Brucellosis pada Sapi

Brucellosis pada Sapi

Brucellosis merupakan penyakit bakteri yang disebabkan oleh Brucella sp., yang terutama menginfeksi sapi, babi, kambing, domba dan anjing. Brucellosis bersifat zoonosis, dan manusia umumnya tertular melalui kontak langsung dengan hewan yang terinfeksi, makan atau minum produk hewani yang terkontaminasi, atau dengan menghirup bakteri yang ditularkan melalui udara. Namun, sebagian besar kasus pada manusia disebabkan oleh konsumsi susu atau keju yang tidak dipasteurisasi dari kambing atau domba yang terinfeksi. Gejala brucellosis pada manusia antara lain demam, berkeringat, anoreksia, malaise, penurunan berat badan, depresi, sakit kepala, dan nyeri sendi.

 Brucellosis adalah salah satu penyakit zoonosis yang paling luas ditularkan melalui hewan dan di daerah endemik, brucellosis pada manusia mempunyai konsekuensi kesehatan masyarakat yang serius. Perluasan industri peternakan dan urbanisasi, serta kurangnya tindakan higienis dalam peternakan dan penanganan makanan, turut menyebabkan brucellosis tetap menjadi bahaya kesehatan masyarakat.

Penyebab

Brucellosis disebabkan oleh bakteri Brucella abortus yang terdiri dari 8 biovar (1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, dan 9) berdasarkan sebaran geografis. Brucella abortus menyebabkan penyakit terutama pada sapi, domba, kambing, dan hewan peliharaan lainnya.  Sapi juga bisa terinfeksi Brucella suis dan Brucella melitensis ketika ternak ini berada pada pada tempat penggembalaan bersama babi, kambing, atau domba yang terinfeksi. Brucella abortus adalah bakteri intraseluler kecil, Gram-negatif, dan fakultatif.

Gejala Klinis

Gejala utama adalah terjadinya aborsi pada tahap akhir kebuntingan pada sapi betina, serta orchitis dan bursitis pada sapi jantan. Infeksi ini dapat menyebabkan aborsi, anak lahir mati, retensi plasenta, prematur dan kelemahan pada anak sapi. Retensi selaput fetus dan endometritis umumnya adalah akibat lanjutan setelah kejadian aborsi, sedangkan higroma pada sendi kaki sapi  merupakan tanda khas akibat infeksi kronis Brucella sp.

Penularan 

Brucellosis biasanya ditularkan ke sapi lain melalui interaksi langsung atau tidak langsung dengan sapi yang sakit atau kotorannya. Konsumsi pakan, air minum, atau koilostrum yang terkontaminasi bakteri saat proses kelahiran atau induk sapi  menjilati anaknya yang baru lahir bisa menjadi rute penularan juga karena cairan uterus mungkin memiliki tingkat bakteri yang sangat tinggi dan merupakan sumber utama infeksi.  Brucellosis jarang menular melalui proses kawin alami pada sapi, namun inseminasi buatan (IB) terbukti menyebarkan infeksi dari sapi yang terinfeksi ke sapi yang sehat.

Manusia biasanya tertular melalui konsumsi susu atau produk susu yang tidak dipasteurisasi. Interaksi mukosa dengan cairan atau jaringan fetus yang abortus dari sapi yang sakit juga dapat menjadi sumber penyakit pada manusia sehingga pekerja rumah potong hewan, peternakan, dan laboratorium, serta dokter hewan memiliki resiko tinggi terinfeksi.

Faktor Resiko

Faktor resiko umumnya dipengaruhi oleh berbagai hal yang berhubungan dengan sistem manajemen, inang, dan lingkungan. Hal ini mencakup umur, jenis kelamin, dan ras sapi (ada anggapan ras campuran lebih rentan), ukuran dan jenis ternak, serta agroekologi.

Umur menjadi faktor intrinsik, dimana seroprevalensinya lebih tinggi ditemukan pada sapi dewasa dibandingkan pada sapi muda dimana bakteri akan tumbuh karena adanya konsentrasi eritriol yang dihasilkan fetus sapi didalam rahim. Sapi betina lebih besar kemungkinannya terkena infeksi dibandingkan sapi jantan sehingga gejala seperti epididimitis dan orchitis pada pejantan relatif lebih mudah diatasi. Pada sapi betina yang tidak bunting brucellosis bisa menjadi kronis, carrier dan sulit diidentifikasi dengan metode serologis standar.

Terkait kawanan, populasi besar cinderung memiliki resiko penularan yang relatif besar jika tidak menerapkan managemen yang baik. Interaksi antar ternak, kompleks peternakan atau penggunaan lahan penggembalaan bersama, serta teknik pembersihan dan disinfeksi yang tidak memadai akan memicu tingginya kasus bucellosis jika ada ternak yang terinfeksi.

Penggembalaan beberapa spesies ternak dalam satu kawasan juga menjadi faktor resiko brucellosis, meskipun tidak ada indikasi kerentanan yang lebih tinggi pada spesies tertentu.  Kejadian brucellosis sendiri jarang menyebar dari ruminansia kecil ke sapi, namun demikian ancaman terhadap peternakan sapi yang juga memelihara ruminansia kecil dilokasi yang sama menunjukkan bukti bahwa beberapa kasus mungkin berasal dari ruminansia kecil, karena ternyata B. melitensis biovar 3 telah diisolasi dari air susu sapi.

Sapi perah mempunyai kemungkinan yang jauh lebih besar untuk tidak hanya tertular infeksi Brucellosis namun juga menyebarkannya lebih cepat dibandingkan sapi potong. Sapi yang dipelihara di area kecil akan lebih mudah terjadi kontak  satu sama lain saat diberi pakan dan diperah. Selain itu, jika kondisi peternakan tidak nyaman, sapi perah akan mengalami stres sehingga hal ini lebih kondusif bagi infeksi Brucellosis. Sebagian besar penyakit menular pada ternak yang sebelumnya bebas brucellosis dimulai dengan aktifitas pembelian sapi yang sakit/carrier. Oleh karena itu, pastikan kita membeli dari peternak yang mempunyai reputasi baik dan terpercaya.

