Gangguan Reproduksi pada Babi

Gangguan Reproduksi pada Babi

Memelihara ternak babi tentunya tidak lepas dari tantangan penyakit. Jika kita adalah peternak breeding, maka gangguan reproduksi menjadi kendala yang paling utama karena target untuk menghasilkan keturunan akan terkoreksi jika ada penyakit yang tidak tertangani dengan baik. Bagaimana cara yang mudah untuk mengevaluasi performa reproduksi kandang kita? Apa saja  parameter yang harus kita evaluasi?

https://www.researchgate.net/publication/263541549_Reproductive_Diseases_in_Sows_Sus_scrofa_domestica_A_Review

Berikut adalah perhitungan sederhana yang bisa menjadi bahan evaluasi kita, apakah breeding kita sudah optimal atau masih bisa dikembangkan lagi.

Potensi reproduksi induk babi yang ideal dihitung adalah 31,2 ekor anak babi yang disapih per tahun, dengan perhitungan sbb :

Jika lama kebuntingan 114 hari, lama menyusui = 21 hari, dan re-breed 5 hari maka total waktu yang diperlukan adalah 140 hari.

Dalam setahun maka dihitung 365 hari / 140 = 2,6 litter/tahun, artinya dalam 1 tahun induk melahirkan 2x dan jalan bunting 1x.

Asumsi per induk melahirkan anak 12 ekor, maka potensi jumlah anak babi yang disapih dalam setahun adalah 2,6 x 12 babi/litter = 31,2 ekor.

Di Indonesia, mungkin saat ini kita tidak terlampau sulit menemukan induk dengan jumlah anak yang banyak pada peternakan komersial, tetapi di level backyard farm relatif sulit. Hanya saja variabel untuk bisa selamat sampai panen cukup banyak, baik itu kendala teknis ataupun non teknis.

https://www.researchgate.net/publication/263541549_Reproductive_Diseases_in_Sows_Sus_scrofa_domestica_A_Review

Bagan diatas adalah gambaran mengenai penyebab gangguan reproduksi yang berpotensi mengganggu breeding farm kita. Berikut adalah beberapa kasus reproduksi akan kita sharingkan dan yang harus kita perhatikan agar performa reproduksi kandang kita tetap baik :

Porcine Reproductive and Resipratory Syndrome (PRRS)

Virus PRRS adalah virus RNA berselubung dalam genus Arterivirus, diklasifikasikan dalam keluarga virus, Arteriviridae. Ada US strain dan EU strain yang saat ini bersirkulasi, dimana ada perbedaan genetik dan antigenik yang signifikan antara isolat ini. Keragaman genetik dan antigenik antara isolat ini, bahkan di dalam suatu negara tetap menjadi tantangan berkelanjutan dalam pengendaliannya. HP PRRS yang berkembang di Asia adalah turunan dari US strain yang lebih ganas.

https://www.researchgate.net/publication/263541549_Reproductive_Diseases_in_Sows_Sus_scrofa_domestica_A_Review

PRRS mungkin saat ini merupakan penyakit babi yang paling penting dalam setengah abad terakhir. Pengujian serologis telah mengungkapkan ada banyak kawanan yang terinfeksi di mana tanda-tandanya tidak terlihat (subklinis). Gejala klinis yang teramati umumnya bervariasi karena  dipengaruhi oleh virulensi virus, tahapan infeksi (apakah itu infeksi awal atau berkelanjutan – endemik dengan herd immunity), kelompok usia yang terkena, ada tidaknya gangguan penyakit lain serta ukuran kawanan dan praktik manajemen.

Gejala umum yang nampak pada gilt, induk betina dan jantan adalah anoreksia, demam, lesu, depresi, dan mungkin gangguan pernapasan atau muntah. Sianosis ringan pada telinga, perut dan vulva juga bisa teramati pada beberapa kasus. Gejala reproduksi yang patut kita curigai antara lain adalah penurunan jumlah induk yang mengandung atau beranak, peningkatan kelahiran prematur, aborsi di fase akhir kebuntingan, anak babi yang lahir mati atau lemah, dan mumifikasi fetus . Kematian anak sebelum disapih relatif tinggi. Babi menyusui mungkin mengalami dispnea (thumping).

Periode tanda-tanda reproduksi bervariasi menurut ukuran kawanan tetapi biasanya terjadi dalam 2 – 3 bulan, dan proses perbaikan performa relatif lambat sehingga menjadi sebuah kerugian besar bagi peternak. Jadi sangat penting untuk kita mengetahui status kesehatan calon induk sebelum didatangkan dalam kawanan di peternakan kita, karena jika kita lalai maka resiko penularabn dan shedding virus menjadi bahaya yang sangat merugikan. Kualitas semen pejantan umumnya juga bisa terpengaruh dan bisa menjadi sumber penularan ke induk betina yang dikawini.

Anak babi yang terkena PRRS, umumnya akan menunjukkan demam, depresi, lesu, kerdil karena penyakit sistemik dan pneumonia. Gangguan pernafasan lebih mendominasi kejadian pada anak babi, seperti bersin, demam dan lesu, dispnea dimana kejadiannya akan memuncak dalam 4-10  minggu. Selain itu, angka kematian/mortalitas pasca sapih sering meningkat secara nyata, terutama jika terjadi outbreak dengan galur virulen atau terjadinya infeksi bersamaan dan diikuti infeksi sekunder. Baca juga : PRRS pada Babi

Porcine Circovirus

Porcine circovirus tipe 2 atau PCV2 adalah virus DNA yang sangat kecil yang menginfeksi babi. Infeksi PCV2 tersebar luas dan pada dasarnya semua kawanan babi terinfeksi PCV2. Manifestasi dari PCV2 di lapangan meliputi infeksi PCV2 sistemik, pneumonia terkait PCV2, enteritis terkait PCV2, kegagalan reproduksi terkait PCV2, dan Porcine Sindrom Dermatitis dan Nefropati (PDNS).

