Apakah pentingnya menganalisis kesuburan ternak kita sapi? Apakah kita sudah melakukan evaluasi dalam usaha peternakan kita secara benar? Seberapa efektif performance reproduksi peternakan kita? Pertanyaan-pertanyaan diatas adalah sedikit dari banyak hal yang harus kita pikirkan jika kita menjalani usaha peternakan sapi, baik itu breeding sapi potong atau sapi perah. Kita tentunya tidak ingin mengeluarkan biaya tinggi tanpa memperoleh return yang baik bukan? Kegagalan dalam menganalisa tingkat kesuburan ternak akan berakibat fatal dalam kelangsungan produksi dan tentunya menimbulkan kerugian yang tidak sedikit.
Recording menjadi data penunjang yang idealnya dimiliki oleh setiap peternak. Salah satu alasan utama untuk ini adalah untuk melakukan analisis, apakah peternakan kita sudah sesuai target atau masih harus dilakukan intervensi agar menghasilkan performa yang optimal. Analisa ini sebenarnya tidak sulit, tetapi tanpa adanya rekam data dan catatan penting lainnya maka peternak dan dokter hewan tidak dapat mengidentifikasi area yang perlu diperbaiki untuk meningkatkan kinerja.
Jika kita belum memiliki metoda pencatatan yang baik, berikut adalah 3 angka patokan yang dapat berguna untuk dievaluasi terkait analisa tingkat kesuburan pada peternakan sapi kita :
- sapi yang dikawinkan – TARGET > 95% : Ini adalah kesuburan kawanan secara keseluruhan dimana 95% betina idealnya melahirkan setelah periode kawin 9-10 minggu. Jika didapati > 5% sapi mandul harus ada penyelidikan untuk kemungkinan penyebab infertilitas, baik itu berupa kegagalan bunting atau keguguran/aborsi yang tidak normal. Kita perlu melihat lebih dalam, apakah ini terjadi pada sapi muda atau tua? kapan mereka melahirkan pada periode melahirkan sebelumnya? dan apakah mereka memiliki anak sapi yang buruk?
- sapi beranak dalam 21 hari pertama siklus – TARGET > 65% : Ini adalah angka patokan yang mencerminkan efisiensi kesuburan sapi induk dan sapi jantan secara keseluruhan. Kita harus menghitung hari pertama periode melahirkan dengan menambahkan 285 hari pada tanggal sapi jantan ditempatkan bersama sapi induk. Lalu, masukkan semua sapi yang beranak dalam 21 hari berikutnya ditambah semua anak sapi sebelum dihitung mulai melahirkan. Semakin tinggi persentase pedet yang lahir pada periode ini, semakin tinggi rata-rata bobot sapih yang secara signifikan akan meningkatkan produksi ternak.
- anak sapi – TARGET > 94% : Ini adalah angka yang mencerminkan output kesuburan secara keseluruhan termasuk kematian anak sapi. Jika < 90% maka kita harus evaluasi, apakah kesuburan induk sapi yang buruk atau kematian/kehilangan anak sapi yang menjadi masalah.
Tanpa adanya data performance, maka peternak dan dokter hewan akan relatif sulit menganalisis, sulit untuk menargetkan saran dan upaya untuk memaksimalkan keuntungan. Ketika evaluasi “mesin produksi” gagal dilakukan, maka biasanya kita kemudian fokus ke area yang lebih mudah, misalnya mengurangi area kehilangan pedet karena gangguan reproduksi (distosia dan penyakit neonatus). Kondisi inilah yang mungkin menyebabkan banyak peternak yang lebih senang fokus di penggemukan sapi potong daripada breeding/sapi perah yangmana performa reproduksi dituntut untuk selalu baik. Selain itu, diperlukan effort dan biaya yang relatif lebih besar untuk memdapatkan kawanan yang terbaik termasuk dalam hal pemilihan bibit. Baca juga : Tantangan Beternak sapi Potong
Untuk mencapai target diatas, maka kita harus secara proaktif mengelola kawanan untuk dapat memastikan semua area potensi ditangani dengan baik. Hal ini meliputi kondisi dan nutrisi tubuh sapi, manajemen penggantian sapi dara, mengurangi distosia dan kehilangan pedet, pengendalian penyakit menular yang mempengaruhi kesuburan, memantau kesuburan pejantan.