Agroekologi juga diakui sebagai faktor resiko infeksi Brucellosis. Prevalensi yang lebih tinggi umumnya terjadi di daerah yang  kering, karena kurangnya padang rumput menyebabkan ternak terkonsentrasi atau ditempatkan dilokasi yang memungkinkan interaksi antar ternak yang tidak terkendali.  Selain itu, kemungkinan besar terjadi penularan melalui penghirupan aerosol dari debu yang terkontaminasi dari cairan fetus atau aborsi dari ternak yang terinfeksi. Pengelolaan intensif dengan managemen pemeliharaan yang baik idealnya akan mengurangi resiko penularan penyakit karena proses pengelolaan aborsi, identifikasi ternak yang sakit, serta interaksi antar ternak bisa dimonitor dan dibatasi.

Diagnosa

Brucellosis tidak dapat didiagnosis hanya berdasarkan gejalanya saja, sehingga perlu dilakukan pengujian laboratorium terhadap sampel darah atau air susu, serta uji kultur dari selaput fetus, leleran vagina atau air susu dari sapi yang terinfeksi.

Diagnosa langsung. 

Dapat dipastikan dengan ditemukannya bakteri pada preparat apus dengan pewarnaan mikroskopis. Preparat apus dapat dibuat dari sekret vagina, plasenta, kolostrum, cairan lambung fetus, lokia sapi yang diaborsi, atau abomasum fetus yang diaborsi, dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen (MZN) yang dimodifikasi, dengan hasil tampak  coccobacilli intraseluler berwarna merah atau berbentuk batang, sedangkan bakteri lain berwarna biru.

Semua strain Brucella tumbuh relatif lambat dan karena spesimen yang diisolasi seringkali sangat terkontaminasi, maka  penggunaan media selektif (media Farrell, media Brucella albimi) sangat dianjurkan untuk proses inkubasi.  Sampel yang dapat digunakan untuk isolasi B. abortus antara lain cairan lambung fetus, limpa, hati, plasenta, lokia, air susu (kolostrum atau air susu dalam waktu seminggu setelah melahirkan), air mani, dan kelenjar getah bening (limpoglandula supramammary untuk infeksi laten/kronis dan limpoglandula retrofaringeal untuk infeksi awal). Jika reaksi serologis diduga disebabkan oleh strain vaksin S19, maka kelenjar getah bening prescapular juga harus diambil. Semua isolat kemudian dikirim ke laboratorium yang memiliki fasilitas biotyping.

Diagnosis Tidak Langsung

Jika tidak ada fasilitas kultur bakteri, diagnosa brucell0sis biasanya didasarkan pada uji serologis, dengan berbagai uji aglutinasi seperti Rose Bengal Plate Test (RBPT), uji aglutinasi serum, dan antiglobulin. Deteksi antibodi merupakan metode yang lebih sensitif dan dapat digunakan untuk monitoring suatu kawanan. Uji Indirect Elisa (i-ELISA) dan Competitive Elisa (c-ELISA) juga bisa digunakan untuk konfirmasi diagnosa brucellosis.

RBPT adalah tes yang sangat sensitif yang digunakan untuk skrining sampel serum, cepat, murah dan mudah dilakukan namun metode ini tidak dapat membedakan antara reaksi lapangan dan strain vaksin S19. Diagnosa bisa dipengaruhi oleh adanya reaksi silang yang memberikan hasil tes serologis positif palsu hasil vaksin S19 atau bakteri gram negatif lain yang memiliki epitop serupa. Bakteri B. abortus O-chain polysaccharides, Yersinia enterocolitica 0:9Escherichia coli 0157:H7Salmonella group N (0:30), Francisella tularemiaStenotrophomonas maltophiliaPasteurella sp., dan Vibrio cholera  dapat bereaksi dalam uji serologis ini. Oleh karena itu, reaksi positif ini harus ditindaklanjuti dengan konfirmasi serologi yang sesuai dan/atau penyelidikan epidemiologi lebih lanjut. The complement fixation test (CFT) adalah tes yang paling umum digunakan untuk konfirmasi serologis kasus brucellosis pada sapi dan direkomendasikan oleh Organisasi Kesehatan Hewan Dunia ketika uji RBPT positif. Uji CFT didasarkan pada deteksi antibodi IgM dan IgG1.

Spesifisitas c-ELISA adalah sangat tinggi dan mampu mengidentifikasi semua isotop antibodi (IgM, IgG1, IgG2, dan IgA). c-ELISA memiliki spesifisitas diagnostik yang tinggi (100%) dan sensitivitas 98,8%, sehingga dianggap sebagai uji yang paling tes spesifik. Uji i-ELISA juga telah digunakan untuk diagnosis serologis serum atau air susu sapi, serta sensitif dan  spesifik untuk B. abortus atau B. melitensis, namun tidak mampu membedakan antibodi yang diinduksi oleh strain vaksin S19 atau Rev1. Sensitivitas i-ELISA bervariasi dari 96-100% dan spesifisitasnya dari 93,8-100%. Uji konfirmasi ini harus menunjukkan tingkat spesifisitas diagnostik yang tinggi dan mempertahankan sensitivitas yang efektif untuk mengurangi jumlah reaksi positif palsu hingga paling minimum.

Baca juga : 5 Penyakit penting pada sapi perah

Pencegahan/Pengobatan

Pengobatan brucellosis yang dilakukan di lapangan umumnya tidak efektif karena bersifat intraseluler, yaitu bakteri dapat bertahan dan berkembang biak di dalam sel. Infeksi biasanya masuk ke dalam kawanan karena adanya ternak yang sakit, atau dari semen pejantan yang terinfeksi dan fomites yang terkontaminasi. Program vaksinasi pada anak sapi atau sapi dara merupakan cara yang paling efektif dalam menangani Brucellosis di daerah endemik.

Jika ingin memasukkan sapi baru, harus dipastikan sapi sehat dan berasal dari daerah bebas penyakit. Ternak harus melalui proses karantina dan diuji terhadap brucellosis sebelum dimasukkan ke dalam kelompok. Brucellosis dapat diberantas dengan mengkarantina sapi yang terinfeksi, vaksinasi, serta metode uji dan penyembelihan.

Sangat penting untuk mewaspadai sapi-sapi impor. Walaupun mungkin telah dites negatif sebelum diimpor, namun pada banyak sapi, hasil tesnya akan negatif sampai sapi tersebut beranak atau abortus. Semua sapi yang diimpor harus diuji setelah melahirkan meskipun anak sapi tersebut normal.

