Protein Alternatif
Tahun 2023 akan menjadi tahun konsolidasi. Pertumbuhan luar biasa produk nabati baru-baru ini tertahan dan investor mengalihkan fokus.

Lalu bagaimana dengan prospek peternakan di Indonesia ?

Industri peternakan di Indonesia pastinya juga akan mengalami hal yang kurang lebih sama dengan tantangan yang ada di global. Fluktuasi harga kemungkinan masih akan menjadi tantangan bagi para pengusaha/peternak pada kondisi ekonomi yang saat ini relatif belum stabil. Selain itu, tantangan penyakit adalah hal yang mungkin harus ditanggapi dengan serius jika ingin hasil yang kita harapkan optimal.

Di sektor peternakan babi, African Swine Fever (ASF) masih menjadi tantangan terberat selain juga penyakit-penyakit lainnya seperti Hog Cholera, Mycoplasma hyopneumoniae (Enzootic Pneumonia), Porcine Circovirus tipe 2 (PCV2), Porcine Reproductive and Respiratory Syndrome (PRRS), Glaesserella (Haemophilus) parasuis. Terkait ASF, peternak babi dituntut untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya biosekuriti mengingat vaksin yang aman dan efektif sampai saat ini belum tersedia. Selain itu, program vaksinasi terhadap tantangan penyakit lain dan juga praktek managemen pemeliharaan yang baik juga akan menjadi faktor pembeda yang menentukan keberhasilan dalam beternak. Baca juga : Biosekuriti di era New Normal

Di sektor peternakan Sapi, outbreak Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) tahun lalu menjadi pukulan berat bagi para pelaku usaha disaat kondisi peternakan sebenarnya juga sedang tidak baik-baik saja. PMK ini selain berdampak besar pada peternakan sapi, juga bisa menyerang peternakan kambing/domba dan peternakan babi. Selain itu, Lumpy Skin Disease (LSD) baru-baru ini juga kembali merebak dan membutuhkan penanganan yang terbaik guna menyelamatkan peternakan sapi. Untuk vaksin PMK dan LSD, saat ini para peternak bisa mendapatkannya dari support pemerintah. Diharapkan, dengan adanya vaksin dan upgrade biosekuriti dan managemen pemeliharaan maka resiko serangan penyakit bisa diminimalkan.

Dalam Rapat Koordinasi Teknis Nasional (Rakorteknas) Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan pada 25 Januari 2023, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo mendorong pengembangan peternakan modern berbasis teknologi presisi yang mampu memproduksi kebutuhan dalam negeri secara konsisten. Pada kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementan, Nasrullah mengatakan bahwa pemerintah telah menyusun strategi dalam menghadapi krisis pangan dunia. Di antaranya peningkatan kapasitas produksi pangan untuk komoditas daging sapi, kerbau, ayam ras, ayam buras, dan babi.

Pemerintah akan melakukan pengembangan terhadap pangan substitusi impor seperti daging domba/kambing dan itik untuk substitusi daging sapi. Disisi lain, kementan juga terus meningkatan kapasitas produksi dan peningkatan laju ekspor seperti produk sarang burung walet, ayam, dan telur ayam ke berbagai negara di Asia. Pengembangan komoditas ternak prioritas berbasis korporasi, presisi dan terintegrasi ini dilakukan melalui sinergi pelaku usaha dengan program penyediaan ternak 10 juta ekor melalui pengembangan kambing/domba, itik dan ayam.

Semoga dengan peran semua pihak, baik pemerintah maupun swasta, peternakan di Indonesia bisa kuat dalam menghadapi tantangan di tahun 2023 ini dan ketersediaan protein hewani boleh tetap terjaga dengan baik.

Referensi :

  1. https://research.rabobank.com/far/en/sectors/animal-protein/ap-outlook-2023.html
  2. https://pertanian.go.id/home/?show=news&act=view&id=5217
Mikoplasma Pada Unggas

Mikoplasma Pada Unggas

Mikoplasmosis pada unggas disebabkan oleh Mycoplasma spp., yangmana lebih dikenal sebagai agen bakterial dikalangan peternak. Akan tetapi, sebenarnya agak sulit untuk menempatkan penggolongannya karena para ahli menyatakan bahwa Mycoplasma itu bukan merupakan virus maupun bakteri. Apapun itu, spesies Mycoplasma yang paling signifikan dalam produksi unggas adalah M. gallisepticum, M. synoviae, M. meleagridis, M. iowae. Penyakit ini tersebar luas di seluruh dunia dan memiliki signifikansi ekonomi yang besar. Higiene dan antibiotik membantu pengendalian penyakit ini.

