Kunci Sukses Beternak Sapi Perah

Kunci Sukses Beternak Sapi Perah

Beternak sapi perah menjadi andalan bagi para peternak yang ada di wilayah pegunungan atau daerah yang bersuhu rendah. Air susu menjadi tujuan akhir dari pemeliharaan ternak sapi perah, sehingga sangat penting untuk memastikan induk memiliki tingkat kesuburan dan produktifitas yang tinggi. Peluang cukup tinggi sebenarnya jika kita mampu menjalankan usaha peternakan sapi perah ini, mengingat saat ini kebutuhan air susu masih belum bisa sepenuhnya dicukupi dari dalam negeri.

Program reproduksi sapi perah menjadi serangkaian kegiatan yang harus dilakukan untuk meningkatkan produktivitas sapi perah, baik dari segi produksi susu maupun jumlah kelahiran. Program reproduksi yang baik akan membantu peternak untuk mendapatkan sapi perah yang sehat, produktif, dan berkualitas.

Tujuan dari program reproduksi sapi perah adalah untuk:

  • Meningkatkan kebuntingan sapi perah
  • Memperpendek masa kering sapi perah
  • Meningkatkan produksi susu sapi perah
  • Meningkatkan kualitas genetik sapi perah

Keberhasilan program reproduksi sapi perah dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain:

  • Kesehatan sapi. Sapi yang sehat akan memiliki peluang kebuntingan yang lebih tinggi.
  • Manajemen reproduksi. Manajemen reproduksi yang baik akan membantu peternak untuk mendeteksi siklus estrus sapi dan mengawinkan sapi pada waktu yang tepat. Pada peternakan modern, intervensi dengan menggunakan preparat hormon reproduksi menjadi andalan agar deteksi dan sinkronisasi estrus bisa dimaksimalkan.
  • Pakan dan nutrisi. Pakan dan nutrisi yang memadai akan membantu sapi untuk tumbuh dan berkembang dengan baik, termasuk dalam hal reproduksi.

Program reproduksi sapi perah secara umum terdiri dari beberapa tahapan, yaitu:

  • Pencatatan. Pencatatan adalah hal yang penting untuk dilakukan dalam program reproduksi sapi perah. Pencatatan dapat dilakukan dengan menggunakan kartu ternak atau aplikasi komputer.
  • Pemeriksaan kesehatan. Pemeriksaan kesehatan dilakukan untuk memastikan bahwa sapi dalam kondisi sehat dan siap untuk dikawini.
  • Deteksi siklus estrus. Siklus estrus adalah periode di mana sapi betina siap untuk dikawini. Siklus estrus sapi perah biasanya berlangsung selama 21-23 hari.
  • Kawin. Kawin dapat dilakukan secara alami atau dengan inseminasi buatan (IB).
  • Pemeriksaan kebuntingan. Pemeriksaan kebuntingan dilakukan untuk memastikan bahwa sapi telah bunting.

Baca juga : Management Reproduksi Sapi

Penerapkan manajemen yang baik dalam semua aspek peternakan, mulai dari pemilihan bibit, pemberian pakan, perawatan kesehatan, hingga pemasaran produk menjadi hal yang juga tidak kalah penting dalam menjalankan usaha peternakan sapi perah.

Berikut adalah beberapa kunci sukses beternak sapi perah:

  • Pilih bibit yang berkualitas. Bibit yang berkualitas akan menghasilkan sapi perah yang sehat, produktif, dan berkualitas pula.
    Image of Bibit sapi perah yang berkualitas
  • Berikan pakan yang berkualitas. Pakan yang berkualitas akan membantu sapi perah untuk tumbuh dan berkembang dengan baik, serta menghasilkan susu yang berkualitas.
    Image of Pakan sapi perah yang berkualitas
  • Lakukan perawatan kesehatan secara rutin. Perawatan kesehatan yang rutin akan membantu peternak untuk mencegah dan mengatasi penyakit yang dapat menyerang sapi perah. Baca juga: Gangguan Reproduksi Sapi
    Image of Perawatan kesehatan sapi perah
  • Mengelola kandang dengan baik. Kandang yang bersih, sehat, dan nyaman akan membuat sapi perah merasa nyaman dan betah tinggal di kandang.
    Image of Kandang sapi perah yang baik
  • Mengelola pemasaran dengan baik. Pemasaran yang baik akan membantu peternak untuk mendapatkan harga yang menguntungkan untuk susu sapi perah.
    Image of Pemasaran susu sapi perah
    Selain menerapkan manajemen yang baik, peternak juga perlu memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai dalam bidang peternakan. Peternak juga perlu memiliki motivasi dan semangat untuk bekerja keras.

Baca juga : Peternakan sapi Perah di Indonesia

Berikut adalah beberapa tips tambahan untuk sukses beternak sapi perah:

  • Ikutlah pelatihan atau kursus peternakan sapi perah. Pelatihan atau kursus peternakan sapi perah akan memberikan peternak pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk beternak sapi perah dengan sukses.
  • Bergabunglah dengan kelompok peternak sapi perah. Bergabung dengan kelompok peternak sapi perah akan memberikan peternak kesempatan untuk bertukar informasi dan pengalaman dengan peternak lain.
  • Ikutilah perkembangan teknologi peternakan. Teknologi peternakan yang terus berkembang dapat membantu peternak untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi usaha.

Referensi :

  1. http://troboslivestock.com/detail-berita/2022/06/01/8/16012/mencetak-bibit-sapi-perah-berkualitas
  2. https://gdm.id/pakan-sapi-perah/
  3. https://peternakanpadangpanjang.wordpress.com/2015/06/12/manajemen-kesehatan-sapi-perah/
  4. https://ternak-sehat.fkh.ugm.ac.id/2018/12/04/managemen-kandang-sapi-yang-tepat/
  5. https://www.slideserve.com/larissa-vang/pemasaran-sapi-dan-susu
Antiparasit pada Ternak Sapi

Antiparasit pada Ternak Sapi

Antiparasit adalah bahan yang digunakan untuk mengendalikan/menghilangkan parasit dari hewan, baik itu parasit internal ataupun eksternal. Anthelmentik/0bat cacing yang baik menunjukkan tingkat kemanjuran yang tinggi terhadap cacing dan tidak beracun bagi inangnya. Anthelmintik dapat diklasifikasikan dalam spektrum luas atau spektrum sempit sesuai tingkat keampuhannya dalam melawan jenis parasit yang berbeda-beda. Khasiat obat bergantung pada toksisitas yang melekat pada senyawa terhadap parasit, kemampuan obat cacing untuk mencapai parasit (farmakokinetik), dan dosis yang diberikan.

Keamanan atau indeks terapeutik adalah rasio dosis maksimum yang dapat ditoleransi dengan dosis yang dianjurkan.
Faktor lain yang mempengaruhi penggunaan obat anthelmintik antara lain formulasi, dimana hal ini juga mempengaruhi rute pemberian obat sehingga peternak bisa memilih mana yang tepat dan cocok dengan sistem pengelolaan di kandang. Dalam penggunaan antiparasit, baik itu sediaan injeksi, bolus, ataupun lainnya harus memperhatikan waktu henti obat untuk memastikan tidak ada residu pada daging maupun air susu sebelum dikonsumsi manusia.

Banyak produsen sekarang yang menyadari bahwa parasit gastrointestinal dapat menurunkan performa ternak, sehingga program pengendalian semakin lazim dilakukan di peternakan. Parasit gastrointestinal biasanya dikendalikan melalui penggunaan obat yang disebut anthelmintik/obat cacing. Ada 3 kategori utama obat cacing yang tersedia, yaitu benzimidazol, lakton makrosiklik, dan imidazothiazoles. Obat cacing golongan benzimidazol dan makrosiklik lakton paling banyak digunakan pada ternak. Lakton makrosiklik tersedia dalam bentuk pour on atau injeksi, sedangkan benzimidazol biasanya diberikan secara oral.

Pengobatan dengan anthelmintik pada kenyataannya juga  berkontribusi terhadap kejadian resistensi. Seperti halnya  resistensi antibiotik, penggunaan obat cacing yang berlebihan secara terus-menerus beresiko terjadinya resistensi terhadap obat cacing, dimana akhirnya kondisi ini memaksa peternak  harus menerapkan strategi untuk mengatasi berkurangnya kemanjuran pengobatan obat cacing secara signifikan.  Baca juga : Antibiotik dalam dunia kedokteran hewan

Praktek pemberian obat cacing secara rutin terhadap semua ternak dalam kawanan di peternakan memang umum dilakukan, tetapi hal ini berpotensi terjadinya pemberikan obat cacing pada hewan yang sebenarnya tidak perlu diberikan atau pemberikan produk dengan khasiat yang buruk pada ternak. Situasi ini merupakan kerugian ekonomi bagi produsen dan berkontribusi terhadap berkembangnya resistensi terhadap obat. Oleh karena itu, mitigasi perkembangan resistensi obat cacing dalam sistem produksi ternak harus dilakukan dengan  mengevaluasi dan menyesuaikan program pengendalian parasit sesuai kebutuhan.

Evaluasi program bisa dilakukan dengan tes pengurangan jumlah telur pada feses sekelompok ternak sebelum dan sesudah aplikasi obat sehingga dapat diukur tingkat  kemanjuran obat cacing yang dipilih. Obat cacing dianggap efektif apabila terjadi penurunan minimal sebesar 95%. Jika hasil evaluasi menemukan bahwa program tidak efektif, maka beberapa hal yang harus mempertimbangkan adalah :

  1. Hanya berikan obat cacing pada hewan yang “berisiko tinggi”, seperti sapi muda (<16 bulan), terutama pedet. Sapi yang lebih tua umumnya sudah beradaptasi dan  lebih toleransi terhadap parasit gastrointestinal dan lebih mampu mengatasi keberadaan parasit tersebut dibandingkan hewan yang lebih muda.
  2. Tidak disarankan memberantas cacing dengan sistem kalender. Ternak hanya boleh diberi obat cacing ketika mereka membutuhkannya, bukan hanya karena musim atau waktu dalam setahun. Penghitungan telur cacing pada feses dapat dilakukan pada sekelompok sapi untuk mengevaluasi beban parasit saat ini.
  3. Lakukan perawatan selektif non-treatment untuk membantu  memastikan bahwa masih ada cukup parasit yang tidak terpapar obat anthelmintik sehingga akan membantu mempertahankan populasi parasit yang rentan (“refugia”). Untuk menerapkan strategi ini, peternak harus memberikan obat cacing pada semua hewan dalam kelompok beresiko tinggi kecuali 10-15% hewan dengan kinerja terberat/terbaik.
  4. Gunakan perawatan kombinasi. Strategi ini melibatkan pengobatan simultan dengan setidaknya dua obat dengan  golongan berbeda (benzimidazol dan makrosiklik lakton; levamisol dan benzimidazol, dll). Dengan pendekatan ini, setiap parasit yang resisten terhadap satu golongan obat kemungkinan besar akan rentan terhadap golongan obat lainnya, sehingga akan sangat mengurangi tekanan seleksi terhadap resistensi terhadap salah satu obat tersebut. Metode ini jauh lebih efektif dalam mengendalikan perkembangan resistensi dibandingkan merotasi antar golongan obat.
  5. Hindari pemberian dosis yang terlalu rendah. Pemberian dosis yang kurang biasanya terjadi ketika hewan tidak ditimbang sebelum diberikan perlakuan sehingga efektifitasnya tidak maksimal. Ini adalah masalah serius yang tentunya berkontribusi pada terjadinya resistensi. Oleh karena itu, untuk menghindari kekurangan dosis maka pastikan menimbang hewan terlebih dahulu.
  6. Periksa tempat penggembalaan dengan menerapkan sistem penggembalaan bergilir sehingga tersedia cukup hijauan dan memberikan istirahat yang cukup (4-5 minggu) pada kandang juga dapat membantu memutus siklus hidup parasit dan mengurangi risiko paparan.
  7. Terus evaluasi program untuk memastikan efektivitasnya dengan tes pengurangan jumlah telur pada feses secara berkala.

Demikian informasi mengenai antiparasit pada ternak sapi yang bisa menjadi referensi.

Referensi :

  1. https://extension.umd.edu/resource/best-deworming-practices-cattle
  2. https://www.sciencedirect.com/sdfe/pdf/download/eid/1-s2.0-S0749072015312597/first-page-pdf
Prospek Peternakan Tahun 2023

Prospek Peternakan Tahun 2023

Tahun 2022 telah berlalu dengan segala tantangan yang ada. Lalu bagaimana dengan prospek peternakan pada tahun 2023 ini. Jika mengacu pada prediksi prospek protein hewani global 2023 dari Rabobank, berikut beberapa informasi penting yang bisa menjadi referensi kita dalam mengarungi tantangan sektor peternakan di tahun ini :

Meskipun produksi protein hewani global diperkirakan akan tumbuh secara moderat pada tahun 2023, tahun ini akan menjadi tahun perubahan bagi sektor ini. Industri peternakan akan menghadapi biaya tinggi di sepanjang rantai pasokan, tingkat konsumsi masyarakat yang belum stabil, dan area ketidakpastian lainnya bagi produsen (tekanan penyakit yang meningkat serta perubahan regulasi dan hal lain yang digerakkan oleh pasar). Akibatnya, margin akan terjepit karena pembeli akan menekan biaya produksi yang lebih tinggi lagi akibat menurunnya daya beli. Dengan kata lain, peluang tetap ada, meski akan lebih dibatasi.

Ringkasan global.
Kami melihat pertumbuhan yang mendukung produk “value for money“, perusahaan produsen dan pemrosesan yang efisien, perusahaan yang gesit, eksportir yang diuntungkan oleh pergerakan nilai tukar mata uang, dan produsen yang aman.

“Beberapa perusahaan protein hewani akan melihat tahun 2023 sebagai tahun untuk mengkalibrasi ulang ekspektasi dan rencana pertumbuhan mereka,” kata Justin Sherrard, Pakar Strategi Global – Protein Hewani. “Beberapa perusahaan akan mempertahankan fokus jangka pendek dan memperkuat ketangkasan sehingga mereka dapat mengikuti perubahan siklus yang terjadi. Perusahaan protein hewani lainnya akan fokus pada pertumbuhan jangka panjang dan mulai berinvestasi dan memposisikan diri untuk sukses mengingat perubahan struktural di masa depan.”

Tren keseluruhan untuk tahun 2023 adalah pertumbuhan produksi yang cinderung melambat  dengan keuntungan kecil di beberapa wilayah tetapi kontraksi di wilayah lain. Pertumbuhan yang lambat ini diperkirakan terjadi di Cina pada semua kelompok spesies, dan pertumbuhan berkelanjutan diperkirakan terjadi di Brasil dan Asia Tenggara. Oseania akan mengalami pertumbuhan yang lambat, sementara produksi Amerika Utara dan Eropa akan menyusut.

Akuakultur memimpin pertumbuhan global di seluruh kelompok spesies, dan perluasannya yang berkelanjutan didukung oleh kemandirian relatif dari harga komoditas pertanian. Unggas akan mempertahankan pola pertumbuhannya yang konsisten, tangkapan liar akan sedikit meningkat, produksi daging sapi akan sedikit menurun, dan daging babi juga diprediksi akan mengalami penurunan.

