Brucellosis pada Sapi

Brucellosis pada Sapi

Brucellosis merupakan penyakit bakteri yang disebabkan oleh Brucella sp., yang terutama menginfeksi sapi, babi, kambing, domba dan anjing. Brucellosis bersifat zoonosis, dan manusia umumnya tertular melalui kontak langsung dengan hewan yang terinfeksi, makan atau minum produk hewani yang terkontaminasi, atau dengan menghirup bakteri yang ditularkan melalui udara. Namun, sebagian besar kasus pada manusia disebabkan oleh konsumsi susu atau keju yang tidak dipasteurisasi dari kambing atau domba yang terinfeksi. Gejala brucellosis pada manusia antara lain demam, berkeringat, anoreksia, malaise, penurunan berat badan, depresi, sakit kepala, dan nyeri sendi.

 Brucellosis adalah salah satu penyakit zoonosis yang paling luas ditularkan melalui hewan dan di daerah endemik, brucellosis pada manusia mempunyai konsekuensi kesehatan masyarakat yang serius. Perluasan industri peternakan dan urbanisasi, serta kurangnya tindakan higienis dalam peternakan dan penanganan makanan, turut menyebabkan brucellosis tetap menjadi bahaya kesehatan masyarakat.

Penyebab

Brucellosis disebabkan oleh bakteri Brucella abortus yang terdiri dari 8 biovar (1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, dan 9) berdasarkan sebaran geografis. Brucella abortus menyebabkan penyakit terutama pada sapi, domba, kambing, dan hewan peliharaan lainnya.  Sapi juga bisa terinfeksi Brucella suis dan Brucella melitensis ketika ternak ini berada pada pada tempat penggembalaan bersama babi, kambing, atau domba yang terinfeksi. Brucella abortus adalah bakteri intraseluler kecil, Gram-negatif, dan fakultatif.

Gejala Klinis

Gejala utama adalah terjadinya aborsi pada tahap akhir kebuntingan pada sapi betina, serta orchitis dan bursitis pada sapi jantan. Infeksi ini dapat menyebabkan aborsi, anak lahir mati, retensi plasenta, prematur dan kelemahan pada anak sapi. Retensi selaput fetus dan endometritis umumnya adalah akibat lanjutan setelah kejadian aborsi, sedangkan higroma pada sendi kaki sapi  merupakan tanda khas akibat infeksi kronis Brucella sp.

Penularan 

Brucellosis biasanya ditularkan ke sapi lain melalui interaksi langsung atau tidak langsung dengan sapi yang sakit atau kotorannya. Konsumsi pakan, air minum, atau koilostrum yang terkontaminasi bakteri saat proses kelahiran atau induk sapi  menjilati anaknya yang baru lahir bisa menjadi rute penularan juga karena cairan uterus mungkin memiliki tingkat bakteri yang sangat tinggi dan merupakan sumber utama infeksi.  Brucellosis jarang menular melalui proses kawin alami pada sapi, namun inseminasi buatan (IB) terbukti menyebarkan infeksi dari sapi yang terinfeksi ke sapi yang sehat.

Manusia biasanya tertular melalui konsumsi susu atau produk susu yang tidak dipasteurisasi. Interaksi mukosa dengan cairan atau jaringan fetus yang abortus dari sapi yang sakit juga dapat menjadi sumber penyakit pada manusia sehingga pekerja rumah potong hewan, peternakan, dan laboratorium, serta dokter hewan memiliki resiko tinggi terinfeksi.

Faktor Resiko

Faktor resiko umumnya dipengaruhi oleh berbagai hal yang berhubungan dengan sistem manajemen, inang, dan lingkungan. Hal ini mencakup umur, jenis kelamin, dan ras sapi (ada anggapan ras campuran lebih rentan), ukuran dan jenis ternak, serta agroekologi.

Umur menjadi faktor intrinsik, dimana seroprevalensinya lebih tinggi ditemukan pada sapi dewasa dibandingkan pada sapi muda dimana bakteri akan tumbuh karena adanya konsentrasi eritriol yang dihasilkan fetus sapi didalam rahim. Sapi betina lebih besar kemungkinannya terkena infeksi dibandingkan sapi jantan sehingga gejala seperti epididimitis dan orchitis pada pejantan relatif lebih mudah diatasi. Pada sapi betina yang tidak bunting brucellosis bisa menjadi kronis, carrier dan sulit diidentifikasi dengan metode serologis standar.

Terkait kawanan, populasi besar cinderung memiliki resiko penularan yang relatif besar jika tidak menerapkan managemen yang baik. Interaksi antar ternak, kompleks peternakan atau penggunaan lahan penggembalaan bersama, serta teknik pembersihan dan disinfeksi yang tidak memadai akan memicu tingginya kasus bucellosis jika ada ternak yang terinfeksi.

Penggembalaan beberapa spesies ternak dalam satu kawasan juga menjadi faktor resiko brucellosis, meskipun tidak ada indikasi kerentanan yang lebih tinggi pada spesies tertentu.  Kejadian brucellosis sendiri jarang menyebar dari ruminansia kecil ke sapi, namun demikian ancaman terhadap peternakan sapi yang juga memelihara ruminansia kecil dilokasi yang sama menunjukkan bukti bahwa beberapa kasus mungkin berasal dari ruminansia kecil, karena ternyata B. melitensis biovar 3 telah diisolasi dari air susu sapi.

Sapi perah mempunyai kemungkinan yang jauh lebih besar untuk tidak hanya tertular infeksi Brucellosis namun juga menyebarkannya lebih cepat dibandingkan sapi potong. Sapi yang dipelihara di area kecil akan lebih mudah terjadi kontak  satu sama lain saat diberi pakan dan diperah. Selain itu, jika kondisi peternakan tidak nyaman, sapi perah akan mengalami stres sehingga hal ini lebih kondusif bagi infeksi Brucellosis. Sebagian besar penyakit menular pada ternak yang sebelumnya bebas brucellosis dimulai dengan aktifitas pembelian sapi yang sakit/carrier. Oleh karena itu, pastikan kita membeli dari peternak yang mempunyai reputasi baik dan terpercaya.

Agroekologi juga diakui sebagai faktor resiko infeksi Brucellosis. Prevalensi yang lebih tinggi umumnya terjadi di daerah yang  kering, karena kurangnya padang rumput menyebabkan ternak terkonsentrasi atau ditempatkan dilokasi yang memungkinkan interaksi antar ternak yang tidak terkendali.  Selain itu, kemungkinan besar terjadi penularan melalui penghirupan aerosol dari debu yang terkontaminasi dari cairan fetus atau aborsi dari ternak yang terinfeksi. Pengelolaan intensif dengan managemen pemeliharaan yang baik idealnya akan mengurangi resiko penularan penyakit karena proses pengelolaan aborsi, identifikasi ternak yang sakit, serta interaksi antar ternak bisa dimonitor dan dibatasi.

Diagnosa

Brucellosis tidak dapat didiagnosis hanya berdasarkan gejalanya saja, sehingga perlu dilakukan pengujian laboratorium terhadap sampel darah atau air susu, serta uji kultur dari selaput fetus, leleran vagina atau air susu dari sapi yang terinfeksi.

Diagnosa langsung. 

