Perkembangan Vaksin Hog Cholera

Perkembangan Vaksin Hog Cholera

Masih membahas tentang penyakit babi, penyakit Hog Cholera atau Classical Swine Fever (CSF) sering dianggap “sama” dengan African Swine Fever (ASF). Oleh karena itu, saat ini kita akan belajar bersama mengenai bagaimana perkembangan penelitian vaksin untuk mengendalikan salah satu penyakit menular virus mematikan yang menyerang anggota famili Suidae ini. Kemunculan kembali virus CSF  di beberapa negara di Amerika, Asia, dan sporadis di Eropa menunjukkan bahwa adanya potensi munculnya kembali penyakit ini secara global yang beresiko memperparah kondisi industri babi yang masih berjuang melawan ASF yang sampai saat ini belum ada vaksin yang aman dan ampuh.

Kebijakan untuk melakukan stamping out saat ada wabah saat ini memerlukan biaya relatif tinggi yang mungkin tidak semua negara mempunyai anggaran untuk melakukannya. Masalah etika juga bisa menjadi pertimbangan cara lain untuk melakukan intervensi dalam proses pengendendalian penyakit. Vaksinasi mungkin akan menjadi solusi tindakan pengendalian utama terhadap wabah di masa depan sehingga sangat penting bagi komunitas ilmiah, peneliti dan para expert  untuk terus aktif dalam mengembangkan vaksin yang lebih efektif dan aman melawan patogen, termasuk CSF.

Classical swine fever (CSF) adalah salah satu penyakit infeksi virus yang paling mematikan dan sangat menular pada babi. Virus RNA rantai tunggal yang dikenal sebagai virus CSF dari genus Pestivirus dari keluarga Flaviviridae. Wabah CSF memiliki implikasi sosial dan ekonomi yang negatif, termasuk pembatasan perdagangan internasional, beban keuangan yang tinggi dan aspek etika  terkait lalu lintas ternak terdampak yang berpotensi menularkan ke wilayah lainnya.

Beberapa negara seperti Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan Selandia Baru telah berhasil memberantas penyakit ini, namun CSF tetap endemik di sebagian besar negara di Asia, Eropa Timur serta Amerika Selatan dan Tengah, dan Karibia. Di Uni Eropa, terlepas dari status bebas CSF sebenarnya ada ancaman dimana virus ini tetap endemik pada populasi babi hutan. Hal ini menyebabkan wabah sporadis pada peternakan babi domestik. Selain itu, kemunculan kembali virus CSF di beberapa negara di Amerika seperti Ekuador, Brasil, Kolombia, serta di Asia  seperti Jepang dan Korea Selatan menjadi hal yang perlu diwaspadai karena berpotensi muncul kembali secara global.

Sejarah masa lalu mencatat bahwa, sebagian besar negara yang mencapai status bebas CSF  menggunakan kebijakan stamping-out. Australia 1961 menggabungkan strategi stamping-out dan pembatasan pergerakan/lockdown, Kanada 1963 mencapai dengan menggabungkan kebijakan vaksinasi, Amerika Serikat 1976 menggunakan stamping-out setelah menangguhkan strategi vaksinasi tahun 1962 dan Uni Eropa berhasil  bebas setelah 10 tahun berjuang dimana Italia menjadi anggota terakhir yang berstatus bebas tahun 1990. Kebijakan stamping out ini selain tidak praktis karena biaya yang relatif besar untuk kompensasi area terdampak juga menjadi tantangan animal welfare dimasa sekarang, karena ternak sehat di area terdampak juga harus dimusnahkan.

Selain stamping out, status bebas CSF dengan vaksinasi sebagai tindakan kontrol utama juga berhasil dilakukan oleh Uruguay 1991, Chili 1998, dan Argentina 2005. Pengendalian penyakit dengan vaksinasi harus dijalankan dengan standart yang baik, yaitu dosis dan aplikasi vaksin yang tepat agar mampu membangun kekebalan. Jika program vaksinasi dilakukan sembarangan, maka akan menyebabkan konsekuensi seperti munculnya varian baru dimana virus akan bermutasi yang beresiko munculnya kembali penyakit CSF.

Dengan perkembangan penyakit yang ada saat ini, penting juga menyoroti peran metode diagnostik yang berbeda dalam proses pemberantasan CSF. Dalam hal ini, program pemberantasan yang sukses minimal harus mencakup ketersediaan laboratorium diagnostik molekuler yang mutahir yang mampu mendiagnosa secara akurat dan handal. Selain itu, studi lanjutan tentang hubungan filogenetik antara strain virus yang bersirkulasi dengan karakterisasi patogenesis menjadi langkah penting untuk menjamin strategi intervensi yang efisien untuk pengendalian virus CSF. Oleh karena itu, sangat penting bagi komunitas ilmiah untuk melanjutkan penyelidikan aktif untuk vaksin yang lebih efektif melawan virus CSF. Ada kebutuhan mendesak untuk penyediaan vaksin baru dalam hubungannya dengan tindakan pengendalian tambahan yang dapat diterapkan secara rasional untuk mengendalikan atau mengurangi kerugian yang disebabkan oleh wabah CSF, terutama masalah yang saat ini dihadapi oleh negara dengan status endemik CSF.

Tantangan pengendalian CSF dinegara yang berstatus endemis saat ini sedang hangat dibicarakan. Vaksinasi umumnya sudah dilakukan secara massal dan intensif, sehingga kasus-kasus sporadis ringan dan atipikal menjadi tantangan yang perlu segera mendapatkan solusi. Seperti halnya di Cina, strategi pengendalian utama untuk CSF adalah kombinasi dari bonifikasi dan vaksinasi. Bonifikasi sesuai untuk wilayah di mana CSF telah diberantas atau tidak pernah terjadi, sedangkan vaksinasi lebih umum dilakukan karena mengingat populasi yang besar dianggap lebih hemat biaya dan ekonomis dalam usaha pengendalian di area endemis.