Berikut adalah beberapa poin penting dari prospek protein hewani pada tahun 2023 :

Amerika Utara: Daging sapi akan berkontraksi saat siklus AS berubah dan memasuki penurunan, unggas akan berkembang karena permintaan yang kuat, meskipun ada tekanan penyakit, sementara daging babi akan cinderung stabil.

Eropa: Produksi akan berada di bawah tekanan untuk semua spesies karena resiko penyakit, perubahan yang didorong oleh pasar dan peraturan, dan pengurangan kapasitas ekspor. Konsumsi diharapkan tetap stabil, dengan unggas kemungkinana lebih diuntungkan sementara daging babi dan sapi akan sedikit menurun.

Cina: Produksi daging babi akan mengalami pertumbuhan marjinal, dengan pembatasan layanan makanan masih berpotensi menekan permintaan. Unggas diperkirakan akan sedikit berkembang namun tertahan oleh biaya tinggi dan ketidakpastian. Daging sapi cinderung akan lebih mudah.

Brazil: Produksi daging sapi akan terus meningkat dan didukung oleh aktivitas ekspor. Produksi ayam dan babi juga ditetapkan untuk tujuan ekspansi dan berpotensi mendapatkan keuntungan ekspor.

Asia Tenggara: Produksi daging babi diperkirakan akan pulih di Vietnam dan Filipina karena risiko ASF berkurang. Produksi unggas juga berkembang secara perlahan, karena permintaan terus pulih.

Australia & Selandia Baru: Produksi daging sapi dan domba Australia diperkirakan akan berkembang dengan dinamika kawanan yang terjadi. Namun, di Selandia Baru produksi daging sapi dan domba diperkirakan akan menurun akibat tekanan pasar.

Ikan salmon
Kehadiran ritel yang kuat akan mendukung harga pada tahun 2023, meskipun fundamental ekonomi makro melemah.

Udang
Pasokan tetap kuat, meskipun harga lebih rendah dan biaya lebih tinggi. Ekuador dan Amerika Latin diperkirakan akan terus mendorong pasokan udang tambak pada tahun 2023.

Tepung Ikan dan Minyak Ikan
Harga komoditas yang bersaing mendukung harga keduanya, yang mungkin sedikit menurun pada tahun 2023.

Protein Alternatif
Tahun 2023 akan menjadi tahun konsolidasi. Pertumbuhan luar biasa produk nabati baru-baru ini tertahan dan investor mengalihkan fokus.

Lalu bagaimana dengan prospek peternakan di Indonesia ?

Industri peternakan di Indonesia pastinya juga akan mengalami hal yang kurang lebih sama dengan tantangan yang ada di global. Fluktuasi harga kemungkinan masih akan menjadi tantangan bagi para pengusaha/peternak pada kondisi ekonomi yang saat ini relatif belum stabil. Selain itu, tantangan penyakit adalah hal yang mungkin harus ditanggapi dengan serius jika ingin hasil yang kita harapkan optimal.

Di sektor peternakan babi, African Swine Fever (ASF) masih menjadi tantangan terberat selain juga penyakit-penyakit lainnya seperti Hog Cholera, Mycoplasma hyopneumoniae (Enzootic Pneumonia), Porcine Circovirus tipe 2 (PCV2), Porcine Reproductive and Respiratory Syndrome (PRRS), Glaesserella (Haemophilus) parasuis. Terkait ASF, peternak babi dituntut untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya biosekuriti mengingat vaksin yang aman dan efektif sampai saat ini belum tersedia. Selain itu, program vaksinasi terhadap tantangan penyakit lain dan juga praktek managemen pemeliharaan yang baik juga akan menjadi faktor pembeda yang menentukan keberhasilan dalam beternak. Baca juga : Biosekuriti di era New Normal

Di sektor peternakan Sapi, outbreak Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) tahun lalu menjadi pukulan berat bagi para pelaku usaha disaat kondisi peternakan sebenarnya juga sedang tidak baik-baik saja. PMK ini selain berdampak besar pada peternakan sapi, juga bisa menyerang peternakan kambing/domba dan peternakan babi. Selain itu, Lumpy Skin Disease (LSD) baru-baru ini juga kembali merebak dan membutuhkan penanganan yang terbaik guna menyelamatkan peternakan sapi. Untuk vaksin PMK dan LSD, saat ini para peternak bisa mendapatkannya dari support pemerintah. Diharapkan, dengan adanya vaksin dan upgrade biosekuriti dan managemen pemeliharaan maka resiko serangan penyakit bisa diminimalkan.

Dalam Rapat Koordinasi Teknis Nasional (Rakorteknas) Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan pada 25 Januari 2023, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo mendorong pengembangan peternakan modern berbasis teknologi presisi yang mampu memproduksi kebutuhan dalam negeri secara konsisten. Pada kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementan, Nasrullah mengatakan bahwa pemerintah telah menyusun strategi dalam menghadapi krisis pangan dunia. Di antaranya peningkatan kapasitas produksi pangan untuk komoditas daging sapi, kerbau, ayam ras, ayam buras, dan babi.

Pemerintah akan melakukan pengembangan terhadap pangan substitusi impor seperti daging domba/kambing dan itik untuk substitusi daging sapi. Disisi lain, kementan juga terus meningkatan kapasitas produksi dan peningkatan laju ekspor seperti produk sarang burung walet, ayam, dan telur ayam ke berbagai negara di Asia. Pengembangan komoditas ternak prioritas berbasis korporasi, presisi dan terintegrasi ini dilakukan melalui sinergi pelaku usaha dengan program penyediaan ternak 10 juta ekor melalui pengembangan kambing/domba, itik dan ayam.

Semoga dengan peran semua pihak, baik pemerintah maupun swasta, peternakan di Indonesia bisa kuat dalam menghadapi tantangan di tahun 2023 ini dan ketersediaan protein hewani boleh tetap terjaga dengan baik.

Referensi :

  1. https://research.rabobank.com/far/en/sectors/animal-protein/ap-outlook-2023.html
  2. https://pertanian.go.id/home/?show=news&act=view&id=5217
Perkembangan Teknologi Reproduksi Sapi

Perkembangan Teknologi Reproduksi Sapi

Setelah beberapa waktu lalu kita membahas tentang managemen reproduksi pada sapi, artikel kali ini akan mengulas lebih jauh tentang tehnologi yang dikembangkan untuk menunjang performa reproduksi peternakan sapi. Jika anda belum membaca, kami sarankan untuk membaca terlebih dahulu sebelum masuk ke artikel kali ini agar mendapatkan sudat pandang yang utuh : Managemen Reproduksi Sapi.

Trimester terakhir kebuntingan umumnya terjadi keseimbangan energi negatif selama periode postpartum dan peningkatan suhu tubuh (respon stress). Hal ini akan mengganggu interaksi antara oosit dan sel granulosa di dalam folikel, sehingga menimbulkan masalah pada tingkat kesuburan dan berkontribusi terhadap inefisiensi dalam perkembangan embrio atau bahkan meningkatkan resiko kehilangan embrio. Area ini memerlukan penyelidikan intensif karena kemungkinan efek pada hierarki folikel dapat berkontribusi pada durasi penurunan kesuburan selama periode postpartum dan periode penurunan kesuburan yang diperpanjang setelah periode stres panas musiman.

Beberapa perkembangan tehnologi telah mampu meningkatkan kinerja reproduksi sapi perah laktasi. Pemberian hormon progesteron sebelum hari ke-6 setelah inseminasi buatan (AI) telah berhasil meningkatkan angka kehamilan. Selain itu, induksi korpus luteum (CL) dengan injeksi human chorionic gonadotropin (hCG) pada hari ke-5 setelah AI juga mampu meningkatkan angka kebuntingan. Strategi untuk meningkatkan perkembangan CL dan atau peningkatan sinkronisasi sebelumnya dalam progesteron kemungkinan akan memajukan perkembangan embrio dan meningkatkan sekresi selanjutnya dari sinyal antiluteolitik, yaitu interferon-τ yang bertanggung jawab untuk pemeliharaan kebuntingan.

https://www.journalofdairyscience.org/article/S0022-0302%2806%2972194-4/fulltext

Penggunaan perparat Bovine Somatotropin (bST) bisa memicu pertumbuhan dan meningkatkan  produksi susu. Penggunaan bST saat inseminasi pada sapi mengikuti protokol Ovsynch  atau saat deteksi estrus meningkatkan angka kebuntingan dan mengurangi kematian embrio akhir antara hari 31 – 45 setelah inseminasi. Selain itu, bST juga mampu meningkatkan angka pembuahan, mempercepat perkembangan embrio, meningkatkan kualitas embrio, dan meningkatkan panjang konsepsi pada saat kebuntingan dipertahankan. Peningkatan fertilitas secara keseluruhan tampak paling nyata setelah inseminasi pertama setelah masa tunggu postpartus.

Identifikasi awal sapi yang tidak bunting hingga inseminasi pertama (∼23 – 24 hari) melalui sinkronisasi estrus yang tepat waktu dengan penggunaan insert progesteron intravaginal (CIDR)  dan atau AI waktunya segera setelah diagnosis tidak bunting merupakan strategi tambahan untuk meningkatkan kinerja reproduksi. Dalam skenario terakhir dari sinkronisasi ulang, sapi yang menerima perangkat CIDR antara hari ke 14 – 23 setelah inseminasi menerima suntikan GnRH pada saat penarikan CIDR untuk membalik folikel pada hari ke 23. Test kebuntingan bisa dikonfirmasi dengan diagnosis ultrasound 7 hari kemudian, yaitu pada hari ke 30 setelah inseminasi. Jika sapi tidak bunting maka PGF2α disuntikkan dan diikuti 3 hari kemudian dengan injeksi GnRH dan AI waktunya bersamaan. Akibatnya, re-inseminasi terjadi dalam 3 hari setelah diagnosis tidak bunting atau hari ke-33 setelah inseminasi sebelumnya. Baca juga : Kawin Silang Ternak Sapi Potong

Selama 25 tahun terakhir, teknologi reproduksi buatan (ART) telah menjadi yang terdepan dalam penelitian reproduksi. Meskipun banyak teknik sekarang tersedia yang menjanjikan untuk meningkatkan kinerja reproduksi, penyempurnaan dan pengoptimalan tambahan yang memungkinkan perkembangan embrio selanjutnya dan kesejahteraan keturunan juga tetap diperlukan. Berikut beberapa tehnologi yang sudah mulai dikembangkan :

Superovulasi dan Transfer Embrio
Munculnya manipulasi hormonal dari siklus reproduksi sapi, menginduksi beberapa ovulasi, ditambah dengan AI, koleksi embrio, dan transfer embrio, memungkinkan produsen susu untuk mendapatkan banyak keturunan dari betina unggul secara genetik, dengan mentransfer embrio mereka ke penerima manfaat genetik yang lebih rendah. . Selain itu, embrio dengan keunggulan genetik tinggi dapat dibekukan untuk kemudian ditransfer atau dijual. Prosedur transfer embrio nonsurgical pertama kali dikembangkan pada tahun 1964, lalu tahun 1972 mulai bisa dilakukan pengumpulan embrio dan kemudian tersedia secara komersial sejak tahun 1980-an. Upaya terbaru telah memasukkan transfer embrio berjangka waktu, membuat proses ini lebih mudah dikelola oleh produsen. Saat ini, biaya yang terkait dengan superovulasi dan pengumpulan serta penyimpanan embrio adalah sekitar $100/embrio, dan biaya transfer rata-rata $25 – $50/transfer.

Produksi Embrio In Vitro
Manipulasi in vitro gamet untuk produksi embrio pertama kali berhasil pada tikus pada tahun 1958 dan pada kelinci pada tahun 1959. Pada awalnya, oosit matang yang diambil dari betina dibuahi dengan sperma di laboratorium diikuti dengan transfer ke ibu penerima. Pada tahun 1981, anak sapi hidup pertama diproduksi dengan fertilisasi in vitro (IVF/ in vitro fertilization). Kemajuan telah dibuat dalam kondisi kultur, sehingga oosit yang belum matang sekarang dapat diambil dan dimatangkan secara in vitro (IVM/matured in vitro). Anak sapi hidup pertama dari oosit matang in vitro dilaporkan pada tahun 1986. Tiga tahun kemudian, Sirard dan rekan kerja melaporkan anak sapi hidup pertama yang diproduksi oleh IVM/IVF dan kultur in vitro. Kemajuan ini memungkinkan untuk produksi embrio yang layak dari oosit yang diisolasi dari ovarium yang diperoleh di rumah jagal. Penggunaan semen dengan nilai genetik tinggi untuk membuahi oosit yang diambil dari ovarium rumah jagal adalah salah satu metode untuk menghasilkan embrio dalam jumlah besar dengan potensi genetik yang lebih baik.

Kemajuan besar lainnya dalam bidang ini adalah teknik pengambilan sel telur (OPU/ovum pick-up) non-bedah. Pada tahun 1988, Pieterse dan rekan menunjukkan bahwa pemeriksaan ultrasound transvaginal dengan panduan jarum dapat digunakan untuk mengaspirasi oosit dari folikel yang sedang tumbuh pada betina donor hidup. Oosit kemudian dimatangkan dan dibuahi secara in vitro untuk menghasilkan embrio yang layak untuk ditransfer. Kemajuan ini memungkinkan pengambilan oosit dari betina pada hampir semua usia atau status reproduksi, termasuk sapi dara prapubertas dan sapi bunting. Ini memiliki potensi untuk secara substansial meningkatkan produktivitas seumur hidup betina dengan prestasi genetik tinggi, dan secara efektif mengurangi interval generasi.

Saat ini, 20 – 50% oosit yang dibuahi secara in vitro berkembang menjadi embrio yang hidup tergantung pada kondisi kultur, dan cocok untuk transfer embrio ke penerima. Tingkat konsepsi untuk embrio IVF (30 – 40%) berkurang dibandingkan dengan AI atau embrio yang dipulihkan tanpa pembedahan dari hewan donor (50 – 70%). Kehilangan paling sering terjadi selama 30 hari pertama kebuntingan, walaupun hal ini bisa terjadi juga di semua fase. Selain itu, beberapa keturunan yang diproduksi secara in vitro memiliki masa kebuntingan yang relatif berkepanjangan dengan peningkatan berat badan lahir (8 – 50% lebih besar). Hal ini sering dikaitkan dengan sindrom keturunan besar (LOS/large offspring syndrome), dan operasi caesar sering diperlukan sebagai intervensi proses kelahiran. Masalah-masalah ini menunjukkan bahwa kondisi kultur in vitro masih memerlukan perbaikan tambahan untuk mencapai tingkat perkembangan yang serupa dengan embrio yang diproduksi secara in vivo.