Dapat dipastikan dengan ditemukannya bakteri pada preparat apus dengan pewarnaan mikroskopis. Preparat apus dapat dibuat dari sekret vagina, plasenta, kolostrum, cairan lambung fetus, lokia sapi yang diaborsi, atau abomasum fetus yang diaborsi, dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen (MZN) yang dimodifikasi, dengan hasil tampak  coccobacilli intraseluler berwarna merah atau berbentuk batang, sedangkan bakteri lain berwarna biru.

Semua strain Brucella tumbuh relatif lambat dan karena spesimen yang diisolasi seringkali sangat terkontaminasi, maka  penggunaan media selektif (media Farrell, media Brucella albimi) sangat dianjurkan untuk proses inkubasi.  Sampel yang dapat digunakan untuk isolasi B. abortus antara lain cairan lambung fetus, limpa, hati, plasenta, lokia, air susu (kolostrum atau air susu dalam waktu seminggu setelah melahirkan), air mani, dan kelenjar getah bening (limpoglandula supramammary untuk infeksi laten/kronis dan limpoglandula retrofaringeal untuk infeksi awal). Jika reaksi serologis diduga disebabkan oleh strain vaksin S19, maka kelenjar getah bening prescapular juga harus diambil. Semua isolat kemudian dikirim ke laboratorium yang memiliki fasilitas biotyping.

Diagnosis Tidak Langsung

Jika tidak ada fasilitas kultur bakteri, diagnosa brucell0sis biasanya didasarkan pada uji serologis, dengan berbagai uji aglutinasi seperti Rose Bengal Plate Test (RBPT), uji aglutinasi serum, dan antiglobulin. Deteksi antibodi merupakan metode yang lebih sensitif dan dapat digunakan untuk monitoring suatu kawanan. Uji Indirect Elisa (i-ELISA) dan Competitive Elisa (c-ELISA) juga bisa digunakan untuk konfirmasi diagnosa brucellosis.

RBPT adalah tes yang sangat sensitif yang digunakan untuk skrining sampel serum, cepat, murah dan mudah dilakukan namun metode ini tidak dapat membedakan antara reaksi lapangan dan strain vaksin S19. Diagnosa bisa dipengaruhi oleh adanya reaksi silang yang memberikan hasil tes serologis positif palsu hasil vaksin S19 atau bakteri gram negatif lain yang memiliki epitop serupa. Bakteri B. abortus O-chain polysaccharides, Yersinia enterocolitica 0:9Escherichia coli 0157:H7Salmonella group N (0:30), Francisella tularemiaStenotrophomonas maltophiliaPasteurella sp., dan Vibrio cholera  dapat bereaksi dalam uji serologis ini. Oleh karena itu, reaksi positif ini harus ditindaklanjuti dengan konfirmasi serologi yang sesuai dan/atau penyelidikan epidemiologi lebih lanjut. The complement fixation test (CFT) adalah tes yang paling umum digunakan untuk konfirmasi serologis kasus brucellosis pada sapi dan direkomendasikan oleh Organisasi Kesehatan Hewan Dunia ketika uji RBPT positif. Uji CFT didasarkan pada deteksi antibodi IgM dan IgG1.

Spesifisitas c-ELISA adalah sangat tinggi dan mampu mengidentifikasi semua isotop antibodi (IgM, IgG1, IgG2, dan IgA). c-ELISA memiliki spesifisitas diagnostik yang tinggi (100%) dan sensitivitas 98,8%, sehingga dianggap sebagai uji yang paling tes spesifik. Uji i-ELISA juga telah digunakan untuk diagnosis serologis serum atau air susu sapi, serta sensitif dan  spesifik untuk B. abortus atau B. melitensis, namun tidak mampu membedakan antibodi yang diinduksi oleh strain vaksin S19 atau Rev1. Sensitivitas i-ELISA bervariasi dari 96-100% dan spesifisitasnya dari 93,8-100%. Uji konfirmasi ini harus menunjukkan tingkat spesifisitas diagnostik yang tinggi dan mempertahankan sensitivitas yang efektif untuk mengurangi jumlah reaksi positif palsu hingga paling minimum.

Baca juga : 5 Penyakit penting pada sapi perah

Pencegahan/Pengobatan

Pengobatan brucellosis yang dilakukan di lapangan umumnya tidak efektif karena bersifat intraseluler, yaitu bakteri dapat bertahan dan berkembang biak di dalam sel. Infeksi biasanya masuk ke dalam kawanan karena adanya ternak yang sakit, atau dari semen pejantan yang terinfeksi dan fomites yang terkontaminasi. Program vaksinasi pada anak sapi atau sapi dara merupakan cara yang paling efektif dalam menangani Brucellosis di daerah endemik.

Jika ingin memasukkan sapi baru, harus dipastikan sapi sehat dan berasal dari daerah bebas penyakit. Ternak harus melalui proses karantina dan diuji terhadap brucellosis sebelum dimasukkan ke dalam kelompok. Brucellosis dapat diberantas dengan mengkarantina sapi yang terinfeksi, vaksinasi, serta metode uji dan penyembelihan.

Sangat penting untuk mewaspadai sapi-sapi impor. Walaupun mungkin telah dites negatif sebelum diimpor, namun pada banyak sapi, hasil tesnya akan negatif sampai sapi tersebut beranak atau abortus. Semua sapi yang diimpor harus diuji setelah melahirkan meskipun anak sapi tersebut normal.

Peraturan yang berlaku saat ini mengharuskan semua ternak yang pernah melakukan kontak dengan hewan yang terinfeksi harus disembelih. Artinya, jika sapi impor yang kemudian diketahui terinfeksi brucellosis, dicampur dengan indukan sebelum beranak, maka sapi-sapi yang dicampur tersebut harus disembelih juga. Oleh karena itu penting untuk memastikan bahwa hewan impor dikarantina dengan benar sampai hasil tes brucellosis mereka negatif setelah melahirkan untuk pertama kalinya. Selain itu, lakukan program biosekuriti yang tepat dan berkonsultasi dengan dokter hewan untuk semua proses ini.

Bagaimana di Indonesia?

Bovine brucellosis merupakan penyakit zoonosis dan endemik di Indonesia yang menyebabkan kerugian ekonomi signifikan akibat aborsi, lahir mati, infertilitas, sterilitas, dan berkurangnya produksi susu. Brucella abortus terdiri dari 8 biovar (1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, dan 9) berdasarkan sebaran geografis.  Sebuah penelitian dilakukan untuk mengetahui biovar mana yang bertanggung jawab terhadap brucellosis di peternakan sapi di Indonesia. Hasilnya adalah dari 50 isolat B. abortus  yang diisolasi dari sampel susu (29 sampel) dan cairan hygroma (21 sampel), ditemukan bahwa 42 isolat (84%) merupakan B. abortus biovar 1, lalu 2 isolat merupakan biovar 2 (12%), dan 3 isolat merupakan biovar 3 (4%). Maka, dari penelitian ini mengungkapkan bahwa B. abortus biovar 1 adalah penyebab paling umum dari brucellosis pada sapi di Indonesia.

Brucellosis adalah penyakit serius dengan implikasi ekonomi dan kesehatan masyarakat yang signifikan. Dengan kita  mengerti kondisi tantangan ini, maka menyusun program pemeliharaan dan biosekuriti yang benar, serta melakukan vaksinasi untuk area-area yang memang sudah endemik menjadi sebuah keharusan. Hal ini penting untuk meminimalkan resiko kejadian brucellosis, baik itu pada ternak maupun manusia.