Peraturan yang berlaku saat ini mengharuskan semua ternak yang pernah melakukan kontak dengan hewan yang terinfeksi harus disembelih. Artinya, jika sapi impor yang kemudian diketahui terinfeksi brucellosis, dicampur dengan indukan sebelum beranak, maka sapi-sapi yang dicampur tersebut harus disembelih juga. Oleh karena itu penting untuk memastikan bahwa hewan impor dikarantina dengan benar sampai hasil tes brucellosis mereka negatif setelah melahirkan untuk pertama kalinya. Selain itu, lakukan program biosekuriti yang tepat dan berkonsultasi dengan dokter hewan untuk semua proses ini.

Bagaimana di Indonesia?

Bovine brucellosis merupakan penyakit zoonosis dan endemik di Indonesia yang menyebabkan kerugian ekonomi signifikan akibat aborsi, lahir mati, infertilitas, sterilitas, dan berkurangnya produksi susu. Brucella abortus terdiri dari 8 biovar (1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, dan 9) berdasarkan sebaran geografis.  Sebuah penelitian dilakukan untuk mengetahui biovar mana yang bertanggung jawab terhadap brucellosis di peternakan sapi di Indonesia. Hasilnya adalah dari 50 isolat B. abortus  yang diisolasi dari sampel susu (29 sampel) dan cairan hygroma (21 sampel), ditemukan bahwa 42 isolat (84%) merupakan B. abortus biovar 1, lalu 2 isolat merupakan biovar 2 (12%), dan 3 isolat merupakan biovar 3 (4%). Maka, dari penelitian ini mengungkapkan bahwa B. abortus biovar 1 adalah penyebab paling umum dari brucellosis pada sapi di Indonesia.

Brucellosis adalah penyakit serius dengan implikasi ekonomi dan kesehatan masyarakat yang signifikan. Dengan kita  mengerti kondisi tantangan ini, maka menyusun program pemeliharaan dan biosekuriti yang benar, serta melakukan vaksinasi untuk area-area yang memang sudah endemik menjadi sebuah keharusan. Hal ini penting untuk meminimalkan resiko kejadian brucellosis, baik itu pada ternak maupun manusia.

Referensi:

  1. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC8752066/ Bovine Brucellosis :epidemiology, public health implication and status of brucellosis in Ethiopia
  2. https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/brucellosis
  3. https://www.nadis.org.uk/disease-a-z/cattle/brucellosis/
  4. https://scholar.ui.ac.id/en/publications/identification-of-brucella-abortus-biovars-isolated-from-cattle-i
  5. https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/01652176.2020.1868616 bovine brucellosis – comprehensive review
  6. https://cuidateplus.marca.com/enfermedades/infecciosas/brucelosis.html
Leptospirosis pada Sapi

Leptospirosis pada Sapi

Leptospirosis adalah salah satu penyakit zoonosis yang paling luas penyebarannya di seluruh dunia. Setiap tahun diperkirakan 1,03 juta orang terinfeksi, 873.000 orang mengalami infeksi parah, dan 49.000 orang meninggal karena tertular bakteri ini. Penyakit ini umumnya menyerang berbagai hewan mamalia, termasuk sapi dimana dapat menyebabkan kerugian ekonomi yang signifikan bagi peternak. Leptospirosis dapat menyebabkan kematian pada ternak, penurunan produksi susu, dan gangguan reproduksi (infertilitas, aborsi).

Leptospirosis pada sapi dapat menyebar melalui kontak langsung antara sapi yang terinfeksi dan sapi yang rentan. Bakteri Leptospira dapat masuk ke tubuh sapi melalui kulit yang terluka, mukosa, atau saluran pencernaan. Bakteri Leptospira juga dapat menyebar melalui air atau makanan yang terkontaminasi.

Leptospirosis dapat menyerang manusia dan menyebabkan gejala mirip influenza dengan sakit kepala parah, namun dapat diobati secara efektif. Peternak sapi perah sangat berisiko tertular penyakit akibat percikan urin ke wajah saat memerah susu sapi. Namun demikian, dengan proses pasteurisasi organisme yang diekskresikan dalam air susu ini masih dapat  dihancurkan.

Penyebab
Leptospirosis disebabkan oleh bakteri Leptospira hardjo, yaitu Leptospira borgpetersenii serovar Hardjo dan Leptospira interrogans serovar Hardjo. Infeksi timbul dari kontak dengan urin yang terinfeksi atau produk aborsi. Di negara 4 musin, penyakit ini paling sering menyebar pada musim semi dan musim panas saat ternak berada di padang rumput. Leptospira sp. rentan terhadap kekeringan, paparan sinar matahari, pH<5,8 atau suhu ekstrem.

Leptospira Hardjo tidak dibawa oleh hama atau satwa liar tetapi ternak domba dapat menjadi carrier dan shedding bakteri ini ke lingkungan, sehingga jika dalam padang gembalaan terjadi kontak maka resiko tertular sangat tinggi.
Faktor resiko penting lainnya yang perlu diperhatikan adalah penggunakan pejantan terinfeksi dan cemaran pada sumber air di padang penggembalaan.

Gejala Klinis
Penurunan produksi susu secara tiba-tiba dapat teramati dalam 2-7 hari setelah sapi yang rentan terinfeksi, dimana ambing akan menjadi lunak dan lembek dan terlihat sekret seperti kolostrum atau susu yang mengandung darah. Gejala yang nampak mungkin terlihat ringan atau tidak terdeteksi, namun beberapa sapi akan menjadi lesu, kaku disertai demam dan berkurangnya nafsu makan.

Aborsi dapat terjadi dalam 3-12  minggu setelah infeksi dan sebagian besar terjadi pada 3 bulan terakhir fase kebuntingan, atau jika mampu bertahan umumnya anak sapi akan lahir prematur dan lemah. Gangguan lain yang bisa diamati adalah tingginya kasus kawin berulang pada induk sapi yang terinfeksi saluran reproduksinya. Leptospira Hardjo juga dapat menyebabkan kematian embrio.

Penularan lewat proses perkawinan dengan pejantan bisa terjadi, namun umumnya tidak berdampak buruk karena Leptospira Hardjo akan mati oleh sistem pertahanan pada rahim selama periode estrus. Percobaan aplikasi vaksinasi leptospira di area endemik menunjukkan peningkatan parameter kesuburan pada sapi dibandingkan dengan yang tidak divaksin.

Diagnosis banding
Dilapangan, jika ada kejadian penurunan volume air susu tidak serta merta disebabkan oleh Leptospira sp., oleh karena itu kita harus tetap melakukan pengujian dan evaluasi lebih lanjut sebelum melakukan terapi. Sebaiknya anda berkonsultasi dengan dokter hewan agar diagnosa tidak salah.

