Setelah beberapa lalu kita membahas mengenai gangguan reproduksi pada sapi, maka saat ini kita akan mengulas mengenai management reproduksinya. Ilmu reproduksi terus mengalami perkembangan dan kemajuan yang tentunya membantu para dokter hewan dan pelaku usaha peternakan yang fokus pada pembibitan.
https://www.researchgate.net/publication/289505953_Balancing_Beef_Cow_Nutrient_Requirements_and_Seasonal_Forage_Quality_on_Annual_Rangeland
Faktor utama yang mempengaruhi pemilihan waktu beranak pada negara dengan 4 musim adalah meliputi kondisi cuaca, kualitas dan ketersediaan pakan ternak, pakan tambahan, tenaga kerja, modal, target produksi (persentase beranak, bobot sapih, interval beranak), bobot relatif pedet, dan tantangan penyakit. Idealnya, sapi harus dikawinkan kembali dalam 80 – 85 hari setelah melahirkan jika interval beranak 365 hari ingin dipertahankan. Kalender reproduksi sapi diatas adalah jadwal yang sangat ketat jika tujuannya adalah untuk menghasilkan 1 ekor anak sapi setiap tahun dari setiap indukan sapi. Nutrisi yang memadai sangat penting untuk memenuhi tujuan ini.
Periode dari pembuahan – lahir adalah sekitar 283 hari. Kebanyakan sapi tidak akan estrus/berahi sekitar 30 – 45 hari setelah melahirkan (bisa lebih lama jika kualitas nutrisi buruk). Sapi akan mengalami estrus dengan interval 21 hari. Dari 365 hari dalam setahun jika kita kurangi masa kebuntingan 283 hari dan 40 hari lagi masa tidak estrus setelah melahirkan, maka praktis kita hanya memiliki sisa waktu 42 hari (dua siklus) jika kita tetap pada jadwal untuk tahun berikutnya.. Artinya, kita harus memastikan induk sapi akan kembali bunting dalam maksimum 2x kesempatan proses perkawinan/insminasi buatan. Inilah tantangan yang kita hadapi sebagai pelaku usaha peternakan sapi agar bisa memperoleh hasil yang optimal.
Tantangan target 1 calf per cow per year ini idealnya harus diimbangi dengan update pengetahuan terkait perkembangan terbaru dari ilmu reproduksi agar tingkat keberhasilannya tinggi. Perkembangan folikel ovarium dengan regresi corpus luteum (CL) selama siklus estrus adalah salah satu yang mengalami kemajuan besar yang harus kita kuasai. Kita bisa belajar dari para peneliti dimana mereka dapat memantau dinamika perkembangan folikel dari hari ke hari pada hewan yang sama tanpa mengorbankan status ovarium dan endokrin sapi dengan menggunakan pencitraan ultrasonografi.
https://www.journalofdairyscience.org/article/S0022-0302%2806%2972194-4/fulltext#secd17180470e109
Gambar diatas menunjukan adanya gelombang folikel yang terjadi pada siklus estrus sapi. Folikel-folikel berukuran besar yang berulang berkembang dalam gelombang sebagai respons terhadap lonjakan FSH (follicle stimulating hormone). Setiap gelombang ini terdiri dari fase berurutan, yaitu seleksi, deviasi, dominasi, dan atresia. Rekrutmen folikel terjadi setiap 8 – 10 hari, dimana sapi pada umumnya akan memiliki 2 – 3 gelombang folikel selama siklus estrusnya. Dari gelombang folikel yang direkrut FSH ini kemudian dipilih 1 folikel dan mengalami deviasi pada ukuran sekitar 8,5 mm. Folikel yang terseleksi ini akan tumbuh secara linier menjadi dominan, sedangkan folikel lainnya berhenti tumbuh dan kemudian mengalami atresia. Folikel dominan ini akan menghalangi perekrutan gelombang folikel berikutnya sampai mengalami atresia.
