Tantangan terbesar dalam peternakan adalah bagaimana kita bisa menjalankan usaha dengan baik, dengan minimal resiko dan mengoptimalkan keuntungan. Pengendalian penyakit menjadi hal yang krusial, mengingat ternak tidak akan menghasilkan performance terbaik jika terjadi masalah. Jika kita bergerak di usaha pembibitan atau sapi perah, penyakit pada organ reproduksi menjadi hal yang harus ditangani dengan baik.
Gangguan reproduksi pada sapi biasanya berkembang secara kronis sehingga terkadang tidak disadari. Hewan yang terinfeksi biasanya tidak mati, dalam kebanyakan kasus terutama pada pejantan akan nampak tetap sehat. Beberapa hewan tidak pernah menunjukkan gejala penyakit, namun tetap menjadi ancaman utama bagi kawanan lainnya karena mereka membawa organisme penyakit. Jika hal ini tidak terdeteksi sedini mungkin, maka kerugian karena waktu dan biaya pakan sudah pasti cukup besar.
Untuk mencegah penyakit reproduksi, produsen/peternak harus selalu waspada dan idealnya mempraktekkan manajemen yang baik seperti pengadaan ruang isolasi sapi yang baru didatangkan dan melakukan vaksinasi bila diperlukan. Tenaga dokter hewan profesional juga sebaiknya juga ada untuk menjaga status kesehatan ternak yang kita pelihara.
Sebelum kita membahas tentang penyakit reproduksi, ada baiknya kita juga sedikit mengingat kembali apa saja yang harus kita kuasai terkait reproduksi pada sapi. Tingkat fertitas yang buruk dalam suatu farm akan menghasilkan produktivitas yang lebih rendah, peningkatan culling rate, keturunan yang kurang baik dan tentunya pada akhirnya menggerus keuntungan peternak.
Apapun sistem peternakannya, manajemen reproduksi perlu efisien sehingga sapi mempunyai level kesuburan yang baik, dan segera bunting dengan perlakuan layanan kawin/inseminasi buatan yang seminimal mungkin. Manajemen reproduksi tidak hanya melibatkan sapi indukan ataupun sapi perah dewasa saja, tetapi juga sudah dimulai dari ketika sapi dara lahir. Proses mencetak bibit unggul dan pemeliharaan sapi dara yang berkualitas sangat penting untuk mendapatkan sapi yang dewasa kelamin pada umur 13 bulan, bunting umur 15 bulan dan melahirkan pada usia 24 bulan. Jadi pada setiap tahap kehidupan sapi, kita memerlukan rencana pengelolaan yang efektif untuk memaksimalkan kesuburan yang akhirnya akan mempengaruhi performa reproduksi dan tentunya jumlah air susu jika kita bicara uasaha sapi perah.
https://www.nadis.org.uk/disease-a-z/cattle/fertility-in-dairy-herds/part-1-the-basics-of-reproduction/
Siklus berahi
Sapi adalah poliestrus, yang berarti mereka menjadi memiliki siklus birahi sepanjang tahun secara berkala. Hormon utama dalam reproduksi adalah progesteron dan estrogen. Progesteron adalah hormon kehamilan dan diproduksi di ovarium oleh corpus luteum (CL), sedangkan estrogen adalah hormon utama yang bertanggung jawab untuk munculnya perilaku estrus (3M – abang, abuh, anget) yang diproduksi di ovarium oleh folikel tempat sel telur berasal.
Sapi menjadi estrus ketika progesteron turun dan estrogen naik. Rata-rata siklus estrus sapi adalah setiap 21-22 hari (atau berkisar 18-26 hari). Heifer atau sapi dara cenderung memiliki interval yang lebih pendek, tetapi hanya sekitar satu hari atau lebih. Sapi dengan interval di luar rentang 18-26 hari kemungkinan besar tidak normal dan kita harus melakukan evaluasi detail sebelum memutuskan untuk tahap selanjutnya dalam proses breeding. Jika kondisi tidak membaik, biasanya sapi ini akan dijadikan untuk penggemukan, bukan sebagai bibit.