Sejak kasus pertama African SwineFever didiagnosis di Shenyang, Cina 3 Agustus 2018, penyakit ASF ini dengan cepat menyebar dan menyebabkan kerugian ekonomi cukup besar. Gejala klinis dan perubahan patologis CSF dan ASF sangat mirip sehingga dapat mengganggu proses diagnosis jika hanya dilakukan secara visual. Oleh karena itu, pencegahan dan pengendalian ASF yang baik saat ini harus memfasilitasi dekontaminasi CSF, yaitu dengan cara memastikan imunisasi yang baik serta pencegahan dan pengendalian CSF yang memungkinkan diagnosis, pencegahan, dan pengendalian ASF yang lebih baik. Dengan kata lain, jika peternakan kita sudah memiliki  kekebalan yang baik terhadap virus CSF, maka fokus kita bisa lebih baik dalam penanganan ASF. Pentingnya biosekuriti dan kontrol virus CSF ini ditekankan karena belum tersedianya vaksin yang efektif dan aman untuk ASF serta adanya pergeseran dari kejadian CSF tipikal menjadi atipikal (ringan).

Baca juga : Classical Swine Fever

Ternak babi yang dibudidayakan secara intensif umumnya sudah memiliki imun karena sudah mendapatkan vaksinasi CSF. Namun demikian,  harus dicatat bahwa strain virus CSF  virulen atau dilemahkan dapat menyebabkan infeksi persisten dan infeksi resesif, imunosupresi, dan sindrom pembawa virus pada babi yang rentan, sehingga dapat mengakibatkan disfungsi imun dan  kegagalan imun.  Pengembangan vaksin CSF jenis baru harus memiliki efek kekebalan dari vaksin hidup yang dilemahkan dan mampu membedakan antara infeksi virus lapangan dan virus vaksin. Saat ini, berbagai lembaga penelitian sedang mempelajari vaksin virus hidup yang ditingkatkan, vaksin subunit, vaksin penanda, dll. Berikut adalah jenis-jenis vaksin CSF yang sudah ada dipasaran dan yang sedang dikembangkan :

1. LAV – live attenuated vaccine  
Secara historis, vaksinasi CSF menggunakan vaksin hidup yang dilemahkan (LAVs) telah diterapkan di beberapa negara sebagai program pengendalian wajib selama lebih dari 50 tahun  dan berhasil. Vaksin ini mengandung strain imunogen utama virus CSF yang telah dilemahkan oleh mutasi adaptif. Di antara strain yang paling umum digunakan adalah Lapinized Coronel Filipina (LPC strain), C-Strain atau “Chinese hog cholera lapinized virus” (HCLV), vaksin Rusia strain LK-VNIVViM yang diadaptasi pada suhu rendah, Strain guinea-pig exaltation-negative (GPE-strain) Jepang, kultur sel Prancis Strain Thiverval, dan strain PAV-250 Meksiko.

Vaksin CSF hidup yang dilemahkan ini telah terbukti aman untuk hewan target termasuk dua  kategori utama: babi muda dan babi bunting. Selain itu, beberapa penelitian telah menunjukkan
kapasitas vaksin yang dilemahkan untuk memberikan perlindungan dini terhadap serangan strain virulen. Secara penelitian, jika respon individual ternak cukup baik maka kekebalan yang terbentuk dapat bertahan dari 10 bulan jika diberikan secara oral dan seumur hidup dengan inokulasi  intramuskular. Selain perlindungan horizontal, jenis vaksin ini mampu menginduksi perlindungan vertikal pada babi bunting dan mencegah transmisi virus transplasental.

Vaksin yang dilemahkan di atas telah digunakan untuk pengendalian dan pemberantasan CSF di beberapa wilayah di dunia. Vaksin ini memiliki karakteristik umum dalam hal stabilitas genetik, respon imun protektif, tetapi juga memiliki perbedaan tertentu. Perbedaan ini terutama didasarkan pada kapasitas mereka untuk bereplikasi menjadi hewan yang divaksinasi, jangka waktu viremia, rute, dan kapasitas ekskresi strain vaksin virus.

1.1 Vaksin LOM
Strain LOM awalnya berasal dari strain virulensi rendah dari isolat Miyagi Jepang pada tahun 1956 dan selanjutnya dilemahkan melalui propagasi terus menerus dalam sel ginjal sapi. Strain LOM pertama kali diuji sebagai kandidat vaksin dari tahun 1968-1969 di lapangan oleh Institute of Veterinary Research (IVR) di Korea Selatan, dan selanjutnya vaksin ini mulai digunakan secara luas di seluruh negeri untuk memberantas CSFV sejak 1974. Fakta vaksin LOM telah digunakan di Korea Selatan selama bertahun-tahun menunjukkan bahwa vaksin ini mungkin aman dengan respon imunogenik yang tinggi pada babi selama beberapa dekade, tetapi di lapangan wabah sporadis CSF masih terjadi terus menerus.

Selain itu, penting untuk menunjukkan bahwa strain LOM telah disimpan melalui beberapa bagian dalam sel ginjal sapi / babi selama bertahun-tahun dan dianggap stabil secara genetik, namun ada petunjuk tentang potensi untuk kembali menjadi virulen. Hal ini dikuatkan dengan kejadian di pulau Jeju dimana setelah dilakukan vaksinasi strain LOM pada tahun 2014, CSF muncul kembali di pulau itu setelah wilayah ini bebas CSF dengan kebijakan non-vaksinasi selama satu dekade. Sejak kemunculan kembali tersebut, wabah endemik CSF telah terjadi di pulau itu dan  menyebabkan kerugian besar pada peternakan babi.

1.2 Vaksin Lapinized Strain-C
Vaksin C-strain telah dianggap sebagai salah satu vaksin yang paling efektif digunakan
di seluruh dunia untuk pengendalian CSF pada babi domestik. Asal usul strain ini tidak jelas, namun telah dilaporkan bahwa C-strain dikembangkan oleh Chinese Institute of Veterinary Drug Control and Harbin Animal Research Institute tahun 1956. Beberapa vaksin telah dikembangkan dari C-strain adalah Pestiffa di Prancis, SUVAC di Hungaria, Cellpest di Polandia, Suiferin C di Jerman, Vadimun di Amerika Serikat, Duvaxin dan Riems di Jerman, Norden dan Porcivac di
Meksiko, PS Poreo di Brasil, Tipest di Slovakia, TVM-1 di Republik Ceko, dan LK Rusia.

