Penyakit Pernafasan pada Sapi

Penyakit Pernafasan pada Sapi

Dalam proses pemeliharaan ternak sapi, kendala gangguan pernafasan masih sering di temui. Kita tentunya tidak asing dengan istilah Bovine Respiratory Disease (BRD), yang mengacu pada penyakit pada saluran pernapasan atas atau bawah ternak sapi. BRD umumnya dikaitkan dengan infeksi paru-paru yang menyebabkan pneumonia pada anak sapi yang baru saja disapih atau baru saja tiba/dikirim ke feedlot. BRD paling umum terjadi dalam minggu-minggu pertama kedatangan, tetapi dapat terjadi kemudian pada periode selanjutnya atau saat anak sapi di padang rumput. BRD adalah penyakit multi-faktorial yang kompleks dimana sejumlah faktor harus berinteraksi untuk menyebabkan penyakit. Secara umum, bakteri dan virus yang menyebabkan BRD dapat ditemukan pada saluran hidung sapi yang sehat. Faktor lain seperti stres dari transportasi, pencampuran, dan cuaca kemudian akan mempengaruhi tingkat kejadian penyakit ini. Jadi, hal yang perlu kita perhatikan terkait kejadian BRD adalah faktor inang, agen infeksi dan lingkungan.

Faktor inang mengacu pada karakteristik hewan yang membuatnya lebih rentan terhadap penyakit, yaitu umur, status kekebalan, paparan sebelumnya terhadap patogen, genetika, dll. Agen infeksi atau patogen secara luas dapat dikategorikan sebagai virus, bakteri dan parasit. Virus yang berperan antara lain bovine herpes virus (IBR); bovine parainfluenza virus (PI-3); bovine respiratory syncytial virus (BRSV); bovine viral diarrhea virus (BVD), and bovine coronavirus (BCoV). Bakteri yang berperan antara lain Mannheimia haemolytica, Pasteurella multocida, Histophilus somni dan Mycoplasma spp. Selain itu, cacing paru-paru (lungworm) adalah parasit yang juga bisa berperan pada kejadian BRD. Faktor lingkungan seperti transportasi, percampuran, fluktuasi suhu, kepadatan , ventilasi, asal ternak atau kondisi kandang dapat meningkatkan derajat keparahan penyakit. Hewan di kandang yang penuh sesak atau berdebu, ventilasi yang buruk, dan berasal dari sumber yang tidak jelas akan lebih beresiko terhadap kejadian BRD.

Jika menilik kejadian di lapangan, sapi penggemukan yang menunjukkan tanda depresi akan cinderung memisahkan diri. Hal ini biasanya terjadi dalam 2 minggu pertama setelah kedatangan. Suhu tubuh telah digunakan untuk indikasi awal apakah ternak ini harus dirawat secara khusus atau tidak. Gejala klinis yang umumnya teramati adalah demam lebih dari 40°C (>104°F), sulit bernapas, keluar leleran hidung, depresi, nafsu makan berkurang atau tidak ada, pernapasan cepat dan dangkal, serta batuk. BRD mungkin tidak selalu terkait “saat kedatangan” tetapi seringnya terjadi setelah peternak mengurangi level pengawasan mereka terhadap ternak yang baru datang. Beberapa agen infeksi seperti Mycoplasma tidak menghasilkan toksin seperti apa yang dihasilkan bakteri lain sehingga ternak yang baru datang ini bisa terlihat “normal” dan tidak tertekan. Oleh karena itu, evaluasi secara detail dan tidak abai akan menjadi kunci pembeda dalam kejadian kasus BRD di lapangan.