Masa pubertas
Usia di mana sapi dara mencapai pubertas tergantung pada berat badan mereka. Sapi dara yang lebih ringan mulai siklus lebih lambat daripada hewan yang lebih berat. Jadi, untuk bisa memaksimalkan kesuburan sapi, kita membutuhkan penambahan berat badan yang baik dan konsisten selama masa pemeliharaan
Untuk membuat sapi dara bunting pada umur 15 bulan dan melahirkan pada umur 2 tahun, mereka harus mulai dewasa kelamin pada umur 12-13 bulan. Kita bisa mulai mengawinkan sapi dara pada siklus estrus mereka yang ke-2 atau 3 kali idealnya untuk memastikan kesiapan organ reproduksinya.
Untuk memastikan bahwa semua sapi dara bisa mengalami dewasa kelamin pada 12-13 bulan, sapi dara harus memiliki berat sekitar 50% dari berat badan dewasa yang diharapkan pada saat berumur 12 bulan dan bertambah sekitar 10% lagi saat 15 bulan. Misalkan sapi Holstein yang berat dewasanya bisa sampai 600 kg, maka idealnya harus memiliki berat minimal 300 kg pada umur 12 bulan dan menambah 60 kg lagi sebelum 15 bulan. Mengukur bobot sapi dara dan menetapkan target bobot hidup merupakan bagian penting dari manajemen kesuburan sapi.
Post Partus
Setelah melahirkan, sistem reproduksi perlu memperbaiki dan memulihkan dirinya sendiri sebelum siklus estrusnya normal kembali. Untuk ternak sapi, perah pada khususnya, kebanyakan siklus normal akan berlangsung kembali dalam 40 hari setelah melahirkan. Kegagalan untuk melanjutkan siklus normal setelah melahirkan adalah salah satu penyebab utama dari fertilitas yang buruk. Hal ini umumnya bisa nampak dari tertundanya estrus 80-100 hari setelah melahirkan, atau sapi bisa mulai estrus 20 hari setelah melahirkan tetapi kemudian berhenti. Jadi, dampak utama dari kondisi delay estrus ini adalah bahwa sapi tidak bisa dikawinkan dan interval antara saat melahirkan dan estrus kembali menjadi lebih lama sehingga angka kebuntingan menjadi jauh lebih rendah.
Faktor penyakit dan defisiensi nutrisi juga mempengaruhi seberapa cepat kembalinya siklus estrus normal. Untuk pubertas pada sapi dara, salah satu faktor penting yang mempengaruhi kembalinya siklus adalah berat badan. Sapi yang kehilangan berat badan berlebihan pasca melahirkan, umumnya memiliki siklus abnormal dan untuk mencapai kebuntingan selanjutnya juga relatif lebih sulit/lambat. Oleh karena itu, upaya untuk mengembalikan body condition score (BCS) dan meminimalkan kehilangan berat badan induk pasca melahirkan merupakan bagian penting dari pengelolaan fertilitas pada sapi laktasi, terutama induk muda yang baru mengalami masa laktasi awal. Kelompok sapi ini harus menghadapi pemerahan untuk pertama kalinya, mempertahankan pertumbuhan tubuh dan menyesuaikan diri dengan kondisi baru pada saat yang bersamaan sehingga kita sebagai peternak harus memberikan perhatian ekstra.
Kesuburan optimal terlihat pada sapi dengan BCS rata-rata 2,5 saat melahirkan. Dalam kelompok kandang breeding, induk laktasi dengan kondisi BCS > 3 tidak boleh lebih dari 15%, sedangkan BCS < 2 harus dibawah 15% saat melahirkan agar performa reproduksi lebih terjaga. Cara terbaik adalah dengan mengkondisikan sapi sebelum pengeringan dan kemudian mengelola sapi selama periode kering untuk memenuhi target BCS. Jika masalah utamanya adalah kondisi yang buruk, maka kita harus melakukan evaluasi kandungan nutrisi agar pakan yang kita berikan sesuai dengan kebutuhan induk. Pemberian pakan tambahan pada akhir masa laktasi adalah waktu yang paling ekonomis dan efektif untuk mencapai kondisi BCS yang ideal sebelum dikawinkan kembali.
https://cdn-ext.agnet.tamu.edu/wp-content/uploads/2018/12/EL-5223-reproductive-diseases-in-cattle.pdf
Setelah kita sedikit refresh mengenai siklus reproduksi normal sapi dan kendala teknis yang mungkin muncul, maka saat ini kita juga akan belajar tentang penyakit reproduksi pada sapi. Gangguan reproduksi sapi yang paling umum adalah brucellosis, leptospirosis, infectiousi bovine rhinotracheitis (IBR) dan bovine viral diarhea (BVD), vibriosis, serta trikomoniasis.