Penyakit PCV2 umumnya akan menyebabkan berbagai kondisi klinis termasuk penyakit reproduksi terkait PCV2 (PCV2-RD) yang ditandai dengan aborsi dan mumifikasi. Diagnosa yang bisa dilakukan secara umum meliputi adanya gangguan reproduksi, temuan histopatologi miokarditis, dan deteksi viral load sedang – tinggi dalam jaringan jantung fetus. Kebutuhan untuk mengidentifikasi lesi histopatologis pada jaringan jantung fetus tampaknya tidak valid atau berlebihan dalam mengkonfirmasi diagnosis PCV2-RD, setidaknya pada tingkat janin individu. Sedangkan viral load tertinggi (1012 GE/g jaringan) terdeteksi pada babi yang autolisis atau mumifikasi umumnya teridentifikasi sebagai PCV2d, meskipun deteksi bersamaan PCV2d + a dan PCV2d + b juga terjadi.

Baca juga : Porcine Circovirus

Parvovirus
Parvovirus ini telah menginfeksi kawanan babi di seluruh dunia. Gejala Klinis ditandai dengan adanya kematian embrio dan janin pada induk babi. Selain itu tertundanya estrus atau anestrus (bunting semu), jumlah anakan yang sedikit, mumifikasi fetus juga harus kita curigai sebagai tanda utama infeksi parvovirus. Aborsi bisa terjadi tetapi jarang. Parvovirus umumnya menyerang induk muda atau parity 1.

Pengendalian yang bisa kita upayakan adalah pemilihan calon induk/gilt yang baik. Kita harus pastikan status kesehatannya sebelum kita masukkan dalam kawanan. Hal yang umumnya dilakukan adalah dengan memberikan 2x vaksin terhadap Parvovirus (3 dan 6 mgg sebelum kawin) pada periode aklimatisasi. Kita juga bisa melakukan uji laboratorium dengan pengambilan sampel darah saat umur 6,5 bulan untuk memastikan gilt yang akan kita pakai sehat.

Enterovirus
Ada minimal 10 serotipe dari Porcine Enterovirus ini dan penyakit ini umum ditemukan dalam kawanan ternak babi. Istilah “SMEDI” (stillbirths, mummies, embryonic death and infertility) – lahir mati, mumifikasi, kematian embrio dan infertilitas adalah akronim yang pertama kali digunakan dalam 1965 untuk menggambarkan sekelompok virus yang menyebabkan sindrom reproduksi pada babi.

Enterovirus menyebabkan gejala klinis yang mirip dengan parvovirus. 90% masalah reproduksi pada gilt dan babi betina dilaporkan sebagai akibat parvovirus. Oleh karena itu, uji laboratorium ini sangat penting untuk membedakan patogen yang masuk. Idealnya ketika ada diagnosa parvovirus, ada baiknya untuk juga melakukan uji terhadap enterovirus.

Enterovirus dapat dikendalikan dengan mencampurkan babi jantan/betina pengganti agar mereka berinteraksi, atau pemberian tantangan dengan memberikan feses selama 30 hari sebelum proses perkawinan. Proses ini diharapkan mampu untuk membangun kekebalan terhadap setiap serotipe baru enterovirus yang mungkin masuk ke dalam kawanan melalui hewan pengganti. Pastikan kita melakukan monitoring yang ketat untuk menghindari resiko yang tidak diinginkan.

Leptospirosis
Leptospirosis disebabkan oleh bakteri genus spirochete. Setidaknya ada 6 spesies telah
terlibat dalam masalah reproduksi pada babi di USA, yaitu L. pomona, L. grippotyphosa, L. canicola, L. icterohemorrhagiae, L. hardjo, dan L. bratislava. Gejala klinis yang umumnya teramati adalah aborsi, lahir mati dan anak babi yang lemah. Secara  umum, tanda-tanda ini terjadi pada akhir kebuntingan atau pada waktu farrowing.

https://www.researchgate.net/publication/263541549_Reproductive_Diseases_in_Sows_Sus_scrofa_domestica_A_Review

Leptospirosis didiagnosis dengan tes darah dari induk babi pada saat masalah reproduksi atau identifikasi/kultur organisme dari anak babi yang terkena di laboratorium. Upaya pencegahan yang dilakukan adalah pemberian vaksinasi pada gilt, induk dan pejantan 3 -4 minggu sebelum gejala klinis muncul. Secara historis, vaksin bakterin yg berisi 5 species Leptospira telah digunakan, dan single banterin yang mengandung L. bratislava secara komersial juga tersedia. Pastikan anda berkonsultasi dengan dokter hewan setempat untuk memastikan vaksin mana yang sebaiknya digunakan.

Leptospirosis dapat diobati dengan menyuntikkan dihydrostreptomycin di bawah pengawasan dokter hewan. Pemberian chlortetracycline pada level 400 gram/ton (atau 1 gram per induk per hari) selama 10 hari juga metode yang efektif untuk mengobati leptospirosis. Pelaksanaan terapi pengobatan ini sebaiknya dikoordinasikan dengan vaksinasi agar bisa memberikan efek yang terbaik.

Leptospirosis ada resiko menular ke manusia (zoonosis) zoonosis sehingga memberikan implikasi terhadap kesehatan masyarakat. Berbagai spesies Leptospira menyebabkan Weil’s Disease (bentuk parah leptospirosis dan penyakit lainnya pada manusia). Oleh karena itu, tindakan pencegahan dengan program sanitasi yang tepat harus dilakukan oleh personel yang bekerja di peternakan ataupun area yang terdapat kawanan babi untuk meminimalkan resiko terinfeksi.

Brucellosis
Brucellosis adalah penyakit menular pada babi yang disebabkan oleh bakteri Brucella suis.
Brucellosis juga beresiko menular ke manusia karena dapat menyebabkan demam undulan pada manusia yang ditandai dengan demam intermiten dan berkeringat.

Gejala klinis yang bisa teramati adalah aborsi, infertilitas, orchitis (radang testis), kelumpuhan posterior dan kepincangan. Kejadian aborsi bisa menyerang kapan saja selama periode kebuntingan, berbeda dengan leptospirosis yang mengakibatkan aborsi pada fase akhir.

