Gangguan Reproduksi pada Babi

Gangguan Reproduksi pada Babi

Memelihara ternak babi tentunya tidak lepas dari tantangan penyakit. Jika kita adalah peternak breeding, maka gangguan reproduksi menjadi kendala yang paling utama karena target untuk menghasilkan keturunan akan terkoreksi jika ada penyakit yang tidak tertangani dengan baik. Bagaimana cara yang mudah untuk mengevaluasi performa reproduksi kandang kita? Apa saja  parameter yang harus kita evaluasi?

https://www.researchgate.net/publication/263541549_Reproductive_Diseases_in_Sows_Sus_scrofa_domestica_A_Review

Berikut adalah perhitungan sederhana yang bisa menjadi bahan evaluasi kita, apakah breeding kita sudah optimal atau masih bisa dikembangkan lagi.

Potensi reproduksi induk babi yang ideal dihitung adalah 31,2 ekor anak babi yang disapih per tahun, dengan perhitungan sbb :

Jika lama kebuntingan 114 hari, lama menyusui = 21 hari, dan re-breed 5 hari maka total waktu yang diperlukan adalah 140 hari.

Dalam setahun maka dihitung 365 hari / 140 = 2,6 litter/tahun, artinya dalam 1 tahun induk melahirkan 2x dan jalan bunting 1x.

Asumsi per induk melahirkan anak 12 ekor, maka potensi jumlah anak babi yang disapih dalam setahun adalah 2,6 x 12 babi/litter = 31,2 ekor.

Di Indonesia, mungkin saat ini kita tidak terlampau sulit menemukan induk dengan jumlah anak yang banyak pada peternakan komersial, tetapi di level backyard farm relatif sulit. Hanya saja variabel untuk bisa selamat sampai panen cukup banyak, baik itu kendala teknis ataupun non teknis.

https://www.researchgate.net/publication/263541549_Reproductive_Diseases_in_Sows_Sus_scrofa_domestica_A_Review

Bagan diatas adalah gambaran mengenai penyebab gangguan reproduksi yang berpotensi mengganggu breeding farm kita. Berikut adalah beberapa kasus reproduksi akan kita sharingkan dan yang harus kita perhatikan agar performa reproduksi kandang kita tetap baik :

Porcine Reproductive and Resipratory Syndrome (PRRS)

Virus PRRS adalah virus RNA berselubung dalam genus Arterivirus, diklasifikasikan dalam keluarga virus, Arteriviridae. Ada US strain dan EU strain yang saat ini bersirkulasi, dimana ada perbedaan genetik dan antigenik yang signifikan antara isolat ini. Keragaman genetik dan antigenik antara isolat ini, bahkan di dalam suatu negara tetap menjadi tantangan berkelanjutan dalam pengendaliannya. HP PRRS yang berkembang di Asia adalah turunan dari US strain yang lebih ganas.

https://www.researchgate.net/publication/263541549_Reproductive_Diseases_in_Sows_Sus_scrofa_domestica_A_Review

PRRS mungkin saat ini merupakan penyakit babi yang paling penting dalam setengah abad terakhir. Pengujian serologis telah mengungkapkan ada banyak kawanan yang terinfeksi di mana tanda-tandanya tidak terlihat (subklinis). Gejala klinis yang teramati umumnya bervariasi karena  dipengaruhi oleh virulensi virus, tahapan infeksi (apakah itu infeksi awal atau berkelanjutan – endemik dengan herd immunity), kelompok usia yang terkena, ada tidaknya gangguan penyakit lain serta ukuran kawanan dan praktik manajemen.

Gejala umum yang nampak pada gilt, induk betina dan jantan adalah anoreksia, demam, lesu, depresi, dan mungkin gangguan pernapasan atau muntah. Sianosis ringan pada telinga, perut dan vulva juga bisa teramati pada beberapa kasus. Gejala reproduksi yang patut kita curigai antara lain adalah penurunan jumlah induk yang mengandung atau beranak, peningkatan kelahiran prematur, aborsi di fase akhir kebuntingan, anak babi yang lahir mati atau lemah, dan mumifikasi fetus . Kematian anak sebelum disapih relatif tinggi. Babi menyusui mungkin mengalami dispnea (thumping).

Periode tanda-tanda reproduksi bervariasi menurut ukuran kawanan tetapi biasanya terjadi dalam 2 – 3 bulan, dan proses perbaikan performa relatif lambat sehingga menjadi sebuah kerugian besar bagi peternak. Jadi sangat penting untuk kita mengetahui status kesehatan calon induk sebelum didatangkan dalam kawanan di peternakan kita, karena jika kita lalai maka resiko penularabn dan shedding virus menjadi bahaya yang sangat merugikan. Kualitas semen pejantan umumnya juga bisa terpengaruh dan bisa menjadi sumber penularan ke induk betina yang dikawini.

Anak babi yang terkena PRRS, umumnya akan menunjukkan demam, depresi, lesu, kerdil karena penyakit sistemik dan pneumonia. Gangguan pernafasan lebih mendominasi kejadian pada anak babi, seperti bersin, demam dan lesu, dispnea dimana kejadiannya akan memuncak dalam 4-10  minggu. Selain itu, angka kematian/mortalitas pasca sapih sering meningkat secara nyata, terutama jika terjadi outbreak dengan galur virulen atau terjadinya infeksi bersamaan dan diikuti infeksi sekunder. Baca juga : PRRS pada Babi

Porcine Circovirus

Porcine circovirus tipe 2 atau PCV2 adalah virus DNA yang sangat kecil yang menginfeksi babi. Infeksi PCV2 tersebar luas dan pada dasarnya semua kawanan babi terinfeksi PCV2. Manifestasi dari PCV2 di lapangan meliputi infeksi PCV2 sistemik, pneumonia terkait PCV2, enteritis terkait PCV2, kegagalan reproduksi terkait PCV2, dan Porcine Sindrom Dermatitis dan Nefropati (PDNS).