M. Gallisepticum

Infeksi MG biasanya disebut penyakit pernapasan kronis (CRD) pada ayam dan sinusitis infeksius pada kalkun. Penyakit ini berlangsung lama dan gejala muncul perlahan-lahan, antara lain saluran napas, batuk, ingus, sinusitis dengan pembengkakan sinus pada kalkun. Infeksi seringkali dipersulit oleh E. coli. Terkadang, CRD ini disalah artikan sebagai snot / coriza karena gejalanya mirip. Baca juga : Infectious Coriza pada Unggas. Penyakit CRD ini sering kali ditemukan pada peternakan ayam broiler dan layer. Program medikasi biasanya menjadi alternatif pengobatan yang dilakukan di peternakan untuk mengurangi resiko kerugian. Pada beberapa kasus di peternakan layer/petelor yang mungkin berat atau peternakan skala industri (breeding), penggunaan vaksin juga menjadi pilihan.

M. Synoviae

Hal ini sering menyebabkan infeksi saluran pernapasan atas subklinis atau, bila sistemik, sinovitis menular pada ayam dan kalkun. Gangguan sendi sering kali juga dihubungkan dengan patogen ini. Gejala yang mungkin bisa diamati adalah bengkak pada persendian kaki dan malas bergerak.

M. Meleagridis

Patogen khusus untuk kalkun Ini adalah penekan kekebalan dan menginduksi tanda-tanda klinis seperti airsacculitis, kelainan tulang dan kinerja pertumbuhan yang buruk. Ini dapat dikaitkan dengan Mycoplasma atau patogen lain.

M. Iowae

Ini adalah penyakit penting di tingkat peternak kalkun, karena menyebabkan penurunan daya tetas serta kematian embrio.

Kita tahu sekarang bahwa mikoplasma ada beberapa spesies, namun demikian CRD sepertinya menjadi penyakit yang paling umum ditemukan di Indonesia karena peternakan kalkun di masih belum ada dalam skala industri yang besar. Penerapan management dan sanitasi lingkungan turut membantu dalam program pengendalian penyakit ini. Antibiotik atau vaksin sudah biasa juga dipraktekkan di lingkungan peternakan unggas untuk meminimalkan resiko. Baca juga : Program vaksin di Peternakan Ayam.

Referensi :

  1. http://www.fao.org/ag/againfo/programmes/en/empres/gemp/avis/poult-over/tools/0-tabl-bacterial-infections.html
  2. https://www.oie.int/doc/ged/D9309.PDF
Apakah Virus Influenza itu Zoonosis ?

Apakah Virus Influenza itu Zoonosis ?

Fakta tentang virus Influenza yang mungkin anda belum sadari adalah :

1. Manusia dapat tertular virus flu burung, flu babi dan virus zoonosis lainnya, seperti virus flu burung subtipe A (H5N1), A (H7N9), dan A (H9N2) dan virus flu babi subtipe A (H1N1), A (H1N2) dan A (H3N2).

2. Infeksi virus Influenza dari hewan ke manusia terutama didapat melalui kontak langsung dengan hewan yang terinfeksi atau lingkungan yang terkontaminasi, tetapi virus ini belum memiliki kemampuan penularan yang berkelanjutan di antara manusia.

3. Infeksi virus flu burung, flu babi dan zoonosis lainnya pada manusia dapat menyebabkan penyakit mulai dari infeksi saluran pernapasan atas ringan (demam dan batuk), produksi dahak dan perkembangan yang cepat menjadi pneumonia berat, sepsis dengan syok, sindrom gangguan pernapasan akut dan bahkan kematian. Konjungtivitis, gejala gastrointestinal, ensephalitis dan ensephalopati juga telah dilaporkan dalam berbagai derajat tergantung pada subtipe virus ini.

4. Mayoritas kasus infeksi virus influenza A (H5N1) dan A (H7N9) pada manusia telah dikaitkan dengan kontak langsung atau tidak langsung dengan unggas hidup atau mati yang terinfeksi. Pengendalian penyakit pada sumber hewan sangat penting untuk menurunkan risiko bagi manusia.

5. Virus influenza dengan reservoir yang luas pada burung/unggas air hampir tidak mungkin untuk dibasmi sehingga infeksi zoonosis influenza pada manusia kemungkinan akan terus terjadi. Untuk meminimalkan risiko kesehatan masyarakat, pengawasan yang berkualitas baik pada hewan maupun populasi manusia, penyelidikan menyeluruh terhadap setiap infeksi manusia dan perencanaan pandemi berbasis risiko sangatlah penting.

