Q Fever

Q Fever

Istilah untuk demam “query” atau Q fever dilontarkan tahun 1937 oleh Edward Holbrook Derrick untuk menggambarkan penyakit demam pada pekerja rumah potong hewan di Brisbane, Queensland, Australia. Kasus penyakit ini terjadi secara sporadis dan terus terjadi secara teratur mulai tahun 1935, sehingga dilakukan proses isolasi agen penyebab penyakit dengan menginduksi penyakit demam pada hewan percobaan. Beberapa ahli terlibat dalam rangkaian penelitian ini dan akhirnya disimpulkan bahwa hewan liar adalah reservoir alami, hewan domestik menjadi reservoir sekunder dan penyakit ini dapat ditularkan oleh kutu atau artropoda lainnya.

Agen penyebab Q fever pertama kali dinamakan dengan Rickettsia burnetii. Namun, pada tahun 1938, Cornelius B. Philip mengusulkan penciptaan genus baru yang disebut Coxiella dan sekaligus  penggantian nama agen etiologi Q fever dengan nama Coxiella burnetii. Penamaan ini sekaligus untuk memberikan penghormatan terhadap Cox dan Burnet yang telah berhasil mengidentifikasi agen penyakit ini sebagai spesies rickettsia baru.

Q fever adalah penyakit zoonosis dengan distribusi di seluruh dunia, kecuali Selandia Baru. Penyakit ini disebabkan oleh Coxiella burnetii, bakteri gram negatif intraseluler yang ketat. Banyak spesies mamalia, burung, dan kutu merupakan reservoir di alam. Infeksi paling sering terjadi secara laten pada hewan, dan mampu melepaskan bakteri secara persisten ke lingkungan. Manusia biasanya terinfeksi secara aerosol dari hewan peliharaan, terutama setelah kontak dengan hewan betina yang sedang melahirkan.

Penyakit ini paling sering menyebar ke manusia melalui hewan ternak yang terinfeksi, termasuk:
kambing, sapi, dan domba. Transmisi penyakit bisa terjadi melalui kontak dengan kotoran, urin, susu, atau darah dari hewan yang terinfeksi; menghirup debu yang mengandung bakteri; kontak dengan hewan yang baru proses melahirkan atau kontak dengan plasenta, cairan kelahiran dari hewan yang terinfeksi; minum susu mentah.

https://www.cdc.gov/qfever/transmission/index.html

Hewan yang terinfeksi C. burnetii biasanya tidak menunjukkan gejala (subklinis). Namun demikian, pada kejadian akut keberadaan C. burnetii dapat ditemukan dalam darah, paru-paru, limpa, dan hati. Infeksi ini bisa berlanjut menjadi kronis dan terjadi shedding yang persisten melalui feses dan urin.  Uterus dan kelenjar susu adalah tempat utama infeksi secara kronis, sehingga pelepasan C. burnetii ke lingkungan terjadi terutama selama proses persalinan. Plasenta pada kondisi ini sangat terkontaminasi oleh C. burnetii sehingga manusia harus sangat berhati-hati agar tidak tertular. Manifestasi patologis yang telah dikaitkan dengan infeksi C. burnetii kronis pada hewan adalah aborsi, terutama pada domba dan kambing, dan berat badan lahir rendah dan infertilitas pada sapi.

Karena Q fever bersifat enzootik di antara hewan liar dan domestik, maka pengendalian infeksi pada hewan yang rentan relatif sulit dilakukan. Vaksin menjadi langkah yang paling ideal dalam upaya mengendalian penyakit ini. Vaksin pertama yang tersedia terdiri dari seluruh sel C. burnetii yang tidak aktif, baru kemudian dikembangkan vaksin residu kloroform-metanol yang terbukti dapat ditoleransi lebih baik pada hewan daripada vaksin dari sel utuh.

Vaksin Q fever komposisinya cukup bervariasi, termasuk strain dan fase C. burnetii. Vaksin yang dibuat dari organisme C. burnetii fase I lebih protektif daripada yang dibuat dari bakteri fase II, sedangkan perlindungan silang di antara berbagai strain ditemukan pada hewan marmut yang divaksinasi. Ketika diuji pada sapi dan domba, vaksin ini menunjukkan efek perlindungan yang berbeda pada pengamatan infeksi eksperimental dan alami pada hewan seronegatif. Vaksinasi juga terbukti melindungi ternak dari aborsi, berat janin rendah dan infertilitas kronis. Namun demikian, vaksinasi tidak membasmi C. burnetii pada hewan yang sudah terlanjur terinfeksi secara alami sebelum vaksinasi dan shedding tetap bisa terjadi.

Di Eropa, vaksin mengandung kedua fase C. burnetii dan Chlamydia psittaci telah dipasarkan untuk melindungi sapi dan kambing dari masalah kesuburan yang disebabkan oleh kedua agen ini. Namun demikian, kasus masih dilaporkan di Prancis dimana terjadi pada orang yang kontak dengan kambing yang sudah divaksinasi. Vaksinasi Q fever pada hewan domestik, terutama sapi, domba, dan kambing saat ini belum banyak digunakan karena bersifat protektif dan aman hanya pada hewan yang tidak terinfeksi pada saat vaksinasi. Perlu dilakukan surveilence lapangan terlebih dahulu untuk mengoptimalkan kinerja vaksin ini. Baca juga : Cara Pengendalian Hama Tikus

Q fever pada manusia.

