Penyakit pencernaan yang merugikan pada peternakan sapi adalah infeksi parasit gastrointestinal. Penyakit ini umumnya disebabkan oleh protozoa dan helminthiasis/cacingan. Angka kematian ternak karena parasit memang tidak tinggi, tapi efek tidak langsungnya terhadap produktivitas ternak dan dampak zoonosis penyakit pada kesehatan masyarakat sangat besar.
Berikut adalah contoh penelitian di Indonesia terkait gangguan pencernaan pada ternak sapi yang menunjukkan bahwa kejadian di lapangan nyatanya sudah sering ditemukan. Penelitian tahun 2016 yang dilakukan di kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah juga berhasil didapatkan adanya sapi terinfeksi cacing sebanyak 63,91 % dan protozoa sebanyak 3,09%. Rata-rata cacing dan protozoa yang menginfeksi adalah Facsiola sp., Paramphistomum sp., Trichuris sp., Strongyloidea sp., Oesophagustomum sp., Balantidium sp., dan juga protozoa Eimeria sp.
Penelitian di Bali tahun 2018, hasilnya didapatkan prevalensi infeksi parasit saluran pencernaan pada sapi bali yang dipelihara di TPA Suwung Denpasar sebesar 65 %. Jenis parasit yang menginfeksi adalah type strongyl 50 %, Trichuris sp. 11 %, Strongyloides papilosus 4 %, Toxocara vitolorum 3 %, Fasciola gigantika 5 %, Paramphistomum sp. 11 % dan Eimeria sp. 7 %.
Hasil penelitian yang relatif baru dilakukan di 2 desa di Kecamatan Gunung Tabur, Berau, Kalimantan Timur. Kesimpulan yang diambil adalah kejadian kasus parasit berhasil ditemukan. Desa Gunung Tabur memiliki infeksi parasit yang lebih tinggi dibandingkan Desa Samburakat. Parasit yang ditemukan, terdiri dari 2 jenis telur cacing trematoda yaitu Fasciola sp., dan Paramphistomum sp., serta 7 spesies Nematoda, yaitu Toxocara vitulorum, Strongyloides sp., Haemonchus sp., Oesophagostomum sp., Trichostrongylus sp., Capillaria sp., dan Trichuris sp. Sedangkan hasil protozoa yang menginfeksi saluran pencernaan sapi ditemukan 3 spesies yaitu Eimeria sp., Blastocystis sp., dan Cryptosporidium sp.
Pada kesempatan ini, kita pelajari lebih lanjut tentang protozoa dahulu ya…
Pada hewan ruminansia muda (anak sapi, domba dan kerbau) diare dianggap sebagai salah satu masalah terpenting yang mempengaruhi tingkat kematian pada peternakan. Penyebab utama pada fase penyapihan umumnya adalah Koksidiosis (Emeria sp.) dan Cryptosporidiosis yang bentuk utamanya adalah Cryptosporidium spp. Pada kasus koksidiosis, “ookista” yang tertelan melalui air, pakan ternak dan / atau makanan yang terkontaminasi dilepaskan ke usus dan menyerang vili usus, menyebabkan kerusakan dan dapat bertahan bahkan selama 2 bulan. Secara umum kejadian koksidiosis umumnya menyerang selama proses penyapihan atau masa transisi antara diet “susu” dan “sayuran/hijauan”, sedangkan Cryptosporidiosis muncul pada hari-hari pertama kehidupan karena kontaminasi oleh induk sapi.
Kriptosporidiosis.
Spora (ookista) cryptosporids, umumnya tertelan oleh anak sapi dari air, lingkungan, dan hijauan yang terkontaminasi di mana juga mampu bertahan 2-6 bulan. Cryptosporidiosis juga dapat terjadi pada hari ke 3-5 kehidupan tetapi sebagian besar terjadi pada usia 2 minggu. Ini adalah penyakit yang sangat menular yang memanifestasinya berupa diare, anoreksia dan dehidrasi. Kasus ini jarang menyebabkan kematian anak sapi selama tidak melibatkan infeksi sekunder. Kejadian penyakit bisa berlangsung 4-18 hari, tergantung pada seberapa banyak dan bagaimana vili usus terpengaruh, sehingga penampilan “diare” bisa berwarna terang ataupun gelap. Selain itu, status imun anak sapi juga mempengaruhi derajat keparahan penyakit ini.