Kejadian penurunan produksi air susu dapat dipengaruhi perubahan mendadak dalam pola makan/komposisi nutrisi didalam pakan. Sedangkan selain Leptospirosis, penyakit lain yang bisa menyebabkan penurunan produksi air susu antara lain adalah Bovine Virus Diarrhea (BVD), infestasi cacing paru-paru, Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR), Bovine Respiratory Syncytial Virus (BRSV), influenza A dan Salmonellosis.

Untuk kejadian aborsi, selain Leptospirosis kita juga harus memperhatikan gangguan infeksi lain seperti Neospora caninum, BVD, Salmonella spp., Bacillus likeniformis, atau Campylobacter.

Baca juga : 5 penyakit penting pada sapi perah

Diagnosa

Diagnosis leptospirosis pada sapi dapat dilakukan dengan pemeriksaan laboratorium terhadap sampel darah, urin, atau jaringan tubuh. Pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan dengan metode kultur, serologi, atau molekuler. Tes untuk mendeteksi antibodi terhadap Leptospira Hardjo dari sampel darah dengan titer MAT serum >1/100 yang dianggap cukup  signifikan.

Jika kita menghadapi kasus penurunan produksi air susu, pada infeksi yang akut, pengambilan 2x sampel serum dengan interval  waktu 3-4 minggu biasanya akan menunjukkan peningkatan konsentrasi MAT atau ELISA. Sedangkan jika menggunakan sampel urin, bakteri Leptospira dapat dilihat menggunakan dark-field microscopy.

Jika terjadi kasus aborsi, kita bisa melakukan uji Elisa terhadap indukan namun penggunaannya terbatas karena titer MAT dapat turun dengan cepat setelah infeksi akut dan menjadi negatif pada saat kejadian aborsi sehingga hasil positif mungkin hanya mencerminkan paparan sebelumnya. Selama ada peningkatan kasus aborsi, gambaran titer MAT >1/400 pada beberapa sapi  mungkin bermakna. Titer Elisa dilaporkan tetap positif lebih lama setelah infeksi sehingga mungkin hanya mengindikasikan paparan sebelumnya.

Selain uji Elisa terhadap induk yang mengalami aborsi, kita juga bisa melakukan uji terhadap fetus yang diaborsi. Antibodi yang terdeteksi dalam cairan fetus mungkin mengindikasikan paparan Leptospira Hardjo di dalam rahim setelah usia kebuntingan 4 bulan, namun fetus kemungkinan mati sebelum respon imunnya meningkat. Konfirmasi deteksi antigen dapat dilakukan dengan Tes antibodi fluoresen (FAT) menggunakan sampel jaringan fetus, dimana ginjal dan paru-paru adalah sampel terbaik untuk memastikan diagnosis kasus aborsi. Pastikan sampel diambil segera setelah kasus terdeteksi agar tidak terjadi autolisis yang berpotensi mengacaukan hasil uji.

Untuk mengevaluasi kawanan, maka uji Elisa bisa dilakukan terhadap semua kelompok induk secara berkala sebagai bagian dari program pengawasan pada kelompok yang naif. Selain itu, sampling terhadap sapi dara laktasi pertama juga idealnya dilakukan untuk memantau status infeksi dalam suatu kawanan.

Perlakuan
Pemberian antibiotik pada kasus penurunan produksi air susu sangat dianjurkan untuk mengurangi ekskresi bakteri leptospira dan resiko penularan terhadap manusia (zoonosis). Suntikan tunggal menggunakan streptomisin/dihidrostrepomisin secara  intramuskular (IM) sebanyak 25mg/kg akan menghilangkan infeksi pada sebagian besar ternak. Namun, vaksinasi adalah pendekatan yang lebih baik untuk menghindari penggunaan antibiotik yang tidak perlu karena tidak semua antibiotik zero residu di air susu sehingga meningkatkan resiko terjadinya kasus antimikrobial resistensi jika dikonsumsi oleh manusia.

Tindakan pencegahan bisa dilakukan dengan penambahan streptomisin ke air mani sapi jantan yang dikoleksi untuk  inseminasi buatan (IB). Pengendalian Leptospira Hardjo pada ternak sapi bergantung pada kombinasi keputusan manajemen untuk mengurangi risiko infeksi, pengobatan antibiotik strategis, dan vaksinasi.

Untuk program vaksinasi, diprogramkan dengan memberikan 2x suntikan dengan interval waktu 4 minggu, diikuti dengan booster tahunan. Vaksinasi diharapkan mampu mencegah shedding bakteri leptospira melalui urin saat ada paparan penyakit serta akan melindungi terhadap kejadian penurunan produksi air susu dan aborsi.

Jika dalam suatu kelompok ternak tidak ada bukti adanya infeksi leptospirosis sebelumnya atau kita berencana memasukkan kawanan baru yang naif, maka semua hewan ternak  pengganti, termasuk pejantan harus diisolasi selama 3 minggu dan diberikan 2x suntikan streptomisin 25 mg/kg dengan interval waktu 10-14 hari sebelum dimasukkan ke dalam kelompok baru.

Untuk pemeliharaan kawanan di kawasan yang endemik dan dikonfirmasi melalui skrining kelompok atau catatan serologi kasus aborsi maka yang harus dilakukan adalah pelaksanaan program vaksinasi dengan booster tahunan. Sapi dara pengganti harus menyelesaikan program vaksinasi sebelum dikawinkan.

Selain tindakan pencegahan diatas, yang tidak kalah penting adalah penerapkan biosekuriti yang ketat. Tindakan biosekuriti yang dapat dilakukan untuk mencegah penyebaran leptospirosis meliputi:

  • Isolasi ternak baru
  • Pemeriksaan kesehatan ternak secara rutin
  • Desinfeksi kandang dan peralatan secara teratur
  • Pembersihan dan sanitasi pekerja, kendaraan dan fasilitas lainnya

Referensi :

  1. https://www.nadis.org.uk/disease-a-z/cattle/leptospirosis-in-cattle/
  2. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC9360731Bovine leptospirosis: effects on reproduction and an approach to research in Colombia
Gangguan Reproduksi pada Sapi

Gangguan Reproduksi pada Sapi

Tantangan terbesar dalam peternakan adalah bagaimana kita bisa menjalankan usaha dengan baik, dengan minimal resiko dan mengoptimalkan keuntungan. Pengendalian penyakit menjadi hal yang krusial, mengingat ternak tidak akan menghasilkan performance terbaik jika terjadi masalah. Jika kita bergerak di usaha pembibitan atau sapi perah, penyakit pada organ reproduksi menjadi hal yang harus ditangani dengan baik.