Seleksi Semen
Mengubah rasio jenis kelamin untuk mendukung anak sapi dara akan menjadi keuntungan besar bagi industri susu untuk memproduksi sapi dara pengganti. Sampai saat ini, satu-satunya pilihan adalah embrio seks.

https://www.journalofdairyscience.org/article/S0022-0302%2806%2972194-4/fulltext

Tahun 1987, Larry Johnson di USDA memperkenalkan metode untuk menyortir sperma  berdasarkan kandungan DNA. Menggunakan pewarna fluoresen pengikat DNA (Hoechst 33342), sperma diwarnai dan disortir pada penyortir sel yang diaktifkan fluoresensi (FACS). Sperma yang mengandung kromosom X dari sapi mengandung DNA 3,8% lebih banyak daripada sperma yang mengandung Y, memungkinkan untuk dipisahkan. Teknologi ini sekarang tersedia secara komersial melalui XY Inc., yang berbasis di Fort Collins, CO, yang telah melisensikan teknologi untuk semen sapi ke Inguran di Texas dan TransOva Genetics di Iowa.

Saat ini, tehnologi ini 95% efektif menghasilkan sapi jenis kelamin yang diinginkan, namun demikian ada 2 kelemahan yang terkait dengan teknologi ini. Pertama, ini adalah proses yang sangat lambat, hanya menghasilkan 150 – 200 sedotan air mani berjenis kelamin/mesin/hari, sehingga diperlukan alat yang sangat banyak untuk memenuhi target. Selain itu, 70% sperma gagal disortir karena rusak atau tidak dapat dibedakan, sehingga membuat teknologi ini menjadi sangat mahal bagi produsen. Kedua, rendahnya tingkat konsepsi. Tingkat konsepsi pada sapi dara dengan menggunakan semen berjenis kelamin rata-rata hanya 35% vs 55% untuk semen tanpa kelamin.

Strategi penggunaan semen jenis kelamin untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas biaya sedang dikembangkan. Salah satu strategi tersebut adalah dengan melakukan service breeding pertama dengan sexed semen yang dilanjutkan dengan penggunaan unsexed seed pada repeat breeding. Metode ini telah terbukti menghasilkan 62% keturunan betina saat pertama kali melahirkan. Cara lain untuk meningkatkan efisiensi dengan air mani berjenis kelamin adalah penggunaannya untuk program fertilisasi in vitro. Rata-rata, dianjurkan untuk menggunakan 2  juta sperma berjenis kelamin untuk membuahi seekor sapi betina. Sebaliknya, kurang dari 100.000 sperma dapat secara efektif membuahi 100 oosit secara in vitro, sehingga mengurangi masalah kecepatan dan jumlah sperma yang rendah setelah kawin. Perbaikan lebih lanjut perlu diterapkan agar teknologi ini dapat digunakan secara luas di industri susu.

Kloning
Kloning adalah produksi salinan atau salinan individu, dan terjadi pada hewan baik secara alami atau buatan, ketika embrio dibelah untuk menghasilkan kembar identik. Kata “klon” juga telah digunakan untuk menggambarkan hewan yang dihasilkan untuk produksi keturunan identik secara genetik dalam jumlah tak terbatas. Keberhasilan pertama dalam mengkloning ternak terjadi pada tahun 1986, ketika Steen Willadsen menggabungkan sel dari embrio 16 sel menjadi oosit  bernukleus.

Terobosan terbesar dalam kloning datang pada tahun 1996, ketika Ian Wilmut dan rekan-rekannya menghasilkan domba Dolly dengan menggabungkan sel somatik dewasa yang dikultur dengan oosit yang dienukleasi. Meskipun masih cukup tidak efisien, kloning dengan sel dewasa menawarkan keuntungan dari kloning hewan yang terbukti secara genetik dan memiliki persediaan sel donor yang tidak terbatas. Kloning sel somatik kini telah berhasil menghasilkan semua spesies ternak, serta banyak hewan laboratorium dan hewan peliharaan.

Aplikasi utama kloning pada industri susu adalah untuk memperluas penggunaan hewan yang unggul secara genetik. Hewan yang berjasa tinggi tersebut, jantan atau betina, dapat dipilih untuk kloning berdasarkan sifat yang diinginkan, termasuk produksi susu, pertumbuhan, efisiensi pakan, atau ketahanan terhadap penyakit. Selanjutnya, gizi, reproduksi, dan kesehatan hewan hasil kloning harus lebih mudah dikelola karena keseragaman hewan. Transplantasi juga berguna untuk menghasilkan individu unggul secara genetik yang sudah tua, terluka, atau baru saja mati. Selain itu, kloning akan bermanfaat untuk menghasilkan sapi perah yang dimodifikasi secara genetik, dengan menambahkan sifat-sifat yang menguntungkan atau menghilangkan sifat-sifat yang kurang diinginkan.

Prosedur kloning melibatkan pemindahan DNA kromosom dari oosit dewasa dan menggantinya dengan sel dari hewan donor untuk dikloning. Sel donor kemudian menyatu dengan oosit enukleasi dan diaktifkan baik secara kimia atau dengan kelistrikan untuk menginduksi aktivasi dan pemrograman ulang genom sel somatik dengan genom embrionik. Embrio kloning yang direkonstruksi kemudian dikultur selama 6 – 9 hari dan embrio yang layak dipindahkan ke penerima yang disinkronkan untuk menghasilkan keturunan kloning hidup.

https://www.journalofdairyscience.org/article/S0022-0302%2806%2972194-4/fulltext

Meskipun kloning tersedia secara komersial, teknologinya masih cukup tidak efisien dan sangat mahal. Inefisiensi berasal dari mikromanipulasi oosit dan embrio dan kultur sel donor dan embrio kloning. Proses kloning ini relatif sangat sulit, karena banyaknya aborsi yang terjadi sepanjang masa kebuntingan, umur kebuntingan lebih lama dan ukuran berat lahir besar (LOS) sehingga harus intervensi dengan operasi sesar karena adanya distokia. Keturunan yang besar ini sering mengalami kelemahan pasca kelahiran, hipoksia, hipoglikemia, asidosis metabolik, dan hipotermia yang memerlukan perawatan intensif segera, sehingga masalah ini menghambat penerapan tehnologi kloning ini secara luas pada industri susu.

Akhirnya, tantangan terbesar lainnya adalah potensi hilangnya keanekaragaman genetik. Meskipun jumlah sapi identik yang tidak terbatas dapat diproduksi dengan kloning, hal itu tidak boleh menggantikan pembiakan alami. Jika hal itu terjadi, dapat mengakibatkan perkawinan sedarah dan hilangnya variasi genetik yang tidak diinginkan. Kekhawatiran yang sama ketika AI diimplementasikan secara komersial dan luas. Kloning diperkirakan tidak akan digunakan secara luas seperti AI karena relatif mahal. Dengan manajemen skema pemuliaan yang tepat, masalah seperti ini seharusnya tidak akan terjadi.

Transgenesis
Metode tradisional untuk melakukan perbaikan genetik oleh produsen susu adalah melalui analisis silsilah dan seleksi genetik stok benih. Meskipun ini akan terus menjadi yang terdepan, produsen akan segera melihat hasil dari pendekatan baru untuk meningkatkan genetika sapi perah. Teknologi transgenik memungkinkan perbaikan yang saat ini tidak mungkin dilakukan melalui skema pemuliaan tradisional. Sifat-sifat yang menguntungkan dapat ditambahkan dari spesies lain. Sebagai contoh, baru-baru ini ditunjukkan bahwa gen bakteri dapat diekspresikan dalam kelenjar susu yang memungkinkan resistensi terhadap jenis mastitis tertentu. Selain itu, Brophy dan rekan meningkatkan kualitas susu dengan meningkatkan produksi kasein. Perubahan ini meningkatkan padatan susu yang tersedia untuk dijual dan meningkatkan sifat produksi keju.

Perusahaan farmasi juga menaruh minat pada sapi perah sebagai unit produksi biofarmasi, dimana sapi transgenik diproduksi yang mengandung gen untuk obat tertentu yang hanya diekspresikan dalam susu. Selama menyusui, sapi berfungsi sebagai pabrik yang sangat efisien, memproduksi sejumlah besar obat dalam susu yang kemudian dapat dipanen dan dimurnikan dengan harga yang lebih murah dibandingkan metode pembuatan obat-obatan tradisional. Obat ini sedang dalam uji klinis dan kemungkinan besar akan dipasarkan dalam beberapa tahun ke depan.

Produksi hewan transgenik pertama kali diperkenalkan pada tahun 1980 oleh Jon Gordon dan rekan. Salinan gen asing disuntikkan ke dalam pronukleus embrio tikus 1 sel yang baru dibuahi. Teknologi yang sama ini juga dikembangkan pada produksi babi, kambing, domba, dan sapi transgenik yang berhasil. Namun demikian, tingkat efisiensinya sangat rendah dan seringkali < 1%. Dibutuhkan biaya hingga $5  juta untuk memproduksi satu hewan transgenik penghasil biofarmasi.

Modifikasi genetik sapi perah melalui transgenesis menawarkan banyak manfaat untuk meningkatkan kesehatan dan produksi hewan, namun inefisiensi dan pertimbangan etis dapat menghambat penerimaannya.  Selain itu, pemahaman dan respon penerimaan publik saat ini terhadap makanan yang dimodifikasi secara genetik masih belum semuanya positif. Agar teknologi ini berdampak pada industri susu, efisiensi produksi embrio transgenik dan persepsi publik tentang sains harus meningkat secara substansial.

Demikian beberapa tehnologi yang saat ini dikembangkan untuk meningkatkan produksi terutama pada sapi perah. Semua bertujuan baik, tetapi mungkin tidak semua segmen bisa menerapkannya karena biaya yang relatif besar.

Referensi :

  1. https://www.journalofdairyscience.org/article/S0022-0302%2806%2972194-4/fulltext
  2. https://www.researchgate.net/publication/289505953_Balancing_Beef_Cow_Nutrient_Requirements_and_Seasonal_Forage_Quality_on_Annual_Rangeland
  3. https://www.researchgate.net/publication/323832298_Practical_guide_to_bovine_reproduction_management
Management Reproduksi Sapi

Management Reproduksi Sapi

Setelah beberapa lalu kita membahas mengenai gangguan reproduksi pada sapi, maka saat ini kita akan mengulas mengenai management reproduksinya. Ilmu reproduksi terus mengalami perkembangan dan kemajuan yang tentunya membantu para dokter hewan dan pelaku usaha peternakan yang fokus pada pembibitan.

https://www.researchgate.net/publication/289505953_Balancing_Beef_Cow_Nutrient_Requirements_and_Seasonal_Forage_Quality_on_Annual_Rangeland

Faktor utama yang mempengaruhi pemilihan waktu beranak pada negara dengan 4 musim adalah meliputi kondisi cuaca, kualitas dan ketersediaan pakan ternak, pakan tambahan, tenaga kerja, modal, target produksi (persentase beranak, bobot sapih, interval beranak), bobot relatif pedet, dan tantangan penyakit. Idealnya, sapi harus dikawinkan kembali dalam 80 – 85 hari setelah melahirkan jika interval beranak 365 hari ingin dipertahankan. Kalender reproduksi sapi diatas  adalah jadwal yang sangat ketat jika tujuannya adalah untuk menghasilkan 1 ekor anak sapi setiap tahun dari setiap indukan sapi. Nutrisi yang memadai sangat penting untuk memenuhi tujuan ini.

Periode dari pembuahan – lahir adalah sekitar 283 hari. Kebanyakan sapi tidak akan estrus/berahi sekitar  30 – 45 hari setelah melahirkan (bisa lebih lama jika kualitas nutrisi buruk). Sapi akan mengalami estrus dengan interval 21 hari. Dari 365 hari dalam setahun jika kita kurangi masa kebuntingan 283 hari dan 40 hari lagi masa tidak estrus setelah melahirkan, maka praktis kita hanya memiliki sisa waktu 42 hari (dua siklus) jika kita tetap pada jadwal untuk tahun berikutnya.. Artinya, kita harus memastikan induk sapi akan kembali bunting dalam maksimum 2x kesempatan proses perkawinan/insminasi buatan. Inilah tantangan yang kita hadapi sebagai pelaku usaha peternakan sapi agar bisa memperoleh hasil yang optimal.

Tantangan target 1 calf per cow per year ini idealnya harus  diimbangi dengan update pengetahuan terkait perkembangan terbaru dari ilmu reproduksi agar tingkat keberhasilannya tinggi.  Perkembangan folikel ovarium dengan regresi corpus luteum (CL) selama siklus estrus adalah salah satu yang mengalami kemajuan besar yang harus kita kuasai. Kita bisa belajar dari para peneliti dimana mereka dapat memantau dinamika perkembangan folikel dari hari ke hari pada hewan yang sama tanpa mengorbankan status ovarium dan endokrin sapi dengan menggunakan pencitraan ultrasonografi.

https://www.journalofdairyscience.org/article/S0022-0302%2806%2972194-4/fulltext#secd17180470e109

Gambar diatas menunjukan adanya gelombang folikel yang terjadi pada siklus estrus sapi. Folikel-folikel berukuran besar yang berulang berkembang dalam gelombang sebagai respons terhadap lonjakan FSH (follicle stimulating hormone). Setiap gelombang ini terdiri dari fase berurutan, yaitu seleksi, deviasi, dominasi, dan atresia. Rekrutmen folikel terjadi setiap 8 – 10 hari, dimana  sapi pada umumnya akan memiliki 2 – 3 gelombang folikel selama siklus estrusnya. Dari gelombang folikel yang direkrut FSH ini kemudian dipilih 1 folikel dan mengalami deviasi pada ukuran sekitar 8,5 mm. Folikel yang terseleksi ini akan tumbuh secara linier menjadi dominan, sedangkan folikel lainnya berhenti tumbuh dan kemudian mengalami atresia. Folikel dominan ini akan menghalangi perekrutan gelombang folikel berikutnya sampai mengalami atresia.

Pemahaman tentang mekanisme kontrol gelombang folikel ini sangat penting bagi peternak dalam  mengembangkan sistem yang optimal dalam mengontrol kesuburan pada ternak sapi, terutama sapi perah yang umumnya dipelihara secara intensif dalam kandang. Folikel yang dipilih sebagai menjadi dominan memiliki konsentrasi estradiol yang lebih tinggi dalam cairan folikel dan konsentrasi yang lebih besar dari insulin-like growth factor (IGF)-I yang berkontribusi pada potensi estrogenik folikel. Peningkatan sekresi estradiol dan inhibin ovarium akan mencapai kelenjar hipofisis melalui sirkulasi dan menyebabkan penurunan sekresi FSH, sehingga mencegah pertumbuhan lebih lanjut dari folikel bawahan lainnya. Setelah fase deviasi dimana folikel dominan mencapai 10 mm, sel granulosa mulai mengekspresikan reseptor LH (luteinizing hormone) dan dapat diinduksi untuk berovulasi dengan ukuran sekitar 12 mm. Pertumbuhan berkelanjutan dan dominasi folikel dominan ini tergantung pada sekresi LH sehingga dengan tidak adanya peningkatan frekuensi LH, folikel dominan akan mengalami atresia fungsional yang  memungkinkan peningkatan sekresi FSH dan perekrutan gelombang folikel baru kembali.