Vaksin Lapinized selama ini secara luas diakui sebagai sangat aman dan efektif terhadap penyakit, yang juga dapat memperoleh respon imun protektif terhadap semua CSFV genotipe. Namun, sebuah penelitian baru-baru ini memperingatkan tentang kurangnya kapasitas vaksin lapinisasi untuk melindungi terhadap semua genotipe sehingga dilaporkan munculnya mutan yang lolos dari netralisasi dari genotipe 2 galur CSFV di Cina sehingga perlu mengembangkan vaksin CSF baru untuk mencegah mutan yang lolos. 

Fitur penting dari vaksin C-strain adalah kapasitasnya untuk menginduksi perlindungan bahkan
beberapa hari setelah imunisasi dan sebelum serokonversi. Pembentukan kekebalan lengkap terhadap strain virulen setelah vaksinasi oral pada 10 hari post vaksin telah ditunjukkan oleh penelitian sebelumnya. Dengan menggunakan vaksin C-strain, proses replikasinya lambat dan terbatas dalam jaringan, kekebalan bertahan lama, bertahan selama selang waktu dari 6-11 bulan atau bahkan seumur hidup.

Vaksinasi menggunakan strain-C telah terbukti memberikan perlindungan klinis penuh (hewan yang divaksinasi tidak menunjukkan tanda-tanda klinis yang kompatibel dengan CSF) dan perlindungan steril (kurangnya viremia, tidak adanya pelepasan virus, dan bukan partikel virus atau genom yang terdeteksi). Disamping keampuhan yang luar biasa, vaksin C-strain telah terbukti sangat aman di target dan spesies non-target dengan keuntungan utama bahwa infeksi transplasental oleh strain virus virulen dicegah. Selain itu, beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa vaksin lapinized atau vaksin strain-C tidak berpotensi untuk kembali menjadi virulen.

1.3 GPE-Strain
Vaksin guinea-pig exaltation-negative strain (GPE-) Jepang dikembangkan di 1969 oleh Departemen Penyakit Eksotis di Institut Nasional Kesehatan Hewan di Tokyo. Strain vaksin yang dilemahkan ini berasal dari strain ALD tipe lapangan/wild melalui beberapa bagian dan kloning biologis dalam sel testis babi, sel testis sapi, dan sel ginjal babi guinea primer. Babi yang diinokulasi dengan vaksin GPE tidak menunjukkan gejala klinis seperti anoreksia dan demam.  Strain GPE jarang menimbulkan viremia pada hewan yang diinokulasi dan tidak menunjukkan bukti shedding. Selain itu, vaksinasi berdasarkan strain GPE telah terbukti aman untuk babi bunting, anak babi baru lahir, dan babi dewasa.

Vaksin ini juga mampu menghasilkan kekebalan protektif terhadap perkembangan tanda-tanda klinis CSF. Laporan awal pengamatan perlindungan vaksin GPE- bisa terjadi dalam 3 hari setelah vaksin dilakukan. Respon humoral ditandai dengan kehadiran antibodi dalam 10-14 hari selama minimal 2 tahun tanpa terjadi penurunan titer antibodi. Namun demikian, studi terbaru memperingatkan komunitas ilmiah tentang potensi galur virus GPE untuk kembali ke virulen. Hal ini tentu menjadi penting, karena vaksin galur GPE Jepang telah digunakan di negara-negara Asia dan Pasifik selama beberapa dekade sehingga perlu kewaspadaan tentang hal ini.

1.4 Strain Thiverval
Strain vaksin Thiverval diturunkan dari strain virus CSF Alfort yang virulen melalui lebih dari 170 bagian serial dalam sel pada 29-30 C. Vaksin ini dipatenkan di Prancis tahun 1971 dan telah menunjukkan stabilitas genetik dan tingkat keamanan yang tinggi bahkan ketika digunakan pada ternak babi yang mengalami imunosupresi. Selain itu, strain vaksin Thiverval tidak menunjukkan adanya potensi virulensi residual atau kembali menjadi virulen. Selama beberapa dekade dari bukti yang dikumpulkan vaksin strain Thiverval telah menunjukkan tingkat keampuhan dan keamanan yang baik, yaitu kemampuan untuk mencegah transmisi vertikal virus CSF ketika digunakan pada induk babi bunting sehingga tidak berpengaruh pada perkembangan kebuntingan atau pada janin yang baru lahir.

Vaksin jenis ini adalah yang direkomendasikan oleh OIE (WOAH), organisasi kesehatan hewan dunia. Kita nanti akan membahas lebih detail di artikel selanjutnya ya…

1.5  PAV-250
Strain PAV-250 diperoleh dari virus CSF strain A yang dilemahkan dalam 250 sekuensial melewati garis sel PK15. Vaksin ini telah berhasil digunakan untuk pengendalian dan pemberantasan CSF di Meksiko sejak 1979. PAV-250 telah diuji secara luas pada babi, memberikan perlindungan klinis dan antivirus, dengan respon imunologis dimulai antara 3-5 hari setelah vaksinasi dilakukan. Vaksin ini juga telah terbukti aman pada babi bunting, respons imunogenik kuat, menunjukkan stabilitas genetik yang tinggi, kurangnya transmisibilitas, dan kapasitas untuk melindungi terhadap strain virulen CSF yang berbeda. Vaksin PAV-250 juga tidak menunjukkan tanda-tanda kembali ke virulensi.

Jadi secara umum, vaksin hidup yang dilemahkan diatas memiliki beberapa keunggulan, termasuk dalam hal keamanan dan jangkauan perlindungan yang luas. Akan tetapi, kelemahan utama dari jenis vaksin ini adalah bahwa mereka tidak dapat dibedakan antara hewan yang terinfeksi dan di vaksinasi berdasarkan uji serologis.

2. Vaksin DIVA
Konsep vaksin penanda/marker muncul dari kebutuhan untuk membedakan hewan yang terinfeksi
dari mereka yang divaksinasi. Terkait dengan konsep DIVA yang dijelaskan di atas, masing-masing
vaksin penanda harus digabungkan dengan uji diskriminatif, yang harus dapat secara selektif menentukan kawanan yang divaksinasi, mana yang bebas atau tidak dari galur lapangan yang bersirkulasi.

Di selain tujuan utama munculnya jenis vaksin ini, mereka dianggap alat yang relevan dalam penyelidikan mendasar untuk mengungkap mekanisme yang terlibat dalam induksi dan kontrol respon imun.  Secara umum, pengembangan dan pembuatan vaksin penanda sejauh ini telah mencakup 4 strategi utama, yaitu vaksin subunit, vektor virus (vaksin dan replika chimera), peptida CSFV imunogenik, dan DNA vaksin.

