Perkembangan Vaksin Hog Cholera

Perkembangan Vaksin Hog Cholera

Masih membahas tentang penyakit babi, penyakit Hog Cholera atau Classical Swine Fever (CSF) sering dianggap “sama” dengan African Swine Fever (ASF). Oleh karena itu, saat ini kita akan belajar bersama mengenai bagaimana perkembangan penelitian vaksin untuk mengendalikan salah satu penyakit menular virus mematikan yang menyerang anggota famili Suidae ini. Kemunculan kembali virus CSF  di beberapa negara di Amerika, Asia, dan sporadis di Eropa menunjukkan bahwa adanya potensi munculnya kembali penyakit ini secara global yang beresiko memperparah kondisi industri babi yang masih berjuang melawan ASF yang sampai saat ini belum ada vaksin yang aman dan ampuh.

Kebijakan untuk melakukan stamping out saat ada wabah saat ini memerlukan biaya relatif tinggi yang mungkin tidak semua negara mempunyai anggaran untuk melakukannya. Masalah etika juga bisa menjadi pertimbangan cara lain untuk melakukan intervensi dalam proses pengendendalian penyakit. Vaksinasi mungkin akan menjadi solusi tindakan pengendalian utama terhadap wabah di masa depan sehingga sangat penting bagi komunitas ilmiah, peneliti dan para expert  untuk terus aktif dalam mengembangkan vaksin yang lebih efektif dan aman melawan patogen, termasuk CSF.

Classical swine fever (CSF) adalah salah satu penyakit infeksi virus yang paling mematikan dan sangat menular pada babi. Virus RNA rantai tunggal yang dikenal sebagai virus CSF dari genus Pestivirus dari keluarga Flaviviridae. Wabah CSF memiliki implikasi sosial dan ekonomi yang negatif, termasuk pembatasan perdagangan internasional, beban keuangan yang tinggi dan aspek etika  terkait lalu lintas ternak terdampak yang berpotensi menularkan ke wilayah lainnya.

Beberapa negara seperti Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan Selandia Baru telah berhasil memberantas penyakit ini, namun CSF tetap endemik di sebagian besar negara di Asia, Eropa Timur serta Amerika Selatan dan Tengah, dan Karibia. Di Uni Eropa, terlepas dari status bebas CSF sebenarnya ada ancaman dimana virus ini tetap endemik pada populasi babi hutan. Hal ini menyebabkan wabah sporadis pada peternakan babi domestik. Selain itu, kemunculan kembali virus CSF di beberapa negara di Amerika seperti Ekuador, Brasil, Kolombia, serta di Asia  seperti Jepang dan Korea Selatan menjadi hal yang perlu diwaspadai karena berpotensi muncul kembali secara global.

Sejarah masa lalu mencatat bahwa, sebagian besar negara yang mencapai status bebas CSF  menggunakan kebijakan stamping-out. Australia 1961 menggabungkan strategi stamping-out dan pembatasan pergerakan/lockdown, Kanada 1963 mencapai dengan menggabungkan kebijakan vaksinasi, Amerika Serikat 1976 menggunakan stamping-out setelah menangguhkan strategi vaksinasi tahun 1962 dan Uni Eropa berhasil  bebas setelah 10 tahun berjuang dimana Italia menjadi anggota terakhir yang berstatus bebas tahun 1990. Kebijakan stamping out ini selain tidak praktis karena biaya yang relatif besar untuk kompensasi area terdampak juga menjadi tantangan animal welfare dimasa sekarang, karena ternak sehat di area terdampak juga harus dimusnahkan.

Selain stamping out, status bebas CSF dengan vaksinasi sebagai tindakan kontrol utama juga berhasil dilakukan oleh Uruguay 1991, Chili 1998, dan Argentina 2005. Pengendalian penyakit dengan vaksinasi harus dijalankan dengan standart yang baik, yaitu dosis dan aplikasi vaksin yang tepat agar mampu membangun kekebalan. Jika program vaksinasi dilakukan sembarangan, maka akan menyebabkan konsekuensi seperti munculnya varian baru dimana virus akan bermutasi yang beresiko munculnya kembali penyakit CSF.

Dengan perkembangan penyakit yang ada saat ini, penting juga menyoroti peran metode diagnostik yang berbeda dalam proses pemberantasan CSF. Dalam hal ini, program pemberantasan yang sukses minimal harus mencakup ketersediaan laboratorium diagnostik molekuler yang mutahir yang mampu mendiagnosa secara akurat dan handal. Selain itu, studi lanjutan tentang hubungan filogenetik antara strain virus yang bersirkulasi dengan karakterisasi patogenesis menjadi langkah penting untuk menjamin strategi intervensi yang efisien untuk pengendalian virus CSF. Oleh karena itu, sangat penting bagi komunitas ilmiah untuk melanjutkan penyelidikan aktif untuk vaksin yang lebih efektif melawan virus CSF. Ada kebutuhan mendesak untuk penyediaan vaksin baru dalam hubungannya dengan tindakan pengendalian tambahan yang dapat diterapkan secara rasional untuk mengendalikan atau mengurangi kerugian yang disebabkan oleh wabah CSF, terutama masalah yang saat ini dihadapi oleh negara dengan status endemik CSF.

Tantangan pengendalian CSF dinegara yang berstatus endemis saat ini sedang hangat dibicarakan. Vaksinasi umumnya sudah dilakukan secara massal dan intensif, sehingga kasus-kasus sporadis ringan dan atipikal menjadi tantangan yang perlu segera mendapatkan solusi. Seperti halnya di Cina, strategi pengendalian utama untuk CSF adalah kombinasi dari bonifikasi dan vaksinasi. Bonifikasi sesuai untuk wilayah di mana CSF telah diberantas atau tidak pernah terjadi, sedangkan vaksinasi lebih umum dilakukan karena mengingat populasi yang besar dianggap lebih hemat biaya dan ekonomis dalam usaha pengendalian di area endemis.

Sejak kasus pertama African SwineFever didiagnosis di Shenyang, Cina 3 Agustus 2018, penyakit ASF ini dengan cepat menyebar dan menyebabkan kerugian ekonomi cukup besar. Gejala klinis dan perubahan patologis CSF dan ASF sangat mirip sehingga dapat mengganggu proses diagnosis jika hanya dilakukan secara visual. Oleh karena itu, pencegahan dan pengendalian ASF yang baik saat ini harus memfasilitasi dekontaminasi CSF, yaitu dengan cara memastikan imunisasi yang baik serta pencegahan dan pengendalian CSF yang memungkinkan diagnosis, pencegahan, dan pengendalian ASF yang lebih baik. Dengan kata lain, jika peternakan kita sudah memiliki  kekebalan yang baik terhadap virus CSF, maka fokus kita bisa lebih baik dalam penanganan ASF. Pentingnya biosekuriti dan kontrol virus CSF ini ditekankan karena belum tersedianya vaksin yang efektif dan aman untuk ASF serta adanya pergeseran dari kejadian CSF tipikal menjadi atipikal (ringan).