Upaya pencegahan yang bisa kita lakukan adalah menjaga kebersihan lingkungan untuk mencegah pedet menelan ookista dan memastikan sistem kekebalan yang memadai dengan memastikan asupan kolostrum induk yang berkualitas baik.
Koksidiosis.
Koksidiosis umumnya terjadi sebagai penyakit kronis atau subklinis pada kelompok hewan yang sedang tumbuh atau sapi yang berumur dibawah 1 tahun. Pada infeksi ringan, ternak tampak sehat, tetapi terdapat ookista dalam feses sehingga efisiensi pakan berkurang dan pertumbuhan berat badan terganggu. Tanda paling khas adalah feses encer, dengan sedikit atau tanpa darah, dan hewan menunjukkan sedikit ketidaknyamanan selama beberapa hari. Demam, anoreksia, depresi dan dehidrasi juga bisa terlihat. Jika kondisi akut, ada kemungkinan bisa berakibat kematian sampai 80-90% anak sapi. Anak sapi yang mampu bertahan umumnya menjadi rentan terhadap komplikasi sekunder seperti pneumonia. Tanda-tanda saraf seperti tremor/kejang kadang juga bisa teramati. Faktor manajemen seperti perkandangan, praktik pemberian pakan, dan bagaimana hewan dikelompokkan, serta lingkungan/cuaca juga dapat mempengaruhi tingkat keparahan koksidiosis pada sapi.
Jika terjadi wabah, hewan yang menunjukkan gejala klinis harus diisolasi dan diberikan terapi cairan oral dan parenteral (suportif) secara massal untuk mencegah penularan yang lebih parah. Kepadatan populasi kandang yang terkena dampak harus dikurangi. Semua pasokan pakan dan air harus cukup tinggi dari tanah untuk menghindari kontaminasi feses. Saat kondisi cuaca relatif dingin sebaiknya kita juga mempersiapkan antibiotik jika ada indikasi infeksi sekunder seperti enteritis dan pneunomia. Hindari penggunaan preparat kortikosteroid karena dapat meningkatkan pelepasan ookista jika dalam kawanan ada kasus subklinis sehingga beresiko menyebabkan penyakit pada kawanan.
Siklus Hidup koksidia berlangsung sekitar 28 hari. Tahap perkembangan dimulai ketika telur/ookista tertelan oleh ternak dari air/pakan yang terkontaminasi. Pada kondisi suhu, kelembaban dan oksigen yang tepat, ookista yang matang akan berkembang dalam 3-7 hari di lumen usus untuk kemudian siap untuk menginfeksi ternak. Pada tahap ini, ookista berkembang menjadi sporozoit untuk kemudian memasuki sel-sel usus (70% terjadi pada usus halus). Ketika sporozoit memasuki sel, ia berubah menjadi meron, membelah berkali-kali dan mampu menghasilkan sekitar 100.000 merozoit (jumlah yang dihasilkan tergantung pada spesies koksidia yang terlibat). Karena proses ini, sejumlah besar sel usus akan rusak/dihancurkan. Proses selanjutnya, telor-telor yang menetas tadi kemudian terjadi perkawinan antara jantan dan betinanya untuk menghasilkan ookista lagi. Selanjutnya ookista ini kemudian akan pecah dari sel-sel usus dan dikeluarkan dari tubuh ternak melalui feses dan siap untuk menginfeksi ternak lainnya.
Konsekuensi dari kejadian diatas adalah hilangnya permukaan penyerapan pada usus halus dan penurunan kemampuan untuk menyerap nutrisi yang diperlukan. Koksidiosis pada anak sapi yang sedang tumbuh memiliki dampak negatif yang kuat pada kinerja produksi sapi, kerbau, kambing, dan domba perah di masa depan. Baca juga : Lumphy Skin Disease
Coccidiostat adalah anti koksi yang dapat digunakan untuk mengendalikan koksidiosis dengan proses pencampuran dalam pakan. Pada umumnya pabrikan pakan sudah menambahkannya pada formulasi sehingga peternak tidak perlu repot untuk mencampur sendiri. Coccidiostat yang ideal akan menekan perkembangan siklus hidup Eimeria sp., meningkatkan kekebalan, dan tidak mengganggu kinerja produksi. Sulfonamida dalam pakan pada 25-35 mg/kg selama 15 hari efektif untuk mengendalikan koksidiosis pada pedet. Monensin, lasalocid dan decoquinate adalah coccidiostat yang efektif untuk ruminansia.