Referensi:

  1. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC8752066/ Bovine Brucellosis :epidemiology, public health implication and status of brucellosis in Ethiopia
  2. https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/brucellosis
  3. https://www.nadis.org.uk/disease-a-z/cattle/brucellosis/
  4. https://scholar.ui.ac.id/en/publications/identification-of-brucella-abortus-biovars-isolated-from-cattle-i
  5. https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/01652176.2020.1868616 bovine brucellosis – comprehensive review
  6. https://cuidateplus.marca.com/enfermedades/infecciosas/brucelosis.html
Leptospirosis pada Sapi

Leptospirosis pada Sapi

Leptospirosis adalah salah satu penyakit zoonosis yang paling luas penyebarannya di seluruh dunia. Setiap tahun diperkirakan 1,03 juta orang terinfeksi, 873.000 orang mengalami infeksi parah, dan 49.000 orang meninggal karena tertular bakteri ini. Penyakit ini umumnya menyerang berbagai hewan mamalia, termasuk sapi dimana dapat menyebabkan kerugian ekonomi yang signifikan bagi peternak. Leptospirosis dapat menyebabkan kematian pada ternak, penurunan produksi susu, dan gangguan reproduksi (infertilitas, aborsi).

Leptospirosis pada sapi dapat menyebar melalui kontak langsung antara sapi yang terinfeksi dan sapi yang rentan. Bakteri Leptospira dapat masuk ke tubuh sapi melalui kulit yang terluka, mukosa, atau saluran pencernaan. Bakteri Leptospira juga dapat menyebar melalui air atau makanan yang terkontaminasi.

Leptospirosis dapat menyerang manusia dan menyebabkan gejala mirip influenza dengan sakit kepala parah, namun dapat diobati secara efektif. Peternak sapi perah sangat berisiko tertular penyakit akibat percikan urin ke wajah saat memerah susu sapi. Namun demikian, dengan proses pasteurisasi organisme yang diekskresikan dalam air susu ini masih dapat  dihancurkan.

Penyebab
Leptospirosis disebabkan oleh bakteri Leptospira hardjo, yaitu Leptospira borgpetersenii serovar Hardjo dan Leptospira interrogans serovar Hardjo. Infeksi timbul dari kontak dengan urin yang terinfeksi atau produk aborsi. Di negara 4 musin, penyakit ini paling sering menyebar pada musim semi dan musim panas saat ternak berada di padang rumput. Leptospira sp. rentan terhadap kekeringan, paparan sinar matahari, pH<5,8 atau suhu ekstrem.

Leptospira Hardjo tidak dibawa oleh hama atau satwa liar tetapi ternak domba dapat menjadi carrier dan shedding bakteri ini ke lingkungan, sehingga jika dalam padang gembalaan terjadi kontak maka resiko tertular sangat tinggi.
Faktor resiko penting lainnya yang perlu diperhatikan adalah penggunakan pejantan terinfeksi dan cemaran pada sumber air di padang penggembalaan.

Gejala Klinis
Penurunan produksi susu secara tiba-tiba dapat teramati dalam 2-7 hari setelah sapi yang rentan terinfeksi, dimana ambing akan menjadi lunak dan lembek dan terlihat sekret seperti kolostrum atau susu yang mengandung darah. Gejala yang nampak mungkin terlihat ringan atau tidak terdeteksi, namun beberapa sapi akan menjadi lesu, kaku disertai demam dan berkurangnya nafsu makan.

Aborsi dapat terjadi dalam 3-12  minggu setelah infeksi dan sebagian besar terjadi pada 3 bulan terakhir fase kebuntingan, atau jika mampu bertahan umumnya anak sapi akan lahir prematur dan lemah. Gangguan lain yang bisa diamati adalah tingginya kasus kawin berulang pada induk sapi yang terinfeksi saluran reproduksinya. Leptospira Hardjo juga dapat menyebabkan kematian embrio.

Penularan lewat proses perkawinan dengan pejantan bisa terjadi, namun umumnya tidak berdampak buruk karena Leptospira Hardjo akan mati oleh sistem pertahanan pada rahim selama periode estrus. Percobaan aplikasi vaksinasi leptospira di area endemik menunjukkan peningkatan parameter kesuburan pada sapi dibandingkan dengan yang tidak divaksin.

Diagnosis banding
Dilapangan, jika ada kejadian penurunan volume air susu tidak serta merta disebabkan oleh Leptospira sp., oleh karena itu kita harus tetap melakukan pengujian dan evaluasi lebih lanjut sebelum melakukan terapi. Sebaiknya anda berkonsultasi dengan dokter hewan agar diagnosa tidak salah.

Kejadian penurunan produksi air susu dapat dipengaruhi perubahan mendadak dalam pola makan/komposisi nutrisi didalam pakan. Sedangkan selain Leptospirosis, penyakit lain yang bisa menyebabkan penurunan produksi air susu antara lain adalah Bovine Virus Diarrhea (BVD), infestasi cacing paru-paru, Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR), Bovine Respiratory Syncytial Virus (BRSV), influenza A dan Salmonellosis.

Untuk kejadian aborsi, selain Leptospirosis kita juga harus memperhatikan gangguan infeksi lain seperti Neospora caninum, BVD, Salmonella spp., Bacillus likeniformis, atau Campylobacter.

Baca juga : 5 penyakit penting pada sapi perah

Diagnosa

Diagnosis leptospirosis pada sapi dapat dilakukan dengan pemeriksaan laboratorium terhadap sampel darah, urin, atau jaringan tubuh. Pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan dengan metode kultur, serologi, atau molekuler. Tes untuk mendeteksi antibodi terhadap Leptospira Hardjo dari sampel darah dengan titer MAT serum >1/100 yang dianggap cukup  signifikan.

Jika kita menghadapi kasus penurunan produksi air susu, pada infeksi yang akut, pengambilan 2x sampel serum dengan interval  waktu 3-4 minggu biasanya akan menunjukkan peningkatan konsentrasi MAT atau ELISA. Sedangkan jika menggunakan sampel urin, bakteri Leptospira dapat dilihat menggunakan dark-field microscopy.

Jika terjadi kasus aborsi, kita bisa melakukan uji Elisa terhadap indukan namun penggunaannya terbatas karena titer MAT dapat turun dengan cepat setelah infeksi akut dan menjadi negatif pada saat kejadian aborsi sehingga hasil positif mungkin hanya mencerminkan paparan sebelumnya. Selama ada peningkatan kasus aborsi, gambaran titer MAT >1/400 pada beberapa sapi  mungkin bermakna. Titer Elisa dilaporkan tetap positif lebih lama setelah infeksi sehingga mungkin hanya mengindikasikan paparan sebelumnya.

Selain uji Elisa terhadap induk yang mengalami aborsi, kita juga bisa melakukan uji terhadap fetus yang diaborsi. Antibodi yang terdeteksi dalam cairan fetus mungkin mengindikasikan paparan Leptospira Hardjo di dalam rahim setelah usia kebuntingan 4 bulan, namun fetus kemungkinan mati sebelum respon imunnya meningkat. Konfirmasi deteksi antigen dapat dilakukan dengan Tes antibodi fluoresen (FAT) menggunakan sampel jaringan fetus, dimana ginjal dan paru-paru adalah sampel terbaik untuk memastikan diagnosis kasus aborsi. Pastikan sampel diambil segera setelah kasus terdeteksi agar tidak terjadi autolisis yang berpotensi mengacaukan hasil uji.

