Mikoplasma adalah penyakit pernafasan kronis yang meluas pada babi yang ditandai dengan batuk, gangguian pertumbuhan dan berkurangnya efisiensi pakan. Mikoplasma pada babi yang sering disebut dengan “Enzootic Pneumonia (EP)” adalah penyakit yang umum dan tersebar luas yang terjadi sepanjang tahun. EP sering lebih terlihat dalam bentuk kronis di mana ada populasi ternak babi dengan kondisi peternakan dan lingkungan yang buruk. Penyakit ini bisa muncul setelah penyapihan, yaitu ketika kekebalan pasif telah berkurang, tetapi lebih sering terjadi pada tahap grower dan finisher. Pneumonia karena Mikoplasma sering berinteraksi dan berkontribusi pada penyakit pernapasan lainnya dan dianggap memiliki peran sentral terjadinya penyakit pernapasan komplek babi (PRDC). EP dilaporkan di sebagian besar negara yang mempunyai peternakan babi dan dikenal sebagai penyakit babi yang merugikan karena efek negatifnya pada tingkat pertumbuhan dan efisiensi pakan, dan juga perannya dalam kejadian PRDC.
Mycoplasma hyopneumoniae yang merupakan agen penyebab EP sulit diisolasi dan tumbuh lambat di laboratorium. Patogen ini relatif kecil, dan sebenarnya hanya bertahan dalam waktu singkat di lingkungan kandang babi dan dapat dihancurkan oleh sebagian besar disinfektan. Namun jika penanganannya tidak tepat, Mycoplasma hyopneumoniae beresiko meningkatkan keparahan beberapa infeksi lain, termasuk penyakit sindrom reproduksi dan pernapasan babi (PRRS) dan influenza. Selain itu, dia juga mampu bertindak sendiri sebagai patogen primer yang signifikan. Selain Mycoplasma hyopneumoniae, pada babi juga terdapat Mycoplasma hyosynoviae yang menjadi penyebab sporadis dari sinovitis epidemik pada babi yang sedang tumbuh dan Mycoplasma hyorhinis yang umumnya dilaporkan menyebabkan poliserositis fibrinosa pada babi muda.
Babi carrier/pembawa adalah sumber infeksi yang paling umum dan sangat penting, karena M. hyopneumoniae tidak dapat bertahan lama di lingkungan. Organisme ini bertahan selama berbulan-bulan di paru-paru babi yang terinfeksi, termasuk ternak muda. Organisme ini sering diisolasi dari sekresi hidung sehingga penularan melalui kontak langsung dan batuk mungkin terjadi. Penularan lewat udara juga sangat mungkin terjadi, bukti empiris menunjukkan bahwa penyebaran aerosol dapat terjadi dalam beberapa mil sehingga status populasi babi yang bebas mikoplasma relatif sulit untuk dipertahankan.
Mycoplasma hyopneumoniae dapat diamati secara mikroskopis pada epitel siliaris trakea, bronkus dan bronkiolus. Faktor virulensi yang berasal dari protein membran luar M. hyopneumoniae akan merusak beberapa mekanisme pertahanan pernapasan dan memfasilitasi infeksi. Membran sel akan menyamarkan antigen pelindung, membuat respons imun menjadi tidak efisien. Kualitas udara yang buruk (debu atau gas berbahaya) dapat mengiritasi saluran udara dan meningkatkan kerentanan. Lesi awal EP adalah bronkitis dan bronkiolitis. Ada hiperplasia sel yang mengeluarkan lendir di mukosa dan hilangnya silia dari banyak sel epitel saluran udara. Reaksi radang kemudian akan menyebar ke alveoli sekitarnya menyebabkan alveolitis, pneumonia, obstruksi jalan napas, dan atelektasis. Peningkatan lendir di saluran udara, ciliostasis, dan tekanan jaringan limfoid di sekitarnya kemudian akan mengganggu pembersihan lendir dan eksudat paru. Dengan kondisi ini, infeksi patogen/bakteri sekunder lainnya berkontribusi secara substansial dan merupakan penyebab umum dari pneumonia berat dan kematian.
Tanda klinis EP yang utama adalah batuk kronis, persisten, dan tidak produktif. Onset sering terjadi sekitar 2-3 minggu setelah terpapar dan biasanya bertahap dalam kawanan dan bisa berlangsung selama berminggu-minggu hingga berbulan-bulan. Debu yang berlebihan, gas yang mengiritasi, atau infeksi yang terjadi secara bersamaan dapat menyebabkan batuk yang lebih parah. Saat pneumonia berkembang pada beberapa babi, dispnea/gangguan pernafasan menjadi lebih jelas dan pertumbuhan menjadi terhambat serta efisiensi pakan menurun, walaupun nafsu makan sebenarnya cinderung masih normal. Morbiditas/angka kesakitan karena EP sangat tinggi, tetapi mortalitasnya rendah, jika tidak ada infeksi campuran agen penyakit yang lainnya.
Pada babi yang terkena EP, lesi pneumonik pada paru-paru sebagian besar berbatas tegas pada cranioventral dan melibatkan lobus apikal, intermediate, serta jantung. Kejadian bisa meluas ke lobus diafragma pada kasus yang parah. Lesi kronis biasanya berkurang volumenya dan berwarna abu-abu gelap, sedangkan lesi yang lebih baru cenderung berwarna coklat kemerahan atau abu-abu terang dengan diikuti edema, lendir/eksudat mukopurulen, dan sel radang yang terlihat di saluran udara. Area menonjol yang berdekatan dengan area pneumonia sering kali berwarna merah muda dan lebih pucat daripada paru-paru normal. Infeksi sekunder dengan patogen pernapasan lain sering terjadi dan dapat mengubah tampilan lesi yang dipicu oleh mikoplasma.
