Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR)

Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR)

Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR) adalah penyakit pernapasan yang disebabkan oleh virus Bovine Herpesvirus Type-1 (BHV-1). Penyakit ini dapat menyerang sapi, kerbau, dan hewan ruminansia lainnya. IBR adalah penyakit strategis yang dapat menyebabkan kerugian ekonomi yang besar bagi peternak karena virus ini sangat menular dan menyerang ternak dari segala usia.

Infeksi IBR dapat terjadi melalui pernafasan dan memerlukan kontak antar hewan yang menyebar dengan cepat ke seluruh kelompok. Penyakit ini ditandai dengan peradangan pada saluran pernafasan bagian atas, selain dapat juga menyebabkan vulvovaginitis pustular menular pada sapi betina dan balanoposthitis menular pada pejantan, serta bisa menyebabkan aborsi dan kelainan pada janin. Sapi yang terinfeksi akan mengalami infeksi laten setelah sembuh dari infeksi awal dan meskipun secara klinis tampak normal, penyakit ini dapat kambuh kembali saat berada dalam kondisi stres.

Epidemiologi 
Selama infeksi primer, sapi mengeluarkan virus dalam jumlah banyak di cairan hidung dan mata selama kurang lebih 14 hari, yang dapat menginfeksi hewan yang melakukan kontak.

Setelah bereplikasi di lapisan hidung, BoHV-1 diangkut melalui saraf dan menjadi laten di jaringan saraf dekat tempat masuknya virus, dan menetap di sana selama masa hidup hewan tersebut.

Stres atau pengobatan kortikosteroid dapat menyebabkan reaktivasi BoHV-1, yang kemudian diangkut kembali sepanjang saraf ke tempat infeksi utama. Pelepasan BoHV-1 yang diaktifkan kembali mungkin disertai atau tidak disertai dengan tanda-tanda klinis penyakit. Setiap hewan yang pernah terinfeksi BoHV-1 berpotensi menjadi pembawa virus seumur hidup dan menimbulkan risiko bagi hewan ternak yang bebas BoHV-1.

Penularan langsung terjadi melalui kontak dengan hewan yang terinfeksi akut dan hewan yang terinfeksi secara laten dimana terjadi reaktivasi virus. Sedangkan penularan tidak langsung dapat terjadi melalui air mani yang terkontaminasi, transfer embrio, manusia, bahan yang terkontaminasi atau penularan melalui udara.

Gejala klinis

Tanda-tanda klinis utama IBR adalah gejala pernafasan dan pada kasus yang lebih ringan sangat mirip dengan penyebab lain dari pneumonia pada sapi. Dalam kasus yang lebih ringan, konjungtivitis, batuk sesekali, dan produksi ASI yang buruk mungkin merupakan tanda yang mungkin terlihat.

Tanda-tanda klinis umumnya pertama kali muncul dalam 2-3 minggu setelah proses pengangkutan, penjualan atau peristiwa stres lainnya seperti melahirkan anak. Selama wabah IBR, angka kesakitan mungkin mencapai 100% namun angka kematian umumnya kurang dari 2%. Sapi yang terkena dampak akan kehilangan nafsu makan dan mungkin mengalami demam tinggi (41-42°C) dengan keluarnya cairan bernanah pada mata dan hidung.

Tanda-tanda klinis bervariasi dalam tingkat keparahan tergantung jenis virus. Hewan yang terkena dampak parah akan sangat tertekan, lambat untuk bangkit, dan berdiri dengan kepala menunduk. Kelopak mata mungkin bengkak karena konjungtivitis dan mungkin terdapat bisul di hidung pada kasus yang parah. Tidak ada lesi mulut tetapi mungkin ada air liur yang keluar karena stasis rumen. Terdapat halitosis akibat nanah di laring dan trakea, serta sesak napas dengan berbagai derajat.

Hewan yang terkena dampak sering batuk dan palpasi laring tidak disukai. Terdapat peningkatan frekuensi pernafasan tetapi tidak ada bunyi paru abnormal kecuali bunyi yang berasal dari saluran pernafasan atas. Kurangnya nafsu makan, penurunan berat badan, dan penurunan ASI sering terjadi dan bisa berakibat parah. Kematian tidak biasa terjadi tetapi bisa disebabkan oleh kerusakan parah, nekrosis, dan infeksi bakteri sekunder pada trakea yang disertai pneumonia inhalasi. Virus IBR juga dapat meningkatkan patogenisitas Moraxella bovis (pink eye) dan lesi keratokonjungtivitis menular yang parah dapat terjadi pada anak sapi.