Peristiwa ini berulang pada setiap gelombang sampai regresi CL spontan terjadi karena sekresi hormon prostaglandin (PGF2α) melalui mekanisme luteolitik. Jika level progesteron rendah setelah luteolisis, umpan balik negatif pada hipofisis akan berkurang dan LH meningkat, sehingga mengarah pada perkembangan akhir folikel dominan. Saat ukuran mencapai 17 – 20 mm, maka folikel dominan menjadi sepenuhnya estrogenik dan menginduksi lonjakan LH pra-ovulasi yang pada akhirnya akan memicu terjadinya ovulasi.

Kembali ke sistem produksi farm komersial yang dilakukan secara intensif, untuk sapi perah laktasi akan memerlukan manajemen pemuliaan yang cermat, yaitu memprogram gelombang folikel, regresi CL, dan induksi ovulasi. Hal ini terjadi karena tingkat produksi susu yang tinggi, asupan dry matter (DM) dan metabolisme sapi perah menyusui cinderung menurunkan efisiensi deteksi estrus yang pada akhirnya akan menurunkan tingkat kebuntingan. Keadaan ini tidak terlihat pada sapi dara atau sapi yang tidak laktasi sehingga kesulitan dalam deteksi estrus hampir tidak terjadi dan angka kebuntingan cinderung lebih baik dari sapi laktasi.

Pemahaman tentang mekanisme siklus estrus saat ini telah mengarah pada pengembangan sistem kontrol ovulasi untuk menentukan waktu inseminasi. Pada peternakan modern, sistem ini dikembangkan dengan memanfaatkan preparat hormonal atau obat-obatan yang sebanding dengan hormon atau analognya yang mengatur fungsi ovarium normal pada sapi. Salah satu kisah sukses dalam intervensi sistem reproduksi sapi adalah penggunaan PGF2α pada awal 1970-an sebagai luteolysin uterus alami pada sapi. PGF2α dikembangkan untuk menginduksi regresi CL.

Suntikan PGF2α untuk meregresi CL berhasil setelah hari ke-5 dari siklus estrus. Selain itu, ada perbedaan yang cukup besar mengenai kapan estrus akan terjadi selama periode diestrus yang responsif. Interval terpendek terjadinya estrus adalah 2 – 3 hari, dimana ini bisa terjadi ketika PGF2α diberikan antara hari ke-7 dan 9 atau hari ke-14 dan 16 dari siklus estrus. Interval yang lebih lama terjadi dalam 4 – 7 hari, dimana terjadi jika waktu pemberian dilakukan antara hari ke-10 dan 12 dari siklus.

Waktu injeksi PGF2α dan fase gelombang folikel yang tidak diketahui pasti ini menyebabkan variasi dalam respon di lapangan. Jika injeksi PGF2α dilakukan saat ada folikel aktif estrogen yang dominan, misalnya pada hari ke-7 siklus maka akan terjadi estrus lebih awal dibandingkan jika injeksi diberikan pada hari ke-11. Hal ini terjadi karena pada hari ke 11 folikel gelombang kedua sedang diseleksi dan diperlukan sekitar 7 hari untuk perkembangan folikel dominan baru dan estrus. Oleh karena itu, strategi awal intervensi untuk menyinkronkan estrus dengan injeksi PGF2α didasarkan pada 2 injeksi berturut-turut dengan jarak 11 hari (sapi dara) atau 14 hari (sapi menyusui). Hal ini untuk memastikan sebagian besar hewan akan menjalani regresi CL pada injeksi PGF2α kedua dan memiliki tingkat sinkronisasi estrus yang lebih tinggi. Baca juga : Gangguan Reproduksi pada Sapi

Berdasarkan pemahaman dinamika folikel normal selama siklus estrus, menjadi jelas bahwa sinkronisasi folikel harus digabungkan dengan regresi CL yang diinduksi untuk lebih mengontrol ketepatan terjadinya estrus. Pelepasan LH yang diinduksi GnRH menyebabkan ovulasi atau luteinisasi folikel dominan >10 mm. Pergantian folikel dominan yang diinduksi GnRH mengarah pada perekrutan gelombang folikel baru, sehingga folikel dominan baru yang matang hadir 7 hari kemudian, ketika seseorang dapat menginduksi regresi CL dan/atau yang diinduksi GnRH, serta meningkatkan presisi dari estrus yang diinduksi. Urutan terprogram seperti itu adalah dasar dari program inseminasi yang disebut Ovsynch, di mana injeksi GnRH primer diberikan pada waktu yang telah ditentukan setelah melahirkan, diikuti oleh PGF2α 7 hari kemudian. Injeksi tambahan GnRH diberikan 48 jam setelah injeksi PGF2α. Inseminasi harus terjadi 12 – 16 jam setelah injeksi GnRH, yang akan diikuti oleh ovulasi tersinkronisasi pada 28 jam setelah GnRH.

https://www.journalofdairyscience.org/article/S0022-0302%2806%2972194-4/fulltext

Dari gambar diatas, kita bisa melihat alternatif manajemen reproduksi untuk meningkatkan performa reproduksi sapi perah laktasi dengan penggunaan presynchronization. Perawatan endokrin meliputi injeksi bovine somatotropin (bST) dan injeksi human chorionic gonadotropin (hCG) pada hari ke-5 setelah inseminasi. Sinkronisasi ulang sapi yang tidak bunting akan melibatkan penyisipan perangkat progesteron intravaginal (CIDR=controlled internal drug release) antara hari ke 14 dan 23 setelah inseminasi buatan dan injeksi GnRH pada hari ke 23 pada saat penghentian CIDR. Sapi yang terindikasi tidak bunting pada hari ke 30 menerima suntikan PGF2α, dan pada hari ke 33 disuntik dengan GnRH dan diinseminasi secara bersamaan.

Kemampuan injeksi GnRH pertama untuk menginduksi pergantian folikel tergantung pada induksi ovulasi dari folikel dominan. Jika penyuntikan pertama dilakukan pada fase metestrus, maka folikel baru tidak akan diinduksi dan folikel ovulasi pada penyuntikan GnRH kedua adalah folikel tua dengan tingkat fertilitas yang lebih rendah saat diinseminasi. Oleh karena itu, intervensi program presynch/ovsynch dilakukan dengan pemberian 2x suntikan PGF2α dengan interval 14 hari, dan program ini dimulai 12 – 14 hari setelah injeksi PGF2α kedua dari fase prasinkronisasi.

Jika sapi mengekspresikan estrus antara hari ke 3 – 7 setelah penyuntikan kedua PGF2α, mereka akan berada di antara hari ke 5 – 11 dari siklus estrus ketika ovsynch dimulai. Oleh karena itu, sekitar 80% sapi harus memiliki folikel yang berovulasi saat injeksi GnRH pertama dan semua sapi harus memiliki CL fungsional selama interval antara injeksi GnRH dan PGF2α. Hal ini bertujuan untuk mengurangi terjadinya ovulasi prematur sebelum injeksi GnRH kedua. Skema sinkronisasi folikel ini meningkatkan kemungkinan memperoleh folikel fresh yang berovulasi, diikuti dengan injeksi GnRH kedua untuk mengarah pada pengembangan CL yang memadai guna pemeliharaan kebuntingan.

Tehnologi terbaru saat ini sudah menyediakan perangkat intravaginal untuk pelepasan progesteron (CIDR) yang bisa diaplikasikan pada sapi perah laktasi sebagai alat tambahan untuk sinkronisasi. Pada sapi perah laktasi, perangkat CIDR dapat dimasukkan kedalam vagina pada saat injeksi GnRH pertama dan dilepas saat PGF2α disuntikkan sebagai bagian dari program ovsynch. Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya estrus prematur sebelum injeksi ovulasi GnRH pada sapi yang mengalami regresi CL selama 7 hari pertama protokol ovsynch, dan dapat juga menginduksi aktivitas siklik pada sapi anovulasi yang diobati dengan program ini. CIDR ini berfungsi sebagai alat pra-sinkronisasi untuk memastikan sinkronisasi folikel atau ovulasi ke program ovsynch berikutnya, dan sinkronisasi ulang estrus pada sapi yang tidak berhasil bunting pada inseminasi buatan pertama.

Perlu diingat, bahwa sapi perah laktasi memiliki konsentrasi progesteron dan estradiol yang suboptimal dan dianggap kurang subur karena metabolisme yang terkait dengan asupan DM yang tinggi. Oleh karena itu, program inseminasi buatan pada sapi laktasi yang mencakup estradiol eksogen (estradiol cypionate) yang diberikan 24 jam setelah PGF2α ternyata mampu mendorong terjadinya estrus dan benar-benar meningkatkan tingkat konsepsi. Namun demikian, dibeberapa negara seperti Amerika Utara, penggunaan preparat estrogen pada sapi perah laktasi masih diperdebatkan karena dianggap berpotensi mengganggu pasokan makanan karena issue residu yang masih membutuhkan pembuktian lebih lanjut.

Tantangan lain yang umumnya dihadapi peternak adalah terjadinya kematian embrio. Terlepas dari kemajuan dalam biologi reproduksi dan berbagai teknik yang tersedia untuk mengontrol proses reproduksi, pada kenyataannya efisiensi reproduksi kawanan terus menurun pada sapi perah laktasi. Berbagai faktor yang bisa kita evaluasi terhadap kejadian subfertilitas ini adalah adanya ovulasi folikel persisten atau tua, ovulasi folikel praovulasi berukuran kecil, periode pro-estrus yang lebih pendek, paparan progesteron yang tidak memadai selama periode sinkronisasi, dan insufisiensi luteal setelah ovulasi yang diinduksi. Total kerugian dari pembuahan sampai kelahiran pada sapi perah laktasi mencapai 60% dengan tingkat konsepsi akhir hanya sebesar 28%. Hal ini disebabkan oleh rendahnya angka pembuahan, penurunan viabilitas embrio, ukuran embrio, serta kehilangan embrio pada umur 24 – 42 hari.   Baca juga : Analisa Fertilitas pada Ternak Sapi

Gangguan saat proses kelahiran seperti kejadian distokia, retensi placenta dan milk fever akan mempengaruhi tingkat kesuburan sapi periode selanjutnya. Kejadian metritis dan endometritis subklinis juga berpotensi mengurangi tingkat kebuntingan. Oleh karena itu, penting bagi para peternak untuk mengoptimalkan kualitas nutrisi, kandungan gizi dan status kesehatan sapi selama periode kebuntingan dan pasca kelahiran dimana fungsi kekebalan umumnya sedikit terganggu pada periode awal laktasi.

Demikian paparan mengenai siklus reproduksi dan intervensi yang umumnya bisa dilakukan di kalangan industri peternakan sapi. Pada artikel selanjutnya kita nanti akan belajar bersama mengenai teknologi yang dikembangkan untuk mengoptimalkan performa reproduksi ternak.

Terima kasih.

Referensi :

  1. https://www.journalofdairyscience.org/article/S0022-0302%2806%2972194-4/fulltext
  2. https://www.researchgate.net/publication/289505953_Balancing_Beef_Cow_Nutrient_Requirements_and_Seasonal_Forage_Quality_on_Annual_Rangeland
  3. https://www.researchgate.net/publication/323832298_Practical_guide_to_bovine_reproduction_management
Ras Sapi Dunia

Ras Sapi Dunia

Sapi adalah jenis hewan berkuku yang berhasil didomestikasi oleh manusia, kemudian diternakkan untuk diambil daging, susu, kulit ataupun manfaat lainnya. Sapi jantan disebut BULL, sapi betina disebut COW dan anak sapi disebut CALF. Ada > 450 jenis sapi di dunia dan mereka diklasifikasikan 4 jenis, yaitu breed sapi perah, breed sapi potong, breed dual purpose dan breed draft. Setiap breed memiliki karakteristik unik yang membuatnya cocok untuk tujuan tertentu. Misalnya, sapi Brahman tahan terhadap penyakit tropis dan beradaptasi dengan baik pada iklim tropis yang panas dan lembab.

Ras genetik sapi dapat dibagi menjadi dua klasifikasi dasar, yaitu bos taurus dan bos indicus (zebu). Bos taurus atau sapi yang tidak berpunuk di Amerika Serikat berasal dari Kepulauan Inggris dan benua Eropa barat. Bos indicus atau sapi berpunuk umumnya dijumpai di Asia tengah selatan.

Secara fungsional, pemilihan jenis sapi tentunya tergantung pada tujuan yang akan dicapai dari masing-masing peternak. Hal-hal penting yang mungkin menjadi pertimbangan antara lain adalah ukuran tubuh, potensi produksi air susu, usia saat pubertas, kemampuan beradaptasi terhadap iklim, kemampuan menghasilkan daging, ekspresi otot, cutability dan marbling.

Karakteristis dari bos indicus bisa terlihat pada ukuran tubuh. Anak sapi dari bendungan yang mengandung warisan bos indicus biasanya relatif kecil saat lahir sehingga proses kelahiran relatif lebih lancar. Namun, anak sapi bos indicus dari indukan bendungan bos taurus seringkali relatif besar sehingga sering terjadi distokia atau kesulitan dalam proses melahirkan.

Untuk mengkarakterisasi potensi pemerahan secara akurat, kita bisa mengevaluasi melalui ukuran tubuh juga. Betina yang menghasilkan air susu lebih tinggi umumnya membutuhkan lebih banyak nutrisi untuk tubuh dan proses pemeilharaannya membutuhkan diet berkualitas lebih tinggi. Usia pubertas sapi juga berhubungan dengan ukuran tubuh, potensi pemerahan air susu dan klasifikasi genetik. Individu yang lebih kecil dan jenis penghasil air susu tinggi biasanya cinderung akan matang lebih awal, sedangkan bos indicus matang relatif terlambat namun produktifitasnya lebih lama.

Adaptasi iklim panas tertinggi bisa kita dapatkan dari sapi bos indicus, walaupun beberapa bos taurus cukup toleran juga terhadap panas dan mampu beradaptasi di lingkungan tropis. Hewan yang kurang beradaptasi dengan lingkungannya umumnya memiliki kemampuan pertumbuhan massa otot yang rendah. Bos indicus cinderung lebih mudah digemukkan walaupun dengan kualitas hijauan dan serat rendah.

Cutability atau persentase lean tergantung pada jumlah relatif lemak, otot dan tulang.  Peternak dapat dengan mudah mengubah perbedaan cutability dengan variasi nutrisi untuk mencapai tingkat kegemukan yang sama. Marbling atau lemak intramuskular adalah faktor utama
menentukan grade/kualitas daging di AS. Indikator yang diamati adalah faktor palatabilitas kelembutan, juiciness dan rasa. Marbling meningkat seiring bertambahnya usia hingga kematangan fisiologis dan umumnya lebih tinggi pada sapi dengan pubertas awal atau penghasil susu yang tinggi. Bos indicus dan sebagian sapi yang berotot, sapi dengan air susu sedikit cinderung memiliki kandungan lemak intramuskular yang relatif rendah.

Beberapa daftar breed sapi potong yang terkenal antara lain adalah Angus Hitam, Sapi Hereford, Sapi Piedmont, Brahman, Beefmaster, Aubrac, Caracu, Darkensberger, limousin, Mongolia, Angus Merah, Santa Gertrudis, Texas Longhorn, Gelbvieh, Wagyu.

