Lumpy skin disease (LSD) adalah penyakit pada sapi dan kerbau yang disebabkan oleh virus capripox. Sejak 2012, LSD telah menyebar dari Afrika dan Timur Tengah ke Eropa tenggara, mempengaruhi negara-negara Anggota Uni Eropa (Yunani dan Bulgaria) dan beberapa negara lain di Balkan. Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE) mendorong anggota di daerah berisiko untuk memulai mengkampanyekan vaksinasi sebelum masuknya virus dan untuk melakukan pelaporan tepat waktu jika ada wabah. Uni Eropa telah menerapkan program vaksinasi dan pemusnahan/depopulasi untuk menghentikan penyebaran penyakit ini.
LSD pertama kali dilaporkan di kawasan Asia dan Pasifik pada tahun 2019 di barat laut Cina, Bangladesh, dan India. Tahun 2020, LSD terus menyebar ke seluruh benua Asia termasuk Bhutan, Hong Kong, Myanmar, Nepal, Taiwan, Vietnam dan Sri Lanka. Tahun 2021 ini, Thailand dan Malaysia juga mengkonfirmasi kasus LSD. Melihat kondisi ini, tentunya Indonesia harus mewaspadai terhadap segala kemungkinan yang bisa terjadi. Webinar tentang LSD juga sudah dilakukan untuk meningkatkan kewaspadaan di kalangan peternak sapi dan kerbau di Indonesia. Resiko penyakit ini berpotensi menimbulkan dampak ekonomi besar karena terganggunya perdagangan ternak dan produk ternak, serta biaya yang terkait dengan pengendalian dan pemberantasan penyakit.
Yuk, kita belajar lebih dalam apa itu Lumpy Skin Disease ini agar bisa menerapkan strategi pencegahan yang baik, sehingga terhindar dari resiko kerugian yang besar.
Sejarah. Lumpy Skin Disease pertama kali ditemukan di Zambia 1929 yangmana awalnya dianggap akibat dari keracunan atau hipersensitivitas terhadap gigitan serangga. Kemudian, tahun 1943 dan 1945 terjadi di Botswana, Zimbabwe dan Afrika Selatan. Kejadian di Afrika Selatan berlangsung sampai tahun 1949 dan mempengaruhi sekitar 8 juta ternak serta menimbulkan kerugian ekonomi yang sangat besar. Penyakit ini kemudian teridentifikasi di Afrika Timur (Kenya 1957 dan Sudan 1972), Afrika Barat tahun 1974 dan juga menyebar ke Somalia 1983. Tahun 1929 – 1986 penyakit ini terbatas di negara Afrika sub-Sahara.
Pada Mei 1988-1989, LSD muncul di Mesir dan kemudian diambil kebijakan untuk melakukan vaksinasi hampir 2 juta sapi dengan vaksin cacar domba. Morbiditas pada kejadian epizootik ini hanya 2% atau sekitar 1449 hewan mati. Pada tahun 1989, LSD juga teridentifikasi di Israel dan kemudian dilakukan depopulasi semua ternak yang terinfeksi. Vaksinasi dilakukan di sekitar area terdampak dan setelah itu tidak ada kasus klinis lebih lanjut yang terjadi. Di Afrika sub-Sahara, LSD sekarang menjadi enzootic di semua negara dan terbukti sulit untuk diberantas.
Penyebab dan gejala klinis. Penyebab LSD adalah virus Capripox, dan berbeda dari virus Orthopox dengan memiliki kisaran inang vertebrata yang sempit. Secara ekonomi, LSD adalah penyakit ternak yang mengganggu secara signifikan dengan tingkat kematian lebih dari 40%. Lesi menyebabkan kerusakan parah dan permanen pada kulit, sedangkan lesi di mulut, faring, dan saluran pernapasan menyebabkan penurunan kondisi yang cepat serta terkadang diikuti dengan kekurusan yang parah dan dapat bertahan selama berbulan-bulan.
LSD adalah penyakit menular akut pada sapi dari segala usia. Gejala awal yang bisa diamati antara lain adalah demam 40-41,5°C dengan lakrimasi, anoreksia, depresi dan malas bergerak. Kemudian, benjolan kulit yang khas berkembang menutupi seluruh tubuh (kepala, leher, perineum, ambing, alat kelamin atau anggota badan lainnya). Lesi tegas berdiameter 5-50 mm, ketebalan lesi kulit melibatkan epidermis, dermis dan subkutis yang berdekatan. Selain itu, kelenjar getah bening umumnya membesar dan edema.