Perubahan lesi paru-paru mungkin khas, tetapi tidak patognomonik untuk M. hyopneumoniae, jadi disaat kita melihat konsolidasi paru-paru kranioventral atau bronkogenik dengan batas-batas yang jelas merupakan ciri khas bronkopneumonia bakterial, hal ini masih perlu dianalisa lebih lanjut karena tidak selalu berhubungan dengan keberadaan M. hyopneumoniae. Oleh karena itu, disinilah peran uji laboratorium dalam menegakkan diagnosa. Proses isolasi biasanya memerlukan waktu yang lama, melelahkan, sulit serta umumnya tidak tersedia secara rutin. Identifikasi agen dalam sampel paru-paru yang diambil saat nekropsi dimungkinkan menggunakan teknik antibodi fluoresen, imunohistokimia, atau polymerase chain reaction (PCR). Tes serologis termasuk tes fiksasi komplemen dan tes enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) dapat berguna tetapi interpretasi harus dibuat dengan hati-hati. Pengujian per individu memiliki nilai yang kecil karena banyak babi tanpa penyakit ternyata aktif memiliki antibodi terhadap M. hyopneumoniae atau mikoplasma lain yang bereaksi silang dan cinderung berkembang perlahan pada banyak hewan yang terinfeksi. Tes PCR memungkinkan diagnosis infeksi yang lebih dini dan lebih akurat karena deteksi organisme ini menegaskan keberadaan organisme.
Banyak metode pengendalian EP yang digunakan. Beberapa breeding berusaha agar stok genetik dipertahankan negatif untuk M. hyopneumoniae walaupun harus memiliki protokol isolasi, aklimatisasi, pengujian, dan biosekuriti yang cermat untuk memastikan organisme tidak dimasukkan ke dalam stok pengembangbiakan. Ternak yang paling negatif adalah hasil depopulasi dan repopulasi dengan bibit negatif. Dalam beberapa kasus, ternak menjadi negatif melalui pengobatan ketat atau penyapihan awal dipisahkan, dan program penyakit minimal lainnya. Mempertahankan ternak komersial bebas dari infeksi M. hyopneumoniae jika ditempatkan di daerah padat babi relatif sulit dalam jangka panjang. Baca juga : Pentingnya Biosekuriti pada Peternakan Babi.
Strategi pengendalian yang dikembangkan di Eropa dikenal dengan “depopulasi Swiss”. Strategi eliminasi ini relatif sulit karena melibatkan periode vaksinasi intensif untuk semua hewan di peternakan diikuti dengan pemindahan semua hewan yang berusia kurang dari 10 bulan. Untuk jangka waktu 3 minggu setelah ini, proses farrowing dihentikan. Selama periode stand-down, semua hewan yang tersisa di peternakan secara intensif diobati dengan antibiotik yang ditujukan untuk menghilangkan organisme M. hyopneumoniae yang mungkin berada di hewan pembawa. Pemusnahan semua babi yang rentan dikombinasikan dengan program vaksinasi / pengobatan umumnya menghasilkan penurunan efek yang signifikan dari penyakit hingga dua tahun.
Langkah-langkah lain untuk membantu dalam pengendalian tetapi tidak mengeliminasi patogen adalah proses penyapihan dini, penyapihan dini dengan pengobatan (MEW = medicated early weaning) atau modifikasi MEW. Anak babi disapih sebelum usia 21 hari, untuk mencegah penularan M. hyopneumoniae (dan organisme lain) dari induk. Sapihan ini dipindahkan ke tempat pembibitan yang terpisah dan bersih serta dikondiskan terpisah sesuai kelompok umur dengan sistem manajemen menyeluruh yang baik. Baca juga : Perlukah Program Vaksinasi pada Peternakan Babi.
Dengan strategi yang sudah ada ini, baik dengan menghilangkan atau mengendalikan M. hyopneumoniae ternyata penyakit ini tetap menjadi masalah ekonomi yang signifikan, terutama jika lokasi peternakan tersebut virus PRRS atau virus influenza babi (SIV) bersifat endemik. Vaksin umumnya dianggap berkhasiat dan dapat efektif dalam mengurangi kerugian akibat infeksi M. hyopneumoniae karena vaksin akan membantu mengurangi lesi paru-paru dan meningkatkan kinerja pertumbuhan. Pada beberapa kasus, induk betina biasanya juga divaksinasi tetapi sebagian besar program bergantung pada vaksinasi anak babi yang dilakukan sebelum sapih. Selain itu, antibiotik dapat digunakan untuk membantu perbaikan manajemen walaupun seringkali dengan hasil yang tidak konsisten. Khasiat antimikroba dalam mengendalikan M. hyopneumoniae mungkin terkait dengan aktivitas antimikoplasma atau ada tidaknya infeksi lain. Antibiotik yang dilaporkan berkhasiat untuk M. hyopneumoniae antara lain adalah lincomycin, tiamulin, tetracyclines, tylosin, tilmicosin, tulathromycin, enrofloxacin.
Referensi :
4 Comments