Jenis sapi potong terbaik saat ini adalah Angus. Angus menjadi ras sapi potong yang banyak digemari di dunia karena kemampuannya yang cepat dalam pertumbuhan berat badan dan juga  memiliki tingkat masalah yang sangat rendah terkait dengan reproduksi yang menjadikannya ‘penghasil uang’ bagi produsen ternak.

Beberapa breed sapi di Inggris pada awalnya dikembangkan di Kepulauan Inggris dan kemudian dibawa ke AS pada akhir 1800-an. Contoh umum breed Inggris adalah Hereford, Angus, dan Shorthorn. Walaupun secara ukuran umumnya lebih kecil tetapi kemampuan mereka cukup unik, yaitu tingkat kesuburan dan proses melahirkan relatif lebih mudah ditangani. Kemudian terkait breed Eropa Kontinental atau dikenal sebagai breed eksotis, jenis Gelbvieh, Limousin, Simmental, Charolais adalah termasuk didalamnya. Sapi eksotis ini diimpor ke AS pada awal 1970-an untuk meningkatkan laju pertumbuhan breed yang ada. Trah ini berukuran lebih besar ketika mereka mencapai usia dewasa dan memiliki lebih sedikit lemak.

Untuk breed sapi perah yang umumnya digunakan adalah Holstein, Jersey, Brown Swiss, Guernsey/the Royal Breed, Ayrshire/Dunlops, Milking Shorthorn.

Breed sapi yang peruntukannya bisa ganda antara lain adalah Dutch Belted, Devon dan Shorthorn. Sapi jenis ini bisa dimanfaatkan daging sekaligus produksi air susunya. Kelompok terakhir adalah breed draft. Sapi ini dibiakkan untuk dimanfaatkan tenaganya daripada produksi daging atau susu. Trah draft terbesar adalah Belgian Blue, sedangkan yang terkecil adalah Dexter.

Kombinasi breed dalam program pemuliaan ternak memiliki pengaruh yang cukup besar pada profitabilitas dan efisiensi industri produksi suatu peternakan. Setiap breed memiliki efisiensi reproduksi, tingkat pertumbuhan, sifat keibuan yang berbeda sehingga spesifikasi produk akhir akan bervariasi dari satu breed ke breed lainnya. Biaya produksi dan kebutuhan nutrisi keseluruhan sepenuhnya tergantung pada jenis breed yang kita pilih karena ini terkait dengan ukuran hewan dan tingkat pertumbuhan. Oleh karena itu, dalam program perkawinan silang, penting untuk memilih breed yang sesuai dan tujuan yang ingin dicapai.

Ras Sapi di Indonesia. Peternakan sapi sudah menjadi hal yang umum di Indonesia, baik itu skala rumahan maupun industri. Sapi diternakkan umumnya untuk diambil daging, air susu, kulit dan juga membantu aktifitas pertanian lainnya. Ada setidaknya 3 jenis ras sapi di Indonesia, yaitu zebu (Bos indicus), sapi Bali (Bos javanicus), dan taurin (Bos taurus). Zebu diperkenalkan oleh orang India pada awal abad pertama, sedangkan breed taurin diimpor pada awal abad ke-18 untuk digunakan sebagai sapi perah. Sapi Bali (Bos javanicus) yang merupakan hasil domestikasi dari banteng liar (Bos javanicus javanicus).

Di  Indonesia, breed sapi utama adalah sapi Bali, sapi persilangan ongole, dan sapi madura. Terdapat beberapa breed sapi lokal zebu yang telah beradaptasi dengan kondisi di Indonesia misalnya sapi persilangan Ongole (PO), sapi Aceh, sapi Pesisir, Sumba Ongole (SO), dan sapi Galekan Trenggalek. Selain itu, ada juga ada juga hasil persilangan antara sapi zebu dan sapi Bali seperti sapi Madura, sapi Jabres dari Brebes, sapi Rancah dari Ciamis, dan sapi Rambon dari Bondowoso Banyuwangi dan sekitarnya. Persilangan zebu dan taurin menghasilkan sapi perah Grati atau kita kenal dengan Friesian Holstein Indonesia (PO x FH). Baca juga : Kawin silang pada ternak Sapi Potong

Dalam beberapa dekade terakhir, kegiatan persilangan melalui inseminasi buatan antara sapi lokal dan sapi taurin cukup masif dilakukan untuk menghasilkan sapi potong yang unggul, terutama Simmental dan Limousin. Persilangan ini telah menghasilkan beberapa breed baru antara lain Simpo (Simmental x PO), Limpo (Limousin x PO), Simbal (Simmental x sapi Bali), Limbal
(Limousin x sapi Bali), dan Madrasin atau Limad (Limousin x sapi Madura). Kekurangan dari persilangan ini adalah dihasilkannya keturunan jantan yang mandul, sedangkan keturunan betina memiliki kapasitas reproduksi yang lebih rendah dari induknya. Hal ini tentunya beresiko menimbulkan ketidakpastian atas jaminan pemenuhan kebutuhan protein di masa yang akan datang dan semakin meningkatnya ketergantungan import bakalan dari luar negeri. Saat ini, import bakalan sapi di Indonesia kebanyakan berasal dari Australia (ACC).

Referensi :

  1. https://smujo.id/biodiv/article/view/124 Review: The diversity of local cattle in Indonesia and the efforts to develop superior indigenous cattle breeds
  2. https://smujo.id/biodiv/article/view/75 Review: Genetic diversity of local and exotic cattle and their crossbreeding impact on the quality of Indonesian cattle
  3. https://www.researchgate.net/publication/301239930_The_diversity_of_local_cattle_in_Indonesia_and_the_efforts_to_develop_superior_indigenous_cattle_breeds
  4. https://www.thecattlesite.com/breeds/
  5. https://animalcare.folio3.com/beef-cattle-breeds/
  6. https://www.dairydiscoveryzone.com/blog/name-cow-6-great-dairy-breeds
  7. https://www.livestocking.net/list-cattle-breeds
  8. http://counties.agrilife.org/ector/files/2011/07/cattlebreeds_3.pdf
Gangguan Reproduksi pada Sapi

Gangguan Reproduksi pada Sapi

Tantangan terbesar dalam peternakan adalah bagaimana kita bisa menjalankan usaha dengan baik, dengan minimal resiko dan mengoptimalkan keuntungan. Pengendalian penyakit menjadi hal yang krusial, mengingat ternak tidak akan menghasilkan performance terbaik jika terjadi masalah. Jika kita bergerak di usaha pembibitan atau sapi perah, penyakit pada organ reproduksi menjadi hal yang harus ditangani dengan baik.

Gangguan reproduksi pada sapi biasanya berkembang secara kronis sehingga terkadang tidak disadari. Hewan yang terinfeksi biasanya tidak mati, dalam kebanyakan kasus terutama pada pejantan akan nampak tetap sehat. Beberapa hewan tidak pernah menunjukkan gejala penyakit, namun tetap menjadi ancaman utama bagi kawanan lainnya karena mereka membawa organisme penyakit. Jika hal ini tidak terdeteksi sedini mungkin, maka kerugian karena waktu dan biaya pakan sudah pasti cukup besar.

Untuk mencegah penyakit reproduksi, produsen/peternak harus selalu waspada dan idealnya mempraktekkan manajemen yang baik seperti pengadaan ruang isolasi sapi yang baru didatangkan dan melakukan vaksinasi bila diperlukan. Tenaga dokter hewan profesional juga sebaiknya juga ada untuk menjaga status kesehatan ternak yang kita pelihara.

Sebelum kita membahas tentang penyakit reproduksi, ada baiknya kita juga sedikit mengingat kembali apa saja yang harus kita kuasai terkait reproduksi pada sapi. Tingkat fertitas yang buruk dalam suatu farm akan menghasilkan produktivitas yang lebih rendah, peningkatan culling rate, keturunan yang kurang baik dan tentunya pada akhirnya menggerus keuntungan peternak.

Apapun sistem peternakannya, manajemen reproduksi perlu efisien sehingga sapi mempunyai level kesuburan yang baik, dan segera bunting dengan perlakuan layanan kawin/inseminasi buatan yang seminimal mungkin. Manajemen reproduksi tidak hanya melibatkan sapi indukan ataupun sapi perah dewasa saja, tetapi juga sudah dimulai dari ketika sapi dara lahir. Proses mencetak bibit unggul dan pemeliharaan sapi dara yang berkualitas sangat penting untuk mendapatkan sapi yang dewasa kelamin pada umur 13 bulan, bunting umur 15 bulan dan melahirkan pada usia 24 bulan.  Jadi pada setiap tahap kehidupan sapi, kita memerlukan rencana pengelolaan yang efektif untuk memaksimalkan kesuburan yang akhirnya akan mempengaruhi performa reproduksi dan tentunya jumlah air susu jika kita bicara uasaha sapi perah.

https://www.nadis.org.uk/disease-a-z/cattle/fertility-in-dairy-herds/part-1-the-basics-of-reproduction/

Siklus berahi
Sapi adalah poliestrus, yang berarti mereka menjadi memiliki siklus birahi sepanjang tahun secara berkala. Hormon utama dalam reproduksi adalah progesteron dan estrogen. Progesteron adalah hormon kehamilan dan diproduksi di ovarium oleh corpus luteum (CL), sedangkan estrogen adalah hormon utama yang bertanggung jawab untuk munculnya perilaku estrus (3M – abang, abuh, anget) yang  diproduksi di ovarium oleh folikel tempat sel telur berasal.

Sapi menjadi estrus ketika progesteron turun dan estrogen naik. Rata-rata siklus estrus sapi adalah setiap 21-22 hari (atau berkisar 18-26 hari). Heifer atau sapi dara cenderung memiliki interval yang lebih pendek, tetapi hanya sekitar satu hari atau lebih. Sapi dengan interval di luar rentang 18-26 hari kemungkinan besar tidak normal dan kita harus melakukan evaluasi detail sebelum memutuskan untuk tahap selanjutnya dalam proses breeding. Jika kondisi tidak membaik, biasanya sapi ini akan dijadikan untuk penggemukan, bukan sebagai bibit.

Masa pubertas
Usia di mana sapi dara mencapai pubertas tergantung pada berat badan mereka. Sapi dara yang lebih ringan mulai siklus lebih lambat daripada hewan yang lebih berat. Jadi, untuk bisa  memaksimalkan kesuburan sapi, kita membutuhkan penambahan berat badan yang baik dan konsisten selama masa pemeliharaan

Untuk membuat sapi dara bunting pada umur 15 bulan dan melahirkan pada umur 2 tahun, mereka harus mulai dewasa kelamin pada umur 12-13 bulan. Kita bisa mulai mengawinkan sapi dara pada siklus estrus mereka yang ke-2 atau 3 kali idealnya untuk memastikan kesiapan organ reproduksinya.

Untuk memastikan bahwa semua sapi dara bisa mengalami dewasa kelamin pada 12-13 bulan, sapi dara harus memiliki berat sekitar 50% dari berat badan dewasa yang diharapkan pada saat berumur 12 bulan dan bertambah sekitar 10% lagi saat 15 bulan. Misalkan sapi Holstein yang berat dewasanya bisa sampai 600 kg, maka idealnya harus memiliki berat minimal 300 kg pada umur 12 bulan dan menambah 60 kg lagi sebelum 15 bulan. Mengukur bobot sapi dara dan menetapkan target bobot hidup merupakan bagian penting dari manajemen kesuburan sapi.

Post Partus
Setelah melahirkan, sistem reproduksi perlu memperbaiki dan memulihkan dirinya sendiri sebelum siklus estrusnya normal kembali. Untuk ternak sapi,  perah pada khususnya, kebanyakan siklus normal akan berlangsung kembali dalam 40 hari setelah melahirkan. Kegagalan untuk melanjutkan siklus normal setelah melahirkan adalah salah satu penyebab utama dari fertilitas yang buruk. Hal ini umumnya bisa nampak dari tertundanya estrus 80-100 hari setelah melahirkan, atau sapi bisa mulai estrus 20 hari setelah melahirkan tetapi kemudian berhenti. Jadi, dampak utama dari kondisi delay estrus ini adalah bahwa sapi tidak bisa dikawinkan dan interval antara saat melahirkan dan estrus kembali menjadi lebih lama sehingga angka kebuntingan menjadi jauh lebih rendah.

Faktor penyakit dan defisiensi nutrisi juga mempengaruhi seberapa cepat kembalinya siklus estrus normal. Untuk pubertas pada sapi dara, salah satu faktor penting yang mempengaruhi kembalinya siklus adalah berat badan. Sapi yang kehilangan berat badan berlebihan pasca melahirkan, umumnya memiliki siklus abnormal dan untuk mencapai kebuntingan selanjutnya juga relatif lebih sulit/lambat. Oleh karena itu, upaya untuk mengembalikan body condition score (BCS) dan meminimalkan kehilangan berat badan induk pasca melahirkan merupakan bagian penting dari pengelolaan fertilitas pada sapi laktasi, terutama induk muda yang baru mengalami masa laktasi awal. Kelompok sapi ini harus menghadapi pemerahan untuk pertama kalinya, mempertahankan pertumbuhan tubuh dan menyesuaikan diri dengan kondisi baru pada saat yang bersamaan sehingga kita sebagai peternak harus memberikan perhatian ekstra.

Kesuburan optimal terlihat pada sapi dengan BCS rata-rata 2,5 saat melahirkan. Dalam kelompok kandang breeding, induk laktasi dengan kondisi BCS > 3 tidak boleh lebih dari 15%, sedangkan BCS < 2 harus dibawah 15% saat melahirkan agar performa reproduksi lebih terjaga. Cara terbaik  adalah dengan mengkondisikan sapi sebelum pengeringan dan kemudian mengelola sapi selama periode kering untuk memenuhi target BCS. Jika masalah utamanya adalah kondisi yang buruk, maka kita harus melakukan evaluasi kandungan nutrisi agar pakan yang kita berikan sesuai dengan kebutuhan induk. Pemberian pakan tambahan pada akhir masa laktasi adalah waktu yang paling ekonomis dan efektif untuk mencapai kondisi BCS yang ideal sebelum dikawinkan kembali.

https://cdn-ext.agnet.tamu.edu/wp-content/uploads/2018/12/EL-5223-reproductive-diseases-in-cattle.pdf

Setelah kita sedikit refresh mengenai siklus reproduksi normal sapi dan kendala teknis yang mungkin muncul, maka saat ini kita juga akan belajar tentang penyakit reproduksi pada sapi. Gangguan reproduksi sapi yang paling umum adalah brucellosis,  leptospirosis, infectiousi bovine rhinotracheitis (IBR) dan bovine viral diarhea (BVD), vibriosis, serta trikomoniasis.

Brucellosis
Brucellosis masih menyebabkan aborsi dan infertilitas yang mengganggu di kalangan pengusaha pembibitan sapi atau sapi perah. Penting untuk dipahami bahwa tidak semua sapi yang terinfeksi brucellosis akan mengalami aborsi, menghasilkan anak sapi yang lemah, mempertahankan plasenta atau mengalami kesulitan untuk berkembang biak kembali. Karena bisa terjadi seekor sapi yang terpapar brucellosis tampak normal. Lalu apa yang harus kita alamti?

