Kesejahteraan Hewan dalam Proses Penyembelihan Ternak

Kesejahteraan Hewan dalam Proses Penyembelihan Ternak

Kesejahteraan hewan (animal welfare) dalam industri pemotongan hewan di AS, bahkan mungkin diseluruh dunia terus menjadi salah satu prioritas utama, dimana ada peraturan mengenai transportasi, penanganan, dan penyembelihan sapi secara manusiawi.

Terkait proses perjalanan ternak dari kandang ke tempat pemotongan hewan bisa dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan manusia yang dapat berdampak positif atau negatif terhadap kesejahteraan hewan. Sapi dalam perjalanan bisa menjadi stres karena kebisingan, hewan dan manusia asing, suhu ekstrem, kekurangan makanan/air, jarak dan pengalaman transportasi yang bervariasi, serta kondisi lokasi/kandang yang baru. Penyediaan truk/trailer pengangkut ternak yang  nyaman dan aman dari cuaca ekstrem, selain juga tersedia cukup pakan dan air minum menjadi sangat penting agar hewan terhindar dari stress yang berlebihan selama proses transportasi berlangsung.

Penanganan ternak selama masa pemeliharaan juga penting untuk memastikan ternak mendapatkan nutrisi yang baik dengan didukung oleh kondisi lingkungan yang aman dan nyaman. Diperlukan tenaga kerja yang terlatih, termotivasi dan bertanggung jawab terhadap kesejahteraan ternak dan pekerjanya. Terkait hal ini, maka pelatihan dan komunikasi mengenai animal welfare sangat penting  untuk dipahami oleh semua yang terlibat di peternakan, dimana aspek interaksi antara manusia dan hewan saat ini menjadi tantangan utama bagi industri ini.

Lebih lanjut mengenai identifikasi, pengukuran, pemantauan  dan pengelolaan tantangan kesejahteraan hewan dalam industri pemotongan sapi potong menjadi hal yang tidak kalah penting karena ternak juga harus terbebas dari rasa sakit saat proses penyembelihan. Ini mungkin adalah prioritas utama difase akhir kehidupan ternak, dimana pelaksanaan program pelatihan yang meningkatkan kesejahteraan sapi dicapai saat hewan melewati tahap akhir sebelum akhirnya dikonsumsi oleh manusia.

Saat ini dikenal beberapa metode restraint yang masih dipakai  sebelum proses pemotongan hewan dilakukan, yaitu :

Metode Burley.

Ini adalah teknik untuk merebahkan/menjatuhkan  sapi dengan aman dan efisien yang ditemukan oleh Dr. Burley dari Georgia. Metode ini umumnya menggunakan alat penahan logam yang digunakan untuk mengamankan kaki ternak, terdiri dari dua bagian yang menjepit bagian atas kaki depan dan belakang.

Kelebihan dari metode ini antara lain adalah

  1. Tidak perlu mengikat tali di sekitar tanduk atau leher sapi, yang dapat menyebabkan stres atau cedera
  2. Tidak menekan dada sapi sehingga tidak mengganggu pernapasan
  3. Tidak membahayakan alat kelamin sapi jantan atau ambing sapi betina
  4. Memungkinkan untuk mengikat kedua kaki belakang sapi setelah direbahkan.

Langkah pelaksanaan metode Burley:

  1. Siapkan tali sepanjang 15 meter
  2. Sapi dipegang dengan tali leher yang kuat yang berfungsi  untuk  pengaman tambahan
  3. Tali dibagi menjadi 2 dan diletakkan di atas punggung dengan bagian tengah tepat di atas pundak
  4. Kedua ujung tali dilewatkan di antara kaki depan sapi dan disilangkan di tulang dada (sternum)
  5. Masing-masing ujung tali diangkat pada kedua sisi badan sapi dan disilangkan di punggung
  6. Tali diturunkan kembali dan dimasukkan pada sisi dalam dari kaki belakang dan sternum atau ambing
  7. Setelah siap, tarik kedua ujung tali secara perlahan, sampai sapi condong ke arah depan dan roboh ke samping.

Hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan metode Burley :

  1. Metode ini paling efektif untuk sapi yang sudah terbiasa  dekat/kontak dengan manusia
  2. Tali yang digunakan sebaiknya tidak licin, seperti tali tambang agar tidak lepas saat menjerat sapi.
  3. Arah robohnya sapi bisa dikendalikan dengan menarik salah satu ujung tali lebih kuat
  4. Pastikan area perebahan sapi aman dan bersih dari benda tajam atau keras.

Metode Squeeze Rope.

Selain metode burley, metode squeeze rope ini juga umum dilakukan untuk proses merebahkan hewan ternak sebelum proses penyembelihan.

Langkah-langkah metode squeeze rope adalah :

  1. Siapkan tali yang kuat dengan panjang yang cukup untuk melilit tubuh ternak yang akan direbahkan
  2. Lilitkan tali dari arah depan hingga ke belakang tubuh sapi dengan membentuk simpul
  3. Setelah semua siap, tarik tali ke arah belakang dengan perlahan, hati-hati dan terkoordinasi – sesuaikan jumlah orang dengan mempertimbangkan ukuran ternak
  4. Tekanan yang dihasilkan akan membuat sapi merosot dan roboh ke samping

Meskipun 2 metode diatas umum dilakukan dan memang cukup efektif dan efisien dalam membantu proses penyembelihan ternak, namun sebenarnya dari aspek kesejahteraan hewan masih banyak perdebatan. Hal ini karena masih dapat menimbulkan stres bagi hewan karena membatasi pergerakan dan menyebabkan ketidaknyamanan, selain itu tarikan tali saat proses perebahan ini juga relatif sulit untuk dinilai karena pada kenyataannya masih berpotensi menyebabkan rasa sakit yang tidak semestinya.

Alternatif lain yang bisa mengakomodasi kesejahteraan hewan lebih baik dalam proses penyembelihan adalah :

Head Restraint and Chute.

Metode ini dilakukan menggunakan alat seperti penjepit yang akan  mengurung hewan dan memudahkan restrain kepala. Proses ini relatif lebih baik karena pengekangan kepala akan menjaga kepala tetap diam, sehingga memungkinkan terciptanya lingkungan yang lebih tenang bagi ternak dan keamanan bagi pekerja juga mengingat ada beberapa hewan memiliki tingkat agresivitas yang sulit ditebak yang beresiko membahayakan manusia disekitarnya.

Proses selanjutnya adalah stunning (pemingsanan), yangmana tahap ini sangat penting untuk membuat ternak tidak sadarkan diri sebelum disembelih. Dengan cara ini, ternak tidak akan merasakan sakit saat proses penyembelihan sehingga juga akan meminimalkan penderitaan ternak.

Teknik stunning salah satunya adalah dengan menggunakan pistol captive bolt atau percussive bolt stunning yang diarahkan dari kepala sehingga membuat hewan tidak sadarkan diri sebelum proses penyembelihan. Setelah hewan tidak sadarkan diri, proses penyembelihan dilakukan sekitar 1 menit kemudian. Tanda-tanda yang bisa diamati saat hewan tidak sadarkan diri adalah :

  1. mata tidak berkedip, baik spontan atau ketika mata disentuh
  2. tidak ada respons terhadap cubitan di hidung/telinga
  3. tidak ada upaya untuk berdiri
  4. kaki/telinga/ekor/rahang/lidah dalam kondisi relaks
  5. nafas tidak teratur
  6. otot kaku dan diikuti oleh kaki berkedut/menendang

Baca juga : Restraint pada Sapi

Diatas adalah beberapa paparan mengenai metode restraint dalam proses penyembelihan hewan ternak. Semua metode yang ada saat ini kemungkinan masih berpotensi menimbulkan rasa stres, takut dan sakit pada ternak jika dilakukan dengan cara yang tidak tepat. Oleh karena itu, penting bagi semua operator yang terlibat dalam proses ini memiliki kompetensi, terlatih dan mempunyai sikap yang positif terhadap kesejahteraan hewan. Perlakuan yang baik terhadap setiap hewan saat proses penyembelihan akan berkontribusi positif terhadap kesejahteraan hewan. Hewan yang tidak stres atau takut akan berperilaku lebih tenang sehingga meningkatkan keselamatan kerja karyawan dan juga mengurangi cedera fisik pada hewan.

Jadi, yang terpenting adalah bagaimana kita tetap bisa memprioritaskan animal welfare dalam proses pemotongan ternak, yaitu meminimalkan stres dan rasa sakit pada hewan.  Pertimbangkan juga untuk berkonsultasi dengan dokter hewan atau tim ahli yang berpengalaman untuk mendapatkan teknik restraint yang tepat dan juga sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Referensi :

  1. https://www.researchgate.net/publication/237092560_Stunning_and_animal_welfare_from_Islamic_and_scientific_perspectives
  2. https://www.slideshare.net/slideshow/restraining-of-animals/47243800
  3. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC7134563/ animal welfare focus in cattle
  4. https://www.pashudhanpraharee.com/handling-restraining-techniques-of-farm-animals/
  5. https://www.mdpi.com/2076-2615/14/7/1112 Movements after Captive Bolt Stunning in Cattle and Possible Animal- and Process-Related Impact Factors—A Field Study
  6. https://food.ec.europa.eu/document/download/077686aa-5832-4b4d-98c8-201240546f6f_en?filename=aw_prac_slaughter_factsheet-2018_stun_cattle_en.pdf
Restraint pada Sapi

Restraint pada Sapi

Peternak sapi umumnya sudah sangat memahami bagaimana pentingnya restraint. Saat menangani ternak sapi, penting untuk mengenali potensi bahaya saat melakukan upaya pengendalian/pengekangan ternak dan penerapan teknik pengalih perhatian untuk penanganan yang aman. Pekerja kandang harus selalu menyadari seberapa jauh hewan mampu mengayunkan kepala, ekor atau kakinya agar terhindar dari gigitan, tandukan, kibasan atau sepakan dari hewan yang akan dihandling.