Pseudorabies (PRV)
Pseudorabies sering juga kita sebut dengan Aujeszky’s disease yang disebabkan oleh virus herpes yang di USA sejak 1961. Gejala klinisnya adalah air liur berlebihan, demam, depresi dan kejang-kejang. Kematian tinggi sampai > 80% bisa terjadi anak babi < 3 minggu, sedangkan pada babi dewasa hanya sekitar 2%.

https://www.researchgate.net/publication/263541549_Reproductive_Diseases_in_Sows_Sus_scrofa_domestica_A_Review

Untuk induk betina bunting dan babi yang terinfeksi PRV umumnya akan mengalami kematian embrio, aborsi, dan kelahiran maserasi (janin melunak dan membusuk) dan lahir mati. Jika terjadi kasus dilapangan, biasanya angka konsepsi cinderung lebih rendah bahkan terjadi beberapa bulan setelah wabah dalam kawanan.

Pseudorabies bisa dikendalikan vaksinasi di breeding setiap 6 bulan atau 3 – 4 minggu sebelum farrowing. Pastikan untuk anda berkonsultasi dengan dokter hewan untuk menyusun program pengendalian penyakit yang lebih baik.

Classical Swine Fever (CSF)
Classical swine fever atau lebih kita kenal dengan nama Hog Cholera adalah penyakit virus yang sampai saat ini masih menjadi masalah disebagian besar peternakan babi di dunia. USA sudah free CSF sejak 1976.

https://www.researchgate.net/publication/263541549_Reproductive_Diseases_in_Sows_Sus_scrofa_domestica_A_Review

Gejala klinis CSF adalah babi terlihat kesakitan, kurang nafsu makan, depresi, lesu, demam 106°F, konjungtivitis (kemerahan pada mata) dengan kelopak mata saling menempel, anak babi cinderung menumpuk dan meringkuk, sianosis atau warna kebiruan pada kulit di perut. Dari aspek reproduksi, serangan CSF dapat mengakibatkan aborsi, mumifikasi, malformasi, lahir mati, babi lemah/gemetar.

Program vaksinasi sangat disarankan untuk area yang memang endemis dengan SCF. Diagnosa laboratorium sangat penting untuk memastikan penyebab penyakit, terlebih saat ini secara gejala klinis sanga CSF mirip dengen African Swine Fever (ASF) dan hanya bisa dibedakan dengan uji laboratorium. Baca juga : Classical Swine Fever

Swine Infuenza Virus (SIV)
Swine Flu atau flu babi disebabkan oleh infeksi virus influenza tipe A. Gejala klinis yang teramati adalah gangguan pernapasan, namun demikian SIV juga dilaporkan menjadi penyebab kasus reproduksi pada babi.

Bentuk pernapasan SIV ditandai dengan serangan paroksismal yang keras/sangat dalam berupa  batuk dan sesak nafas, atau napas tersengal-sengal. Kelelahan ekstrim dan kehilangan nafsu makan umum teramati juga, dan bisa disertai dengan demam sampai 108°F.

Masalah reproduksi yang terkait dengan SIV utamanya adalah jumlah anak sedikit, laju pertumbuhan lambat, kerdilan dan kematian selama masa menyusui dan setelah disapih. Induk babi dan gilt yang terinfeksi juga dapat mengalami keguguran pada akhir kebuntingan dan resorpsi embrio. Dahulu, SIV kebanyakan terjadi saat cuaca dingin mendekati musim gugur, tetapi sekarang kita bisa menemukan kasus sepanjang tahun.

Tidak ada pengobatan untuk bentuk pernapasan dari infeksi SIV, namun pemberian antibakteri
berguna sebagai pengobatan untuk infeksi bakteri sekunder. Program vaksinasi sebaiknya dipertimbangkan mengingat kejadian SIV saat ini bisa sepanjang tahun. Seleksi calon induk yang baik juga membantu dalam upaya pengendalian penyakit ini. Baca juga : Swine influenza pada Babi

Ensephalomyocarditis (EMCV)
Encephalomyocarditis virus adalah penyebab lahir mati, mumi dan maserasi fetus pada ternak babi. Selain itu, EMCV juga menyebabkan lesi jantung dan kematian mendadak pada anak babi, biasanya hingga usia 21 hari.

EMCV telah ditemukan di Australia dan berhasil diisolasi di USA dari kasus lapangan oleh para peneliti di University of Minnesota. Jika tidak ada diagnosis penyebab lain dari kejadian lahir mati, mumi dan bersamaan dengan kematian pada anak babi yang menyusui, maka EMCV harus dipertimbangkan.

Streptococcus suis
Streptococcus suis ada sekitar 29 serotipe bakteri sekarang. Gejala klinis yang bisa diamati adalah keputihan pada gilt atau babi betina dari sebelum kawin sampai setelah beranak. Biasanya, keputihan ini akan banyak pada 1 hari setelah melahirkan. Karena kejadian ini, angka konsepsi bisa turun 50-60%. Anak babi bisa terinfeksi saat proses kelahiran dimana vagina induk terdapat kolonisasi S.suis.

Induk babi dan gilt yang mengalami gejala ini biasanya ditreatment dengan antibiotik golongan penisilin. Untuk program pengendalian, kita bisa lakukan isolasi Streptococcus suis yang spesifik  untuk kemudian lakukan vaksinasi yang sesuai dengan tantangan di lapangan. Gilt idealnya  berikan vaksinasi 2x, yaitu 5 dan 2 minggu sebelum dikawinkan.

Steptococcus suis juga bisa menyebabkan meningitis dan gangguan pendengaran pada manusia. Oleh karena itu, pekerja di lingkungan peternakan dan yang bersentuhan dengan daging babi sebaiknya waspada, selalu menjaga kebersihan dan sanitasi untuk meminimalkan resiko. Silahkan baca juga : Streptococcus suis, bahayakah?