Di dunia, ada empat jenis virus influenza yang bersirkulasi, yaitu Influenza tipe A, B, C dan D. Virus Influenza A menginfeksi manusia dan banyak hewan yang berbeda, serta jika terjadi perubahan virus influenza A yang baru (mutasi) dengan kemampuannya menginfeksi manusia bisa meningkatkan resiko penularan dari manusia ke manusia dan menyebabkan pandemi influenza. Virus Influenza B beredar di antara manusia dan menyebabkan epidemi musiman. Data terbaru menunjukkan anjing laut juga bisa terinfeksi influenza tipe B ini. Virus Influenza C dapat menginfeksi manusia dan babi, tetapi infeksi umumnya ringan dan jarang dilaporkan. Sedangkan virus Influenza D terutama menyerang ternak sapi dan belum diketahui apakah mampu menginfeksi atau menyebabkan penyakit pada manusia.

Virus influenza tipe A sangat penting bagi kesehatan masyarakat karena berpotensi menyebabkan pandemi influenza. Virus influenza tipe A diklasifikasikan ke dalam subtipe menurut kombinasi protein permukaan virus yang berbeda hemagglutinin (HA) dan euraminidase (NA). Sejauh ini terdapat 18 subtipe hemagglutinin berbeda dan 11 subtipe neuraminidase berbeda. Jika digolongkan berdasarkan inang asalnya, virus influenza A kita kenal sebagai avian influenza, swine influenza, atau jenis virus influenza hewan lainnya. Contohnya termasuk virus avian influenza “flu burung” subtipe A (H5N1) dan A (H9N2), sedangkan virus “flu babi” subtipe A (H1N1) dan A (H3N2). Semua virus influenza tipe A baik flu burung, flu babi dan flu hewan lainnya ini berbeda dengan virus influenza pada manusia dan tidak mudah menular antar manusia.

Burung/unggas air adalah reservoir alami utama untuk sebagian besar subtipe virus influenza A, tetapi kebanyakan hanya menyebabkan infeksi asimtomatik atau ringan pada unggas. Gejala klinis yang muncul bergantung pada sifat virus. Virus yang menyebabkan penyakit parah pada unggas dan mengakibatkan angka kematian yang tinggi disebut influenza unggas yang sangat patogen (HPAI), sedangkan virus penyebab penyakit ringan pada unggas disebut low pathogenic avian influenza (LPAI).

Lalu bagaimana tanda-tanda penyakit ini pada manusia ? Infeksi flu burung, flu babi, dan zoonosis lainnya pada manusia dapat menyebabkan penyakit mulai dari infeksi saluran pernapasan atas ringan (demam, batuk) hingga berkembang pesat menjadi pneumonia berat, sindrom gangguan pernapasan akut, syok, dan bahkan kematian. Gejala gastrointestinal seperti mual, muntah dan diare dilaporkan lebih sering terjadi pada infeksi influenza A (H5N1). Konjungtivitis juga telah dilaporkan pada influenza A (H7). Gambaran penyakit seperti masa inkubasi, tingkat keparahan gejala dan hasil klinis yang nampak cukup bervariasi menurut virus yang menyebabkan infeksi, akan tetapi manifestasi yang umumnya muncul adalah gejala pernapasan. Pada banyak pasien yang terinfeksi virus avian influenza A (H5) atau A (H7N9), penyakit ini memiliki perjalanan klinis yang agresif. Gejala awal yang umum adalah demam tinggi > 38°C, batuk diikuti dengan gejala sesak atau kesulitan bernapas, sedangkan gejala saluran pernapasan bagian atas seperti sakit tenggorokan atau pilek lebih jarang terjadi. Gejala lain seperti diare, muntah, sakit perut, pendarahan dari hidung atau gusi, ensephalitis, dan nyeri dada juga telah dilaporkan dalam perjalanan klinis beberapa pasien. Jika komplikasi infeksi terjadi, gejala pneumonia berat, gagal napas, disfungsi multi-organ, syok sepsis, dan infeksi bakteri dan jamur sekunder juga bisa terlihat. Yang lebih penting lagi, angka fatalitas kasus infeksi virus subtipe A (H5) dan A (H7N9) di antara manusia jauh lebih tinggi dibandingkan infeksi influenza musiman. Untuk infeksi pada manusia karena virus avian influenza A (H7N7) dan A (H9N2), gejala yang muncul biasanya ringan atau subklinis dan sejauh ini hanya satu infeksi fatal pada manusia karena A (H7N7) yang dilaporkan di Belanda. Khusus untuk infeksi manusia karena virus flu babi, kebanyakan kasusnya adalah ringan walaupun beberapa kasus dirawat di rumah sakit, dan sangat sedikit laporan kematian akibat infeksi ini.