Brucellosis
Brucellosis masih menyebabkan aborsi dan infertilitas yang mengganggu di kalangan pengusaha pembibitan sapi atau sapi perah. Penting untuk dipahami bahwa tidak semua sapi yang terinfeksi brucellosis akan mengalami aborsi, menghasilkan anak sapi yang lemah, mempertahankan plasenta atau mengalami kesulitan untuk berkembang biak kembali. Karena bisa terjadi seekor sapi yang terpapar brucellosis tampak normal. Lalu apa yang harus kita alamti?
Setiap kali induk melahirkan atau mengeluarkan cairan kelamin, jutaan organisme brucella mungkin ada di permukaan plasenta, anak sapi, atau kotorannya. Kotoran yang dihasilkan tersebut kemudian mencemari padang rumput, peralatan kadang dan lingkungan tempat mereka berada, termasuk mungkin bahan pakan lainnya, seperti jerami. Hal inilah yang menjadi biang malapetakan di suatu peternakan yang tentunya mengancam ternak lainnya. Jika hewan dalam kawanan ada yang dalam kondisi lemah/rentan dan terpapar bakteri ini, kemungkinan besar mereka akan terinfeksi juga.
Meskipun infeksi biasanya terjadi melalui saluran pencernaan, hewan yang rentan juga dapat terpapar bakteri melalui kulit atau mata. Pakan, tempat tidur, air atau tempat yang terkontaminasi dapat tetap infektif selama beberapa hari hingga beberapa minggu, tergantung pada kondisi lingkungan. Infeksi menyebar terutama ketika ternak yang terinfeksi dimasukkan ke dalam kawanan, baik melalui pembelian individu/kelompok baru atau ketika mereka berada di padang rumput dengan ternak dengan gangguan subklinis.
Untuk menjaga kawanan dari brucellosis, maka hal yang perlu dilakukan adalah memelihara kawanan secara eksklusif dengan memproduksi sendiri sapi dara untuk menggantikan sapi-sapi tua yang akan diafkir. Jika hal ini belum bisa dilakukan hal ini, maka sangat disarankan untuk kita membeli dari sumber yang dapat dipercaya sehingga mengurangi resiko kita memasukkan patogen penyakit dari lokasi lain. Jika harus membeli sapi dara pengganti, anda harus mengetahui reputasi peternakan/penjualnya. Pastikan bahwa semua ternak yang Anda beli berasal dari kawanan yang bersih, manajemen yang baik dan program vaksinnya jelas.
Apa lagi yang harus kita lakukan? Isolasi bibit pembibitan selama 30-60 hari setelah tiba di lokasi peternakan kita, dimonitor status kesehatannya dan uji ulang pada akhir periode isolasi sebelum dimasukkan ke dalam kawanan. Repot ya? Ya memang, tetapi jika melihat ini sebagai proses membangun kawanan yang baik, maka ini adalah investasi/upaya awal yang akan mempengaruhi tingkat keberhasilan usaha pembibitan anda. Kelangsungan usaha peternakan dalam jangka panjang dipertaruhkan dari upaya kita membangun kawanan yang berkualitas. Pada saat fase isolasi ini, kita juga harus melakukan uji guna melihat status kesehatan ternak baru untuk potensi penyakit lainnya. Jadi peran dokter hewan sangat penting disini. Pada umumnya, peternak melakukan program vaksinasi sesuai tantangan yang sudah ada di kandang. Semua sapi dara berusia 4-12 bulan harus sudah mendapatkan program yang lengkap. Jika kita berbicara dalam skala industri, sapi harus diidentifikasi dengan benar. Ear tag sistem dengan label telinga resmi dan tato di telinga kanan akan lebih memudahkan peternak untuk melihat silsilah dari sapi yang dibeli.
