Infectious Bursal Disease pada Peternakan Ayam

Infectious Bursal Disease pada Peternakan Ayam

Virus IBD adalah salah satu anggota Birnaviridae, genus Avibirnavirus. IBD juga dikenal dengan nama penyakit Gumboro, karena ditemukan pertama kali di Gumboro, Delaware, AS. IBD menyebabkan imunosupresif melalui infeksi limfosit B di bursa fabricius ayam dan menyebabkan infeksi sekunder dari patogen oportunistik yang memperburuk penyakit. Selain itu, kondisi imunosupresif ini juga bisa mengakibatkan respon kekebalan akibat pemberian vaksin menjadi tidak optimal sehingga meningkatkan resiko terjadinya kasus penyakit. Kerugian ekonomi juga signifikan karena angka morbiditas, mortalitas, efisiensi pakan yang buruk, pertumbuhan yang lebih lambat, bobot unggas yang tidak merata, waktu yang lebih lama untuk dipasarkan dan peningkatan resiko infeksi sekunder yang tinggi.

IBD biasanya terlihat pada unggas berumur 4-6 minggu. Rute infeksi biasanya oral, tetapi bisa melalui konjungtiva atau saluran pernapasan dengan masa inkubasi 2-3 hari dan sangat menular. Virus ini sangat resisten, bertahan lama dalam kandang dan feses. Infeksi subklinis pada anak ayam menyebabkan respons imun yang kurang terhadap penyakit Newcastle Disease, penyakit Marek dan IB. Selain itu kerentanan terhadap Inclusion Body Hepatitis (IBH), dermatitis dan kasus CRD juga biasanya meningkat. Baca juga : Klasifikasi Penyakit Unggas.

Gejala klinis IBD yang umumnya terlihat adalah depresi, nafsu makan turun, gemetar, bergerombol dan diare dengan diikuti asam urat berwarna putih. Jika kita lakukan bedah bangkai, lesi yang bisa diamati adalah edema bursa fabricius yang terkadang diikuti perdarahan perdarahan dan melanjut atrofi, perdarahan otot dada dan paha, dehidrasi dan ginjal membengkak dengan akumulasi asam urat. Jika unggas terkena IBD, penggunaan suplemen multivitamin, air gula dan parasetamol biasanya membantu. Pengobatan antibiotik dapat diindikasikan jika terjadi infeksi bakteri sekunder.

Untuk pencegahan, vaksinasi sudah umum dilakukan dengan keberhasilan tergantung tingkat keganasan virus dan posisioning program vaksin saat awal pemeliharaan. Vaksinasi adalah metode utama untuk mengendalikan penyakit IBD pada ayam pedaging komersial di seluruh dunia. Hambatan utama dalam proses vaksinasi adalah antibodi yang diturunkan dari induk (Maternal Antibodi/MAb). Baca juga : Program vaksin di Peternakan Ayam.

Vaksin IBD konvensional/generasi I adalah vaksin hidup dilemahkan mengandung strain virus klasik/varian dan vaksin mati tersedia secara komersial dan paling umum digunakan di seluruh dunia. Vaksin konvensional ini diklasifikasikan dalam bentuk IBD mild, intermediet (plus) dan hot strain dimana vaksin mild dan intermediet lebih aman daripada strain intermediet plus dan hot karena hanya menyebabkan kerusakan bursa fabricius yang ringan. Namun demikian, strain mild dan intermediet ini mudah dinetralkan oleh MAb yang tinggi. Sedangkan penggunaan strain intermediet plus dan hot mungkin masih bisa menembus level MAb yang tinggi namun juga disertai dengan kerusakan bursa fabricius yang parah. Hal ini beresiko mengingat bursa fabricius adalah organ pertahanan bagi anak ayam, jika ada patogen lain yang menyerang kemungkinan akan terjadi masalah. Dilematis bukan ?

Dengan kemajuan teknologi telah dikembangkan vaksin generasi selanjutnya dengan keunggulan mengatasi MAb. Munculnya strain varian baru IBD juga menjadi alasan lain para ahli mengembangkan strategi vaksinasi baru terhadap IBD ini, agar keberhasilan vaksinasi lebih terjamin. Vaksin Immune-complex merupakan kombinasi strain intermediet plus yang dilemahkan dengan antibodi spesifik terhadap IBD. Bila dibandingkan dengan vaksin generasi I, vaksin ini mempunyai beberapa keuntungan dimana level dan variasi titer MAB IBD anak ayam tidak lagi menjadi tantangan dalam penentuan waktu vaksinasi yang tepat, peternak tidak perlu melakukan pemeriksaan titer MAb IBD sebelum vaksinasi dilaksanakan. Karena vaksin IBD immune complex menggunakan virus vaksin live intermediate plus, replikasi virus vaksin IBD di bursa fabrisius masih meninggalkan resiko kerusakan yang mengarah pada kondisi immunosupresi juga tidak maksimalnya respon imun pada vaksin yang lain.

Vaksin IBD generasi terbaru adalah vektor vaksin IBD dengan menggunakan turkey herpes virus (HVT) sebagai vektor untuk protein virus IBD (VP2 gen). Gen VP2 dari virus IBD adalah gen yang bersifat immunogenik atau gen yang merangsang timbulnya respon imun. Metode ini menciptakan vaksin yang baru yaitu vaksin Marek disease yang telah disisipi oleh gen virus IBD. Keunggulan vektor vaksin ini adalah VP2 tidak akan dikenali MAb karena hanya struktur proteinnya saja yang digunakan sehingga bisa segera bekerja untuk membentuk respon kekebalan tanpa merusak bursa fabricius.

Vaksin imun komplex dan vektor vaksin biasanya diaplikasikan di hatchery sehingga juga meringankan beban peternak di kandang. Jika kita membandingkan kinerja jenis vaksin yang ada dan faktor interferensi MAb maka vektor vaksin adalah pilihan yang paling baik, diikuti vaksin imun komplex dan konvensional (atau kombinasi dengan vaksin kill). Parameter yang bisa diamati adalah angka kematian, konversi pakan/FCR, indeks bursa dan limpa, skor lesi bursa dan hasil uji serologis.