Dalam hal penularan, infeksi manusia karena virus flu burung dan zoonosis lainnya, meskipun jarang, telah dilaporkan secara sporadis. Infeksi ini terutama didapat melalui kontak langsung dengan hewan yang terinfeksi atau lingkungan yang terkontaminasi, akan tetapi virus ini tidak akan mengakibatkan penularan dari manusia ke manusia yang lain. Pada tahun 1997, infeksi virus HPAI A (H5N1) pada manusia dilaporkan selama wabah pada unggas di Hong Kong. Sejak tahun 2003, virus avian ini telah menyebar dari Asia ke Eropa dan Afrika, dan menjadi endemik pada populasi unggas di beberapa negara. Wabah H5N1 ini telah mengakibatkan jutaan unggas terinfeksi, ratusan kasus ditemukan pada manusia dan juga mengakibatkan kematian. Wabah Avian Influenza pada unggas ini telah berdampak serius pada mata pencaharian, ekonomi dan perdagangan internasional di negara-negara yang terkena dampak. Selain itu, virus subtipe avian influenza A (H5) lainnya juga dapat menyebabkan wabah pada unggas dan infeksi pada manusia juga. Pada 2013, infeksi virus A (H7N9) pada manusia dilaporkan untuk pertama kalinya di China, kemudian virus menyebar ke banyak populasi unggas di seluruh negeri dan mengakibatkan lebih dari 1500 kasus pada manusia yang dilaporkan dan banyak kematian pada manusia. Virus avian influenza lainnya yang menyebabkan infeksi pada manusia secara sporadis adalah virus A (H7N7) dan A (H9N2). Beberapa negara juga telah melaporkan infeksi manusia sporadis dengan virus influenza babi, terutama subtipe A (H1) dan A (H3).

Bagaimana dengan faktor risiko infeksi pada manusia ? Untuk virus flu burung, faktor risiko utama penularan pada manusia tampaknya adalah paparan langsung atau tidak langsung terhadap unggas hidup atau mati yang terinfeksi atau lingkungan yang terkontaminasi, seperti pasar unggas hidup. Selain itu, proses penyembelihan, menghilangkan bulu, menangani bangkai unggas yang terinfeksi, dan menyiapkan/proses memasak unggas untuk dikonsumsi (terutama di lingkungan rumah tangga) juga mungkin menjadi faktor risiko. Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa virus influenza A (H5), A (H7N9) atau virus flu burung lainnya dapat ditularkan ke manusia melalui unggas atau telur yang dimasak dengan benar. Beberapa kasus influenza A (H5N1) pada manusia telah dikaitkan dengan konsumsi makanan asal unggas yang dihidangan dengan darah unggas mentah yang terkontaminasi. Oleh karena itu, pengendalian peredaran virus flu burung pada unggas penting dilakukan untuk mengurangi risiko penularan pada manusia. Pada lokasi yang banyak populasi unggas, pengendalian akan membutuhkan komitmen jangka panjang dari negara dan koordinasi yang kuat antara otoritas kesehatan hewan dan masyarakat, selain juga kekompakan antar kelompok ternak yang saling berdekatan. Untuk virus flu babi, faktor risiko yang dilaporkan sebagian besar kasus pada manusia karena kontak dengan babi yang terinfeksi atau mengunjungi lokasi di mana babi dipamerkan atau diperjualbelikan di pasar hewan. Akan tetapi beberapa kejadian penularan terbatas dari manusia ke manusia telah terjadi. Baca juga : Swine Influenza pada Babi.

Infeksi virus avian influenza A (H5N1) pada manusia menunjukkan bahwa masa inkubasi rata-rata 2-5 hari, maksimal hingga 17 hari, sedangkan untuk virus A (H7N9) 1-10 hari dengan rata-rata 5 hari. Masa inkubasi tersebut umumnya lebih lama dibandingkan dengan influenza musiman yang hanya berkisar 2 hari saja. Kemudian, jika manusia tertular dengan virus influenza babi masa inkubasi yang diperlukan adalah 2-7 hari.