Lalu bagaimana dengan pejantan? Pastikan sapi jantan bebas dari brucellosis dan semua penyakit reproduksi. Meskipun brucellosis jarang menyebar melalui pembiakan, tetapi jika peternak melakukan model pemeliharaan yang diumbar dan kawin alami, maka pejantan yang kita miliki berpotensi terinfeksi dari induk yang bermasalah saat mereka berada di padang umbaran. Jika hal ini terjadi, maka pejantan ini akan berpotensi menularkan ke induk yang lainnya. Gejala yang bisa kita lihat adalah ukuran testis atau skrotum yang membengkak. Jika produsen sudah menggunakan teknik inseminasi buatan (IB), maka sebaiknya juga harus menghindari semen dari pejantan yang terinfeksi brucellosis, karena air mani mereka dapat menjadi sumber penularan.
Leptospirosis
Leptospirosis umumnya bisa menjadi masalah, terutama pada ternak yang tidak divaksinasi di daerah yang endemis. Penyakit ini menyebabkan kasus yang selalu berulang, karena bisa terjadi infeksi rahim, aborsi, mastitis dan kadang-kadang infeksi sistemik. Strain bakteri yang dominan pada sapi adalah Leptospira pomona, Leptospira hardjo dan Leptospira grippotyphosa.
Sama dengan brucellosis, leptospirosis dapat terjadi dalam suatu kawanan tanpa kita sadari karena minimnya gejala klinis yang muncul. Sapi yang dipelihara secara intensif tetapi dengan sanitasi yang buruk mungkin lebih beresiko karena tetesan urin dari sapi yang terinfeksi dapat menginfeksi sapi normal setelah kontak dengan mata atau selaput lendir hidung atau mulut. Penyakit ini mampu menginfeksi lebih banyak ternak setiap hari dan menggangu performa reproduksi breeding kita.
Untuk mencegah leptospirosis, sebaiknya lakukan vaksinasi dengan bakterin yang mengandung 3-5 serotipe setiap 6 bulan, perbaiki sanitasi/kebersihan kadang dan hindari/perbaiki area yang berpotensi air menggenang dan yang tidak kalah penting adalah kontrol vektor. Pengendalian populasi hewan pengerat terutama tikus dari gudang pakan dan lingkungan kandang menjadi faktor penting dalam upaya pengendalian kasus leptospirosis.
IBR dan BVD
Kasus komplek yang melibatkan IBR dan BVD adalah penyakit yang disebabkan oleh virus yang bertanggung jawab atas banyak aborsi dan kemungkinan infeksi pernapasan, lesi “mata merah” dan lesi kaki. Infertilitas sementara dapat terjadi mengikuti kejadian IBR karena vaginitis dan/atau infeksi uterus ringan. Baca juga : Penyakit Pernafasan pada Sapi
Karena penyakit ini sangat kompleks, sebaiknya kita melakukan evaluasi secara detail sebelum melakukan intervensi. Penggunaan vaksin menjadi hal yang penting dalam upaya pengendalian penyakit ini dalam jangka panjang. Aplikasi vaksin diharapkan dilakukan dengan hati-hati, mengingat pada beberapa kejadian, pelaksanaan vaksin disaat yang tidak tepat juga berpotensi menyebabkan aborsi. Pastikan status kesehatan kawanan dalam kondisi baik. Oleh karena itu, sebelum memutuskan untuk melakukan vaksinasi konsultasikan dengan dokter hewan untuk mendapatkan saran tentang prosedur vaksinasi dalam suatu untuk kawanan. Baca juga : Diare pada Sapi
Vibriosis
Vibriosis adalah penyakit kelamin yang menyebabkan kemandulan dan terkadang juga aborsi. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Campylobacter yang hidup di celah-celah kulit pejantan (kulup). Sumber utamanya adalah pejantan yang berumur diatas 4 tahun karena disitulah celah-celah kulit mulai terbentuk dan menjadi tempat persembunyian bakteri ini.