2.1 MLV – modified live vaccine

Konstruksi genetik virus wabah chimeric telah terbukti menjadi strategi yang menjanjikan untuk menghasilkan MLV yang sangat efisien dengan sifat penanda. Vaksin penanda CP7_E2Alf adalah chimera virus yang dibangun dengan mengganti gen E2 BVDV dengan gen E2 dari Alfort/187 strain CSF. Vaksin CP7_E2alf ini secara efektif melindungi babi dari serangan virus CSF yang kuat, baik secara intramuskuler maupun oral, memberikan perlindungan lengkap untuk induk babi bunting dan anak babi, serta tahan terhadap galur lapangan dari genotipe 2.1 dan 2.3. Namun, karena hubungan antigenik yang dekat antara virus CSF dan virus BVD, antibodi reaktif silang dapat menyebabkan reaksi positif palsu dan kegagalan pengenalan DIVA.

Pada tahun 2017, Korea Selatan menyetujui vaksin DIVA lain, bernama FLC-LOM-BERns, virus wabah chimeric berdasarkan LOM strain.  Vaksin ini dibangun dengan mengganti bagian protein kapsid dan glikoprotein Erns full-length dari strain KD26 BVDV menggunakan LOM strain virus CSF. Induk babi di vaksin 3 minggu sebelum inseminasi dan ditantang selama kebuntingan, hasilnya vaksin dapat memberikan perlindungan menyeluruh bagi induk babi bunting dan mencegah penularan vertikal, asupan pakan dan pertambahan berat badan babi normal, usia panen lebih cepat dan produktivitas meningkat secara signifikan jika dibandingkan dengan vaksin LOM yang dilemahkan biasa. Selain itu, hewan yang kebal dan terinfeksi dapat dibedakan dengan mendeteksi antibodi terhadap protein virus CSF dan virus BVD Erns.

Karena galur C tidak dapat membedakan infeksi dari inokulasi serologis, maka vaksin dengan prinsip DIVA dibuat dengan 3 strain mutan rHCLV-E2F117A, rHCLV-E2G119A, dan rHCLV-E2P122A yang menggantikan daerah pHCLV yang sesuai dengan 3 gen fusi yang mengandung mutasi asam amino tunggal 117F, 119G, atau 122P pada epitop pengenalan mAb HQ06. Oleh karena itu, hewan yang diimunisasi dengan strain C dapat dibedakan dengan mendeteksi antibodi terhadap epitop antibodi monoklonal mAb HQ06 yang diakui.

Studi menarik lainnya mengembangkan penanda antigenik ganda strain CSF yang dilemahkan, vaksin FlagT4v dengan menghapus epitop spesifik CSF yang sangat terkonservasi dan memasukkan epitop sintetis Flag®. Namun dalam prakteknya di lapangan, vaksin kembali ke virulensinya selama beberapa generasi ternak babi secara berturut-turut. Lalu para peneliti melakukan perbaikan dan membuat virus baru dengan stabilitas genetik yang lebih tinggi, FlagT4Gv yang akhirnya mampu memberikan perlindungan yang memadai terhadap serangan virus CSF pada 3-7 hari pasca vaksinasi.

2.2 Vektor vaksin  

Vektor virus efektif untuk mengekspresikan protein asing, yaitu dengan memasukkan gen antigen pelindung eksogen ke dalam genom virus untuk mendapatkan virus rekombinan, imunisasi pada ternak akan menginduksi respon imun pada organisme. Beberapa vektor vaksin masih dalam proses penelitian lebih lanjut, antara lain sbb :

Adenovirus rekombinan adalah sistem pengiriman dan ekspresi gen universal. Penelitian telah menunjukkan bahwa adenovirus adalah vektor yang baik untuk persiapan vaksin.  Vektor vaksin chimeric replika adenovirus / SFV (rAdV-SFV-E2) yang dikembangkan mampu menginduksi antibodi khusus untuk CSF dan memberikan kekebalan aseptik dan perlindungan lengkap terhadap serangan mematikan. Penelitian tentang vaksin ini menunjukkan bahwa (1) vaksin aman untuk tikus, kelinci, dan babi (2) memberikan perlindungan lengkap terhadap tantangan virus CSF yang mematikan (3) antibodi yang diturunkan dari induk tidak memiliki efek penghambatan terhadap keampuhan vaksin (4) vaksin tidak menginduksi kekebalan anti-vektor yang mengganggu (5) jika dikombinasikan dengan vaksin pseudorabies tidak saling mengganggu. Dari data eksperimen ini menunjukkan bahwa vaksin vektor chimeric rAdV-SFV-E2 adalah vaksin penanda CSF yang menjanjikan.

Rekombinan pseudorabies virus (PRV) digunakan sebagai vektor vaksin yang mengekspresikan gen asing dan dapat digunakan untuk mengembangkan vaksin polivalen melawan pseudorabies dan penyakit lainnya. Virus rekombinan rPRVTJ-delgE/gI/TK-E2 dapat digunakan untuk mengembangkan vaksin bivalen melawan virus CSF dan PRV. Kemudian, tim peneliti selanjutnya memverifikasi kemungkinan penyiapan vaksin trivalen, untuk kombinasi proteksi terhadap CSF, PRV dan Porcine Circovirus tipe 2.

Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa virus Porcine Reproductive and respiratory Syndrome (PRRS) juga dapat digunakan sebagai vektor vaksin. Hasilnya menunjukkan bahwa virus rekombinan rPRRSV-E2 dapat ditransmisikan secara stabil setidaknya 25 kali dalam sel MARC-145. Injeksi vaksin rPRRSV-E2 intramuskular dosis tunggal dapat melindungi anak babi dari tantangan mematikan yang sangat patogen dari virus HP-PRRS dan CSF. Durasi imun bertahan sampai 5 bulan dan antibodi induk (MDA) yang sudah ada sebelumnya tidak  mempengaruhi efek kekebalan dari vaksin rPRRSV-E2.