Gangguan reproduksi pada sapi biasanya berkembang secara kronis sehingga terkadang tidak disadari. Hewan yang terinfeksi biasanya tidak mati, dalam kebanyakan kasus terutama pada pejantan akan nampak tetap sehat. Beberapa hewan tidak pernah menunjukkan gejala penyakit, namun tetap menjadi ancaman utama bagi kawanan lainnya karena mereka membawa organisme penyakit. Jika hal ini tidak terdeteksi sedini mungkin, maka kerugian karena waktu dan biaya pakan sudah pasti cukup besar.

Untuk mencegah penyakit reproduksi, produsen/peternak harus selalu waspada dan idealnya mempraktekkan manajemen yang baik seperti pengadaan ruang isolasi sapi yang baru didatangkan dan melakukan vaksinasi bila diperlukan. Tenaga dokter hewan profesional juga sebaiknya juga ada untuk menjaga status kesehatan ternak yang kita pelihara.

Sebelum kita membahas tentang penyakit reproduksi, ada baiknya kita juga sedikit mengingat kembali apa saja yang harus kita kuasai terkait reproduksi pada sapi. Tingkat fertitas yang buruk dalam suatu farm akan menghasilkan produktivitas yang lebih rendah, peningkatan culling rate, keturunan yang kurang baik dan tentunya pada akhirnya menggerus keuntungan peternak.

Apapun sistem peternakannya, manajemen reproduksi perlu efisien sehingga sapi mempunyai level kesuburan yang baik, dan segera bunting dengan perlakuan layanan kawin/inseminasi buatan yang seminimal mungkin. Manajemen reproduksi tidak hanya melibatkan sapi indukan ataupun sapi perah dewasa saja, tetapi juga sudah dimulai dari ketika sapi dara lahir. Proses mencetak bibit unggul dan pemeliharaan sapi dara yang berkualitas sangat penting untuk mendapatkan sapi yang dewasa kelamin pada umur 13 bulan, bunting umur 15 bulan dan melahirkan pada usia 24 bulan.  Jadi pada setiap tahap kehidupan sapi, kita memerlukan rencana pengelolaan yang efektif untuk memaksimalkan kesuburan yang akhirnya akan mempengaruhi performa reproduksi dan tentunya jumlah air susu jika kita bicara uasaha sapi perah.

https://www.nadis.org.uk/disease-a-z/cattle/fertility-in-dairy-herds/part-1-the-basics-of-reproduction/

Siklus berahi
Sapi adalah poliestrus, yang berarti mereka menjadi memiliki siklus birahi sepanjang tahun secara berkala. Hormon utama dalam reproduksi adalah progesteron dan estrogen. Progesteron adalah hormon kehamilan dan diproduksi di ovarium oleh corpus luteum (CL), sedangkan estrogen adalah hormon utama yang bertanggung jawab untuk munculnya perilaku estrus (3M – abang, abuh, anget) yang  diproduksi di ovarium oleh folikel tempat sel telur berasal.

Sapi menjadi estrus ketika progesteron turun dan estrogen naik. Rata-rata siklus estrus sapi adalah setiap 21-22 hari (atau berkisar 18-26 hari). Heifer atau sapi dara cenderung memiliki interval yang lebih pendek, tetapi hanya sekitar satu hari atau lebih. Sapi dengan interval di luar rentang 18-26 hari kemungkinan besar tidak normal dan kita harus melakukan evaluasi detail sebelum memutuskan untuk tahap selanjutnya dalam proses breeding. Jika kondisi tidak membaik, biasanya sapi ini akan dijadikan untuk penggemukan, bukan sebagai bibit.

Masa pubertas
Usia di mana sapi dara mencapai pubertas tergantung pada berat badan mereka. Sapi dara yang lebih ringan mulai siklus lebih lambat daripada hewan yang lebih berat. Jadi, untuk bisa  memaksimalkan kesuburan sapi, kita membutuhkan penambahan berat badan yang baik dan konsisten selama masa pemeliharaan

Untuk membuat sapi dara bunting pada umur 15 bulan dan melahirkan pada umur 2 tahun, mereka harus mulai dewasa kelamin pada umur 12-13 bulan. Kita bisa mulai mengawinkan sapi dara pada siklus estrus mereka yang ke-2 atau 3 kali idealnya untuk memastikan kesiapan organ reproduksinya.

Untuk memastikan bahwa semua sapi dara bisa mengalami dewasa kelamin pada 12-13 bulan, sapi dara harus memiliki berat sekitar 50% dari berat badan dewasa yang diharapkan pada saat berumur 12 bulan dan bertambah sekitar 10% lagi saat 15 bulan. Misalkan sapi Holstein yang berat dewasanya bisa sampai 600 kg, maka idealnya harus memiliki berat minimal 300 kg pada umur 12 bulan dan menambah 60 kg lagi sebelum 15 bulan. Mengukur bobot sapi dara dan menetapkan target bobot hidup merupakan bagian penting dari manajemen kesuburan sapi.

Post Partus
Setelah melahirkan, sistem reproduksi perlu memperbaiki dan memulihkan dirinya sendiri sebelum siklus estrusnya normal kembali. Untuk ternak sapi,  perah pada khususnya, kebanyakan siklus normal akan berlangsung kembali dalam 40 hari setelah melahirkan. Kegagalan untuk melanjutkan siklus normal setelah melahirkan adalah salah satu penyebab utama dari fertilitas yang buruk. Hal ini umumnya bisa nampak dari tertundanya estrus 80-100 hari setelah melahirkan, atau sapi bisa mulai estrus 20 hari setelah melahirkan tetapi kemudian berhenti. Jadi, dampak utama dari kondisi delay estrus ini adalah bahwa sapi tidak bisa dikawinkan dan interval antara saat melahirkan dan estrus kembali menjadi lebih lama sehingga angka kebuntingan menjadi jauh lebih rendah.