Walaupun kejadiannya sporadis, kejadian influenza A ini tentunya tetap harus kita waspadai karena di Indonesia, penyakit avian influenza masih menjadi momok bagi para peternak dan tentunya resiko pekerja kandang untuk tertular juga ada. Terkait dengan kejadian di manusia ini, treatment dengan menggunakan obat antivirus penghambat neuraminidase (oseltamivir, zanamivir) ternyata bisa mengurangi durasi replikasi virus dan meningkatkan prospek kelangsungan hidup. Namun demikian studi klinis menganai hal ini masih terus dilakukan mengingat munculnya isu resistansi terhadap oseltamivir telah dilaporkan. Pemberian anti virus ini idealnya harus diresepkan sesegera mungkin (max 48 jam setelah gejala) untuk hasil terbaik dengan pemberian selama 5 hari, mengingat angka mortalitas yang signifikan terkait dengan infeksi virus subtipe A (H5) dan A (H7N9). Kortikosteroid tidak boleh digunakan secara rutin kecuali diindikasikan untuk alasan lain (asma dan kondisi khusus lainnya). Perlu diketahui juga, virus terbaru A (H5) dan A (H7N9) resisten terhadap obat antiviral adamantane (amantadine, rimantadine) sehingga tidak direkomendasikan untuk monoterapi. Selain itu juga perlu diperhatikan ada tidaknya ko-infeksi dengan bakteri patogen yang biasanya dapat ditemukan pada pasien yang sakit kritis.

Setelah kita tahu faktor resiko dari Influenza A ini, selain pengobatan antivirus, hal yang sebenarnya paling mendasar adalah bagaimana pelaksanaan manajemen kesehatan masyarakat secara umum yang mencakup langkah-langkah perlindungan/pencegahan. Mencegah lebih baik daripada mengobati khan ??

Kembali lagi biosekuriti menjadi unjung tombak dalam program pencegahan ini, yaitu :

  1. Desinfeksi dan kebersihan lingkungan, mencuci tangan secara teratur dengan pengeringan tangan yang benar
  2. Menjaga kualitas udara (memakai masker) – menutupi mulut dan hidung saat batuk atau bersin, menggunakan tisu dan membuangnya dengan benar
  3. Isolasi diri dini bagi mereka yang merasa tidak enak badan, demam, dan mengalami gejala influenza lainnya atau sehabis berkunjung ke wilayah yang sedang ada wabah
  4. Menghindari kontak dekat dengan orang / hewan ternak yang sakit
  5. Menghindari menyentuh mata, hidung, atau mulut seseorang / hewan ternak yang terindikasi sakit
  6. Untuk karyawan yang bekerja di kandang dan berinteraksi dengan ternak, sebaiknya mempunyai prosedur yang baik untuk tindakan pencegahan sehingga status kesehatan baik ternak dan manusianya juga lebih terjamin. Penggunaa alat pelindung diri (APD) atau minimal alas kaki dan seragam khusus juga menjadi cara yang efektif.
  7. Jika kita bepergian ke wilayah yang sedang ada wabah sebaiknya menghindari kontak dengan peternakan unggas, kontak dengan hewan di pasar unggas hidup, memasuki area tempat penyembelihan unggas, dan kontak dengan permukaan mungkin terkontaminasi kotoran unggas atau hewan lain. Keamanan pangan yang baik dan praktik kebersihan makanan, misalnya mencuci tangan dengan sabun dan air harus diikuti.
  8. Vaksinasi bisa menjadi opsi untuk meningkatkan kekebalan pada manusia (sepertinya di Indonesia juga sudah tersedia vaksinnya). Hal ini terutama pada pekerja yang setiap harinya berinteraksi dengan ternak atau siapapun yang mempunyai resiko terhadap penularan Influenza tipe A ini.

Pandemi influenza adalah epidemi yang menyerang sebagian besar dunia karena virus baru (mutasi). Pandemi tidak dapat diprediksi, tetapi peristiwa ini bisa berulang dan beresiko menimbulkan konsekuensi kesehatan, ekonomi, dan sosial di seluruh dunia. Kewaspadaan sangat penting karena pandemi influenza bisa terjadi ketika virus influenza yang baru muncul memiliki kemampuan untuk menyebabkan penularan berkelanjutan dari manusia ke manusia, dan ditambah dengan kondisi populasi manusia hanya memiliki sedikit atau bahkan tidak ada kekebalan terhadap virus tersebut. Sirkulasi virus avian influenza pada unggas (H5, H7) sekali lagi merupakan masalah kesehatan masyarakat karena virus ini bisa menyebabkan penyakit pada manusia dan berpotensi terjadi mutasi sehingga meningkatkan resiko penularan di antara manusia. Baca juga : Pentingnya Biosekuriti pada Peternakan Babi.

Apakah virus flu burung, flu babi dan virus zoonosis lainnya yang beredar saat ini akan menyebabkan pandemi di masa depan masih belum bisa kita diketahui. Namun, keragaman virus zoonosis influenza yang telah menyebabkan infeksi pada manusia sangat memerlukan pengawasan yang diperkuat, baik pada hewan maupun manusia. Akhirnya, era “new normal” dari kebiasaan selama pandemi Covid-19 ini bisa menjadi awal kebiasaan baik buat kita sekalian dalam menjaga kesehatan kita dan orang-orang tercinta.