Setiap kali induk melahirkan atau mengeluarkan cairan kelamin, jutaan organisme brucella mungkin ada di permukaan plasenta, anak sapi, atau kotorannya. Kotoran yang dihasilkan tersebut kemudian mencemari padang rumput, peralatan kadang dan lingkungan tempat mereka berada, termasuk mungkin bahan pakan lainnya, seperti jerami. Hal inilah yang menjadi biang malapetakan di suatu peternakan yang tentunya mengancam ternak lainnya. Jika hewan dalam kawanan ada yang dalam kondisi lemah/rentan dan terpapar bakteri ini, kemungkinan besar mereka akan terinfeksi juga.

Meskipun infeksi biasanya terjadi melalui saluran pencernaan, hewan yang rentan juga dapat terpapar bakteri melalui kulit atau mata. Pakan, tempat tidur, air atau tempat yang terkontaminasi dapat tetap infektif selama beberapa hari hingga beberapa minggu, tergantung pada kondisi lingkungan. Infeksi menyebar terutama ketika ternak yang terinfeksi dimasukkan ke dalam kawanan, baik melalui pembelian individu/kelompok baru atau ketika mereka berada di padang rumput dengan ternak dengan gangguan subklinis.

Untuk menjaga kawanan dari brucellosis, maka hal yang perlu dilakukan adalah memelihara  kawanan secara eksklusif dengan memproduksi sendiri sapi dara untuk menggantikan sapi-sapi tua yang akan diafkir. Jika hal ini belum bisa dilakukan hal ini, maka sangat disarankan untuk kita membeli dari sumber yang dapat dipercaya sehingga mengurangi resiko kita memasukkan patogen penyakit dari lokasi lain. Jika harus membeli sapi dara pengganti, anda harus mengetahui reputasi peternakan/penjualnya. Pastikan bahwa semua ternak yang Anda beli berasal dari kawanan yang bersih, manajemen yang baik dan program vaksinnya jelas.

Apa lagi yang harus kita lakukan? Isolasi bibit pembibitan selama 30-60 hari setelah tiba di lokasi peternakan kita, dimonitor status kesehatannya dan uji ulang pada akhir periode isolasi sebelum dimasukkan ke dalam kawanan. Repot ya? Ya memang, tetapi jika melihat ini sebagai proses membangun kawanan yang baik, maka ini adalah investasi/upaya awal yang akan mempengaruhi tingkat keberhasilan usaha pembibitan anda. Kelangsungan usaha peternakan dalam jangka panjang dipertaruhkan dari upaya kita membangun kawanan yang berkualitas. Pada saat fase isolasi ini, kita juga harus melakukan uji guna melihat status kesehatan ternak baru untuk potensi penyakit lainnya. Jadi peran dokter hewan sangat penting disini. Pada umumnya, peternak melakukan program vaksinasi sesuai tantangan yang sudah ada di kandang. Semua sapi dara berusia 4-12 bulan harus sudah mendapatkan program yang lengkap. Jika kita berbicara dalam skala industri, sapi harus diidentifikasi dengan benar. Ear tag sistem dengan label telinga resmi dan tato di telinga kanan akan lebih memudahkan peternak untuk melihat silsilah dari sapi yang dibeli.

Lalu bagaimana dengan pejantan? Pastikan sapi jantan bebas dari brucellosis dan semua penyakit reproduksi. Meskipun brucellosis jarang menyebar melalui pembiakan, tetapi jika peternak melakukan model pemeliharaan yang diumbar dan kawin alami, maka pejantan yang kita miliki berpotensi terinfeksi dari induk yang bermasalah saat mereka berada di padang umbaran. Jika hal ini terjadi, maka pejantan ini akan berpotensi menularkan ke induk yang lainnya. Gejala yang bisa kita lihat adalah ukuran testis atau skrotum yang membengkak. Jika produsen sudah menggunakan teknik inseminasi buatan (IB), maka sebaiknya juga harus menghindari semen dari pejantan yang terinfeksi brucellosis, karena air mani mereka dapat menjadi sumber penularan.

Leptospirosis
Leptospirosis umumnya bisa menjadi masalah, terutama pada ternak yang tidak divaksinasi di daerah yang endemis. Penyakit ini menyebabkan kasus yang selalu berulang, karena bisa terjadi infeksi rahim, aborsi, mastitis dan kadang-kadang infeksi sistemik. Strain bakteri yang dominan pada sapi adalah Leptospira pomona, Leptospira hardjo dan Leptospira grippotyphosa.

Sama dengan brucellosis, leptospirosis dapat terjadi dalam suatu kawanan tanpa kita sadari karena minimnya gejala klinis yang muncul. Sapi yang dipelihara secara intensif tetapi dengan sanitasi yang buruk mungkin lebih beresiko karena tetesan urin dari sapi yang terinfeksi dapat menginfeksi sapi normal setelah kontak dengan mata atau selaput lendir hidung atau mulut. Penyakit ini mampu menginfeksi lebih banyak ternak setiap hari dan menggangu performa reproduksi breeding kita.

Untuk mencegah leptospirosis, sebaiknya lakukan vaksinasi dengan bakterin yang mengandung 3-5 serotipe setiap 6 bulan, perbaiki sanitasi/kebersihan kadang dan hindari/perbaiki area yang berpotensi air menggenang dan yang tidak kalah penting adalah kontrol vektor. Pengendalian populasi hewan pengerat terutama tikus dari gudang pakan dan lingkungan kandang menjadi faktor penting dalam upaya pengendalian kasus leptospirosis.

IBR dan BVD
Kasus komplek yang melibatkan IBR dan BVD adalah penyakit yang disebabkan oleh virus yang bertanggung jawab atas banyak aborsi dan kemungkinan infeksi pernapasan, lesi “mata merah” dan lesi kaki. Infertilitas sementara dapat terjadi mengikuti kejadian IBR karena vaginitis dan/atau infeksi uterus ringan. Baca juga : Penyakit Pernafasan pada Sapi

Karena penyakit ini sangat kompleks, sebaiknya kita melakukan evaluasi secara detail sebelum melakukan intervensi. Penggunaan vaksin menjadi hal yang penting dalam upaya pengendalian penyakit ini dalam jangka panjang. Aplikasi vaksin diharapkan dilakukan dengan hati-hati, mengingat pada beberapa kejadian, pelaksanaan vaksin disaat yang tidak tepat juga berpotensi  menyebabkan aborsi. Pastikan status kesehatan kawanan dalam kondisi baik. Oleh karena itu, sebelum memutuskan untuk melakukan vaksinasi  konsultasikan dengan dokter hewan untuk mendapatkan saran tentang prosedur vaksinasi dalam suatu untuk kawanan. Baca juga : Diare pada Sapi

Vibriosis
Vibriosis adalah penyakit kelamin yang menyebabkan kemandulan dan terkadang juga aborsi. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Campylobacter yang hidup di celah-celah kulit pejantan (kulup). Sumber utamanya adalah pejantan yang berumur diatas 4 tahun karena disitulah celah-celah kulit mulai terbentuk dan menjadi tempat persembunyian bakteri ini.

Vibriosis menyebar dari sapi jantan yang terinfeksi ke induk selama proses perkawinan, dan hal itu terus bergulir saling menularkan jika kita tidak menyadarinya. Penyakit ini juga berpotensi ditularkan melalui inseminasi buatan jika tindakan pemeriksaan terhadap semen dan perlakuan untuk pencegahan ini tidak dilakukan. Pejantan yang positif terhadap vibrosis jika yang tidak diobati dapat tetap menjadi pembawa untuk waktu yang lama dan menjadi sumber penularan dalam kawanan.

Vibriosis yang terjadi pada induk dapat menyebabkan endometritis dan mengakibatkan kegagalan proses kebuntingan atau kematian embrio. Induk terkadang masih bisa mengalami kebuntingan dan tidak menunjukkan gejala berahi 21 hari kemudian, namun embrio yang baru terbentuk kemudian mati dan diserap kembali oleh induk. Jika hal ini terjadi, maka induk sapi akan menunjukkan gejala estrus 27-53 hari setelah proses perkawinan, artinya ada keterlambatan dalam siklus estrus normalnya. Aborsi dapat juga terjadi pada akhir masa kebuntingan, tetapi sangat jarang.

Diagnosis untuk penyakit ini relatif sulit. Kita idealnya melakukan identifikasi biakan organisme dari alat kelamin sapi yang terinfeksi, atau dari abomasum janin yang aborsi. Setelah kita mendapatkan konfirmasi bakteri yang menyerang, maka kita bisa melakukan tindakan pencegahan dengan program vaksinasi untuk meningkatkan kekebalan terhadap penyakit vibrosis. Selain itu, kita juga harus melakukan pemeliharaan yang baik terhadap pejantan yang semennya kita koleksi untuk proses  inseminasi buatan (IB), mengobati sampai sembuh sebelum semennya kita gunakan kembali yang terinfeksi, dan melakukan pengecekan secara berkala terhadap kualitas semen yang dihasilkan agar performa reproduksi yang dihasilkan baik.

Trikomoniasis
Tenyakit ini disebabkan oleh protozoa, yaitu Trichomonas yang menyebabkan gangguan penyakit kelamin. Gejala yang ditimbulkan meliputi aborsi sesekali dan pyometra (adanya nanah dalam rahim) yang berpotensi mengganggu efisiensi proses perkawinan. Pyometra ini akan berkembang setelah embrio sapi yang berada dalam rahim induk terinfeksi dan mati.

Untuk pengobatan di induk, kita harus melakukan treatment terhadap infeksi rahim sampai bersih dan untuk sementara tidak dikawinkan dahulu sampai benar-benar sehat. Umumnya kan diperlukan sekitar 90 hari istirahat seksual untuk menghilangkan protozoa ini dari rahim. Kita mungkin perlu berhitung jika hal ini terjadi di indukan tua, apakah kita akan mempertahankan atau kita ganti dengan sapi dara.

Vaksinasi juga merupakan pilihan jika memang tersedia dipasaran. Upaya pencegahan yang bisa kita lakukan selain vaksin adalah rutin melakukan uji status kesehatan dari pejantan dan indukan di breeding farm kita. Metode kultur setidaknya 3x dalam interval mingguan. Pemilihan calon induk, pejantan atau semen yang berkualitas juga menjadi screening pertama yang wajib kita lakukan untuk meminimalkan resiko terjadinya infeksi. Air mani beku yang mengandung organisme ini dapat menyebabkan infeksi jika kita gunakan dalam proses IB.

Kesimpulan

Manajemen reproduksi membutuhkan fokus pada semua tahap kehidupan sejak sapi dilahirkan.
Siklus estrus pada sapi adalah keseimbangan antara progesteron dan estrogen, dimana itu akan berulang setiap 21-22 hari sampai akhirnya mereka bunting. Sapi dara diharapkan mulai dewasa kelamin siklus saat umur 12 bulan, kawin umur 15 bulan dan melahirkan saat berumur 24 bulan. Menetapkan dan memenuhi target BCS sangat penting untuk mengoptimalkan performa reproduksi  pada sapi, terutama sapi dara sehingga induk bisa segera kembali estrus dan memiliki tingkat kesuburan yang baik. Managemen pengendalian penyakit reproduksi juga menjadi faktor penentu keberhasilan dalam usaha breeding ataupun sapi perah. Pastikan kita mempunyai strategi yang tepat agar peternakan kita bisa memberikan hasil terbaik.

Referensi :

  1. https://agrilifeextension.tamu.edu/library/ranching/reproductive-diseases-in-cattle/
  2. https://www.nadis.org.uk/disease-a-z/cattle/fertility-in-dairy-herds/part-1-the-basics-of-reproduction/
Penyakit Mulut dan Kuku

Penyakit Mulut dan Kuku

Apa itu Penyakit mulut dan kuku (PMK) ? PMK adalah penyakit virus yang menyerang ternak dan sangat menular, serta memiliki dampak ekonomi yang signifikan. Penyakit ini menyerang sapi, babi, domba, kambing dan ruminansia berkuku belah lainnya. Hewan yang dipelihara secara intensif lebih rentan terhadap penyakit ini daripada yang dipelihara secara tradisional. Penyakit ini jarang berakibat fatal pada hewan yang sudah dewasa, tetapi sering mengakibatkan kematian pada hewan muda/anakan terutama jika induknya terinfeksi sehingga produksi susu terganggu.

PMK ditandai dengan demam dan luka seperti melepuh pada lidah, bibir, mulut, puting susu dan diantara kuku. Organisme yang menyebabkan PMK adalah aphthovirus dari famili Picornaviridae. Terdapat tujuh strain (A, O, C, SAT1, SAT2, SAT3, dan Asia1) yang endemik di berbagai negara di dunia, dimana setiap strain akan membutuhkan vaksin khusus untuk memberikan kekebalan pada hewan yang divaksinasi. Semua serotipe PMK juga telah dideteksi pada satwa liar, namun satu-satunya reservoir yang dikonfirmasi berperan dalam penyebaran PMK adalah kerbau Afrika.

PMK ditemukan di semua ekskresi dan sekresi dari hewan yang terinfeksi. Ternak yang terinfeksi akan mengeluarkan sejumlah besar virus secara aerosol dan mengakibatkan infeksi ke hewan lain melalui jalur pernapasan atau mulut. Virus PMK juga bisa ditemukan dalam air susu dan sperma sampai 4 hari sebelum hewan menunjukkan tanda-tanda klinis penyakit.

Faktor resiko. Hal yang harus diwaspadai terkait penyebaran virus PMK relatif cepat adalah adanya hewan terinfeksi yang baru dimasukkan ke dalam kawanan (membawa virus dalam air liur, susu, air mani, dll.), kandang/bangunan dan kendaraan pengangkut hewan yang terkontaminasi, bahan lain yang terkontaminasi seperti jerami, pakan, air, susu, pakaian, alas kaki, atau peralatan, daging atau produk hewan lain yang terkontaminasi (jika diberikan kepada hewan saat mentah atau dimasak dengan tidak benar), udara yang tercemar, serta hewan yang sembuh dari PMK berpotensi membawa virus ke dalam kawanan. Terkait dengan penularan ke manusia, kita tidak perlu takut karena PMK tidak mudah menular ke manusia.

Tanda-tanda klinis. Tingkat keparahan PMK tergantung pada strain virus, dosis paparan, usia dan spesies hewan dan status kekebalan ternak. Morbiditas dapat mencapai 100% pada populasi yang rentan. Kematian umumnya rendah pada hewan dewasa (1-5%), tetapi lebih tinggi pada anak sapi muda, domba dan anak babi (20% atau lebih tinggi). Masa inkubasi adalah 2-14 hari.

Tanda-tanda klinis dapat berkisar dari ringan atau tidak terlihat hingga parah. Kasus biasanya akan lebih parah pada sapi dan babi yang dipelihara secara intensif daripada pada domba dan kambing.

https://agriculture.vic.gov.au/biosecurity/animal-diseases/general-livestock-diseases/foot-and-mouth-disease#:~:text=Foot%20and%20mouth%20disease%20(FMD,and%20cause%20serious%20production%20losses.

https://agriculture.vic.gov.au/biosecurity/animal-diseases/general-livestock-diseases/foot-and-mouth-disease#:~:text=Foot%20and%20mouth%20disease%20(FMD,and%20cause%20serious%20production%20losses.