Untuk mengevaluasi kawanan, maka uji Elisa bisa dilakukan terhadap semua kelompok induk secara berkala sebagai bagian dari program pengawasan pada kelompok yang naif. Selain itu, sampling terhadap sapi dara laktasi pertama juga idealnya dilakukan untuk memantau status infeksi dalam suatu kawanan.

Perlakuan
Pemberian antibiotik pada kasus penurunan produksi air susu sangat dianjurkan untuk mengurangi ekskresi bakteri leptospira dan resiko penularan terhadap manusia (zoonosis). Suntikan tunggal menggunakan streptomisin/dihidrostrepomisin secara  intramuskular (IM) sebanyak 25mg/kg akan menghilangkan infeksi pada sebagian besar ternak. Namun, vaksinasi adalah pendekatan yang lebih baik untuk menghindari penggunaan antibiotik yang tidak perlu karena tidak semua antibiotik zero residu di air susu sehingga meningkatkan resiko terjadinya kasus antimikrobial resistensi jika dikonsumsi oleh manusia.

Tindakan pencegahan bisa dilakukan dengan penambahan streptomisin ke air mani sapi jantan yang dikoleksi untuk  inseminasi buatan (IB). Pengendalian Leptospira Hardjo pada ternak sapi bergantung pada kombinasi keputusan manajemen untuk mengurangi risiko infeksi, pengobatan antibiotik strategis, dan vaksinasi.

Untuk program vaksinasi, diprogramkan dengan memberikan 2x suntikan dengan interval waktu 4 minggu, diikuti dengan booster tahunan. Vaksinasi diharapkan mampu mencegah shedding bakteri leptospira melalui urin saat ada paparan penyakit serta akan melindungi terhadap kejadian penurunan produksi air susu dan aborsi.

Jika dalam suatu kelompok ternak tidak ada bukti adanya infeksi leptospirosis sebelumnya atau kita berencana memasukkan kawanan baru yang naif, maka semua hewan ternak  pengganti, termasuk pejantan harus diisolasi selama 3 minggu dan diberikan 2x suntikan streptomisin 25 mg/kg dengan interval waktu 10-14 hari sebelum dimasukkan ke dalam kelompok baru.

Untuk pemeliharaan kawanan di kawasan yang endemik dan dikonfirmasi melalui skrining kelompok atau catatan serologi kasus aborsi maka yang harus dilakukan adalah pelaksanaan program vaksinasi dengan booster tahunan. Sapi dara pengganti harus menyelesaikan program vaksinasi sebelum dikawinkan.

Selain tindakan pencegahan diatas, yang tidak kalah penting adalah penerapkan biosekuriti yang ketat. Tindakan biosekuriti yang dapat dilakukan untuk mencegah penyebaran leptospirosis meliputi:

  • Isolasi ternak baru
  • Pemeriksaan kesehatan ternak secara rutin
  • Desinfeksi kandang dan peralatan secara teratur
  • Pembersihan dan sanitasi pekerja, kendaraan dan fasilitas lainnya

Referensi :

  1. https://www.nadis.org.uk/disease-a-z/cattle/leptospirosis-in-cattle/
  2. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC9360731Bovine leptospirosis: effects on reproduction and an approach to research in Colombia
Nipah Virus

Nipah Virus

Beberapa minggu ini kita mendengar dan membaca berita tentang ancaman potensi pandemi baru, yaitu virus Nipah (NiV). Nah, apa sih virus Nipah itu? Mengapa bisa disimpulkan berpotensi sebagai pandemi baru? Bagaimana dengan kondisi di Indonesia? Pada artikel ini kita akan belajar bersama untuk lebih mengenal apa itu virus Nipah agar kita bisa lebih waspada.

Apa itu virus Nipah? Virus Nipah adalah agen penyakit menular yang muncul pertama kali pada babi domestik di Malaysia dan Singapura tahun 1998 dan 1999. Nama Nipah berasal dari desa/sungai di Malaysia tempat virus isi ditemukan. Kelelawar adalah inang alami dari virus ini, sedangkan babi berperan sebagi inang perantaranya. Virus Nipah ini bersifat zoonosis, artinya bisa menular dari hewan ke manusia. Selain itu virus ini juga dapat ditularkan melalui makanan/buah-buahan yang terkontaminasi atau langsung antar manusia, seperti yang terjadi di India dan Bangladesh. Jika manusia terinfeksi virus Nipah akan menyebabkan berbagai penyakit dari infeksi asimtomatik / subklinis sampai penyakit pernapasan akut dan encephalitis (radang otak). Pada kejadian di peternakan babi, virus ini juga dapat menyebabkan gangguan pernafasan dan saraf parah yang mengakibatkan kerugian ekonomi yang signifikan bagi peternak. Virus Nipah adalah RNA virus dari famili Paramyxoviridae, genus Henipavirus dan berkerabat dekat dengan Hendra virus. Selain itu, terdapat laporan juga bahwa virus Nipah bisa menginfeksi beberapa spesies hewan peliharaan termasuk anjing, kucing, kambing/domba, dan kuda.

Penularan. Kelelawar buah (flying foxes) dari genus Pteropus adalah inang reservoir alami dari virus Nipah dan virus Hendra. Virus ini terdeteksi ada dalam urin, kotoran, air liur, dan cairan tubuh lain dari kelelawar. Kasus pertama di Malaysia terjadi di peternakan babi yang kebetulan memiliki banyak tanaman buah-buahan di area peternakannya. Mungkin sebagai akibat dari penggundulan hutan, akhirnya tanaman tersebut menarik kelelawar dari hutan tropis untuk datang dan memakan buah-buahan itu sehingga babi domestik yang dipelihara itu tertular virus Nipah. Diperkirakan bahwa ekskresi dan sekresi ini memicu infeksi pada babi yang kemudian disusul dengan penyebaran yang cepat. Selain itu, penularan antar peternakan mungkin terjadi karena perantaraan fomites, yaitu virus yang menempel pada pakaian, peralatan, sepatu bot, kendaraan dan lain-lain. Kejadian penularan virus Nipah ke manusia di Malaysia dan Singapura hampir selalu dari kontak langsung dengan ekskresi atau sekresi babi yang terinfeksi. Sedangkan laporan kejadian wabah di Bangladesh dan India menunjukkan penularan dari kelelawar tanpa inang perantara, yaitu karena kebiasaan manusia mengkonsumsi buah-buahan dan produknya yang ternyata terkontaminasi dengan urin, air liur dan kotoran kelelawar, atau saat proses memanjat pohon buah yang yang banyak kontaminan cairan tubuh dari kelelawar. Di Bangladesh dan India juga berulang kali dilaporkan adanya penularan penyakit dari manusia ke manusia sehingga tindakan pencegahan diperlukan untuk para keluarga penderita atau pekerja rumah sakit yang merawat pasien yang terinfeksi. Tindakan pencegahan juga harus diambil saat mengirimkan dan menangani sampel untuk uji laboratorium, selain juga di rumah pemotongan hewan. Jadi, virus Nipah dapat menyebar ke manusia melalui kontak langsung dengan hewan terinfeksi (kelelawar, babi, atau cairan tubuh mereka seperti darah, urin, air liur), mengkonsumsi produk makanan yang telah terkontaminasi (nira sawit, buah-buahan yang terkontaminasi oleh kelelawar), serta kontak dekat dengan orang yang terinfeksi (leleran hidung, pernapasan, urin, atau darah).

