Q Fever

Q Fever

Istilah untuk demam “query” atau Q fever dilontarkan tahun 1937 oleh Edward Holbrook Derrick untuk menggambarkan penyakit demam pada pekerja rumah potong hewan di Brisbane, Queensland, Australia. Kasus penyakit ini terjadi secara sporadis dan terus terjadi secara teratur mulai tahun 1935, sehingga dilakukan proses isolasi agen penyebab penyakit dengan menginduksi penyakit demam pada hewan percobaan. Beberapa ahli terlibat dalam rangkaian penelitian ini dan akhirnya disimpulkan bahwa hewan liar adalah reservoir alami, hewan domestik menjadi reservoir sekunder dan penyakit ini dapat ditularkan oleh kutu atau artropoda lainnya.

Agen penyebab Q fever pertama kali dinamakan dengan Rickettsia burnetii. Namun, pada tahun 1938, Cornelius B. Philip mengusulkan penciptaan genus baru yang disebut Coxiella dan sekaligus  penggantian nama agen etiologi Q fever dengan nama Coxiella burnetii. Penamaan ini sekaligus untuk memberikan penghormatan terhadap Cox dan Burnet yang telah berhasil mengidentifikasi agen penyakit ini sebagai spesies rickettsia baru.

Q fever adalah penyakit zoonosis dengan distribusi di seluruh dunia, kecuali Selandia Baru. Penyakit ini disebabkan oleh Coxiella burnetii, bakteri gram negatif intraseluler yang ketat. Banyak spesies mamalia, burung, dan kutu merupakan reservoir di alam. Infeksi paling sering terjadi secara laten pada hewan, dan mampu melepaskan bakteri secara persisten ke lingkungan. Manusia biasanya terinfeksi secara aerosol dari hewan peliharaan, terutama setelah kontak dengan hewan betina yang sedang melahirkan.

Penyakit ini paling sering menyebar ke manusia melalui hewan ternak yang terinfeksi, termasuk:
kambing, sapi, dan domba. Transmisi penyakit bisa terjadi melalui kontak dengan kotoran, urin, susu, atau darah dari hewan yang terinfeksi; menghirup debu yang mengandung bakteri; kontak dengan hewan yang baru proses melahirkan atau kontak dengan plasenta, cairan kelahiran dari hewan yang terinfeksi; minum susu mentah.

https://www.cdc.gov/qfever/transmission/index.html

Hewan yang terinfeksi C. burnetii biasanya tidak menunjukkan gejala (subklinis). Namun demikian, pada kejadian akut keberadaan C. burnetii dapat ditemukan dalam darah, paru-paru, limpa, dan hati. Infeksi ini bisa berlanjut menjadi kronis dan terjadi shedding yang persisten melalui feses dan urin.  Uterus dan kelenjar susu adalah tempat utama infeksi secara kronis, sehingga pelepasan C. burnetii ke lingkungan terjadi terutama selama proses persalinan. Plasenta pada kondisi ini sangat terkontaminasi oleh C. burnetii sehingga manusia harus sangat berhati-hati agar tidak tertular. Manifestasi patologis yang telah dikaitkan dengan infeksi C. burnetii kronis pada hewan adalah aborsi, terutama pada domba dan kambing, dan berat badan lahir rendah dan infertilitas pada sapi.

Karena Q fever bersifat enzootik di antara hewan liar dan domestik, maka pengendalian infeksi pada hewan yang rentan relatif sulit dilakukan. Vaksin menjadi langkah yang paling ideal dalam upaya mengendalian penyakit ini. Vaksin pertama yang tersedia terdiri dari seluruh sel C. burnetii yang tidak aktif, baru kemudian dikembangkan vaksin residu kloroform-metanol yang terbukti dapat ditoleransi lebih baik pada hewan daripada vaksin dari sel utuh.