Sapi dapat menggunakan bagian tubuhnya untuk menjepit pekerja/pawangnya di antara ternak lain, pagar, atau dinding atau terkadang bisa menjatuhkan pekerja dan menginjak dengan kaki depan/menanduk dengan kepalanya. Kaki belakang juga sangat berbahaya karena ternak tidak hanya bisa menendang lurus ke belakang, tapi juga bisa menendang ke luar
sisi. Bagian lain yang juga harus diwaspadai adalah ekor, karena juga bisa dipakai untuk ternak mempertahankan diri dengan mengibas-kibaskan kearah pekerja kandang yang mencoba mendekatinya. Oleh karena itu, jangan lupa untuk selalu membersihkan bagian ekor dari kotoran yang mengeras yang bisa menciderai kita.

Saat kita mencoba mendekati sapi, selalu hindari gerakan tiba-tiba agar tidak mengagetkan hewan tersebut. Sapa mereka  dengan nada rendah sehingga mereka menyadari kehadiran kita. Hindari mendekati ternak dari arah depan karena akan menimbulkan kecurigaan dan memunculkan naluri untuk bertahan atau bahkan menyerang jika ternak merasa terganggu.  Tempat yang relatif aman untuk berdiri di samping sapi adalah di bahunya, tetapi ingat bahwa sapi bisa menendang
melewati bahu lho ya…jadi selalu waspada.

Sapi memiliki bidang pandang yang luas dengan blind spot yang terletak tepat di belakangnya dan beberapa lainnya di kiri dan kanan pantat. Jika Anda sudah berdiri di zona blind spot, tetapi kemudian mengeluarkan suara yang mengagetkan atau memukul mereka dengan cambuk, ternak biasanya akan reflek menendang atau lari.

Terkait dengan restraint, sapi memiliki respon yang berbeda saat terjadi kontak dengan manusia. Hal ini tergantung pada ras dan jenis kelamin. Sapi-sapi potong import yang masuk ke Indonesia, umumnya juga memiliki tingkat agresifitas yang tinggi mengingat umumnya mereka dikembangbiakan secara liar dialam terbuka yangmana kondisinya dilapangan sangat minim kontak.

Untuk sapi perah, biasanya lebih mudah karena interaksi dengan manusia relatif lebih banyak. Teknik restraint atau pengekangan biasanya dilakukan dengan tiang penyangga atau dengan mengikat mereka ke pagar. Sapa dan bicaralah dengan lembut saat menangani sapi perah atau mereka akan menjadi gugup dan menolak. Walaupun relatif lebih mudah, sapi perah memerlukan teknik pengendalian khusus karena kita juga tidak tidak dapat memprediksi reaksinya.

Berikut adalah beberapa metode restraint yang bisa dilakukan,  yaitu :

Halter and Lead.

Halter adalah tutup kepala yang terbuat dari tali atau kulit yang dipasang di hidung dan kepala sapi. Metode ini relatif sederhana dan berguna untuk membantu peternak dalam menuntun hewan ternak yang jinak.

Metode tali ini adalah teknis mendasar yang harus dikuasai oleh peternak. Kita bisa membuat sendiri dengan tali atau membeli dipasaran yang sudah siap pakai.

Cattle Chute.

Metode mekanik ini dilakukan seperti kandang jepit, dimana ternak digiring masuk kedalamnya untuk kemudian dilakukan prosedur seperti vaksinasi, penyuntikan obat, pemotongan kuku/tanduk dan lainnya.

Pada peternakan sapi yang memiliki berbagai bentuk dan ukuran, penggunaan alat ini dapat mengakomodasi semua kebutuhan unik kawanan ternak yang dipelihara. Hal ini tentunya akan memudahkan pekerja ataupun dokter hewan dalam menangani masalah yang ada, karena ternak bisa diakses dengan mudah tanpa perlawanan berarti.

Perlengkapan tambahan seperti penahan kepala dapat memberikan keamanan ekstra saat kita mencoba merawat area di dekat wajah/kepala. Atau jika ternak terlalu lemah dan cenderung terjatuh, maka penambahan palang disekitar tulang dada juga bisa menjadi pertimbangan untuk ditambahkan.

Crowd Pen.

Ini adalah metode mekanik lain yang umumnya digunakan untuk memindahkan kelompok ternak ke suatu tempat. Kandang-kandang kecil ini menjadi “alur antrian” bagi ternak yang akan dipindahkan. Pada peternakan skala industri, kelompok ternak dikumpulkan lalu digiring menuju crowd pen untuk dimasukkan ke dalam truk trailer dan dipindahkan ke lokasi lain. Metode ini jamak dilakukan di peternakan sapi potong dimana ternak umumnya dialam liarkan sehingga minim kontak dengan manusia. Agresifitas ternak ini akan sangat membahayakan bagi pekerja jika tidak ditangani dengan baik.

Head Restraint.

Untuk perlakuan di area kepala, penggunaan pengikat/sandaran kepala ini akan cukup membantu. Alat ini umumnya dipasang di kandang jepit (lihat gambar cattle chute diatas) sehingga membantu menahan kepala ternak dan mencegahnya bergerak sehingga tindakan atau perawatan di area kepala bisa dilakukan dengan leluasa.

Nose Tongs.

Ini adalah alat yang digunakan untuk menjepit hidung sapi/ternak lainnya. Ini berguna saat digunakan untuk menahan sapi/ternak lain untuk perlakuan dalam waktu singkat seperti ear tagging, sampling darah dari vena jugularis atau hanya sekedar untuk menuntun sapi. Metode ini juga bisa digunakan untuk mencegah sapi menggerakkan kepalanya sehingga saat pememeriksaan atau tindakan sekitar kepala lebih mudah.

Tail Restraint.

Metode pengangkatan ekor ini dilakukan untuk mengalihkan perhatian ternak sehingga mencegah adanya tendangan kaki yang beresiko melukai pekerja. Teknik ini harus dilakukan dengan benar agar tidak mematahkan ekornya, yaitu dengan cara menjepit tulang belakang dan ekornya sehingga ternak akan fokus pada reaksi saraf yang dihasilkan.

Penting untuk dicatat bahwa metode penanganan dan pengendalian ternak bervariasi, dan paparan diatas hanya sebagian saja yang dikupas. Pemilihan metode yang terbaik adalah yang sesuai dengan situasi dan kondisi di lapangan. Hal lain yang perlu digaris bawahi lagi untuk keamanan dan kenyaman baik ternak maupun pekerja adalah  :

  1. Penerapan animal welfare
  2. Menangani ternak dengan tenang
  3. Hindari gerakan tiba-tiba atau suara keras
  4. Waspadai zona jangkauan sapi dan hindari berdiri di dalamnya agar terhindar dari gigitan/sepakan
  5. Gunakan tongkat atau bendera untuk memandu sapi, tetapi bukan untuk memukulnya
  6. Mintalah bantuan dari orang lain jika anda sedang menangani sapi/ternak yang besar atau agresif.

Semoga bermanfaat !!

Referensi :

  1. https://www.beefmagazine.com/farm-business-management/your-ultimate-cattle-chute-buying-guide
  2. https://www.youtube.com/watch?v=XVrcEtUhn6s Crowd Pen
  3. https://animalhandlingavbs1002.weebly.com/cattle-restraint-within-a-cattle-crush.html
  4. https://ouv.vt.edu/content/dam/ouv_vt_edu/sops/large-animal/sop-bovine-restraint.pdf
  5. https://www.vettechprep.com/_pps/HKEVCQTBLLCQNHY29010.PDF Cattle Restraint
  6. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4693213/How Farm Animals React and Perceive Stressful Situations Such As Handling, Restraint, and Transport
Parasit pada Sapi

Parasit pada Sapi

Sapi rentan terhadap berbagai macam parasit, baik internal maupun eksternal, yang dapat berdampak signifikan terhadap kesehatan dan produktivitas mereka. Berikut adalah beberapa parasit penting yang umumnya ditemukan saat kita beternak sapi :

Parasit internal

Cacing gelang (roundworm)

Ini adalah parasit internal yang paling umum pada sapi, termasuk cacing perut, cacing usus, dan cacing paru-paru. Mereka memakan darah dan jaringan hewan, menyebabkan penurunan berat badan, diare, anemia, dan penurunan produksi susu.

Contoh cacing gelang yang biasa ditemui adalah Brown stomach worm (Ostertagia ostertagi), instestinal worms (Cooperia oncophora and punctata, Nematodirus helvetianus), dan cacing paru ((Dictyocaulus viviparous).

Gambar diatas adalah siklus hidup cacing Ostertagia ostertagi, namun sebenarnya siklus hidup parasit cacing gelang lainnya seperti Cooperia oncophora, Cooperia puntata, Nematodirus helvetiatianus sangat mirip. Kunci penularan dan pengendalian parasit untuk spesies cacing gelang ini adalah kontaminasi padang rumput.

Cacing pipih (Flukes)

Cacing pipih ini hidup di hati atau rumen sapi, dimana mereka merusak jaringan dan mengganggu pencernaan. Hal ini dapat menyebabkan penurunan berat badan, produksi air susu yang buruk, dan bahkan kematian.

Menggembalakan ternak di padang rumput dekat perairan berlumpur atau dangkal sangat rentan terhadap serangan cacing hati pada sapi (fasciola hepatica) atau cacing hati pada rusa (fasciola magna). Dibawah ini adalah gambaran siklus hidup cacing pipih :

Cacing pita (tapeworm)

Cacing bersegmen ini menempel pada lapisan usus kecil, tempat mereka menyerap nutrisi dari makanan hewani. Hal ini dapat menyebabkan penurunan berat badan, diare dan pertumbuhan yang buruk.

Berikuta adalah gambaran siklus hidup tidak langsung dari cacing pita yang biasa ditemukan pada sapi, yaitu Moniezia benedeni dimana melibatkan tungau rumput (mites) sebagai inang perantara dan sapi sebagai inang terakhir.

Protozoa

Organisme bersel tunggal ini, seperti coccidia, dapat menyebabkan diare, dehidrasi, dan penurunan berat badan pada anak sapi.

Untuk informasi lebih lanjut mengenai ini silahkan bisa baca di artikel ini : Diare pada sapi

Parasit eksternal

Lalat (fly)

Lalat tanduk (horn flies), lalat kuda (horse flies), lalat muka (face flies), lalat tumit (heel flies) dan lalat kandang (stable flies) merupakan hama utama yang mengganggu ternak dan dapat menurunkan produksi susu.