Penyakit PCV2 umumnya akan menyebabkan berbagai kondisi klinis termasuk penyakit reproduksi terkait PCV2 (PCV2-RD) yang ditandai dengan aborsi dan mumifikasi. Diagnosa yang bisa dilakukan secara umum meliputi adanya gangguan reproduksi, temuan histopatologi miokarditis, dan deteksi viral load sedang – tinggi dalam jaringan jantung fetus. Kebutuhan untuk mengidentifikasi lesi histopatologis pada jaringan jantung fetus tampaknya tidak valid atau berlebihan dalam mengkonfirmasi diagnosis PCV2-RD, setidaknya pada tingkat janin individu. Sedangkan viral load tertinggi (1012 GE/g jaringan) terdeteksi pada babi yang autolisis atau mumifikasi umumnya teridentifikasi sebagai PCV2d, meskipun deteksi bersamaan PCV2d + a dan PCV2d + b juga terjadi.

Baca juga : Porcine Circovirus

Parvovirus
Parvovirus ini telah menginfeksi kawanan babi di seluruh dunia. Gejala Klinis ditandai dengan adanya kematian embrio dan janin pada induk babi. Selain itu tertundanya estrus atau anestrus (bunting semu), jumlah anakan yang sedikit, mumifikasi fetus juga harus kita curigai sebagai tanda utama infeksi parvovirus. Aborsi bisa terjadi tetapi jarang. Parvovirus umumnya menyerang induk muda atau parity 1.

Pengendalian yang bisa kita upayakan adalah pemilihan calon induk/gilt yang baik. Kita harus pastikan status kesehatannya sebelum kita masukkan dalam kawanan. Hal yang umumnya dilakukan adalah dengan memberikan 2x vaksin terhadap Parvovirus (3 dan 6 mgg sebelum kawin) pada periode aklimatisasi. Kita juga bisa melakukan uji laboratorium dengan pengambilan sampel darah saat umur 6,5 bulan untuk memastikan gilt yang akan kita pakai sehat.

Enterovirus
Ada minimal 10 serotipe dari Porcine Enterovirus ini dan penyakit ini umum ditemukan dalam kawanan ternak babi. Istilah “SMEDI” (stillbirths, mummies, embryonic death and infertility) – lahir mati, mumifikasi, kematian embrio dan infertilitas adalah akronim yang pertama kali digunakan dalam 1965 untuk menggambarkan sekelompok virus yang menyebabkan sindrom reproduksi pada babi.

Enterovirus menyebabkan gejala klinis yang mirip dengan parvovirus. 90% masalah reproduksi pada gilt dan babi betina dilaporkan sebagai akibat parvovirus. Oleh karena itu, uji laboratorium ini sangat penting untuk membedakan patogen yang masuk. Idealnya ketika ada diagnosa parvovirus, ada baiknya untuk juga melakukan uji terhadap enterovirus.

Enterovirus dapat dikendalikan dengan mencampurkan babi jantan/betina pengganti agar mereka berinteraksi, atau pemberian tantangan dengan memberikan feses selama 30 hari sebelum proses perkawinan. Proses ini diharapkan mampu untuk membangun kekebalan terhadap setiap serotipe baru enterovirus yang mungkin masuk ke dalam kawanan melalui hewan pengganti. Pastikan kita melakukan monitoring yang ketat untuk menghindari resiko yang tidak diinginkan.

Leptospirosis
Leptospirosis disebabkan oleh bakteri genus spirochete. Setidaknya ada 6 spesies telah
terlibat dalam masalah reproduksi pada babi di USA, yaitu L. pomona, L. grippotyphosa, L. canicola, L. icterohemorrhagiae, L. hardjo, dan L. bratislava. Gejala klinis yang umumnya teramati adalah aborsi, lahir mati dan anak babi yang lemah. Secara  umum, tanda-tanda ini terjadi pada akhir kebuntingan atau pada waktu farrowing.

https://www.researchgate.net/publication/263541549_Reproductive_Diseases_in_Sows_Sus_scrofa_domestica_A_Review

Leptospirosis didiagnosis dengan tes darah dari induk babi pada saat masalah reproduksi atau identifikasi/kultur organisme dari anak babi yang terkena di laboratorium. Upaya pencegahan yang dilakukan adalah pemberian vaksinasi pada gilt, induk dan pejantan 3 -4 minggu sebelum gejala klinis muncul. Secara historis, vaksin bakterin yg berisi 5 species Leptospira telah digunakan, dan single banterin yang mengandung L. bratislava secara komersial juga tersedia. Pastikan anda berkonsultasi dengan dokter hewan setempat untuk memastikan vaksin mana yang sebaiknya digunakan.

Leptospirosis dapat diobati dengan menyuntikkan dihydrostreptomycin di bawah pengawasan dokter hewan. Pemberian chlortetracycline pada level 400 gram/ton (atau 1 gram per induk per hari) selama 10 hari juga metode yang efektif untuk mengobati leptospirosis. Pelaksanaan terapi pengobatan ini sebaiknya dikoordinasikan dengan vaksinasi agar bisa memberikan efek yang terbaik.

Leptospirosis ada resiko menular ke manusia (zoonosis) zoonosis sehingga memberikan implikasi terhadap kesehatan masyarakat. Berbagai spesies Leptospira menyebabkan Weil’s Disease (bentuk parah leptospirosis dan penyakit lainnya pada manusia). Oleh karena itu, tindakan pencegahan dengan program sanitasi yang tepat harus dilakukan oleh personel yang bekerja di peternakan ataupun area yang terdapat kawanan babi untuk meminimalkan resiko terinfeksi.

Brucellosis
Brucellosis adalah penyakit menular pada babi yang disebabkan oleh bakteri Brucella suis.
Brucellosis juga beresiko menular ke manusia karena dapat menyebabkan demam undulan pada manusia yang ditandai dengan demam intermiten dan berkeringat.

