Proses Aklimatisasi pada Peternakan babi (bagian 2)

Proses Aklimatisasi pada Peternakan babi (bagian 2)

Setelah kita sebelumnya membahas proses aklimatisasi untuk pengendalian mikoplasma, pada saat ini kita akan belajar bersama untuk proses aklimatisasi terhadap penyakit Porcine Reproductive and Respiratory Syndrome (PRRS). Selain M.hyo yang sudah lama teridentifikasi di peternakan babi, penyakit baru seperti PRRS ini juga telah menyebabkan industri babi dunia berpikir keras dalam proses pengendalian penyakit ini. Penyakit PRRS menjadi penting karena bisa menyebabkan gangguan reproduksi pada breeding dan sekaligus gangguan pernafasan pada anak babi, sehingga PRRS menempatkan diri sebagai penyakit dengan beban biaya penyakit paling besar dalam usaha peternakan babi karena performance kandang yang buruk. Langkah aklimatisasi tetap menjadi pilihan terbaik dalam mengendalikan PRRS. Berikut adalah contoh praktek aklimatisasi yang disharingkan oleh asosisasi dokter hewan babi di Amerika (AASV) yang mungkin bisa menjadi referensi bagi kita dalam memberikan gambaran proses aklimatisasi di kandang :

  1. Investasi kandang karantina dan pengelolaan managemen calon induk yang baik
  2. Meminimalkan batch / grup calon induk dalam 1 tahun, tetapi menambahkan jumlah calon induk per grup tersebut. Jadi misalkan kita sebelumnya melakukan replacement induk dengan calon induk sebanyak 12x setahun dengan jumlah 120 ekor (10 ekor/bulan), kita bisa menguranginya menjadi hanya 6 kali pergantian tetapi dengan meningkatkan jumlahnya menjadi 20 ekor setiap 2 bulan sehingga secara target tahunan tetap terpenuhi. Praktek ini akan lebih mudah diterapkan pada lokasi ternak yang baru karena tidak perlu mengubah tahapan replacement induk yang sudah berjalan. Jika anda berniat mengembangkan usaha dengan membuka lokasi baru, mungkin skema ini bisa dipertimbangkan.
  3. Kita bisa lakukan pengenalan calon induk baru dari berbagai usia dan bobot per grup
  4. Jika peternakan kita memiliki kapasitas yang besar, misalkan dalam sistem yang menerima 400 – 500 calon induk per grup maka dibutuhkan level manajemen yang lebih detail dan memadai. Peternakan yang menetapkan target menyapih 24 anak babi per induk per tahun (PSY/pig per sow per year) tentunya harus diimbangi dengan protokol manajemen yang ketat selama proses karantina dan aklimatisasi.

Apa lagi yang harus dilakukan? Selain monitoring dan evaluasi status kesehatan, kita juga harus memiliki rekording yang baik untuk calon induk yang akan dimasukkan ke kandang kita. Seleksi terhadap calon induk dimulai dari saat kedatangan, up date dan simpan catatan tersebut sebagai penilaian performance individu selama masa produksi. Urutkan calon induk berdasarkan usia dan berat badan, serta genetiknya segera setelah mereka tiba lalu berikan kepada pengelola kandang / manajer unit untuk melakukan pencatatan. Rekording ini biasanya mencakup data :

  1. Nomer ID Pen / kandang
  2. Nomer ID calon induk
  3. Umur dan perkiraan berat badan
  4. Tanggal pemeriksaan
  5. Usia maksimal untuk mencapai pubertas
  6. Tanggal intervensi / perlakuan terhadap calon induk yang lambat pubertas dan toleransi maksimum yang diizinkan. Jika tidak ada progress baik harus di afkir / dijadikan babi potong agar tidak membebani biaya produksi.
  7. Jenis intervensi / perlakuan yang dilakukan
  8. Tanggal pertama terdeteksi estrus
  9. Tanggal estrus berkala untuk melihat apakah induk ini mempunyai periode reproduksi yang normal
  10. Data lain-lain bisa ditambahkan, seperti misalnya aplikasi kawin alami / menggunakan kawin suntik semen pejantan dan tanggal vaksinasi, jumlah anak dll