Jadi gejala IBR pada sapi dapat bervariasi tergantung pada tingkat keparahan infeksi dengan manifestasi 2 bentuk, yaitu :

  • Bentuk pernapasan

Bentuk pernapasan adalah bentuk yang paling umum terjadi pada sapi. Gejala yang muncul pada bentuk pernapasan meliputi demam, batuk, sekresi hidung, konjungtivitis, dan anoreksia. Gejala pernapasan dapat menyebabkan penurunan produksi susu.

  • Bentuk neonatal

Bentuk neonatal adalah bentuk IBR yang terjadi pada pedet. Gejala yang muncul pada bentuk neonatal meliputi demam, anoreksia, dan diare. Bentuk neonatal dapat menyebabkan kematian pedet.

Baca juga : Penyakit Pernafasan pada Sapi

Penyebaran IBR

IBR dapat menyebar melalui kontak langsung antara sapi yang terinfeksi dan sapi yang rentan. Virus IBR juga dapat menyebar melalui udara, air, dan peralatan yang terkontaminasi.

Diagnosis IBR

Diagnosis IBR dapat dilakukan dengan pemeriksaan laboratorium terhadap sampel swab hidung atau sampel darah. Pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan dengan metode PCR, ELISA, atau Western Blot. Uji serologi dengan sampel darah untuk infeksi laten, sedangkan untuk deteksi langsung adanya virus dilakukan dengan uji PCR atau antibodi fluoresen pada sekret mata atau hidung saat terjadi infeksi aktif/wabah.

Mengukur titer antibodi pada air susu (bulk milk) dapat menjadi cara yang sangat berguna untuk menentukan status IBR suatu ternak. Namun, hasil yang negatif tidak selalu menunjukkan bahwa suatu ternak bebas IBR karena hingga 20% dari ternak yang diperah dapat terinfeksi IBR secara laten sebelum hasilnya menjadi positif, oleh karena itu tes darah sangat penting untuk memastikan status bebas IBR dalam kawanan.

Pengobatan

Tidak ada pengobatan khusus untuk IBR, namun untuk infeksi bakteri sekunder yang muncul dapat ditangani dengan antibiotik dan hewan yang demam tinggi diobati dengan obat antiinflamasi nonsteroid.

Pencegahan

Vaksinasi bisa menjadi intervensi yang terbaik untuk membantu pengendalian dan  meminimalkan penyebaran penyakit di kawanan yang sehat. Ada beragam vaksin IBR efektif yang tersedia di pasaran (sayangnya di Indonesia belum ada yang teregistrasi), termasuk vaksin penanda (vaksin DIVA) yang memungkinkan hewan yang divaksinasi dibedakan dari hewan yang terinfeksi secara alami melalui uji serologi.

Beberapa vaksin bersifat multivalen termasuk patogen saluran pernafasan sapi lainnya. Vaksinasi IBR tidak mahal, baik dengan suntikan intranasal atau intramuskular tunggal sehingga alangkah baiknya jika dijadwalkan dalam program pengendalian penyakit.

Selain program vaksinasi, pencegahan IBR dapat dilakukan dengan menerapkan biosekuriti yang ketat. Tindakan biosekuriti yang dapat dilakukan untuk mencegah penyebaran IBR meliputi:

  • Isolasi ternak baru
  • selektif Culling (strategi DIVA)
  • Pemeriksaan kesehatan ternak secara rutin / Monitoring
  • Desinfeksi kandang dan peralatan secara teratur
  • Pembersihan dan sanitasi diri

Referensi :

  1. https://www.nadis.org.uk/disease-a-z/cattle/ibr-infectious-bovine-rhinotracheitis/
  2. https://ugm.ac.id/en/news/ibr-disease-continues-to-menace-indonesian-cattle-farms/
  3. https://www.msd-animal-health.ie/species/cattle/infectious-bovine-rhinotracheitis-ibr/#:~:text=Introduction,economic%20losses%20to%20cattle%20producers.
Kawin Silang pada Ternak Sapi Potong