Vaksin Q fever komposisinya cukup bervariasi, termasuk strain dan fase C. burnetii. Vaksin yang dibuat dari organisme C. burnetii fase I lebih protektif daripada yang dibuat dari bakteri fase II, sedangkan perlindungan silang di antara berbagai strain ditemukan pada hewan marmut yang divaksinasi. Ketika diuji pada sapi dan domba, vaksin ini menunjukkan efek perlindungan yang berbeda pada pengamatan infeksi eksperimental dan alami pada hewan seronegatif. Vaksinasi juga terbukti melindungi ternak dari aborsi, berat janin rendah dan infertilitas kronis. Namun demikian, vaksinasi tidak membasmi C. burnetii pada hewan yang sudah terlanjur terinfeksi secara alami sebelum vaksinasi dan shedding tetap bisa terjadi.

Di Eropa, vaksin mengandung kedua fase C. burnetii dan Chlamydia psittaci telah dipasarkan untuk melindungi sapi dan kambing dari masalah kesuburan yang disebabkan oleh kedua agen ini. Namun demikian, kasus masih dilaporkan di Prancis dimana terjadi pada orang yang kontak dengan kambing yang sudah divaksinasi. Vaksinasi Q fever pada hewan domestik, terutama sapi, domba, dan kambing saat ini belum banyak digunakan karena bersifat protektif dan aman hanya pada hewan yang tidak terinfeksi pada saat vaksinasi. Perlu dilakukan surveilence lapangan terlebih dahulu untuk mengoptimalkan kinerja vaksin ini. Baca juga : Cara Pengendalian Hama Tikus

Q fever pada manusia.

Q fever yang bersifat zoonosis ini tentunya menjadi bahaya terutama pada orang yang kontak dengan hewan ternak (sapi, domba, kambing) ataupun hewan peliharaan (anjing, kucing). Para petani/peternak, dokter hewan, pekerja rumah potong hewan, mereka yang kontak dengan produk susu, dan petugas laboratorium yang melakukan kultur C. burnetii adalah contoh orang-orang yang beresiko tertular.

Coxiellosis and Q Fever

Infeksi C. burnetii pada manusia biasanya tanpa gejala atau bermanifestasi sebagai penyakit ringan dengan pemulihan spontan. Namun demikian, Q fever dapat menyebabkan komplikasi serius dan bahkan kematian pada pasien dengan penyakit akut, terutama mereka dengan meningoensefalitis atau miokarditis, dan lebih sering pada pasien yang terinfeksi kronis dengan endokarditis. Selain itu, pasien yang berisiko lainnya adalah orang-orang dengan kelainan katup jantung, orang dengan gangguan sistem imun dan wanita hamil.

Sekitar 5 dari 10 orang yang terinfeksi Coxiella burnetii akan jatuh sakit dalam 2-3 minggu setelah terpapar bakteri. Gejala yang mungkin bisa timbul adalah demam, kedinginan atau berkeringat, kelelahan, sakit kepala, nyeri otot, mual, muntah, diare, sakit dada, sakit perut, penurunan berat badan, batuk tidak produktif. Gejala bisa mulai dari ringan atau berat. Orang yang menderita penyakit parah mungkin mengalami infeksi paru-paru atau hati. Untuk wanita yang terinfeksi selama masa kehamilan sangat berisiko mengalami keguguran, lahir mati, kelahiran prematur, atau berat bayi lahir rendah.

Walaupun sangat jarang (5 dari 100 orang), kejadian penyakit melanjut menjadi kronis bisa saja terjadi. Proses ini bisa memerlukan waktu berbulan-bulan atau bertahun-tahun setelah infeksi terjadi.  Orang dengan endokarditis mungkin mengalami keringat malam, kelelahan, sesak napas, penurunan berat badan, atau pembengkakan anggota badan mereka.

Manifestasi klinis Q fever sangat bervariasi sehingga penyakit ini sering didiagnosis hanya jika telah dipertimbangkan secara sistematis. Diagnosis spesifik Q fever berdasarkan uji serologi. Antibodi imunoglobulin M (IgM) dan IgG antifase II terdeteksi 2-3 minggu setelah infeksi C. burnetii, sedangkan adanya antibodi IgG antifase I C. burnetii pada titer 1:800 umumnya akan menunjukkan kejadian kronis.