Tanda klinis yang khas adalah munculnya lepuh (atau vesikel) pada hidung, lidah atau bibir, di dalam rongga mulut, di antara jari-jari kaki, di atas kuku, pada puting susu dan pada titik-titik lain pada kulit. Lepuh yang pecah dapat menyebabkan kepincangan yang ekstrem dan keengganan untuk bergerak atau makan. Lepuh bisa sembuh dalam 7 hari, tetapi terkadang lebih lama karena adanya komplikasi karena adanya infeksi bakteri sekunder pada lepuh terbuka.

Gejala lain yang sering teramati adalah demam, depresi, hipersalivasi, kehilangan nafsu makan, penurunan berat badan, keterlambatan pertumbuhan dan penurunan produksi susu. Hal ini dapat bertahan bahkan setelah pulih dari PMK. Hewan ternak yang terkena penyakit kronis dilaporkan mengalami penurunan produksi susu secara keseluruhan sebesar 80%. Kesehatan anak sapi muda, domba, dan anak babi dapat terganggu oleh kekurangan air susu jika induknya terinfeksi.

Diagnosa. PMK ini dapat diidentifikasi berdasarkan gejala klinis yang muncul, namun kita harus sangat hati-hati juga karena terkadang bisa salah. Oleh karena itu, konfirmasi kasus dugaan PMK melalui tes laboratorium merupakan hal yang mendesak dan harus dilakukan untuk menentukan diagnosa.

Pencegahan dan pengendalian. Langkah awal dalam strategi pengendalian PMK adalah deteksi dini, sistem peringatan serta pelaksanaan surveilans yang efektif sesuai dengan pedoman yang disepakati secara global (OIE). Kita harus terus memantau kasus yang terjadi dan mengevaluasi tingkat prevalensi penyakit sehingga memungkinkan untuk melakukan diagnosa yang tepat untuk kemudian menentukan strategi yang tepat. Pelaksanaan strategi pengendalian PMK bervariasi dari satu negara ke negara lain dan tergantung pada situasi epidemiologi penyakit.

Secara umum, penting bagi pemilik ternak dan produsen untuk menjaga level biosekuriti yang baik untuk mencegah masuknya dan penyebaran virus. Langkah-langkah yang direkomendasikan antara lain adalah kontrol atas akses masyarakat terhadap ternak dan peralatan, pengenalan/pembelian hewan baru yang terkontrol ke dalam kawanan yang ada, pembersihan dan disinfeksi kandang, bangunan, kendaraan serta peralatan ternak secara teratur, pemantauan dan pelaporan jika terjadi kasus yang mencurigakan, pembuangan kotoran dan bangkai yang benar. Baca juga : Biosekuriti di era New normal

Perencanaan untuk mencegah meluasnya wabah dalam upaya penanggulangan pemberantasan penyakit antara lain adalah pemusnahan/stamping out secara manusiawi dari semua hewan kontak yang terinfeksi/pulih/rentan PMK, pembuangan bangkai dan semua produk hewani secara layak, pengawasan dan penelusuran ternak yang berpotensi terinfeksi atau terpapar, karantina dan pengawasan ketat terhadap pergerakan ternak, peralatan, kendaraan, serta desinfeksi menyeluruh empat dan semua bahan yang terinfeksi (peralatan, mobil, pakaian, dll.). Penelitian di korea menyatakan bahwa virus PMK bisa diinaktivasi dengan menggunakan Citric Acid and Sodium Carbonate yang dicampur dengan deicers (ethylene glycol, propylene glycol, sodium chloride, calcium chloride, ethyl alcohol, and commercial windshield washer fluid).

https://www.researchgate.net/figure/Temporal-progression-of-foot-and-mouth-disease-FMD-in-naive-and-vaccinated-cattle-a_fig1_339574264

https://www.researchgate.net/figure/Temporal-progression-of-foot-and-mouth-disease-FMD-in-naive-and-vaccinated-cattle-a_fig1_339574264

Strategi  pengendalian yang juga umum dilakukan adalah dengan vaksinasi, namun hal ini tergantung pada situasi PMK di lapangan. Strategi vaksinasi dirancang untuk mencapai cakupan massal atau ditargetkan pada sub-populasi atau zona wilayah ternak tertentu. Untuk pelaksanaan program vaksinasi yang dilakukan pada populasi sasaran harus memenuhi beberapa kriteria seperti cakupan harus setidaknya 80% dan kampanye harus diselesaikan dalam waktu sesingkat mungkin, vaksinasi harus dijadwalkan untuk meningkatkan kekebalan (terutama pada induk), vaksin harus diberikan dalam dosis yang benar dan dengan rute yang benar, vaksin yang digunakan harus memenuhi standar potensi dan keamanan OIE, serta strain/serotipe yang dipakai harus sesuai dengan antigen/patogen yang terdeteksi di lapangan.

Pemilihan vaksin untuk pengendalian PMK idealnya menggunakan vaksin virus yang tidak aktif sehingga relatif aman dari shedding virus yang berpotensi menjadi sumber penularan penyakit baru. Vaksinasi dapat memainkan peran dalam strategi pengendalian yang efektif untuk PMK, tetapi keputusan apakah akan menggunakan vaksinasi atau tidak terletak pada otoritas nasional.

Distribusi geografis

https://veterinaryresearch.biomedcentral.com/articles/10.1186/1297-9716-44-116/figures/2https://veterinaryresearch.biomedcentral.com/articles/10.1186/1297-9716-44-116/figures/2

PMK endemik di beberapa bagian Asia dan di sebagian besar Afrika dan Timur Tengah. Di Amerika Latin, sebagian besar negara menerapkan sistem zonasi dan diakui bebas PMK, baik dengan atau tanpa vaksinasi. Australia, Selandia Baru, Indonesia, Amerika Tengah dan Utara, serta negara-negara di  Eropa Barat saat ini bebas dari PMK. Namun demikian, PMK adalah penyakit hewan lintas batas yang dapat terjadi secara sporadis di setiap daerah yang masih bebas sekalipun, termasuk akhirnya Indonesia yang saat ini sedang terdampak.

Indonesia sebenarnya sudah bebas dari PMK sejak tahun 1986 dan diakui di lingkungan ASEAN sejak 1987 serta secara internasional oleh organisasi Kesehatan Hewan Dunia (Office International des Epizooties-OIE) sejak 1990. Prestasi ini dicapai dengan susah payah. Ledakan wabah PMK pertama kali diketahui di Indonesia tahun 1887 di daerah Malang, Jawa Timur, kemudian penyakit menyebar ke berbagai daerah seperti Sumatera, Sulawesi dan Kalimantan. Kampanye vaksinasi massal memberantas PMK dimulai tahun 1974 sehingga pada periode 1980-1982 seolah PMK telah hilang. Tetapi tahun 1983 muncul lagi di Jawa Tengah dan menular kemana-mana. Melalui program vaksinasi secara teratur setiap tahun, wabah dapat dikendalikan dan kasus PMK tidak muncul lagi. Pada tahun 1986 Indonesia menyatakan bebas PMK.

Beberapa serotipe memiliki distribusi geografis yang terbatas, mis. Asia-1, sedangkan yang lain, terutama serotipe O, terjadi di banyak wilayah yang berbeda. Tidak ada proteksi silang antara serotipe dan terkadang proteksi yang diberikan oleh vaksin bahkan dari serotipe yang sama dapat dibatasi.

Kesimpulan. Dunia peternakan Indonesia beberapa waktu lalu sempat dihadapkan dengan masalah lumpy skin disease dan sekarang kembali disibukkan dengan penanganan kasus PMK. PMK adalah penyakit yang sangat menular pada hewan berkuku terbelah termasuk sapi, babi, domba dan banyak spesies satwa liar. Ini dapat menyebabkan kerugian ekonomi yang sangat besar ketika serangan terjadi ke negara-negara yang biasanya bebas penyakit. Selain itu, penyakit ini memiliki efek jangka panjang di negara-negara di mana penyakit ini endemik karena penurunan produktivitas hewan dan pembatasan perdagangan internasional produk hewani. PMK disebabkan oleh picornavirus dengan 7  serotipe telah diidentifikasi yangmana masing-masing tidak ada proteksi silang. Oleh karena itu, penting untuk kita terlebih dahulu melakukan uji laboratorium guna menentukan serotipe apa yang sedang menyerang sehingga vaksin yang digunakan juga disesuaikan untuk pengendalian penyakit. Selain itu, kita juga harus melaksanakan program biosekuriti yang optimal agar terhindar dari serangan PMK.

References :

  1. https://www.oie.int/en/disease/foot-and-mouth-disease/
  2. https://agriculture.vic.gov.au/biosecurity/animal-diseases/general-livestock-diseases/foot-and-mouth-disease#:~:text=Foot%20and%20mouth%20disease%20(FMD,and%20cause%20serious%20production%20losses.
  3. https://veterinaryresearch.biomedcentral.com/articles/10.1186/1297-9716-44-116 Foot-and-mouth disease: past, present and future
  4. https://www.researchgate.net/publication/339574264_The_Carrier_Conundrum_A_Review_of_Recent_Advances_and_Persistent_Gaps_Regarding_the_Carrier_State_of_Foot-and-Mouth_Disease_Virus
  5. https://www.litbang.pertanian.go.id/info-aktual/18/
  6. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4592871/Inactivation of Foot-and-Mouth Disease Virus by Citric Acid and Sodium Carbonate with Deicers
Q Fever

Q Fever

Istilah untuk demam “query” atau Q fever dilontarkan tahun 1937 oleh Edward Holbrook Derrick untuk menggambarkan penyakit demam pada pekerja rumah potong hewan di Brisbane, Queensland, Australia. Kasus penyakit ini terjadi secara sporadis dan terus terjadi secara teratur mulai tahun 1935, sehingga dilakukan proses isolasi agen penyebab penyakit dengan menginduksi penyakit demam pada hewan percobaan. Beberapa ahli terlibat dalam rangkaian penelitian ini dan akhirnya disimpulkan bahwa hewan liar adalah reservoir alami, hewan domestik menjadi reservoir sekunder dan penyakit ini dapat ditularkan oleh kutu atau artropoda lainnya.

Agen penyebab Q fever pertama kali dinamakan dengan Rickettsia burnetii. Namun, pada tahun 1938, Cornelius B. Philip mengusulkan penciptaan genus baru yang disebut Coxiella dan sekaligus  penggantian nama agen etiologi Q fever dengan nama Coxiella burnetii. Penamaan ini sekaligus untuk memberikan penghormatan terhadap Cox dan Burnet yang telah berhasil mengidentifikasi agen penyakit ini sebagai spesies rickettsia baru.

Q fever adalah penyakit zoonosis dengan distribusi di seluruh dunia, kecuali Selandia Baru. Penyakit ini disebabkan oleh Coxiella burnetii, bakteri gram negatif intraseluler yang ketat. Banyak spesies mamalia, burung, dan kutu merupakan reservoir di alam. Infeksi paling sering terjadi secara laten pada hewan, dan mampu melepaskan bakteri secara persisten ke lingkungan. Manusia biasanya terinfeksi secara aerosol dari hewan peliharaan, terutama setelah kontak dengan hewan betina yang sedang melahirkan.

Penyakit ini paling sering menyebar ke manusia melalui hewan ternak yang terinfeksi, termasuk:
kambing, sapi, dan domba. Transmisi penyakit bisa terjadi melalui kontak dengan kotoran, urin, susu, atau darah dari hewan yang terinfeksi; menghirup debu yang mengandung bakteri; kontak dengan hewan yang baru proses melahirkan atau kontak dengan plasenta, cairan kelahiran dari hewan yang terinfeksi; minum susu mentah.

https://www.cdc.gov/qfever/transmission/index.html

Hewan yang terinfeksi C. burnetii biasanya tidak menunjukkan gejala (subklinis). Namun demikian, pada kejadian akut keberadaan C. burnetii dapat ditemukan dalam darah, paru-paru, limpa, dan hati. Infeksi ini bisa berlanjut menjadi kronis dan terjadi shedding yang persisten melalui feses dan urin.  Uterus dan kelenjar susu adalah tempat utama infeksi secara kronis, sehingga pelepasan C. burnetii ke lingkungan terjadi terutama selama proses persalinan. Plasenta pada kondisi ini sangat terkontaminasi oleh C. burnetii sehingga manusia harus sangat berhati-hati agar tidak tertular. Manifestasi patologis yang telah dikaitkan dengan infeksi C. burnetii kronis pada hewan adalah aborsi, terutama pada domba dan kambing, dan berat badan lahir rendah dan infertilitas pada sapi.

Karena Q fever bersifat enzootik di antara hewan liar dan domestik, maka pengendalian infeksi pada hewan yang rentan relatif sulit dilakukan. Vaksin menjadi langkah yang paling ideal dalam upaya mengendalian penyakit ini. Vaksin pertama yang tersedia terdiri dari seluruh sel C. burnetii yang tidak aktif, baru kemudian dikembangkan vaksin residu kloroform-metanol yang terbukti dapat ditoleransi lebih baik pada hewan daripada vaksin dari sel utuh.

Vaksin Q fever komposisinya cukup bervariasi, termasuk strain dan fase C. burnetii. Vaksin yang dibuat dari organisme C. burnetii fase I lebih protektif daripada yang dibuat dari bakteri fase II, sedangkan perlindungan silang di antara berbagai strain ditemukan pada hewan marmut yang divaksinasi. Ketika diuji pada sapi dan domba, vaksin ini menunjukkan efek perlindungan yang berbeda pada pengamatan infeksi eksperimental dan alami pada hewan seronegatif. Vaksinasi juga terbukti melindungi ternak dari aborsi, berat janin rendah dan infertilitas kronis. Namun demikian, vaksinasi tidak membasmi C. burnetii pada hewan yang sudah terlanjur terinfeksi secara alami sebelum vaksinasi dan shedding tetap bisa terjadi.

Di Eropa, vaksin mengandung kedua fase C. burnetii dan Chlamydia psittaci telah dipasarkan untuk melindungi sapi dan kambing dari masalah kesuburan yang disebabkan oleh kedua agen ini. Namun demikian, kasus masih dilaporkan di Prancis dimana terjadi pada orang yang kontak dengan kambing yang sudah divaksinasi. Vaksinasi Q fever pada hewan domestik, terutama sapi, domba, dan kambing saat ini belum banyak digunakan karena bersifat protektif dan aman hanya pada hewan yang tidak terinfeksi pada saat vaksinasi. Perlu dilakukan surveilence lapangan terlebih dahulu untuk mengoptimalkan kinerja vaksin ini. Baca juga : Cara Pengendalian Hama Tikus

Q fever pada manusia.

Q fever yang bersifat zoonosis ini tentunya menjadi bahaya terutama pada orang yang kontak dengan hewan ternak (sapi, domba, kambing) ataupun hewan peliharaan (anjing, kucing). Para petani/peternak, dokter hewan, pekerja rumah potong hewan, mereka yang kontak dengan produk susu, dan petugas laboratorium yang melakukan kultur C. burnetii adalah contoh orang-orang yang beresiko tertular.