Baca juga : Classical Swine Fever

Ternak babi yang dibudidayakan secara intensif umumnya sudah memiliki imun karena sudah mendapatkan vaksinasi CSF. Namun demikian,  harus dicatat bahwa strain virus CSF  virulen atau dilemahkan dapat menyebabkan infeksi persisten dan infeksi resesif, imunosupresi, dan sindrom pembawa virus pada babi yang rentan, sehingga dapat mengakibatkan disfungsi imun dan  kegagalan imun.  Pengembangan vaksin CSF jenis baru harus memiliki efek kekebalan dari vaksin hidup yang dilemahkan dan mampu membedakan antara infeksi virus lapangan dan virus vaksin. Saat ini, berbagai lembaga penelitian sedang mempelajari vaksin virus hidup yang ditingkatkan, vaksin subunit, vaksin penanda, dll. Berikut adalah jenis-jenis vaksin CSF yang sudah ada dipasaran dan yang sedang dikembangkan :

1. LAV – live attenuated vaccine  
Secara historis, vaksinasi CSF menggunakan vaksin hidup yang dilemahkan (LAVs) telah diterapkan di beberapa negara sebagai program pengendalian wajib selama lebih dari 50 tahun  dan berhasil. Vaksin ini mengandung strain imunogen utama virus CSF yang telah dilemahkan oleh mutasi adaptif. Di antara strain yang paling umum digunakan adalah Lapinized Coronel Filipina (LPC strain), C-Strain atau “Chinese hog cholera lapinized virus” (HCLV), vaksin Rusia strain LK-VNIVViM yang diadaptasi pada suhu rendah, Strain guinea-pig exaltation-negative (GPE-strain) Jepang, kultur sel Prancis Strain Thiverval, dan strain PAV-250 Meksiko.

Vaksin CSF hidup yang dilemahkan ini telah terbukti aman untuk hewan target termasuk dua  kategori utama: babi muda dan babi bunting. Selain itu, beberapa penelitian telah menunjukkan
kapasitas vaksin yang dilemahkan untuk memberikan perlindungan dini terhadap serangan strain virulen. Secara penelitian, jika respon individual ternak cukup baik maka kekebalan yang terbentuk dapat bertahan dari 10 bulan jika diberikan secara oral dan seumur hidup dengan inokulasi  intramuskular. Selain perlindungan horizontal, jenis vaksin ini mampu menginduksi perlindungan vertikal pada babi bunting dan mencegah transmisi virus transplasental.

Vaksin yang dilemahkan di atas telah digunakan untuk pengendalian dan pemberantasan CSF di beberapa wilayah di dunia. Vaksin ini memiliki karakteristik umum dalam hal stabilitas genetik, respon imun protektif, tetapi juga memiliki perbedaan tertentu. Perbedaan ini terutama didasarkan pada kapasitas mereka untuk bereplikasi menjadi hewan yang divaksinasi, jangka waktu viremia, rute, dan kapasitas ekskresi strain vaksin virus.

1.1 Vaksin LOM
Strain LOM awalnya berasal dari strain virulensi rendah dari isolat Miyagi Jepang pada tahun 1956 dan selanjutnya dilemahkan melalui propagasi terus menerus dalam sel ginjal sapi. Strain LOM pertama kali diuji sebagai kandidat vaksin dari tahun 1968-1969 di lapangan oleh Institute of Veterinary Research (IVR) di Korea Selatan, dan selanjutnya vaksin ini mulai digunakan secara luas di seluruh negeri untuk memberantas CSFV sejak 1974. Fakta vaksin LOM telah digunakan di Korea Selatan selama bertahun-tahun menunjukkan bahwa vaksin ini mungkin aman dengan respon imunogenik yang tinggi pada babi selama beberapa dekade, tetapi di lapangan wabah sporadis CSF masih terjadi terus menerus.

Selain itu, penting untuk menunjukkan bahwa strain LOM telah disimpan melalui beberapa bagian dalam sel ginjal sapi / babi selama bertahun-tahun dan dianggap stabil secara genetik, namun ada petunjuk tentang potensi untuk kembali menjadi virulen. Hal ini dikuatkan dengan kejadian di pulau Jeju dimana setelah dilakukan vaksinasi strain LOM pada tahun 2014, CSF muncul kembali di pulau itu setelah wilayah ini bebas CSF dengan kebijakan non-vaksinasi selama satu dekade. Sejak kemunculan kembali tersebut, wabah endemik CSF telah terjadi di pulau itu dan  menyebabkan kerugian besar pada peternakan babi.

1.2 Vaksin Lapinized Strain-C
Vaksin C-strain telah dianggap sebagai salah satu vaksin yang paling efektif digunakan
di seluruh dunia untuk pengendalian CSF pada babi domestik. Asal usul strain ini tidak jelas, namun telah dilaporkan bahwa C-strain dikembangkan oleh Chinese Institute of Veterinary Drug Control and Harbin Animal Research Institute tahun 1956. Beberapa vaksin telah dikembangkan dari C-strain adalah Pestiffa di Prancis, SUVAC di Hungaria, Cellpest di Polandia, Suiferin C di Jerman, Vadimun di Amerika Serikat, Duvaxin dan Riems di Jerman, Norden dan Porcivac di
Meksiko, PS Poreo di Brasil, Tipest di Slovakia, TVM-1 di Republik Ceko, dan LK Rusia.

Vaksin Lapinized selama ini secara luas diakui sebagai sangat aman dan efektif terhadap penyakit, yang juga dapat memperoleh respon imun protektif terhadap semua CSFV genotipe. Namun, sebuah penelitian baru-baru ini memperingatkan tentang kurangnya kapasitas vaksin lapinisasi untuk melindungi terhadap semua genotipe sehingga dilaporkan munculnya mutan yang lolos dari netralisasi dari genotipe 2 galur CSFV di Cina sehingga perlu mengembangkan vaksin CSF baru untuk mencegah mutan yang lolos. 

Fitur penting dari vaksin C-strain adalah kapasitasnya untuk menginduksi perlindungan bahkan
beberapa hari setelah imunisasi dan sebelum serokonversi. Pembentukan kekebalan lengkap terhadap strain virulen setelah vaksinasi oral pada 10 hari post vaksin telah ditunjukkan oleh penelitian sebelumnya. Dengan menggunakan vaksin C-strain, proses replikasinya lambat dan terbatas dalam jaringan, kekebalan bertahan lama, bertahan selama selang waktu dari 6-11 bulan atau bahkan seumur hidup.

Vaksinasi menggunakan strain-C telah terbukti memberikan perlindungan klinis penuh (hewan yang divaksinasi tidak menunjukkan tanda-tanda klinis yang kompatibel dengan CSF) dan perlindungan steril (kurangnya viremia, tidak adanya pelepasan virus, dan bukan partikel virus atau genom yang terdeteksi). Disamping keampuhan yang luar biasa, vaksin C-strain telah terbukti sangat aman di target dan spesies non-target dengan keuntungan utama bahwa infeksi transplasental oleh strain virus virulen dicegah. Selain itu, beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa vaksin lapinized atau vaksin strain-C tidak berpotensi untuk kembali menjadi virulen.

1.3 GPE-Strain
Vaksin guinea-pig exaltation-negative strain (GPE-) Jepang dikembangkan di 1969 oleh Departemen Penyakit Eksotis di Institut Nasional Kesehatan Hewan di Tokyo. Strain vaksin yang dilemahkan ini berasal dari strain ALD tipe lapangan/wild melalui beberapa bagian dan kloning biologis dalam sel testis babi, sel testis sapi, dan sel ginjal babi guinea primer. Babi yang diinokulasi dengan vaksin GPE tidak menunjukkan gejala klinis seperti anoreksia dan demam.  Strain GPE jarang menimbulkan viremia pada hewan yang diinokulasi dan tidak menunjukkan bukti shedding. Selain itu, vaksinasi berdasarkan strain GPE telah terbukti aman untuk babi bunting, anak babi baru lahir, dan babi dewasa.