Peningkatan sekresi hidung dan orofaringeal bisa terjadi jika ada perkembangan lesi pada moncong dan mulut. Lesi pada epitel mukosa berbentuk bulat cincin, dimana telah terjadi pemisahan dari jaringan normal. Nekrosis jaringan bisa terjadi dengan cepat dan umumnya terdapat sekret mukopurulen dari mulut dan lubang hidung, air liur menetes terus-menerus, batuk, dan gangguan pernapasan. Selain itu, konjungtivitis dan keratitis, serta pneumonia dapat juga teramati. Lesi nodular mungkin bisa terjadi sampai ke area di paru-paru, sehingga respon terhadap terapi antibiotik umumnya buruk.
Sapi yang terinfeksi dapat mengalami edema dan pembengkakan pada sandung lamur (dada-ketiak) dan satu atau lebih anggota badan lainnya. Infeksi sekunder dapat berkembang menjadi lesi keras dan nekrotik, bisa bertahan atau juga mengelupas untuk meninggalkan lubang. Pada tahap inilah lesi menjadi tempat utama untuk oviposisi lalat. Aborsi sering mengikuti wabah LSD dan terkadang anak sapi yang lahir sudah memiliki lesi kulit yang luas. Hal ini mungkin diperoleh melalui infeksi intra-uterus.
Hewan yang terinfeksi parah akan menjadi kurus dan mungkin memerlukan eutanasia jika kondisinya semakin memburuk. Lesi pada mulut juga mengganggu proses makan, produksi susu berhenti dan lesi ambing/puting susu dapat menyebabkan infeksi dengan peluruhan jaringan nekrotik. Lesi pada tungkai sangat membatasi gerakan, sedangkan lesi pada alat kelamin sapi jantan akan mengganggu kemampuan untuk mengawini betina selama berminggu-minggu. Lesi pada kulit, jaringan ikat subkutan, dan otot tungkai, bersama dengan peradangan kulit yang disebabkan oleh infeksi sekunder akan sangat mengurangi mobilitas. Jika ternak digembalakan di alam terbuka, maka akan cinderung lebih cepat menyerah sehingga mengalami dehidrasi dan kelaparan, bahkan kematian.
Penyebaran penyakit dan kontrol. Virus cacar sangat resisten dan dapat tetap hidup di jaringan yang terinfeksi setidaknya selama 4 bulan. Spesies serangga seperti Stomoxys spp dan nyamuk Biomya fasciata diduga merupakan vektor LSD. Tabanidae, Glossina dan Culicoides spp. juga telah berhasil ditemukan dalam situasi di mana telah terjadi transmisi LSD. Peran semua serangga ini dalam transmisi LSD masih harus dievaluasi di laboratorium dan di bawah kondisi lapangan. Penularan kemungkinan besar terjadi secara mekanis, seperti halnya kejadian cacar unggas yang ditularkan secara mekanis oleh nyamuk.
Tidak ada pengobatan antivirus khusus yang tersedia untuk sapi yang terinfeksi LSD. Hewan yang sakit harus segera dikeluarkan dari kawanan dan diberikan perawatan suportif terhadap luka lokal yang terjadi untuk mencegah kontaminasi lalat dan mengurangi resiko penularan terhadap kawanan yang lain. Antibiotik sistemik dapat diberikan untuk mengantisipasi infeksi sekunder dan pastikan supplai pakan dan air minum tersedia.
Ketika kejadian outbreak hanya terlokalisir di suatu tempat, maka depopulasi bisa dilakukan untuk mencegah penularan. Hal ini tentunya memberikan konsekwensi biaya yang relatif mahal. Jika kasusnya sudah menyebar secara luas, penggunaan vaksinasi yang ekstensif lebih direkomendasikan dan diikuti dengan pembatasan lalu lintas ternak sebagai upaya menekan penularan ke daerah yang lain. Tindak lanjut program vaksinasi anak sapi juga bisa dilakukan dan vaksinasi diulang selama 2-3 tahun untuk mengurangi kejadian penyakit klinis. Namun demikian, tidak ada negara di sub-Sahara Afrika yang berhasil memberantas LSD begitu hal itu terjadi.
Dua vaksin berbeda telah digunakan secara luas dan berhasil untuk pencegahan LSD pada populasi sapi di Afrika, yaitu galur Neethling dan galur lokal virus cacar domba dan kambing. Sediaan vaksin telah terbukti identik secara serologis dengan antibodi fluoresen dan uji netralisasi virus serum, sehingga ada kemungkinan strain vaksin cacar domba atau kambing yang tersedia saat ini cocok untuk profilaksis LSD.