Coxiellosis and Q Fever

Infeksi C. burnetii pada manusia biasanya tanpa gejala atau bermanifestasi sebagai penyakit ringan dengan pemulihan spontan. Namun demikian, Q fever dapat menyebabkan komplikasi serius dan bahkan kematian pada pasien dengan penyakit akut, terutama mereka dengan meningoensefalitis atau miokarditis, dan lebih sering pada pasien yang terinfeksi kronis dengan endokarditis. Selain itu, pasien yang berisiko lainnya adalah orang-orang dengan kelainan katup jantung, orang dengan gangguan sistem imun dan wanita hamil.

Sekitar 5 dari 10 orang yang terinfeksi Coxiella burnetii akan jatuh sakit dalam 2-3 minggu setelah terpapar bakteri. Gejala yang mungkin bisa timbul adalah demam, kedinginan atau berkeringat, kelelahan, sakit kepala, nyeri otot, mual, muntah, diare, sakit dada, sakit perut, penurunan berat badan, batuk tidak produktif. Gejala bisa mulai dari ringan atau berat. Orang yang menderita penyakit parah mungkin mengalami infeksi paru-paru atau hati. Untuk wanita yang terinfeksi selama masa kehamilan sangat berisiko mengalami keguguran, lahir mati, kelahiran prematur, atau berat bayi lahir rendah.

Walaupun sangat jarang (5 dari 100 orang), kejadian penyakit melanjut menjadi kronis bisa saja terjadi. Proses ini bisa memerlukan waktu berbulan-bulan atau bertahun-tahun setelah infeksi terjadi.  Orang dengan endokarditis mungkin mengalami keringat malam, kelelahan, sesak napas, penurunan berat badan, atau pembengkakan anggota badan mereka.

Manifestasi klinis Q fever sangat bervariasi sehingga penyakit ini sering didiagnosis hanya jika telah dipertimbangkan secara sistematis. Diagnosis spesifik Q fever berdasarkan uji serologi. Antibodi imunoglobulin M (IgM) dan IgG antifase II terdeteksi 2-3 minggu setelah infeksi C. burnetii, sedangkan adanya antibodi IgG antifase I C. burnetii pada titer 1:800 umumnya akan menunjukkan kejadian kronis.

Terapi dengan antibiotik golongan tetrasiklin masih yang terbaik untuk mengobati kejadian akut. Namun demikian, untuk orang dengan prognosis endokarditis terkadang harus ditingkatkan dengan terapi kombinasi doksisiklin dan klorokuin. Karena masih relatif sulitnya monitoring penyakit ini, maka tindakan pencegahan dengan vaksinasi pada orang yang “berisiko” harus dipertimbangkan. Baca Juga : Nipah Virus

Q fever di Indonesia.

Q fever merupakan salah satu penyakit zoonotik strategis di Indonesia yang keberadaannya masih diabaikan. Pemerintah Indonesia melalui Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia (Kepmentan)  no.237/KPTS/PK.400/M/3/2019 menetapkan Q fever sebagai salah satu penyakit zoonosis prioritas yang perlu mendapatkan penanganan utama baik dalam pencegahan, pengendalian maupun penanggulangannya.

Penyakit Q fever diklasifikasikan oleh Center of Diseases Control and Prevention ke dalam kelompok agen infeksius yang berpotensi digunakan untuk senjata biologis. Data surveillance Q fever di dunia masih terbatas  karena gejala klinis yang tidak khas bahkan subklinis.

Penyakit ini pertama kali dilaporkan pada tahun 1955 dan menyerang ternak di Indonesia. Penelitian tahun 2001 mengungkapkan bahwa kasus pneumonia akibat C. burnetii terjadi pada pasien yang pernah tinggal di Indonesia. Kajian tahun 2007 berhasil mendeteksi 6,68% agen penyakit telah ditemukan pada sampel sapi persilangan brahman dan 5,7% pada organ domba yang diperoleh di Bogor, serta 4,29% pada organ sapi Bali yang diperoleh di Rumah Potong Hewan (RPH) di Bali dengan uji polymerase chain reaction (PCR). Kemudian, pada tahun 2014 diperoleh 38,8% sampel imunoreaktif dengan uji histokimia imun pada sapi yang dipotong di RPH Provinsi Sumatera Utara. Data Q fever pada manusia juga menunjukkan beberapa mahasiswa Indonesia yang belajar di Australia positif terpapar C. burnetii.

Kasus Q fever di Indonesia juga pernah dilaporkan terjadi pada ruminansia tahun 2006 – 2019 di wilayah Jakarta, Jawa Barat, Yogyakarta, Bali, dan Sumatera Utara. Identifikasi dan deteksi penyakit Q fever penting untuk dilakukan, terutama sebagai upaya penyusunan langkah pengendalian terjadinya wabah pada manusia. Ada 2 tahapan penelitian deteksi molekuler terhadap keberadaan agen penyakit Q fever pada ternak ruminansia di Propinsi Jawa Timur yang dilakukan dari  September 2015 – September 2020.

Dimulai dengan tahap I yaitu tahap optimasi metode imunohistokimia untuk mendeteksi keberadaan C. burnetii di Kabupaten Bogor yang pernah dinyatakan sebagai wilayah endemis penyakit Q fever. Penelitian dilakukan terhadap sampel organ sapi dan domba kurban tahun 2015 – 2016, yang kemudian dideteksi dengan imunohistokimia sekaligus pengamatan terhadap gambaran histopatologinya. Tahap II adalah penelitian utama yang bertujuan mendeteksi secara molekuler keberadaan C. burnetii pada ruminansia di Jawa Timur. Sampel berupa organ hati, limpa, ginjal, paru-paru, dan jantung ruminansia yang diambil dari rumah potong hewan di Surabaya, Malang, dan Madura.

Hasil dari penelitian tahap I adalah C. burnetii terdeteksi positif pada organ paru-paru dan limpa sapi kurban di Kabupaten Bogor, 4 dari 19 sampel (21%) sapi kurban tahun 2015 dan 3 dari 10 sampel (30%) sapi kurban tahun 2016. Gambaran histopatologi yang tampak pada sampel positif meliputi kongesti, infiltrasi sel radang, akumulasi mukus, hingga adanya fibrosis pada paru-paru. Lesi patologis yang nampak cinderung tidak konsisten karena berkaitan dengan kemampuan C. burnetii untuk menghindar dari respon imun serta proses multiplikasi yang lambat sehingga kerusakan jaringan akibat infeksi ini relatif rendah meskipun infeksinya sudah berjalan lama.

Hasil dari penelitian tahap II adalah C. burnetii terdeteksi positif pada 10 dari 80 (12.5%) sampel kambing jantan lokal di RPH Malang.  4 dari 10 sampel positif berhasil diamplifikasi dan sampel-sampel positif tersebut identik satu sama lain. Analisa sekuens hasil amplifikasi ini juga menunjukkan adanya kekerabatan tinggi dengan 3 sekuens C. burnetii dari Jepang dan Amerika Serikat yang diambil dari National Center for Biotechnology Information (NCBI).

Hasil imunohistokimia terhadap sampel positif di Malang berasal dari organ paru-paru, limpa, dan ginjal. Gambaran histopatologis menunjukkan adanya radang granuloma pada paru-paru maupun ginjal serta pembentukan folikel sekunder dan deplesi pada limpa. Perubahan histopatologis yang terjadi ini tidak spesifik terhadap infeksi C. burnetii, karena perubahan patologi yang sama juga ditemukan pada sampel organ yang negatif.

Jadi, Q fever adalah penyakit akut atau kronis yang disebabkan oleh basil mirip riketsia, yaitu  Coxiella burnetii.  Pekerja di industri peternakan idealnya harus divaksin untuk mengurangi resiko kemungkinan terpapar penyakit ini. Mengingat Q fever adalah penyakit zoonosis, maka deteksi keberadaan C. burnetii pada manusia perlu diteliti lebih lanjut untuk mengantisipasi dampak yang ditimbulkan.

Referensi :

  1. https://journals.asm.org/doi/10.1128/CMR.12.4.518 Q fever
  2. https://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/109511 Deteksi Molekuler Zoonosis Q Fever pada Ruminansia di Jawa Timur
  3. https://www.ipb.ac.id/news/index/2017/08/beware-of-subclinical-zoonotic-potential-of-q-fever-on-livestock/0af8512dc6a7ec941f7e98c57b4eefed
  4. https://www.cdc.gov/qfever/symptoms/index.html
  5. https://www.cdc.gov/qfever/pdfs/qfever-englsih-factsheet-508.pdf
  6. https://www.cdc.gov/qfever/pdfs/QFever-Factsheet.pdf
  7. https://www.sciencedirect.com/topics/immunology-and-microbiology/coxiella-burnetii
  8. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK557893/ Coxiella burnetii
  9. https://www.msdmanuals.com/professional/infectious-diseases/rickettsiae-and-related-organisms/other-spotted-fever-rickettsioses
  10. https://sfamjournals.onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.1111/1758-2229.12918 Current perspectives on the occurrence of Q fever: highlighting the need for systematic surveillance for a neglected zoonotic disease in Indian subcontinent
  11. https://veteriankey.com/coxiellosis-and-q-fever/
Antibiotik Dalam Dunia Kedokteran Hewan

Antibiotik Dalam Dunia Kedokteran Hewan

Dunia medis Kedokteran Hewan tentunya juga selalu dikaitkan dengan pilihan berbagai macam antibiotik atau obat-obatan untuk menangani suatu gangguan penyakit. Kemampuan obat antimikroba untuk menghentikan pertumbuhan atau membunuh agen penyebab penyakit umumnya tergantung pada mekanisme kerjanya dan konsentrasi obat pada tempat infeksi. Ketika obat dimasukkan ke dalam tubuh, obat tersebut dengan cepat dibawa melalui aliran darah ke hati, ginjal, dan organ lain yang secara kimiawi dapat mengubah atau mengurangi aktivitas antibakterinya dan meningkatkan ekskresinya.

Proses yang terjadi ketika terapi antibiotik atau obat diberikan adalah diawali dengan proses penyerapan/absorpsi dari rute pemberiannya (injeksi, per oral, sub kutan dll). Setelah diserap obat akan di distribusikan ke seluruh tubuh dan kemudian di eliminasi melalui metabolisme biokimia dan ekskresi melalui urin, empedu, atau rute lain merupakan parameter farmakokinetik.

Pemrosesan kimia dan fisiologis oleh tubuh, serta kelarutan lipid dan sifat kimia obat lainnya akan  mempengaruhi kemampuan obat untuk menembus jaringan yang terinfeksi dan kontak dengan patogen yang berada di cairan interstisial atau sel inang. Paparan awal patogen terhadap konsentrasi obat yang efektif / sensitif untuk periode waktu yang optimal secara langsung akan mempengaruhi tingkat keberhasilan klinis terapi obat antimikroba.

https://www.ema.europa.eu/en/documents/report/infographic-categorisation-antibiotics-use-animals-prudent-responsible-use_en.pdf

Penggunaan antimikrobia, terutama antibiotik saat ini sudah menjadi issue global terkait dengan AMR (antimicrobial resistance). Di eropa, aturan mengenai pembatasan penggunaan antibiotik sudah diberlakukan untuk mengantisipasi kejadian resistensi ini. AMR terjadi ketika bakteri, virus, jamur dan parasit berubah dari waktu ke waktu dan tidak lagi merespon obat-obatan sehingga membuat infeksi lebih sulit untuk ditangani dan meningkatkan risiko penyebaran penyakit, penyakit menjadi parah dan bisa berakhir dengan kematian. Obat-obatan menjadi tidak efektif dan infeksi tetap ada di dalam tubuh sehingga berpotensi meningkatkan risiko penyebaran.

Antimikroba – termasuk antibiotik, antivirus, antijamur, dan antiparasit adalah obat yang digunakan untuk mencegah dan mengobati infeksi pada manusia, hewan, dan tumbuhan. Mikroorganisme yang mengembangkan resistensinya terhadap antimikroba sering ita kenal dengan istilah “superbug”.

Terkait dengan usaha peternakan yang baik, program pengendalian penyakit umumnya meliputi 3 hal, yaitu biosekuriti, vaksinasi dan medikasi. Kebersihan lokasi kandang adalah landasan untuk melindungi kesehatan dan kesejahteraan hewan di peternakan kita, dan kita juga perlu merawat hewan peliharaan/ternak kita secara bertanggung jawab. Program pencegahan penyakit saat ini lebih ditekankan dengan pelaksanaan vaksinasi, sedangkan jika muncul kejadian penyakit maka medikasi baru bisa dilakukan dengan antibiotik atau support terapi lainnya tergantung dengan hasil diagnosa yang ditegakkan.  Baca juga : Animal welfare

Terkait dengan AMR, maka para peternak, dokter hewan, dan semua yang terlibat dalam perawatan kesehatan hewan memiliki kewajiban moral dan hukum untuk melindungi kesehatan dan kesejahteraan hewan di bawah pengawasan mereka.  Hal itu sekali lagi termasuk penggunaan antibiotik yang bijaksana. Aspek penting lain dari penggunaan antibiotik yang bijak adalah peran kita dalam  memproduksi bahan makanan  asal hewan yang aman dan sehat. Tanpa penggunaan antibiotik yang tepat, hewan peliharaan dan ternak akan menanggung rasa sakit dan penderitaan, serta produksi makanan yang aman dapat terancam dan beresiko meningkatkan kejadian AMR. Baca juga : Kontrol Penyakit pada ternak babi

https://www.researchgate.net/figure/Classification-of-antibiotic-classes-according-to-their-method-of-bacterial-eradication_tbl1_324835269

WHO merekomendasikan agar para peternak dan industri makanan berhenti menggunakan antibiotik secara rutin sebagai growth promotor untuk mendorong pertumbuhan dan mencegah penyakit pada hewan yang sehat. Hal ini bertujuan untuk membantu melestarikan efektivitas antibiotik yang penting untuk pengobatan manusia dengan mengurangi penggunaan yang tidak perlu pada hewan. Di beberapa negara, sekitar 80% dari total konsumsi antibiotik yang penting secara medis adalah di sektor hewan.  Baca juga : Biosekuriti di era new normal

Yuk perduli AMR, dengan bijak dalam menggunakan terapi antimikrobia, mengoptimalkan program vaksinasi dan perbaikan managemen kandang serta biosekuriti yang baik…

Referensi :

  1. https://amrls.umn.edu/antibiotics-veterinary-medicine
  2. https://www.researchgate.net/publication/324835269_Methodology_for_revising_the_dosages_of_older_antibiotics
  3. https://www.ema.europa.eu/en/documents/report/infographic-categorisation-antibiotics-use-animals-prudent-responsible-use_en.pdf
  4. https://www.noah.co.uk/focus-areas/antibiotics-for-animals/
  5. https://www.who.int/news/item/07-11-2017-stop-using-antibiotics-in-healthy-animals-to-prevent-the-spread-of-antibiotic-resistance
  6. https://ahi.org/animal-antibiotics/
  7. https://www.who.int/health-topics/antimicrobial-resistance
  8. https://www.adprc.unair.ac.id/2018/04/19/amr-center-of-excellence/
error: Content is protected !!