Terapi dengan antibiotik golongan tetrasiklin masih yang terbaik untuk mengobati kejadian akut. Namun demikian, untuk orang dengan prognosis endokarditis terkadang harus ditingkatkan dengan terapi kombinasi doksisiklin dan klorokuin. Karena masih relatif sulitnya monitoring penyakit ini, maka tindakan pencegahan dengan vaksinasi pada orang yang “berisiko” harus dipertimbangkan. Baca Juga : Nipah Virus

Q fever di Indonesia.

Q fever merupakan salah satu penyakit zoonotik strategis di Indonesia yang keberadaannya masih diabaikan. Pemerintah Indonesia melalui Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia (Kepmentan)  no.237/KPTS/PK.400/M/3/2019 menetapkan Q fever sebagai salah satu penyakit zoonosis prioritas yang perlu mendapatkan penanganan utama baik dalam pencegahan, pengendalian maupun penanggulangannya.

Penyakit Q fever diklasifikasikan oleh Center of Diseases Control and Prevention ke dalam kelompok agen infeksius yang berpotensi digunakan untuk senjata biologis. Data surveillance Q fever di dunia masih terbatas  karena gejala klinis yang tidak khas bahkan subklinis.

Penyakit ini pertama kali dilaporkan pada tahun 1955 dan menyerang ternak di Indonesia. Penelitian tahun 2001 mengungkapkan bahwa kasus pneumonia akibat C. burnetii terjadi pada pasien yang pernah tinggal di Indonesia. Kajian tahun 2007 berhasil mendeteksi 6,68% agen penyakit telah ditemukan pada sampel sapi persilangan brahman dan 5,7% pada organ domba yang diperoleh di Bogor, serta 4,29% pada organ sapi Bali yang diperoleh di Rumah Potong Hewan (RPH) di Bali dengan uji polymerase chain reaction (PCR). Kemudian, pada tahun 2014 diperoleh 38,8% sampel imunoreaktif dengan uji histokimia imun pada sapi yang dipotong di RPH Provinsi Sumatera Utara. Data Q fever pada manusia juga menunjukkan beberapa mahasiswa Indonesia yang belajar di Australia positif terpapar C. burnetii.

Kasus Q fever di Indonesia juga pernah dilaporkan terjadi pada ruminansia tahun 2006 – 2019 di wilayah Jakarta, Jawa Barat, Yogyakarta, Bali, dan Sumatera Utara. Identifikasi dan deteksi penyakit Q fever penting untuk dilakukan, terutama sebagai upaya penyusunan langkah pengendalian terjadinya wabah pada manusia. Ada 2 tahapan penelitian deteksi molekuler terhadap keberadaan agen penyakit Q fever pada ternak ruminansia di Propinsi Jawa Timur yang dilakukan dari  September 2015 – September 2020.

Dimulai dengan tahap I yaitu tahap optimasi metode imunohistokimia untuk mendeteksi keberadaan C. burnetii di Kabupaten Bogor yang pernah dinyatakan sebagai wilayah endemis penyakit Q fever. Penelitian dilakukan terhadap sampel organ sapi dan domba kurban tahun 2015 – 2016, yang kemudian dideteksi dengan imunohistokimia sekaligus pengamatan terhadap gambaran histopatologinya. Tahap II adalah penelitian utama yang bertujuan mendeteksi secara molekuler keberadaan C. burnetii pada ruminansia di Jawa Timur. Sampel berupa organ hati, limpa, ginjal, paru-paru, dan jantung ruminansia yang diambil dari rumah potong hewan di Surabaya, Malang, dan Madura.