Lalat tanduk adalah lalat kecil penghisap darah yang paling banyak terlihat dan banyak terdapat pada ternak yang digembalakan. Lalat kandang, yang biasanya menjadi hama di sekitar kandang ternak, telah menjadi masalah bagi ternak yang digembalakan juga. Lalat kuda, Tabanus abactor adalah vektor mekanis anaplasmosis. Lalat muka berperan penting dalam penyebaran Moraxella bovis, bakteri penyebab penyakit Pink Eye pada sapi. Lalat muka bukanlah pengisap darah seperti lainnya, menyerupai lalat rumah dan makan tanaman berbunga serta air mata, air liur, lendir, dan darah yang mungkin keluar/mengalir dari hewan ternak kita. Terakhir adalah lalat tumit, lalat tumit yang berukuran sebesar lebah madu. Lalat ini bertelur dan menetas menjadi larva yang mampu menembus kulit ternak.

Kutu (lice)

Serangga kecil ini mengiritasi kulit dan menyebabkan ternak gatal, sehingga dapat merusak kulitnya dan mengganggu pertambahan berat badan, terutama pada sapi potong.

Kutu dapat menyebabkan stres ekstrem pada ternak karena  menghabiskan banyak energi untuk menggaruk, menjilat, dan mencakar bagian tubuhnya sendiri karena gangguan yang dihasilkan. Dan pada kasus yang parah, kutu bahkan bisa menyebabkan anemia. Perlu ketelitian dalam evaluasi dilapangan, karena kurap (ringworm) terkadang bisa disalahartikan sebagai infestasi kutu.

Dari gambar diatas, ada kita tahu bahwa ada 2 jenis kutu yang menyerang sapi potong, yaitu kutu pengunyah (chewing lice), seperti cattle biting louse dan kutu penghisap (sucking lice), seperti the long-nosed cattle louse, the little blue cattle louse dan the short-nosed cattle louse. Kutu kunyah sering ditemukan di bagian atas dan samping ternak, sedangkan kutu penghisap di sepanjang kepala dan bahu ternak.

Tungau (mite)

Tungau adalah parasit yang umum ditemukan pada banyak hewan, termasuk anjing, ayam, dan sapi. Makhluk ini berada dibawah kulit untuk mencari makan dan berkembang biak, yang pada akhirnya menyebabkan terbentuknya keropeng besar. Tungau ini menyebabkan kudis (mange), suatu kondisi kulit yang menyebabkan gatal-gatal, rambut rontok, dan penurunan berat badan.

Berbagai macam tungau menginfeksi ternak, dan beberapa di antaranya dapat menyebabkan jenis kudis (penyakit kulit) tertentu. Spesies tungau yang umum meliputi:

  1. Sarcoptes scabiei (tungau kudis)
  2. Psoroptes ovis (tungau psoroptik)
  3. Chorioptes bovis (tungau keropeng chorioptic)
  4. Demodex bovis (tungau folikel sapi)

Sapi yang terkena Psoroptes bovis mungkin menderita keropeng sapi, atau kudis psoroptik. Selain keropeng, kondisi ini dapat menimbulkan gejala berikut:

  1. Infeksi kulit
  2. Iritasi/Gatal
  3. Berdarah
  4. Penurunan berat badan
  5. Abrasi kulit
  6. Pembuluh darah bengkak

Sapi yang terkena Chorioptes bovis  akan mengalami chorioptic scab. Gejala yang paling umum adalah keropeng pada kulit, sedangkan gejala lain yang mungkin mungkin muncul adalah lesi berisi nanah, skaling, kulit yang menebal, rambut rontok, gerakan menghentak (stomping), menggosok dan mengunyah, serta eritema (ruam kulit).

Tungau keropeng korioptik sering kali berada di tungkai dan kaki sapi,  oleh karena itu sering disebut kudis kaki/tungkai. Sapi yang sehat juga mungkin membawa tungau tetapi tidak menunjukkan gejala apa punm sehingga terkadang dapat menulari sapi-sapi yang sistem imunnya lemah.

Caplak (tick)

Parasit penghisap darah ini dapat menularkan penyakit seperti babesiosis dan anaplasmosis, yang dapat berakibat fatal bagi ternak. Dibawah ini adalah macam-macam caplak yang bisa temui pada ternak sapi di seluruh dunia :

 

Diperkirakan lebih dari 80% populasi sapi di seluruh dunia terkena serangan caplak. Di Mexico, Rhipicephalus (Boophilus) microplus (Canestrini), R. (B.) annulatus (Say) dan Amblyomma mixtum (Koch) adalah yang paling  penting.

 

Dampak parasit

Infestasi parasit dapat menimbulkan dampak negatif yang signifikan terhadap kesehatan, produktivitas, dan keuntungan ternak. Hal ini dapat menyebabkan:

  1. Mengurangi pertambahan berat badan dan produksi susu
  2. Konversi pakan buruk
  3. Peningkatan kerentanan terhadap penyakit lain
  4. Kematian

Pengendalian dan Pencegahan

Program pengendalian parasit yang komprehensif sangat penting untuk menjaga kesehatan dan produktivitas ternak. Program ini idealnya harus mencakup:

  1. Pengujian tinja secara teratur untuk mengidentifikasi parasit internal
  2. Pengobatan yang sesuai
  3. Pengendalian lalat dengan penggunaan pengusir lalat dan ear tag insektisida
  4. Pengelolaan kotoran yang tepat untuk mengurangi risiko infeksi ulang
  5. Karantina dan pengobatan hewan baru
  6. Vaksinasi terhadap beberapa parasit, seperti cacing paru

Baca juga : Antiparasit pada Sapi

Dengan menerapkan langkah-langkah ini, produsen ternak dapat membantu melindungi hewan mereka dari parasit,  memastikan kesehatan dan produktivitas jangka panjang, serta memaksimalkan keuntungan.

Ini adalah gambaran singkat mengenai parasit pada sapi. Secara bertahap, kami akan membahas satu-persatu di artikel selanjutnya.

Semoga informasi ini bermanfaat! Silahkan hubungi kami jika anda memiliki pertanyaan DISINI.

Referensi :

  1. https://www.beefresearch.ca/topics/parasites-internal/
  2. https://www.canadiancattlemen.ca/livestock/controlling-liver-flukes-in-beef-cattle/
  3. https://wormboss.com.au/about-worms/worm-life-cycles-and-life-stages/cattle-tapeworm-life-cycle-adult-worms-in-cattle-herbivorous/
  4. https://extension.okstate.edu/fact-sheets/beef-cattle-ectoparasites.html
  5. https://onpasture.com/2020/11/02/got-lice-keep-them-from-sucking-the-life-out-of-your-herd/
  6. https://diamondhoofcare.com/8-common-causes-of-scabs-on-cows/
  7. https://www.frontiersin.org/articles/10.3389/ffunb.2021.657694/full Entomopathogenic Fungi for Tick Control in Cattle Livestock From Mexico
Prospek dan Tantangan Peternakan 2024

Prospek dan Tantangan Peternakan 2024

Prospek peternakan di Indonesia pada tahun 2024 diperkirakan akan tetap positif. Hal ini didukung oleh beberapa faktor, antara lain:

  • Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang diperkirakan mencapai 5,15% pada tahun 2024. Pertumbuhan ekonomi yang positif akan meningkatkan daya beli masyarakat, sehingga permintaan akan produk peternakan juga akan meningkat.
  • Peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya konsumsi protein hewani. Protein hewani merupakan sumber nutrisi yang penting bagi kesehatan, sehingga permintaan akan produk peternakan, seperti daging, telur, dan susu, diperkirakan akan terus meningkat.
  • Pemerintah Indonesia yang terus mendorong pengembangan industri peternakan. Pemerintah telah menetapkan target swasembada daging sapi pada tahun 2026. Untuk mencapai target tersebut, pemerintah telah melakukan berbagai upaya, seperti penyediaan bibit ternak yang berkualitas, pemberian subsidi, dan pengembangan teknologi peternakan.

Berdasarkan faktor-faktor tersebut, komoditas peternakan yang diperkirakan akan memiliki prospek yang baik di tahun 2024 adalah:

  • Daging sapi. Permintaan akan daging sapi diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya konsumsi protein hewani.
  • Telur. Permintaan akan telur juga diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan peningkatan daya beli masyarakat dan kesadaran masyarakat akan pentingnya konsumsi protein hewani.
  • Susu. Permintaan akan susu juga diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan peningkatan daya beli masyarakat dan kesadaran masyarakat akan pentingnya konsumsi protein hewani.

Selain komoditas-komoditas tersebut, komoditas peternakan lain yang juga memiliki prospek yang baik di tahun 2024 adalah:

  • Daging ayam
  • Daging kambing
  • Daging domba
  • Susu sapi
  • Susu kambing

Untuk memanfaatkan prospek yang baik tersebut, para pelaku usaha peternakan perlu meningkatkan produktivitas dan efisiensi usahanya. Selain itu, para pelaku usaha peternakan juga perlu berinovasi dan mengembangkan produk baru yang sesuai dengan kebutuhan konsumen.