Jadi, anda sudah menggunakan vaksin IBD yang mana?

Referensi :

  1. https://www.sciencedirect.com/topics/immunology-and-microbiology/infectious-bursal-disease-virus
  2. https://www.thepoultrysite.com/disease-guide/infectious-bursal-disease-ibd-gumboro
  3. https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/22707044/
  4. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6466201/

Avian Influenza (AI)

Avian Influenza (AI)

Avian influenza umumnya disebabkan oleh virus avian influenza tipe A. Penyakit yang juga dikenal dengan nama flu burung ini muncul di antara burung air liar di seluruh dunia dan dapat menginfeksi unggas peliharaan, spesies burung dan hewan lainnya. Avian influenza tipe A sangat menular di antara burung dan bahkan membunuh spesies burung/unggas peliharaan tertentu termasuk ayam, bebek, dan kalkun. Unggas/burung yang terinfeksi dapat menyebarkan virus avian influenza A melalui air liur, sekresi hidung, dan kotorannya.

Virus AI dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu patogen rendah (low pathogenic avian influenza/LPAI) dan sangat patogen (high pathogenic avian influenza/HPAI). Hal ini mengacu pada karakteristik molekuler dari virus dan kemampuan virus untuk menyebabkan penyakit dan kematian. Infeksi virus LPAI biasanya tidak menyebabkan penyakit atau hanya penyakit ringan saja (seperti bulu yang kusut dan produksi telur yang turun) dan mungkin tidak terdeteksi, sedangkan virus HPAI dapat menyebabkan penyakit yang parah dengan kematian yang tinggi. Virus HPAI dan LPAI dapat menyebar dengan cepat melalui ternak unggas, namun pada bebek terkadang bisa tertular tanpa ada tanda-tanda penyakit. Virus AI telah berhasil diisolasi dari lebih dari 100 spesies burung liar yang berbeda. Oleh karena itu, ketika kita memelihara ternak domestik (layer/broiler/kalkun) sebaiknya juga melakukan kontrol terhadap burung liar dan juga unggas air seperti bebek dan angsa karena mereka termasuk reservoir (inang) virus avian influenza A yang beresiko menularkan ke ternak kita.

Gejala utama HPAI pada unggas adalah depresi, kehilangan nafsu makan, penurunan produksi bertelur, pembengkakan dan warna biru pada jengger dan pial akibat gangguan sirkulasi darah, batuk, bersin dan diare. Kematian mendadak bisa terjadi tanpa tanda-tanda sebelumnya. Tingkat kematian dapat mencapai hingga 100% tergantung pada spesies, usia mereka, jenis virus yang terlibat dan faktor lingkungan seperti infeksi bakteri yang terjadi bersamaan. Sedangkan gejala klinis LPAI terutama terdiri dari penyakit pernafasan ringan, depresi dan penurunan produksi telur pada unggas petelur. Infeksi virus HPAI pada unggas seperti virus H5 atau H7 dapat menyebabkan penyakit yang menyerang berbagai organ dalam dengan mortalitas 100% dalam waktu singkat (48 jam).

Wabah AI menjadi perhatian serius pada unggas peliharaan karena potensi virus H5 dan H7 yang sangat patogen, potensi penyebaran yang cepat dengan angka kesakitan dan kematian yang tinggi, dampak ekonomi dan pembatasan perdagangan serta adanya resiko virus avian influenza A menular ke manusia. Walaupun kejadian virus avian influenza A tidak biasanya menginfeksi manusia, tetapi infeksi sporadis pernah dilaporkan. Kejadian pada manusia memiliki tingkat keparahan yang beragam, dari asimtomatik, ringan, parah dan fatal. Infeksi pada manusia paling sering terjadi setelah kontak dengan unggas yang terinfeksi atau sekresi/ekskresinya. Subtipe virus avian influenza A yang diketahui menginfeksi manusia adalah virus H5, H7 dan H9 (H5N1 dan H7N9 paling dominan). Infeksi virus LPAI H9N2 sporadis pada manusia telah dilaporkan di beberapa negara (China, Bangladesh, Mesir). H9N2 paling sering menyerang anak-anak dengan gejala penyakit saluran pernapasan bagian atas ringan, tetapi pneumonia juga pernah dilaporkan pada orang dewasa yang mengalami gangguan kekebalan/imunosupresi dan satu kasus fatal dilaporkan di Cina.

Ketika wabah AI H5 atau H7 terjadi pada unggas, langkah depopulasi/stamping out biasanya harus dilakukan. Surveilans terhadap flok yang berdekatan atau terkait dengan flok yang terinfeksi dan juga proses karantina dengan pemusnahan (jika penyakit terdeteksi) adalah metode pengendalian dan pemberantasan yang idealnya harus dilakukan agar wabah segera bisa diatasi.

Pada peternakan ayam, tindakan pencegahan dengan proses biosekuriti seperti pembersihan dan desinfeksi menjadi sangat penting mengingat resiko yang tinggi jika AI sampai menyerang. Pada area kompleks peternakan, kesadaran bersama dalam program pengendalian penyakit di antara peternak dan kerjasama semua orang di sektor unggas diperlukan untuk memastikan bahwa tindakan biosekuriti yang ketat diterapkan secara baik dan berkesinambungan. Di Indonesia, vaksinasi termasuk dalam upaya pengendalian AI di lapangan. Namun demikian, keberadaan sejumlah besar subtipe virus yang berbeda di lapangan tidak jarang menimbulkan masalah tersendiri terkait proses produksi dan pemilihan jenis vaksin influenza yang sesuai. Pastikan kita melakukan tindakan pencegahan yang terbaik agar ternak kita aman dari gangguan Avian Influenza tipe A ini.