Pemeriksaan estrus calon induk harus dimulai 1 minggu setelah kedatangan untuk calon induk yang sudah berumur > 135 hari. Sebaiknya hindari memberikan rangsangan kepada calon induk yang muda karena umumnya tidak akan memberikan manfaat. Beberapa calon induk ada yang bisa merespon rangsangan saat distimulasi dengan pejantan pada usia 130 – 140 hari, dan jika itu terjadi secara normal biasanya mengindikasikan kondisi individu calon induk tersebut paling subur dan berpotensi memiliki periode estrus yang lebih teratur, anak yang lebih besar, dan hidup lebih lama. Melakukan rangsangan pada permulaan pubertas ini tidak berarti bahwa calon induk juga harus segera dikawinkan pada usia dini atau saat berat badan masih dibawah standart. Pada praktek di lapangan, jarang sekali peternak yang mengawinkan calon induk saat terdeteksi estrus pertama kali mengingat tingkat kematangan organ reproduksinya. Untuk hasil yang lebih baik, idealnya calon induk harus berumur 220 – 240 hari dan berat 130 – 140 kg (286 – 308 lbs) atau estrus ke-3 untuk proses perkawinan / inseminasi pertamanya.

Penggunaan pejantan yang telah divasektomi akan membantu dalam merangsang dan mendeteksi estrus, yaitu dengan memasukkan pejantan dan membiarkannya melakukan kontak dengan calon induk selama 10 -15 menit. Pemeriksaan estrus ini bisa dilakukan dengan rasio 1 : 8 -10 di dalam kandang. Calon induk yang menunjukkan gejala estrus dalam seminggu harus dikelompokkan kembali menjadi satu kandang sehingga dalam beberapa minggu akan terbentuk kelompok yang lebih terorganisir sehingga memudahkan dalam monitoring status reproduksinya. Untuk calon induk yang masih belum menunjukkan tanda-tanda estrus harus terus dimonitor setiap minggu, dan jika sampai target yang ditetapkan masih belum ada tanda-tanda birahi / estrus maka biasanya calon induk ini akan diculling dan digantikan dengan yang lainnya. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk selalu memasukkan sejumlah ekstra calon induk dalam setiap prosesnya untuk jaga-jaga jika ada calon induk yang tidak lolos seleksi. Jika quota ternyata berlebih karena calon induk yang dipilih bagus semua, maka kita masih ada peluang untuk menjual ke peternak yang lain (jika tidak ada tempat lagi). Di lapangan, jika praktek ini bisa dijalankan dengan baik, maka biasanya akan mampu memberikan performa reproduksi yang optimal.

Dengan melakukan pengelompokan calon induk diatas, maka kita akan lebih mudah mengorganisir kandang breeding kita dan memastikan target kawin mingguan selalu terpenuhi. Keuntungan lainnya adalah ketika calon induk ditargetkan kawin dalam time frame mingguan maka waktu dari setiap entri ke unit isolasi sampai servis perkawinan pertamanya akan berkurang sehingga akan mengurangi hari non-produktif. Sekali lagi, umumnya calon induk dikawinkan pertama kali pada periode estrus ke-3, bukan ke-2 apalagi pertama. Pastikan proses pemilihan calon induk diselesaikan sebelum mencapai berat 115 – 120 kg (253 sampai 264 lbs), sehingga jika sampai ada calon induk yang gagal seleksi bisa dimasukkan sebagai babi potong daripada dijual sebagai hewan seleksian yang mungkin dihargai murah. Baca juga : Bagaimana menjalankan usaha peternakan babi yang menguntungkan?