Selain prospek yang positif, industri peternakan juga menghadapi beberapa tantangan, antara lain:

  • Harga pakan yang tinggi. Harga pakan merupakan salah satu biaya produksi yang paling besar dalam usaha peternakan. Harga pakan yang tinggi akan menyebabkan biaya produksi juga menjadi tinggi, sehingga akan mengurangi keuntungan usaha peternakan.
    Image of Harga pakan yang tinggi
  • Kelangkaan tenaga kerja. Tenaga kerja merupakan salah satu faktor produksi yang penting dalam usaha peternakan. Namun, saat ini, tenaga kerja yang terampil di bidang peternakan masih terbatas. Hal ini akan menyebabkan kesulitan bagi pelaku usaha peternakan untuk mendapatkan tenaga kerja yang berkualitas.
    Image of Kelangkaan tenaga kerja
  • Penyakit hewan. Penyakit hewan merupakan salah satu ancaman serius bagi industri peternakan. Penyakit hewan dapat menyebabkan kematian ternak, sehingga akan menurunkan produksi dan pendapatan usaha peternakan. Semua ternak memiliki resiko penyakit yang harus diwaspadai, seperti Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) dan Lumphy Skin Disease (LSD) pada ternak sapi, African Swine Fever (ASF) pada ternak babi, Newcastle Disease, Avian Influenza, Infectious Bursal Disease dan Infectious Coryza pada unggas.
  • Perubahan iklim. Perubahan iklim dapat berdampak negatif terhadap industri peternakan. Perubahan iklim dapat menyebabkan kekeringan, banjir, dan hama, sehingga akan mengganggu produksi ternak.
    Image of Perubahan iklim

Untuk mengatasi tantangan-tantangan tersebut, para pelaku usaha peternakan perlu melakukan berbagai upaya, antara lain:

  • Mencari sumber pakan alternatif. Para pelaku usaha peternakan perlu mencari sumber pakan alternatif yang lebih murah dan tersedia secara lokal.
  • Meningkatkan produktivitas ternak. Para pelaku usaha peternakan perlu meningkatkan produktivitas ternak agar dapat mengurangi biaya produksi.
  • Meningkatkan keterampilan tenaga kerja. Para pelaku usaha peternakan perlu meningkatkan keterampilan tenaga kerja agar dapat meningkatkan produktivitas dan efisiensi usaha.
  • Meningkatkan biosekuriti. Para pelaku usaha peternakan perlu meningkatkan biosekuriti untuk mencegah penyebaran penyakit hewan. Vaksinasi juga menjadi faktor penting dalam program pengendalian penyakit. Baca juga : Biosekuriti di era new normal
  • Beradaptasi dengan perubahan iklim. Para pelaku usaha peternakan perlu beradaptasi dengan perubahan iklim dengan menerapkan praktik peternakan yang lebih ramah lingkungan.

Jadi peluang itu ada, hanya kita harus benar-benar berhitung dan mempersiapkan semuanya dengan matang. Dengan kita siap dan mampu menghadapi tantangan-tantangan yang ada saat ini, industri peternakan di Indonesia diharapkan dapat terus berkembang dan memenuhi kebutuhan masyarakat akan protein hewani.

Referensi :

  1. https://www.idxchannel.com/economics/harga-pakan-ternak-terlalu-tinggi-ternyata-ini-sebabnya
  2. https://buletin.bpdp.or.id/?p=1015 Isu kelangkaan tenaga kerja ditengah pandemi
Brucellosis pada Sapi

Brucellosis pada Sapi

Brucellosis merupakan penyakit bakteri yang disebabkan oleh Brucella sp., yang terutama menginfeksi sapi, babi, kambing, domba dan anjing. Brucellosis bersifat zoonosis, dan manusia umumnya tertular melalui kontak langsung dengan hewan yang terinfeksi, makan atau minum produk hewani yang terkontaminasi, atau dengan menghirup bakteri yang ditularkan melalui udara. Namun, sebagian besar kasus pada manusia disebabkan oleh konsumsi susu atau keju yang tidak dipasteurisasi dari kambing atau domba yang terinfeksi. Gejala brucellosis pada manusia antara lain demam, berkeringat, anoreksia, malaise, penurunan berat badan, depresi, sakit kepala, dan nyeri sendi.

 Brucellosis adalah salah satu penyakit zoonosis yang paling luas ditularkan melalui hewan dan di daerah endemik, brucellosis pada manusia mempunyai konsekuensi kesehatan masyarakat yang serius. Perluasan industri peternakan dan urbanisasi, serta kurangnya tindakan higienis dalam peternakan dan penanganan makanan, turut menyebabkan brucellosis tetap menjadi bahaya kesehatan masyarakat.

Penyebab

Brucellosis disebabkan oleh bakteri Brucella abortus yang terdiri dari 8 biovar (1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, dan 9) berdasarkan sebaran geografis. Brucella abortus menyebabkan penyakit terutama pada sapi, domba, kambing, dan hewan peliharaan lainnya.  Sapi juga bisa terinfeksi Brucella suis dan Brucella melitensis ketika ternak ini berada pada pada tempat penggembalaan bersama babi, kambing, atau domba yang terinfeksi. Brucella abortus adalah bakteri intraseluler kecil, Gram-negatif, dan fakultatif.

Gejala Klinis

Gejala utama adalah terjadinya aborsi pada tahap akhir kebuntingan pada sapi betina, serta orchitis dan bursitis pada sapi jantan. Infeksi ini dapat menyebabkan aborsi, anak lahir mati, retensi plasenta, prematur dan kelemahan pada anak sapi. Retensi selaput fetus dan endometritis umumnya adalah akibat lanjutan setelah kejadian aborsi, sedangkan higroma pada sendi kaki sapi  merupakan tanda khas akibat infeksi kronis Brucella sp.

Penularan 

Brucellosis biasanya ditularkan ke sapi lain melalui interaksi langsung atau tidak langsung dengan sapi yang sakit atau kotorannya. Konsumsi pakan, air minum, atau koilostrum yang terkontaminasi bakteri saat proses kelahiran atau induk sapi  menjilati anaknya yang baru lahir bisa menjadi rute penularan juga karena cairan uterus mungkin memiliki tingkat bakteri yang sangat tinggi dan merupakan sumber utama infeksi.  Brucellosis jarang menular melalui proses kawin alami pada sapi, namun inseminasi buatan (IB) terbukti menyebarkan infeksi dari sapi yang terinfeksi ke sapi yang sehat.

Manusia biasanya tertular melalui konsumsi susu atau produk susu yang tidak dipasteurisasi. Interaksi mukosa dengan cairan atau jaringan fetus yang abortus dari sapi yang sakit juga dapat menjadi sumber penyakit pada manusia sehingga pekerja rumah potong hewan, peternakan, dan laboratorium, serta dokter hewan memiliki resiko tinggi terinfeksi.

Faktor Resiko

Faktor resiko umumnya dipengaruhi oleh berbagai hal yang berhubungan dengan sistem manajemen, inang, dan lingkungan. Hal ini mencakup umur, jenis kelamin, dan ras sapi (ada anggapan ras campuran lebih rentan), ukuran dan jenis ternak, serta agroekologi.

Umur menjadi faktor intrinsik, dimana seroprevalensinya lebih tinggi ditemukan pada sapi dewasa dibandingkan pada sapi muda dimana bakteri akan tumbuh karena adanya konsentrasi eritriol yang dihasilkan fetus sapi didalam rahim. Sapi betina lebih besar kemungkinannya terkena infeksi dibandingkan sapi jantan sehingga gejala seperti epididimitis dan orchitis pada pejantan relatif lebih mudah diatasi. Pada sapi betina yang tidak bunting brucellosis bisa menjadi kronis, carrier dan sulit diidentifikasi dengan metode serologis standar.

Terkait kawanan, populasi besar cinderung memiliki resiko penularan yang relatif besar jika tidak menerapkan managemen yang baik. Interaksi antar ternak, kompleks peternakan atau penggunaan lahan penggembalaan bersama, serta teknik pembersihan dan disinfeksi yang tidak memadai akan memicu tingginya kasus bucellosis jika ada ternak yang terinfeksi.

Penggembalaan beberapa spesies ternak dalam satu kawasan juga menjadi faktor resiko brucellosis, meskipun tidak ada indikasi kerentanan yang lebih tinggi pada spesies tertentu.  Kejadian brucellosis sendiri jarang menyebar dari ruminansia kecil ke sapi, namun demikian ancaman terhadap peternakan sapi yang juga memelihara ruminansia kecil dilokasi yang sama menunjukkan bukti bahwa beberapa kasus mungkin berasal dari ruminansia kecil, karena ternyata B. melitensis biovar 3 telah diisolasi dari air susu sapi.

Sapi perah mempunyai kemungkinan yang jauh lebih besar untuk tidak hanya tertular infeksi Brucellosis namun juga menyebarkannya lebih cepat dibandingkan sapi potong. Sapi yang dipelihara di area kecil akan lebih mudah terjadi kontak  satu sama lain saat diberi pakan dan diperah. Selain itu, jika kondisi peternakan tidak nyaman, sapi perah akan mengalami stres sehingga hal ini lebih kondusif bagi infeksi Brucellosis. Sebagian besar penyakit menular pada ternak yang sebelumnya bebas brucellosis dimulai dengan aktifitas pembelian sapi yang sakit/carrier. Oleh karena itu, pastikan kita membeli dari peternak yang mempunyai reputasi baik dan terpercaya.

Agroekologi juga diakui sebagai faktor resiko infeksi Brucellosis. Prevalensi yang lebih tinggi umumnya terjadi di daerah yang  kering, karena kurangnya padang rumput menyebabkan ternak terkonsentrasi atau ditempatkan dilokasi yang memungkinkan interaksi antar ternak yang tidak terkendali.  Selain itu, kemungkinan besar terjadi penularan melalui penghirupan aerosol dari debu yang terkontaminasi dari cairan fetus atau aborsi dari ternak yang terinfeksi. Pengelolaan intensif dengan managemen pemeliharaan yang baik idealnya akan mengurangi resiko penularan penyakit karena proses pengelolaan aborsi, identifikasi ternak yang sakit, serta interaksi antar ternak bisa dimonitor dan dibatasi.

Diagnosa

Brucellosis tidak dapat didiagnosis hanya berdasarkan gejalanya saja, sehingga perlu dilakukan pengujian laboratorium terhadap sampel darah atau air susu, serta uji kultur dari selaput fetus, leleran vagina atau air susu dari sapi yang terinfeksi.

Diagnosa langsung. 

Dapat dipastikan dengan ditemukannya bakteri pada preparat apus dengan pewarnaan mikroskopis. Preparat apus dapat dibuat dari sekret vagina, plasenta, kolostrum, cairan lambung fetus, lokia sapi yang diaborsi, atau abomasum fetus yang diaborsi, dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen (MZN) yang dimodifikasi, dengan hasil tampak  coccobacilli intraseluler berwarna merah atau berbentuk batang, sedangkan bakteri lain berwarna biru.