Virus cacar pada babi (Swine Pox Virus) memiliki kapasitas pengemasan yang kuat untuk DNA rekombinan dan bisa mengkodekan sejumlah besar protein rekombinan yang dapat menginduksi respon imun serta dapat digunakan untuk mengembangkan vaksin rekombinan. Ekspresi protein CSFV E2 dalam virus cacar babi memberikan imunogenisitas pada babi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rSPV-E2 dapat menginduksi respon imun humoral dan seluler serta melindungi babi dari viremia. Ini juga termasuk calon vaksin yang menjanjikan.

Recombinant Newcastle disease virus (rNDV) telah terbukti menjadi vektor yang mengekspresikan gen asing dari virus hewan.  Recombinant Newcastle disease virus (rNDV) dipakai untuk mengekspresikan protein E2 dan Erns dari CSF dalam kultur sel dan embrio ayam. Vaksin rNDV-E2 dan rNDV-Erns menginduksi antibodi pada babi dengan vaksinasi intranasal, dan uji ELISA berdasarkan protein E2 dan Erns yang diekspresikan oleh rNDV dapat digunakan untuk menyaring infeksi CSFV dan membedakan babi yang terinfeksi CSFV dari babi yang divaksinasi.

Dalam penelitian lain, potensi galur C sebagai vektor vaksin virus sedang dievaluasi. Antibodi terhadap CSFV dan PCV terdeteksi pada kelinci yang diinokulasi dengan rHCLV-uspCap dan rHCLV-pspCap. Sebaliknya, hanya antibodi CSFV yang terdeteksi pada kelinci yang divaksin dengan rHCLV-2ACap, dan tidak ada antibodi anti-Cap.

2.3 Vaksin Sub unit
Vaksin CSF strain C adalah vaksin hidup klasik, tetapi dengan meningkatnya kompleksitas lingkungan perkembangbiakan di Cina, cacat dan kekurangannya seperti kuantifikasi antigen yang sulit, gangguan serius antibodi pada induk, toleransi kekebalan, dan ketidakmampuan untuk membedakan diagnosis telah menjadi semakin terlihat. Rekayasa genetik subunit vaksin adalah solusi yang baik untuk masalah ini, dengan tingkat antibodi yang tinggi, identifikasi yang mudah, dan keseragaman antibodi yang baik, yang merupakan satu-satunya cara untuk memberantas virus CSF di masa depan.

Vaksin sub unit mengacu pada jenis vaksin baru di mana urutan asam nukleat dari antigen yang dilestarikan dari mikroorganisme patogen dikloning menjadi bakteri atau sel melalui rekayasa genetika. Protein antigen diekspresikan secara efisien dan digunakan dalam kombinasi dengan adjuvant vaksin. E2, protein struktural virus CSF, memiliki karakteristik antigenik yang baik dan terkait dengan menginduksi tubuh untuk menghasilkan antibodi, yang telah banyak digunakan untuk mengembangkan vaksin subunit, dan dapat mewujudkan strategi DIVA untuk antibodi Erns atau NS3.

Kesimpulan

Dalam beberapa tahun terakhir, karakteristik epidemi, gejala klinis, dan perubahan patologis CSF telah berubah secara bertahap, ditandai dengan morbiditas dan mortalitas yang rendah, infeksi resesif, infeksi campuran, dan epidemi regional sporadis. Perubahan ini sangat membatasi perkembangan industri babi di Cina dan membawa tantangan yang signifikan terhadap pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan CSF dan juga ASF, dimana gejala klinis yang muncul sangat mirip.

Untuk waktu yang lama, vaksinasi skala besar dari vaksin hidup yang dilemahkan secara efektif mengendalikan penyebaran CSF. Namun, karena kurangnya penanda serum yang cocok untuk vaksin hidup yang dilemahkan, sulit untuk membedakan antara hewan yang terinfeksi dan hewan yang divaksinasi, yang menimbulkan kesulitan untuk pemberantasan CSF.

Dalam beberapa tahun terakhir, berbagai lembaga penelitian ilmiah telah mencoba mengeksplorasi kemungkinan vaksin penanda CSF dan telah membuat kemajuan yang baik. Vaksin DIVA yang aman dan efisien dikombinasikan dengan teknik diagnostik yang akurat dan langkah-langkah biosafety diharapkan dapat mengendalikan dan memberantas CSF dengan lebih baik. Ketika virus CSF sudah terkendali dengan vaksin yang baik, maka fokus penanganan terhadap ASF diharapkan juga lebih baik.

Referensi :

  1. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC9026404/ The Development of Classical Swine Fever Marker Vaccine in Recent Years
  2. https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/34066376/ Early and Solid Protection Afforded by the Thiverval Vaccine Provides Novel Vaccination Alternatives Against Classical Swine Fever Virus
Gangguan Reproduksi pada Babi

Gangguan Reproduksi pada Babi

Memelihara ternak babi tentunya tidak lepas dari tantangan penyakit. Jika kita adalah peternak breeding, maka gangguan reproduksi menjadi kendala yang paling utama karena target untuk menghasilkan keturunan akan terkoreksi jika ada penyakit yang tidak tertangani dengan baik. Bagaimana cara yang mudah untuk mengevaluasi performa reproduksi kandang kita? Apa saja  parameter yang harus kita evaluasi?

https://www.researchgate.net/publication/263541549_Reproductive_Diseases_in_Sows_Sus_scrofa_domestica_A_Review

Berikut adalah perhitungan sederhana yang bisa menjadi bahan evaluasi kita, apakah breeding kita sudah optimal atau masih bisa dikembangkan lagi.

Potensi reproduksi induk babi yang ideal dihitung adalah 31,2 ekor anak babi yang disapih per tahun, dengan perhitungan sbb :

Jika lama kebuntingan 114 hari, lama menyusui = 21 hari, dan re-breed 5 hari maka total waktu yang diperlukan adalah 140 hari.

Dalam setahun maka dihitung 365 hari / 140 = 2,6 litter/tahun, artinya dalam 1 tahun induk melahirkan 2x dan jalan bunting 1x.

Asumsi per induk melahirkan anak 12 ekor, maka potensi jumlah anak babi yang disapih dalam setahun adalah 2,6 x 12 babi/litter = 31,2 ekor.