Aklimatisasi PRRS. Penelitian yang dilakukan oleh DR Carlos Pijoan dari Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Minnesota menyatakan bahwa, proses aklimatisasi yang tidak tepat adalah salah satu penyebab utama pernafasan yang terus menerus dan penyakit reproduksi, bahkan di peternakan dengan status kesehatan yang tinggi. Aklimatisasi bisa gagal karena mereka tidak mencapai tingkat eksposur patogen yang konsisten terhadap calon induk. Kebanyakan strategi aklimatisasi tidak pernah secara ilmiah divalidasi, sehingga manfaat yang didapatkan relatif tidak pasti. Calon induk naive yang memasuki masa perkawinan di kandang breeding berpotensi terinfeksi PRRSv, Mycoplasma dan patogen lainnya sehingga bisa menjadi sumber penularan terhadap populasi lainnya. Aklimatisasi merupakan salah satu kontrol utama dalam strategi untuk mengurangi risiko wabah PRRSv pada kawanan babi yang berstatus positif. Oleh karena itu, sangat penting untuk mempelajari strategi aklimatisasi yang tepat dan terukur dengan mengenalkan calon induk ke patogen yang sudah bersirkulasi di kandang sehingga bisa mengurangi risiko masuknya strain baru. Vaksinansi menjadi cara yang relatif paling aman dan umum dilakukan. Aklimatisasi bisa dilakukan tanpa vaksinasi, namun hasilnya bergantung pada proses infeksi melalui kontak langsung calon induk dengan anak babi, induk tua atau penggunaan serum yang sudah diuji klinis. Cara ini membutuhkan proses yang detail untuk memastikan mana anak babi/induk tua yang memiliki viremia tertinggi dan dapat digunakan untuk paparan calon induk sehingga tantangan yang diberikan bisa menghasilkan tingkat kekebalan yang protektif. Monitoring harus terus dilakukan terutama dalam kaitannya dengan reaksi yang ditimbulkan setelah proses pengenalan ini. Cara ini TIDAK direkomendasikan untuk penyakit African Swine Fever (ASF) ya, karena kita tahu jika darah adalah sumber penularan yang paling berbahaya sehingga penggunaan serum sangat tidak disarankan. Kita harus menjaga peternakan kita dari serangan ASF dengan biosekuriti, bukan memberikan tantangan ke populasi dengan babi sakit ataupun dengan penggunaan serum. Strategi untuk ASF adalah bagaimana caranya agar patogen ini tidak masuk ke kandang kita, bukan malah mengekspos ke lokasi kandang kita. Terlebih hal ini juga dikuatkan dengan adanya penelitian yang menyatakan bahwa hewan carrier / survival dari serangan ASF masih berpotensi menjadi sumber penularan. Baca juga : Eradikasi ASF pada masa lalu dan perkembangan vaksin saat ini

Hubungan antara tanda klinis dan tingkat viremia PRRSv. Setelah kita menyadari bahwa serangan PRRS bisa menghancurkan performa breeding dan juga anakan, serta berpotensi menimbulkan kerugian yang besar maka sudah seharusnya para peternak melakukan strategi terbaik. Gangguan reproduksi seperti aborsi di masa kebuntingan akhir adalah salah satu ciri khas dari PRRS, sedangkan deplesi dan kasus pernafasan yang tinggi pada kandang anakan adalah indikasi kuat juga adanya serangan PRRS. Mengingat gejala klinis yang mungkin ada kemiripan dengan penyakit lain, maka konfirmasi uji laboratorium sangat diperlukan untuk memastikan patogen yang sedang menyerang populasi ternak kita. Peternak yang memilih untuk melakukan paparan alami dengan menggunakan anak babi / induk tua yang mempunyai titer tinggi terhadap PRRS idealnya juga harus mengecek dahulu dengan uji laboratorium, baru kemudian bisa digunakan untuk proses aklimatisasi calon induk baru. Tetapi jika opsi ini menurut anda cukup beresiko karena tidak ada tenaga profesional yang mendukung, mungkin penggunakan vaksin lebih baik.