Semua strain Brucella tumbuh relatif lambat dan karena spesimen yang diisolasi seringkali sangat terkontaminasi, maka  penggunaan media selektif (media Farrell, media Brucella albimi) sangat dianjurkan untuk proses inkubasi.  Sampel yang dapat digunakan untuk isolasi B. abortus antara lain cairan lambung fetus, limpa, hati, plasenta, lokia, air susu (kolostrum atau air susu dalam waktu seminggu setelah melahirkan), air mani, dan kelenjar getah bening (limpoglandula supramammary untuk infeksi laten/kronis dan limpoglandula retrofaringeal untuk infeksi awal). Jika reaksi serologis diduga disebabkan oleh strain vaksin S19, maka kelenjar getah bening prescapular juga harus diambil. Semua isolat kemudian dikirim ke laboratorium yang memiliki fasilitas biotyping.

Diagnosis Tidak Langsung

Jika tidak ada fasilitas kultur bakteri, diagnosa brucell0sis biasanya didasarkan pada uji serologis, dengan berbagai uji aglutinasi seperti Rose Bengal Plate Test (RBPT), uji aglutinasi serum, dan antiglobulin. Deteksi antibodi merupakan metode yang lebih sensitif dan dapat digunakan untuk monitoring suatu kawanan. Uji Indirect Elisa (i-ELISA) dan Competitive Elisa (c-ELISA) juga bisa digunakan untuk konfirmasi diagnosa brucellosis.

RBPT adalah tes yang sangat sensitif yang digunakan untuk skrining sampel serum, cepat, murah dan mudah dilakukan namun metode ini tidak dapat membedakan antara reaksi lapangan dan strain vaksin S19. Diagnosa bisa dipengaruhi oleh adanya reaksi silang yang memberikan hasil tes serologis positif palsu hasil vaksin S19 atau bakteri gram negatif lain yang memiliki epitop serupa. Bakteri B. abortus O-chain polysaccharides, Yersinia enterocolitica 0:9Escherichia coli 0157:H7Salmonella group N (0:30), Francisella tularemiaStenotrophomonas maltophiliaPasteurella sp., dan Vibrio cholera  dapat bereaksi dalam uji serologis ini. Oleh karena itu, reaksi positif ini harus ditindaklanjuti dengan konfirmasi serologi yang sesuai dan/atau penyelidikan epidemiologi lebih lanjut. The complement fixation test (CFT) adalah tes yang paling umum digunakan untuk konfirmasi serologis kasus brucellosis pada sapi dan direkomendasikan oleh Organisasi Kesehatan Hewan Dunia ketika uji RBPT positif. Uji CFT didasarkan pada deteksi antibodi IgM dan IgG1.

Spesifisitas c-ELISA adalah sangat tinggi dan mampu mengidentifikasi semua isotop antibodi (IgM, IgG1, IgG2, dan IgA). c-ELISA memiliki spesifisitas diagnostik yang tinggi (100%) dan sensitivitas 98,8%, sehingga dianggap sebagai uji yang paling tes spesifik. Uji i-ELISA juga telah digunakan untuk diagnosis serologis serum atau air susu sapi, serta sensitif dan  spesifik untuk B. abortus atau B. melitensis, namun tidak mampu membedakan antibodi yang diinduksi oleh strain vaksin S19 atau Rev1. Sensitivitas i-ELISA bervariasi dari 96-100% dan spesifisitasnya dari 93,8-100%. Uji konfirmasi ini harus menunjukkan tingkat spesifisitas diagnostik yang tinggi dan mempertahankan sensitivitas yang efektif untuk mengurangi jumlah reaksi positif palsu hingga paling minimum.

Baca juga : 5 Penyakit penting pada sapi perah

Pencegahan/Pengobatan

Pengobatan brucellosis yang dilakukan di lapangan umumnya tidak efektif karena bersifat intraseluler, yaitu bakteri dapat bertahan dan berkembang biak di dalam sel. Infeksi biasanya masuk ke dalam kawanan karena adanya ternak yang sakit, atau dari semen pejantan yang terinfeksi dan fomites yang terkontaminasi. Program vaksinasi pada anak sapi atau sapi dara merupakan cara yang paling efektif dalam menangani Brucellosis di daerah endemik.

Jika ingin memasukkan sapi baru, harus dipastikan sapi sehat dan berasal dari daerah bebas penyakit. Ternak harus melalui proses karantina dan diuji terhadap brucellosis sebelum dimasukkan ke dalam kelompok. Brucellosis dapat diberantas dengan mengkarantina sapi yang terinfeksi, vaksinasi, serta metode uji dan penyembelihan.

Sangat penting untuk mewaspadai sapi-sapi impor. Walaupun mungkin telah dites negatif sebelum diimpor, namun pada banyak sapi, hasil tesnya akan negatif sampai sapi tersebut beranak atau abortus. Semua sapi yang diimpor harus diuji setelah melahirkan meskipun anak sapi tersebut normal.

Peraturan yang berlaku saat ini mengharuskan semua ternak yang pernah melakukan kontak dengan hewan yang terinfeksi harus disembelih. Artinya, jika sapi impor yang kemudian diketahui terinfeksi brucellosis, dicampur dengan indukan sebelum beranak, maka sapi-sapi yang dicampur tersebut harus disembelih juga. Oleh karena itu penting untuk memastikan bahwa hewan impor dikarantina dengan benar sampai hasil tes brucellosis mereka negatif setelah melahirkan untuk pertama kalinya. Selain itu, lakukan program biosekuriti yang tepat dan berkonsultasi dengan dokter hewan untuk semua proses ini.

Bagaimana di Indonesia?

Bovine brucellosis merupakan penyakit zoonosis dan endemik di Indonesia yang menyebabkan kerugian ekonomi signifikan akibat aborsi, lahir mati, infertilitas, sterilitas, dan berkurangnya produksi susu. Brucella abortus terdiri dari 8 biovar (1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, dan 9) berdasarkan sebaran geografis.  Sebuah penelitian dilakukan untuk mengetahui biovar mana yang bertanggung jawab terhadap brucellosis di peternakan sapi di Indonesia. Hasilnya adalah dari 50 isolat B. abortus  yang diisolasi dari sampel susu (29 sampel) dan cairan hygroma (21 sampel), ditemukan bahwa 42 isolat (84%) merupakan B. abortus biovar 1, lalu 2 isolat merupakan biovar 2 (12%), dan 3 isolat merupakan biovar 3 (4%). Maka, dari penelitian ini mengungkapkan bahwa B. abortus biovar 1 adalah penyebab paling umum dari brucellosis pada sapi di Indonesia.

Brucellosis adalah penyakit serius dengan implikasi ekonomi dan kesehatan masyarakat yang signifikan. Dengan kita  mengerti kondisi tantangan ini, maka menyusun program pemeliharaan dan biosekuriti yang benar, serta melakukan vaksinasi untuk area-area yang memang sudah endemik menjadi sebuah keharusan. Hal ini penting untuk meminimalkan resiko kejadian brucellosis, baik itu pada ternak maupun manusia.

Referensi:

  1. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC8752066/ Bovine Brucellosis :epidemiology, public health implication and status of brucellosis in Ethiopia
  2. https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/brucellosis
  3. https://www.nadis.org.uk/disease-a-z/cattle/brucellosis/
  4. https://scholar.ui.ac.id/en/publications/identification-of-brucella-abortus-biovars-isolated-from-cattle-i
  5. https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/01652176.2020.1868616 bovine brucellosis – comprehensive review
  6. https://cuidateplus.marca.com/enfermedades/infecciosas/brucelosis.html
Leptospirosis pada Sapi

Leptospirosis pada Sapi

Leptospirosis adalah salah satu penyakit zoonosis yang paling luas penyebarannya di seluruh dunia. Setiap tahun diperkirakan 1,03 juta orang terinfeksi, 873.000 orang mengalami infeksi parah, dan 49.000 orang meninggal karena tertular bakteri ini. Penyakit ini umumnya menyerang berbagai hewan mamalia, termasuk sapi dimana dapat menyebabkan kerugian ekonomi yang signifikan bagi peternak. Leptospirosis dapat menyebabkan kematian pada ternak, penurunan produksi susu, dan gangguan reproduksi (infertilitas, aborsi).

Leptospirosis pada sapi dapat menyebar melalui kontak langsung antara sapi yang terinfeksi dan sapi yang rentan. Bakteri Leptospira dapat masuk ke tubuh sapi melalui kulit yang terluka, mukosa, atau saluran pencernaan. Bakteri Leptospira juga dapat menyebar melalui air atau makanan yang terkontaminasi.

Leptospirosis dapat menyerang manusia dan menyebabkan gejala mirip influenza dengan sakit kepala parah, namun dapat diobati secara efektif. Peternak sapi perah sangat berisiko tertular penyakit akibat percikan urin ke wajah saat memerah susu sapi. Namun demikian, dengan proses pasteurisasi organisme yang diekskresikan dalam air susu ini masih dapat  dihancurkan.

Penyebab
Leptospirosis disebabkan oleh bakteri Leptospira hardjo, yaitu Leptospira borgpetersenii serovar Hardjo dan Leptospira interrogans serovar Hardjo. Infeksi timbul dari kontak dengan urin yang terinfeksi atau produk aborsi. Di negara 4 musin, penyakit ini paling sering menyebar pada musim semi dan musim panas saat ternak berada di padang rumput. Leptospira sp. rentan terhadap kekeringan, paparan sinar matahari, pH<5,8 atau suhu ekstrem.

Leptospira Hardjo tidak dibawa oleh hama atau satwa liar tetapi ternak domba dapat menjadi carrier dan shedding bakteri ini ke lingkungan, sehingga jika dalam padang gembalaan terjadi kontak maka resiko tertular sangat tinggi.
Faktor resiko penting lainnya yang perlu diperhatikan adalah penggunakan pejantan terinfeksi dan cemaran pada sumber air di padang penggembalaan.

Gejala Klinis
Penurunan produksi susu secara tiba-tiba dapat teramati dalam 2-7 hari setelah sapi yang rentan terinfeksi, dimana ambing akan menjadi lunak dan lembek dan terlihat sekret seperti kolostrum atau susu yang mengandung darah. Gejala yang nampak mungkin terlihat ringan atau tidak terdeteksi, namun beberapa sapi akan menjadi lesu, kaku disertai demam dan berkurangnya nafsu makan.