 

https://www.nadis.org.uk/disease-a-z/cattle/calf-management/respiratory-disease-in-dairy-and-beef-rearer-units/

Sekali lagi, kejadian BRD ini disebabkan oleh beberapa faktor. Selain faktor patogen, faktor lingkungan terutama transportasi/pengiriman selalu dikaitkan dengan BRD selama beberapa dekade terakhir. Atas dasar itulah maka penyakit ini disebut juga dengan istilah “shipping fever“. Sebuah penelitian yang melibatkan anak sapi yang tiba di 21 tempat penggemukan komersial AS dari tahun 1997 hingga 2009 menyimpulkan bahwa jarak yang ditempuh juga berkorelasi dengan kejadian BRD. Selain transportasi, cuaca juga selalu terlibat dalam terjadinya BRD. Kejadian BRD juga cinderung lebih tinggi saat kita membeli ternak di pasar hewan dimana banyak ternak bercampur menjadi satu di suatu tempat. Interaksi ini sangat beresiko menjadi sumber penularan. Oleh karena itu, sebaiknya kita membeli ternak dari 1 lokasi peternakan yang sudah teruji kualitasnya. Selain itu, sebagian besar penelitian menemukan bahwa anak sapi dengan bobot lebih ringan memiliki risiko lebih tinggi terkena BRD.

Konsep pemeliharaan anak sapi untuk mengurangi tingkat stres pertama kali diperkenalkan pada tahun 1967. Selain ketercukupan kolostrum, praktek manajemen yang bisa menjadi alternatif untuk kita persiapkan dalam upaya mengurangi kasus BRD adalah pelaksanaan program vaksinasi terhadap penyakit pernafasan setidaknya 3 minggu sebelum pengiriman. Vaksinasi terhadap Mannheimia haemolytica dan Pasteurella multocida umumnya lebih memberikan banyak manfaat dibandingan dengan vaksin Histophilus somni. Namun, yang ideal adalah sebaiknya kita bisa melakukan survei terlebih dahulu terkait patogen apa saja yang menjadi tantangan di lapangan, sehingga pemilihan strategi baik itu dengan vaksinasi, medikasi ataupun yang lainnya bisa lebih sesuai dan tepat sasaran.

Penyakit pernapasan sapi menjadi penyebab masalah kesehatan yang penting di semua sistem peternakan sapi dan berkontribusi besar terhadap penggunaan antimikroba, membahayakan kesejahteraan hewan dan keberlanjutan industri ternak. Tindakan pencegahan BRD saat ini berfokus pada tingkat hewan atau kelompok individu dan mencakup vaksinasi, pengobatan massal dengan antimikroba dan perbaikan lingkungan hewan dan status kesehatan umum. Meskipun kemajuan dalam pemahaman kita tentang mekanisme penyakit dan perkembangan teknologi, tindakan pencegahan saat ini tidak cukup efektif. Oleh karena itu, diperlukan strategi alternatif yang berkelanjutan untuk memerangi penyakit ini.

Sebuah penelitian di Norwegia menyampaikan bahwa, beberapa agen infeksi utama BRD adalah virus yang mudah ditularkan antar kawanan seperti bovine respiratory syncytial virus (BRSV) dan bovine coronavirus (BCoV). Atas dasar inilah, mereka kemudian melakukan analisis konseptual guna memerangi BRD melalui peningkatan biosekuriti dalam kawanan ternak. Sebagai contoh, mereka melakukan pendekatan berbasis populasi untuk pengendalian BRD, terutama terkait pengendalian BRSV/BCoV. Intinya adalah mengklasifikasikan kawanan berdasarkan pengujian antibodi dan pencegahan selanjutnya dari pengenalan virus melalui langkah-langkah biosekuriti yang lebih ditingkatkan. Hal ini mencakup biosekuriti kawanan untuk mengurangi penularan virus secara langsung dan tidak langsung. Peningkatan biosekuriti dalam sebagian besar ternak akan menyebabkan efek yang cukup besar pada tingkat populasi karena ternak yang terindikasi sakit akan terisolasi lebih awal sehingga tidak menjadi sumber penularan. Sangatlah penting untuk memiliki pemahaman yang sama terkait penanganan BRD ini, baik itu peternak, industri, dokter hewan dan pelaku usaha lainnya. Dengan mengurangi kejadian BRD pada sapi maka akan mengarah pada pengurangan penggunaan antimikroba, dan juga bisa meningkatkan kesehatan, kesejahteraan dan produksi hewan. Baca juga : Biosekuriti di era New Normal.