Gejala klinis yang bisa teramati adalah aborsi, infertilitas, orchitis (radang testis), kelumpuhan posterior dan kepincangan. Kejadian aborsi bisa menyerang kapan saja selama periode kebuntingan, berbeda dengan leptospirosis yang mengakibatkan aborsi pada fase akhir.

Pseudorabies (PRV)
Pseudorabies sering juga kita sebut dengan Aujeszky’s disease yang disebabkan oleh virus herpes yang di USA sejak 1961. Gejala klinisnya adalah air liur berlebihan, demam, depresi dan kejang-kejang. Kematian tinggi sampai > 80% bisa terjadi anak babi < 3 minggu, sedangkan pada babi dewasa hanya sekitar 2%.

https://www.researchgate.net/publication/263541549_Reproductive_Diseases_in_Sows_Sus_scrofa_domestica_A_Review

Untuk induk betina bunting dan babi yang terinfeksi PRV umumnya akan mengalami kematian embrio, aborsi, dan kelahiran maserasi (janin melunak dan membusuk) dan lahir mati. Jika terjadi kasus dilapangan, biasanya angka konsepsi cinderung lebih rendah bahkan terjadi beberapa bulan setelah wabah dalam kawanan.

Pseudorabies bisa dikendalikan vaksinasi di breeding setiap 6 bulan atau 3 – 4 minggu sebelum farrowing. Pastikan untuk anda berkonsultasi dengan dokter hewan untuk menyusun program pengendalian penyakit yang lebih baik.

Classical Swine Fever (CSF)
Classical swine fever atau lebih kita kenal dengan nama Hog Cholera adalah penyakit virus yang sampai saat ini masih menjadi masalah disebagian besar peternakan babi di dunia. USA sudah free CSF sejak 1976.

https://www.researchgate.net/publication/263541549_Reproductive_Diseases_in_Sows_Sus_scrofa_domestica_A_Review

Gejala klinis CSF adalah babi terlihat kesakitan, kurang nafsu makan, depresi, lesu, demam 106°F, konjungtivitis (kemerahan pada mata) dengan kelopak mata saling menempel, anak babi cinderung menumpuk dan meringkuk, sianosis atau warna kebiruan pada kulit di perut. Dari aspek reproduksi, serangan CSF dapat mengakibatkan aborsi, mumifikasi, malformasi, lahir mati, babi lemah/gemetar.

Program vaksinasi sangat disarankan untuk area yang memang endemis dengan SCF. Diagnosa laboratorium sangat penting untuk memastikan penyebab penyakit, terlebih saat ini secara gejala klinis sanga CSF mirip dengen African Swine Fever (ASF) dan hanya bisa dibedakan dengan uji laboratorium. Baca juga : Classical Swine Fever

Swine Infuenza Virus (SIV)
Swine Flu atau flu babi disebabkan oleh infeksi virus influenza tipe A. Gejala klinis yang teramati adalah gangguan pernapasan, namun demikian SIV juga dilaporkan menjadi penyebab kasus reproduksi pada babi.

Bentuk pernapasan SIV ditandai dengan serangan paroksismal yang keras/sangat dalam berupa  batuk dan sesak nafas, atau napas tersengal-sengal. Kelelahan ekstrim dan kehilangan nafsu makan umum teramati juga, dan bisa disertai dengan demam sampai 108°F.

Masalah reproduksi yang terkait dengan SIV utamanya adalah jumlah anak sedikit, laju pertumbuhan lambat, kerdilan dan kematian selama masa menyusui dan setelah disapih. Induk babi dan gilt yang terinfeksi juga dapat mengalami keguguran pada akhir kebuntingan dan resorpsi embrio. Dahulu, SIV kebanyakan terjadi saat cuaca dingin mendekati musim gugur, tetapi sekarang kita bisa menemukan kasus sepanjang tahun.

Tidak ada pengobatan untuk bentuk pernapasan dari infeksi SIV, namun pemberian antibakteri
berguna sebagai pengobatan untuk infeksi bakteri sekunder. Program vaksinasi sebaiknya dipertimbangkan mengingat kejadian SIV saat ini bisa sepanjang tahun. Seleksi calon induk yang baik juga membantu dalam upaya pengendalian penyakit ini. Baca juga : Swine influenza pada Babi

Ensephalomyocarditis (EMCV)
Encephalomyocarditis virus adalah penyebab lahir mati, mumi dan maserasi fetus pada ternak babi. Selain itu, EMCV juga menyebabkan lesi jantung dan kematian mendadak pada anak babi, biasanya hingga usia 21 hari.

EMCV telah ditemukan di Australia dan berhasil diisolasi di USA dari kasus lapangan oleh para peneliti di University of Minnesota. Jika tidak ada diagnosis penyebab lain dari kejadian lahir mati, mumi dan bersamaan dengan kematian pada anak babi yang menyusui, maka EMCV harus dipertimbangkan.

Streptococcus suis
Streptococcus suis ada sekitar 29 serotipe bakteri sekarang. Gejala klinis yang bisa diamati adalah keputihan pada gilt atau babi betina dari sebelum kawin sampai setelah beranak. Biasanya, keputihan ini akan banyak pada 1 hari setelah melahirkan. Karena kejadian ini, angka konsepsi bisa turun 50-60%. Anak babi bisa terinfeksi saat proses kelahiran dimana vagina induk terdapat kolonisasi S.suis.

Induk babi dan gilt yang mengalami gejala ini biasanya ditreatment dengan antibiotik golongan penisilin. Untuk program pengendalian, kita bisa lakukan isolasi Streptococcus suis yang spesifik  untuk kemudian lakukan vaksinasi yang sesuai dengan tantangan di lapangan. Gilt idealnya  berikan vaksinasi 2x, yaitu 5 dan 2 minggu sebelum dikawinkan.