Q fever yang bersifat zoonosis ini tentunya menjadi bahaya terutama pada orang yang kontak dengan hewan ternak (sapi, domba, kambing) ataupun hewan peliharaan (anjing, kucing). Para petani/peternak, dokter hewan, pekerja rumah potong hewan, mereka yang kontak dengan produk susu, dan petugas laboratorium yang melakukan kultur C. burnetii adalah contoh orang-orang yang beresiko tertular.

Coxiellosis and Q Fever

Infeksi C. burnetii pada manusia biasanya tanpa gejala atau bermanifestasi sebagai penyakit ringan dengan pemulihan spontan. Namun demikian, Q fever dapat menyebabkan komplikasi serius dan bahkan kematian pada pasien dengan penyakit akut, terutama mereka dengan meningoensefalitis atau miokarditis, dan lebih sering pada pasien yang terinfeksi kronis dengan endokarditis. Selain itu, pasien yang berisiko lainnya adalah orang-orang dengan kelainan katup jantung, orang dengan gangguan sistem imun dan wanita hamil.

Sekitar 5 dari 10 orang yang terinfeksi Coxiella burnetii akan jatuh sakit dalam 2-3 minggu setelah terpapar bakteri. Gejala yang mungkin bisa timbul adalah demam, kedinginan atau berkeringat, kelelahan, sakit kepala, nyeri otot, mual, muntah, diare, sakit dada, sakit perut, penurunan berat badan, batuk tidak produktif. Gejala bisa mulai dari ringan atau berat. Orang yang menderita penyakit parah mungkin mengalami infeksi paru-paru atau hati. Untuk wanita yang terinfeksi selama masa kehamilan sangat berisiko mengalami keguguran, lahir mati, kelahiran prematur, atau berat bayi lahir rendah.

Walaupun sangat jarang (5 dari 100 orang), kejadian penyakit melanjut menjadi kronis bisa saja terjadi. Proses ini bisa memerlukan waktu berbulan-bulan atau bertahun-tahun setelah infeksi terjadi.  Orang dengan endokarditis mungkin mengalami keringat malam, kelelahan, sesak napas, penurunan berat badan, atau pembengkakan anggota badan mereka.

Manifestasi klinis Q fever sangat bervariasi sehingga penyakit ini sering didiagnosis hanya jika telah dipertimbangkan secara sistematis. Diagnosis spesifik Q fever berdasarkan uji serologi. Antibodi imunoglobulin M (IgM) dan IgG antifase II terdeteksi 2-3 minggu setelah infeksi C. burnetii, sedangkan adanya antibodi IgG antifase I C. burnetii pada titer 1:800 umumnya akan menunjukkan kejadian kronis.

Terapi dengan antibiotik golongan tetrasiklin masih yang terbaik untuk mengobati kejadian akut. Namun demikian, untuk orang dengan prognosis endokarditis terkadang harus ditingkatkan dengan terapi kombinasi doksisiklin dan klorokuin. Karena masih relatif sulitnya monitoring penyakit ini, maka tindakan pencegahan dengan vaksinasi pada orang yang “berisiko” harus dipertimbangkan. Baca Juga : Nipah Virus

Q fever di Indonesia.

Q fever merupakan salah satu penyakit zoonotik strategis di Indonesia yang keberadaannya masih diabaikan. Pemerintah Indonesia melalui Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia (Kepmentan)  no.237/KPTS/PK.400/M/3/2019 menetapkan Q fever sebagai salah satu penyakit zoonosis prioritas yang perlu mendapatkan penanganan utama baik dalam pencegahan, pengendalian maupun penanggulangannya.

Penyakit Q fever diklasifikasikan oleh Center of Diseases Control and Prevention ke dalam kelompok agen infeksius yang berpotensi digunakan untuk senjata biologis. Data surveillance Q fever di dunia masih terbatas  karena gejala klinis yang tidak khas bahkan subklinis.

Penyakit ini pertama kali dilaporkan pada tahun 1955 dan menyerang ternak di Indonesia. Penelitian tahun 2001 mengungkapkan bahwa kasus pneumonia akibat C. burnetii terjadi pada pasien yang pernah tinggal di Indonesia. Kajian tahun 2007 berhasil mendeteksi 6,68% agen penyakit telah ditemukan pada sampel sapi persilangan brahman dan 5,7% pada organ domba yang diperoleh di Bogor, serta 4,29% pada organ sapi Bali yang diperoleh di Rumah Potong Hewan (RPH) di Bali dengan uji polymerase chain reaction (PCR). Kemudian, pada tahun 2014 diperoleh 38,8% sampel imunoreaktif dengan uji histokimia imun pada sapi yang dipotong di RPH Provinsi Sumatera Utara. Data Q fever pada manusia juga menunjukkan beberapa mahasiswa Indonesia yang belajar di Australia positif terpapar C. burnetii.

