Beberapa dari kita mungkin bertanya-tanya, apa itu fase aklimatisasi? Mengapa proses ini penting untuk mempersiapkan calon induk? Pertanyaan itu juga muncul di pikiran saya saat pertama kali mengikuti training manajemen peternakan babi di Philipina beberapa tahun yang lalu. Pada artikel kali ini, kita akan belajar bersama tentang proses aklimatisasi dalam upaya pengendalian mikoplasma pada peternakan babi. Mengapa fase ini penting dan aktifitas apa yang dilakukan akan kita kupas bersama.
Kontrol Penyakit. Terkait pemeliharaan ternak babi baik itu saat ada wabah baru ataupun infeksi endemik, masalah penyakit menjadi perhatian yang penting mengingat inilah yang akan membuat usaha kita terganggu dari sisi finansial karena biaya dan kerugian yang ditimbulkan. Agen penyebab penyakit pada peternakan babi bisa dikatakan relatif kompleks dan perlu dilakukan kajian serta analisa laboratorium, selain juga melihat fakta sejarah kasus di lapangan untuk memastikan patogen apa saja yang sudah bersirkulasi di kandang. Jika kita sudah mengetahui tantangan penyakit yang sudah pernah ada di kandang dan lingkungan peternakan kita, maka kita akan lebih mudah dalam membuat strategi pengendalian penyakit. Terkait kasus pernafasan yang sering ditemukan, sampai saat ini para ahli meyakini bahwa Mycoplasma hyopneumoniae (M. hyo) adalah sumber dari penyakit pernapasan pada babi sehingga semua breeder dan peternak berusaha untuk melakukan upaya sedini mungkin dalam mengantisipasi patogen yang menyebabkan penyakit Enzootic Pneumonia ini.
Enzootic pneumonia (EP) adalah salah satu penyakit infeksi yang penting secara ekonomi untuk industri babi di seluruh dunia. Keberadaan M.hyo ini sudah lebih dari setengah abad yang lalu dan masih menjadi tantangan dalam menangani penyakit pernafasan kronis di industri peternakan babi di dunia. M. hyo terjadi terutama melalui kontak langsung antara babi yang terinfeksi dengan babi yang rentan ataupun dari induk yang terinfeksi ke keturunannya. Karena tingkat keparahan penyakit ini berkorelasi dengan prevalensi M. hyo saat penyapihan dan calon induk dianggap sebagai seeder patogen utama, maka program aklimatisasi menjadi strategi kunci yang dinilai efektif membantu mengendalikan M. hyo di peternakan babi. Proses aklimatisasi terhadap M. hyo di Eropa dan Amerika Utara menunjukkan bahwa vaksinasi adalah pendekatan utama yang digunakan, tetapi ada juga beberapa peternak di Amerika yang memilih metode yang lainnya yaitu secara sengaja memaparkan calon induk ke patogen target.
Di lapangan saat ini minimal ada 3 pendekatan yang dilakukan dalam upaya untuk mengendalikan mikoplasma, yaitu modifikasi dan optimalisasi praktek manajemen, aplikasi vaksin serta penggunaan agen antimikroba. Pemisahaan kelompok umur dalam populasi peternakan babi, pig flow dan ventilasi kandang merupakan praktek manajemen yang dapat dimodifikasi untuk memaksimalkan kesehatan saluran pernapasan dan menghindari penularan / penyebaran penyakit. Program vaksinasi dilakukan sebagai tindakan pencegahan yang bertujuan untuk mempersiapkan sistem imun babi sehingga akan mengurangi resiko munculnya gejala klinis dan meminimalkan efek penyakit yang bisa membahayakan performance kandang. Selain itu, antimikroba / antibiotik bisa diberikan pada babi yang terinfeksi untuk mengurangi loading bakteri dan gejala klinis yang menyertainya. Pada umumnya, penanganan kasus mikoplasma dengan kombinasi 3 pendekatan ini sudah sangat membantu peternak dalam meminimalkan resiko kerugian karena penyakit Enzootik Pneumonia. Investasi praktek manajemen yang baik yang didukung dengan pelaksanaan program vaksinasi juga pada akhirnya akan membantu mengurangi beban biaya penggunaan antibiotik, karena biasanya jika sampai gejala klinis penyakit masih muncul, kondisi ini akan relatif lebih mudah dikendalikan tanpa harus mengeluarkan biaya yang banyak untuk membeli antibiotik.