Erysipelas
Erysipelas disebabkan oleh bakteri Erysipelothrix rhusiopathiae. Gejala klinis yang teramati adalah adanya aborsi yang dapat terjadi pada induk babi dan gilt yang terkontaminasi oleh bakteri ini. Kondisi pada umumnya kelihatan kesakitan dan demam tinggi 108°F. Lesi khas dari erysipelas adalah gambaran berbentuk berlian, merah muda – ungu tua pada kulit. Kadang-kadang lesinya juga cukup besar dan bernoda (bercak atau bintik-bintik).

Suntikan dengan preparat penisilin bisa diberikan per individu untuk mengobati kasus ini, kemudian kita bisa lakukan pengobatan massal dengan antibiotik golongan tetrasiklin via air minum selama 5 hari setelah tidak ada induk babi atau gilt sakit.

Parasit
Infestasi tungau kudis Sarcoptic bisa menyebabkan anemia pada induk babi. Anemia ini jika tidak ditangani dengan baik akan menyebabkan penurunan tingkat konsepsi. Oleh karena itu, lakukan juga program pengendalian parasit dengan baik agar kinerja reproduksi di peternakan babi kita bisa dioptimalkan.

Ringkasan
Penyebab gangguan reproduksi pada breeding peternakan babi yang paling dominan adalah adanya infeksi karena PRRS, PCV2, Parvovirus, Pseudorabies, Enterovirus, dan Leptospirosis. Penyebab infeksi lain yang kurang umum dari masalah reproduksi adalah Brucellosis, CSF, SIV,  Encephalomyocarditis, Streptococcus suis, Erysipelas dan gangguan parasit.

Produsen babi harus memberikan prioritas tertinggi untuk mengendalikan masalah reproduksi. hal ini tentunya membutuhkan peran serta dari tenaga ahli baik dokter hewan ataupun manager farm untuk saling support. Diagnosa laboratorium akan sangat membantu untuk diagnosa, sehingga kita bisa melakukan tindakan pencegahan yang diperlukan baik itu vaksinasi, biosekuriti ataupun perbaikna management lainnya. Baca juga : Kontrol Penyakit pada Ternak Babi

Referensi :

  1. https://digitalcommons.unl.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=2375&context=extensionhist#:~:text=The%20most%20common%20infectious%20causes,streptococcus%20suis%2C%20erysipelas%20and%20parasites.
  2. https://www.researchgate.net/publication/263541549_Reproductive_Diseases_in_Sows_Sus_scrofa_domestica_A_Review
  3. https://vetmed.iastate.edu/vdpam/FSVD/swine/index-diseases/porcine-reproductive
  4. https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S1090023321000551
Proses Aklimatisasi pada Peternakan babi (bagian 2)

Proses Aklimatisasi pada Peternakan babi (bagian 2)

Setelah kita sebelumnya membahas proses aklimatisasi untuk pengendalian mikoplasma, pada saat ini kita akan belajar bersama untuk proses aklimatisasi terhadap penyakit Porcine Reproductive and Respiratory Syndrome (PRRS). Selain M.hyo yang sudah lama teridentifikasi di peternakan babi, penyakit baru seperti PRRS ini juga telah menyebabkan industri babi dunia berpikir keras dalam proses pengendalian penyakit ini. Penyakit PRRS menjadi penting karena bisa menyebabkan gangguan reproduksi pada breeding dan sekaligus gangguan pernafasan pada anak babi, sehingga PRRS menempatkan diri sebagai penyakit dengan beban biaya penyakit paling besar dalam usaha peternakan babi karena performance kandang yang buruk. Langkah aklimatisasi tetap menjadi pilihan terbaik dalam mengendalikan PRRS. Berikut adalah contoh praktek aklimatisasi yang disharingkan oleh asosisasi dokter hewan babi di Amerika (AASV) yang mungkin bisa menjadi referensi bagi kita dalam memberikan gambaran proses aklimatisasi di kandang :

  1. Investasi kandang karantina dan pengelolaan managemen calon induk yang baik
  2. Meminimalkan batch / grup calon induk dalam 1 tahun, tetapi menambahkan jumlah calon induk per grup tersebut. Jadi misalkan kita sebelumnya melakukan replacement induk dengan calon induk sebanyak 12x setahun dengan jumlah 120 ekor (10 ekor/bulan), kita bisa menguranginya menjadi hanya 6 kali pergantian tetapi dengan meningkatkan jumlahnya menjadi 20 ekor setiap 2 bulan sehingga secara target tahunan tetap terpenuhi. Praktek ini akan lebih mudah diterapkan pada lokasi ternak yang baru karena tidak perlu mengubah tahapan replacement induk yang sudah berjalan. Jika anda berniat mengembangkan usaha dengan membuka lokasi baru, mungkin skema ini bisa dipertimbangkan.
  3. Kita bisa lakukan pengenalan calon induk baru dari berbagai usia dan bobot per grup
  4. Jika peternakan kita memiliki kapasitas yang besar, misalkan dalam sistem yang menerima 400 – 500 calon induk per grup maka dibutuhkan level manajemen yang lebih detail dan memadai. Peternakan yang menetapkan target menyapih 24 anak babi per induk per tahun (PSY/pig per sow per year) tentunya harus diimbangi dengan protokol manajemen yang ketat selama proses karantina dan aklimatisasi.

Apa lagi yang harus dilakukan? Selain monitoring dan evaluasi status kesehatan, kita juga harus memiliki rekording yang baik untuk calon induk yang akan dimasukkan ke kandang kita. Seleksi terhadap calon induk dimulai dari saat kedatangan, up date dan simpan catatan tersebut sebagai penilaian performance individu selama masa produksi. Urutkan calon induk berdasarkan usia dan berat badan, serta genetiknya segera setelah mereka tiba lalu berikan kepada pengelola kandang / manajer unit untuk melakukan pencatatan. Rekording ini biasanya mencakup data :