Banyak penelitian dilakukan terkait kasus BRD.Tinjauan terkait nutrisi menemukan bahwa, peningkatan energi akan meningkatkan pertambahan berat badan (ADG) tanpa mempengaruhi kejadian BRD. Studi lainnya menemukan bahwa kejadian BRD cenderung meningkat setelah kandungan konsentrat melebihi 50% dari pakan, atau morbiditas BRD meningkat setelah protein kasar melebihi 14%. Vitamin A, D, dan E yang disuntikkan tidak terbukti kuat dalam perannya mengurangi kasus BRD. Terakhir, penambahan suplemen dengan kalium, tiamin, vitamin B, tembaga, seng, vitamin E, selenium, dan protein bypass ternyata tidak ada yang secara signifikan mempengaruhi kejadian BRD.

https://publications.mla.com.au/login/GetDocViewer/11-10541.pdf

Strategi pengobatan metafilaksis dapat membantu mengendalikan BRD pada pedet yang berisiko tinggi, tetapi pemberian antimikroba oral, baik dengan air atau pakan, mungkin juga tidak bisa optimal karena kondisi sapi yang stres umumnya nafsu makan sudah dibawah standart sehingga dosis yang diberikan tidak masuk. Sediaan injeksi idealnya memberikan respon yang lebih baik daripada pemberian lewat air minum ataupun pakan. Sebuah analisis yang dilakukan pada awal 1990-an juga menyimpulkan bahwa ada kekurangan penggunaan pengobatan massal dengan antimikroba oral. Namun demikian , dilain pihak juga ditemukan bahwa penggunaan chlortetracycline dan sulfamethazine dalam ransum dapat membantu pengobatan dan menurunkan angka morbiditas BRD. Jadi, pastikan kita juga saat melakukan terapi mengobati pada saat kedatangan juga memastikan menggunakan antibiotik yang memang ditujukan untuk mengontrol BRD. Dengan adanya aturan ketat terkait penggunaan antibiotik, maka aplikasi dilapangan harus benar-benar sesuai aturan dan hanya untuk terapi pengobatan saja. Penggunaan preparat fluoroquinolon, sefalosporin generasi ke-3 dan ke-4 dan makrolida bisa menjadi alternatif dalam terapi pengobatan kasus BRD di lapangan. Silahkan anda berkonsultasi dengan dokter hewan mengenai penggunaan antibiotik untuk pengendalian dan pengobatan BRD agar isu mengenai resistensi bisa diminimalkan.

Kondisi lain yang idealnya dipenuhi dalam pemeliharaan ternak sapi adalah lingkungan kandang. Kandang dengan alas kering dan bersih, tidak padat, manajemen stres baik, ventilasi baik, dan meminimalkan debu atau cemaran lainnya dapat membantu mengurangi resiko penyakit. Di lokasi peternakan ada baiknya juga menyediakan obat-obatan tambahan lainnya seperti anti radang nonsteroid (NSAID) dan imunomodulator. Sediaan ini telah digunakan untuk membantu kinerja antimikrobia dalam mengobati BRD selama beberapa dekade karena bisa membantu mengurangi kejadian radang dan menurunkan rasa sakit pada ternak. Meloxicam adalah contoh sediaan yang umumnya digunakan. Selain itu, penggunaan NSAID sebelum proses pengebirian secara signifikan juga mampu mengurangi kejadian BRD.