Steptococcus suis juga bisa menyebabkan meningitis dan gangguan pendengaran pada manusia. Oleh karena itu, pekerja di lingkungan peternakan dan yang bersentuhan dengan daging babi sebaiknya waspada, selalu menjaga kebersihan dan sanitasi untuk meminimalkan resiko. Silahkan baca juga : Streptococcus suis, bahayakah?

Erysipelas
Erysipelas disebabkan oleh bakteri Erysipelothrix rhusiopathiae. Gejala klinis yang teramati adalah adanya aborsi yang dapat terjadi pada induk babi dan gilt yang terkontaminasi oleh bakteri ini. Kondisi pada umumnya kelihatan kesakitan dan demam tinggi 108°F. Lesi khas dari erysipelas adalah gambaran berbentuk berlian, merah muda – ungu tua pada kulit. Kadang-kadang lesinya juga cukup besar dan bernoda (bercak atau bintik-bintik).

Suntikan dengan preparat penisilin bisa diberikan per individu untuk mengobati kasus ini, kemudian kita bisa lakukan pengobatan massal dengan antibiotik golongan tetrasiklin via air minum selama 5 hari setelah tidak ada induk babi atau gilt sakit.

Parasit
Infestasi tungau kudis Sarcoptic bisa menyebabkan anemia pada induk babi. Anemia ini jika tidak ditangani dengan baik akan menyebabkan penurunan tingkat konsepsi. Oleh karena itu, lakukan juga program pengendalian parasit dengan baik agar kinerja reproduksi di peternakan babi kita bisa dioptimalkan.

Ringkasan
Penyebab gangguan reproduksi pada breeding peternakan babi yang paling dominan adalah adanya infeksi karena PRRS, PCV2, Parvovirus, Pseudorabies, Enterovirus, dan Leptospirosis. Penyebab infeksi lain yang kurang umum dari masalah reproduksi adalah Brucellosis, CSF, SIV,  Encephalomyocarditis, Streptococcus suis, Erysipelas dan gangguan parasit.

Produsen babi harus memberikan prioritas tertinggi untuk mengendalikan masalah reproduksi. hal ini tentunya membutuhkan peran serta dari tenaga ahli baik dokter hewan ataupun manager farm untuk saling support. Diagnosa laboratorium akan sangat membantu untuk diagnosa, sehingga kita bisa melakukan tindakan pencegahan yang diperlukan baik itu vaksinasi, biosekuriti ataupun perbaikna management lainnya. Baca juga : Kontrol Penyakit pada Ternak Babi

Referensi :

  1. https://digitalcommons.unl.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=2375&context=extensionhist#:~:text=The%20most%20common%20infectious%20causes,streptococcus%20suis%2C%20erysipelas%20and%20parasites.
  2. https://www.researchgate.net/publication/263541549_Reproductive_Diseases_in_Sows_Sus_scrofa_domestica_A_Review
  3. https://vetmed.iastate.edu/vdpam/FSVD/swine/index-diseases/porcine-reproductive
  4. https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S1090023321000551
Porcine Circovirus

Porcine Circovirus

Peternak babi tentunya cukup familiar dengan patogen penyakit yang cukup mengganggu ini. Pada dasarnya, ketika kita memulai usaha peternakan babi maka program pengendalian penyakit yang paling penting salah satunya adalah porcine circovirus ini. Kita mengenal ada 2 jenis circovirus telah berhasil diisolasi dari babi, bahkan 3 yaitu PCV1, PCV2 dan PCV3. Porcine circovirus type 1 (PCV1) ada di mana-mana dan nonpatogen pada babi sedangkan porcine circovirus type 2 (PCV2) muncul sebagai patogen babi utama sekitar 20 tahun yang lalu dan sekarang endemik di seluruh dunia.

Penting untuk dipahami bahwa PCV3 yang baru terdeteksi dalam kasus klinis (kegagalan reproduksi dan kekerdilan pada anak babi) tidak boleh disamakan dengan munculnya jenis PCV2 yang berbeda. PCV3 dianggap sebagai spesies terpisah yang hanya memiliki 50% identitas genetik dengan PCV2, dan diharapkan tidak ada perlindungan silang dari vaksin PCV2 yang ada.

Porcine circovirus tipe 2  adalah virus DNA dalam genus Circovirus dalam famili Circoviridae dimana perubahan pada organ limfoid menjadi ciri yang paling umum ditemui. Kontak langsung dengan babi yang terinfeksi telah dikenal sebagai jalur penularan virus yang paling efisien bersama dengan jalur lain seperti vektor dan fomites yang terkontaminasi.

Saat ini kita akan khusus membahas tentang PCV2, yangmana penyakit ini selalu dikaitkan dengan Postweaning Multisystemic Wasting syndrome (PMWS). Penyakit yang ditandai dengan perubahan warna kekuningan pada kulit, diare, gangguan pernapasan, pertumbuhan terhambat, dan juga bisa menyebabkan kematian mendadak pada anak babi. Temuan postmortem yang bisa kita amati adalah kondisi tubuh yang kurus, pembesaran kelenjar getah bening, dan pneumonia interstitial. Lesi pada sistem limfoid biasanya ditemukan pada tonsil, limpa, peyer patch, dan kelenjar getah bening. Beberapa babi terkadang bisa nampak perubahan pada semua jaringan limfoid yang terpengaruh, sedangkan yang lain mungkin hanya memiliki satu atau dua kelenjar getah bening yang terkena. Jika kita melihat perubahan ini, maka hampir pasti kandang kita sedang ada masalah dengan PCV2.

Asal-usul PCV2 tidak diketahui dengan pasti dan juga bukan turunan dari PCV1, namun demikian penyakit ini telah lama menjadi agen di mana-mana peternakan babi. Dalam sebuah penelitian/uji eksperimental, ko-faktor seperti infeksi parvovirus babi atau stimulasi/gangguan sistem kekebalan bisa memperburuk kejadian penyakit ini.