Decoquinate dalam pakan pada 0,5-1 mg/kg menekan produksi ookista pada koksidiosis anak sapi yang diinduksi secara eksperimental. Sulfaquinoxaline sangat berguna untuk anak sapi yang disapih yang mengalami diare berdarah setelah tiba di feedlot. Untuk pencegahan, amprolium (5 mg/kg/hari selama 21 hari), decoquinate (22,7 mg/45 kg/hari selama 28 hari) dan lasalocid (1 mg/kg/hari sampai maksimal 360 mg/ekor/hari), atau monensin (100-360 mg/ekor/hari) dapat digunakan. Pengobatan per individu bisa dilakukan dengan menggunakan Toltrazuril 15 mg/kg sebagai dosis oral tunggal 14 hari setelah hewan dipindahkan ke kandang kelompok. Perlakuan ini cukup efektif untuk mencegah diare karena koksidiosis.
Diagnosis koksidiosis dilakukan dengan menemukan ookista pada feses atau dengan teknik McMaster. Jumlah ookista kuantitatif pada sampel setidaknya 5 anak sapi dalam kandang sangat membantu untuk mengkonfirmasi koksidiosis sebagai penyebabnya. Diagnosis banding yang patut diwaspadai adalah salmonellosis, Bovine Viral Diarrhea (BVD), malnutrisi, keracunan, atau parasit usus lainnya. Jika ada banyak anak sapi yang menunjukkan gejala klinis, maka kemungkinan besar ada gastroenteritis parasit seperti ostertagiosis tipe I ketika di padang rumput selama akhir musim panas dan salmonellosis. Jika hanya satu anak sapi yang terkena, maka kita bisa curiga terhadap intususepsi, ulserasi abomasal, infeksi persisten dengan BVD, enteritis nekrotik, keracunan ragwort, serta peritonitis. Silahkan berkonsultasi dengan dokter hewan untuk memastikan diagnosa. Baca juga : Tantangan Peternakan Sapi Potong.
Pengendalian infeksi harus mencakup perubahan dalam faktor manajemen yang berkontribusi terhadap perkembangan penyakit koksidiosis ini. Kandang dan ventilasi yang tidak memadai harus diperbaiki, praktik pemberian makan yang baik untuk menghindari kontaminasi feses pada pakan, pedet dikelompokkan berdasarkan umur dan metode perpindahannya dari kandang ke kandang sebaiknya menerapkan sistem “all-in/all-out”.
Upaya pencegahan lain yang bisa kita lakukan adalah persiapkan area untuk anak sapi yang nyaman dan tidak terlalu padat, coba dan cegah penumpukan kontaminasi feses di dalam dan di sekitar tempat pakan dan air, hindari pencampuran anak sapi dengan usia yang berbeda karena anak sapi yang lebih muda akan lebih rentan. Pastikan kandang dibersihkan dan didesinfeksi dengan memilih disinfektan yang efektif terhadap oosit. Jika menurut anda koksidiosis adalah masalah penting di peternakan Anda, mintalah dokter hewan untuk mengevaluasi sehingga dapat membantu menyusun protokol kesehatan untuk mengendalikan masalah ini.
Referensi :
- http://news.unair.ac.id/2021/06/09/distribusi-parasit-gastrointestinal-pada-sapi-potong-melalui-pemeriksaan-feses/
- https://ejournal2.litbang.kemkes.go.id/index.php/blb/article/download/200/72
- https://ojs.unud.ac.id/index.php/buletinvet/article/download/32843/25373
- http://www.gabaldo.com/en/a-sneaky-and-expensive-problem-coccidiosis-and-cryptosporidiosis-in-calves-little-buffalo-lambs-and-goat-kids/
- https://www.msdvetmanual.com/digestive-system/coccidiosis/coccidiosis-of-cattle
- https://www.nadis.org.uk/disease-a-z/cattle/coccidiosis-in-cattle/
- https://www.teagasc.ie/news–events/daily/beef/could-coccidiosis-be-holding-back-your-calves.php
- https://www.thecattlesite.com/diseaseinfo/206/coccidiosis/