Kawin Silang pada Ternak Sapi Potong

Perkawinan silang adalah proses perkawinan dua atau lebih breed untuk menghasilkan keturunan yang mengkombinasikan sifat dan karakter breed yang disilangkan. Hal ini dilakukan untuk memanfaatkan atribut yang diinginkan dari dua atau lebih ras, menghasilkan keturunan yang lebih cocok untuk pasar yang kita targetkan dengan tetap mempertahankan adaptasi lingkungan, meningkatkan produktivitas pada sifat-sifat yang lambat berubah dalam suatu breed (adaptasi lingkungan, kesuburan dan sifat karkas), serta manfaatkan peningkatan produksi yang timbul dari heterosis (hibrid) ketika breed disilangkan.

Proses kawin silang ini tentunya harus didasari dari tujuan beternak kita, bagaimana status peternakan kita sekarang dan kemana target pasar kita. Dengan kita mengidentifikasi tujuan pemuliaan pada peternakan kita, maka rencana pengembangan usaha akan lebih terarah. Disaat kita ingin meningkatkan kualitas genetik, maka memperkenalkan breed baru ke dalam kawanan adalah “lompatan” yang idealnya kita lakukan. Program seleksi yang berkelanjutan diperlukan untuk terus melakukan perbaikan genetik.

Langkah-langkah yang perlu diikuti dalam menyiapkan program persilangan antara lain adalah :

1. Tentukan situasi peternakan anda saat ini dalam kaitannya dengan pasar, breed, nutrisi, lingkungan dan manajemen.
2. Tentukan tingkat pengelolaan dan nutrisi yang mungkin dicapai di lingkungan peternakan anda.
3. Tentukan pasar atau pasar apa yang akan anda targetkan dan tentukan tujuan pemuliaan.
4. Putuskan jenis breed mana yang akan berkinerja terbaik dalam kaitannya dengan sifat produksi yang anda inginkan.
5. Tetapkan program pemuliaan jangka panjang – sistem persilangan akhir dapat memakan waktu hingga sepuluh tahun atau lebih untuk mencapainya.
6. Tetap berpegang pada rencana anda setelah ditetapkan.

Baca juga : Lumpy Skin Disease

Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam memilih perkawina silang adalah :

  1. Ukuran kawanan dalam peternakan : Semakin kecil kawanan, semakin tidak rumit sistem yang seharusnya dilakukan.
    2. Jumlah padang rumput pembiakan: Jika anda menggunakan strategi kawin alami, padang rumput pembiakan yang tersedia akan menjadi faktor dalam seberapa rumit sistem berjalan.
    3. A.I. (kawin suntik) atau kawin alami? Sistem yang kompleks dapat digunakan jika
    Anda siap untuk A.I.
    4. Dapat pengganti berkualitas tinggi dibeli dengan harga yang kompetitif harga? Jika demikian, kawin silang dilakukan lebih mudah.
    5. Kuantitas dan kualitas tenaga kerja
    6. Fasilitas: dengan fasilitas yang lebih baik, sistem yang lebih kompleks dianggap layak.
    7. Modal yang tersedia : mengembangkan sistem persilangan yang terorganisir dengan baik umumnya membutuhkan lebih banyak modal
    8. Wilayah/lokasi peternakan
    9. Recording : sistem yang kompleks harus dihindari jika produsen memiliki masalah dengan identifikasi dan catatan.
    10. Faktor yang terkait dengan pilihan keturunan dalam sistem : sumber daya pakan, iklim, ukuran karkas/frame size, ketersediaan breed di peternakan, dan preferensi breed di
    pasar.

Sistem persilangan

Two crossbreed. Sistem persilangan 2 breed akan menghasilkan keturunan persilangan pertama (F1). Dalam sistem ini, keturunan yang dihasilkan biasanya dijual semua untuk dipotong atau ke breeder komersial lainnya. Sistem ini paling berguna untuk situasi di mana betina dari breed tertentu beradaptasi dengan baik pada lingkungan tertentu. Perkawinan silang ini menghasilkan heterosis untuk sifat-sifat seperti pertumbuhan, peningkatan karkas, efisiensi konversi pakan, dan kekuatan.