Di Indonesia, mungkin saat ini kita tidak terlampau sulit menemukan induk dengan jumlah anak yang banyak pada peternakan komersial, tetapi di level backyard farm relatif sulit. Hanya saja variabel untuk bisa selamat sampai panen cukup banyak, baik itu kendala teknis ataupun non teknis.

https://www.researchgate.net/publication/263541549_Reproductive_Diseases_in_Sows_Sus_scrofa_domestica_A_Review

Bagan diatas adalah gambaran mengenai penyebab gangguan reproduksi yang berpotensi mengganggu breeding farm kita. Berikut adalah beberapa kasus reproduksi akan kita sharingkan dan yang harus kita perhatikan agar performa reproduksi kandang kita tetap baik :

Porcine Reproductive and Resipratory Syndrome (PRRS)

Virus PRRS adalah virus RNA berselubung dalam genus Arterivirus, diklasifikasikan dalam keluarga virus, Arteriviridae. Ada US strain dan EU strain yang saat ini bersirkulasi, dimana ada perbedaan genetik dan antigenik yang signifikan antara isolat ini. Keragaman genetik dan antigenik antara isolat ini, bahkan di dalam suatu negara tetap menjadi tantangan berkelanjutan dalam pengendaliannya. HP PRRS yang berkembang di Asia adalah turunan dari US strain yang lebih ganas.

https://www.researchgate.net/publication/263541549_Reproductive_Diseases_in_Sows_Sus_scrofa_domestica_A_Review

PRRS mungkin saat ini merupakan penyakit babi yang paling penting dalam setengah abad terakhir. Pengujian serologis telah mengungkapkan ada banyak kawanan yang terinfeksi di mana tanda-tandanya tidak terlihat (subklinis). Gejala klinis yang teramati umumnya bervariasi karena  dipengaruhi oleh virulensi virus, tahapan infeksi (apakah itu infeksi awal atau berkelanjutan – endemik dengan herd immunity), kelompok usia yang terkena, ada tidaknya gangguan penyakit lain serta ukuran kawanan dan praktik manajemen.

Gejala umum yang nampak pada gilt, induk betina dan jantan adalah anoreksia, demam, lesu, depresi, dan mungkin gangguan pernapasan atau muntah. Sianosis ringan pada telinga, perut dan vulva juga bisa teramati pada beberapa kasus. Gejala reproduksi yang patut kita curigai antara lain adalah penurunan jumlah induk yang mengandung atau beranak, peningkatan kelahiran prematur, aborsi di fase akhir kebuntingan, anak babi yang lahir mati atau lemah, dan mumifikasi fetus . Kematian anak sebelum disapih relatif tinggi. Babi menyusui mungkin mengalami dispnea (thumping).

Periode tanda-tanda reproduksi bervariasi menurut ukuran kawanan tetapi biasanya terjadi dalam 2 – 3 bulan, dan proses perbaikan performa relatif lambat sehingga menjadi sebuah kerugian besar bagi peternak. Jadi sangat penting untuk kita mengetahui status kesehatan calon induk sebelum didatangkan dalam kawanan di peternakan kita, karena jika kita lalai maka resiko penularabn dan shedding virus menjadi bahaya yang sangat merugikan. Kualitas semen pejantan umumnya juga bisa terpengaruh dan bisa menjadi sumber penularan ke induk betina yang dikawini.

Anak babi yang terkena PRRS, umumnya akan menunjukkan demam, depresi, lesu, kerdil karena penyakit sistemik dan pneumonia. Gangguan pernafasan lebih mendominasi kejadian pada anak babi, seperti bersin, demam dan lesu, dispnea dimana kejadiannya akan memuncak dalam 4-10  minggu. Selain itu, angka kematian/mortalitas pasca sapih sering meningkat secara nyata, terutama jika terjadi outbreak dengan galur virulen atau terjadinya infeksi bersamaan dan diikuti infeksi sekunder. Baca juga : PRRS pada Babi

Porcine Circovirus

Porcine circovirus tipe 2 atau PCV2 adalah virus DNA yang sangat kecil yang menginfeksi babi. Infeksi PCV2 tersebar luas dan pada dasarnya semua kawanan babi terinfeksi PCV2. Manifestasi dari PCV2 di lapangan meliputi infeksi PCV2 sistemik, pneumonia terkait PCV2, enteritis terkait PCV2, kegagalan reproduksi terkait PCV2, dan Porcine Sindrom Dermatitis dan Nefropati (PDNS).

Penyakit PCV2 umumnya akan menyebabkan berbagai kondisi klinis termasuk penyakit reproduksi terkait PCV2 (PCV2-RD) yang ditandai dengan aborsi dan mumifikasi. Diagnosa yang bisa dilakukan secara umum meliputi adanya gangguan reproduksi, temuan histopatologi miokarditis, dan deteksi viral load sedang – tinggi dalam jaringan jantung fetus. Kebutuhan untuk mengidentifikasi lesi histopatologis pada jaringan jantung fetus tampaknya tidak valid atau berlebihan dalam mengkonfirmasi diagnosis PCV2-RD, setidaknya pada tingkat janin individu. Sedangkan viral load tertinggi (1012 GE/g jaringan) terdeteksi pada babi yang autolisis atau mumifikasi umumnya teridentifikasi sebagai PCV2d, meskipun deteksi bersamaan PCV2d + a dan PCV2d + b juga terjadi.

Baca juga : Porcine Circovirus

Parvovirus
Parvovirus ini telah menginfeksi kawanan babi di seluruh dunia. Gejala Klinis ditandai dengan adanya kematian embrio dan janin pada induk babi. Selain itu tertundanya estrus atau anestrus (bunting semu), jumlah anakan yang sedikit, mumifikasi fetus juga harus kita curigai sebagai tanda utama infeksi parvovirus. Aborsi bisa terjadi tetapi jarang. Parvovirus umumnya menyerang induk muda atau parity 1.

Pengendalian yang bisa kita upayakan adalah pemilihan calon induk/gilt yang baik. Kita harus pastikan status kesehatannya sebelum kita masukkan dalam kawanan. Hal yang umumnya dilakukan adalah dengan memberikan 2x vaksin terhadap Parvovirus (3 dan 6 mgg sebelum kawin) pada periode aklimatisasi. Kita juga bisa melakukan uji laboratorium dengan pengambilan sampel darah saat umur 6,5 bulan untuk memastikan gilt yang akan kita pakai sehat.