Vaksin ini juga mampu menghasilkan kekebalan protektif terhadap perkembangan tanda-tanda klinis CSF. Laporan awal pengamatan perlindungan vaksin GPE- bisa terjadi dalam 3 hari setelah vaksin dilakukan. Respon humoral ditandai dengan kehadiran antibodi dalam 10-14 hari selama minimal 2 tahun tanpa terjadi penurunan titer antibodi. Namun demikian, studi terbaru memperingatkan komunitas ilmiah tentang potensi galur virus GPE untuk kembali ke virulen. Hal ini tentu menjadi penting, karena vaksin galur GPE Jepang telah digunakan di negara-negara Asia dan Pasifik selama beberapa dekade sehingga perlu kewaspadaan tentang hal ini.

1.4 Strain Thiverval
Strain vaksin Thiverval diturunkan dari strain virus CSF Alfort yang virulen melalui lebih dari 170 bagian serial dalam sel pada 29-30 C. Vaksin ini dipatenkan di Prancis tahun 1971 dan telah menunjukkan stabilitas genetik dan tingkat keamanan yang tinggi bahkan ketika digunakan pada ternak babi yang mengalami imunosupresi. Selain itu, strain vaksin Thiverval tidak menunjukkan adanya potensi virulensi residual atau kembali menjadi virulen. Selama beberapa dekade dari bukti yang dikumpulkan vaksin strain Thiverval telah menunjukkan tingkat keampuhan dan keamanan yang baik, yaitu kemampuan untuk mencegah transmisi vertikal virus CSF ketika digunakan pada induk babi bunting sehingga tidak berpengaruh pada perkembangan kebuntingan atau pada janin yang baru lahir.

Vaksin jenis ini adalah yang direkomendasikan oleh OIE (WOAH), organisasi kesehatan hewan dunia. Kita nanti akan membahas lebih detail di artikel selanjutnya ya…

1.5  PAV-250
Strain PAV-250 diperoleh dari virus CSF strain A yang dilemahkan dalam 250 sekuensial melewati garis sel PK15. Vaksin ini telah berhasil digunakan untuk pengendalian dan pemberantasan CSF di Meksiko sejak 1979. PAV-250 telah diuji secara luas pada babi, memberikan perlindungan klinis dan antivirus, dengan respon imunologis dimulai antara 3-5 hari setelah vaksinasi dilakukan. Vaksin ini juga telah terbukti aman pada babi bunting, respons imunogenik kuat, menunjukkan stabilitas genetik yang tinggi, kurangnya transmisibilitas, dan kapasitas untuk melindungi terhadap strain virulen CSF yang berbeda. Vaksin PAV-250 juga tidak menunjukkan tanda-tanda kembali ke virulensi.

Jadi secara umum, vaksin hidup yang dilemahkan diatas memiliki beberapa keunggulan, termasuk dalam hal keamanan dan jangkauan perlindungan yang luas. Akan tetapi, kelemahan utama dari jenis vaksin ini adalah bahwa mereka tidak dapat dibedakan antara hewan yang terinfeksi dan di vaksinasi berdasarkan uji serologis.

2. Vaksin DIVA
Konsep vaksin penanda/marker muncul dari kebutuhan untuk membedakan hewan yang terinfeksi
dari mereka yang divaksinasi. Terkait dengan konsep DIVA yang dijelaskan di atas, masing-masing
vaksin penanda harus digabungkan dengan uji diskriminatif, yang harus dapat secara selektif menentukan kawanan yang divaksinasi, mana yang bebas atau tidak dari galur lapangan yang bersirkulasi.

Di selain tujuan utama munculnya jenis vaksin ini, mereka dianggap alat yang relevan dalam penyelidikan mendasar untuk mengungkap mekanisme yang terlibat dalam induksi dan kontrol respon imun.  Secara umum, pengembangan dan pembuatan vaksin penanda sejauh ini telah mencakup 4 strategi utama, yaitu vaksin subunit, vektor virus (vaksin dan replika chimera), peptida CSFV imunogenik, dan DNA vaksin.

2.1 MLV – modified live vaccine

Konstruksi genetik virus wabah chimeric telah terbukti menjadi strategi yang menjanjikan untuk menghasilkan MLV yang sangat efisien dengan sifat penanda. Vaksin penanda CP7_E2Alf adalah chimera virus yang dibangun dengan mengganti gen E2 BVDV dengan gen E2 dari Alfort/187 strain CSF. Vaksin CP7_E2alf ini secara efektif melindungi babi dari serangan virus CSF yang kuat, baik secara intramuskuler maupun oral, memberikan perlindungan lengkap untuk induk babi bunting dan anak babi, serta tahan terhadap galur lapangan dari genotipe 2.1 dan 2.3. Namun, karena hubungan antigenik yang dekat antara virus CSF dan virus BVD, antibodi reaktif silang dapat menyebabkan reaksi positif palsu dan kegagalan pengenalan DIVA.

Pada tahun 2017, Korea Selatan menyetujui vaksin DIVA lain, bernama FLC-LOM-BERns, virus wabah chimeric berdasarkan LOM strain.  Vaksin ini dibangun dengan mengganti bagian protein kapsid dan glikoprotein Erns full-length dari strain KD26 BVDV menggunakan LOM strain virus CSF. Induk babi di vaksin 3 minggu sebelum inseminasi dan ditantang selama kebuntingan, hasilnya vaksin dapat memberikan perlindungan menyeluruh bagi induk babi bunting dan mencegah penularan vertikal, asupan pakan dan pertambahan berat badan babi normal, usia panen lebih cepat dan produktivitas meningkat secara signifikan jika dibandingkan dengan vaksin LOM yang dilemahkan biasa. Selain itu, hewan yang kebal dan terinfeksi dapat dibedakan dengan mendeteksi antibodi terhadap protein virus CSF dan virus BVD Erns.

Karena galur C tidak dapat membedakan infeksi dari inokulasi serologis, maka vaksin dengan prinsip DIVA dibuat dengan 3 strain mutan rHCLV-E2F117A, rHCLV-E2G119A, dan rHCLV-E2P122A yang menggantikan daerah pHCLV yang sesuai dengan 3 gen fusi yang mengandung mutasi asam amino tunggal 117F, 119G, atau 122P pada epitop pengenalan mAb HQ06. Oleh karena itu, hewan yang diimunisasi dengan strain C dapat dibedakan dengan mendeteksi antibodi terhadap epitop antibodi monoklonal mAb HQ06 yang diakui.

Studi menarik lainnya mengembangkan penanda antigenik ganda strain CSF yang dilemahkan, vaksin FlagT4v dengan menghapus epitop spesifik CSF yang sangat terkonservasi dan memasukkan epitop sintetis Flag®. Namun dalam prakteknya di lapangan, vaksin kembali ke virulensinya selama beberapa generasi ternak babi secara berturut-turut. Lalu para peneliti melakukan perbaikan dan membuat virus baru dengan stabilitas genetik yang lebih tinggi, FlagT4Gv yang akhirnya mampu memberikan perlindungan yang memadai terhadap serangan virus CSF pada 3-7 hari pasca vaksinasi.