Hasil dari penelitian tahap I adalah C. burnetii terdeteksi positif pada organ paru-paru dan limpa sapi kurban di Kabupaten Bogor, 4 dari 19 sampel (21%) sapi kurban tahun 2015 dan 3 dari 10 sampel (30%) sapi kurban tahun 2016. Gambaran histopatologi yang tampak pada sampel positif meliputi kongesti, infiltrasi sel radang, akumulasi mukus, hingga adanya fibrosis pada paru-paru. Lesi patologis yang nampak cinderung tidak konsisten karena berkaitan dengan kemampuan C. burnetii untuk menghindar dari respon imun serta proses multiplikasi yang lambat sehingga kerusakan jaringan akibat infeksi ini relatif rendah meskipun infeksinya sudah berjalan lama.

Hasil dari penelitian tahap II adalah C. burnetii terdeteksi positif pada 10 dari 80 (12.5%) sampel kambing jantan lokal di RPH Malang.  4 dari 10 sampel positif berhasil diamplifikasi dan sampel-sampel positif tersebut identik satu sama lain. Analisa sekuens hasil amplifikasi ini juga menunjukkan adanya kekerabatan tinggi dengan 3 sekuens C. burnetii dari Jepang dan Amerika Serikat yang diambil dari National Center for Biotechnology Information (NCBI).

Hasil imunohistokimia terhadap sampel positif di Malang berasal dari organ paru-paru, limpa, dan ginjal. Gambaran histopatologis menunjukkan adanya radang granuloma pada paru-paru maupun ginjal serta pembentukan folikel sekunder dan deplesi pada limpa. Perubahan histopatologis yang terjadi ini tidak spesifik terhadap infeksi C. burnetii, karena perubahan patologi yang sama juga ditemukan pada sampel organ yang negatif.

Jadi, Q fever adalah penyakit akut atau kronis yang disebabkan oleh basil mirip riketsia, yaitu  Coxiella burnetii.  Pekerja di industri peternakan idealnya harus divaksin untuk mengurangi resiko kemungkinan terpapar penyakit ini. Mengingat Q fever adalah penyakit zoonosis, maka deteksi keberadaan C. burnetii pada manusia perlu diteliti lebih lanjut untuk mengantisipasi dampak yang ditimbulkan.

Referensi :

  1. https://journals.asm.org/doi/10.1128/CMR.12.4.518 Q fever
  2. https://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/109511 Deteksi Molekuler Zoonosis Q Fever pada Ruminansia di Jawa Timur
  3. https://www.ipb.ac.id/news/index/2017/08/beware-of-subclinical-zoonotic-potential-of-q-fever-on-livestock/0af8512dc6a7ec941f7e98c57b4eefed
  4. https://www.cdc.gov/qfever/symptoms/index.html
  5. https://www.cdc.gov/qfever/pdfs/qfever-englsih-factsheet-508.pdf
  6. https://www.cdc.gov/qfever/pdfs/QFever-Factsheet.pdf
  7. https://www.sciencedirect.com/topics/immunology-and-microbiology/coxiella-burnetii
  8. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK557893/ Coxiella burnetii
  9. https://www.msdmanuals.com/professional/infectious-diseases/rickettsiae-and-related-organisms/other-spotted-fever-rickettsioses
  10. https://sfamjournals.onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.1111/1758-2229.12918 Current perspectives on the occurrence of Q fever: highlighting the need for systematic surveillance for a neglected zoonotic disease in Indian subcontinent
  11. https://veteriankey.com/coxiellosis-and-q-fever/
Mengenal Antraks Lebih Dekat

Mengenal Antraks Lebih Dekat

Penyakit antraks adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri pembentuk spora Bacillus anthracis.  Antraks terjadi di semua benua dan umumnya menyebabkan kematian yang tinggi karena racun yang dihasilkan. Penyakit ini bersifat zoonosis, artinya dapat ditularkan dari hewan ke manusia. Spora antraks sangat resisten dan dapat bertahan hidup di lingkungan selama beberapa dekade, sehingga membuat pengendalian atau pemberantasan penyakit ini sangat sulit.