Gejala klinis pada ternak. Virus Nipah pada babi mempengaruhi sistem pernapasan dan saraf yang sering dikenal dengan Porcine Respiratory and Neurologic Syndrome, Porcine Respiratory and Encephalitic Syndrome (PRES), and Barking Pig Syndrome (BPS). Penyakit ini sangat menular pada babi, namun tanda klinisnya bervariasi tergantung pada usia dan respon ternak terhadap virus. Secara umum mortalitas (angka kematian) rendah kecuali jika kejadiannya pada anak babi, sedangkan morbiditas (angka kesakitan) tinggi pada semua kelompok umur. Kebanyakan babi akan menunjukkan gejala sulit bernafas, demam, dan batuk yang parah. Selain itu tanda gangguan saraf nya adalah gemetar, gangguan dan kelemahan otot, kejang, serta kematian. Yang lebih berbahaya adalah jika babi yang sakit tidak menunjukkan gejala (asimtomatik) sehingga peternak tidak bisa mengidentifikasi jika babinya sedang sakit. Infeksi alami pada anjing dapat menyebabkan sindrom seperti distemper dengan tingkat kematian yang tinggi. Baca juga penyakit zoonosis lainnya, yaitu swine influenza, Newcastle Disease dan Avian Influenza.

Gejala klinis pada manusia. Biasanya infeksi pada manusia muncul sebagai sindrom encephalitis yang ditandai dengan demam, sakit kepala, mengantuk, disorientasi, kebingungan mental, koma, dan kematian. Saat wabah di Malaysia, tercatat ada 265 kasus pada manusia dimana 105 diantaranya klinis berakhir dengan kematian. Tanda awal orang yang terinfeksi biasanya meliputi demam, sakit kepala, mialgia, muntah dan sakit tenggorokan. Hal ini kemudian dapat diikuti juga dengan pusing, mengantuk, tingkat kesadaran menurun, dan tanda neurologis/gangguan saraf yang mengindikasikan kejadian enchepalitis akut. Beberapa orang juga dapat mengalami pneumonia atipikal dan masalah pernapasan yang parah atau akut. Pada kasus radang otak dan kejang biasanya akan terjadi pada kasus yang parah, kemudian berkembang menjadi kondisi koma dalam 24-48 jam. Masa inkubasi virus Nipah ini antara 4-14 hari, akan tetapi ada juga laporan yang menunjukkan sampai 45 hari. Tingkat kematian kasus infeksi virus Nipah bervariasi antara 40-75% tergantung pada pengawasan dan manajemen klinis saat terjadi wabah. Jika manusia berhasil sembuh dari penyakit ini kondisinya juga bervariasi, ada yang bisa sembuh total atau masih menyisakan sedikit gangguan saraf akibat encephalitis akut dan bisa juga kambuh kembali.

Diagnosis. Penyakit ini sulit untuk di diagnosis jika hanya berdasarkan tanda-tanda klinis saja. Sangat disarankan untuk melakukan konfirmasi melalui tes laboratorium. Idealnya, jika muncul gejala awal penyakit segera lakukan uji real time polymerase chain reaction (RT-PCR) di laboratorium dengan sampel dari swab tenggorokan, hidung, cairan serebrospinal, urin, atau darah. Kemudian dalam perjalanan penyakit dan setelah pemulihan kita bisa melakukan monitoring antibodi dengan uji enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). Sekali lagi, diagnosis dini infeksi virus Nipah ini masih menjadi tantangan karena gejala awal penyakit yang terkadang tidak spesifik sehingga diperlukan kesadaran dari orang yang sakit ini untuk segera mengkonfirmasi dengan uji laboratorium. Hal ini menjadi krusial mengingat resiko terburuk pada manusia adalah kematian, dan selain itu respon yang cepat bisa mencegah penularan ke orang lain sehingga wabah yang meluas bisa dihindari.

Pengendalian dan perlakuan. Belum ada vaksin yang bisa dipakai dalam upaya pengendalian virus Nipah di peternakan, oleh karena itu jika ada wabah langkah pemberantasannya dilakukan dengan depopulasi/pemusnahan babi yang terinfeksi disertai pembatasan kontak diwilayah wabah. Selain itu uji laboratorium untuk monitoring antigen dan antibodi dari peternakan berisiko tinggi bisa dipertimbangkan untuk mencegah wabah di masa depan serta peningkatan praktek biosekuriti. Salah satu tindakan biosekuriti yang paling penting untuk daerah yang terkena dampak adalah untuk mengurangi kemungkinan reservoir kelelawar bersentuhan dengan fasilitas produksi babi atau dengan meminimalkan tanaman buah-buahan yang beresiko mengundang kelelawar untuk datang ke lokasi kandang.

Untuk pencegahan pada manusia sampai saat ini juga belum ada obat atau vaksin yang secara khusus menargetkan infeksi virus Nipah, namun WHO telah mengidentifikasi Nipah sebagai penyakit prioritas. Proses penelitian dan pengembangan vaksin Nipah sedang berlangsung di Australia dan Perancis. Perawatan suportif yang intensif direkomendasikan untuk mengobati komplikasi pernapasan dan neurologis yang parah pada manusia termasuk istirahat, mencegah dehidrasi, dan pengobatan berdasarkan gejala klinis yang muncul. Ribavirin dilaporkan digunakan untuk mengobati sejumlah kecil pasien saat awal wabah di Malaysia, tetapi tingkat keampuhannya tidak cukup jelas. Selain langkah-langkah yang dapat diambil tiap individu untuk menurunkan risiko infeksi, peran penting para ilmuwan, peneliti, dan komunitas untuk terus mempelajari tentang virus Nipah ini sangat vital sebagai upaya pencegah wabah di masa mendatang. Upaya pencegahan yang lebih luas meliputi pengawasan hewan dan manusia di daerah di mana virus Nipah terdeteksi, meningkatkan penelitian tentang ekologi kelelawar buah untuk memahami di mana mereka tinggal dan bagaimana mereka menyebarkan virus ke hewan dan manusia lain, evaluasi teknologi atau metode baru untuk meminimalkan penyebaran virus di dalam populasi kelelawar, memperbaiki alat untuk mendeteksi virus sejak dini di masyarakat dan ternak, memperkuat protokol untuk pengaturan perawatan kesehatan pada praktek pengendalian infeksi standar untuk mencegah penyebaran antar manusia, meningkatkan kesadaran tentang tanda, gejala, dan risiko virus Nipah diantara populasi berisiko tinggi. Area beresiko tinggi ini meliputi lokasi geografis, area kontak dengan kelelawar buah atau barang yang terkontaminasi oleh kelelawar buah, area kontak dengan babi atau hewan yang dapat bersentuhan dengan kelelawar buah, serta lingkungan pekerja rumah sakit/keluarga di yang merawat pasien Nipah.