Porcine circovirus tipe 2 atau PCV2 adalah virus DNA yang sangat kecil yang mampu menginfeksi babi. Infeksi ini tersebar luas dan pada dasarnya semua kawanan babi dapat terinfeksi. PCV2 di lapangan dapat dijumpai dalam beberapa bentuk, yaitu sistemik parah, pneumonia, enteritis, kegagalan reproduksi, dan Porcine Dermatitis dan Nephropathy Syndrome (PDNS). Penyakit ini juga bisa bersifat sub klinis, dimana babi kelihatan sehat tetapi sebenarnya sedang mengalami masalah. Oleh karena itu, penggunaan vaksin untuk pengendalian PCV2 sudah menjadi hal yang umum dilakukan para peternak mengingat kerugian yang dihasilkan.

Baca juga : Porcine Circovirus Associated Disease

Barrow (babi berumur 27-40 hari) yang terinfeksi oleh PCV2 diamati menunjukkan peningkatan Prevotella spp. dalam komposisi mikrobiota mereka. Kehadiran mikrobiota yang lebih beragam dan keberadaan E. coli non-patogen pada babi telah dikaitkan dengan penurunan tanda-tanda klinis penyakit terkait PCV serta mampu meningkatan pertumbuhan pada babi yang terinfeksi secara subklinis.

Kejadian PCV2 dikandang umumnya juga dikaitkan dengan patogen yang lainnya, seperti  Porcine Reproductive and Respiratory Syndrome. Dinamika kolonisasi bakteri pada saat infeksi virus, yang telah dikaitkan dengan penurunan beban PCV2/PRRSV termasuk keberadaan ethanobacteriaceae spp., Ruminococcaceae dan Streptococcaceae. PRRSV adalah virus RNA beruntai tunggal dari family Arteriviridae dari ordo Nidovirales. Karakteristik infeksi PRRSV pada babi termasuk kegagalan reproduksi pada breeding farm dan penyakit pernapasan pada anak babi yang sedang tumbuh dan menyelesaikan. Setiap tahun, industri babi di AS kehilangan $664 juta karena penyakit pernapasan dan penurunan berat badan pada anak babi karena terinfeksi PRRSV dan ko-infeksi dengan patogen lain, termasuk PCV2. Baca juga : Apa itu Porcine Respiratory Disease Complex? 

Gambaran Klinis dan Epidemiologi
Strain Porcine circovirus 2 tersebar luas di sebagian besar populasi babi di seluruh dunia, dan jelas bahwa infeksi seringkali subklinis atau sangat ringan. Rute alami penularan porcine circovirus 2 adalah oronasal. Namun demikian, babi dapat juga  terinfeksi secara eksperimental melalui rute inokulasi intramuskular, oral, dan intrauterin. Penularan terjadi melalui kontak langsung dan transmisi fomite, dengan virus dikeluarkan melalui feses, sekret pernapasan, dan urin. Penularan vertikal dapat terjadi namun antibodi dari induk umumnya mampu melindungi anak babi dari infeksi pada periode awal.

Porcine circovirus 2 telah dikaitkan dengan berbagai sindrom penyakit yang berbeda, termasuk PMWS yang ditandai dengan sindrom kekerdilan setelah periode sapih, PDNS yang ditandai dengan bercak-bercak pada kulit dan ginjal, PRDC atau gangguan pernafasan kompleks, kegagalan reproduksi, enteritis granulomatosa, epidermitis eksudatif, dan limfadenitis nekrotikans. Anak babi yang terganggu PCV2 umumnya menunjukan adanya penurunan berat badan yang progresif atau penurunan laju kenaikan berat badan, pucat atau ikterus, dan kerdil. Ini adalah gambaran fisik yang bisa kita amati terkait karakteristik kejadian PCVAD.

Beberapa babi yang terinfeksi mungkin juga menunjukkan kesulitan bernafas dengan batuk dan/atau diare. pada kejadian PRDC, biasanya bermanifestasi yang teramati adalah pneumonia bronkointerstisial yang terkait dengan kombinasi beberapa patogen, termasuk Mycoplasma hyopneumoniae dan infeksi virus lainnya. Pada kasus yang berat, antigen PCV2 akan mudah terdeteksi dengan uji PCR (polymerase chain reaction) di laboratorium sehingga lebih mengkonfirmasi kejadian di lapangan.

Diagnosa
Untuk mendiagnosis PCV2, satu set jaringan lengkap perlu diperiksa, yaitu organ limfoid, paru-paru, sistem pencernaan, ginjal, sistem reproduksi, kulit, kardiovaskular dan sistem saraf pusat. Deteksi virus biasanya melalui imunohistokimia, hibridisasi in situ, atau uji PCR. Upaya diagnosis ini tidak semudah dengan agen penyakit yang lainnya mengingat korelasi PCV2 dengan begitu banyak sindrom. Oleh karena itu, konfirmasi terhadap PCV2 harus memenuhi 3 kriteria, yaitu gejala klinis yang sesuai, lesi mikroskopis yang khas, dan konfirmasi adanya PCV2 di dalam lesi.

Kontrol yang diperlukan. Solusi terbaik untuk mengatasi kejadian PCV2 adalah dengan vaksinasi. Pembentukan kekebalan pada seluruh kawanan harus dilakukan dengan melakukan program vaksin padacalon induk/gilt dan induk dengan vaksin PCV2 yang disetujui untuk digunakan pada breeding farm. Selain itu, vaksinasi di anak juga sangat penting untuk meminimalkan resiko gangguan, mengingat maternal antibodi tidak akan cukup untuk melindungi anak babi sampai umur panen. Pastikan anda berdiskusi dengan Dokter hewan untuk mendapatkan program yang terbaik dan pengendalian penyakit berjalan dengan efektif.