Aborsi dapat terjadi dalam 3-12  minggu setelah infeksi dan sebagian besar terjadi pada 3 bulan terakhir fase kebuntingan, atau jika mampu bertahan umumnya anak sapi akan lahir prematur dan lemah. Gangguan lain yang bisa diamati adalah tingginya kasus kawin berulang pada induk sapi yang terinfeksi saluran reproduksinya. Leptospira Hardjo juga dapat menyebabkan kematian embrio.

Penularan lewat proses perkawinan dengan pejantan bisa terjadi, namun umumnya tidak berdampak buruk karena Leptospira Hardjo akan mati oleh sistem pertahanan pada rahim selama periode estrus. Percobaan aplikasi vaksinasi leptospira di area endemik menunjukkan peningkatan parameter kesuburan pada sapi dibandingkan dengan yang tidak divaksin.

Diagnosis banding
Dilapangan, jika ada kejadian penurunan volume air susu tidak serta merta disebabkan oleh Leptospira sp., oleh karena itu kita harus tetap melakukan pengujian dan evaluasi lebih lanjut sebelum melakukan terapi. Sebaiknya anda berkonsultasi dengan dokter hewan agar diagnosa tidak salah.

Kejadian penurunan produksi air susu dapat dipengaruhi perubahan mendadak dalam pola makan/komposisi nutrisi didalam pakan. Sedangkan selain Leptospirosis, penyakit lain yang bisa menyebabkan penurunan produksi air susu antara lain adalah Bovine Virus Diarrhea (BVD), infestasi cacing paru-paru, Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR), Bovine Respiratory Syncytial Virus (BRSV), influenza A dan Salmonellosis.

Untuk kejadian aborsi, selain Leptospirosis kita juga harus memperhatikan gangguan infeksi lain seperti Neospora caninum, BVD, Salmonella spp., Bacillus likeniformis, atau Campylobacter.

Baca juga : 5 penyakit penting pada sapi perah

Diagnosa

Diagnosis leptospirosis pada sapi dapat dilakukan dengan pemeriksaan laboratorium terhadap sampel darah, urin, atau jaringan tubuh. Pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan dengan metode kultur, serologi, atau molekuler. Tes untuk mendeteksi antibodi terhadap Leptospira Hardjo dari sampel darah dengan titer MAT serum >1/100 yang dianggap cukup  signifikan.

Jika kita menghadapi kasus penurunan produksi air susu, pada infeksi yang akut, pengambilan 2x sampel serum dengan interval  waktu 3-4 minggu biasanya akan menunjukkan peningkatan konsentrasi MAT atau ELISA. Sedangkan jika menggunakan sampel urin, bakteri Leptospira dapat dilihat menggunakan dark-field microscopy.

Jika terjadi kasus aborsi, kita bisa melakukan uji Elisa terhadap indukan namun penggunaannya terbatas karena titer MAT dapat turun dengan cepat setelah infeksi akut dan menjadi negatif pada saat kejadian aborsi sehingga hasil positif mungkin hanya mencerminkan paparan sebelumnya. Selama ada peningkatan kasus aborsi, gambaran titer MAT >1/400 pada beberapa sapi  mungkin bermakna. Titer Elisa dilaporkan tetap positif lebih lama setelah infeksi sehingga mungkin hanya mengindikasikan paparan sebelumnya.

Selain uji Elisa terhadap induk yang mengalami aborsi, kita juga bisa melakukan uji terhadap fetus yang diaborsi. Antibodi yang terdeteksi dalam cairan fetus mungkin mengindikasikan paparan Leptospira Hardjo di dalam rahim setelah usia kebuntingan 4 bulan, namun fetus kemungkinan mati sebelum respon imunnya meningkat. Konfirmasi deteksi antigen dapat dilakukan dengan Tes antibodi fluoresen (FAT) menggunakan sampel jaringan fetus, dimana ginjal dan paru-paru adalah sampel terbaik untuk memastikan diagnosis kasus aborsi. Pastikan sampel diambil segera setelah kasus terdeteksi agar tidak terjadi autolisis yang berpotensi mengacaukan hasil uji.

Untuk mengevaluasi kawanan, maka uji Elisa bisa dilakukan terhadap semua kelompok induk secara berkala sebagai bagian dari program pengawasan pada kelompok yang naif. Selain itu, sampling terhadap sapi dara laktasi pertama juga idealnya dilakukan untuk memantau status infeksi dalam suatu kawanan.

Perlakuan
Pemberian antibiotik pada kasus penurunan produksi air susu sangat dianjurkan untuk mengurangi ekskresi bakteri leptospira dan resiko penularan terhadap manusia (zoonosis). Suntikan tunggal menggunakan streptomisin/dihidrostrepomisin secara  intramuskular (IM) sebanyak 25mg/kg akan menghilangkan infeksi pada sebagian besar ternak. Namun, vaksinasi adalah pendekatan yang lebih baik untuk menghindari penggunaan antibiotik yang tidak perlu karena tidak semua antibiotik zero residu di air susu sehingga meningkatkan resiko terjadinya kasus antimikrobial resistensi jika dikonsumsi oleh manusia.

Tindakan pencegahan bisa dilakukan dengan penambahan streptomisin ke air mani sapi jantan yang dikoleksi untuk  inseminasi buatan (IB). Pengendalian Leptospira Hardjo pada ternak sapi bergantung pada kombinasi keputusan manajemen untuk mengurangi risiko infeksi, pengobatan antibiotik strategis, dan vaksinasi.

Untuk program vaksinasi, diprogramkan dengan memberikan 2x suntikan dengan interval waktu 4 minggu, diikuti dengan booster tahunan. Vaksinasi diharapkan mampu mencegah shedding bakteri leptospira melalui urin saat ada paparan penyakit serta akan melindungi terhadap kejadian penurunan produksi air susu dan aborsi.

Jika dalam suatu kelompok ternak tidak ada bukti adanya infeksi leptospirosis sebelumnya atau kita berencana memasukkan kawanan baru yang naif, maka semua hewan ternak  pengganti, termasuk pejantan harus diisolasi selama 3 minggu dan diberikan 2x suntikan streptomisin 25 mg/kg dengan interval waktu 10-14 hari sebelum dimasukkan ke dalam kelompok baru.

Untuk pemeliharaan kawanan di kawasan yang endemik dan dikonfirmasi melalui skrining kelompok atau catatan serologi kasus aborsi maka yang harus dilakukan adalah pelaksanaan program vaksinasi dengan booster tahunan. Sapi dara pengganti harus menyelesaikan program vaksinasi sebelum dikawinkan.

Selain tindakan pencegahan diatas, yang tidak kalah penting adalah penerapkan biosekuriti yang ketat. Tindakan biosekuriti yang dapat dilakukan untuk mencegah penyebaran leptospirosis meliputi:

  • Isolasi ternak baru
  • Pemeriksaan kesehatan ternak secara rutin
  • Desinfeksi kandang dan peralatan secara teratur
  • Pembersihan dan sanitasi pekerja, kendaraan dan fasilitas lainnya

Referensi :

  1. https://www.nadis.org.uk/disease-a-z/cattle/leptospirosis-in-cattle/
  2. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC9360731Bovine leptospirosis: effects on reproduction and an approach to research in Colombia
Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR)

Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR)

Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR) adalah penyakit pernapasan yang disebabkan oleh virus Bovine Herpesvirus Type-1 (BHV-1). Penyakit ini dapat menyerang sapi, kerbau, dan hewan ruminansia lainnya. IBR adalah penyakit strategis yang dapat menyebabkan kerugian ekonomi yang besar bagi peternak karena virus ini sangat menular dan menyerang ternak dari segala usia.

Infeksi IBR dapat terjadi melalui pernafasan dan memerlukan kontak antar hewan yang menyebar dengan cepat ke seluruh kelompok. Penyakit ini ditandai dengan peradangan pada saluran pernafasan bagian atas, selain dapat juga menyebabkan vulvovaginitis pustular menular pada sapi betina dan balanoposthitis menular pada pejantan, serta bisa menyebabkan aborsi dan kelainan pada janin. Sapi yang terinfeksi akan mengalami infeksi laten setelah sembuh dari infeksi awal dan meskipun secara klinis tampak normal, penyakit ini dapat kambuh kembali saat berada dalam kondisi stres.

Epidemiologi 
Selama infeksi primer, sapi mengeluarkan virus dalam jumlah banyak di cairan hidung dan mata selama kurang lebih 14 hari, yang dapat menginfeksi hewan yang melakukan kontak.

Setelah bereplikasi di lapisan hidung, BoHV-1 diangkut melalui saraf dan menjadi laten di jaringan saraf dekat tempat masuknya virus, dan menetap di sana selama masa hidup hewan tersebut.

Stres atau pengobatan kortikosteroid dapat menyebabkan reaktivasi BoHV-1, yang kemudian diangkut kembali sepanjang saraf ke tempat infeksi utama. Pelepasan BoHV-1 yang diaktifkan kembali mungkin disertai atau tidak disertai dengan tanda-tanda klinis penyakit. Setiap hewan yang pernah terinfeksi BoHV-1 berpotensi menjadi pembawa virus seumur hidup dan menimbulkan risiko bagi hewan ternak yang bebas BoHV-1.

Penularan langsung terjadi melalui kontak dengan hewan yang terinfeksi akut dan hewan yang terinfeksi secara laten dimana terjadi reaktivasi virus. Sedangkan penularan tidak langsung dapat terjadi melalui air mani yang terkontaminasi, transfer embrio, manusia, bahan yang terkontaminasi atau penularan melalui udara.

Gejala klinis

Tanda-tanda klinis utama IBR adalah gejala pernafasan dan pada kasus yang lebih ringan sangat mirip dengan penyebab lain dari pneumonia pada sapi. Dalam kasus yang lebih ringan, konjungtivitis, batuk sesekali, dan produksi ASI yang buruk mungkin merupakan tanda yang mungkin terlihat.

Tanda-tanda klinis umumnya pertama kali muncul dalam 2-3 minggu setelah proses pengangkutan, penjualan atau peristiwa stres lainnya seperti melahirkan anak. Selama wabah IBR, angka kesakitan mungkin mencapai 100% namun angka kematian umumnya kurang dari 2%. Sapi yang terkena dampak akan kehilangan nafsu makan dan mungkin mengalami demam tinggi (41-42°C) dengan keluarnya cairan bernanah pada mata dan hidung.