Faktor penyakit dan defisiensi nutrisi juga mempengaruhi seberapa cepat kembalinya siklus estrus normal. Untuk pubertas pada sapi dara, salah satu faktor penting yang mempengaruhi kembalinya siklus adalah berat badan. Sapi yang kehilangan berat badan berlebihan pasca melahirkan, umumnya memiliki siklus abnormal dan untuk mencapai kebuntingan selanjutnya juga relatif lebih sulit/lambat. Oleh karena itu, upaya untuk mengembalikan body condition score (BCS) dan meminimalkan kehilangan berat badan induk pasca melahirkan merupakan bagian penting dari pengelolaan fertilitas pada sapi laktasi, terutama induk muda yang baru mengalami masa laktasi awal. Kelompok sapi ini harus menghadapi pemerahan untuk pertama kalinya, mempertahankan pertumbuhan tubuh dan menyesuaikan diri dengan kondisi baru pada saat yang bersamaan sehingga kita sebagai peternak harus memberikan perhatian ekstra.

Kesuburan optimal terlihat pada sapi dengan BCS rata-rata 2,5 saat melahirkan. Dalam kelompok kandang breeding, induk laktasi dengan kondisi BCS > 3 tidak boleh lebih dari 15%, sedangkan BCS < 2 harus dibawah 15% saat melahirkan agar performa reproduksi lebih terjaga. Cara terbaik  adalah dengan mengkondisikan sapi sebelum pengeringan dan kemudian mengelola sapi selama periode kering untuk memenuhi target BCS. Jika masalah utamanya adalah kondisi yang buruk, maka kita harus melakukan evaluasi kandungan nutrisi agar pakan yang kita berikan sesuai dengan kebutuhan induk. Pemberian pakan tambahan pada akhir masa laktasi adalah waktu yang paling ekonomis dan efektif untuk mencapai kondisi BCS yang ideal sebelum dikawinkan kembali.

https://cdn-ext.agnet.tamu.edu/wp-content/uploads/2018/12/EL-5223-reproductive-diseases-in-cattle.pdf

Setelah kita sedikit refresh mengenai siklus reproduksi normal sapi dan kendala teknis yang mungkin muncul, maka saat ini kita juga akan belajar tentang penyakit reproduksi pada sapi. Gangguan reproduksi sapi yang paling umum adalah brucellosis,  leptospirosis, infectiousi bovine rhinotracheitis (IBR) dan bovine viral diarhea (BVD), vibriosis, serta trikomoniasis.

Brucellosis
Brucellosis masih menyebabkan aborsi dan infertilitas yang mengganggu di kalangan pengusaha pembibitan sapi atau sapi perah. Penting untuk dipahami bahwa tidak semua sapi yang terinfeksi brucellosis akan mengalami aborsi, menghasilkan anak sapi yang lemah, mempertahankan plasenta atau mengalami kesulitan untuk berkembang biak kembali. Karena bisa terjadi seekor sapi yang terpapar brucellosis tampak normal. Lalu apa yang harus kita alamti?

Setiap kali induk melahirkan atau mengeluarkan cairan kelamin, jutaan organisme brucella mungkin ada di permukaan plasenta, anak sapi, atau kotorannya. Kotoran yang dihasilkan tersebut kemudian mencemari padang rumput, peralatan kadang dan lingkungan tempat mereka berada, termasuk mungkin bahan pakan lainnya, seperti jerami. Hal inilah yang menjadi biang malapetakan di suatu peternakan yang tentunya mengancam ternak lainnya. Jika hewan dalam kawanan ada yang dalam kondisi lemah/rentan dan terpapar bakteri ini, kemungkinan besar mereka akan terinfeksi juga.

Meskipun infeksi biasanya terjadi melalui saluran pencernaan, hewan yang rentan juga dapat terpapar bakteri melalui kulit atau mata. Pakan, tempat tidur, air atau tempat yang terkontaminasi dapat tetap infektif selama beberapa hari hingga beberapa minggu, tergantung pada kondisi lingkungan. Infeksi menyebar terutama ketika ternak yang terinfeksi dimasukkan ke dalam kawanan, baik melalui pembelian individu/kelompok baru atau ketika mereka berada di padang rumput dengan ternak dengan gangguan subklinis.

Untuk menjaga kawanan dari brucellosis, maka hal yang perlu dilakukan adalah memelihara  kawanan secara eksklusif dengan memproduksi sendiri sapi dara untuk menggantikan sapi-sapi tua yang akan diafkir. Jika hal ini belum bisa dilakukan hal ini, maka sangat disarankan untuk kita membeli dari sumber yang dapat dipercaya sehingga mengurangi resiko kita memasukkan patogen penyakit dari lokasi lain. Jika harus membeli sapi dara pengganti, anda harus mengetahui reputasi peternakan/penjualnya. Pastikan bahwa semua ternak yang Anda beli berasal dari kawanan yang bersih, manajemen yang baik dan program vaksinnya jelas.

Apa lagi yang harus kita lakukan? Isolasi bibit pembibitan selama 30-60 hari setelah tiba di lokasi peternakan kita, dimonitor status kesehatannya dan uji ulang pada akhir periode isolasi sebelum dimasukkan ke dalam kawanan. Repot ya? Ya memang, tetapi jika melihat ini sebagai proses membangun kawanan yang baik, maka ini adalah investasi/upaya awal yang akan mempengaruhi tingkat keberhasilan usaha pembibitan anda. Kelangsungan usaha peternakan dalam jangka panjang dipertaruhkan dari upaya kita membangun kawanan yang berkualitas. Pada saat fase isolasi ini, kita juga harus melakukan uji guna melihat status kesehatan ternak baru untuk potensi penyakit lainnya. Jadi peran dokter hewan sangat penting disini. Pada umumnya, peternak melakukan program vaksinasi sesuai tantangan yang sudah ada di kandang. Semua sapi dara berusia 4-12 bulan harus sudah mendapatkan program yang lengkap. Jika kita berbicara dalam skala industri, sapi harus diidentifikasi dengan benar. Ear tag sistem dengan label telinga resmi dan tato di telinga kanan akan lebih memudahkan peternak untuk melihat silsilah dari sapi yang dibeli.

Lalu bagaimana dengan pejantan? Pastikan sapi jantan bebas dari brucellosis dan semua penyakit reproduksi. Meskipun brucellosis jarang menyebar melalui pembiakan, tetapi jika peternak melakukan model pemeliharaan yang diumbar dan kawin alami, maka pejantan yang kita miliki berpotensi terinfeksi dari induk yang bermasalah saat mereka berada di padang umbaran. Jika hal ini terjadi, maka pejantan ini akan berpotensi menularkan ke induk yang lainnya. Gejala yang bisa kita lihat adalah ukuran testis atau skrotum yang membengkak. Jika produsen sudah menggunakan teknik inseminasi buatan (IB), maka sebaiknya juga harus menghindari semen dari pejantan yang terinfeksi brucellosis, karena air mani mereka dapat menjadi sumber penularan.