Referensi :

  1. https://www.cdc.gov/flu/avianflu/index.htm
  2. https://www.who.int/influenza/resources/avian_influenza/en/
  3. https://www.thepoultrysite.com/articles/avian-influenza-in-poultry
Program Vaksin di Peternakan Ayam

Program Vaksin di Peternakan Ayam

Unggas dipelihara sebagai sumber protein hewani yang proses produksinya relatif singkat dan harga yang terjangkau. Sistem produksi unggas berbeda, mulai dari pedesaan dipelihara dibelakang rumah sampai skala industri yang modern. Dengan semakin berkembangnya dunia perunggasan dan meningkatnya kebutuhan akan protein hewani, maka tidak jarang diikuti dengan meningkatnya tantangan penyakit di peternakan. Distribusi luas Newcastle disease (ND) dan avian influenza (AI) yang terjadi memberikan contoh dampak negatif dari penyakit tersebut pada sektor produksi unggas dan masyarakat secara keseluruhan. Strategi yang berbeda dapat diterapkan untuk mencegah dan mengendalikan penyebaran penyakit di tingkat internasional, nasional dan peternakan.

Program vaksinasi merupakan komponen penting dalam upaya pencegahan dan pengendalian penyakit unggas di seluruh dunia. Vaksinasi tidak bisa bekerja sendiri, tetapi harus juga diimbangi dengan pelaksanaan manajemen yang baik dan biosekuriti yang maksimal karena vaksin juga hampir tidak mungkin dapat memberikan perlindungan 100%. Vaksinasi umumnya harus disesuaikan dengan kondisi tantangan di setiap kandang. Beberapa faktor lain yang perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaan program vaksin adalah jenis produksi unggas (komersial atau pedesaan), kepadatan dalam suatu wilayah, situasi penyakit di kandang, ketersediaan vaksin dan sumber daya yang ada (pekerja kandang peralatan pendukungnya) dan tentunya pertimbangan biaya.

Jika kita memelihara ternak ayam baik layer maupun broiler komersial, maka program vaksin harus mulai dipikirkan untuk melindungi ternak dari resiko terserang penyakit yang berakibat pada kerugian dalam usaha. Secara umum, penyakit yang menyerang baik ayam broiler maupun layer hampir sama, hanya saja karena umur ayam petelur lebih panjang maka program vaksinnya juga lebih komplit dan agak rumit. Peternak broiler komersial biasanya menggunakan vaksin ND, Infectious Bronchitis (IB), Infectious Bursal Disease (IBD) dan terkadang juga AI, tergantung tantangan di area kandang tersebut. Untuk ayam layer selain semua vaksin diatas, mereka juga menambahkan program vaksin untuk Infectious Laringotracheitis (ILT), Infectious Coriza, Fowlpox/Cacar, Egg Drop syndrom (EDS) dan terkadang juga vaksin Mycoplasma. Semua program vaksin diatas harus disusun sedemikian rupa agar terbentuk kekebalan yang merata dalam kelompok ternak sehingga ketika ada tantangan penyakit gejala klinis yang muncul bisa lebih ringan dan resiko kerugian juga minimal.

Penanganan vaksin di peternakan membutuhkan kehati-hatian guna menjaga potensinya tetap baik. Prosedur penanganan yang buruk, dalam banyak kasus akan mengakibatkan penurunan potensi yang cepat. Saat menerima vaksin di peternakan, pastikan bahwa vaksin ditempatkan dalam keadaan dingin (suhu yang tidak sesuai akan mengakibatkan hilangnya potensi dengan cepat), jenis vaksin apakah sesuai jadwal dan jumlahnya sesuai yang dibutuhkan serta masih belum kedaluwarsa. Vaksin live kering beku harus disimpan pada suhu di bawah titik beku dan pengencernya pada suhu di atas titik beku. Vaksin cair umumnya disimpan pada suhu di atas titik beku dan sebelum pemakaian idealnya di lakukan thawing terlebih dahulu agar tidak menimbulkan stress dingin saat disuntikkan ke ayam. Pastikan kondisi ayam sehat saat akan melakukan vaksinasi agar respon kekebalan yang dihasilkan optimal. Selain itu pastikan juga pelaksanaan vaksin dilapangan menggunakan metode yang sesuai dengan jenis vaksinnya, contohnya vaksinasi ND live (tetes mata, via air minum, spray), vaksin kill ND EDS IB, AI dan Coriza (suntik otot dada, subkutan), FowlPox (tusuk sayap, swab kloaka).

Dengan menerapkan managemen pemeliharaan yang baik dan didukung dengan biosekuriti yang ketat, maka program vaksinasi yang kita susun berdasarkan tantangan di lapangan diharapkan akan menghasilkan tingkat proteksi yang baik, sehingga performance terbaik akan tercapai yang pada akhirnya akan memberikan keuntungan yang optimal dalam usaha peternakan kita.

Referensi :

  1. https://www.oie.int/doc/ged/D4243.PDF
  2. https://www.msdvetmanual.com/poultry/nutrition-and-management-poultry/vaccination-programs-in-poultry#:~:text=Vaccination%20Program%20for%20Broilers,-a&text=b-,Most%20USA%20commercial%20broiler%20hatcheries%20use%20an%20in%20ovo%20vaccination,combined%20with%20Marek’s%20disease%20vaccines.
  3. http://www.poultryhub.org/health/health-management/vaccination/
Apakah Virus Influenza itu Zoonosis ?

Apakah Virus Influenza itu Zoonosis ?

Fakta tentang virus Influenza yang mungkin anda belum sadari adalah :

1. Manusia dapat tertular virus flu burung, flu babi dan virus zoonosis lainnya, seperti virus flu burung subtipe A (H5N1), A (H7N9), dan A (H9N2) dan virus flu babi subtipe A (H1N1), A (H1N2) dan A (H3N2).