Tanda-tanda klinis bervariasi dalam tingkat keparahan tergantung jenis virus. Hewan yang terkena dampak parah akan sangat tertekan, lambat untuk bangkit, dan berdiri dengan kepala menunduk. Kelopak mata mungkin bengkak karena konjungtivitis dan mungkin terdapat bisul di hidung pada kasus yang parah. Tidak ada lesi mulut tetapi mungkin ada air liur yang keluar karena stasis rumen. Terdapat halitosis akibat nanah di laring dan trakea, serta sesak napas dengan berbagai derajat.

Hewan yang terkena dampak sering batuk dan palpasi laring tidak disukai. Terdapat peningkatan frekuensi pernafasan tetapi tidak ada bunyi paru abnormal kecuali bunyi yang berasal dari saluran pernafasan atas. Kurangnya nafsu makan, penurunan berat badan, dan penurunan ASI sering terjadi dan bisa berakibat parah. Kematian tidak biasa terjadi tetapi bisa disebabkan oleh kerusakan parah, nekrosis, dan infeksi bakteri sekunder pada trakea yang disertai pneumonia inhalasi. Virus IBR juga dapat meningkatkan patogenisitas Moraxella bovis (pink eye) dan lesi keratokonjungtivitis menular yang parah dapat terjadi pada anak sapi.

Jadi gejala IBR pada sapi dapat bervariasi tergantung pada tingkat keparahan infeksi dengan manifestasi 2 bentuk, yaitu :

  • Bentuk pernapasan

Bentuk pernapasan adalah bentuk yang paling umum terjadi pada sapi. Gejala yang muncul pada bentuk pernapasan meliputi demam, batuk, sekresi hidung, konjungtivitis, dan anoreksia. Gejala pernapasan dapat menyebabkan penurunan produksi susu.

  • Bentuk neonatal

Bentuk neonatal adalah bentuk IBR yang terjadi pada pedet. Gejala yang muncul pada bentuk neonatal meliputi demam, anoreksia, dan diare. Bentuk neonatal dapat menyebabkan kematian pedet.

Baca juga : Penyakit Pernafasan pada Sapi

Penyebaran IBR

IBR dapat menyebar melalui kontak langsung antara sapi yang terinfeksi dan sapi yang rentan. Virus IBR juga dapat menyebar melalui udara, air, dan peralatan yang terkontaminasi.

Diagnosis IBR

Diagnosis IBR dapat dilakukan dengan pemeriksaan laboratorium terhadap sampel swab hidung atau sampel darah. Pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan dengan metode PCR, ELISA, atau Western Blot. Uji serologi dengan sampel darah untuk infeksi laten, sedangkan untuk deteksi langsung adanya virus dilakukan dengan uji PCR atau antibodi fluoresen pada sekret mata atau hidung saat terjadi infeksi aktif/wabah.

Mengukur titer antibodi pada air susu (bulk milk) dapat menjadi cara yang sangat berguna untuk menentukan status IBR suatu ternak. Namun, hasil yang negatif tidak selalu menunjukkan bahwa suatu ternak bebas IBR karena hingga 20% dari ternak yang diperah dapat terinfeksi IBR secara laten sebelum hasilnya menjadi positif, oleh karena itu tes darah sangat penting untuk memastikan status bebas IBR dalam kawanan.

Pengobatan

Tidak ada pengobatan khusus untuk IBR, namun untuk infeksi bakteri sekunder yang muncul dapat ditangani dengan antibiotik dan hewan yang demam tinggi diobati dengan obat antiinflamasi nonsteroid.

Pencegahan

Vaksinasi bisa menjadi intervensi yang terbaik untuk membantu pengendalian dan  meminimalkan penyebaran penyakit di kawanan yang sehat. Ada beragam vaksin IBR efektif yang tersedia di pasaran (sayangnya di Indonesia belum ada yang teregistrasi), termasuk vaksin penanda (vaksin DIVA) yang memungkinkan hewan yang divaksinasi dibedakan dari hewan yang terinfeksi secara alami melalui uji serologi.

Beberapa vaksin bersifat multivalen termasuk patogen saluran pernafasan sapi lainnya. Vaksinasi IBR tidak mahal, baik dengan suntikan intranasal atau intramuskular tunggal sehingga alangkah baiknya jika dijadwalkan dalam program pengendalian penyakit.

Selain program vaksinasi, pencegahan IBR dapat dilakukan dengan menerapkan biosekuriti yang ketat. Tindakan biosekuriti yang dapat dilakukan untuk mencegah penyebaran IBR meliputi:

  • Isolasi ternak baru
  • selektif Culling (strategi DIVA)
  • Pemeriksaan kesehatan ternak secara rutin / Monitoring
  • Desinfeksi kandang dan peralatan secara teratur
  • Pembersihan dan sanitasi diri

Referensi :

  1. https://www.nadis.org.uk/disease-a-z/cattle/ibr-infectious-bovine-rhinotracheitis/
  2. https://ugm.ac.id/en/news/ibr-disease-continues-to-menace-indonesian-cattle-farms/
  3. https://www.msd-animal-health.ie/species/cattle/infectious-bovine-rhinotracheitis-ibr/#:~:text=Introduction,economic%20losses%20to%20cattle%20producers.
Bovine Viral Diarrhea (BVD)

Bovine Viral Diarrhea (BVD)

Bovine Viral Diarrhea (BVD) merupakan penyakit virus utama pada ternak yang mempunyai dampak ekonomi yang signifikan. Hal ini dapat menyebabkan berbagai masalah klinis dan reproduksi, sehingga menyebabkan hilangnya produktivitas, kesuburan, dan kesehatan anak sapi.

Bovine virus diare (BVD) adalah virus RNA dalam genus Pestivirus dari keluarga Flaviviridae. Genus Pestivirus ini, selain ada virus BVD tipe 1 dan 2, juga berkerabat dekat dengan Classical Swine Fever (CSF pada babi) dan Ovine Border Disease pada domba.

Sapi dari segala umur rentan terhadap infeksi BVD. Penyebaran virus ini adalah di seluruh dunia meskipun beberapa negara baru-baru ini telah memberantas virus ini. Infeksi BVD menyebabkan berbagai macam penyakit dengan manifestasi klinis, termasuk penyakit enterik dan pernafasan atau reproduksi dan janin. Infeksi mungkin bersifat subklinis atau meluas hingga fatal. Gambaran klinis dan tingkat keparahan penyakit dapat bervariasi tergantung jenis virus yang berbeda.

Virus BVDV juga menyebabkan penekanan kekebalan yang dapat membuat hewan yang terinfeksi lebih rentan terhadap infeksi virus lain dan bakteri. Dampak klinis mungkin lebih nyata pada ternak yang dikelola secara intensif. Hewan yang bertahan dari infeksi in-utero pada trimester pertama kebuntingan hampir selalu akan terinfeksi secara persisten (PI), dimana ternak ini menjadi reservoir utama dalam suatu populasi dan mengeluarkan sejumlah besar virus (shedding) melalui urin, feses, kotoran, susu dan air mani.

Virus ini menyebar terutama melalui kontak erat antara hewan PI dengan ternak lainnya dan dapat bertahan di lingkungan untuk waktu yang singkat ataupun lama, serta ditularkan melalui bahan/material reproduksi yang terkontaminasi. Transmisi vertikal memainkan peran penting.

Baca juga : 5 Penyakit penting pada Sapi Perah

Jenis Virus BVD:

BVDV-1: Jenis ini menyebabkan infeksi akut dan persisten. Infeksi akut sering kali menimbulkan gejala pernapasan dan pencernaan, sedangkan infeksi yang menetap dapat menyebabkan terhambatnya pertumbuhan, masalah reproduksi, dan menekan kekebalan.
BVDV-2: Jenis ini terutama menyebabkan penyakit mukosa, suatu bentuk BVD parah yang menyerang anak sapi  secara persisten di dalam rahim. Gejalanya meliputi maag, demam, diare, dan seringkali kematian.

Tanda Klinis

BVD akut: Demam, kehilangan nafsu makan, gangguan pernapasan, diare, penurunan produksi ASI, aborsi.
BVD yang persisten: Seringkali tanpa gejala, namun dapat muncul dengan pertumbuhan terhambat, kinerja buruk, peningkatan kerentanan terhadap penyakit lain.
Penyakit Mukosa: Demam tinggi, diare parah disertai darah, sariawan, penurunan berat badan yang cepat, kematian dalam 5-10 hari.

Diagnosa

Tes ELISA atau PCR pada sampel darah atau jaringan dapat mendeteksi keberadaan virus atau antibodi.
Tes kebuntingan dapat mengidentifikasi kebuntingan yang terkena dampak BVD.

Dampak Ekonomi

BVD menyebabkan hilangnya produktivitas secara signifikan karena penurunan produksi susu, kematian anak sapi, dan peningkatan kerentanan terhadap penyakit lain. Pembatasan perdagangan dapat diberlakukan pada ternak yang terinfeksi BVD, sehingga berdampak lebih jauh pada pendapatan.

Ada dua jenis hewan yang terinfeksi secara persisten, yaitu  hewan “pestiferous” yang mengeluarkan sejumlah besar virus dan menimbulkan risiko yang signifikan terhadap kawanannya, dan hewan “non-pestiferous” yang hanya mengeluarkan sedikit atau tidak ada virus sama sekali sehingga minim resiko terhadap penyakit lain.

Pencegahan dan Pengendalian

Vaksinasi: Memvaksinasi sapi yang rentan sebelum dibiakkan dapat membantu mencegah infeksi pada janin dan perkembangan hewan yang terinfeksi secara terus-menerus.
Biosekuriti: Mengisolasi hewan baru, mengkarantina sapi bunting, dan menerapkan kebersihan yang baik dapat membantu mencegah penularan.
Pemantauan: Pengujian rutin terhadap anak sapi dan sapi bunting dapat membantu mengidentifikasi hewan yang terinfeksi untuk dikeluarkan dari kawanannya.

Jadi, dengan memahami BVD, menerapkan langkah-langkah pencegahan dan pengendalian yang tepat, maka peternak dapat secara signifikan mengurangi dampaknya terhadap ternak mereka dan meningkatkan keuntungan secara keseluruhan.