Leptospirosis
Leptospirosis umumnya bisa menjadi masalah, terutama pada ternak yang tidak divaksinasi di daerah yang endemis. Penyakit ini menyebabkan kasus yang selalu berulang, karena bisa terjadi infeksi rahim, aborsi, mastitis dan kadang-kadang infeksi sistemik. Strain bakteri yang dominan pada sapi adalah Leptospira pomona, Leptospira hardjo dan Leptospira grippotyphosa.

Sama dengan brucellosis, leptospirosis dapat terjadi dalam suatu kawanan tanpa kita sadari karena minimnya gejala klinis yang muncul. Sapi yang dipelihara secara intensif tetapi dengan sanitasi yang buruk mungkin lebih beresiko karena tetesan urin dari sapi yang terinfeksi dapat menginfeksi sapi normal setelah kontak dengan mata atau selaput lendir hidung atau mulut. Penyakit ini mampu menginfeksi lebih banyak ternak setiap hari dan menggangu performa reproduksi breeding kita.

Untuk mencegah leptospirosis, sebaiknya lakukan vaksinasi dengan bakterin yang mengandung 3-5 serotipe setiap 6 bulan, perbaiki sanitasi/kebersihan kadang dan hindari/perbaiki area yang berpotensi air menggenang dan yang tidak kalah penting adalah kontrol vektor. Pengendalian populasi hewan pengerat terutama tikus dari gudang pakan dan lingkungan kandang menjadi faktor penting dalam upaya pengendalian kasus leptospirosis.

IBR dan BVD
Kasus komplek yang melibatkan IBR dan BVD adalah penyakit yang disebabkan oleh virus yang bertanggung jawab atas banyak aborsi dan kemungkinan infeksi pernapasan, lesi “mata merah” dan lesi kaki. Infertilitas sementara dapat terjadi mengikuti kejadian IBR karena vaginitis dan/atau infeksi uterus ringan. Baca juga : Penyakit Pernafasan pada Sapi

Karena penyakit ini sangat kompleks, sebaiknya kita melakukan evaluasi secara detail sebelum melakukan intervensi. Penggunaan vaksin menjadi hal yang penting dalam upaya pengendalian penyakit ini dalam jangka panjang. Aplikasi vaksin diharapkan dilakukan dengan hati-hati, mengingat pada beberapa kejadian, pelaksanaan vaksin disaat yang tidak tepat juga berpotensi  menyebabkan aborsi. Pastikan status kesehatan kawanan dalam kondisi baik. Oleh karena itu, sebelum memutuskan untuk melakukan vaksinasi  konsultasikan dengan dokter hewan untuk mendapatkan saran tentang prosedur vaksinasi dalam suatu untuk kawanan. Baca juga : Diare pada Sapi

Vibriosis
Vibriosis adalah penyakit kelamin yang menyebabkan kemandulan dan terkadang juga aborsi. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Campylobacter yang hidup di celah-celah kulit pejantan (kulup). Sumber utamanya adalah pejantan yang berumur diatas 4 tahun karena disitulah celah-celah kulit mulai terbentuk dan menjadi tempat persembunyian bakteri ini.

Vibriosis menyebar dari sapi jantan yang terinfeksi ke induk selama proses perkawinan, dan hal itu terus bergulir saling menularkan jika kita tidak menyadarinya. Penyakit ini juga berpotensi ditularkan melalui inseminasi buatan jika tindakan pemeriksaan terhadap semen dan perlakuan untuk pencegahan ini tidak dilakukan. Pejantan yang positif terhadap vibrosis jika yang tidak diobati dapat tetap menjadi pembawa untuk waktu yang lama dan menjadi sumber penularan dalam kawanan.

Vibriosis yang terjadi pada induk dapat menyebabkan endometritis dan mengakibatkan kegagalan proses kebuntingan atau kematian embrio. Induk terkadang masih bisa mengalami kebuntingan dan tidak menunjukkan gejala berahi 21 hari kemudian, namun embrio yang baru terbentuk kemudian mati dan diserap kembali oleh induk. Jika hal ini terjadi, maka induk sapi akan menunjukkan gejala estrus 27-53 hari setelah proses perkawinan, artinya ada keterlambatan dalam siklus estrus normalnya. Aborsi dapat juga terjadi pada akhir masa kebuntingan, tetapi sangat jarang.

Diagnosis untuk penyakit ini relatif sulit. Kita idealnya melakukan identifikasi biakan organisme dari alat kelamin sapi yang terinfeksi, atau dari abomasum janin yang aborsi. Setelah kita mendapatkan konfirmasi bakteri yang menyerang, maka kita bisa melakukan tindakan pencegahan dengan program vaksinasi untuk meningkatkan kekebalan terhadap penyakit vibrosis. Selain itu, kita juga harus melakukan pemeliharaan yang baik terhadap pejantan yang semennya kita koleksi untuk proses  inseminasi buatan (IB), mengobati sampai sembuh sebelum semennya kita gunakan kembali yang terinfeksi, dan melakukan pengecekan secara berkala terhadap kualitas semen yang dihasilkan agar performa reproduksi yang dihasilkan baik.

Trikomoniasis
Tenyakit ini disebabkan oleh protozoa, yaitu Trichomonas yang menyebabkan gangguan penyakit kelamin. Gejala yang ditimbulkan meliputi aborsi sesekali dan pyometra (adanya nanah dalam rahim) yang berpotensi mengganggu efisiensi proses perkawinan. Pyometra ini akan berkembang setelah embrio sapi yang berada dalam rahim induk terinfeksi dan mati.

Untuk pengobatan di induk, kita harus melakukan treatment terhadap infeksi rahim sampai bersih dan untuk sementara tidak dikawinkan dahulu sampai benar-benar sehat. Umumnya kan diperlukan sekitar 90 hari istirahat seksual untuk menghilangkan protozoa ini dari rahim. Kita mungkin perlu berhitung jika hal ini terjadi di indukan tua, apakah kita akan mempertahankan atau kita ganti dengan sapi dara.