Referensi :

  1. https://www.who.int/en/news-room/fact-sheets/detail/influenza-(avian-and-other-zoonotic)
  2. https://www.who.int/influenza/human_animal_interface/influenza_h7n9/en/
Newcastle Disease pada Unggas

Newcastle Disease pada Unggas

Penyakit Newcastle (ND) atau tetelo adalah penyakit yang sangat menular dan seringkali ditemukan di seluruh dunia, disebabkan oleh keluarga paramyxovirus. Penyakit ini muncul dalam tiga bentuk, lentogenic/ringan, mesogenic/sedang dan velogenic/sangat virulen. Biasanya muncul gejala klinis berupa penyakit pernapasan, tetapi depresi, manifestasi saraf, atau diare mungkin merupakan bentuk klinis yang dominan. Ditemukan di seluruh dunia, penyakit ini saat ini telah dikendalikan di Kanada, Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa Barat. ND masih berlanjut di beberapa bagian Afrika, Asia dan Amerika Selatan. Namun, karena burung liar terkadang dapat membawa virus tanpa menjadi sakit, wabah dapat terjadi di mana pun unggas dibesarkan.

Penyakit ND paling sering ditularkan melalui kontak langsung dengan unggas yang sakit atau pembawa penyakit/carrier. Unggas yang terinfeksi dapat menyebarkan virus melalui kotorannya dan mencemari lingkungan kemudian penularan terjadi melalui kontak langsung dengan kotoran. Makanan, air, peralatan, dan pakaian manusia yang terkontaminasi juga menjadi faktor resiko penyebaran. Virus dapat bertahan hidup selama beberapa minggu di lingkungan, terutama pada cuaca yang sejuk. Burung liar juga telah terbukti menyebabkan wabah pada unggas peliharaan. Penyakit ini sangat menular, ketika virus masuk ke dalam kandang hampir semua unggas akan tertular dalam 2 -6 hari. Baca juga : Klasifikasi Penyakit Unggas.

Bagaimana resiko terhadap kesehatan manusia? Banyak yang tidak menyadari bahwa ND adalah merupakan zoonosis minor (penyakit hewan yang juga dapat menginfeksi manusia). ND dapat menyebabkan konjungtivitis pada manusia, namun kondisi tersebut umumnya sangat ringan dan dapat sembuh sendiri. Penyakit Newcastle yang ganas bukanlah masalah keamanan pangan. Tidak ada kasus penyakit Newcastle pada manusia yang pernah terjadi karena memakan produk unggas. Produk unggas yang dimasak dengan benar aman untuk dimakan.

Tanda-tanda klinis ND sangat bervariasi dan bergantung pada faktor-faktor seperti jenis virus, spesies burung/unggas yang terinfeksi, umur (muda yang paling rentan), infeksi bersamaan dengan organisme lain, faktor lingkungan dan status kekebalan. Dalam beberapa keadaan, infeksi strain virus yang sangat ganas dapat mengakibatkan banyak unggas ditemukan mati dengan gejala klinis yang relatif sedikit. Penyakit ini timbul dengan cepat dengan gejala yang muncul antara 2 – 12 hari setelah terpapar, dan menyebar dengan cepat melalui kawanan. Beberapa strain virus ND juga menyerang sistem saraf, sistem pernapasan, atau pencernaan. Pada kondisi ini gejala yang muncul biasanya adalah :

  1. gangguan pernapasan – terengah-engah, batuk, bersin
  2. gangguan saraf – tremor, sayap dan kaki lumpuh, leher bengkok, berputar-putar, kejang, dan kelumpuhan;
  3. gangguan pencernaan – diare
  4. penurunan produksi telur sebagian atau seluruhnya dapat terjadi. Telur mungkin abnormal dalam warna, bentuk, atau permukaan, dan memiliki albumen encer
  5. mortalitas bervariasi tetapi bisa mencapai 100%.

Penyakit ND dapat memberikan gambaran klinis yang sangat mirip dengan flu burung, sehingga pengujian laboratorium penting untuk memastikan diagnosis. Metode diagnosis yang disukai adalah isolasi virus dan karakterisasi. Tindakan vaksinasi untuk upaya pencegahan/profilaksis umum dilakukan, kemudian didukung dengan surveilans dan menerapkan prosedur biosekuriti menjadi hal yang penting dan efektif untuk mencegah masuknya penyakit ND ini. Biosekuriti yang bisa dilakukan adalah mencuci tangan sebelum dan setelah menangani unggas, memakai alas kaki khusus dan pakaian saat keluar masuk kandang, bersihkan dan disinfeksi alat kandang, perhatikan tanda-tanda penyakit dan laporkan unggas yang sakit segera. Baca juga : Pentingnya Biosekuriti pada Peternakan Babi.