Referensi :

  1. https://www.woah.org/fileadmin/Home/eng/Health_standards/tahm/3.04.07_BVD.pdf
  2. https://journal.ipb.ac.id/index.php/actavetindones/article/download/25152/19154/
5 Penyakit Penting pada Sapi Perah

5 Penyakit Penting pada Sapi Perah

Dalam menjalankan usaha peternakan sapi perah, tentunya banyak tantangan yang harus dihadapi, terutama penyakit. Pada peternakan skala industri, tindakan pencegahan atau pengendalian penyakit umumnya menyangkut beberapa hal, yaitu managemen pemeliharaan, medikasi dan vaksinasi dan biosekuriti.

Penyakit strategis pada peternakan sapi perah adalah penyakit yang dapat menyebabkan kerugian ekonomi yang besar bagi peternak. Penyakit ini dapat menyebabkan kematian ternak, penurunan produksi susu, dan peningkatan biaya produksi.

Berikut adalah beberapa penyakit strategis pada peternakan sapi perah:

  • Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR) adalah penyakit pernapasan yang disebabkan oleh virus. Penyakit ini dapat menyebabkan demam, batuk, dan sekresi hidung. IBR dapat menyebabkan penurunan produksi susu, gangguan reproduksi, dan kematian.
    Image of Infeksi Bovine Rhinotracheitis (IBR) pada sapi perah
  • Bovine Viral Diarrhea (BVD) adalah penyakit pencernaan yang disebabkan oleh virus. Penyakit ini dapat menyebabkan diare, dehidrasi, dan kematian. BVD dapat menyebabkan penurunan produksi susu, gangguan reproduksi, dan kematian.
    Image of Bovine Viral Diarrhea (BVD) pada sapi perah
  • Mastitis adalah infeksi pada kelenjar susu. Penyakit ini dapat disebabkan oleh bakteri, virus, atau jamur. Mastitis dapat menyebabkan penurunan produksi susu, kualitas susu yang buruk, dan kematian. Baca juga : Mastitis  pada  sapi
    Image of Mastitis pada sapi perah
  • Leptospirosis adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri. Penyakit ini dapat menyebabkan demam, sakit kepala, dan nyeri otot. Leptospirosis dapat menyebabkan kematian.
    Image of Leptospirosis pada sapi perah
  • Brucellosis adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri. Penyakit ini dapat menyebabkan abortus, infertilitas, dan kematian. Brucellosis dapat menular ke manusia (zoonosis).
    Image of Brucellosis pada sapi perah

Untuk mencegah penyebaran penyakit strategis, peternak perlu melakukan biosekuriti yang ketat. Biosekuriti adalah serangkaian tindakan yang dilakukan untuk mencegah masuknya penyakit ke dalam peternakan. Baca juga : Peternakan Sapi Perah di Indonesia.

Tindakan biosekuriti meliputi:

  • Isolasi ternak baru. Sapi baru harus dikarantina selama beberapa minggu sebelum dicampur dengan ternak yang ada.
  • Pemeriksaan kesehatan ternak. Ternak harus diperiksa secara rutin untuk mendeteksi penyakit.
  • Desinfeksi kandang dan peralatan. Kandang dan peralatan harus dibersihkan dan didesinfeksi secara teratur.
  • Pembersihan dan sanitasi diri. Tenaga kerja harus mencuci tangan dan menggunakan pakaian yang bersih setelah menangani ternak.

Dengan menerapkan biosekuriti yang ketat, peternak dapat membantu mencegah penyebaran penyakit strategis dan melindungi ternak dari kerugian.

Referensi :

  1. https://www.slideshare.net/Naipospos/permasalahan-penyakit-infectious-bovine-rhinotracheitis-ibr-pada-sapi-jakarta-10-september-2014
  2. https://www.researchgate.net/publication/339530763_Kajian_Epidemiologi_Infeksi_Bovine_Viral_Diarrhea_BVD_pada_Sapi_Perah_di_Kabupaten_Sleman_Yogyakarta
  3. https://unair.ac.id/mastitis-masih-menjadi-ancaman-sapi-perah-di-indonesia/
  4. https://gdm.id/penyakit-pada-sapi/
  5. https://diperpa.badungkab.go.id/artikel/18200-mengenal-dan-pencegahan-terhadap-brucellosis
Kunci Sukses Beternak Sapi Perah

Kunci Sukses Beternak Sapi Perah

Beternak sapi perah menjadi andalan bagi para peternak yang ada di wilayah pegunungan atau daerah yang bersuhu rendah. Air susu menjadi tujuan akhir dari pemeliharaan ternak sapi perah, sehingga sangat penting untuk memastikan induk memiliki tingkat kesuburan dan produktifitas yang tinggi. Peluang cukup tinggi sebenarnya jika kita mampu menjalankan usaha peternakan sapi perah ini, mengingat saat ini kebutuhan air susu masih belum bisa sepenuhnya dicukupi dari dalam negeri.

Program reproduksi sapi perah menjadi serangkaian kegiatan yang harus dilakukan untuk meningkatkan produktivitas sapi perah, baik dari segi produksi susu maupun jumlah kelahiran. Program reproduksi yang baik akan membantu peternak untuk mendapatkan sapi perah yang sehat, produktif, dan berkualitas.

Tujuan dari program reproduksi sapi perah adalah untuk:

  • Meningkatkan kebuntingan sapi perah
  • Memperpendek masa kering sapi perah
  • Meningkatkan produksi susu sapi perah
  • Meningkatkan kualitas genetik sapi perah

Keberhasilan program reproduksi sapi perah dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain:

  • Kesehatan sapi. Sapi yang sehat akan memiliki peluang kebuntingan yang lebih tinggi.
  • Manajemen reproduksi. Manajemen reproduksi yang baik akan membantu peternak untuk mendeteksi siklus estrus sapi dan mengawinkan sapi pada waktu yang tepat. Pada peternakan modern, intervensi dengan menggunakan preparat hormon reproduksi menjadi andalan agar deteksi dan sinkronisasi estrus bisa dimaksimalkan.
  • Pakan dan nutrisi. Pakan dan nutrisi yang memadai akan membantu sapi untuk tumbuh dan berkembang dengan baik, termasuk dalam hal reproduksi.

Program reproduksi sapi perah secara umum terdiri dari beberapa tahapan, yaitu:

  • Pencatatan. Pencatatan adalah hal yang penting untuk dilakukan dalam program reproduksi sapi perah. Pencatatan dapat dilakukan dengan menggunakan kartu ternak atau aplikasi komputer.
  • Pemeriksaan kesehatan. Pemeriksaan kesehatan dilakukan untuk memastikan bahwa sapi dalam kondisi sehat dan siap untuk dikawini.
  • Deteksi siklus estrus. Siklus estrus adalah periode di mana sapi betina siap untuk dikawini. Siklus estrus sapi perah biasanya berlangsung selama 21-23 hari.
  • Kawin. Kawin dapat dilakukan secara alami atau dengan inseminasi buatan (IB).
  • Pemeriksaan kebuntingan. Pemeriksaan kebuntingan dilakukan untuk memastikan bahwa sapi telah bunting.

Baca juga : Management Reproduksi Sapi

Penerapkan manajemen yang baik dalam semua aspek peternakan, mulai dari pemilihan bibit, pemberian pakan, perawatan kesehatan, hingga pemasaran produk menjadi hal yang juga tidak kalah penting dalam menjalankan usaha peternakan sapi perah.

Berikut adalah beberapa kunci sukses beternak sapi perah:

  • Pilih bibit yang berkualitas. Bibit yang berkualitas akan menghasilkan sapi perah yang sehat, produktif, dan berkualitas pula.
    Image of Bibit sapi perah yang berkualitas
  • Berikan pakan yang berkualitas. Pakan yang berkualitas akan membantu sapi perah untuk tumbuh dan berkembang dengan baik, serta menghasilkan susu yang berkualitas.
    Image of Pakan sapi perah yang berkualitas
  • Lakukan perawatan kesehatan secara rutin. Perawatan kesehatan yang rutin akan membantu peternak untuk mencegah dan mengatasi penyakit yang dapat menyerang sapi perah. Baca juga: Gangguan Reproduksi Sapi
    Image of Perawatan kesehatan sapi perah
  • Mengelola kandang dengan baik. Kandang yang bersih, sehat, dan nyaman akan membuat sapi perah merasa nyaman dan betah tinggal di kandang.
    Image of Kandang sapi perah yang baik
  • Mengelola pemasaran dengan baik. Pemasaran yang baik akan membantu peternak untuk mendapatkan harga yang menguntungkan untuk susu sapi perah.
    Image of Pemasaran susu sapi perah
    Selain menerapkan manajemen yang baik, peternak juga perlu memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai dalam bidang peternakan. Peternak juga perlu memiliki motivasi dan semangat untuk bekerja keras.

Baca juga : Peternakan sapi Perah di Indonesia

Berikut adalah beberapa tips tambahan untuk sukses beternak sapi perah:

  • Ikutlah pelatihan atau kursus peternakan sapi perah. Pelatihan atau kursus peternakan sapi perah akan memberikan peternak pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk beternak sapi perah dengan sukses.
  • Bergabunglah dengan kelompok peternak sapi perah. Bergabung dengan kelompok peternak sapi perah akan memberikan peternak kesempatan untuk bertukar informasi dan pengalaman dengan peternak lain.
  • Ikutilah perkembangan teknologi peternakan. Teknologi peternakan yang terus berkembang dapat membantu peternak untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi usaha.

Referensi :

  1. http://troboslivestock.com/detail-berita/2022/06/01/8/16012/mencetak-bibit-sapi-perah-berkualitas
  2. https://gdm.id/pakan-sapi-perah/
  3. https://peternakanpadangpanjang.wordpress.com/2015/06/12/manajemen-kesehatan-sapi-perah/
  4. https://ternak-sehat.fkh.ugm.ac.id/2018/12/04/managemen-kandang-sapi-yang-tepat/
  5. https://www.slideserve.com/larissa-vang/pemasaran-sapi-dan-susu
error: Content is protected !!