Pola penyebaran dari LSD tidak sepenuhnya dipahami. Vektor artropoda, kontak langsung, pakan dan air yang terkontaminasi dan cara iatrogenik (penggunaan jarum suntik berulang pada hewan yang berbeda) diindikasikan sebagai cara LSD ini menular dan menyebar ke suatu populasi ternak.
Virus ini bisa ditemui dalam konsentrasi yang tinggi di nodul kulit dan koreng pada hewan ternak yang terkena. Selain itu, virus juga dapat diisolasi dari darah, air liur, cairan mata dan hidung dan air mani. Virus dapat ditemukan dalam darah sampai 21 hari pasca-infeksi, tetapi di dalam air mani dapat mencapai 42 hari pasca-infeksi. Oleh karena itu, langkah-langkah isolasi ataupun culling harus menjadi pertimbangan pertama untuk menurunkan resiko penularan penyakit ini. Biosekuriti juga bisa menjadi tambahan strategi untuk menurunkan level resiko penularan di suatu wilayah. Baca juga : Biosekuriti di era New Normal
Diagnosis. Identifikasi LSD yang cepat dan tepat sangat penting untuk mencegah penularan yang lebih luas. Diagnosis klinis LSD tidak sulit bagi mereka yang akrab dengan penyakit ini, tetapi relatif sulit bagi yang tidak berpengalaman karena lesi yang diamati bisa dikacaukan dengan diagnosa penyakit yang lainnya.
Secara visual, LSD bisa dikelirukan dengan gangguan penyakit yang lain. Reaksi hipersensitivitas setelah vaksinasi PMK (penyakit mulut dan kuku), gigitan serangga, streptotrikosis, globidiosis, atau demodikosis bisa memunculkan lesi yang mirip dengan LSD. Selain itu, penyakit lain yang terkadang dikelirukan dengan LSD adalah gangguan ringworm dan infeksi dermatophytes lainnya, cutaneous leucosis, parapox (bovine popular stomatitis), bovine herpes mammilitis, pseudo lumpy skin disease (bovine herpesvirus 2), photosensitisation, urticaria, demodectic mange, trauma, dan juga Actinobacillosis (Actinobacillus lignieresi). Idealnya, konfirmasi uji laboratorium adalah cara terbaik untuk menghindari kesalahan dalam diagnosa.
Sampel dari hewan tunggal bisa dilakukan, namun jika kejadiannya cukup luas sangat direkomendasikan untuk mengambil beberapa sampel untuk dilakukan peneguhan diagnosa di laboratorium. Sampel LSD bisa diambil dari lesi kulit dan darah. Gambaran lesi diatas adalah LSD yang sudah dikonfirmasi dengan uji PCR (polimerase chain reaction).
Apa yang harus kita lakukan saat ini ? Mengingat LSD sudah sampai di negara tetangga kita, Malaysia dan Thailand, maka upaya pencegahan sangat penting untuk dilakukan, yaitu dengan menerapkan praktek manajemen pemeliharaan yang baik, biosekuriti dan mungkin juga vaksinasi. Pengendalian lalu lintas ternak juga harus ditingkatkan, terutama sapi-sapi yang mungkin diimport dari negara yang diduga baru ada masalah LSD. Baca juga : Penyakit Bernafasan pada Sapi
Deteksi dini juga menjadi penting jika dilapangan ada indikasi terkait adanya lesi kulit. Pastikan kita segera melakukan koordinasi dengan dokter hewan atau dinas terkait agar evaluasi dan diagnosa bisa segera dilakukan. Kontrol serangga juga bisa dilakukan agar hewan ini tidak menjadi vektor penyebar penyakit jika ada outbreak LSD.
Ayo, tingkatkan kewaspadaan terhadap LSD ya.
Referensi :
- http://www.fao.org/3/u4900t/u4900T0d.htm Lumpy skin disease of cattle: A growing problem in Africa and the Near East
- https://rr-asia.oie.int/en/projects/lumpy-skin-disease-lsd/
- https://agriculture.vic.gov.au/biosecurity/animal-diseases/beef-and-dairy-cattle/lumpy-skin-disease
- http://www.fao.org/3/cb1892en/cb1892en.pdf Introduction and spread of lumpy skin disease in South, East and Southeast Asia Qualitative risk assessment and management
- https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/24148185/ Lumpy Skin Disease in Jordan: Disease Emergence, Clinical Signs, Complications and Preliminary-associated Economic Losses
- https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/33522708/ Lumpy skin disease, an emerging transboundary viral disease: A review