Penyakit ini paling sering terjadi pada herbivora (sapi, domba, kambing, unta, antelop) tetapi juga dapat terjadi pada manusia dan hewan berdarah panas lainnya. Karnivora (anjing, kucing, singa) dan omnivora (babi) dapat terinfeksi dengan memakan daging setengah matang dari hewan yang terinfeksi. Namun, banyak karnivora memiliki ketahanan alami. Burung berisiko rendah terkena antraks, tetapi ada laporan tentang penyakit yang berkembang pada burung unta, gagak, kenari, dan bebek. Spora antraks telah diisolasi dari tanaman dimana burung pipit dan burung pemangsa (burung nasar) terlibat dalam penyebaran spora antraks melalui kontaminasi tinja. Amfibi, reptil, dan ikan tidak rentan secara langsung.

Spora bakteri yang mencemari tanah atau rambut hewan yang terinfeksi jika tertelan/terhirup oleh hewan maka bisa menjadi seumber penularan penyakit. Luka pada kulit juga harus diwaspadai karena darah hewan yang terinfeksi akan mengundang serangga atau lalat yang berpotensi menjadi vektor mekanis karena hinggap dari ternak satu ke yang lainnya. Manusia dapat terinfeksi dengan memakan daging dari hewan yang terinfeksi.

Kasus antraks pada manusia utamanya bermanifestasi pada gangguan kulit, tetapi terkadang juga gangguan pencernaan dan pernafasan. Hal ini biasanya diakibatkan oleh penanganan karkas, kulit, rambut, daging, atau tulang dari dari hewan terinfeksi. Dokter hewan, mantri hewan, pekerja peternakan/pertanian, produsen ternak atau tukang daging, pengrajin kulit menjadi orang yang beresiko tinggi tertular bakteri ini.

Bacillus anthracis tidak invasif dan membutuhkan lesi untuk menginfeksi. Spora masuk ke dalam tubuh melalui luka atau goresan di kulit dan menyebabkan infeksi lokal yang jika tidak dikendalikan dapat menyebar ke seluruh tubuh dan menjadi sumber penularan antar ternak bahkan manusia. Bentuk gangguan pencernaan terjadi ketika spora tertelan. Hal ini bisa membuat manusia kehilangan nyawanya karena makan daging dari hewan yang terinfeksi. Sedangkan bentuk gangguan pernafasan terjadi karena menghirup sapora bakteri ini saat mengolah kulit ataupun saat mencabut tanaman dimana tanahnya tercemar oleh spora bakteri ini.  Antraks juga berpotensi digunakan sebagai senjata biologis.

Penyakit ini bisa terjadi secara perakut, akut, subakut dan kronis. Tanda klinis antemortem mungkin relatif sulit teramati pada kasus perakut dan akut. Pembesaran kelenjar getah bening menjadi satu-satunya gejala yang bisa teramati pada kasus kronis. Ruminansia sering ditemukan mati tanpa indikasi sakit dan terjadi secara cepat tanpa kita bisa melakukan apa-apa.Bentuk perakut paling sering menyerang sapi, domba, dan kambing pada awal wabah. Bentuk akut atau subakut umum terjadi pada sapi, domba, dan kuda. Antraks kronis paling sering terlihat pada spesies yang kurang rentan seperti babi, tetapi juga dilaporkan berkembang pada sapi, kuda, anjing, dan kucing.

Gejala klinis. Secara umum, kecurigaan awal antraks dapat dimunculkan ketika ternak ditemukan mati, kembung, dan tanpa rigor mortis. Darah mungkin terlihat jelas di lubang tubuh. Pada kasus akut hewan tiba-tiba akan mengalami demam tinggi, otot gemetar dan sulit bernapas sesaat sebelum hewan itu pingsan dan mati. Darah yang tidak menggumpal kemudian keluar dari lubang tubuh dan hewan tidak menjadi kaku setelah kematian akibat dari toxin yang dihasilkan oleh bakteri. Pada kasus subakut akan teramati demam progresif, depresi, lemah dan berakhir dengan kematian. Kejadian pada kuda dan sebagian ruminansia terkadang mengalami gangguan pencernaan, kolik, demam, depresi dan kadang-kadang bengkak. Gejala ini dapat berlangsung sampai 4 hari sebelum akhirnya mati. Jika hewan karnivora memakan daging terinfeksi umumnya akan terjadi gangguan pencernaan yang disertai demam dan kram.