2. Infeksi virus Influenza dari hewan ke manusia terutama didapat melalui kontak langsung dengan hewan yang terinfeksi atau lingkungan yang terkontaminasi, tetapi virus ini belum memiliki kemampuan penularan yang berkelanjutan di antara manusia.

3. Infeksi virus flu burung, flu babi dan zoonosis lainnya pada manusia dapat menyebabkan penyakit mulai dari infeksi saluran pernapasan atas ringan (demam dan batuk), produksi dahak dan perkembangan yang cepat menjadi pneumonia berat, sepsis dengan syok, sindrom gangguan pernapasan akut dan bahkan kematian. Konjungtivitis, gejala gastrointestinal, ensephalitis dan ensephalopati juga telah dilaporkan dalam berbagai derajat tergantung pada subtipe virus ini.

4. Mayoritas kasus infeksi virus influenza A (H5N1) dan A (H7N9) pada manusia telah dikaitkan dengan kontak langsung atau tidak langsung dengan unggas hidup atau mati yang terinfeksi. Pengendalian penyakit pada sumber hewan sangat penting untuk menurunkan risiko bagi manusia.

5. Virus influenza dengan reservoir yang luas pada burung/unggas air hampir tidak mungkin untuk dibasmi sehingga infeksi zoonosis influenza pada manusia kemungkinan akan terus terjadi. Untuk meminimalkan risiko kesehatan masyarakat, pengawasan yang berkualitas baik pada hewan maupun populasi manusia, penyelidikan menyeluruh terhadap setiap infeksi manusia dan perencanaan pandemi berbasis risiko sangatlah penting.

Di dunia, ada empat jenis virus influenza yang bersirkulasi, yaitu Influenza tipe A, B, C dan D. Virus Influenza A menginfeksi manusia dan banyak hewan yang berbeda, serta jika terjadi perubahan virus influenza A yang baru (mutasi) dengan kemampuannya menginfeksi manusia bisa meningkatkan resiko penularan dari manusia ke manusia dan menyebabkan pandemi influenza. Virus Influenza B beredar di antara manusia dan menyebabkan epidemi musiman. Data terbaru menunjukkan anjing laut juga bisa terinfeksi influenza tipe B ini. Virus Influenza C dapat menginfeksi manusia dan babi, tetapi infeksi umumnya ringan dan jarang dilaporkan. Sedangkan virus Influenza D terutama menyerang ternak sapi dan belum diketahui apakah mampu menginfeksi atau menyebabkan penyakit pada manusia.

Virus influenza tipe A sangat penting bagi kesehatan masyarakat karena berpotensi menyebabkan pandemi influenza. Virus influenza tipe A diklasifikasikan ke dalam subtipe menurut kombinasi protein permukaan virus yang berbeda hemagglutinin (HA) dan euraminidase (NA). Sejauh ini terdapat 18 subtipe hemagglutinin berbeda dan 11 subtipe neuraminidase berbeda. Jika digolongkan berdasarkan inang asalnya, virus influenza A kita kenal sebagai avian influenza, swine influenza, atau jenis virus influenza hewan lainnya. Contohnya termasuk virus avian influenza “flu burung” subtipe A (H5N1) dan A (H9N2), sedangkan virus “flu babi” subtipe A (H1N1) dan A (H3N2). Semua virus influenza tipe A baik flu burung, flu babi dan flu hewan lainnya ini berbeda dengan virus influenza pada manusia dan tidak mudah menular antar manusia.

Burung/unggas air adalah reservoir alami utama untuk sebagian besar subtipe virus influenza A, tetapi kebanyakan hanya menyebabkan infeksi asimtomatik atau ringan pada unggas. Gejala klinis yang muncul bergantung pada sifat virus. Virus yang menyebabkan penyakit parah pada unggas dan mengakibatkan angka kematian yang tinggi disebut influenza unggas yang sangat patogen (HPAI), sedangkan virus penyebab penyakit ringan pada unggas disebut low pathogenic avian influenza (LPAI).

Lalu bagaimana tanda-tanda penyakit ini pada manusia ? Infeksi flu burung, flu babi, dan zoonosis lainnya pada manusia dapat menyebabkan penyakit mulai dari infeksi saluran pernapasan atas ringan (demam, batuk) hingga berkembang pesat menjadi pneumonia berat, sindrom gangguan pernapasan akut, syok, dan bahkan kematian. Gejala gastrointestinal seperti mual, muntah dan diare dilaporkan lebih sering terjadi pada infeksi influenza A (H5N1). Konjungtivitis juga telah dilaporkan pada influenza A (H7). Gambaran penyakit seperti masa inkubasi, tingkat keparahan gejala dan hasil klinis yang nampak cukup bervariasi menurut virus yang menyebabkan infeksi, akan tetapi manifestasi yang umumnya muncul adalah gejala pernapasan. Pada banyak pasien yang terinfeksi virus avian influenza A (H5) atau A (H7N9), penyakit ini memiliki perjalanan klinis yang agresif. Gejala awal yang umum adalah demam tinggi > 38°C, batuk diikuti dengan gejala sesak atau kesulitan bernapas, sedangkan gejala saluran pernapasan bagian atas seperti sakit tenggorokan atau pilek lebih jarang terjadi. Gejala lain seperti diare, muntah, sakit perut, pendarahan dari hidung atau gusi, ensephalitis, dan nyeri dada juga telah dilaporkan dalam perjalanan klinis beberapa pasien. Jika komplikasi infeksi terjadi, gejala pneumonia berat, gagal napas, disfungsi multi-organ, syok sepsis, dan infeksi bakteri dan jamur sekunder juga bisa terlihat. Yang lebih penting lagi, angka fatalitas kasus infeksi virus subtipe A (H5) dan A (H7N9) di antara manusia jauh lebih tinggi dibandingkan infeksi influenza musiman. Untuk infeksi pada manusia karena virus avian influenza A (H7N7) dan A (H9N2), gejala yang muncul biasanya ringan atau subklinis dan sejauh ini hanya satu infeksi fatal pada manusia karena A (H7N7) yang dilaporkan di Belanda. Khusus untuk infeksi manusia karena virus flu babi, kebanyakan kasusnya adalah ringan walaupun beberapa kasus dirawat di rumah sakit, dan sangat sedikit laporan kematian akibat infeksi ini.