Backcross. Dalam sistem persilangan balik, keturunan F1 jantan yang dihasilkan dari persilangan pertama akan dibesarkan untuk dijual sebagai sapi potong. Keturunan F1 betinanya dikawinkan dengan jantan dari salah satu keturunan induk dan dari hasil perkawinan ini, kemudian semua keturunan yang dihasilkan akan dijual sebagai sapi potong. Sistem ini memanfaatkan sepenuhnya heterosis untuk sifat-sifat keibuan seperti kesuburan sapi, kualitas air susu dan kemampuan mengasuh anak (induk menunjukkan 100% kemungkinan heterosis) serta setengah dari kemungkinan heterosis untuk pertumbuhan.Diharapkan, persilangan ini akan menghasilkan keturunan yang memiliki tingkat adaptasi lingkungan yang memuaskan dan kualitas karkas / kemampuan pertumbuhan yang baik.

Three crossbreed. Dengan prinsip yang sama dengan persilangan balik, semua keturunan F1 jantan akan dijadikan sapi potong untuk dijual. F1 betina akan dikawinkan dengan pejantan dari breed ketiga yang tidak berkerabat, bukan dengan salah satu keturunan induk seperti pada persilangan balik. Kemudian, semua keturunannya dijadikan sapi potong untuk dijual.

Sistem ini mengambil keuntungan dari heterosis ibu dan individu, dan komplementaritas dari tiga breed. Jadi, 2 breed pertama dipilih untuk mencapai heterosis maternal dan adaptasi terhadap lingkungan, sedangkan breed ketiga (terminal sire breed) untuk menghasilkan ternak potong yang paling dapat diterima pasar. Penggunaan betina F1 ini umumnya dianggap menghasilkan peningkatan produktivitas terbesar, tetapi hal ini dipengaruhi oleh kualitas ras murni yang dipelihara untuk membiakkan betina F1.

Rotational cross. Perkawinan silang rotasi atau pemuliaan berurutan adalah ketika pejantan dari 2 atau lebih breed dikawinkan dengan betina hasil persilangan. Selama beberapa tahun, setiap breed akan menyumbangkan kekuatan dan kelemahannya secara setara. Tingkat heterosis sitem ini tergantung pada jumlah breed yang terlibat. Persilangan rotasi menunjukkan lebih banyak heterosis daripada komposit yang menggunakan jumlah breed yang sama. Peningkatan heterosis dalam sistem rotasi ini menghasilkan heterosis maksimum yang mampu dicapai pada setiap persilangan dengan breed murni.

Semua hewan dalam kawanan mendapat manfaat dari heterosis untuk pertumbuhan dan sifat keibuan dalam perkawinan silang rotasi. Ketika 3 atau lebih breed digunakan, tingkat heterosis 86% atau lebih dapat dicapai. Dalam perkawinan silang rotasi, betina yang dihasilkan akan diseleksi sebagai betina pengganti untuk program kawin selanjutnya. Karena dalam perkawinan silang rotasi, perkawinan melibatkan beberapa kelompok betina dari kombinasi breed yang berbeda dengan pejantan dari breed yang berbeda, sistem ini memiliki persyaratan manajemen yang spesifik.

Composite breed. Pengembangan breed komposit atau sintetik dihasilkan dari persilangan 2 atau lebih breed yang ada. Keuntungan utama dari pembentukan breed komposit adalah setelah persilangan awal dibuat, persyaratan manajemen sama dengan breeding. Jika sinyal pasar menunjukkan perubahan karakteristik komposit, ada peluang untuk mengubah arah dengan memasukkan breed atau persilangan lain. Pilihan awal breed harus didasarkan pada breed yang memiliki sifat yang diinginkan untuk lingkungan tertentu dan untuk pasar sasaran.

Persentase heterosis meningkat karena lebih banyak breed berkontribusi dalam program perkawinan awal. Sementara heterosis tidak akan setinggi yang dicapai dengan program persilangan bergilir dengan jumlah breed yang sama, dan persyaratan manajemen akan berkurang. Jika ada 3 breed dalam komposit tertentu, maka jumlah heterosis yang dipertahankan diharapkan sebesar 67%.