Referensi :

  1. https://vetmed.iastate.edu/vdpam/research/disease-topics/swine/pcv2
  2. https://www.sciencedirect.com/topics/medicine-and-dentistry/porcine-circovirus-2
  3. https://www.pigprogress.net/health-nutrition/no-reason-to-worry-about-new-pcv2-genotypes/
  4. https://www.frontiersin.org/articles/10.3389/fvets.2018.00315/fullCurrent Knowledge on Porcine circovirus 3 (PCV-3): A Novel Virus With a Yet Unknown Impact on the Swine Industry
Porcine Circovirus Associated Disease (PCVAD)

Porcine Circovirus Associated Disease (PCVAD)

Sejak tahun 1990-an, industri babi di dunia telah melihat peningkatan yang dramatis terhadap kasus Porcine Circovirus type 2 (PCV2). Istilah PCVAD dipakai di Amerika, sedangkan di Eropa mereka lebih mengenal dengan sebutan Porcine Circoviral Disease (PCVD). Kejadian penyakit ini meluas baik di Amerika, Eropa dan dilaporkan juga di sebagian besar daerah-daerah penghasil babi. Virus ini menyerang  nodus limpa sehingga merusak sistem kekebalan tubuh dan menyebabkan babi rentan terhadap penyakit lainnya.

Pneumonia dan penyakit pernapasan lainnya yang sering disebut dengan Porcine Respiratory Disease Complex (PRDC),  Postweaning Multisystemic Wasting Syndrome (PMWS),  Porcine Dermatitis and Nephropathy Syndrome (PDNS), dan Enteritis adalah beberapa penyakit yang sering dikaitkan dengan PCV2.  

Kejadian PCVAD secara umum dapat mengakibatkan kerugian yang signifikan karena peningkatan kematian dan culling, penurunan berat badan, serta terkadang terjadi juga gangguan reproduksi (aborsi, lahir mati, mummifikasi fetus).  Gejala klinis juga terkadang tidak spesifik, seperti lesu, lemah, dyspnea, limpadenopati, diare, pucat/ikterus pada mukosa. Karena kerugian yang luar biasa, akhirnya penelitian terus dilakukan para ahli saat itu dan akhirnya pada tahun 2004 vaksin PCV2 pertama berhasil diluncurkan untuk membantu melindungi ternak babi di dunia. Baca Juga : Perlukah Program Vaksinasi di Peternakan Babi?

Penularan PCVAD umumnya dapat terjadi secara vertikal saat kebuntingan/selama menyusui dan secara horisontal melalui sekresi hidung dan feses. Kondisi bisa semakin parah jika ada faktor penunjang seperti adanya  infeksi patogen yang lain (PRRS, virus influenza IAV/SIV, Porcine Parvovirus, Salmonella dan Mycoplasma hyopneumoniae). Faktor stress karena lingkungan dan managemen juga bisa menjadi faktor lain yang memperberat resiko.

Bagaimana dengan Indonesia? Penelitian tahun 2008 telah berhasil mendeteksi adanya PCV2 dari deteksi Polymerase Chain Reaction (PCR) pada babi yang dikirim dari Indonesia ke Singapura (c). Selain itu, penelitian tahun 2015 menyimpulkan bahwa infeksi PCV2 pada peternakan babi di Bali bersifat endemis dengan prevalensi antibody anti-PCV2 sebesar 84,1% dan prevalensi virus PCV2 sebesar 1,7%. Bahkan,  tahun 2016 juga sudah ada yang berhasil meneliti karakteristik PCV2 di Papua. Jadi, tantangan ini sebenarnya sudah ada di lapangan dan siap sewaktu-waktu untuk mencuri keuntungan kita.

Oleh karena itu, mengingat tantangan penyakit yang semakin sulit, alangkah baiknya jika kita selalu menerapkan prinsip dasar  dalam pengendalian penyakit dengan baik.  Pencegahan infeksi (Biosecurity, Pig Flow, Managemen), maksimalkan IMUNITAS (Vaksinasi induk dan anak babi) , dan meminimalkan tantangan (Program menyeluruh) harus menjadi prosedur standart yang wajib dilakukan agar kontrol terhadap penyakit lebih optimal.

Referensi :

  1. https://www.bi-vetmedica.com/species/swine/diseases/PCVAD.html
  2. Allan, G.M. and Ellis, J.A., 2000.Porcine Circoviruses : a review. J Vet Diagn Invest. 12 : 3-14
  3. Manokaran,G., Lin, Y.N., Soh, M.L., Lim, E.A., Lim, C.W., and Tan, B.H., 2008. Detection of Porcine Circovirus Type 2 in Pigs Imported from Indonesia. Veterinary Microbiology 132 (1-2)  : 165-170
  4. Suartha, I.N., Anthara I.M.S., Wirata, W., Dewi, N.M.R.K., Narendra, I.G.N., Mahardika, I.G.N., 2015. Prevalensi Porcine Circo Virus secara Serologis pada Peternakan Babi di Bali. Jurnal Kedokteran Hewan Vol.9 No.1
  5. Nugroho, W., Hemmatzadeh, F., Artanto, S., Reichel, M.P., 2016.Complete Genome Characteristics of Porcine Circovirus Type 2(PCV2) Isolates from Papuan Pigs, Indonesia. International Journal of Advanced Veterinary Science and Technology. Vol.5, Issue1, pp.239-247.
  6. https://vetmed.iastate.edu/vdpam/FSVD/swine/index-diseases/circovirus
Apa itu Porcine Respiratory Diseases Complex (PRDC) ?

Apa itu Porcine Respiratory Diseases Complex (PRDC) ?