Pemahaman tentang mekanisme kontrol gelombang folikel ini sangat penting bagi peternak dalam mengembangkan sistem yang optimal dalam mengontrol kesuburan pada ternak sapi, terutama sapi perah yang umumnya dipelihara secara intensif dalam kandang. Folikel yang dipilih sebagai menjadi dominan memiliki konsentrasi estradiol yang lebih tinggi dalam cairan folikel dan konsentrasi yang lebih besar dari insulin-like growth factor (IGF)-I yang berkontribusi pada potensi estrogenik folikel. Peningkatan sekresi estradiol dan inhibin ovarium akan mencapai kelenjar hipofisis melalui sirkulasi dan menyebabkan penurunan sekresi FSH, sehingga mencegah pertumbuhan lebih lanjut dari folikel bawahan lainnya. Setelah fase deviasi dimana folikel dominan mencapai 10 mm, sel granulosa mulai mengekspresikan reseptor LH (luteinizing hormone) dan dapat diinduksi untuk berovulasi dengan ukuran sekitar 12 mm. Pertumbuhan berkelanjutan dan dominasi folikel dominan ini tergantung pada sekresi LH sehingga dengan tidak adanya peningkatan frekuensi LH, folikel dominan akan mengalami atresia fungsional yang memungkinkan peningkatan sekresi FSH dan perekrutan gelombang folikel baru kembali.
Peristiwa ini berulang pada setiap gelombang sampai regresi CL spontan terjadi karena sekresi hormon prostaglandin (PGF2α) melalui mekanisme luteolitik. Jika level progesteron rendah setelah luteolisis, umpan balik negatif pada hipofisis akan berkurang dan LH meningkat, sehingga mengarah pada perkembangan akhir folikel dominan. Saat ukuran mencapai 17 – 20 mm, maka folikel dominan menjadi sepenuhnya estrogenik dan menginduksi lonjakan LH pra-ovulasi yang pada akhirnya akan memicu terjadinya ovulasi.
Kembali ke sistem produksi farm komersial yang dilakukan secara intensif, untuk sapi perah laktasi akan memerlukan manajemen pemuliaan yang cermat, yaitu memprogram gelombang folikel, regresi CL, dan induksi ovulasi. Hal ini terjadi karena tingkat produksi susu yang tinggi, asupan dry matter (DM) dan metabolisme sapi perah menyusui cinderung menurunkan efisiensi deteksi estrus yang pada akhirnya akan menurunkan tingkat kebuntingan. Keadaan ini tidak terlihat pada sapi dara atau sapi yang tidak laktasi sehingga kesulitan dalam deteksi estrus hampir tidak terjadi dan angka kebuntingan cinderung lebih baik dari sapi laktasi.
Pemahaman tentang mekanisme siklus estrus saat ini telah mengarah pada pengembangan sistem kontrol ovulasi untuk menentukan waktu inseminasi. Pada peternakan modern, sistem ini dikembangkan dengan memanfaatkan preparat hormonal atau obat-obatan yang sebanding dengan hormon atau analognya yang mengatur fungsi ovarium normal pada sapi. Salah satu kisah sukses dalam intervensi sistem reproduksi sapi adalah penggunaan PGF2α pada awal 1970-an sebagai luteolysin uterus alami pada sapi. PGF2α dikembangkan untuk menginduksi regresi CL.
Suntikan PGF2α untuk meregresi CL berhasil setelah hari ke-5 dari siklus estrus. Selain itu, ada perbedaan yang cukup besar mengenai kapan estrus akan terjadi selama periode diestrus yang responsif. Interval terpendek terjadinya estrus adalah 2 – 3 hari, dimana ini bisa terjadi ketika PGF2α diberikan antara hari ke-7 dan 9 atau hari ke-14 dan 16 dari siklus estrus. Interval yang lebih lama terjadi dalam 4 – 7 hari, dimana terjadi jika waktu pemberian dilakukan antara hari ke-10 dan 12 dari siklus.