Enterovirus
Ada minimal 10 serotipe dari Porcine Enterovirus ini dan penyakit ini umum ditemukan dalam kawanan ternak babi. Istilah “SMEDI” (stillbirths, mummies, embryonic death and infertility) – lahir mati, mumifikasi, kematian embrio dan infertilitas adalah akronim yang pertama kali digunakan dalam 1965 untuk menggambarkan sekelompok virus yang menyebabkan sindrom reproduksi pada babi.

Enterovirus menyebabkan gejala klinis yang mirip dengan parvovirus. 90% masalah reproduksi pada gilt dan babi betina dilaporkan sebagai akibat parvovirus. Oleh karena itu, uji laboratorium ini sangat penting untuk membedakan patogen yang masuk. Idealnya ketika ada diagnosa parvovirus, ada baiknya untuk juga melakukan uji terhadap enterovirus.

Enterovirus dapat dikendalikan dengan mencampurkan babi jantan/betina pengganti agar mereka berinteraksi, atau pemberian tantangan dengan memberikan feses selama 30 hari sebelum proses perkawinan. Proses ini diharapkan mampu untuk membangun kekebalan terhadap setiap serotipe baru enterovirus yang mungkin masuk ke dalam kawanan melalui hewan pengganti. Pastikan kita melakukan monitoring yang ketat untuk menghindari resiko yang tidak diinginkan.

Leptospirosis
Leptospirosis disebabkan oleh bakteri genus spirochete. Setidaknya ada 6 spesies telah
terlibat dalam masalah reproduksi pada babi di USA, yaitu L. pomona, L. grippotyphosa, L. canicola, L. icterohemorrhagiae, L. hardjo, dan L. bratislava. Gejala klinis yang umumnya teramati adalah aborsi, lahir mati dan anak babi yang lemah. Secara  umum, tanda-tanda ini terjadi pada akhir kebuntingan atau pada waktu farrowing.

https://www.researchgate.net/publication/263541549_Reproductive_Diseases_in_Sows_Sus_scrofa_domestica_A_Review

Leptospirosis didiagnosis dengan tes darah dari induk babi pada saat masalah reproduksi atau identifikasi/kultur organisme dari anak babi yang terkena di laboratorium. Upaya pencegahan yang dilakukan adalah pemberian vaksinasi pada gilt, induk dan pejantan 3 -4 minggu sebelum gejala klinis muncul. Secara historis, vaksin bakterin yg berisi 5 species Leptospira telah digunakan, dan single banterin yang mengandung L. bratislava secara komersial juga tersedia. Pastikan anda berkonsultasi dengan dokter hewan setempat untuk memastikan vaksin mana yang sebaiknya digunakan.

Leptospirosis dapat diobati dengan menyuntikkan dihydrostreptomycin di bawah pengawasan dokter hewan. Pemberian chlortetracycline pada level 400 gram/ton (atau 1 gram per induk per hari) selama 10 hari juga metode yang efektif untuk mengobati leptospirosis. Pelaksanaan terapi pengobatan ini sebaiknya dikoordinasikan dengan vaksinasi agar bisa memberikan efek yang terbaik.

Leptospirosis ada resiko menular ke manusia (zoonosis) zoonosis sehingga memberikan implikasi terhadap kesehatan masyarakat. Berbagai spesies Leptospira menyebabkan Weil’s Disease (bentuk parah leptospirosis dan penyakit lainnya pada manusia). Oleh karena itu, tindakan pencegahan dengan program sanitasi yang tepat harus dilakukan oleh personel yang bekerja di peternakan ataupun area yang terdapat kawanan babi untuk meminimalkan resiko terinfeksi.

Brucellosis
Brucellosis adalah penyakit menular pada babi yang disebabkan oleh bakteri Brucella suis.
Brucellosis juga beresiko menular ke manusia karena dapat menyebabkan demam undulan pada manusia yang ditandai dengan demam intermiten dan berkeringat.

Gejala klinis yang bisa teramati adalah aborsi, infertilitas, orchitis (radang testis), kelumpuhan posterior dan kepincangan. Kejadian aborsi bisa menyerang kapan saja selama periode kebuntingan, berbeda dengan leptospirosis yang mengakibatkan aborsi pada fase akhir.

Pseudorabies (PRV)
Pseudorabies sering juga kita sebut dengan Aujeszky’s disease yang disebabkan oleh virus herpes yang di USA sejak 1961. Gejala klinisnya adalah air liur berlebihan, demam, depresi dan kejang-kejang. Kematian tinggi sampai > 80% bisa terjadi anak babi < 3 minggu, sedangkan pada babi dewasa hanya sekitar 2%.

https://www.researchgate.net/publication/263541549_Reproductive_Diseases_in_Sows_Sus_scrofa_domestica_A_Review

Untuk induk betina bunting dan babi yang terinfeksi PRV umumnya akan mengalami kematian embrio, aborsi, dan kelahiran maserasi (janin melunak dan membusuk) dan lahir mati. Jika terjadi kasus dilapangan, biasanya angka konsepsi cinderung lebih rendah bahkan terjadi beberapa bulan setelah wabah dalam kawanan.

Pseudorabies bisa dikendalikan vaksinasi di breeding setiap 6 bulan atau 3 – 4 minggu sebelum farrowing. Pastikan untuk anda berkonsultasi dengan dokter hewan untuk menyusun program pengendalian penyakit yang lebih baik.

Classical Swine Fever (CSF)
Classical swine fever atau lebih kita kenal dengan nama Hog Cholera adalah penyakit virus yang sampai saat ini masih menjadi masalah disebagian besar peternakan babi di dunia. USA sudah free CSF sejak 1976.

https://www.researchgate.net/publication/263541549_Reproductive_Diseases_in_Sows_Sus_scrofa_domestica_A_Review

Gejala klinis CSF adalah babi terlihat kesakitan, kurang nafsu makan, depresi, lesu, demam 106°F, konjungtivitis (kemerahan pada mata) dengan kelopak mata saling menempel, anak babi cinderung menumpuk dan meringkuk, sianosis atau warna kebiruan pada kulit di perut. Dari aspek reproduksi, serangan CSF dapat mengakibatkan aborsi, mumifikasi, malformasi, lahir mati, babi lemah/gemetar.