Perspektif jangka pendek vs panjang. Secara historis, pengendalian mikoplasma terutama difokuskan pada pengelolaan kejadian infeksi di tingkat peternakan / kawanan dimana gejala klinis penyakit sering terlihat. Tidak jarang peternak malah hanya “menunggu” kasus muncul untuk kemudian baru melakukan tindakan pengendalian dengan pengobatan antibiotik. Walaupun sejauh ini terlihat cukup berhasil, pendekatan seperti ini dalam jangka panjang harus diuji kembali tingkat kesuksesannya. Pendekatan upaya pencegahan idealnya harus diutamakan, karena kita tidak tahu resiko yang akan terjadi selanjutnya. Dengan pemahaman yang lebih komprehensif tentang epidemiologi mikoplasma dan ketidakstabilan kesehatan saluran pernafasan yang terjadi di peternakan babi, maka pendekatan perlakuan pada calon induk (gilt) yang masuk ke lokasi breeding telah diidentifikasi sebagai faktor kunci untuk sirkulasi dan kehadiran M.hyo di lingkungan peternakan. Infeksi mikoplasma dapat terjadi pada masa awal kelahiran sampai periode menyusui sehingga pada kondisi tertentu anak babi bisa mengalami kolonisasi M.hyo sejak awal kehidupannya. Karena sifat infeksi M.hyo yang lambat dan berlangsung kronis maka gejala klinis sering kali tidak terlihat sampai kondisi melanjut menjadi parah. Oleh karena itu, sangat penting untuk kita selalu fokus dan menerapkan strategi pengendalian sebelum terjadi infeksi di peternakan kita bukan menunggu penyakit datang.
Langkah awal yang penting dalam upaya pengendalian penyakit dalam suatu kawanan ternak itu adalah identifikasi patogen yang bersirkulasi. Masing-masing lokasi peternakan merupakan unit produksi yang unik dan tidak jarang memiliki karakteristik khusus yangmana akan sangat menentukan dalam pemilihan metode dan strategi yang akan kita diterapkan. Dengan demikian, mengetahui status mikoplasma (juga penyakit-penyakit lainnya) pada lokasi peternakan babi serta calon induk yang masuk adalah langkah pertama yang wajib dilakukan untuk merancang rencana kerja terbaik agar performa kandang lebih optimal. Contoh : peternakan babi dengan status mikoplasma negatif akan melakukan evalusi diagnostik yang lebih ketat untuk memastikan calon induk yang akan masuk ke kandang breeding terkonfirmasi bebas mikoplasma juga. Jika screening ini sampai gagal dan ada calon induk terinfeksi lolos masuk ke lokasi peternakan babi yang status mikoplasmanya negatif, maka akan berakhir dengan wabah penyakit yang akan mengganggu kelangsungan usaha peternakan, moral karyawan, dan implikasi ekonomi karena kerugian yang dihasilkan. Di sisi lain, peternakan babi yang status mikoplasmanya sudah positif masih tetap dapat beroperasi dalam keadaan endemik dengan melakukan pengendalian penyakit agar patogen yang bersirkulasi di lokasi kandang terjaga stabil atau bisa juga memulai program eliminasi penyakit jika ingin terbebas (dengan melakukan proses depopulasi dan repopulasi yang ketat).