Distribusi geografis. Wabah infeksi Virus Nipah telah dilaporkan pada peternakan babi di Malaysia dan Singapura, sedangkan kasus penyakit Nipah pada manusia sudah dilaporkan di Malaysia, Singapura, India, dan Bangladesh. Kelelawar buah berasal dari family Pteropodidae, dan spesies yang termasuk dalam genus Pteropus adalah inang alami virus Nipah. Melihat pola penyebaran dan habitat kelelawar genus Pteropus ini, maka lokasi geografis lain yang mungkin berisiko terhadap wabah virus Nipah di masa mendatang adalah Kamboja, Indonesia, Madagaskar, Filipina, dan Thailand. Diasumsikan bahwa distribusi geografis Henipaviruses tumpang tindih, yang diperkuat dengan hipotesis dengan bukti adanya infeksi Henipavirus pada kelelawar Pteropus dari Australia, Bangladesh, Kamboja, China, India, Indonesia, Madagaskar, Malaysia, Papua Nugini, Thailand, dan Timor-Leste. Sedangkan kelelawar buah Afrika dari genus Eidolon, family Pteropodidae juga ditemukan positif antibodi terhadap virus Nipah dan Hendra, sehingga menunjukkan bahwa virus ini mungkin ada dalam distribusi geografis kelelawar Pteropodidae di Afrika.

Apakah virus Nipah sudah ada di Indonesia? Sejauh ini belum ada kasus Nipah di Indonesia, baik pada ternak babi maupun manusia. Beberapa penelitian sudah dilakukan untuk mengidentifikasi keberadaan virus Nipah pada populasi kelelawar/kalong dan babi di beberapa wilayah Indonesia.

Penelitian seroepidemiologi dari Balai Besar Penelitian Veteriner (Balitvet) di lakukan terhadap 156 sampel serum kelelawar Pteropus vampyrus dan 2740 sampel serum ternak babi dengan uji serologi (ELISA) terhadap antibodi virus Nipah. Dari 156 sample kelelawar yang diuji, ada 37 sampel yang positif artinya 23,7% serum kelelawar mengandung antibodi terhadap virus Nipah. Prevalensi virus Nipah pada kelelawar bervariasi mulai di daerah Jawa Tengah sebesar 33% (1/3), Sumatra Utara 30,6% (19/62), Jawa Timur 19% (10/52) dan Jawa Barat 18% (7/39). Sedangkan untuk hasil uji serologis 2740 sampel serum ternak babi tidak ada satupun yang positif terhadap virus Nipah. Sampel serum babi ini diambil dari Rumah Potong Hewan (Jakarta, Medan, Riau) dan beberapa wilayah peternakan di Riau, Sulawesi Utara, Sumatra Utara dan Sumatra Barat.

Screening virus Nipah juga dilakukan di Kalimantan Barat dengan uji serologi (ELISA) terhadap 610 serum babi dan 99 serum kelelawar (84 serum dari jenis Pteropus vampyrus dan 15 serum dari jenis Cynopterus brachyotis). Dari uji ini didapatkan bahwa pada semua sampel serum babi dan serum kelelawar Cynopterus brachyotis tidak terdeteksi adanya antibodi terhadap virus Nipah, sedangkan 19% dari 84 sampel kelelawar Pteropus vampyrus adalah positif. Selain itu dari wawancara dengan para petani atau peternak di daerah tersebut juga tidak ada laporan kejadian encephalitis atau gejala pernapasan pada diri mereka sendiri, keluarga, pekerja atau ternak babi mereka.

Selain uji serologi (ELISA) untuk mendeteksi antibodi, terdapat juga penelitian dengan melakukan uji RT-PCR untuk mendeteksi antigen dari virus Nipah ini. Penelitian dilakukan pada kelelawar Pteropus vampyrus di Sumatra Utara, tepatnya di kota Medan dan Deli Serdang. Sampel diambil dari urin, kandung kemih, oro-pharangyeal swab dan juga darah dari kelelawar tersebut. Semua sampel dari kota Medan hasilnya negatif (0/48), tetapi beberapa sampel dari Deli Serdang ada yang positif (4/96). Penelitian ini memberikan bukti molekuler pertama bahwa virus Nipah memang beredar di populasi kelelawar di Indonesia.

Berdasarkan hasil beberapa penelitian diatas, dapat disimpulkan bahwa infeksi virus Nipah sudah terdeteksi pada kelelawar (flying fox) di beberapa bagian di Indonesia, tetapi tidak pada ternak babi ataupun manusia. Walaupun demikian, virus Nipah di Indonesia tetap harus diantisipasi dan dimonitor termasuk resiko penyebarannya pada babi dan manusia terutama di wilayah yang berbatasan dengan Malaysia dan daerah lain yang terdapat habitat kelelawar. KIta harus meningkatkan kewaspadaan terhadap resiko kejadian penyakit Nipah dengan program pengendalian dan pencegahan yang baik sehingga pandemi yang ditakutkan tidak terjadi.

Semoga bermanfaat. Stay safe and stay healthy.

Referensi :

  1. https://www.who.int/health-topics/nipah-virus-infection#tab=tab_1
  2. https://www.oie.int/en/animal-health-in-the-world/animal-diseases/Nipah-Virus/
  3. https://www.researchgate.net/publication/253336499_Nipah_Virus_in_the_Fruit_Bat_Pteropus_vampyrus_in_Sumatera_Indonesia
  4. https://www.researchgate.net/publication/26701115_Screening_for_Nipah_Virus_Infection_in_West_Kalimantan_Province_Indonesia
  5. http://bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2015/11/ANALISA-RISIKO-KUALITATIF-NIPAH-VIRUS-DI-INDONESIA.pdf
  6. http://download.garuda.ristekdikti.go.id/article.php?article=578986&val=9634&title=Seroepidemiologi%20Nipah%20Virus%20pada%20Kalong%20dan%20Ternak%20Babi%20di%20Beberapa%20Wilayah%20di%20Indonesia
  7. https://www.cdc.gov/vhf/nipah/index.html
  8. https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/19108397/ Lessons from the Nipah virus outbreak in Malaysia

Apakah Virus Influenza itu Zoonosis ?

Apakah Virus Influenza itu Zoonosis ?

Fakta tentang virus Influenza yang mungkin anda belum sadari adalah :

1. Manusia dapat tertular virus flu burung, flu babi dan virus zoonosis lainnya, seperti virus flu burung subtipe A (H5N1), A (H7N9), dan A (H9N2) dan virus flu babi subtipe A (H1N1), A (H1N2) dan A (H3N2).

2. Infeksi virus Influenza dari hewan ke manusia terutama didapat melalui kontak langsung dengan hewan yang terinfeksi atau lingkungan yang terkontaminasi, tetapi virus ini belum memiliki kemampuan penularan yang berkelanjutan di antara manusia.

3. Infeksi virus flu burung, flu babi dan zoonosis lainnya pada manusia dapat menyebabkan penyakit mulai dari infeksi saluran pernapasan atas ringan (demam dan batuk), produksi dahak dan perkembangan yang cepat menjadi pneumonia berat, sepsis dengan syok, sindrom gangguan pernapasan akut dan bahkan kematian. Konjungtivitis, gejala gastrointestinal, ensephalitis dan ensephalopati juga telah dilaporkan dalam berbagai derajat tergantung pada subtipe virus ini.

4. Mayoritas kasus infeksi virus influenza A (H5N1) dan A (H7N9) pada manusia telah dikaitkan dengan kontak langsung atau tidak langsung dengan unggas hidup atau mati yang terinfeksi. Pengendalian penyakit pada sumber hewan sangat penting untuk menurunkan risiko bagi manusia.