2.2 Vektor vaksin  

Vektor virus efektif untuk mengekspresikan protein asing, yaitu dengan memasukkan gen antigen pelindung eksogen ke dalam genom virus untuk mendapatkan virus rekombinan, imunisasi pada ternak akan menginduksi respon imun pada organisme. Beberapa vektor vaksin masih dalam proses penelitian lebih lanjut, antara lain sbb :

Adenovirus rekombinan adalah sistem pengiriman dan ekspresi gen universal. Penelitian telah menunjukkan bahwa adenovirus adalah vektor yang baik untuk persiapan vaksin.  Vektor vaksin chimeric replika adenovirus / SFV (rAdV-SFV-E2) yang dikembangkan mampu menginduksi antibodi khusus untuk CSF dan memberikan kekebalan aseptik dan perlindungan lengkap terhadap serangan mematikan. Penelitian tentang vaksin ini menunjukkan bahwa (1) vaksin aman untuk tikus, kelinci, dan babi (2) memberikan perlindungan lengkap terhadap tantangan virus CSF yang mematikan (3) antibodi yang diturunkan dari induk tidak memiliki efek penghambatan terhadap keampuhan vaksin (4) vaksin tidak menginduksi kekebalan anti-vektor yang mengganggu (5) jika dikombinasikan dengan vaksin pseudorabies tidak saling mengganggu. Dari data eksperimen ini menunjukkan bahwa vaksin vektor chimeric rAdV-SFV-E2 adalah vaksin penanda CSF yang menjanjikan.

Rekombinan pseudorabies virus (PRV) digunakan sebagai vektor vaksin yang mengekspresikan gen asing dan dapat digunakan untuk mengembangkan vaksin polivalen melawan pseudorabies dan penyakit lainnya. Virus rekombinan rPRVTJ-delgE/gI/TK-E2 dapat digunakan untuk mengembangkan vaksin bivalen melawan virus CSF dan PRV. Kemudian, tim peneliti selanjutnya memverifikasi kemungkinan penyiapan vaksin trivalen, untuk kombinasi proteksi terhadap CSF, PRV dan Porcine Circovirus tipe 2.

Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa virus Porcine Reproductive and respiratory Syndrome (PRRS) juga dapat digunakan sebagai vektor vaksin. Hasilnya menunjukkan bahwa virus rekombinan rPRRSV-E2 dapat ditransmisikan secara stabil setidaknya 25 kali dalam sel MARC-145. Injeksi vaksin rPRRSV-E2 intramuskular dosis tunggal dapat melindungi anak babi dari tantangan mematikan yang sangat patogen dari virus HP-PRRS dan CSF. Durasi imun bertahan sampai 5 bulan dan antibodi induk (MDA) yang sudah ada sebelumnya tidak  mempengaruhi efek kekebalan dari vaksin rPRRSV-E2.

Virus cacar pada babi (Swine Pox Virus) memiliki kapasitas pengemasan yang kuat untuk DNA rekombinan dan bisa mengkodekan sejumlah besar protein rekombinan yang dapat menginduksi respon imun serta dapat digunakan untuk mengembangkan vaksin rekombinan. Ekspresi protein CSFV E2 dalam virus cacar babi memberikan imunogenisitas pada babi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rSPV-E2 dapat menginduksi respon imun humoral dan seluler serta melindungi babi dari viremia. Ini juga termasuk calon vaksin yang menjanjikan.

Recombinant Newcastle disease virus (rNDV) telah terbukti menjadi vektor yang mengekspresikan gen asing dari virus hewan.  Recombinant Newcastle disease virus (rNDV) dipakai untuk mengekspresikan protein E2 dan Erns dari CSF dalam kultur sel dan embrio ayam. Vaksin rNDV-E2 dan rNDV-Erns menginduksi antibodi pada babi dengan vaksinasi intranasal, dan uji ELISA berdasarkan protein E2 dan Erns yang diekspresikan oleh rNDV dapat digunakan untuk menyaring infeksi CSFV dan membedakan babi yang terinfeksi CSFV dari babi yang divaksinasi.

Dalam penelitian lain, potensi galur C sebagai vektor vaksin virus sedang dievaluasi. Antibodi terhadap CSFV dan PCV terdeteksi pada kelinci yang diinokulasi dengan rHCLV-uspCap dan rHCLV-pspCap. Sebaliknya, hanya antibodi CSFV yang terdeteksi pada kelinci yang divaksin dengan rHCLV-2ACap, dan tidak ada antibodi anti-Cap.

2.3 Vaksin Sub unit
Vaksin CSF strain C adalah vaksin hidup klasik, tetapi dengan meningkatnya kompleksitas lingkungan perkembangbiakan di Cina, cacat dan kekurangannya seperti kuantifikasi antigen yang sulit, gangguan serius antibodi pada induk, toleransi kekebalan, dan ketidakmampuan untuk membedakan diagnosis telah menjadi semakin terlihat. Rekayasa genetik subunit vaksin adalah solusi yang baik untuk masalah ini, dengan tingkat antibodi yang tinggi, identifikasi yang mudah, dan keseragaman antibodi yang baik, yang merupakan satu-satunya cara untuk memberantas virus CSF di masa depan.

Vaksin sub unit mengacu pada jenis vaksin baru di mana urutan asam nukleat dari antigen yang dilestarikan dari mikroorganisme patogen dikloning menjadi bakteri atau sel melalui rekayasa genetika. Protein antigen diekspresikan secara efisien dan digunakan dalam kombinasi dengan adjuvant vaksin. E2, protein struktural virus CSF, memiliki karakteristik antigenik yang baik dan terkait dengan menginduksi tubuh untuk menghasilkan antibodi, yang telah banyak digunakan untuk mengembangkan vaksin subunit, dan dapat mewujudkan strategi DIVA untuk antibodi Erns atau NS3.

Kesimpulan

Dalam beberapa tahun terakhir, karakteristik epidemi, gejala klinis, dan perubahan patologis CSF telah berubah secara bertahap, ditandai dengan morbiditas dan mortalitas yang rendah, infeksi resesif, infeksi campuran, dan epidemi regional sporadis. Perubahan ini sangat membatasi perkembangan industri babi di Cina dan membawa tantangan yang signifikan terhadap pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan CSF dan juga ASF, dimana gejala klinis yang muncul sangat mirip.

Untuk waktu yang lama, vaksinasi skala besar dari vaksin hidup yang dilemahkan secara efektif mengendalikan penyebaran CSF. Namun, karena kurangnya penanda serum yang cocok untuk vaksin hidup yang dilemahkan, sulit untuk membedakan antara hewan yang terinfeksi dan hewan yang divaksinasi, yang menimbulkan kesulitan untuk pemberantasan CSF.

Dalam beberapa tahun terakhir, berbagai lembaga penelitian ilmiah telah mencoba mengeksplorasi kemungkinan vaksin penanda CSF dan telah membuat kemajuan yang baik. Vaksin DIVA yang aman dan efisien dikombinasikan dengan teknik diagnostik yang akurat dan langkah-langkah biosafety diharapkan dapat mengendalikan dan memberantas CSF dengan lebih baik. Ketika virus CSF sudah terkendali dengan vaksin yang baik, maka fokus penanganan terhadap ASF diharapkan juga lebih baik.

Referensi :

  1. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC9026404/ The Development of Classical Swine Fever Marker Vaccine in Recent Years
  2. https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/34066376/ Early and Solid Protection Afforded by the Thiverval Vaccine Provides Novel Vaccination Alternatives Against Classical Swine Fever Virus
Perkembangan African Swine Fever Terkini

Perkembangan African Swine Fever Terkini

Sudah hampir 4 tahun peternakan babi di dunia mengalami cekaman penyakit African Swine Fever (ASF). Di Asia, saat ini situasinya juga masih belum membaik. Thailand dan Malaysia pada akhirnya juga mengalami masalah yang sama setelah mereka mampu bertahan sekian lamanya. Risiko utama penyebaran ASF adalah tindakan biosekuriti yang tidak memadai dan perilaku manusia. Mengingat relatif sulitnya mencapai kondisi ideal dalam pelaksanaan biosekuriti dan terutama kontrol perilaku manusia, maka kebutuhan vaksin yang aman dan efektif tampaknya menjadi tuntutan yang masuk akal untuk pencegahan dan pengendalian ASF.