Program vaksinasi sangat disarankan untuk area yang memang endemis dengan SCF. Diagnosa laboratorium sangat penting untuk memastikan penyebab penyakit, terlebih saat ini secara gejala klinis sanga CSF mirip dengen African Swine Fever (ASF) dan hanya bisa dibedakan dengan uji laboratorium. Baca juga : Classical Swine Fever

Swine Infuenza Virus (SIV)
Swine Flu atau flu babi disebabkan oleh infeksi virus influenza tipe A. Gejala klinis yang teramati adalah gangguan pernapasan, namun demikian SIV juga dilaporkan menjadi penyebab kasus reproduksi pada babi.

Bentuk pernapasan SIV ditandai dengan serangan paroksismal yang keras/sangat dalam berupa  batuk dan sesak nafas, atau napas tersengal-sengal. Kelelahan ekstrim dan kehilangan nafsu makan umum teramati juga, dan bisa disertai dengan demam sampai 108°F.

Masalah reproduksi yang terkait dengan SIV utamanya adalah jumlah anak sedikit, laju pertumbuhan lambat, kerdilan dan kematian selama masa menyusui dan setelah disapih. Induk babi dan gilt yang terinfeksi juga dapat mengalami keguguran pada akhir kebuntingan dan resorpsi embrio. Dahulu, SIV kebanyakan terjadi saat cuaca dingin mendekati musim gugur, tetapi sekarang kita bisa menemukan kasus sepanjang tahun.

Tidak ada pengobatan untuk bentuk pernapasan dari infeksi SIV, namun pemberian antibakteri
berguna sebagai pengobatan untuk infeksi bakteri sekunder. Program vaksinasi sebaiknya dipertimbangkan mengingat kejadian SIV saat ini bisa sepanjang tahun. Seleksi calon induk yang baik juga membantu dalam upaya pengendalian penyakit ini. Baca juga : Swine influenza pada Babi

Ensephalomyocarditis (EMCV)
Encephalomyocarditis virus adalah penyebab lahir mati, mumi dan maserasi fetus pada ternak babi. Selain itu, EMCV juga menyebabkan lesi jantung dan kematian mendadak pada anak babi, biasanya hingga usia 21 hari.

EMCV telah ditemukan di Australia dan berhasil diisolasi di USA dari kasus lapangan oleh para peneliti di University of Minnesota. Jika tidak ada diagnosis penyebab lain dari kejadian lahir mati, mumi dan bersamaan dengan kematian pada anak babi yang menyusui, maka EMCV harus dipertimbangkan.

Streptococcus suis
Streptococcus suis ada sekitar 29 serotipe bakteri sekarang. Gejala klinis yang bisa diamati adalah keputihan pada gilt atau babi betina dari sebelum kawin sampai setelah beranak. Biasanya, keputihan ini akan banyak pada 1 hari setelah melahirkan. Karena kejadian ini, angka konsepsi bisa turun 50-60%. Anak babi bisa terinfeksi saat proses kelahiran dimana vagina induk terdapat kolonisasi S.suis.

Induk babi dan gilt yang mengalami gejala ini biasanya ditreatment dengan antibiotik golongan penisilin. Untuk program pengendalian, kita bisa lakukan isolasi Streptococcus suis yang spesifik  untuk kemudian lakukan vaksinasi yang sesuai dengan tantangan di lapangan. Gilt idealnya  berikan vaksinasi 2x, yaitu 5 dan 2 minggu sebelum dikawinkan.

Steptococcus suis juga bisa menyebabkan meningitis dan gangguan pendengaran pada manusia. Oleh karena itu, pekerja di lingkungan peternakan dan yang bersentuhan dengan daging babi sebaiknya waspada, selalu menjaga kebersihan dan sanitasi untuk meminimalkan resiko. Silahkan baca juga : Streptococcus suis, bahayakah?

Erysipelas
Erysipelas disebabkan oleh bakteri Erysipelothrix rhusiopathiae. Gejala klinis yang teramati adalah adanya aborsi yang dapat terjadi pada induk babi dan gilt yang terkontaminasi oleh bakteri ini. Kondisi pada umumnya kelihatan kesakitan dan demam tinggi 108°F. Lesi khas dari erysipelas adalah gambaran berbentuk berlian, merah muda – ungu tua pada kulit. Kadang-kadang lesinya juga cukup besar dan bernoda (bercak atau bintik-bintik).

Suntikan dengan preparat penisilin bisa diberikan per individu untuk mengobati kasus ini, kemudian kita bisa lakukan pengobatan massal dengan antibiotik golongan tetrasiklin via air minum selama 5 hari setelah tidak ada induk babi atau gilt sakit.

Parasit
Infestasi tungau kudis Sarcoptic bisa menyebabkan anemia pada induk babi. Anemia ini jika tidak ditangani dengan baik akan menyebabkan penurunan tingkat konsepsi. Oleh karena itu, lakukan juga program pengendalian parasit dengan baik agar kinerja reproduksi di peternakan babi kita bisa dioptimalkan.

Ringkasan
Penyebab gangguan reproduksi pada breeding peternakan babi yang paling dominan adalah adanya infeksi karena PRRS, PCV2, Parvovirus, Pseudorabies, Enterovirus, dan Leptospirosis. Penyebab infeksi lain yang kurang umum dari masalah reproduksi adalah Brucellosis, CSF, SIV,  Encephalomyocarditis, Streptococcus suis, Erysipelas dan gangguan parasit.

Produsen babi harus memberikan prioritas tertinggi untuk mengendalikan masalah reproduksi. hal ini tentunya membutuhkan peran serta dari tenaga ahli baik dokter hewan ataupun manager farm untuk saling support. Diagnosa laboratorium akan sangat membantu untuk diagnosa, sehingga kita bisa melakukan tindakan pencegahan yang diperlukan baik itu vaksinasi, biosekuriti ataupun perbaikna management lainnya. Baca juga : Kontrol Penyakit pada Ternak Babi

Referensi :

  1. https://digitalcommons.unl.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=2375&context=extensionhist#:~:text=The%20most%20common%20infectious%20causes,streptococcus%20suis%2C%20erysipelas%20and%20parasites.
  2. https://www.researchgate.net/publication/263541549_Reproductive_Diseases_in_Sows_Sus_scrofa_domestica_A_Review
  3. https://vetmed.iastate.edu/vdpam/FSVD/swine/index-diseases/porcine-reproductive
  4. https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S1090023321000551
error: Content is protected !!