Dalam hal penularan, infeksi manusia karena virus flu burung dan zoonosis lainnya, meskipun jarang, telah dilaporkan secara sporadis. Infeksi ini terutama didapat melalui kontak langsung dengan hewan yang terinfeksi atau lingkungan yang terkontaminasi, akan tetapi virus ini tidak akan mengakibatkan penularan dari manusia ke manusia yang lain. Pada tahun 1997, infeksi virus HPAI A (H5N1) pada manusia dilaporkan selama wabah pada unggas di Hong Kong. Sejak tahun 2003, virus avian ini telah menyebar dari Asia ke Eropa dan Afrika, dan menjadi endemik pada populasi unggas di beberapa negara. Wabah H5N1 ini telah mengakibatkan jutaan unggas terinfeksi, ratusan kasus ditemukan pada manusia dan juga mengakibatkan kematian. Wabah Avian Influenza pada unggas ini telah berdampak serius pada mata pencaharian, ekonomi dan perdagangan internasional di negara-negara yang terkena dampak. Selain itu, virus subtipe avian influenza A (H5) lainnya juga dapat menyebabkan wabah pada unggas dan infeksi pada manusia juga. Pada 2013, infeksi virus A (H7N9) pada manusia dilaporkan untuk pertama kalinya di China, kemudian virus menyebar ke banyak populasi unggas di seluruh negeri dan mengakibatkan lebih dari 1500 kasus pada manusia yang dilaporkan dan banyak kematian pada manusia. Virus avian influenza lainnya yang menyebabkan infeksi pada manusia secara sporadis adalah virus A (H7N7) dan A (H9N2). Beberapa negara juga telah melaporkan infeksi manusia sporadis dengan virus influenza babi, terutama subtipe A (H1) dan A (H3).

Bagaimana dengan faktor risiko infeksi pada manusia ? Untuk virus flu burung, faktor risiko utama penularan pada manusia tampaknya adalah paparan langsung atau tidak langsung terhadap unggas hidup atau mati yang terinfeksi atau lingkungan yang terkontaminasi, seperti pasar unggas hidup. Selain itu, proses penyembelihan, menghilangkan bulu, menangani bangkai unggas yang terinfeksi, dan menyiapkan/proses memasak unggas untuk dikonsumsi (terutama di lingkungan rumah tangga) juga mungkin menjadi faktor risiko. Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa virus influenza A (H5), A (H7N9) atau virus flu burung lainnya dapat ditularkan ke manusia melalui unggas atau telur yang dimasak dengan benar. Beberapa kasus influenza A (H5N1) pada manusia telah dikaitkan dengan konsumsi makanan asal unggas yang dihidangan dengan darah unggas mentah yang terkontaminasi. Oleh karena itu, pengendalian peredaran virus flu burung pada unggas penting dilakukan untuk mengurangi risiko penularan pada manusia. Pada lokasi yang banyak populasi unggas, pengendalian akan membutuhkan komitmen jangka panjang dari negara dan koordinasi yang kuat antara otoritas kesehatan hewan dan masyarakat, selain juga kekompakan antar kelompok ternak yang saling berdekatan. Untuk virus flu babi, faktor risiko yang dilaporkan sebagian besar kasus pada manusia karena kontak dengan babi yang terinfeksi atau mengunjungi lokasi di mana babi dipamerkan atau diperjualbelikan di pasar hewan. Akan tetapi beberapa kejadian penularan terbatas dari manusia ke manusia telah terjadi. Baca juga : Swine Influenza pada Babi.

Infeksi virus avian influenza A (H5N1) pada manusia menunjukkan bahwa masa inkubasi rata-rata 2-5 hari, maksimal hingga 17 hari, sedangkan untuk virus A (H7N9) 1-10 hari dengan rata-rata 5 hari. Masa inkubasi tersebut umumnya lebih lama dibandingkan dengan influenza musiman yang hanya berkisar 2 hari saja. Kemudian, jika manusia tertular dengan virus influenza babi masa inkubasi yang diperlukan adalah 2-7 hari.

Walaupun kejadiannya sporadis, kejadian influenza A ini tentunya tetap harus kita waspadai karena di Indonesia, penyakit avian influenza masih menjadi momok bagi para peternak dan tentunya resiko pekerja kandang untuk tertular juga ada. Terkait dengan kejadian di manusia ini, treatment dengan menggunakan obat antivirus penghambat neuraminidase (oseltamivir, zanamivir) ternyata bisa mengurangi durasi replikasi virus dan meningkatkan prospek kelangsungan hidup. Namun demikian studi klinis menganai hal ini masih terus dilakukan mengingat munculnya isu resistansi terhadap oseltamivir telah dilaporkan. Pemberian anti virus ini idealnya harus diresepkan sesegera mungkin (max 48 jam setelah gejala) untuk hasil terbaik dengan pemberian selama 5 hari, mengingat angka mortalitas yang signifikan terkait dengan infeksi virus subtipe A (H5) dan A (H7N9). Kortikosteroid tidak boleh digunakan secara rutin kecuali diindikasikan untuk alasan lain (asma dan kondisi khusus lainnya). Perlu diketahui juga, virus terbaru A (H5) dan A (H7N9) resisten terhadap obat antiviral adamantane (amantadine, rimantadine) sehingga tidak direkomendasikan untuk monoterapi. Selain itu juga perlu diperhatikan ada tidaknya ko-infeksi dengan bakteri patogen yang biasanya dapat ditemukan pada pasien yang sakit kritis.