  1. Nomer ID Pen / kandang
  2. Nomer ID calon induk
  3. Umur dan perkiraan berat badan
  4. Tanggal pemeriksaan
  5. Usia maksimal untuk mencapai pubertas
  6. Tanggal intervensi / perlakuan terhadap calon induk yang lambat pubertas dan toleransi maksimum yang diizinkan. Jika tidak ada progress baik harus di afkir / dijadikan babi potong agar tidak membebani biaya produksi.
  7. Jenis intervensi / perlakuan yang dilakukan
  8. Tanggal pertama terdeteksi estrus
  9. Tanggal estrus berkala untuk melihat apakah induk ini mempunyai periode reproduksi yang normal
  10. Data lain-lain bisa ditambahkan, seperti misalnya aplikasi kawin alami / menggunakan kawin suntik semen pejantan dan tanggal vaksinasi, jumlah anak dll

Pemeriksaan estrus calon induk harus dimulai 1 minggu setelah kedatangan untuk calon induk yang sudah berumur > 135 hari. Sebaiknya hindari memberikan rangsangan kepada calon induk yang muda karena umumnya tidak akan memberikan manfaat. Beberapa calon induk ada yang bisa merespon rangsangan saat distimulasi dengan pejantan pada usia 130 – 140 hari, dan jika itu terjadi secara normal biasanya mengindikasikan kondisi individu calon induk tersebut paling subur dan berpotensi memiliki periode estrus yang lebih teratur, anak yang lebih besar, dan hidup lebih lama. Melakukan rangsangan pada permulaan pubertas ini tidak berarti bahwa calon induk juga harus segera dikawinkan pada usia dini atau saat berat badan masih dibawah standart. Pada praktek di lapangan, jarang sekali peternak yang mengawinkan calon induk saat terdeteksi estrus pertama kali mengingat tingkat kematangan organ reproduksinya. Untuk hasil yang lebih baik, idealnya calon induk harus berumur 220 – 240 hari dan berat 130 – 140 kg (286 – 308 lbs) atau estrus ke-3 untuk proses perkawinan / inseminasi pertamanya.

Penggunaan pejantan yang telah divasektomi akan membantu dalam merangsang dan mendeteksi estrus, yaitu dengan memasukkan pejantan dan membiarkannya melakukan kontak dengan calon induk selama 10 -15 menit. Pemeriksaan estrus ini bisa dilakukan dengan rasio 1 : 8 -10 di dalam kandang. Calon induk yang menunjukkan gejala estrus dalam seminggu harus dikelompokkan kembali menjadi satu kandang sehingga dalam beberapa minggu akan terbentuk kelompok yang lebih terorganisir sehingga memudahkan dalam monitoring status reproduksinya. Untuk calon induk yang masih belum menunjukkan tanda-tanda estrus harus terus dimonitor setiap minggu, dan jika sampai target yang ditetapkan masih belum ada tanda-tanda birahi / estrus maka biasanya calon induk ini akan diculling dan digantikan dengan yang lainnya. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk selalu memasukkan sejumlah ekstra calon induk dalam setiap prosesnya untuk jaga-jaga jika ada calon induk yang tidak lolos seleksi. Jika quota ternyata berlebih karena calon induk yang dipilih bagus semua, maka kita masih ada peluang untuk menjual ke peternak yang lain (jika tidak ada tempat lagi). Di lapangan, jika praktek ini bisa dijalankan dengan baik, maka biasanya akan mampu memberikan performa reproduksi yang optimal.

Dengan melakukan pengelompokan calon induk diatas, maka kita akan lebih mudah mengorganisir kandang breeding kita dan memastikan target kawin mingguan selalu terpenuhi. Keuntungan lainnya adalah ketika calon induk ditargetkan kawin dalam time frame mingguan maka waktu dari setiap entri ke unit isolasi sampai servis perkawinan pertamanya akan berkurang sehingga akan mengurangi hari non-produktif. Sekali lagi, umumnya calon induk dikawinkan pertama kali pada periode estrus ke-3, bukan ke-2 apalagi pertama. Pastikan proses pemilihan calon induk diselesaikan sebelum mencapai berat 115 – 120 kg (253 sampai 264 lbs), sehingga jika sampai ada calon induk yang gagal seleksi bisa dimasukkan sebagai babi potong daripada dijual sebagai hewan seleksian yang mungkin dihargai murah. Baca juga : Bagaimana menjalankan usaha peternakan babi yang menguntungkan?

Aklimatisasi PRRS. Penelitian yang dilakukan oleh DR Carlos Pijoan dari Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Minnesota menyatakan bahwa, proses aklimatisasi yang tidak tepat adalah salah satu penyebab utama pernafasan yang terus menerus dan penyakit reproduksi, bahkan di peternakan dengan status kesehatan yang tinggi. Aklimatisasi bisa gagal karena mereka tidak mencapai tingkat eksposur patogen yang konsisten terhadap calon induk. Kebanyakan strategi aklimatisasi tidak pernah secara ilmiah divalidasi, sehingga manfaat yang didapatkan relatif tidak pasti. Calon induk naive yang memasuki masa perkawinan di kandang breeding berpotensi terinfeksi PRRSv, Mycoplasma dan patogen lainnya sehingga bisa menjadi sumber penularan terhadap populasi lainnya. Aklimatisasi merupakan salah satu kontrol utama dalam strategi untuk mengurangi risiko wabah PRRSv pada kawanan babi yang berstatus positif. Oleh karena itu, sangat penting untuk mempelajari strategi aklimatisasi yang tepat dan terukur dengan mengenalkan calon induk ke patogen yang sudah bersirkulasi di kandang sehingga bisa mengurangi risiko masuknya strain baru. Vaksinansi menjadi cara yang relatif paling aman dan umum dilakukan. Aklimatisasi bisa dilakukan tanpa vaksinasi, namun hasilnya bergantung pada proses infeksi melalui kontak langsung calon induk dengan anak babi, induk tua atau penggunaan serum yang sudah diuji klinis. Cara ini membutuhkan proses yang detail untuk memastikan mana anak babi/induk tua yang memiliki viremia tertinggi dan dapat digunakan untuk paparan calon induk sehingga tantangan yang diberikan bisa menghasilkan tingkat kekebalan yang protektif. Monitoring harus terus dilakukan terutama dalam kaitannya dengan reaksi yang ditimbulkan setelah proses pengenalan ini. Cara ini TIDAK direkomendasikan untuk penyakit African Swine Fever (ASF) ya, karena kita tahu jika darah adalah sumber penularan yang paling berbahaya sehingga penggunaan serum sangat tidak disarankan. Kita harus menjaga peternakan kita dari serangan ASF dengan biosekuriti, bukan memberikan tantangan ke populasi dengan babi sakit ataupun dengan penggunaan serum. Strategi untuk ASF adalah bagaimana caranya agar patogen ini tidak masuk ke kandang kita, bukan malah mengekspos ke lokasi kandang kita. Terlebih hal ini juga dikuatkan dengan adanya penelitian yang menyatakan bahwa hewan carrier / survival dari serangan ASF masih berpotensi menjadi sumber penularan. Baca juga : Eradikasi ASF pada masa lalu dan perkembangan vaksin saat ini