Virus ASF menyebabkan penyakit hemoragik/perdarahan akut pada babi domestik dengan kematian mendekati 100% dan merupakan ancaman penyakit baru yang paling signifikan pada babi saat ini di dunia. Wabah ASF yang menghancurkan usaha peternakan babi dan epidemi yang berkelanjutan di Kaukasus region dan Rusia (2007 – sampai saat ini) juga menjadikan alasan pentingnya ancaman penyakit ini. Baca juga : Proses Eradikasi ASF di masa lalu

Tidak adanya vaksin ASF yang aman dan efektif sampai saat ini menjadikan proses  depopulasi/stamping out ternak menjadi pilihan terbaik dalam upaya pengendalian penyakit yang efektif sampai saat ini. Sejauh ini, perkembangan dalam penelitian vaksinasi terhadap ASF ini sangat dimungkinkan karena perlindungan terhadap infeksi dengan strain homolog virus ASF telah menunjukkan hasil yang jelas. Namun demikian, pengembangan vaksin ASF ini sedikit terhambat oleh adanya kesenjangan besar dalam pengetahuan tentang proses infeksi virus ASF dan mekanisme kekebalan itu sendiri, serta tingkat variasi strain ASF di alam serta identifikasi protein virus (antigen protektif) yang bertanggung jawab untuk menginduksi respon imun yang mampu menimbulkan kekebalan pada babi.

https://www.fao.org/ag/againfo/programmes/en/empres/ASF/situation_update.html

Melihat peta kasus ASF yang dikeluarkan oleh FAO terupdate (periode laporan 20 januari – 2 Februari 2022), kita bisa melihat bahwa kondisi Thailand saat ini cukup mengkhawatirkan. Philipina, Vietnam dan Malaysia juga masih mengalami masalah yang sama.

Bagaimana dengan Indonesia? Berdasarkan update FAO ini, sejak Kementerian Pertanian melaporkan wabah pertama di Sumatra Utara tahun 2019 sampai Desember 2021 lalu, data resmi kasus ASF terkonfirmasi terjadi di 10 dari 34 provinsi. Ditjen PKH (peternakan dan kesehatan hewan Deptan) terakhir juga mengkonfirmasi kejadian di 6 kabupaten dan 1 kota di Provinsi Kalimantan Barat. Berdasarkan info dari media, kita juga mendapatkan informasi bahwa babi itu berasal dari 2 desa di Kecamatan Awang, Kabupaten Barito Timur. Selain itu, Provinsi Kalimantan Tengah dinyatakan positif ASF serta ada dugaan kasus juga di Kalimantan Utara dan Kalimantan Timur. Media juga melaporkan bahwa bangkai babi hutan dinyatakan positif ASF di Kabupaten Agam, Provinsi Sumatera Barat, banyak babi mati di Kabupaten Tanggamus, Provinsi Lampung, ASF telah terdeteksi pada babi di Kepulauan Riau di Kota Batam serta di Kabupaten Bengkulu Utara, Provinsi Bengkulu.

Perkembangan vaksin ASF.

Sampai saat artikel ini dibagikan, tidak ada vaksin komersial berlisensi untuk penanggulangan kasus ASF di dunia. Namun demikian, para ahli mengatakan bahwa ada kemajuan yang baik dalam proses development vaksin ini. Paul Sundberg (Swine Health Information Center Executive Director) pernah menyatakan bahwa ada banyak pekerjaan yang harus dilakukan terkait proses pembuatan vaksin ASF ini.  Estimasi mungkin dalam waktu 3 tahun, para ahli akan mampu untuk mengamankan vaksin ASF yang aman dan efektif. Prototipe vaksin saat ini sedang diuji di lapangan sekarang.

Mengapa Vaksin ASF sangat sulit dikembangkan? Ini adalah pertanyaan yang mungkin sampai saat ini menjadi tanda tanya besar bagi para pelaku usaha peternakan babi di dunia. Dokter hewan Patrick Webb (acting chief veterinarian for the National Pork Board) menjelaskan bahwa, ASF ini ini adalah virus DNA yang besar. Pertama, para ahli harus mencari tahu protein mana yang harus dipilih yang akhirnya mampu memberikan kekebalan yang dibutuhkan. Selain waktu, dana yang besar juga diperlukan dalam penelitian ini.

Di Eropa, proyek pengembangan vaksin saat ini sudah memperoleh beberapa kandidat yang menjanjikan. USDA juga memiliki platform untuk melakukan uji coba lapangan dan ada beberapa kandidat lain yang sedang memasuki tahap penyelesaian pengembangan atau sedang dalam tahap evaluasi. Namun demikian, proses ini masih memerlukan waktu yang relatif panjang untuk memastikan efikasi dan keamanannya. Saat ini, biosekuriti masih menjadi strategi yang terbaik untuk mencegah virus ASF menghancurkan usaha peternakan babi kita. Baca juga : Biosekuriti di Era new Normal.

Berikut adalah perkembangan hasil penelitian terkait vaksin ASF saat ini yang telah dicapai dalam penelitian, yaitu peneliti USDA telah berhasil mengidentifikasi cell line  yang dapat digunakan untuk produksi vaksin ASF di masa depan. Pada penelitian sebelumnya, beberapa babi yang divaksinasi menjadi sensitif/peka dan menunjukkan reaksi alergi ketika mereka bersentuhan dengan virus lapangan, dan kemudian akan mati lebih cepat dibandingkan kelompok yang tidak divaksinasi. Oleh karena itu, saat ini kandidat vaksin ASF lebih  memanfaatkan teknologi pengeditan/manipulasi gen yang berfokus pada protein spesifik untuk dapat memberikan kekebalan. Para ahli berfokus pada mencari tahu dari mana membuat vaksin dari bagian virus DNA yang besar ini. Mereka sedang berusaha untuk mengembangan vaksin ASF yang aman dan efektif, yang mampu mengendalikan virus lapangan.

Pendekatan vaksin ASF yang saat ini dilakukan antara lain adalah live attenuated ASF vaccine (LAV : virus hidup yang dilemahkan), vaksin killed ASF dan vaksin sub unit ASF. Pendekatan menggunakan LAV mungkin memiliki keunggulan dibandingkan jenis vaksin lainnya, terutama vaksin yang sudah dimodifikasi dengan menghapus gen yang terkait virulensi. Vaksin ini kemungkinan akan digunakan dalam keadaan darurat dan bersyarat di area berbahaya/outbreak jika virus ASF tidak terkendali. Namun demikian, jika kita menggunakan kandidat modified LAV ini maka diperlukan evaluasi klinis yang komprehensif sebelum diaplikasikan di lapangan. Poin terpenting adalah cell line yang stabil untuk pembuatan vaksin, dan kemampuan uji untuk membedakan/differensiasi hewan yang terinfeksi dari hewan yang divaksinasi atau infeksi virus lapangan (strategi DIVA), serta perlindungan silang dari genotipe yang berbeda.

Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) mengembangkan kandidat vaksin eksperimental rekombinan, ASFV-G-ΔI177L. Mereka sudah menghapus gen I177L dari genom strain ASFV pandemi yang sangat ganas (Georgia), yang secara efektif melindungi babi dari virus induknya. Di sini, studi awal menunjukkan bahwa ASFV-G-ΔI177L mampu melindungi babi dari isolat virus ASF virulen yang saat ini beredar dan menyebabkan penyakit di Vietnam dengan tingkat proteksi/efikasi yang sama seperti yang dilaporkan terhadap galur Georgia. Studi perbandingan yang dilakukan dengan menggunakan sejumlah besar babi asal Eropa dan Vietnam menunjukkan bahwa dosis perlindungan minimum 102 HAD50 dari ASFV-G-ΔI177L sama-sama melindungi hewan dari kedua breed. Sejalan dengan hasil tersebut, timbulnya kekebalan pada breed hewan ini menunjukkan munculnya perlindungan pada kira-kira sepertiga hewan pada minggu kedua pasca vaksinasi, dengan perlindungan penuh dicapai pada minggu keempat pasca vaksinasi. Oleh karena itu, hasil yang disajikan di sini menunjukkan bahwa ASFV-G-ΔI177L mampu menginduksi perlindungan terhadap strain virus ASF Vietnam yang virulen dan efektif dalam melindungi breed babi lokal secara efisien yang ditunjukkan sebelumnya untuk babi ras Eropa. Ini adalah laporan pertama yang menunjukkan kemanjuran kandidat vaksin berbasis Georgia 2007 pada babi ras Asia atau ditantang dengan strain virus ASF Asia.

Jadi, perlu digaris bawahi lagi bahwasanya sampai saat ini BELUM ADA vaksin ASF yang terbukti aman dan efektif di lapangan. Ada beberapa kemajuan dalam proses penelitian dan uji coba kandidat vaksin ASF, namun semua masih memerlukan penyempurnaan untuk bisa dikomersialkan. Oleh karena itu, pendekatan biosekuriti untuk area yang masih aman dan stamping out/depopulasi untuk area outbreak ASF masih menjadi pilihan yang paling ideal agar penyebaran virus ASF tidak semakin liar. Kandang yang berada di area komplek peternakan babi tentunya memiliki tingkat resiko yang lebih tinggi dibandingkan lokasi kadang yang soliter, karena pada umumnya masing-masing peternak memiliki pola managemen pemeliharaan dan level biosekuriti yang tidak seragam. Oleh karena itu, tetap waspada dan pastikan kita memperbaiki menajemen pemeliharaan kita serta up grade level biosekuriti di kandang. Jika kita berada dalam area komplek peternakan babi, idealnya dilakukan kesepakatan bersama terkait biosekuriti wilayah sehingga meminimalkan resiko serangan ASF.  Baca juga : Proses repopulasi pasca outbreak ASF

Demikian sekilas update mengenai perkembangan kasus ASF dan juga penelitian vaksin yang sudah dilakukan. Semoga bermanfaat!

Referensi :

  1. https://www.fao.org/ag/againfo/programmes/en/empres/ASF/situation_update.html
  2. https://idpjournal.biomedcentral.com/articles/10.1186/s40249-021-00920-6 Current efforts towards safe and effective live attenuated vaccines against African swine fever: challenges and prospects
  3. https://onlinelibrary.wiley.com/doi/abs/10.1111/tbed.14329 African swine fever virus vaccine candidate ASFV-G-ΔI177L efficiently protects European and native pig breeds against circulating Vietnamese field strain
  4. https://pdf.sciencedirectassets.com/271229/1-s2.0-S0378113517X00084/1-s2.0-S0378113516304539/D_L_Rock_African_swine_fever_2016.pdf?X-Amz-Security-Token=IQoJb3JpZ2luX2VjEDEaCXVzLWVhc3QtMSJIMEYCIQC%2Fo%2FyPV7vGJifO6mXfDlymxNqlaLsZb7f5D68t1zUz%2FwIhAPZlRZoDQhdBrMKFP7dOJeO1oQUQI4h0vqwRQwQhVsvSKvoDCHoQBBoMMDU5MDAzNTQ2ODY1IgxiPYSH78XfyXno5F8q1wPn7%2F1DtvIXZ4WUMS62IFjmwKwXqdXBnc6vMwWxJMrWfpe7nrGzUG3W%2BbAEzw3F78redvghvQlBE944E6aFO9HWBWmn%2F6s4ZIE%2BodyNlS2Uz5Tqqc2aITr7OlK3jI0DAxH0dL0ZTzJ%2BquqBzNcMPJW7fclKT47rroeVOeM63AZB7WFsAxf45bEL5LwQpmuJBiw2aS0tAL1HDTr3hx3L3VklRLpZs%2FcunaZHkk9xAm5Pcdhna%2FpAnXdS%2BWSMm99xNfuq0%2FvDG3MwtCxXj2h%2BTkuqcWsJmMq%2FjWBELa4vo5XTFPzD31ED%2FInzYZv%2BTi1AER%2BLSpbGzMLnfEAomdtNR2w3inSce%2Fj%2F5aufVMoQ5cXOYDq8qGT2oSr0HXtc1stAiciXee%2Bk48EcrX1SaHAJHPMrGoSjluqQUTQCJPH7zNnm8f4XECF9ul%2BZbX%2B8r8QmSC5PFBGfPoMObA%2BfwvIqd%2F2OLNqIkdo10DyEO0VxPMvRqAHEy4bt5p%2BsPkMCG1Yphp5yu3E%2Bjz%2BxOBYg61IzgUdXeuVMWrR1CQPVS3pJigr4ZqMjOM%2B9K6mMSRwRjDO2xjm6Ou2VMnI3TuhYehVxFkZtibyUugF9CyE5d8Ks5NdgyJpAlGeHfnEwpeGkkAY6pAEhRHEIHH%2BhfNpvBk0Tn8WQHKLwLr6IfR3bpUtRyX%2FczOsXMZOVbcijgei6byu8AqBlwqPr0uyc3lUhkAVHpRFAKes40rnlrbRoHwm4Upa7JhKzO1jfc2OA7sX0RFDnfSc3yyy0EgVIuIT7Gq4WZqFZ%2BoEKyl%2FeR5MnJ7M78ZDD1CNwsT%2FllatKrQKRKB9WucPqieyP94dWZ1dJxVYgsu39O4gbTQ%3D%3D&X-Amz-Algorithm=AWS4-HMAC-SHA256&X-Amz-Date=20220213T172918Z&X-Amz-SignedHeaders=host&X-Amz-Expires=300&X-Amz-Credential=ASIAQ3PHCVTY76ISKG4U%2F20220213%2Fus-east-1%2Fs3%2Faws4_request&X-Amz-Signature=ec88ad4981ff707268fd880edcb8d9832ca45c41cf234bce24da9e574867976d&hash=0a0ce68e65fdf25fbf0f2856a4b9c8e03578fcf553ce06dff09504eb8dd68c74&host=68042c943591013ac2b2430a89b270f6af2c76d8dfd086a07176afe7c76c2c61&pii=S0378113516304539&tid=pdf-eec5265b-6e9a-498f-86ed-ee04acff67da&sid=d7b69fc29ede624c946909f0433246f45279gxrqb&type=client
  5. https://www.porkbusiness.com/news/industry/asf-vaccines-waiting-game-almost-over
  6. https://www.pigprogress.net/health-nutrition/asf-vietnam-experimental-vaccine-proves-efficacy/
  7. https://www.foodsafetynews.com/2021/10/vaccine-finally-offers-pork-producers-a-defense-against-african-swine-fever-virus/
  8. https://www.ars.usda.gov/news-events/news/research-news/2021/usdas-vaccine-candidate-successful-in-blocking-spread-of-african-swine-fever-virus/
  9. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC8704102/Prevention and Control Strategies of African Swine Fever and Progress on Pig Farm Repopulation in China
Perkembangan Vaksin ASF