Disini ada sebuah penelitian mengenai korelasi antara gejala klinis yang muncul dan status viremia pada babi. Hal ini diteliti untuk mencoba menentukan kategori babi yang memiliki status viremia tertinggi. Penelitian ini menggunakan kandang pembibitan dengan kapasitas 16.000 ekor anak babi, yang kemudian disapih pada umur 17 hari dan dievaluasi sampai umur 60 hari. Pemeliharaan menggunakan sistem all-in-all-out, dengan 25 anak babi per kandang, setiap ruangan memiliki 4 baris dengan 8 pen. Setiap pen dipisahkan oleh partisi yang memungkinkan terjadinya kontak hidung, dan lantai terbuat dari bahan plastik.

Lalu bagaimana hasil penelitiannya? Ditemukan sejumlah besar babi yang viremia tetapi hanya sedikit yang memiliki titer virus yang tinggi. Babi yang masuk kategori 4 (sakit dengan limfadenopati) memiliki titer virus yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang lain kategori (p = 0,018). Babi yang lebih tua (> 4 minggu setelah masuk) juga memiliki titer virus yang lebih tinggi. Tanda-tanda klinis lain yang diukur secara statistik tidak terkait dengan titer virus, termasuk ketebalan kelenjar getah bening (p = 0,287), frekuensi pernapasan (p = 0,228), jenis kelamin (p = 0,93), dan suhu (p = 0,0627). Jadi atas dasar inilah para peternak yang melakukan aklimatisasi tanpa menggunakan vaksin dengan memilih babi yang akan dipakai sebagai sheeder, yaitu babi sakit / babi tua karena diindikasikan memiliki loading virus yang tinggi untuk dipaparkan ke calon induk sebagai infeksi alami.

Efek pemaparan calon induk ke PRRSv menggunakan serum anak babi. Aklimatisasi adalah satu-satunya alat manajemen yang paling penting dan efektif untuk mengendalikan infeksi PRRSv pada ternak babi. Prosedur alami dengan mengekspos calon induk ke strain patogen yang homolog yang terdeteksi beredar di dalam lokasi kandang telah mewakili pendekatan yang berhasil diterapkan di banyak negara.

Berikut adalah penelitian yang mengevaluasi pola serologis dari tantangan alami saat proses aklimatisasi, baik menggunakan sumber calon induk naive ataupun yang seropositif PRRS. Untuk melakukannya, mereka menggunakan calon induk dari 5 peternakan berbeda yang dipantau secara serologis selama masa isolasi-aklimatisasi. Mereka dibagi dalam2 fase, yaitu fase paparan alami PRRSv (1 minggu) dan fase pemulihan (6-7 minggu). Seperti yang diharapkan, semua kelompok kecuali satu dari calon induk yang seronegatif / naive, merespon tantangan PRRSv dengan menghasilkan titer seropositif 100% saat diuji 15-21 hari pasca paparan/tantangan. Hal ini kemudian diikuti dengan penurunan titer sekitar 7 minggu setelah tantangan. Pada saat inilah disimpulkan bahwa calon induk tersebut sudah tidak viremia dan kemudian babi tersebut dipindahkan ke kandang breeding untuk menggantikan induk tua dan mulai dikawinkan. Namun demikian, calon induk dari kelompok seropositif memiliki respon beragam setelah 21 hari tantangan. Ada peningkatan titer di kategori 2A dan B, serta penurunan di kategori 2C. Dalam pengamatan terhadap respon ini, calon induk di kategori 2A mengalami perdarahan 2 x lebih banyak pada hari ke-63 dan 81 post infeksi (PI). Rasio S / P yang dihasilkan juga tetap tinggi pada 15% hewan. Pada titik inilah diputuskan untuk tidak menggunakan calon induk kelompok ini karena mereka masih viremia dan beresiko menjadi sumber penularan jika dipindahkan ke kandang breeding kita untuk dikawinkan karena S/P rasionya juga tinggi.