Kasus Q fever di Indonesia juga pernah dilaporkan terjadi pada ruminansia tahun 2006 – 2019 di wilayah Jakarta, Jawa Barat, Yogyakarta, Bali, dan Sumatera Utara. Identifikasi dan deteksi penyakit Q fever penting untuk dilakukan, terutama sebagai upaya penyusunan langkah pengendalian terjadinya wabah pada manusia. Ada 2 tahapan penelitian deteksi molekuler terhadap keberadaan agen penyakit Q fever pada ternak ruminansia di Propinsi Jawa Timur yang dilakukan dari  September 2015 – September 2020.

Dimulai dengan tahap I yaitu tahap optimasi metode imunohistokimia untuk mendeteksi keberadaan C. burnetii di Kabupaten Bogor yang pernah dinyatakan sebagai wilayah endemis penyakit Q fever. Penelitian dilakukan terhadap sampel organ sapi dan domba kurban tahun 2015 – 2016, yang kemudian dideteksi dengan imunohistokimia sekaligus pengamatan terhadap gambaran histopatologinya. Tahap II adalah penelitian utama yang bertujuan mendeteksi secara molekuler keberadaan C. burnetii pada ruminansia di Jawa Timur. Sampel berupa organ hati, limpa, ginjal, paru-paru, dan jantung ruminansia yang diambil dari rumah potong hewan di Surabaya, Malang, dan Madura.

Hasil dari penelitian tahap I adalah C. burnetii terdeteksi positif pada organ paru-paru dan limpa sapi kurban di Kabupaten Bogor, 4 dari 19 sampel (21%) sapi kurban tahun 2015 dan 3 dari 10 sampel (30%) sapi kurban tahun 2016. Gambaran histopatologi yang tampak pada sampel positif meliputi kongesti, infiltrasi sel radang, akumulasi mukus, hingga adanya fibrosis pada paru-paru. Lesi patologis yang nampak cinderung tidak konsisten karena berkaitan dengan kemampuan C. burnetii untuk menghindar dari respon imun serta proses multiplikasi yang lambat sehingga kerusakan jaringan akibat infeksi ini relatif rendah meskipun infeksinya sudah berjalan lama.

Hasil dari penelitian tahap II adalah C. burnetii terdeteksi positif pada 10 dari 80 (12.5%) sampel kambing jantan lokal di RPH Malang.  4 dari 10 sampel positif berhasil diamplifikasi dan sampel-sampel positif tersebut identik satu sama lain. Analisa sekuens hasil amplifikasi ini juga menunjukkan adanya kekerabatan tinggi dengan 3 sekuens C. burnetii dari Jepang dan Amerika Serikat yang diambil dari National Center for Biotechnology Information (NCBI).

Hasil imunohistokimia terhadap sampel positif di Malang berasal dari organ paru-paru, limpa, dan ginjal. Gambaran histopatologis menunjukkan adanya radang granuloma pada paru-paru maupun ginjal serta pembentukan folikel sekunder dan deplesi pada limpa. Perubahan histopatologis yang terjadi ini tidak spesifik terhadap infeksi C. burnetii, karena perubahan patologi yang sama juga ditemukan pada sampel organ yang negatif.

Jadi, Q fever adalah penyakit akut atau kronis yang disebabkan oleh basil mirip riketsia, yaitu  Coxiella burnetii.  Pekerja di industri peternakan idealnya harus divaksin untuk mengurangi resiko kemungkinan terpapar penyakit ini. Mengingat Q fever adalah penyakit zoonosis, maka deteksi keberadaan C. burnetii pada manusia perlu diteliti lebih lanjut untuk mengantisipasi dampak yang ditimbulkan.

Referensi :

  1. https://journals.asm.org/doi/10.1128/CMR.12.4.518 Q fever
  2. https://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/109511 Deteksi Molekuler Zoonosis Q Fever pada Ruminansia di Jawa Timur
  3. https://www.ipb.ac.id/news/index/2017/08/beware-of-subclinical-zoonotic-potential-of-q-fever-on-livestock/0af8512dc6a7ec941f7e98c57b4eefed
  4. https://www.cdc.gov/qfever/symptoms/index.html
  5. https://www.cdc.gov/qfever/pdfs/qfever-englsih-factsheet-508.pdf
  6. https://www.cdc.gov/qfever/pdfs/QFever-Factsheet.pdf
  7. https://www.sciencedirect.com/topics/immunology-and-microbiology/coxiella-burnetii
  8. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK557893/ Coxiella burnetii
  9. https://www.msdmanuals.com/professional/infectious-diseases/rickettsiae-and-related-organisms/other-spotted-fever-rickettsioses
  10. https://sfamjournals.onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.1111/1758-2229.12918 Current perspectives on the occurrence of Q fever: highlighting the need for systematic surveillance for a neglected zoonotic disease in Indian subcontinent
  11. https://veteriankey.com/coxiellosis-and-q-fever/
error: Content is protected !!