Perkembangan Vaksin ASF

Kasus African Swine Fever (ASF) di Asia sudah berjalan hampir 3 tahun ini sejak pertama kali ditemukan di China Agustus 2018 lalu. Namun demikian, tanda-tanda perkembangan penelitian vaksin sepertinya masih belum sesuai harapan dan peternak dibuat galau menunggu. Kenyataan bahwa ASF sudah ditemukan sejak tahun 1910 di Kenya Afrika tidak serta merta membuatnya menjadi prioritas utama dalam pengembangan vaksin. Negara-negara di Eropa lebih mengutamakan biosekuriti dalam upaya penaanggulangan ASF selama ini, sedangkan negara-negara di Asia harus berjuang ekstra keras untuk melawan ganasnya serangan virus ASF, termasuk negara kita. Perbedaan sistem pemeliharaan di Asia yang didominasi backyard farm membuat ASF seperti dengan mudahnya menyerang karena lemahnya biosekuriti dan juga kondisi peternakan yang umumnya saling berdekatan dalam suatu kompleks. Berikut adalah laporan update laporan perkembangan penyebaran kasus ASF periode 1-15 april 2021 :

Lalu apa sebenarnya yang membuat vaksin ASF belum ada sampai saat ini? Mari kita coba belajar bersama mengenai hal ini.

Epidemiologi. Periode panjang kejadian ASF di Afrika kemungkinan telah menyebabkan terjadinya variasi virus dengan berbagai tingkat virulensi / keganasan. Ada 23 Genotipe virus ASF yang berbeda telah berhasil di identifikasi oleh para ahli dengan area geografis yang berbeda dalam waktu yang lama di Afrika. Babi Hutan / liar di Afrika yang sudah terinfeksi ASF dalam jangka panjang akhirnya sudah “kebal” dengan virus ini. Babi ini walaupun terpapar oleh virus ASF tidak menunjukkan gejala klinis (subklinis dan asimptomatik).

ASF hanya mempengaruhi spesies dalam family suidae, baik babi liar maupun domestik dari semua ras dan usia. Saat ASF pertama masuk ke Eropa tahu 1950an, babi hutan / liarnya (Sus scrofa) dan babi domestiknya yang masih FREE ASF akhirnya mengalami wabah seperti yang dialami Asia saat ini. Babi hutan / liar di Eropa saat itu masih sangat rentan terhadap virus ASF dan menunjukkan gejala klinis yang sama dan mematikan seperti kejadian pada babi domestik. Saat itu, banyak negara di Eropa menerapkan startegi biosekuriti ketat dan depopulasi total untuk peternakan domestik yang terdampak ASF. Hal ini tentunya bertujuan untuk eliminasi virus ASF di lapangan dan menghindari adanya babi carrier yang berpotensi sebagai sumber penularan. Opsi penggunaan vaksin sempat dilakukan di Spanyol tetapi berakibat sulitnya eliminasi virus ASF tersebut. Karena penggunaan vaksin yang belum teruji keamanan dan keampuhannya ini, maka penyebaran virus menjadi sulit dikendalikan dan memerlukan waktu 30 tahun untuk proses eliminasinya. Oleh karena itu, penerapan strategi deteksi dini, depopulasi dan biosekuriti ketat menjadi pilihan negara-negara Eropa dan terbukti berhasil mengendalikan penyebaran ASF di peternakan domestik dalam jangka waktu yang cukup lama. Baca juga : Pengendalian Penyakit ASF di Masa Lalu.

Tahun 2007 ASF kembali muncul di Eropa (Georgia) dan dari tahun ke tahun ternyata kejadian ASF semakin meluas. Mengingat situasi yang semakin berbahaya ini, maka tahun 2017 diputuskanlah untuk memulai proyek pengembangan vaksin ASF oleh European Commission (Kesehatan dan keamanan pangan) dengan target 8-10 tahun. Artinya proses penemuan vaksin yang aman dan ampuh ini ditargetkan terwujud paling cepat pada tahun 2025. Penelitian ini melibatkan beberapa ahli dan laboratorium di seluruh dunia sebagai upaya untuk mendapatkan vaksin ASF yang aman dan ampuh. Semoga berhasil ya, karena kita sudah beberapa kali mendengar adanya informasi progress pengembangan vaksin yang baik dalam 2 tahun terakhir.

Terkait kejadian di peternakan babi domestik, ini umumnya terjadi pada kandang yang masih menerapkan sistem free range. Sistem ini tentunya lebih rentan dengan kontak langsung dengan babi hutan / liar yang kemungkinan besar sudah positif ASF. Jadi skenario epidemiologi yang terjadi di Eropa ini terjadi kemungkinan karena tidak adanya upaya pengendalian dan kontrol ASF terhadap babi hutan / liar. Penyebaran virus diantara babi hutan / liar sulit terdeteksi, sehingga terjadi peningkatan jumlah hewan pembawa yang menjadi reservoar / sumber penularan diantara populasi tersebut. Berikut adalah gambaran epidemiologi / perkembangan kasus ASF di Eropa yang memperlihatkan peningkatan kasus ASF dari tahun ke tahun.

Mutasi virus ASF di China. Dari update penelitian terbaru, dilaporkan bahwa pengawasan terhadap virus ASF di 7 propinsi Cina, dari periode Juni – Desember 2020 ditemukan ada sebanyak 22 virus ASF jenis baru. Semua virus ASF yang berhasil diisolasi ini dicirikan dan termasuk dalam genotipe II, tetapi menunjukkan gambaran mutasi, penghapusan, penyisipan, atau penggantian fragmen pendek yang terjadi di semua isolat. Hal ini berbeda dengan virus ASF yang berhasil diisolasi pada awal kejadian di Cina, yaitu Pig/HLJ/2018 (HLJ/18).

Proses panjang dan tantangan infeksi yang terus-menerus, mengakibatkan ternak babi bertindak sebagai reservoir virus dan menyebabkan infeksi terus-menerus selama hidupnya. Hal ini bisa terjadi dalam kondisi outbreak yang meninggalkan populasi yang selamat sebagai hewan carrier ataupun penggunaan vaksin yang belum terbukti keamanan dan keampuhannya. Inilah gambaran yang juga terjadi di Cina, dimana penelitian juga berhasil mengidentifikasi virus ASF yang kehilangan 2 gennya (double gen deleted). Proses ini tentunya bukan merupakan mutasi alamiah yang dimungkinkan terjadi pada virus, melainkan ini diyakini merupakan hasil intervensi manusia. Ada oknum yang berusaha memproduksi vaksin dengan memanipulasi gen virus ASF tetapi proses pembuatannya tidak sempurna sehingga mengakibatkan virus yang disuntikkan tersebut akhirnya “terlepas” ke lingkungan dan menjadi strain baru yang menyulitkan dalam monitoring dan pengendaliannya.

Temuan virus vaksin ilegal ini kemudian diteliti lebih jauh terkait dampaknya di peternakan. Vaksin double gene deleted ini menimbulkan efek samping berupa gejala yang mirip dengan penyakit PRRS (Porcine Reproductive and Respiratory Syndrome). Gangguan yang ditimbulkan pada breeding meliputi stillbirth, mumifikasi, embryonic death, infertilitas dan aborsi, serta terkadang juga berakhir dengan kematian (walaupun sedikit). Untuk kejadian di anakan babi umumnya lahir lemah dan yang bisa bertahan sampai periode grower dan finisher akan mengeluarkan virus terus-menerus dan sehingga menjadi sumber penularan yang berbahaya. Peternak akhirnya juga mengalami kesulitan membedakan antara kasus PRRS dengan PRRS like karena vaksin ilegal ini. Bentuk kronis ini bisa mengganggu sistem kekebalan tubuh ternak. Lesi yang terlihat umumnya berupa infark dan juga perubahan pada limpoglandula dan ginjal, sedangkan secara mikroskopis akan terlihat kerusakan jaringan dan perdarahan pada berbagai organ.