Penyakit pernapasan adalah masalah ekonomi yang serius bagi produsen babi dan dokter hewan di seluruh dunia sampai saat ini. Istilah kompleks penyakit pernapasan babi (PRDC) telah digunakan untuk menggambarkan pola kemunculan penyakit pernapasan ini. PRDC bersifat multifaktorial, melibatkan faktor manajemen dan berbagai patogen. Gejala klinis PRDC antara lain adalah lesu, anoreksia, demam, keluarnya cairan dari hidung, kotoran pada mata, batuk, sulit bernapas, dan perubahan warna ungu pada kulit, terutama ujung telinga. Tidak semua menampakkan kasus yang sama, beberapa mungkin lebih ringan dari yang lain dan sebaliknya ada juga yang muncul dengan kematian dan kerusakan permanen yang parah terjadi pada kasus yang paling serius.Patogen yang terlibat dalam PRDC dapat berupa virus atau bakteri, atau kombinasi keduanya. Agen virus yang sering terlibat termasuk PRRSV, virus corona, virus flu babi, dan circovirus (PCV2). Agen bakteri yang sering terlibat utamanya adalah Mycoplasma hyopneumoniae, Haemophilus parasuis, Streptococcus suis, Bordetella bronchiseptica, Actinobacillus suis, dan Actinobacillus pleuropneumoniae.

Oral fluid adalah metoda analisa yang sekarang ini paling umum dilakukan untuk memantau kasus penyakit pada populasi babi. Sebuah penelitian di Korea, menggunakan metoda ini untuk mengetahui tingkat dan korelasi positif dari delapan patogen yang terkait dengan kompleks penyakit pernapasan babi (PRDC) dengan menganalisis sampel cairan oral dari 214 kelompok babi dari 56 peternakan komersial. Koleksi sampel dilakukan dengan menempatkan tali pada kelompok babi yang dicurigai, secara alami tali yang digantungkan tersebut akan dikunyah-kunyah oleh babi dan kemudian kita bisa mendapatkan cairan oral yang mewakili kelompok babi tersebut. Cairan oral kemudian diuji dengan reverse-transcription polymerase chain reaction (RT-PCR) atau standar PCR bergantung pada mikroorganisme. Patogen dibagi menjadi kelompok virus dan bakteri. Dari penelitian ini dikonfirmasi adanya sindrom reproduksi dan pernafasan babi (PRRSV) dan circovirus tipe 2 (PCV2), Pasteurella multocida (PM), Haemophilus parasuis (HPS), Actinobacillus pleuropneumoniae (APP), Mycoplasma hyopneumoniae (MHP), Mycoplasma hyorhinis (MHR), dan Streptococcus suis (SS). Semua patogen terdeteksi lebih dari satu kali dalam reaksi PCR, dan analisis berdasarkan distribusi usia menunjukkan adanya peningkatan angka PCR positif untuk PCV2 dan MHP seiring dengan bertambahnya usia, sedangkan SS berbanding terbalik.

Kasus PRDC dapat secara signifikan meningkatkan biaya produksi karena peningkatan kebutuhan pengobatan, penurunan tingkat pertumbuhan dan efisiensi pakan serta kematian yang lebih tinggi. Pencegahan yang berhasil membutuhkan vaksinasi yang tepat waktu, menghilangkan stresor lingkungan dan, perubahan manajemen. Faktor kunci dalam pencegahan dan kontrol PRDC antara lain adalah menerapkan biosekuriti yang ketat, hindari mencampur babi lebih dari yang diperlukan/pindahkan babi jika benar-benar penting saja, jangan terlalu padat, program vaksinasi yang sesuai dengan tantangan di kandang, pantau suhu setiap hari dan hindari fluktuasi suhu (± 2 ° C), kelembapan relatif dijaga di bawah 70 persen dengan menggunakan sistem ventilasi yang dirancang dan dioperasikan dengan baik, hindari kadar amonia yang berlebihan (> 50 ppm) dengan membuang udara pengap dengan ventilasi yang baik, kurangi migrasi larva Ascaris dengan menerapkan rencana pengendalian cacing yang baik.

Referensi :

  1. https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0749072015300062
  2. https://www.researchgate.net/publication/307591679_A_survey_of_porcine_respiratory_disease_complex_PRDC_associated_pathogens_among_commercial_pig_farms_of_Korea_via_oral_fluid_method
  3. https://www.thepigsite.com/articles/porcine-respiratory-disease-complex

Perlukah Program Vaksinasi pada Ternak Babi ?

Perlukah Program Vaksinasi pada Ternak Babi ?

Industri peternakan babi di dunia masih disibukkan dengan penyakit African Swine Fever (ASF) sampai sekarang. Pengobatan maupun vaksin yang tepat untuk mengontrol ASF masih belum ditemukan, sehingga peternak babi di seluruh dunia masih terus memantau inovasi dari penelitian vaksin, temasuk peternak kita di Indonesia. Mengapa vaksin ASF ditunggu-tunggu dan menjadi penting? ASF membunuh hampir semua babi yang terinfeksi dan telah menghancurkan usaha peternakan babi sejak terjadinya outbreak di Cina pada 2018, dan kejadian ini masih berlanjut bahkan menyebar ke negara lain di Asia.

Koreksi populasi karena ASF ini menyebabkan suply dan demand tidak seimbang, serta diikuti dengan fluktuasi harga daging babi di pasaran yang cenderung melambung tinggi. Hal ini menjadi sebuah tantangan dan peluang tersendiri, mengingat yang dapat bertahan hampir dipastikan akan memetik hasilnya dimasa depan. Investasi biosecurity yang ketat dapat menjadi pertahanan utama dalam menangkal ASF, serta manajemen pemeliharaan yang baik (pengaturan nutrisi, program medikasi dan vaksinasi terhadap penyakit-penyakit penting) dapat mengoptimalkan performa farm.

Lalu bagaimana dengan penyakit-penyakit yang vaksinnya sudah tersedia di market? Apakah kita sudah mengoptimalkan penggunaannya? Di Indonesia, penyakit pada babi yang sudah tersedia vaksinnya antara lain adalah Classical Swine Fever (Hog Cholera, Mycopasma, PCV2 (Porcine Circovirus Associated Disease = PCVAD), Porcine Reproductive and Respiratory syndrome (PRRS), Haemophilus parasuis. Secara fakta dilapangan, penyakit-penyakit diatas sudah terdeteksi dilapangan dan sebenarnya juga juga perlu diwaspadai selain ASF saat ini. Baca juga : Swine Influenza pada Babi.