https://www.msdvetmanual.com/generalized-conditions/anthrax/anthrax-in-animals

Sapi, kambing, domba. Gambar diatas menunjukkan gejala kembung dan cairan tubuh yang mengandung bakteri keluar dari lubang setelah kematian sehingga membentuk spora yang mencemari tanah dan tumbuhan di dekatnya. Tanda-tanda klinis antraks perakut yang bisa diamati adalah terhuyung-huyung, gemetar, kesulitan bernapas, kejang-kejang, dan kematian. Perkembangan penyakit ini cepat dan tanda-tanda peringatan mungkin luput dari perhatian sehingga seringkali hewan  ditemukan sudah mati. Antraks akut memanifestasikan dirinya dalam demam tinggi, peningkatan denyut jantung, pernapasan yang dalam yang diikuti dengan depresi, inkoordinasi, penghentian proses ruminasi, produksi susu turun dan susu berwarna darah atau kuning tua, perdarahan, gangguan pernapasan, kejang, aborsi, dan kematian dalam waktu 48 – 72 jam. Pembengkakan dan edema subkutan biasanya melibatkan aspek ventral dari leher (sandung lamur), thorax, bahu, perineum dan panggul, merupakan karakteristik dari infeksi antraks kronis.

Kuda. Antraks pada kuda biasanya berbentuk akut. Tanda-tanda klinis bergantung pada rute infeksi. Jika tertelan, tanda-tanda klinis termasuk kehilangan nafsu makan, kolik, enteritis, demam, depresi gemetar, dan diare berdarah. Kematian terjadi dalam 48 – 96 jam. Antraks yang masuk melalui gigitan serangga sering menyebabkan pembengkakan subkutan di lokasi gigitan, diikuti dengan pembengkakan leher, tulang dada, perut bagian perut, dan alat kelamin.

Babi. Relatif resisten tetapi bila terkena biasanya akan timbul edema lokal pada tenggorokan. Babi yang terkena dampak bisa mati karena lemas. Antraks akut bermanifestasi sebagai kematian mendadak dengan beberapa tanda klinis, dan bentuk antraks gastrointestinal kronis umumnya terjadi enteritis, diare, atau konstipasi. Beberapa babi dapat sembuh setelah beberapa hari, sedangkan yang lain terkena bakteremia yang fatal.

Anjing dan kucing. Relatif tahan dan pemulihan tidak jarang terjadi. Konsumsi daging atau kulit yang terkontaminasi tampaknya menjadi sumber infeksi yang paling umum dan bentuk penyakit gastrointestinal yang paling khas. Kontaminasi bulu dengan spora juga dapat menyebabkan infeksi jika tertelan. Tanda-tanda awal paling sering berhubungan dengan faringitis dan gastroenteritis, lesi ulseratif di rongga mulut dan tenggorokan. Perkembangan selanjutnya ditandai dengan edema dan pembengkakan pada bibir, wajah, kepala, dan leher. Limpa, hati, dan ginjal dapat teraba membesar dan septikemia dapat menyebabkan syok, gagal ginjal, dan gangguan pernapasan. Kematian mendadak dengan beberapa tanda klinis juga telah dilaporkan. Masa inkubasi untuk infeksi alami diyakini 3 – 7 hari, tetapi periode 1 – 14 hari telah dilaporkan.

Penanganan. Diagnosis terhadap penyakit antraks ini bisa dilakukan dengan memeriksa darah atau jaringan lain yang berpotensi mengandung bakteri. Pastikan kita saat mengoleksi sampel harus hati-hati dan sangat disarankan menggunakan alat pelindung diri (APD) untuk menghindari resiko penularan dari kontaminasi lingkungan/kontak dengan ternak. Sampel darah dari ternak yang baru saja mati umumnya mengandung B. anthracis yang banyak. Bakteri kemudian dapat dilihat di bawah mikroskop, dibiakkan dan diisolasi di laboratorium, atau dideteksi dengan tes cepat dengan uji polymerase chain reaction (PCR).