Waktu injeksi PGF2α dan fase gelombang folikel yang tidak diketahui pasti ini menyebabkan variasi dalam respon di lapangan. Jika injeksi PGF2α dilakukan saat ada folikel aktif estrogen yang dominan, misalnya pada hari ke-7 siklus maka akan terjadi estrus lebih awal dibandingkan jika injeksi diberikan pada hari ke-11. Hal ini terjadi karena pada hari ke 11 folikel gelombang kedua sedang diseleksi dan diperlukan sekitar 7 hari untuk perkembangan folikel dominan baru dan estrus. Oleh karena itu, strategi awal intervensi untuk menyinkronkan estrus dengan injeksi PGF2α didasarkan pada 2 injeksi berturut-turut dengan jarak 11 hari (sapi dara) atau 14 hari (sapi menyusui). Hal ini untuk memastikan sebagian besar hewan akan menjalani regresi CL pada injeksi PGF2α kedua dan memiliki tingkat sinkronisasi estrus yang lebih tinggi. Baca juga : Gangguan Reproduksi pada Sapi
Berdasarkan pemahaman dinamika folikel normal selama siklus estrus, menjadi jelas bahwa sinkronisasi folikel harus digabungkan dengan regresi CL yang diinduksi untuk lebih mengontrol ketepatan terjadinya estrus. Pelepasan LH yang diinduksi GnRH menyebabkan ovulasi atau luteinisasi folikel dominan >10 mm. Pergantian folikel dominan yang diinduksi GnRH mengarah pada perekrutan gelombang folikel baru, sehingga folikel dominan baru yang matang hadir 7 hari kemudian, ketika seseorang dapat menginduksi regresi CL dan/atau yang diinduksi GnRH, serta meningkatkan presisi dari estrus yang diinduksi. Urutan terprogram seperti itu adalah dasar dari program inseminasi yang disebut Ovsynch, di mana injeksi GnRH primer diberikan pada waktu yang telah ditentukan setelah melahirkan, diikuti oleh PGF2α 7 hari kemudian. Injeksi tambahan GnRH diberikan 48 jam setelah injeksi PGF2α. Inseminasi harus terjadi 12 – 16 jam setelah injeksi GnRH, yang akan diikuti oleh ovulasi tersinkronisasi pada 28 jam setelah GnRH.
https://www.journalofdairyscience.org/article/S0022-0302%2806%2972194-4/fulltext
Dari gambar diatas, kita bisa melihat alternatif manajemen reproduksi untuk meningkatkan performa reproduksi sapi perah laktasi dengan penggunaan presynchronization. Perawatan endokrin meliputi injeksi bovine somatotropin (bST) dan injeksi human chorionic gonadotropin (hCG) pada hari ke-5 setelah inseminasi. Sinkronisasi ulang sapi yang tidak bunting akan melibatkan penyisipan perangkat progesteron intravaginal (CIDR=controlled internal drug release) antara hari ke 14 dan 23 setelah inseminasi buatan dan injeksi GnRH pada hari ke 23 pada saat penghentian CIDR. Sapi yang terindikasi tidak bunting pada hari ke 30 menerima suntikan PGF2α, dan pada hari ke 33 disuntik dengan GnRH dan diinseminasi secara bersamaan.
Kemampuan injeksi GnRH pertama untuk menginduksi pergantian folikel tergantung pada induksi ovulasi dari folikel dominan. Jika penyuntikan pertama dilakukan pada fase metestrus, maka folikel baru tidak akan diinduksi dan folikel ovulasi pada penyuntikan GnRH kedua adalah folikel tua dengan tingkat fertilitas yang lebih rendah saat diinseminasi. Oleh karena itu, intervensi program presynch/ovsynch dilakukan dengan pemberian 2x suntikan PGF2α dengan interval 14 hari, dan program ini dimulai 12 – 14 hari setelah injeksi PGF2α kedua dari fase prasinkronisasi.
Jika sapi mengekspresikan estrus antara hari ke 3 – 7 setelah penyuntikan kedua PGF2α, mereka akan berada di antara hari ke 5 – 11 dari siklus estrus ketika ovsynch dimulai. Oleh karena itu, sekitar 80% sapi harus memiliki folikel yang berovulasi saat injeksi GnRH pertama dan semua sapi harus memiliki CL fungsional selama interval antara injeksi GnRH dan PGF2α. Hal ini bertujuan untuk mengurangi terjadinya ovulasi prematur sebelum injeksi GnRH kedua. Skema sinkronisasi folikel ini meningkatkan kemungkinan memperoleh folikel fresh yang berovulasi, diikuti dengan injeksi GnRH kedua untuk mengarah pada pengembangan CL yang memadai guna pemeliharaan kebuntingan.