Setelah melahirkan normal, sapi akan memasuki periode anoestrus dimana ovarium tidak aktif. Lama periode anestrus ini dipengaruhi oleh masa menyusui pedet dan kondisi tubuh saat melahirkan (BCS). Pada periode laktasi, terjadi hambatan pelepasan hormon di hipotalamus/otak yang seharusnya merangsang ovarium untuk aktif kembali setelah melahirkan. Tetapi seiring bertambahnya usia anak sapi dan semakin jarang menyusu, efek ini akan berkurang dan ovarium menjadi aktif kembali untuk kemudian induk estrus kembali.
Selain masa laktasi, kondisi tubuh sapi saat melahirkan juga menjadi faktor penting terkait lamanya fase anestrus pada induk. Skor BCS saat melahirkan yang baik adalah 2,5-3. Perencanaan nutrisi harus difokuskan pada pencapaian skor kondisi beranak yang ditargetkan jika kesuburan yang baik ingin dicapai dalam periode kawin terbatas. Rata-rata, sapi potong yang melahirkan dalam BCS sedang sampai baik akan memiliki periode anoestrus 50-60 hari, sedangkan sapi yang kurus/indukan anak pertama yang masih dalam masa pertumbuhan dan menyusui anak pertama akan berisiko mengalami periode anoestrus > 70 hari.
Periode anoestrus normal sapi adalah 8 minggu (56 hari), jika mengacu ke target 95% kawin maka 9-10 minggu adalah waktu yang bisa ditoleransi untuk memenuhi potensi sapi untuk dikawinkan kembali. Sapi yang melahirkan di siklus bulan pertama beranak, jika BCS induk baik kemungkinan besar akan bersiklus normal kembali pada saat pejantan keluar, sehingga akan memiliki > 3 peluang masa subur selama periode kawin. Ini adalah alasan lain mengapa target melahirkan > 65% dalam 3 minggu pertama adalah angka kunci, karena kawanan yang mampu mencapai ini akan memiliki peluang terbaik untuk meningkatkan angka kawin dan menyapih anak sapi yang lebih berat.
Untuk sapi kurus, walaupun melahirkan di bulan 1 periode beranak tidak mungkin memiliki siklus estrus yang normal. Lebih buruk lagi, jika sapi kurus ini melahirkan di akhir periode beranak, maka peluang untuk estrus hanya ada di beberapa minggu terakhir periode kawin dan beresiko mandul/gagal bunting karena siklus estrusnya tertunda. Pada kondisi seperti ini, dimana periode anoestrus diperpanjang, maka pejantan sebaiknya diprogramkan selama 5-6 bulan dahulu. Hal ini tentunya menyebabkan pengelolaan kawanan yang tidak efisien karena periode melahirkan yang akhirnya juga diperpanjang. Upaya yang harus kita lakukan adalah merencanakan nutrisi untuk mencapai target BCS saat melahirkan. Sebagian besar ketidaksuburan yang terkait dengan diet disebabkan oleh anoestrus yang diperpanjang karena perencanaan diet pra-anak yang buruk atau manajemen padang rumput yang kurang tepat.
Melihat paparan target fertilitas yang harus dicapai, maka manajemen pemeliharaan sebelum kawin menjadi penting untuk memantau tingkat pertumbuhan dan nutrisi guna memastikan target bobot kawin terpenuhi. Kita harus memastikan semua elemen nutrisi terpenuhi dengan baik sebelum periode kawin, menyelesaikan program vaksinasi yang diperlukan minimal 2 minggu sebelum masa kawin, dan pemberian obat cacing untuk memastikan sapi dara dalam kondisi prima.
Idealnya sapi dara harus dikawinkan dalam periode 6-7 minggu (2 siklus), baik itu dengan pejantan atau program sinkronisasi hormon. Hal ini untuk memastikan hanya hewan yang paling subur yang dipelihara sebagai sapi indukan. Periode kawin ini akan memastikan sapi melahirkan di paruh pertama periode melahirkan dan ini penting untuk menghindari risiko menjadi mandul. Sekali lagi kita harus sadari bahwa sapi muda berisiko mengalami anoestrus berkepanjangan karena tekanan dari anak sapi yang sedang menyusui dan masih berusaha untuk tumbuh hingga ukuran sapi dewasa.