Jadi pada penelitian ini, paparan alami terhadap calon induk pada proses aklimatisasi memang telah terbukti berhasil mengendalikan gejala klinis PRRSv di peternakan. Namun demikian, sekali lagi diperlukan monitoring dan pantauan uji laboratorium yang detail agar kita tidak salah memilih babi sheeder /serum yang akan dipakai untuk tantangan alami ini. Penggunaan serum juga kita ketahui jelas membawa risiko lain karena ada kemungkinan mengandung patogen lain yang bisa jadi membahayakan peternakan kita. Satu hal lagi, penempatan kandang untuk proses aklimatisasi idealnya harus terisolasi jauh dari peternakan untuk mengurangi risiko penyebaran. Biosekuriti akhirnya juga harus berperan dalam hal ini agar semua proses bisa dilakukan dengan baik dan hasilnya optimal. Baca juga : Biosekuriti di era new Normal

Kesimpulan. Kita sudah belajar bersama tentang aklimatisasi dari 2 seri artikel ini. Aklimatisasi menjadi strategi yang sangat penting dalam upaya pengendalian penyakit di peternakan, atau lebih tepatnya upaya dini untuk mengenalkan patogen yang sudah beredar di lokasi peternakan sebelum calon induk ini masuk dalam lokasi breeding kita untuk dikawinkan. Mycoplasma hyopneumoniae dan PRRS adalah patogen yang umumnya menjadi prioritas para peternak di dunia mengingat resiko kerugian yang dihasilkan. Oleh karena itu, kita sebagai peternak juga harus tahu tantangan penyakit apa saja yang sudah ada di lingkungan peternakan kita, sehingga kita bisa menyusun strategi yang tepat agar patogen tersebut bisa dikendalikan. Vaksinasi menjadi opsi yang ideal terlebih jika anda tidak memiliki kapasitas untuk melakukan proses aklimatisasi dengan paparan alami. Terkait penyakit ASF, biosekuriti tetap menjadi pilihan terbaik karena pada saat ini kita belum ada vaksinnya dan juga kita tidak ingin ternak kita terpapar oleh patogen yang bisa membunuh 100% populasi ini. Baca juga : Proses Aklimatisasi terhadap Mycoplasma hyopneumoniae

Semoga bermanfaat !!

Referensi :

  1. https://www.aasv.org/shap/issues/v9n3/v9n3ptip.html Practice tips gilt management during acclimatization
  2. https://www.pork.org/wp-content/uploads/2007/08/99-079-Pijoan-UofMinn.pdf Gilt Acclimatization Strategies for control of PRRSV
  3. https://www.researchgate.net/publication/334580390_Transmission_of_African_Swine_Fever_Virus_via_carrier_survivor_pigs_does_occur

14 Comments

  1. Fantastic goods from you, man. I’ve understand your stuff previous to and you are just too fantastic. I really like what you’ve acquired here, really like what you are stating and the way in which you say it. You make it enjoyable and you still care for to keep it smart. I cant wait to read far more from you. This is really a terrific web site.

  2. Greetings from Idaho! I’m bored at work so I decided to browse your site on my iphone during lunch break. I love the info you provide here and can’t wait to take a look when I get home. I’m shocked at how quick your blog loaded on my mobile .. I’m not even using WIFI, just 3G .. Anyways, fantastic blog!

    1. In running a livestock business or whatever, it is important for us to upgrade our knowledge in order to survive from these difficult times and be successful in the future. Thanks for your support…

  3. Good day I am so glad I found your site, I really found you by error, while I was searching on Yahoo for something else, Anyhow I am here now and would just like to say many thanks for a fantastic post and a all round thrilling blog (I also love the theme/design), I donꊰ have time to browse it all at the minute but I have bookmarked it and also added in your RSS feeds, so when I have time I will be back to read a great deal more, Please do keep up the awesome work.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!