Kasus kematian mendadak karena Antraks harus dibedakan dari kondisi  penyakit lain. Infeksi clostridial, bloat/kembung, dan sambaran petir dapat juga mengakibatkan kematian mendadak pada sapi dan domba. Leptospirosis akut, hemoglobinuria, anaplasmosis, dan keracunan akut juga bisa mengakibatkan kematian mendadak pada sapi. Pada kuda, anemia akut, keracunan timbal, sambaran petir, dan sengatan matahari juga memiliki gejala yang menyerupai antraks. Pada babi, classical swine fever (CSF), african swine fever (ASF), dan edema faring juga harus menjadi pertimbangan diagnostik. Pada anjing, infeksi sistemik akut dan pembengkakan faring juga memiliki gejala yang mirip yang harus dipertimbangkan juga dalam menegakkan diagnosa.

https://www.msdvetmanual.com/generalized-conditions/anthrax/anthrax-in-animals

Hal yang harus diperhatikan dalam menangani kasus antraks adalah penanganan hewan mati yang tepat. Bangkai ternak tidak boleh dibuka karena paparan oksigen akan memungkinkan bakteri membentuk spora dan meningkatkan resiko penyebaran.  Gambar diatas adalah ilustrasi bagaimana bangkai sapi yang terinfeksi antraks, kepalanya ditutupi dengan kantong plastik dan tubuhnya dengan lembaran plastik untuk meminimalkan resiko cemaran di tanah karena pendarahan yang dihasilkan dan penyebaran spora antraks di lingkungan. Karantina juga harus dilakukan pada ternak yang rentan disekitar lokasi, kemudian lakukan divaksinasi untuk mencegah resiko penularan. Pastikan juga semua bangkai segera dimusnahkan dengan pembakaran atau dikubur. Proses pembersihan dan desinfeksi, pengendalian serangga dan hewan pengerat juga harus dilakukan.

Vaksinasi di daerah endemis sangat penting karena spora bakteri mampu bertahan untuk waktu yang lama sehingga risiko selalu ada. Sebenarnya bakteri ini cukup rentan terhadap terapi antibiotik, namun mengingat kejadiannya yang sangat cepat maka tingkat keberhasilannya tergantung dengan tingkat kesiagaan peternak.  Kewaspadaan harus ditingkatkan di wilayah yang sudah pernah terjadi wabah, karena resiko muncul kembali relatif besar. Tanah yang terkontaminasi sulit untuk didekontaminasi sepenuhnya, tetapi formaldehida dipercaya bisa dipakai untuk menekan resiko kejadian.

Hewan ternak umumnya mampu merespon dengan baik terhadap preparat penisilin jika pengobatan dilakukan pada tahap awal penyakit. Oxytetracycline juga bisa menjadi opsi yang lain.  Amoksisilin, kloramfenikol, siprofloksasin, doksisiklin, eritromisin, gentamisin, streptomisin, dan sulfonamid juga dapat digunakan, tetapi efektivitasnya dibandingkan dengan penisilin dan tetrasiklin belum dievaluasi dalam kondisi lapangan.

Antraks dapat ditemukan di seluruh dunia, kecuali Antartika. Daerah pertanian dan peternakan beriklim sedang relatif beresiko tinggi. Ada daerah endemik yang mengalami wabah lebih sering, sedangkan daerah lain hanya terjadi secara sporadis karena faktor cuaca dimana spora yang tidak aktif di dalam tanah muncul ke permukaan dan terhirup/tertelan  oleh ruminansia.