Untuk kondisi peternakan skala industri besar, mungkin kebijakan free mikoplasma ataupun patogen yang lain bisa dilakukan karena mereka umumnya sudah memiliki standart operasi manajemen dan biosekuriti yang baik serta lokasi kandang yang terisolir dan multi site system (pemisahan lokasi kandang breeding dan penggemukan). Akan tetapi, hal mengeliminasi penyakit pada skala kecil menengah relatif lebih sulit untuk dilakukan mengingat investasi fasilitas yang tidak murah sehingga keputusan untuk hidup berdampingan dengan patogen menjadi pilihan yang harus ditempuh walaupun resikonya cukup besar. Dengan tipikal peternakan di Asia yang didominasi peternakan skala kecil menengah yang umumnya terletak pada lokasi yang padat, single site system dan manajemen biosekuriti yang masih terbatas, maka tantangan pengendalian penyakit menjadi semakin kompleks. Namun demikian, terlepas dari kita memilih status bebas ataupun tidak, proses aklimatisasi ini tetap menjadi strategi yang penting untuk mencapai pengendalian penyakit dalam jangka panjang.
Perkembangan proses aklimatisasi. Berbagai strategi digunakan untuk mengenalkan calon induk ke mikoplasma (dan atau patogen lainnya) sebelum dimasukkan ke kandang breeding bersama indukan yang lainnya. Selama bertahun-tahun, para pelaku usaha dan profesional kesehatan telah berusaha untuk menghindari masalah pada ternak yang positif terinfeksi mikoplasma dengan menerapkan program vaksinasi dan pengobatan untuk memastikan bahwa calon induk dapat bekerja memberikan performa terbaiknya. Namun demikian, saat ini sebagian besar produsen babi di dunia menghasilkan calon induk dengan status farm yang negatif terhadap mikoplasma (naive animal) sehingga hal ini menjadi tantangan tersendiri ketika calon induk tersebut dimasukkan pada kawanan yang positif mikoplasma / daerah endemik. Akibat dari situasi ini, maka calon induk tersebut menjadi rentan dan pada akhirnya akan terinfeksi patogen sehingga berpotensi menjadi sumber penularan penyakit jika tidak ada perlakuan. Kejadian infeksi dapat terjadi segera setelah calon induk masuk, tetapi karena mikoplasma adalah patogen yang ditularkan secara perlahan di antara babi maka proses ini dapat memakan waktu berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan. Kejadian infeksi terus-menerus ini akhirnya menjadi alasan mengapa mikoplasma berhasil mempertahankan sirkulasinya ke inang baru / babi yang rentan dan merupakan dasar dari kisah mikoplasma yang tidak pernah berakhir di peternakan babi. Masalah menjadi semakin rumit ketika kita juga menyadari bahwa calon induk atau babi betina yang baru terinfeksi dapat shedding / melepaskan bakteri untuk waktu yang lama (7 bulan setelah infeksi awal dalam percobaan penelitian). Dari kenyataan dilapangan ini menyiratkan bahwa status calon induk dan induk dalam suatu breeding memiliki peran yang besar dalam kejadian penyakit dalam siklus produksi karena beresiko menularkan ke anak babi yang dilahirkan. Kolonisasi agen penyakit pada anak babi akhirnya akan menyebarkan patogen dan penyakit ikutannya sampai ke periode grower dan finisher, bahkan sampai ke pasar sehingga berpotensi mencemari alat transportasi dan lingkungan yang lebih luas terutama jika biosekuriti yang dilakukan lemah. Untuk alasan inilah, kebutuhan untuk melakukan proses aklimatisasi sangat penting dan berhasil diterapkan untuk menekan angka kejadian mikoplasma beberapa tahun terakhir (dan juga penyakit-penyakit lainnya). Baca juga : Biosekuriti di era new Normal.