Tehnologi terbaru saat ini sudah menyediakan perangkat intravaginal untuk pelepasan progesteron (CIDR) yang bisa diaplikasikan pada sapi perah laktasi sebagai alat tambahan untuk sinkronisasi. Pada sapi perah laktasi, perangkat CIDR dapat dimasukkan kedalam vagina pada saat injeksi GnRH pertama dan dilepas saat PGF2α disuntikkan sebagai bagian dari program ovsynch. Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya estrus prematur sebelum injeksi ovulasi GnRH pada sapi yang mengalami regresi CL selama 7 hari pertama protokol ovsynch, dan dapat juga menginduksi aktivitas siklik pada sapi anovulasi yang diobati dengan program ini. CIDR ini berfungsi sebagai alat pra-sinkronisasi untuk memastikan sinkronisasi folikel atau ovulasi ke program ovsynch berikutnya, dan sinkronisasi ulang estrus pada sapi yang tidak berhasil bunting pada inseminasi buatan pertama.
Perlu diingat, bahwa sapi perah laktasi memiliki konsentrasi progesteron dan estradiol yang suboptimal dan dianggap kurang subur karena metabolisme yang terkait dengan asupan DM yang tinggi. Oleh karena itu, program inseminasi buatan pada sapi laktasi yang mencakup estradiol eksogen (estradiol cypionate) yang diberikan 24 jam setelah PGF2α ternyata mampu mendorong terjadinya estrus dan benar-benar meningkatkan tingkat konsepsi. Namun demikian, dibeberapa negara seperti Amerika Utara, penggunaan preparat estrogen pada sapi perah laktasi masih diperdebatkan karena dianggap berpotensi mengganggu pasokan makanan karena issue residu yang masih membutuhkan pembuktian lebih lanjut.
Tantangan lain yang umumnya dihadapi peternak adalah terjadinya kematian embrio. Terlepas dari kemajuan dalam biologi reproduksi dan berbagai teknik yang tersedia untuk mengontrol proses reproduksi, pada kenyataannya efisiensi reproduksi kawanan terus menurun pada sapi perah laktasi. Berbagai faktor yang bisa kita evaluasi terhadap kejadian subfertilitas ini adalah adanya ovulasi folikel persisten atau tua, ovulasi folikel praovulasi berukuran kecil, periode pro-estrus yang lebih pendek, paparan progesteron yang tidak memadai selama periode sinkronisasi, dan insufisiensi luteal setelah ovulasi yang diinduksi. Total kerugian dari pembuahan sampai kelahiran pada sapi perah laktasi mencapai 60% dengan tingkat konsepsi akhir hanya sebesar 28%. Hal ini disebabkan oleh rendahnya angka pembuahan, penurunan viabilitas embrio, ukuran embrio, serta kehilangan embrio pada umur 24 – 42 hari. Baca juga : Analisa Fertilitas pada Ternak Sapi
Gangguan saat proses kelahiran seperti kejadian distokia, retensi placenta dan milk fever akan mempengaruhi tingkat kesuburan sapi periode selanjutnya. Kejadian metritis dan endometritis subklinis juga berpotensi mengurangi tingkat kebuntingan. Oleh karena itu, penting bagi para peternak untuk mengoptimalkan kualitas nutrisi, kandungan gizi dan status kesehatan sapi selama periode kebuntingan dan pasca kelahiran dimana fungsi kekebalan umumnya sedikit terganggu pada periode awal laktasi.
Demikian paparan mengenai siklus reproduksi dan intervensi yang umumnya bisa dilakukan di kalangan industri peternakan sapi. Pada artikel selanjutnya kita nanti akan belajar bersama mengenai teknologi yang dikembangkan untuk mengoptimalkan performa reproduksi ternak.
Terima kasih.
Referensi :
- https://www.journalofdairyscience.org/article/S0022-0302%2806%2972194-4/fulltext
- https://www.researchgate.net/publication/289505953_Balancing_Beef_Cow_Nutrient_Requirements_and_Seasonal_Forage_Quality_on_Annual_Rangeland
- https://www.researchgate.net/publication/323832298_Practical_guide_to_bovine_reproduction_management
1 Comments