Vaksinasi juga merupakan pilihan jika memang tersedia dipasaran. Upaya pencegahan yang bisa kita lakukan selain vaksin adalah rutin melakukan uji status kesehatan dari pejantan dan indukan di breeding farm kita. Metode kultur setidaknya 3x dalam interval mingguan. Pemilihan calon induk, pejantan atau semen yang berkualitas juga menjadi screening pertama yang wajib kita lakukan untuk meminimalkan resiko terjadinya infeksi. Air mani beku yang mengandung organisme ini dapat menyebabkan infeksi jika kita gunakan dalam proses IB.

Kesimpulan

Manajemen reproduksi membutuhkan fokus pada semua tahap kehidupan sejak sapi dilahirkan.
Siklus estrus pada sapi adalah keseimbangan antara progesteron dan estrogen, dimana itu akan berulang setiap 21-22 hari sampai akhirnya mereka bunting. Sapi dara diharapkan mulai dewasa kelamin siklus saat umur 12 bulan, kawin umur 15 bulan dan melahirkan saat berumur 24 bulan. Menetapkan dan memenuhi target BCS sangat penting untuk mengoptimalkan performa reproduksi  pada sapi, terutama sapi dara sehingga induk bisa segera kembali estrus dan memiliki tingkat kesuburan yang baik. Managemen pengendalian penyakit reproduksi juga menjadi faktor penentu keberhasilan dalam usaha breeding ataupun sapi perah. Pastikan kita mempunyai strategi yang tepat agar peternakan kita bisa memberikan hasil terbaik.

Referensi :

  1. https://agrilifeextension.tamu.edu/library/ranching/reproductive-diseases-in-cattle/
  2. https://www.nadis.org.uk/disease-a-z/cattle/fertility-in-dairy-herds/part-1-the-basics-of-reproduction/
Porcine Reproductive and Respiratory Syndrome pada Babi

Porcine Reproductive and Respiratory Syndrome pada Babi

Porcine Reproductive and Respiratory Syndrome (PRRS) adalah salah satu penyakit virus yang menyebabkan kerugian besar pada industri peternakan babi di dunia. PRRS menyebabkan tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi, performance reproduksi tidak baik dan pertumbuhan yang lambat pada anak babi karena gangguan pernafasan.

Di US, PRRS diperkirakan menyebabkan kerugian sekitar $ 664 juta/tahun. Pada tahun 2012, analisa ekonomi pada 9 breeding babi di Belanda menunjukkan bahwa kerugian akibat outbreak PRRS selama 18 minggu adalah 126 euro/induk  atau sekitar 2 juta rupiah/induk. PRRS relative sulit untuk dikontrol, namun demikian sebuah studi di Denmark berhasil membuktikan bahwa eliminasi PRRS bisa dilakukan dari wilayah Horne Peninsula, dimana 12 farm yang saling berdekatan berkomitmen untuk saling support dan bekerja sama melakukan proyek ini.

Kita tahu bahwa PRRS mulai merebak di dunia pada tahun 1980an. Penyakit ini kemudian disinyalir masuk ke Indonesia tahun 1990an. Paling tidak sudah ada 2  penelitian membuktikan bahwa PRRS telah terdeteksi di wilayah Indonesia. Maka, sudah sewajarnya kita memproteksi asset kita agar tidak mengalami kerugian. Baca juga : Apa itu Porcine Respiratory Disease Complex?

Program kontrol penyakit PRRS ataupun penyakit lain pada umumnya adalah sama, yaitu bagaimana kita mencegah infeksi, memaksimalkan kekebalan dan meminimalkan tantangan lapangan. Kontrol PRRS tidak cukup  hanya terpaku pada program vaksinasi saja, tetapi menuntut lebih banyak pihak untuk secara mendasar tahu tentang penyakit ini dan tahu kondisi kandang/lingkungan, dan juga managemen yang baik agar bisa sukses dalam jangka panjang. Biosecurity memiliki peran penting untuk menunjang program vaksinasi agar berjalan maksimal. Kemampuan menganalisa faktor resiko dari luar dan dalam, lingkungan dan managemen  menjadi titik kritis keberhasilan farm dalam menanggulangi datangnya penyakit.

Pada kondisi kandang yang lokasinya berdekatan satu sama lain tidak jarang komitmen antar peternak sulit untuk dilakukan. Maka, memaksimalkan kontrol terhadap faktor resiko Internal dan managemen menjadi hal yang wajib dilakukan. Disisi lain, pengawasaan terhadap resiko dari  faktor lokasi dan resiko ekternal tetap harus dimonitor meski  lebih sulit karena diluar kendali kita.  Baca juga : Pentingnya Biosekuriti pada Peternakan Babi.

Silahkan anda dapat mengunjungi www.prrs.com untuk lebih detail mengenal penyakit PRRS dan juga mengunduh aplikasi COMBAT for PRRS di android/IOS untuk mengukur level biosecurity di farm kita. Semoga dengan pemahaman yang baik akan penyakit PRRS akan membantu kita dalam upaya kontrol penyakit ini sehingga pada akhirnya performance farm menjadi optimal.

References

 1.  Lunney JK, Benfield DA, Rowland RR. Porcine reproductive and respiratory syndrome virus: an update on an emerging and re-emerging viral disease of swine. Virus Res. 2010;154:1–6.

 2.  Holtkamp DJ, Kliebenstein JB, Neumann EJ, Zimmerman J, Rotto H, Yoder T, et al. Assessment of the economic impact of porcine reproductive and respiratory syndrome virus on United States pork producers. J Swine Health Prod. 2013;21:72–84.

 3.  Nieuwenhuis N, Duinhof TF, van Nes A. Economic analysis of outbreaks of porcine reproductive and respiratory syndrome virus in nine sow herds.Vet Rec. 2012;170:225.

4.https://www.researchgate.net/publication/312267717_Control_and_eradication_of_porcine_reproductive_and_respiratory_syndrome_virus_type_2_using_a_modified-live_type_2_vaccine_in_combination_with_a_load_close_homogenise_model_An_area_elimination_study10 Golden Rules

5.https://www.prrs.com/en/publications/articles/prrs-underestimated-disease/

6.https://www.researchgate.net/publication/256131165_SEROLOGICAL_SURVEILLANCE_OF_PORCINE_REPRODUCTIVE_AND_RESPIRATORY_SYNDROME_IN_PIGGERIES_IN_BALI

7.https://www.researchgate.net/publication/267689332_DETEKSI_ANTIBODI_TERHADAP_VIRUS_PORCINE_REPRODUCTIVE_AND_RESPIRATORYSYNDROME_PRRS_PADA_BABI_DI_BEBERAPA_DAERAH_INDONESIA_BAGIAN_TIMUR

error: Content is protected !!