Hubungan antara tanda klinis dan tingkat viremia PRRSv. Setelah kita menyadari bahwa serangan PRRS bisa menghancurkan performa breeding dan juga anakan, serta berpotensi menimbulkan kerugian yang besar maka sudah seharusnya para peternak melakukan strategi terbaik. Gangguan reproduksi seperti aborsi di masa kebuntingan akhir adalah salah satu ciri khas dari PRRS, sedangkan deplesi dan kasus pernafasan yang tinggi pada kandang anakan adalah indikasi kuat juga adanya serangan PRRS. Mengingat gejala klinis yang mungkin ada kemiripan dengan penyakit lain, maka konfirmasi uji laboratorium sangat diperlukan untuk memastikan patogen yang sedang menyerang populasi ternak kita. Peternak yang memilih untuk melakukan paparan alami dengan menggunakan anak babi / induk tua yang mempunyai titer tinggi terhadap PRRS idealnya juga harus mengecek dahulu dengan uji laboratorium, baru kemudian bisa digunakan untuk proses aklimatisasi calon induk baru. Tetapi jika opsi ini menurut anda cukup beresiko karena tidak ada tenaga profesional yang mendukung, mungkin penggunakan vaksin lebih baik.

Disini ada sebuah penelitian mengenai korelasi antara gejala klinis yang muncul dan status viremia pada babi. Hal ini diteliti untuk mencoba menentukan kategori babi yang memiliki status viremia tertinggi. Penelitian ini menggunakan kandang pembibitan dengan kapasitas 16.000 ekor anak babi, yang kemudian disapih pada umur 17 hari dan dievaluasi sampai umur 60 hari. Pemeliharaan menggunakan sistem all-in-all-out, dengan 25 anak babi per kandang, setiap ruangan memiliki 4 baris dengan 8 pen. Setiap pen dipisahkan oleh partisi yang memungkinkan terjadinya kontak hidung, dan lantai terbuat dari bahan plastik.

Lalu bagaimana hasil penelitiannya? Ditemukan sejumlah besar babi yang viremia tetapi hanya sedikit yang memiliki titer virus yang tinggi. Babi yang masuk kategori 4 (sakit dengan limfadenopati) memiliki titer virus yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang lain kategori (p = 0,018). Babi yang lebih tua (> 4 minggu setelah masuk) juga memiliki titer virus yang lebih tinggi. Tanda-tanda klinis lain yang diukur secara statistik tidak terkait dengan titer virus, termasuk ketebalan kelenjar getah bening (p = 0,287), frekuensi pernapasan (p = 0,228), jenis kelamin (p = 0,93), dan suhu (p = 0,0627). Jadi atas dasar inilah para peternak yang melakukan aklimatisasi tanpa menggunakan vaksin dengan memilih babi yang akan dipakai sebagai sheeder, yaitu babi sakit / babi tua karena diindikasikan memiliki loading virus yang tinggi untuk dipaparkan ke calon induk sebagai infeksi alami.

Efek pemaparan calon induk ke PRRSv menggunakan serum anak babi. Aklimatisasi adalah satu-satunya alat manajemen yang paling penting dan efektif untuk mengendalikan infeksi PRRSv pada ternak babi. Prosedur alami dengan mengekspos calon induk ke strain patogen yang homolog yang terdeteksi beredar di dalam lokasi kandang telah mewakili pendekatan yang berhasil diterapkan di banyak negara.

Berikut adalah penelitian yang mengevaluasi pola serologis dari tantangan alami saat proses aklimatisasi, baik menggunakan sumber calon induk naive ataupun yang seropositif PRRS. Untuk melakukannya, mereka menggunakan calon induk dari 5 peternakan berbeda yang dipantau secara serologis selama masa isolasi-aklimatisasi. Mereka dibagi dalam2 fase, yaitu fase paparan alami PRRSv (1 minggu) dan fase pemulihan (6-7 minggu). Seperti yang diharapkan, semua kelompok kecuali satu dari calon induk yang seronegatif / naive, merespon tantangan PRRSv dengan menghasilkan titer seropositif 100% saat diuji 15-21 hari pasca paparan/tantangan. Hal ini kemudian diikuti dengan penurunan titer sekitar 7 minggu setelah tantangan. Pada saat inilah disimpulkan bahwa calon induk tersebut sudah tidak viremia dan kemudian babi tersebut dipindahkan ke kandang breeding untuk menggantikan induk tua dan mulai dikawinkan. Namun demikian, calon induk dari kelompok seropositif memiliki respon beragam setelah 21 hari tantangan. Ada peningkatan titer di kategori 2A dan B, serta penurunan di kategori 2C. Dalam pengamatan terhadap respon ini, calon induk di kategori 2A mengalami perdarahan 2 x lebih banyak pada hari ke-63 dan 81 post infeksi (PI). Rasio S / P yang dihasilkan juga tetap tinggi pada 15% hewan. Pada titik inilah diputuskan untuk tidak menggunakan calon induk kelompok ini karena mereka masih viremia dan beresiko menjadi sumber penularan jika dipindahkan ke kandang breeding kita untuk dikawinkan karena S/P rasionya juga tinggi.