Setelah kita tahu faktor resiko dari Influenza A ini, selain pengobatan antivirus, hal yang sebenarnya paling mendasar adalah bagaimana pelaksanaan manajemen kesehatan masyarakat secara umum yang mencakup langkah-langkah perlindungan/pencegahan. Mencegah lebih baik daripada mengobati khan ??

Kembali lagi biosekuriti menjadi unjung tombak dalam program pencegahan ini, yaitu :

  1. Desinfeksi dan kebersihan lingkungan, mencuci tangan secara teratur dengan pengeringan tangan yang benar
  2. Menjaga kualitas udara (memakai masker) – menutupi mulut dan hidung saat batuk atau bersin, menggunakan tisu dan membuangnya dengan benar
  3. Isolasi diri dini bagi mereka yang merasa tidak enak badan, demam, dan mengalami gejala influenza lainnya atau sehabis berkunjung ke wilayah yang sedang ada wabah
  4. Menghindari kontak dekat dengan orang / hewan ternak yang sakit
  5. Menghindari menyentuh mata, hidung, atau mulut seseorang / hewan ternak yang terindikasi sakit
  6. Untuk karyawan yang bekerja di kandang dan berinteraksi dengan ternak, sebaiknya mempunyai prosedur yang baik untuk tindakan pencegahan sehingga status kesehatan baik ternak dan manusianya juga lebih terjamin. Penggunaa alat pelindung diri (APD) atau minimal alas kaki dan seragam khusus juga menjadi cara yang efektif.
  7. Jika kita bepergian ke wilayah yang sedang ada wabah sebaiknya menghindari kontak dengan peternakan unggas, kontak dengan hewan di pasar unggas hidup, memasuki area tempat penyembelihan unggas, dan kontak dengan permukaan mungkin terkontaminasi kotoran unggas atau hewan lain. Keamanan pangan yang baik dan praktik kebersihan makanan, misalnya mencuci tangan dengan sabun dan air harus diikuti.
  8. Vaksinasi bisa menjadi opsi untuk meningkatkan kekebalan pada manusia (sepertinya di Indonesia juga sudah tersedia vaksinnya). Hal ini terutama pada pekerja yang setiap harinya berinteraksi dengan ternak atau siapapun yang mempunyai resiko terhadap penularan Influenza tipe A ini.

Pandemi influenza adalah epidemi yang menyerang sebagian besar dunia karena virus baru (mutasi). Pandemi tidak dapat diprediksi, tetapi peristiwa ini bisa berulang dan beresiko menimbulkan konsekuensi kesehatan, ekonomi, dan sosial di seluruh dunia. Kewaspadaan sangat penting karena pandemi influenza bisa terjadi ketika virus influenza yang baru muncul memiliki kemampuan untuk menyebabkan penularan berkelanjutan dari manusia ke manusia, dan ditambah dengan kondisi populasi manusia hanya memiliki sedikit atau bahkan tidak ada kekebalan terhadap virus tersebut. Sirkulasi virus avian influenza pada unggas (H5, H7) sekali lagi merupakan masalah kesehatan masyarakat karena virus ini bisa menyebabkan penyakit pada manusia dan berpotensi terjadi mutasi sehingga meningkatkan resiko penularan di antara manusia. Baca juga : Pentingnya Biosekuriti pada Peternakan Babi.

Apakah virus flu burung, flu babi dan virus zoonosis lainnya yang beredar saat ini akan menyebabkan pandemi di masa depan masih belum bisa kita diketahui. Namun, keragaman virus zoonosis influenza yang telah menyebabkan infeksi pada manusia sangat memerlukan pengawasan yang diperkuat, baik pada hewan maupun manusia. Akhirnya, era “new normal” dari kebiasaan selama pandemi Covid-19 ini bisa menjadi awal kebiasaan baik buat kita sekalian dalam menjaga kesehatan kita dan orang-orang tercinta.

Referensi :

  1. https://www.who.int/en/news-room/fact-sheets/detail/influenza-(avian-and-other-zoonotic)
  2. https://www.who.int/influenza/human_animal_interface/influenza_h7n9/en/
Newcastle Disease pada Unggas

Newcastle Disease pada Unggas

Penyakit Newcastle (ND) atau tetelo adalah penyakit yang sangat menular dan seringkali ditemukan di seluruh dunia, disebabkan oleh keluarga paramyxovirus. Penyakit ini muncul dalam tiga bentuk, lentogenic/ringan, mesogenic/sedang dan velogenic/sangat virulen. Biasanya muncul gejala klinis berupa penyakit pernapasan, tetapi depresi, manifestasi saraf, atau diare mungkin merupakan bentuk klinis yang dominan. Ditemukan di seluruh dunia, penyakit ini saat ini telah dikendalikan di Kanada, Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa Barat. ND masih berlanjut di beberapa bagian Afrika, Asia dan Amerika Selatan. Namun, karena burung liar terkadang dapat membawa virus tanpa menjadi sakit, wabah dapat terjadi di mana pun unggas dibesarkan.

Penyakit ND paling sering ditularkan melalui kontak langsung dengan unggas yang sakit atau pembawa penyakit/carrier. Unggas yang terinfeksi dapat menyebarkan virus melalui kotorannya dan mencemari lingkungan kemudian penularan terjadi melalui kontak langsung dengan kotoran. Makanan, air, peralatan, dan pakaian manusia yang terkontaminasi juga menjadi faktor resiko penyebaran. Virus dapat bertahan hidup selama beberapa minggu di lingkungan, terutama pada cuaca yang sejuk. Burung liar juga telah terbukti menyebabkan wabah pada unggas peliharaan. Penyakit ini sangat menular, ketika virus masuk ke dalam kandang hampir semua unggas akan tertular dalam 2 -6 hari. Baca juga : Klasifikasi Penyakit Unggas.