Beberapa metode aklimatisasi yang dilakukan dalam pengendalian penyakit mikoplasma adalah :
- Seeder mikoplasma. Mengingat fakta bahwa infeksi mikoplasma biasanya terjadi dalam kawanan, tampaknya logis untuk berpikir bahwa calon induk dan babi betina yang lebih tua dapat bertindak sebagai “seeder” yang akan melepaskan bakteri ke calon induk lebih muda. Beberapa percobaan dan studi lapangan telah menunjukkan bahwa penularan mikoplasma di antara kawanan adalah berlangsung lambat dan membutuhkan beberapa minggu untuk diselesaikan secara berkelompok. Dalam prakteknya, jumlah calon induk / babi betina yang lebih tua ini harus sama dengan jumlah calon induk yang rentan (rasio 1 : 1), sehingga kita dapat memperpendek waktu “penularan” (4 minggu). Metode ini bisa dilakukan, akan tetapi skenarionya relatif sulit untuk diterapkan karena tidak praktis, yaitu membutuhkan ruang dan fasilitas yang besar baik untuk proses penularan itu sendiri ataupun kandang untuk menampung sebagian besar calon induk dan babi yang lebih tua yang akan dipakai. Bahkan jika rasio 1-1 bisa terpenuhi, proses ini harus diperhitungkan dengan cermat untuk memastikan waktu yang dibutuhkan calon induk yang terpapar bisa pulih dari penyakit dan tidak melepaskan mikoplasma ke anak babi yang nantinya dilahirkan. Selain itu, konfirmasi untuk menentukan babi yang akan dipakai sebagai seeder terkadang sulit, karena memerlukan diagnosa laboratorium untuk membantu mengidentifikasi seeder yang tepat dan memantau paparan, yangmana ini merupakan komponen paling penting untuk keberhasilan model ini.
- Paparan mikoplasma. Metode baru dalam pemaparan agen penyakit telah berevolusi untuk meminimalkan waktu transmisi, ruang fasilitas dan persyaratan untuk model seeder. Hal ini dilakukan dengan cara memberikan organ paru-paru (gerusan) khusus ke calon induk secara individual ataupun kelompok besar sekaligus. Metode ini menghasilkan paparan pada populasi lebih seragam dibandingkan dengan model seeder yang ideal dengan hewan hidup. Proses ini tetap memerlukan dukungan uji diagnostik yang ekstensif, pelatihan prosedur yang benar, dan keterlibatan dokter hewan / profesional yang sudah ahli. Titik krusialnya adalah dalam proses memilih babi yang akan dijadikan donor untuk diambil paru-parunya, karena idealnya harus melewati uji diagnostik terlebih dahulu untuk mengkonfirmasi adanya infeksi mikoplasma dan menyaring kemungkinan adanya patogen pernapasan lainnya. Untuk metode 2 dan 3, peran uji diagnostik sangat penting untuk memastikan pemaparan agen penyakit berhasil dilakukan dan terkonfirmasi hasilnya dalam waktu sekitar 2 minggu.
- Vaksinasi dan / atau pengobatan. Merupakan pendekatan paling konservatif dan umum dilakukan di peternakan, yaitu dengan penggunaan kombinasi vaksin dan antimikroba untuk pengendalian penyakit pada calon induk. Cara ini relatif tidak memiliki resiko “kesalahan” karena vaksin yang dipakai sudah spesifik berisi patogen yang kita targetkan, yaitu M.hyo sehingga kita tinggal melakukan evaluasi pasca aplikasi saja karena tidak harus repot memilih babi donor/seeder yang tepat. Walaupun cukup berhasil, tetap ada keterbatasan yang melekat pada metode ini seperti perlindungan yang tidak lengkap yang diberikan oleh vaksin (bakterin) dan ketidakmampuan obat dalam mengeliminasi mikoplasma sehingga evaluasi terhadap faktor-faktor lain seperti manajemen pemeliharaan yang baik dan biosekuriti harus juga dioptimalkan. Pemberian vaksin mikoplasma pada anak babi juga umum dilakukan pada area yang endemik untuk mengurangi resiko paparan sampai saat panen tiba.
Salah satu aspek menarik dari proses aklimatisasi adalah diarahkan untuk menghasilkan paparan yang seragam terhadap agen penyakit (dalam hal ini mikoplasma contohnya) untuk tujuan stabilisasi pada calon induk. Bisa dikatakan juga bahwa proses aklimatisasi ini adalah strategi yang baik untuk eliminasi penyakit pada anak babi yang akan dilahirkan karena kita sudah memastikan calon induk aman dan stabil (day zero). Baca juga : Bagaimana menjalankan usaha peternakan babi yang menguntungkan.