Jadi pada penelitian ini, paparan alami terhadap calon induk pada proses aklimatisasi memang telah terbukti berhasil mengendalikan gejala klinis PRRSv di peternakan. Namun demikian, sekali lagi diperlukan monitoring dan pantauan uji laboratorium yang detail agar kita tidak salah memilih babi sheeder /serum yang akan dipakai untuk tantangan alami ini. Penggunaan serum juga kita ketahui jelas membawa risiko lain karena ada kemungkinan mengandung patogen lain yang bisa jadi membahayakan peternakan kita. Satu hal lagi, penempatan kandang untuk proses aklimatisasi idealnya harus terisolasi jauh dari peternakan untuk mengurangi risiko penyebaran. Biosekuriti akhirnya juga harus berperan dalam hal ini agar semua proses bisa dilakukan dengan baik dan hasilnya optimal. Baca juga : Biosekuriti di era new Normal

Kesimpulan. Kita sudah belajar bersama tentang aklimatisasi dari 2 seri artikel ini. Aklimatisasi menjadi strategi yang sangat penting dalam upaya pengendalian penyakit di peternakan, atau lebih tepatnya upaya dini untuk mengenalkan patogen yang sudah beredar di lokasi peternakan sebelum calon induk ini masuk dalam lokasi breeding kita untuk dikawinkan. Mycoplasma hyopneumoniae dan PRRS adalah patogen yang umumnya menjadi prioritas para peternak di dunia mengingat resiko kerugian yang dihasilkan. Oleh karena itu, kita sebagai peternak juga harus tahu tantangan penyakit apa saja yang sudah ada di lingkungan peternakan kita, sehingga kita bisa menyusun strategi yang tepat agar patogen tersebut bisa dikendalikan. Vaksinasi menjadi opsi yang ideal terlebih jika anda tidak memiliki kapasitas untuk melakukan proses aklimatisasi dengan paparan alami. Terkait penyakit ASF, biosekuriti tetap menjadi pilihan terbaik karena pada saat ini kita belum ada vaksinnya dan juga kita tidak ingin ternak kita terpapar oleh patogen yang bisa membunuh 100% populasi ini. Baca juga : Proses Aklimatisasi terhadap Mycoplasma hyopneumoniae

Semoga bermanfaat !!

Referensi :

  1. https://www.aasv.org/shap/issues/v9n3/v9n3ptip.html Practice tips gilt management during acclimatization
  2. https://www.pork.org/wp-content/uploads/2007/08/99-079-Pijoan-UofMinn.pdf Gilt Acclimatization Strategies for control of PRRSV
  3. https://www.researchgate.net/publication/334580390_Transmission_of_African_Swine_Fever_Virus_via_carrier_survivor_pigs_does_occur
Porcine Reproductive and Respiratory Syndrome pada Babi

Porcine Reproductive and Respiratory Syndrome pada Babi

Porcine Reproductive and Respiratory Syndrome (PRRS) adalah salah satu penyakit virus yang menyebabkan kerugian besar pada industri peternakan babi di dunia. PRRS menyebabkan tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi, performance reproduksi tidak baik dan pertumbuhan yang lambat pada anak babi karena gangguan pernafasan.

Di US, PRRS diperkirakan menyebabkan kerugian sekitar $ 664 juta/tahun. Pada tahun 2012, analisa ekonomi pada 9 breeding babi di Belanda menunjukkan bahwa kerugian akibat outbreak PRRS selama 18 minggu adalah 126 euro/induk  atau sekitar 2 juta rupiah/induk. PRRS relative sulit untuk dikontrol, namun demikian sebuah studi di Denmark berhasil membuktikan bahwa eliminasi PRRS bisa dilakukan dari wilayah Horne Peninsula, dimana 12 farm yang saling berdekatan berkomitmen untuk saling support dan bekerja sama melakukan proyek ini.

Kita tahu bahwa PRRS mulai merebak di dunia pada tahun 1980an. Penyakit ini kemudian disinyalir masuk ke Indonesia tahun 1990an. Paling tidak sudah ada 2  penelitian membuktikan bahwa PRRS telah terdeteksi di wilayah Indonesia. Maka, sudah sewajarnya kita memproteksi asset kita agar tidak mengalami kerugian. Baca juga : Apa itu Porcine Respiratory Disease Complex?

Program kontrol penyakit PRRS ataupun penyakit lain pada umumnya adalah sama, yaitu bagaimana kita mencegah infeksi, memaksimalkan kekebalan dan meminimalkan tantangan lapangan. Kontrol PRRS tidak cukup  hanya terpaku pada program vaksinasi saja, tetapi menuntut lebih banyak pihak untuk secara mendasar tahu tentang penyakit ini dan tahu kondisi kandang/lingkungan, dan juga managemen yang baik agar bisa sukses dalam jangka panjang. Biosecurity memiliki peran penting untuk menunjang program vaksinasi agar berjalan maksimal. Kemampuan menganalisa faktor resiko dari luar dan dalam, lingkungan dan managemen  menjadi titik kritis keberhasilan farm dalam menanggulangi datangnya penyakit.

Pada kondisi kandang yang lokasinya berdekatan satu sama lain tidak jarang komitmen antar peternak sulit untuk dilakukan. Maka, memaksimalkan kontrol terhadap faktor resiko Internal dan managemen menjadi hal yang wajib dilakukan. Disisi lain, pengawasaan terhadap resiko dari  faktor lokasi dan resiko ekternal tetap harus dimonitor meski  lebih sulit karena diluar kendali kita.  Baca juga : Pentingnya Biosekuriti pada Peternakan Babi.

Silahkan anda dapat mengunjungi www.prrs.com untuk lebih detail mengenal penyakit PRRS dan juga mengunduh aplikasi COMBAT for PRRS di android/IOS untuk mengukur level biosecurity di farm kita. Semoga dengan pemahaman yang baik akan penyakit PRRS akan membantu kita dalam upaya kontrol penyakit ini sehingga pada akhirnya performance farm menjadi optimal.

References

 1.  Lunney JK, Benfield DA, Rowland RR. Porcine reproductive and respiratory syndrome virus: an update on an emerging and re-emerging viral disease of swine. Virus Res. 2010;154:1–6.