Vibriosis menyebar dari sapi jantan yang terinfeksi ke induk selama proses perkawinan, dan hal itu terus bergulir saling menularkan jika kita tidak menyadarinya. Penyakit ini juga berpotensi ditularkan melalui inseminasi buatan jika tindakan pemeriksaan terhadap semen dan perlakuan untuk pencegahan ini tidak dilakukan. Pejantan yang positif terhadap vibrosis jika yang tidak diobati dapat tetap menjadi pembawa untuk waktu yang lama dan menjadi sumber penularan dalam kawanan.
Vibriosis yang terjadi pada induk dapat menyebabkan endometritis dan mengakibatkan kegagalan proses kebuntingan atau kematian embrio. Induk terkadang masih bisa mengalami kebuntingan dan tidak menunjukkan gejala berahi 21 hari kemudian, namun embrio yang baru terbentuk kemudian mati dan diserap kembali oleh induk. Jika hal ini terjadi, maka induk sapi akan menunjukkan gejala estrus 27-53 hari setelah proses perkawinan, artinya ada keterlambatan dalam siklus estrus normalnya. Aborsi dapat juga terjadi pada akhir masa kebuntingan, tetapi sangat jarang.
Diagnosis untuk penyakit ini relatif sulit. Kita idealnya melakukan identifikasi biakan organisme dari alat kelamin sapi yang terinfeksi, atau dari abomasum janin yang aborsi. Setelah kita mendapatkan konfirmasi bakteri yang menyerang, maka kita bisa melakukan tindakan pencegahan dengan program vaksinasi untuk meningkatkan kekebalan terhadap penyakit vibrosis. Selain itu, kita juga harus melakukan pemeliharaan yang baik terhadap pejantan yang semennya kita koleksi untuk proses inseminasi buatan (IB), mengobati sampai sembuh sebelum semennya kita gunakan kembali yang terinfeksi, dan melakukan pengecekan secara berkala terhadap kualitas semen yang dihasilkan agar performa reproduksi yang dihasilkan baik.
Trikomoniasis
Tenyakit ini disebabkan oleh protozoa, yaitu Trichomonas yang menyebabkan gangguan penyakit kelamin. Gejala yang ditimbulkan meliputi aborsi sesekali dan pyometra (adanya nanah dalam rahim) yang berpotensi mengganggu efisiensi proses perkawinan. Pyometra ini akan berkembang setelah embrio sapi yang berada dalam rahim induk terinfeksi dan mati.
Untuk pengobatan di induk, kita harus melakukan treatment terhadap infeksi rahim sampai bersih dan untuk sementara tidak dikawinkan dahulu sampai benar-benar sehat. Umumnya kan diperlukan sekitar 90 hari istirahat seksual untuk menghilangkan protozoa ini dari rahim. Kita mungkin perlu berhitung jika hal ini terjadi di indukan tua, apakah kita akan mempertahankan atau kita ganti dengan sapi dara.
Vaksinasi juga merupakan pilihan jika memang tersedia dipasaran. Upaya pencegahan yang bisa kita lakukan selain vaksin adalah rutin melakukan uji status kesehatan dari pejantan dan indukan di breeding farm kita. Metode kultur setidaknya 3x dalam interval mingguan. Pemilihan calon induk, pejantan atau semen yang berkualitas juga menjadi screening pertama yang wajib kita lakukan untuk meminimalkan resiko terjadinya infeksi. Air mani beku yang mengandung organisme ini dapat menyebabkan infeksi jika kita gunakan dalam proses IB.
Kesimpulan
Manajemen reproduksi membutuhkan fokus pada semua tahap kehidupan sejak sapi dilahirkan.
Siklus estrus pada sapi adalah keseimbangan antara progesteron dan estrogen, dimana itu akan berulang setiap 21-22 hari sampai akhirnya mereka bunting. Sapi dara diharapkan mulai dewasa kelamin siklus saat umur 12 bulan, kawin umur 15 bulan dan melahirkan saat berumur 24 bulan. Menetapkan dan memenuhi target BCS sangat penting untuk mengoptimalkan performa reproduksi pada sapi, terutama sapi dara sehingga induk bisa segera kembali estrus dan memiliki tingkat kesuburan yang baik. Managemen pengendalian penyakit reproduksi juga menjadi faktor penentu keberhasilan dalam usaha breeding ataupun sapi perah. Pastikan kita mempunyai strategi yang tepat agar peternakan kita bisa memberikan hasil terbaik.
Referensi :