Walaupun tingkat mortalitas PCVAD tidak seganas ASF, tetapi kejadian ini cukup merugikan peternak karena performa farm menjadi tidak maksimal, apalagi jika disertai tantangan infeksi PRRS dan Porcine Parvovirus (PPV). Selain manifestasi Post-weaning Multisystemic Wasting Syndrome (PMWS), Porcine Dermatitis and Nephropathy Syndrome (PDNS), Porcine Respiratory Disease Complex (PRDC) pada anakan, PCVAD juga bisa menyerang induk. Kombinasi PRRS, PPV dan PCV2 telah menjelma menjadi penyakit yang paling merugikan pada breeding farm karena dapat menyebabkan gangguan reproduksi. Namun pada kenyataannya, peternak masih banyak mengabaikan/tidak menyadari penyakit ini karena “hanya bersifat sindrom” dan tidak jarang tanpa gejala.

Gambaran klinis PCVAD pada anakan selalu mencakup wasting, kurangnya respon terhadap pengobatan dan mortalitas. Mortalitas sangat bervariasi dan dapat bersifat sporadis. Angka mortalitas bisa mencapai 10-15%, dan terkadang jauh lebih tinggi jika disertai dengan infeksi lain, seperti virus PRRS. Gejala klinis yang dapat terlihat diantaranya diare, pucat, ikhterus dan lesi kulit yang biasanya dapat diamati antara usia 5-20 minggu.

Perubahan organ yang dapat diamati saat nekropsi adalah paru-paru yang tidak collapse secara normal, pembesaran limfonodus/kelenjar getah bening dan ginjal (dengan/tanpa bintik putih). Lesi lain yang mungkin bisa terlihat adalah edema interlobular paru-paru, edema mesenterium, infark kecil pada limpa (membesar dengan spot area gelap). Tidak terdapat lesi tunggal yang muncul pada semua kasus, sehingga seringkali perlu dilakukan nekropsi pada beberapa babi yang sakit, sehingga hasilnya representatif dalam mengidentifikasi lesi.

Vaksinasi terhadap Circovirus tipe 2 (PCV2) menjadi strategi intervensi yang paling umum secara global, dan digunakan pada babi yang sedang dalam masa pertumbuhan. Sejak tahun 2006, sudah terdapat beberapa produk yang tersedia secara komersial. Prof John C.S. Harding, peneliti PCV2 dari Universitas Saskatchewan Kanada menyatakan bahwa vaksinasi di anakan terbukti sangat ampuh mencegah PCVAD di seluruh dunia. Untuk menilai keefektifan vaksinasi PCV2 di lapangan, kita dapat melihat dari penurunan angka mortalitas dan culling, peningkatan pertumbuhan berat badan serta pengurangan penggunaan obat sebagai parameter yang paling relevan untuk diukur. Program vaksinasi terhadap PCV2 biasanya dilakukan pada anak babi menjelang usia sapih, dan jika diperlukan induk juga bisa dilakukan program vaksinasi secara periodik untuk menjaga performa reproduksinya.

Kita tidak boleh melupakan dampak PCVAD terhadap industri babi baik di induk maupun anakan, sehingga kita perlu untuk mengingat pentingnya pelaksanaan vaksinasi PCV2 dengan benar. Kita harus terus berupaya untuk menentukan program pengendalian yang ideal dan sesuai untuk farm masing-masing, sehingga dapat memperoleh manfaat maksimal dari investasi vaksin.

Sekali lagi, African Swine Fever (ASF) mungkin menyadarkan kita pentingnya vaksin karena dampak mortalitas yang mencapai 100%. Tetapi perlu diingat, penyakit – penyakit lain yang sudah terdeteksi di lapangan dan tidak tertangani dengan baik juga berpotensi untuk menurunkan performa farm yang tentunya juga berdampak pada tidak tercapainya potensi keuntungan yang maksimal. Jika ingin lebih optimal dan berhasil, mari kita lakukan evaluasi dan mulai menerapkan manajemen pemeliharaan yang terbaik untuk ternak babi kita dengan menyusun program biosekuriti, medikasi, nutrisi dan juga vaksinasi yang baik. Baca juga : Pentingnya Biosekuriti pada Peternakan Babi.

Referensi :
https://www.thepigsite.com/news/2020/06/vaccine-for-asf-shows-promise-in-clinical-trials
https://research.rabobank.com/far/en/sectors/animal-protein/pork-quarterly-q2-2020.html
https://www.oie.int/en/animal-health-in-the-world/oie-listed-diseases-2020/
https://porkgateway.org/resource/porcine-circovirus-associated-disease-description-cause-and-transmission/
https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0167587714003444?via%3Dihub
https://www.pigprogress.net/Home/General/2009/9/PCV2-vaccination-changing-the-pig-industry-PP005946W/
https://www.semanticscholar.org/paper/PCV2-vaccination-changing-the-pig-industry%3A-Part-2.-Siebel/de555bcf57a5bcd471654d2a9a06db5d3dd46b23
https://www.pigprogress.net/Home/General/2010/12/PCV2-vaccination-changing-the-pig-industry-Part-3-Reduced-antibiotic-usage-and-improved-performance-go-together-PP007016W/
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/16711565/
https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0021997599903377?via%3Dihub
https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0167587710003387?via%3Dihub
https://www.pig333.com/articles/what-has-changed-about-porcine-circovirus-epidemiology_16002/
https://www.pigprogress.net/Health-Diseases/Health/2013/9/Boehringer-Vaccine-for-PCV2-and-Mycoplasma-1367177W/

error: Content is protected !!