Pengobatan ada kalanya juga mengalami kegagalan. Hal yang umumnya menjadi penyebabnya antara lain adalah kondisi penyakit yang sudah terlanjur parah, diagnosa tidak tepat, dosis pengobatan tidak tepat, pemilihan antimikrobia yang tidak tepat, adanya proses penyakit simultan lainnya (Infectious Bovine Rhinotracheitis/IBR, Post Calving Metritis), serta penggunaan antimikrobia secara berlebihan sehingga memicu resistensi. Recording produksi juga bisa membantu kita dalam menganalisa kejadian penyakit yang umumnya terjadi di kandang. Catatan ini bisa menjadi acuan yang baik untuk melakukan antisipasi di lapangan. Selain itu, nekropsi hewan yang sakit sejak awal wabah juga bisa menjadi alternatif kita untuk melakukan diagnosa di lapangan, sekaligus mengambil sampel untuk dikirimkan ke laboratorium, sehingga masalah dapat tertangani dengan lebih cepat dan akurat.

Metode diagnosis saat ini untuk kasus BRD di feedlot memiliki akurasi yang relatif rendah. Sebuah penelitian telah dilakukan dengan tujuan untuk mencari metode yang akurat dalam mendiagnosa BRD, yaitu mencari biomarker darah BRD menggunakan metabolomik 1H NMR. Penelitian ini dilakukan dengan mengambil sampel hewan dengan tanda klinis visual (BRD, n = 149) dan sehat secara visual (non-BRD; n = 148) untuk di analisis metabolisme darahnya. Lesi paru-paru yang menunjukkan BRD kemudian dinilai saat dilakukan penyembelihan hewan ternak. Metabolomik 1H NMR yang tidak ditargetkan digunakan untuk mengembangkan algoritme untuk memprediksi klasifikasi penyakit. Dengan tidak adanya standar baku untuk diagnosis BRD, maka ada beberapa metode diagnosis yang digunakan untuk menentukan hewan sebagai BRD atau non-BRD. Sensitivitas (Se) dan spesifisitas (Sp) digunakan untuk memperkirakan akurasi diagnostik (Acc). Hasilnya, uji metabolik darah ternyata mampu menunjukkan akurasi yang tinggi dalam mendiagnosis BRD terhadap ternak yang menunjukkan tanda-tanda visual BRD (Acc = 0.85). Namun demikian, diagnosa BRD kurang akurat jika menggunakan metode suhu rektal (Acc = 0.65), skor auskultasi paru (Acc = 0.61) dan lesi paru saat pemotongan (Acc = 0.71). Fenilalanin, laktat, hidroksibutirat, tirosin, sitrat dan leusin juga diidentifikasi sebagai metabolit penting dalam mengklasifikasikan hewan sebagai BRD atau non-BRD. Jadi, dalam penelitian ini disimpulkan bahwa metode uji BRD dengan menggunakan metabolik darah mampu mengklasifikasikan hewan BRD dan non-BRD dengan akurasi tinggi dan menunjukkan potensi untuk digunakan sebagai alat diagnosis BRD.

Akhirnya, kita sekarang tentu lebih tahu tentang apa itu BRD. Oleh karena itu, upaya perbaikan manajemen, biosekuriti dan vaksinasi bisa dikombinasikan untuk menjadi solusi alternatif dalam upaya mengendalian kasus BRD. Pastikan kita mengenali patogen apa saja yang menjadi tantangan di lapangan sehingga kemudian kita bisa merumuskan program atau strategi yang jelas agar hasil usaha peternakan kita bisa lebih optimal lagi. Baca juga : Peternakan Sapi Perah di Indonesia.

Terima kasih.

Referensi :

  1. http://www.beefresearch.ca/research-topic.cfm/bovine-respiratory-disease-38
  2. https://www.mla.com.au/research-and-development/animal-health-welfare-and-biosecurity/diseases/infectious/bovine-respiratory-disease/#
  3. https://www.nadis.org.uk/disease-a-z/cattle/calf-management/respiratory-disease-in-dairy-and-beef-rearer-units/
  4. https://www.nature.com/articles/s41598-019-56809-w Diagnosis of Bovine Respiratory Disease in feedlot cattle using blood 1H NMR metabolomics
  5. https://www.frontiersin.org/articles/10.3389/fvets.2020.00167/full Using Biosecurity Measures to Combat Respiratory Disease in Cattle: The Norwegian Control Program for Bovine Respiratory Syncytial Virus and Bovine Coronavirus

 

4 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!