 2.  Holtkamp DJ, Kliebenstein JB, Neumann EJ, Zimmerman J, Rotto H, Yoder T, et al. Assessment of the economic impact of porcine reproductive and respiratory syndrome virus on United States pork producers. J Swine Health Prod. 2013;21:72–84.

 3.  Nieuwenhuis N, Duinhof TF, van Nes A. Economic analysis of outbreaks of porcine reproductive and respiratory syndrome virus in nine sow herds.Vet Rec. 2012;170:225.

4.https://www.researchgate.net/publication/312267717_Control_and_eradication_of_porcine_reproductive_and_respiratory_syndrome_virus_type_2_using_a_modified-live_type_2_vaccine_in_combination_with_a_load_close_homogenise_model_An_area_elimination_study10 Golden Rules

5.https://www.prrs.com/en/publications/articles/prrs-underestimated-disease/

6.https://www.researchgate.net/publication/256131165_SEROLOGICAL_SURVEILLANCE_OF_PORCINE_REPRODUCTIVE_AND_RESPIRATORY_SYNDROME_IN_PIGGERIES_IN_BALI

7.https://www.researchgate.net/publication/267689332_DETEKSI_ANTIBODI_TERHADAP_VIRUS_PORCINE_REPRODUCTIVE_AND_RESPIRATORYSYNDROME_PRRS_PADA_BABI_DI_BEBERAPA_DAERAH_INDONESIA_BAGIAN_TIMUR

Apa itu Porcine Respiratory Diseases Complex (PRDC) ?

Apa itu Porcine Respiratory Diseases Complex (PRDC) ?

Penyakit pernapasan adalah masalah ekonomi yang serius bagi produsen babi dan dokter hewan di seluruh dunia sampai saat ini. Istilah kompleks penyakit pernapasan babi (PRDC) telah digunakan untuk menggambarkan pola kemunculan penyakit pernapasan ini. PRDC bersifat multifaktorial, melibatkan faktor manajemen dan berbagai patogen. Gejala klinis PRDC antara lain adalah lesu, anoreksia, demam, keluarnya cairan dari hidung, kotoran pada mata, batuk, sulit bernapas, dan perubahan warna ungu pada kulit, terutama ujung telinga. Tidak semua menampakkan kasus yang sama, beberapa mungkin lebih ringan dari yang lain dan sebaliknya ada juga yang muncul dengan kematian dan kerusakan permanen yang parah terjadi pada kasus yang paling serius.Patogen yang terlibat dalam PRDC dapat berupa virus atau bakteri, atau kombinasi keduanya. Agen virus yang sering terlibat termasuk PRRSV, virus corona, virus flu babi, dan circovirus (PCV2). Agen bakteri yang sering terlibat utamanya adalah Mycoplasma hyopneumoniae, Haemophilus parasuis, Streptococcus suis, Bordetella bronchiseptica, Actinobacillus suis, dan Actinobacillus pleuropneumoniae.

Oral fluid adalah metoda analisa yang sekarang ini paling umum dilakukan untuk memantau kasus penyakit pada populasi babi. Sebuah penelitian di Korea, menggunakan metoda ini untuk mengetahui tingkat dan korelasi positif dari delapan patogen yang terkait dengan kompleks penyakit pernapasan babi (PRDC) dengan menganalisis sampel cairan oral dari 214 kelompok babi dari 56 peternakan komersial. Koleksi sampel dilakukan dengan menempatkan tali pada kelompok babi yang dicurigai, secara alami tali yang digantungkan tersebut akan dikunyah-kunyah oleh babi dan kemudian kita bisa mendapatkan cairan oral yang mewakili kelompok babi tersebut. Cairan oral kemudian diuji dengan reverse-transcription polymerase chain reaction (RT-PCR) atau standar PCR bergantung pada mikroorganisme. Patogen dibagi menjadi kelompok virus dan bakteri. Dari penelitian ini dikonfirmasi adanya sindrom reproduksi dan pernafasan babi (PRRSV) dan circovirus tipe 2 (PCV2), Pasteurella multocida (PM), Haemophilus parasuis (HPS), Actinobacillus pleuropneumoniae (APP), Mycoplasma hyopneumoniae (MHP), Mycoplasma hyorhinis (MHR), dan Streptococcus suis (SS). Semua patogen terdeteksi lebih dari satu kali dalam reaksi PCR, dan analisis berdasarkan distribusi usia menunjukkan adanya peningkatan angka PCR positif untuk PCV2 dan MHP seiring dengan bertambahnya usia, sedangkan SS berbanding terbalik.

Kasus PRDC dapat secara signifikan meningkatkan biaya produksi karena peningkatan kebutuhan pengobatan, penurunan tingkat pertumbuhan dan efisiensi pakan serta kematian yang lebih tinggi. Pencegahan yang berhasil membutuhkan vaksinasi yang tepat waktu, menghilangkan stresor lingkungan dan, perubahan manajemen. Faktor kunci dalam pencegahan dan kontrol PRDC antara lain adalah menerapkan biosekuriti yang ketat, hindari mencampur babi lebih dari yang diperlukan/pindahkan babi jika benar-benar penting saja, jangan terlalu padat, program vaksinasi yang sesuai dengan tantangan di kandang, pantau suhu setiap hari dan hindari fluktuasi suhu (± 2 ° C), kelembapan relatif dijaga di bawah 70 persen dengan menggunakan sistem ventilasi yang dirancang dan dioperasikan dengan baik, hindari kadar amonia yang berlebihan (> 50 ppm) dengan membuang udara pengap dengan ventilasi yang baik, kurangi migrasi larva Ascaris dengan menerapkan rencana pengendalian cacing yang baik.

Referensi :

  1. https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0749072015300062
  2. https://www.researchgate.net/publication/307591679_A_survey_of_porcine_respiratory_disease_complex_PRDC_associated_pathogens_among_commercial_pig_farms_of_Korea_via_oral_fluid_method
  3. https://www.thepigsite.com/articles/porcine-respiratory-disease-complex

error: Content is protected !!