Mengapa antraks pada manusia harus diwaspadai? Antraks adalah penyakit zoonosis, dapat menular dari hewan ke manusia dan beresiko kematian.  Antraks merupakan penyakit menular yang sudah sangat lama dikenal di Indonesia. Kasus pertama dilaporkan pada tahun 1832 di Kecamatan Tirawuta dan Moweng, Kabupaten Kolaka, Provinsi Sulawesi Tenggara. Kejadian penyakit antraks yang terupdate adalah di Gunung Kidul Jogjakarta beberapa waktu yang lalu.

Antraks yang berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian nomor 4026 tahun 2013 telah ditetapkan sebagai salah satu dari 25 penyakit hewan menular strategis (PHMS), dapat mengakibatkan kerugian ekonomi seperti kematian ternak dan manusia serta operasional pengendalian penyakit yang perlu dilakukan terus menerus. Kejadian antraks pada manusia di Indonesia hampir selalu berhubungan dengan kejadian antraks pada hewan.

http://repository.pertanian.go.id/bitstream/handle/123456789/9521/BUKU%20ANTRAKS.pdf?sequence=1&isAllowed=y#:~:text=Antraks%20merupakan%20penyakit%20menular%20yang,Kabupaten%20Kolaka%2C%20Provinsi%20Sulawesi%20Tenggara.

Antraks kulit menyumbang sekitar 95% dari semua infeksi alami dan berkembang ketika B. anthracis memasuki kulit melalui luka atau lecet yang ada. Masa inkubasi antara 12 jam – 12 hari. Lengan, tangan, wajah, dan leher paling sering terkena dengan lesi awal menyerupai gigitan serangga yang gatal. Dalam waktu 48 – 72 jam kemudian, vesikulisasi dan ulserasi terjadi dan menghasilkan lesi 1 – 3 cm dengan pusat nekrotik hitam yang khas. Kelenjar getah bening yang berdekatan lokasi infeksi umumnya bengkak dan nyeri. Tanpa pengobatan antibiotik yang tepat, tingkat kematian akibat antraks kulit sekitar 20%.

Antraks gastrointestinal terjadi akibat infeksi saluran cerna bagian atas (orofaringeal) atau bagian bawah (usus) setelah konsumsi daging yang terkontaminasi. Bentuk orofaringeal ditandai dengan pembentukan ulkus oral atau esofagus, diikuti oleh pembengkakan kelenjar getah bening regional, edema, dan sepsis. Lesi dalam bentuk usus paling sering ditemukan di ileum atau sekum. Tanda-tanda klinis awal termasuk mual, tidak nafsu makan, muntah, dan demam, diikuti oleh sakit perut, muntah darah, dan diare. Kematian karena antraks usus diperkirakan 25 – 75%.

Antraks inhalasi awalnya dapat muncul sebagai penyakit seperti flu dengan demam, sakit kepala, mialgia, batuk nonproduktif, dan nyeri dada ringan. Setelah 1 – 3 hari, periode perbaikan singkat dapat terjadi, namun setelah itu kondisi pasien akan memburuk dengan cepat. Tahap kedua penyakit ini ditandai dengan demam tinggi, gangguan pernapasan, dan syok. Secara historis, kematian untuk individu yang diobati telah mendekati 95% jika pengobatan tidak dilakukan dalam waktu 48 jam dari munculnya gejala klinis.

Referensi :

  1. https://www.woah.org/en/disease/anthrax/
  2. https://www.avma.org/anthrax-facts#:~:text=Cattle%2C%20sheep%2C%20and%20goats%E2%80%94,bloated%2C%20and%20without%20rigor%20mortis.
  3. https://www.msdvetmanual.com/generalized-conditions/anthrax/anthrax-in-animals
  4. https://www.thecattlesite.com/diseaseinfo/197/anthrax/
  5. http://repository.pertanian.go.id/bitstream/handle/123456789/9521/BUKU%20ANTRAKS.pdf?sequence=1&isAllowed=y#:~:text=Antraks%20merupakan%20penyakit%20menular%20yang,Kabupaten%20Kolaka%2C%20Provinsi%20Sulawesi%20Tenggara.
error: Content is protected !!