Bagaimana resiko terhadap kesehatan manusia? Banyak yang tidak menyadari bahwa ND adalah merupakan zoonosis minor (penyakit hewan yang juga dapat menginfeksi manusia). ND dapat menyebabkan konjungtivitis pada manusia, namun kondisi tersebut umumnya sangat ringan dan dapat sembuh sendiri. Penyakit Newcastle yang ganas bukanlah masalah keamanan pangan. Tidak ada kasus penyakit Newcastle pada manusia yang pernah terjadi karena memakan produk unggas. Produk unggas yang dimasak dengan benar aman untuk dimakan.

Tanda-tanda klinis ND sangat bervariasi dan bergantung pada faktor-faktor seperti jenis virus, spesies burung/unggas yang terinfeksi, umur (muda yang paling rentan), infeksi bersamaan dengan organisme lain, faktor lingkungan dan status kekebalan. Dalam beberapa keadaan, infeksi strain virus yang sangat ganas dapat mengakibatkan banyak unggas ditemukan mati dengan gejala klinis yang relatif sedikit. Penyakit ini timbul dengan cepat dengan gejala yang muncul antara 2 – 12 hari setelah terpapar, dan menyebar dengan cepat melalui kawanan. Beberapa strain virus ND juga menyerang sistem saraf, sistem pernapasan, atau pencernaan. Pada kondisi ini gejala yang muncul biasanya adalah :

  1. gangguan pernapasan – terengah-engah, batuk, bersin
  2. gangguan saraf – tremor, sayap dan kaki lumpuh, leher bengkok, berputar-putar, kejang, dan kelumpuhan;
  3. gangguan pencernaan – diare
  4. penurunan produksi telur sebagian atau seluruhnya dapat terjadi. Telur mungkin abnormal dalam warna, bentuk, atau permukaan, dan memiliki albumen encer
  5. mortalitas bervariasi tetapi bisa mencapai 100%.

Penyakit ND dapat memberikan gambaran klinis yang sangat mirip dengan flu burung, sehingga pengujian laboratorium penting untuk memastikan diagnosis. Metode diagnosis yang disukai adalah isolasi virus dan karakterisasi. Tindakan vaksinasi untuk upaya pencegahan/profilaksis umum dilakukan, kemudian didukung dengan surveilans dan menerapkan prosedur biosekuriti menjadi hal yang penting dan efektif untuk mencegah masuknya penyakit ND ini. Biosekuriti yang bisa dilakukan adalah mencuci tangan sebelum dan setelah menangani unggas, memakai alas kaki khusus dan pakaian saat keluar masuk kandang, bersihkan dan disinfeksi alat kandang, perhatikan tanda-tanda penyakit dan laporkan unggas yang sakit segera. Baca juga : Pentingnya Biosekuriti pada Peternakan Babi.

Ketika penyakit ND muncul di suatu wilayah, hal yang bisa dilakukan adalah :

  1. isolasi ketat atau karantina
  2. pemusnahan semua burung/unggas yang tertular dan terpapar, serta pembuangan karkas yang benar (OIE Terrestrial Animal Health Code)
  3. pembersihan dan desinfeksi tempat secara menyeluruh
  4. pengendalian hama pada ternak
  5. depopulasi diikuti dengan 21 hari tanpa unggas sebelum restocking
  6. menghindari kontak dengan burung yang status kesehatannya tidak diketahui
  7. kontrol akses ke peternakan unggas.

Referensi :

  1. https://www.oie.int/en/animal-health-in-the-world/animal-diseases/newcastle-disease/
  2. https://www.aphis.usda.gov/aphis/ourfocus/animalhealth/animal-disease-information/avian/virulent-newcastle/vnd
  3. http://www.poultryhub.org/health/disease/types-of-disease/newcastle-disease/
Klasifikasi Penyakit Unggas

Klasifikasi Penyakit Unggas

Pengobatan unggas pada dasarnya dilakukan berdasarkan pada pertimbangan kelompok, bukan individu. Oleh karena itu, kejadian penyakit pada unggas merupakan ancaman terhadap kesehatan seluruh populasi dalam kandang dan sekaligus juga beresiko mengganggu nilai ekonominya. Masalah pengelolaan/managemen tata laksana dalam peternakan seringkali menjadi faktor penentu berhasil tidaknya peternak mengendalikan penyakit.

Jika menilik pada kejadian penyakit di unggas secara umum kejadiannya dikelompokkan dalam beberapa bagian, yaitu :

1. Penyakit nutrisi.

Penyakit karena faktor nutrisi ini bisa disebabkan oleh kelebihan atau kekurangan beberapa elemen nutrisi. Pasokan pakan yang baik dan air yang memadai sangat penting untuk pertumbuhan dan perkembangan normal, reproduksi dan kelangsungan hidup unggas. Ada cukup banyak elemen nutrisi penting dan harus ada dalam pakan ternak, antara lain adalah protein, karbohidrat, lemak, vitamin dan mineral . Hal ini membutuhkan tingkat konsentrasi dan keseimbangan yang sesuai untuk memaksimalkan kemampuan unggas mengekspresikan potensi genetiknya untuk tumbuh dan berkembang biak. Menyusun formulasi pakan yang baik tidak mudah, sehingga ketika ada sesuatu yang tidak sesuai harapan maka evaluasinya pun relatif sulit.

Sebagai contoh, kekurangan asam amino bisa mengakibatkan beberapa tanda non spesifik, seperti penurunan pertumbuhan, penurunan konsumsi pakan, penurunan produksi telur dan ukuran telur, serta penurunan berat badan, sedangkan jika kelebihan asam amino bisa mengakibatkan resiko hiperurisemia dan gout artikular; kekurangan karbohidrat bisa mengakibatkan kekurangan energi, sedangkan kelebihan laktosa dapat menyebabkan depresi pertumbuhan dan diare parah; ketidakseimbangan atau kekurangan asam lemak esensial dapat menyebabkan masalah seperti pertumbuhan yang kurang optimal, hati berlemak dan membesar, dan produksi telur yang menurun, serta mempengaruhi ukuran telur dan daya tetas.Sedangkan asam lemak tak jenuh dapat merusak aktivitas vitamin (A, D, E, biotin) atau mengurangi ketersediaan asam amino; Kekurangan satu vitamin dalam makanan menyebabkan gangguan proses metabolisme yang berhubungan dengan vitamin tersebut. Seringkali masalah baru muncul jika kejadiannya sudah berlangsung lama; mineral juga sangat penting untuk pemeliharaan produksi unggas.