Penggunaan ilegal vaksin secara umum memang bisa memunculkan antibodi untuk melawan ASF setelah 2-3 minggu pelaksanaan vaksinasi, tetapi ini ternyata terjadi hanya pada sebagian ternak babi saja. Kondisi outbreak ASF bisa meninggalkan 5-20% ternak yang selamat. Namun, selain terbentuknya antibodi dalam tubuh survival tadi ternyata didalam tubuh ternak tersebut juga ditemukan adanya virus ASF (wild type). Kondisi ini bisa terjadi dalam beberapa minggu bahkan beberapa bulan setelah paparan virus ASF. Selain ditemukan didalam darah, wild type virus ini juga bisa terdeteksi di jaringan.

Mekanisme sistem kekebalan yang belum sepenuhnya dipahami ini juga menjadi alasan mengapa vaksin ASF yang aman dan ampuh sampai saat ini belum bisa ditemukan. Harbin veterinary research juga sedang melakukan penelitian terkait vaksin attenuated dengan memotong 7 gen dari virus ASF, namun mereka tidak mau terburu-buru untuk melakukan produksi masal untuk komersial sebelum berhasil lolos uji keamanan yang diwajibkan oleh otoritas yang berwenang.

Februari lalu, Navetco National Veterinary JSC yang berada dibawah Departemen Pertanian Vietnam, juga mengumumkan hasil yang menggembirakan berkenaan dengan keberhasilan uji coba vaksin ASF mereka. Penelitian yang bekerja sama dengan USDA (Departemen Pertanian Amerika Serikat) ini mencatatkan 5x trial dengan tingkat proteksi 94,7%. Namun demikian, mereka menyatakan bahwa masih ada tantangan untuk memproduksi vaksin ini dalam skala besar. Selain terkait biaya produksi, memastikan kualitas produk yang konsisten dengan menjaga kemurnian untuk menghindari efek samping juga menjadi perhatian besar. Jadi, sekali lagi masalah safety / keamanan masih menjadi issue yang harus diselesaikan sebelum melangkah ke tahapan pengembangan vaksin selanjutnya.

ASF Alert. Setelah adanya publikasi bahwa ada mutasi virus ASF di China, maka FAO dan OIE mengeluarkan surat tentang adanya “atypical ASF Strain” ini pada tanggal 29 Maret 2021 untuk meningkatkan kewaspadaan para pelaku usaha peternakan babi, terutama terhadap bahaya penggunaan vaksin ilegal ini. Dengan tegas mereka menyatakan bahwa :

  1. BELUM ADA satupun vaksin ASF yang direstui di dunia ini, yang bisa membuktikan dengan kelengkapan bukti data safety dan efficacy. Jadi, jika dilapangan anda menemukan adanya vaksin ASF dalam bentuk apapun yang ditawarkan, maka itu adalah vaksin palsu ataupun vaksin yang berisi virus ASF yang tidak stabil / proses pelemahannya tidak sempurna yang beresiko mencemari lingkungan dan berpotesi menjadi sumber penyebaran virus ASF.
  2. BIOSEKURITI tetap menjadi strategi pengendalian dan kontrol ASF yang terbukti efektif. Kombinasi antara upaya deteksi dini dan respon cepat menjadi kunci dalam mencegah penyebaran virus ASF. Pengawasan ketat di perbatasan harus dimaksimalkan, sedangkan pengawasan lalu lintas pergerakan babi hutan / liar masih memerlukan usaha yang ekstra.
  3. Penggunaan vaksin yang belum teruji keefektifan dan keamanannya akan menimbulkan dampak besar bagi industri peternakan babi dan berpotensi mengganggu usaha pengendalian dan kontrol ASF di level negara dan internasional. Vaksin ASF yang saat ini beredar tidak akan mampu melindungi ternak babi secara penuh dan beresiko menjadi sumber penularan kepada peternakan lainnya. Efek buruk penggunaan vaksin ilegal ini bisa teramati di fase penggemukan dan breeding. Selain itu, angka kejadian kasus ASF bentuk kronis juga akan meningkat sehingga semakin menyulitkan dalam mengidentifikasi dan mengeliminasi virus ini. Jika ternyata proses pembuatan vaksin tidak benar maka juga akan berpotensi terjadinya kontaminasi patogen lain yang akan meningkatkan resiko penularan penyakit yang lain.
  4. Penggunaan vaksin ilegal ini akan meningkatkan resiko dalam jangka panjang. Semua vaksin harus melewati tahapan uji yang ketat untuk memastikan keamanan dan keampuhannya, serta harus melalui persetujuan dari pihak-pihak yang berwenang sebelum kemudian menjadi produk final yang berbukti klinis aman dan ampuh. Jika vaksin yang dibuat ini merupakan virus hidup yang dilemahkan (attenuated) tetapi tidak melewati uji keamanan dan keampuhan maka bisa mengakibatkan terulangnya sejarah kelam di Spanyol dan Portugal pada tahun 1960an, dimana vaksin ilegal akhirnya membuat proses eradikasi memakan waktu sekitar 30 tahun.
  5. Temuan ASF “jenis baru” ini entah karena penggunaan ilegal vaksin ataupun mutasi alami akan mengakibatkan kajian epidemiologi menjadi semakin sulit. Jika gejala klinis berubah menjadi bentuk kronis atau tanpa gejala maka tindakan deteksi dini, surveilence dan upaya pencegahan menjadi terlambat.

Terlampir adalah surat resmi berkenaan dengan ditemukannya mutasi virus ASF :

Nah, bagaimana…apakah kita sudah memiliki sudut pandang yang positif dari perkembangan vaksin ASF saat ini. Vaksin yang aman dan ampuh pasti akan ditemukan, namun kita memang harus lebih bersabar dan tetap menunggu dengan sikap optimis. Proses penelitian dan uji-uji klinis masih terus berjalan dan memerlukan waktu untuk memastikan industri ini mendapatkan vaksin yang aman dan ampuh tanpa efek samping yang membahayakan. Jangan tergoda untuk mencoba menggunakan vaksin ilegal demi kelangsungan industri babi yang berkelanjutan. Pastikan kita meningkatkan kemampuan deteksi dini dan juga meningkatkan fasilitas kandang terutama menyangkut biosekuriti, karena hanya dengan cara inilah kita bisa mengupayakan pengendalian dan kontrol ASF dengan cara yang baik. Baca juga : Pentingnya Biosekuriti pada Peternakan Babi. dan Bioosekuriti di Era New Normal.

Sukses selalu.

Referensi :

  1. Events detail (gf-tads.org)
  2. African_swine_fever_virus_virion_TEM.jpg (625×625) (wikimedia.org)
  3. Emergence and prevalence of naturally occurring lower virulent African swine fever viruses in domestic pigs in China in 2020 (sciengine.com)
  4. PigProgress – ASFv mutation in China: What does it mean on-farm?
  5. PigProgress – ASF China: Mutations confirmed by Chinese scientists
  6. ASF vaccine on track for unveiling (vir.com.vn)
  7. African Swine Fever – Generalized Conditions – Merck Veterinary Manual (merckvetmanual.com)
  8. African swine fever: OIE – World Organisation for Animal Health
  9. cff_animal_vet-progs_asf_blue-print-road-map.pdf (europa.eu)
error: Content is protected !!