Selain faktor-faktor penunjang fertilitas yang sudah kita pelajari diatas, kita juga perlu melihat dan melakukan evaluasi terhadap gangguan reproduksi yang terjadi di kandang. Seperti kasus distosia, hal ini akan menyebabkan penurunan kesuburan pada periode kawin berikutnya. Sapi yang melahirkan dengan intervensi manusia atau operasi sesar akan mengalami penundaan involusi uterus, peningkatan kemungkinan infeksi uterus, retensio plasenta, prolaps uteri dan anoestrus yang diperpanjang. Semua hal ini dapat mengurangi kemungkinan bunting indukan pada periode kawin berikutnya dan mempengaruhi level kesuburan kawanan. Jika dalam kawanan memiliki >5% anak proses kelahirannya harus dibantu, maka kemungkinan besar hal ini dapat memiliki efek yang signifikan pada kesuburan kawanan. Ada resiko peningkatan kerugian karena pedet mati saat lahir atau penyakit neonatus yang berhubungan dengan pedet yang tidak segera mengisap kolostrum.
Penyebab utama distosia adalah ukuran pedet yang terlalu besar karena pemilihan pejantan yang buruk atau penggunaan pejantan yang tidak tepat pada sapi dara. Inilah yang juga harus dipahami oleh para peternak rakyat, dimana sering kali mereka mengawinkan sapi breed kecil/lokal dengan breed besar (simental/limousin) dan pada akhirnya induk mengalami masalah saat proses kelahiran. Sapi induk atau dara yang terlalu gemuk juga akan memiliki peluang lebih besar untuk sulit melahirkan karena penyempitan jalan lahir karena timbunan lemak. Baca juga : Kawin Silang pada Ternak sapi Potong
Selain faktor fisiologis, kita sebagai peternak juga harus memperhatikan kondisi kesehatan dan tantangan penyakit yang dihadapi di kandang. Manajemen pengendalian penyakit reproduksi juga tidak boleh diabaikan. Analisis risiko harus dilakukan untuk penyakit utama yang dapat mempengaruhi kesuburan. Penyakit penting yang harus kita waspadai adalah meliputi Bovine Virus Diare (BVD), Leptospirosis, Campylobacteriosis, Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR).
Setelah status kawanan dan faktor risiko ditetapkan untuk penyakit-penyakit ini, maka pengendalian dapat dilakukan dalam bentuk biosekuriti, vaksinasi, medikasi. Vaksinasi adalah investasi yang idealnya harus dianggarkan sebagai “asuransi” untuk peternak yang ingin memaksimalkan kesuburan dan produktivitas ternaknya.
Lalu bagaimana dengan pejantan? Banyak orang telah mengabaikan potensi pejantan sebagai faktor pembatas dalam kesuburan kawanan terlebih jika peternakan sudah menggunakan metode inseminasi buatan (IB). Namun demikian, faktor pejantan/semen tetap harus diperhatikan mengingat kualitas semen tentunya akan mempengaruhi level kesuburan suatu farm.
Kesimpulan
Usaha peternakan breeding/sapi perah mengharuskan kita untuk mengelola manajemen secara efektif dan efisien agar memberikan keuntungan yang maksimal. Agar ternak sapi dapat mencapai dan mempertahankan target kinerja kesuburan maka perencanaan nutrisi sapi untuk mencapai target BCS yang baik saat melahirkan harus berjalan dengan baik. Hal ini untuk memastikan sebagian besar sapi akan kembali estrus dan bunting kembali dalam periode kawin 9-10 minggu. Sapi dara memerlukan penanganan yang ekstra agar memberikan performa reproduksi terbaik.
Pengananan kasus reproduksi seperti distosia dan masalah pasca melahirkan harus juga diperhatikan, selain juga manajemen pengendalian penyakit reproduksi. Dengan rekording dan evaluasi yang rutin kita lakukan, maka level kesuburan ternak kita akan lebih terjaga dan keuntungan yang dihasilkan lebih baik.
Referensi :