5. Virus influenza dengan reservoir yang luas pada burung/unggas air hampir tidak mungkin untuk dibasmi sehingga infeksi zoonosis influenza pada manusia kemungkinan akan terus terjadi. Untuk meminimalkan risiko kesehatan masyarakat, pengawasan yang berkualitas baik pada hewan maupun populasi manusia, penyelidikan menyeluruh terhadap setiap infeksi manusia dan perencanaan pandemi berbasis risiko sangatlah penting.

Di dunia, ada empat jenis virus influenza yang bersirkulasi, yaitu Influenza tipe A, B, C dan D. Virus Influenza A menginfeksi manusia dan banyak hewan yang berbeda, serta jika terjadi perubahan virus influenza A yang baru (mutasi) dengan kemampuannya menginfeksi manusia bisa meningkatkan resiko penularan dari manusia ke manusia dan menyebabkan pandemi influenza. Virus Influenza B beredar di antara manusia dan menyebabkan epidemi musiman. Data terbaru menunjukkan anjing laut juga bisa terinfeksi influenza tipe B ini. Virus Influenza C dapat menginfeksi manusia dan babi, tetapi infeksi umumnya ringan dan jarang dilaporkan. Sedangkan virus Influenza D terutama menyerang ternak sapi dan belum diketahui apakah mampu menginfeksi atau menyebabkan penyakit pada manusia.

Virus influenza tipe A sangat penting bagi kesehatan masyarakat karena berpotensi menyebabkan pandemi influenza. Virus influenza tipe A diklasifikasikan ke dalam subtipe menurut kombinasi protein permukaan virus yang berbeda hemagglutinin (HA) dan euraminidase (NA). Sejauh ini terdapat 18 subtipe hemagglutinin berbeda dan 11 subtipe neuraminidase berbeda. Jika digolongkan berdasarkan inang asalnya, virus influenza A kita kenal sebagai avian influenza, swine influenza, atau jenis virus influenza hewan lainnya. Contohnya termasuk virus avian influenza “flu burung” subtipe A (H5N1) dan A (H9N2), sedangkan virus “flu babi” subtipe A (H1N1) dan A (H3N2). Semua virus influenza tipe A baik flu burung, flu babi dan flu hewan lainnya ini berbeda dengan virus influenza pada manusia dan tidak mudah menular antar manusia.

Burung/unggas air adalah reservoir alami utama untuk sebagian besar subtipe virus influenza A, tetapi kebanyakan hanya menyebabkan infeksi asimtomatik atau ringan pada unggas. Gejala klinis yang muncul bergantung pada sifat virus. Virus yang menyebabkan penyakit parah pada unggas dan mengakibatkan angka kematian yang tinggi disebut influenza unggas yang sangat patogen (HPAI), sedangkan virus penyebab penyakit ringan pada unggas disebut low pathogenic avian influenza (LPAI).

Lalu bagaimana tanda-tanda penyakit ini pada manusia ? Infeksi flu burung, flu babi, dan zoonosis lainnya pada manusia dapat menyebabkan penyakit mulai dari infeksi saluran pernapasan atas ringan (demam, batuk) hingga berkembang pesat menjadi pneumonia berat, sindrom gangguan pernapasan akut, syok, dan bahkan kematian. Gejala gastrointestinal seperti mual, muntah dan diare dilaporkan lebih sering terjadi pada infeksi influenza A (H5N1). Konjungtivitis juga telah dilaporkan pada influenza A (H7). Gambaran penyakit seperti masa inkubasi, tingkat keparahan gejala dan hasil klinis yang nampak cukup bervariasi menurut virus yang menyebabkan infeksi, akan tetapi manifestasi yang umumnya muncul adalah gejala pernapasan. Pada banyak pasien yang terinfeksi virus avian influenza A (H5) atau A (H7N9), penyakit ini memiliki perjalanan klinis yang agresif. Gejala awal yang umum adalah demam tinggi > 38°C, batuk diikuti dengan gejala sesak atau kesulitan bernapas, sedangkan gejala saluran pernapasan bagian atas seperti sakit tenggorokan atau pilek lebih jarang terjadi. Gejala lain seperti diare, muntah, sakit perut, pendarahan dari hidung atau gusi, ensephalitis, dan nyeri dada juga telah dilaporkan dalam perjalanan klinis beberapa pasien. Jika komplikasi infeksi terjadi, gejala pneumonia berat, gagal napas, disfungsi multi-organ, syok sepsis, dan infeksi bakteri dan jamur sekunder juga bisa terlihat. Yang lebih penting lagi, angka fatalitas kasus infeksi virus subtipe A (H5) dan A (H7N9) di antara manusia jauh lebih tinggi dibandingkan infeksi influenza musiman. Untuk infeksi pada manusia karena virus avian influenza A (H7N7) dan A (H9N2), gejala yang muncul biasanya ringan atau subklinis dan sejauh ini hanya satu infeksi fatal pada manusia karena A (H7N7) yang dilaporkan di Belanda. Khusus untuk infeksi manusia karena virus flu babi, kebanyakan kasusnya adalah ringan walaupun beberapa kasus dirawat di rumah sakit, dan sangat sedikit laporan kematian akibat infeksi ini.

Dalam hal penularan, infeksi manusia karena virus flu burung dan zoonosis lainnya, meskipun jarang, telah dilaporkan secara sporadis. Infeksi ini terutama didapat melalui kontak langsung dengan hewan yang terinfeksi atau lingkungan yang terkontaminasi, akan tetapi virus ini tidak akan mengakibatkan penularan dari manusia ke manusia yang lain. Pada tahun 1997, infeksi virus HPAI A (H5N1) pada manusia dilaporkan selama wabah pada unggas di Hong Kong. Sejak tahun 2003, virus avian ini telah menyebar dari Asia ke Eropa dan Afrika, dan menjadi endemik pada populasi unggas di beberapa negara. Wabah H5N1 ini telah mengakibatkan jutaan unggas terinfeksi, ratusan kasus ditemukan pada manusia dan juga mengakibatkan kematian. Wabah Avian Influenza pada unggas ini telah berdampak serius pada mata pencaharian, ekonomi dan perdagangan internasional di negara-negara yang terkena dampak. Selain itu, virus subtipe avian influenza A (H5) lainnya juga dapat menyebabkan wabah pada unggas dan infeksi pada manusia juga. Pada 2013, infeksi virus A (H7N9) pada manusia dilaporkan untuk pertama kalinya di China, kemudian virus menyebar ke banyak populasi unggas di seluruh negeri dan mengakibatkan lebih dari 1500 kasus pada manusia yang dilaporkan dan banyak kematian pada manusia. Virus avian influenza lainnya yang menyebabkan infeksi pada manusia secara sporadis adalah virus A (H7N7) dan A (H9N2). Beberapa negara juga telah melaporkan infeksi manusia sporadis dengan virus influenza babi, terutama subtipe A (H1) dan A (H3).