Ketika penyakit ND muncul di suatu wilayah, hal yang bisa dilakukan adalah :

  1. isolasi ketat atau karantina
  2. pemusnahan semua burung/unggas yang tertular dan terpapar, serta pembuangan karkas yang benar (OIE Terrestrial Animal Health Code)
  3. pembersihan dan desinfeksi tempat secara menyeluruh
  4. pengendalian hama pada ternak
  5. depopulasi diikuti dengan 21 hari tanpa unggas sebelum restocking
  6. menghindari kontak dengan burung yang status kesehatannya tidak diketahui
  7. kontrol akses ke peternakan unggas.

Referensi :

  1. https://www.oie.int/en/animal-health-in-the-world/animal-diseases/newcastle-disease/
  2. https://www.aphis.usda.gov/aphis/ourfocus/animalhealth/animal-disease-information/avian/virulent-newcastle/vnd
  3. http://www.poultryhub.org/health/disease/types-of-disease/newcastle-disease/
Klasifikasi Penyakit Unggas

Klasifikasi Penyakit Unggas

Pengobatan unggas pada dasarnya dilakukan berdasarkan pada pertimbangan kelompok, bukan individu. Oleh karena itu, kejadian penyakit pada unggas merupakan ancaman terhadap kesehatan seluruh populasi dalam kandang dan sekaligus juga beresiko mengganggu nilai ekonominya. Masalah pengelolaan/managemen tata laksana dalam peternakan seringkali menjadi faktor penentu berhasil tidaknya peternak mengendalikan penyakit.

Jika menilik pada kejadian penyakit di unggas secara umum kejadiannya dikelompokkan dalam beberapa bagian, yaitu :

1. Penyakit nutrisi.

Penyakit karena faktor nutrisi ini bisa disebabkan oleh kelebihan atau kekurangan beberapa elemen nutrisi. Pasokan pakan yang baik dan air yang memadai sangat penting untuk pertumbuhan dan perkembangan normal, reproduksi dan kelangsungan hidup unggas. Ada cukup banyak elemen nutrisi penting dan harus ada dalam pakan ternak, antara lain adalah protein, karbohidrat, lemak, vitamin dan mineral . Hal ini membutuhkan tingkat konsentrasi dan keseimbangan yang sesuai untuk memaksimalkan kemampuan unggas mengekspresikan potensi genetiknya untuk tumbuh dan berkembang biak. Menyusun formulasi pakan yang baik tidak mudah, sehingga ketika ada sesuatu yang tidak sesuai harapan maka evaluasinya pun relatif sulit.

Sebagai contoh, kekurangan asam amino bisa mengakibatkan beberapa tanda non spesifik, seperti penurunan pertumbuhan, penurunan konsumsi pakan, penurunan produksi telur dan ukuran telur, serta penurunan berat badan, sedangkan jika kelebihan asam amino bisa mengakibatkan resiko hiperurisemia dan gout artikular; kekurangan karbohidrat bisa mengakibatkan kekurangan energi, sedangkan kelebihan laktosa dapat menyebabkan depresi pertumbuhan dan diare parah; ketidakseimbangan atau kekurangan asam lemak esensial dapat menyebabkan masalah seperti pertumbuhan yang kurang optimal, hati berlemak dan membesar, dan produksi telur yang menurun, serta mempengaruhi ukuran telur dan daya tetas.Sedangkan asam lemak tak jenuh dapat merusak aktivitas vitamin (A, D, E, biotin) atau mengurangi ketersediaan asam amino; Kekurangan satu vitamin dalam makanan menyebabkan gangguan proses metabolisme yang berhubungan dengan vitamin tersebut. Seringkali masalah baru muncul jika kejadiannya sudah berlangsung lama; mineral juga sangat penting untuk pemeliharaan produksi unggas.

2. Gangguan metabolisme dan perkembangan

Banyak masalah terjadi pada produksi unggas yang sebagian besar disebabkan oleh gangguan metabolisme, perkembangan, atau perilaku. Kanibalisme bisa terjadi dalam suatu kelompok bila ada kepadatan tinggi. Suhu panas dan dehidrasi seringkali disebabkan oleh manajemen peternakan yang buruk, terutama sistem pemanas atau ventilasi, atau manajemen pakan, air atau lingkungan yang kurang optimal.