2. Gangguan metabolisme dan perkembangan

Banyak masalah terjadi pada produksi unggas yang sebagian besar disebabkan oleh gangguan metabolisme, perkembangan, atau perilaku. Kanibalisme bisa terjadi dalam suatu kelompok bila ada kepadatan tinggi. Suhu panas dan dehidrasi seringkali disebabkan oleh manajemen peternakan yang buruk, terutama sistem pemanas atau ventilasi, atau manajemen pakan, air atau lingkungan yang kurang optimal.

Beberapa penyakit bisa terjadi karena multifaktor dan penyebabnya terkadang tidak spesifik juga jika dikaitkan dengan gejala klinis yang muncul. Contohnya seperti sudden death, ascites, hepatic haemorrhagic, fatty liver hemorrhagic syndrome, fatty kidney syndrome, gout and kidney urolithiasis. Selain itu, gangguan tulang memainkan peran besar dalam produksi unggas, karena setiap masalah dalam sistem ini mempengaruhi kapasitas pergerakan, kemampuan makan, pertumbuhan atau kapasitas reproduksi. Masalah ini multifaktorial juga termasuk faktor genetika, pengelolaan peternakan secara umum, dan keseimbangan pakan. Segala sesuatu harus dilakukan untuk mencegah penyakit-penyakit ini dan menghindari konsekuensi yang parah terhadap produktivitas unggas.

3. Racun dan Toxin

Banyak elemen atau produk yang ada dalam pakan atau kualitas udara di lingkungan peternakan berpotensi mengandung racun. Penggunaan obat atau produk kimia dalam peternakan unggas harus mengikuti aturan/rekomendasi pabrikan agar bisa memberikan manfaat yang optimal. Mikotoksikosis pada unggas biasanya disebabkan oleh koloni jamur yang terkandung dalam bahan baku pakan seperti jagung. Kontaminasi ini berbahaya dan mengakibatkan kerugian sehingga pemilihan bahan baku pakan yang bebas mikotoksin sangatlah penting.

4. Infeksi jamur dan parasit

Infeksi jamur di hatchery/tempat penetasan merupakan contoh kasus yang disebabkan oleh faktor management yang buruk Kombinasi dari kelembapan, stres dan manajemen sering menjadi penyebabnya. Jamur yang menyebabkan penyakit pada unggas terutama adalah Aspergillus (Aspergillus fumigatus, Aspergillus flavus), umumnya terjadi karena terkontaminasi melalui debu, pakan atau litter. Aspergillus menembus jaringan paru dan menyebabkan lesi dan gejala. Bentuk aspergillosis lainnya bersifat sistemik. Dermatitis, osteomikosis, ophtalmitis, ensephalitis semuanya bisa disebabkan oleh infeksi Aspergillus.

Produksi unggas modern relatif sulit memberantas masalah ektoparasit karena umumnya kandang memiliki kepadatan tinggi dan ditambah dengan kemampuan luar biasa dari arthropoda untuk menyesuaikan diri dan mengembangkan ketahanan terhadap senyawa kimia. Masalah kutu, tungau dan lalat sering kali menyebabkan gangguan pada unggas dan juga terkadang melebar ke faktor sosial karena juga dapat menjadi gangguan utama bagi manusia yang tinggal di sekitar lokasi kandang. Selain itu, masalah cacing dan protozoa (koksidiosis) juga merupakan tantangan berat dalam usaha peternakan.

5. Infeksi virus

Virus dapat menginfeksi tubuh melalui jalur pencernaan, pernafasan, transdermal dan berkembang biak di dalam sel. Pengendalian virus hanya dapat dicapai dengan upaya profilaksis/pencegahan, yaitu menyangkut faktor kenyamanan, kebersihan dan program vaksinasi. Contoh gangguan penyakit karena virus pada unggas utamanya adalah infectious bronchitis (IB), Newcastle disease (ND), Infectious Bursal Disease (IBD), Swallen Head Syndrome (SHS), Infectious Laringotracheitis (ILT), Marek’s Disease, Avian Infuenza (AI), Fowl Pox, Reovirus, Rotavirus, Egg Drop Syndrome (EDS), Avian Encephalomyelitis dan lain-lain.

6. Infeksi bakteri

Infeksi ini menjadi perhatian utama dalam produksi unggas karena tidak hanya memiliki pengaruh besar pada kesehatan dan performa unggas. Selain itu, penyakit bakterial ada yang berpengaruh pada kesehatan masyarakat karena bersifat zoonosis, yaitu Salmonellosis atau Campylobacteriosis. Pengendalian penyakit bakterial ini menggabungkan pengobatan dan pencegahan. Penyakit bakterial yang penting pada unggas antara lain adalah Infectious Coriza, Colibacillosis, Mycoplasma, Clostridiosis dan lain-lain.

Akhirnya, untuk menjadi peternak unggas yang berhasil maka kita dituntut untuk bisa menentukan strategi dan managemen pemeliharaan yang baik agar performa kandang kita optimal. Terkait dengan penyakit, kita juga harus mempertimbangkan managemen pakan dan program vaksinasi yang tepat agar ternak kita terhindar dari serangan penyakit yang beresiko mencuri keuntungan usaha kita. Baca juga : Pentingnya Biosekuriti pada Peternakan Babi.

Referensi :

  1. http://www.fao.org/ag/againfo/programmes/en/empres/gemp/avis/poult-over/mod0/0220-classification.html
error: Content is protected !!