Bagaimana dengan Indonesia? Kondisi peternakan di Indonesia yang didominasi oleh peternak kecil menengah kemungkinan besar belum memaksimalkan proses aklimatisasi ini. Faktanya, kondisi secara umum peternakan babi di Indonesia rata-rata adalah single site system dan berada pada satu lingkungan yang sama, sehingga tingkat kepadatannya relatif tinggi. Namun sayangnya, dengan faktor resiko yang tinggi ini kurang diimbangi dengan praktek menajemen pemeliharaan dan level biosekuriti yang baik sehingga komunitas peternak ini menjadi bom waktu jika sampai terjadi outbreak penyakit. Kelemahan yang lain adalah kurangnya data epidemiologi penyakit babi di Indonesia sehingga terkadang peternak sendiri tidak tahu patogen apa saja yang sebenarnya sudah bersirkulasi di lokasi kandang. Pada umumnya peternak cuma melakukan vaksinasi terhadap Hog Cholera / Classical Swine Fever saja karena menganggap tidak ada tantangan penyakit yang lain. Jika mengacu pada ketersediaan vaksin yang legal beredar di Indonesia, maka penyakit yang sudah teridentifikasi dan diakui ada di negara kita selain African Swine Fever (ASF) adalah Hog Cholera, Porcine Reproductive and Respiratory Syndrome (PRRS), Porcine Circovirus type 2 (PCV2), Glasser’s Disease, dan Mycoplasma hyopneumoniae. Idealnya sangat diperlukan mapping area distribusi ternak babi dan juga tantangan penyakitnya, sehingga peternak akan lebih siap dengan strategi pengendalian penyakitnya berdasarkan data lapangan. Hal ini yang seharusnya menjadi perenungan bagi para peternak, karena jika kita tidak tahu “musuh” yang ada dilapangan maka kita juga hampir pasti tidak mempunyai strategi yang baik dalam pengendalian penyakit. Jika kita sudah mampu untuk memproduksi calon indukan sendiri, hal ini tentunya akan meringankan karena tentunya kita sudah paham dengan situasi dan kondisi di dalam peternakan kita sendiri. Akan tetapi, jika kita masih belum bisa membuat calon induk sendiri dan masih bergantung pada breeder lain, maka yang harus kita lakukan adalah evaluasi status calon induk yang akan kita beli. Pastikan kita juga mempunyai informasi sejarah kasus di kandang breeding dan kandang kita sendiri untuk disinkronkan kondisinya dalam proses aklimatisasi sehingga ketika proses pencampuran di breeding dengan induk yang lebih tua calon induk baru ini sudah siap dan stabil. Pastikan kita membeli calon induk dari sumber yang terpercaya dan dibuktikan dengan adanya surat sehat dari otoritas yang berwenang.
Jadi, inilah manfaat yang bisa kita dapatkan jika kita melakukan aklimatisasi, yaitu memastikan status calon induk aman dan stabil dari berbagai patogen sebelum masuk dalam kawanan breeding kita sehingga proses reproduksi dan hasil anakannya lebih baik dan sehat, serta meningkatkan potensi penghasilan para peternak. Walaupun mungkin kita saat ini masih menjadi peternak skala kecil menengah, mungkin kita bisa memulai dengan melakukan evaluasi performa reproduksi kandang kita dan mulai memikirkan untuk investasi fasilitas kandang ke arah yang lebih modern. Jika “mesin” nya bagus maka potensi genetik yang bisa dicapai peternak dalam skala industri dengan menghasilkan jumlah anakan 24 ekor dalam setahun bukanlah hal yang mustahil kalau kita mau berinvestasi dan melakukan praktek menagemen pemeliharaan serta memperhatikan faktor-faktor penunjang lainnya secara detail dan baik.
BERSAMBUNG…
Semoga bermanfaat !!! Jika ada hal yang ingin di diskusikan lebih lanjut silahkan anda bisa komunikasikan kepada kami DISINI.
Referensi :