Bagaimana dengan faktor risiko infeksi pada manusia ? Untuk virus flu burung, faktor risiko utama penularan pada manusia tampaknya adalah paparan langsung atau tidak langsung terhadap unggas hidup atau mati yang terinfeksi atau lingkungan yang terkontaminasi, seperti pasar unggas hidup. Selain itu, proses penyembelihan, menghilangkan bulu, menangani bangkai unggas yang terinfeksi, dan menyiapkan/proses memasak unggas untuk dikonsumsi (terutama di lingkungan rumah tangga) juga mungkin menjadi faktor risiko. Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa virus influenza A (H5), A (H7N9) atau virus flu burung lainnya dapat ditularkan ke manusia melalui unggas atau telur yang dimasak dengan benar. Beberapa kasus influenza A (H5N1) pada manusia telah dikaitkan dengan konsumsi makanan asal unggas yang dihidangan dengan darah unggas mentah yang terkontaminasi. Oleh karena itu, pengendalian peredaran virus flu burung pada unggas penting dilakukan untuk mengurangi risiko penularan pada manusia. Pada lokasi yang banyak populasi unggas, pengendalian akan membutuhkan komitmen jangka panjang dari negara dan koordinasi yang kuat antara otoritas kesehatan hewan dan masyarakat, selain juga kekompakan antar kelompok ternak yang saling berdekatan. Untuk virus flu babi, faktor risiko yang dilaporkan sebagian besar kasus pada manusia karena kontak dengan babi yang terinfeksi atau mengunjungi lokasi di mana babi dipamerkan atau diperjualbelikan di pasar hewan. Akan tetapi beberapa kejadian penularan terbatas dari manusia ke manusia telah terjadi. Baca juga : Swine Influenza pada Babi.

Infeksi virus avian influenza A (H5N1) pada manusia menunjukkan bahwa masa inkubasi rata-rata 2-5 hari, maksimal hingga 17 hari, sedangkan untuk virus A (H7N9) 1-10 hari dengan rata-rata 5 hari. Masa inkubasi tersebut umumnya lebih lama dibandingkan dengan influenza musiman yang hanya berkisar 2 hari saja. Kemudian, jika manusia tertular dengan virus influenza babi masa inkubasi yang diperlukan adalah 2-7 hari.

Walaupun kejadiannya sporadis, kejadian influenza A ini tentunya tetap harus kita waspadai karena di Indonesia, penyakit avian influenza masih menjadi momok bagi para peternak dan tentunya resiko pekerja kandang untuk tertular juga ada. Terkait dengan kejadian di manusia ini, treatment dengan menggunakan obat antivirus penghambat neuraminidase (oseltamivir, zanamivir) ternyata bisa mengurangi durasi replikasi virus dan meningkatkan prospek kelangsungan hidup. Namun demikian studi klinis menganai hal ini masih terus dilakukan mengingat munculnya isu resistansi terhadap oseltamivir telah dilaporkan. Pemberian anti virus ini idealnya harus diresepkan sesegera mungkin (max 48 jam setelah gejala) untuk hasil terbaik dengan pemberian selama 5 hari, mengingat angka mortalitas yang signifikan terkait dengan infeksi virus subtipe A (H5) dan A (H7N9). Kortikosteroid tidak boleh digunakan secara rutin kecuali diindikasikan untuk alasan lain (asma dan kondisi khusus lainnya). Perlu diketahui juga, virus terbaru A (H5) dan A (H7N9) resisten terhadap obat antiviral adamantane (amantadine, rimantadine) sehingga tidak direkomendasikan untuk monoterapi. Selain itu juga perlu diperhatikan ada tidaknya ko-infeksi dengan bakteri patogen yang biasanya dapat ditemukan pada pasien yang sakit kritis.

Setelah kita tahu faktor resiko dari Influenza A ini, selain pengobatan antivirus, hal yang sebenarnya paling mendasar adalah bagaimana pelaksanaan manajemen kesehatan masyarakat secara umum yang mencakup langkah-langkah perlindungan/pencegahan. Mencegah lebih baik daripada mengobati khan ??

Kembali lagi biosekuriti menjadi unjung tombak dalam program pencegahan ini, yaitu :

  1. Desinfeksi dan kebersihan lingkungan, mencuci tangan secara teratur dengan pengeringan tangan yang benar
  2. Menjaga kualitas udara (memakai masker) – menutupi mulut dan hidung saat batuk atau bersin, menggunakan tisu dan membuangnya dengan benar
  3. Isolasi diri dini bagi mereka yang merasa tidak enak badan, demam, dan mengalami gejala influenza lainnya atau sehabis berkunjung ke wilayah yang sedang ada wabah
  4. Menghindari kontak dekat dengan orang / hewan ternak yang sakit
  5. Menghindari menyentuh mata, hidung, atau mulut seseorang / hewan ternak yang terindikasi sakit
  6. Untuk karyawan yang bekerja di kandang dan berinteraksi dengan ternak, sebaiknya mempunyai prosedur yang baik untuk tindakan pencegahan sehingga status kesehatan baik ternak dan manusianya juga lebih terjamin. Penggunaa alat pelindung diri (APD) atau minimal alas kaki dan seragam khusus juga menjadi cara yang efektif.
  7. Jika kita bepergian ke wilayah yang sedang ada wabah sebaiknya menghindari kontak dengan peternakan unggas, kontak dengan hewan di pasar unggas hidup, memasuki area tempat penyembelihan unggas, dan kontak dengan permukaan mungkin terkontaminasi kotoran unggas atau hewan lain. Keamanan pangan yang baik dan praktik kebersihan makanan, misalnya mencuci tangan dengan sabun dan air harus diikuti.
  8. Vaksinasi bisa menjadi opsi untuk meningkatkan kekebalan pada manusia (sepertinya di Indonesia juga sudah tersedia vaksinnya). Hal ini terutama pada pekerja yang setiap harinya berinteraksi dengan ternak atau siapapun yang mempunyai resiko terhadap penularan Influenza tipe A ini.

Pandemi influenza adalah epidemi yang menyerang sebagian besar dunia karena virus baru (mutasi). Pandemi tidak dapat diprediksi, tetapi peristiwa ini bisa berulang dan beresiko menimbulkan konsekuensi kesehatan, ekonomi, dan sosial di seluruh dunia. Kewaspadaan sangat penting karena pandemi influenza bisa terjadi ketika virus influenza yang baru muncul memiliki kemampuan untuk menyebabkan penularan berkelanjutan dari manusia ke manusia, dan ditambah dengan kondisi populasi manusia hanya memiliki sedikit atau bahkan tidak ada kekebalan terhadap virus tersebut. Sirkulasi virus avian influenza pada unggas (H5, H7) sekali lagi merupakan masalah kesehatan masyarakat karena virus ini bisa menyebabkan penyakit pada manusia dan berpotensi terjadi mutasi sehingga meningkatkan resiko penularan di antara manusia. Baca juga : Pentingnya Biosekuriti pada Peternakan Babi.

Apakah virus flu burung, flu babi dan virus zoonosis lainnya yang beredar saat ini akan menyebabkan pandemi di masa depan masih belum bisa kita diketahui. Namun, keragaman virus zoonosis influenza yang telah menyebabkan infeksi pada manusia sangat memerlukan pengawasan yang diperkuat, baik pada hewan maupun manusia. Akhirnya, era “new normal” dari kebiasaan selama pandemi Covid-19 ini bisa menjadi awal kebiasaan baik buat kita sekalian dalam menjaga kesehatan kita dan orang-orang tercinta.

Referensi :

  1. https://www.who.int/en/news-room/fact-sheets/detail/influenza-(avian-and-other-zoonotic)
  2. https://www.who.int/influenza/human_animal_interface/influenza_h7n9/en/
error: Content is protected !!