Beberapa penyakit bisa terjadi karena multifaktor dan penyebabnya terkadang tidak spesifik juga jika dikaitkan dengan gejala klinis yang muncul. Contohnya seperti sudden death, ascites, hepatic haemorrhagic, fatty liver hemorrhagic syndrome, fatty kidney syndrome, gout and kidney urolithiasis. Selain itu, gangguan tulang memainkan peran besar dalam produksi unggas, karena setiap masalah dalam sistem ini mempengaruhi kapasitas pergerakan, kemampuan makan, pertumbuhan atau kapasitas reproduksi. Masalah ini multifaktorial juga termasuk faktor genetika, pengelolaan peternakan secara umum, dan keseimbangan pakan. Segala sesuatu harus dilakukan untuk mencegah penyakit-penyakit ini dan menghindari konsekuensi yang parah terhadap produktivitas unggas.

3. Racun dan Toxin

Banyak elemen atau produk yang ada dalam pakan atau kualitas udara di lingkungan peternakan berpotensi mengandung racun. Penggunaan obat atau produk kimia dalam peternakan unggas harus mengikuti aturan/rekomendasi pabrikan agar bisa memberikan manfaat yang optimal. Mikotoksikosis pada unggas biasanya disebabkan oleh koloni jamur yang terkandung dalam bahan baku pakan seperti jagung. Kontaminasi ini berbahaya dan mengakibatkan kerugian sehingga pemilihan bahan baku pakan yang bebas mikotoksin sangatlah penting.

4. Infeksi jamur dan parasit

Infeksi jamur di hatchery/tempat penetasan merupakan contoh kasus yang disebabkan oleh faktor management yang buruk Kombinasi dari kelembapan, stres dan manajemen sering menjadi penyebabnya. Jamur yang menyebabkan penyakit pada unggas terutama adalah Aspergillus (Aspergillus fumigatus, Aspergillus flavus), umumnya terjadi karena terkontaminasi melalui debu, pakan atau litter. Aspergillus menembus jaringan paru dan menyebabkan lesi dan gejala. Bentuk aspergillosis lainnya bersifat sistemik. Dermatitis, osteomikosis, ophtalmitis, ensephalitis semuanya bisa disebabkan oleh infeksi Aspergillus.

Produksi unggas modern relatif sulit memberantas masalah ektoparasit karena umumnya kandang memiliki kepadatan tinggi dan ditambah dengan kemampuan luar biasa dari arthropoda untuk menyesuaikan diri dan mengembangkan ketahanan terhadap senyawa kimia. Masalah kutu, tungau dan lalat sering kali menyebabkan gangguan pada unggas dan juga terkadang melebar ke faktor sosial karena juga dapat menjadi gangguan utama bagi manusia yang tinggal di sekitar lokasi kandang. Selain itu, masalah cacing dan protozoa (koksidiosis) juga merupakan tantangan berat dalam usaha peternakan.

5. Infeksi virus

Virus dapat menginfeksi tubuh melalui jalur pencernaan, pernafasan, transdermal dan berkembang biak di dalam sel. Pengendalian virus hanya dapat dicapai dengan upaya profilaksis/pencegahan, yaitu menyangkut faktor kenyamanan, kebersihan dan program vaksinasi. Contoh gangguan penyakit karena virus pada unggas utamanya adalah infectious bronchitis (IB), Newcastle disease (ND), Infectious Bursal Disease (IBD), Swallen Head Syndrome (SHS), Infectious Laringotracheitis (ILT), Marek’s Disease, Avian Infuenza (AI), Fowl Pox, Reovirus, Rotavirus, Egg Drop Syndrome (EDS), Avian Encephalomyelitis dan lain-lain.

6. Infeksi bakteri

Infeksi ini menjadi perhatian utama dalam produksi unggas karena tidak hanya memiliki pengaruh besar pada kesehatan dan performa unggas. Selain itu, penyakit bakterial ada yang berpengaruh pada kesehatan masyarakat karena bersifat zoonosis, yaitu Salmonellosis atau Campylobacteriosis. Pengendalian penyakit bakterial ini menggabungkan pengobatan dan pencegahan. Penyakit bakterial yang penting pada unggas antara lain adalah Infectious Coriza, Colibacillosis, Mycoplasma, Clostridiosis dan lain-lain.

Akhirnya, untuk menjadi peternak unggas yang berhasil maka kita dituntut untuk bisa menentukan strategi dan managemen pemeliharaan yang baik agar performa kandang kita optimal. Terkait dengan penyakit, kita juga harus mempertimbangkan managemen pakan dan program vaksinasi yang tepat agar ternak kita terhindar dari serangan penyakit yang beresiko mencuri keuntungan usaha kita. Baca juga : Pentingnya Biosekuriti pada Peternakan Babi.

Referensi :

  1. http://www.fao.org/ag/againfo/programmes/en/empres/gemp/avis/poult-over/mod0/0220-classification.html
error: Content is protected !!