Inbreeding biasanya tidak signifikan bila jumlahnya lebih dari 200 atau 300 breeder. Namun, dalam kawanan yang lebih kecil, perkawinan sedarah bisa menjadi masalah. Dalam kasus ekstrim di mana kawanan hanya menggunakan satu breed pejantan, maka semua heterosis hilang setelah kira-kira delapan generasi atau 40 tahun. Baca juga : Prospek Peternakan 2022

Meskipun perkawinan silang memiliki banyak keuntungan, ada beberapa tantangan yang harus diperhatikan selama perencanaan dan implementasi di lapangan, yaitu :

1. Lebih sulit dalam kawanan kecil – Perkawinan silang bisa lebih sulit dalam kawanan kecil. Mengelola lebih dari 50 sapi memberikan kesempatan untuk menerapkan berbagai sistem yang lebih luas. Ternak kecil masih bisa mendapatkan keuntungan melalui pemanfaatan sistem pejantan terminal, komposit atau F1.

2. Membutuhkan lebih banyak padang rumput pembiakan dan breed sapi jantan – Membeli pengganti dan penggunaan A.I. dapat mengurangi jumlah padang rumput dan sapi jantan. Namun, sebagian besar operasi yang menggunakan sistem persilangan akan memperluas jumlah padang rumput pembiakan dan breed sapi jantan.

3. Memerlukan lebih banyak pencatatan dan identifikasi sapi – Komposisi breed sapi merupakan faktor penentu dalam seleksi breed pejantan di banyak sistem. Ear Tag berwarna dapat memberikan cara untuk melacak breed pejantan untuk manajemen perkawinan.

4. Pencocokan tipe biologis sapi dan pejantan – Breed saling melengkapi dan penggunaan perbedaan breed merupakan keuntungan penting dari perkawinan silang. Namun, untuk memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya, perhatian harus diberikan dalam pemilihan breed dan individu yang sesuai dengan sapi dengan lingkungan produksinya dan pejantan dengan tujuan keturunan atau titik akhir pasarnya. Pemilihan tipe biologis yang berbeda dapat menghasilkan perubahan besar pada fenotipe keturunan dalam beberapa sistem rotasi. Perubahan ini mungkin memerlukan masukan manajemen tambahan, sumber daya pakan, dan tenaga kerja untuk dikelola sebagai sapi atau di titik pemasaran.

5. Kesinambungan sistem – Seleksi dan pengembangan betina pengganti merupakan tantangan bagi banyak ternak yang menggunakan sistem persilangan. Pemilihan pejantan dan breed untuk sifat-sifat yang sesuai tergantung pada penggunaan akhir dari keturunan. Tetap fokus pada sistem dan menyediakan tenaga kerja dan manajemen pada waktu yang tepat dapat menjadi tantangan. Disiplin dan komitmen diperlukan untuk menjaga agar sistem tetap berjalan dengan lancar.

Demikian ulasan mengenai perkawinan silang yang umumnya dilakukan di peternakan sapi potong. Semoga bisa menjadi pencerahan buat kita sekalian dan kita bisa lebih terarah dalam mengelola peternakan kita. Membuat perencanaan, memilih sistem dan breed merupakan langkah pertama yang penting untuk mendapatkan keuntungan dari perkawinan silang dalam kawanan Anda. Untuk kesuksesan jangka panjang, sangat penting untuk menindaklanjuti dan tetap berpegang pada rencana Anda. Baca juga : Tantangan Peternakan Sapi Potong

Maju terus peternakan Indonesia!!

Referensi :

  1. https://futurebeef.com.au/knowledge-centre/crossbreeding-systems-for-beef-cattle/
  2. https://www.beefmagazine.com/genetics/crossbreeding-yes-you-should-do-it
  3. https://extension.missouri.edu/publications/g2040 Crossbreeding Systems for Small Herds of Beef Cattle
  4. https://extension.tennessee.edu/publications/Documents/W471.pdf Crossbreeding in Beef Cattle
  5. https://www.canr.msu.edu/uploads/resources/pdfs/crossbreeding_systems_for_beef_cattle_(e2701)1.pdf
  6. http://extension.msstate.edu/publications/publications/crossbreeding-systems-for-beef-cattle
  7. https://beef-cattle.extension.org/crossbreeding-for-the-commercial-beef-producer/
Tantangan Peternakan Sapi Potong

Tantangan Peternakan Sapi Potong

Saat kita akan memulai usaha peternakan sapi, pertanyaan yang paling sering muncul adalah “breed mana yang harus saya pilih? Jawaban singkatnya adalah “tergantung”. Keragaman sumber daya dan kemampuan manajemen dari setiap peternak membuat pertanyaan ini sulit untuk dijawab. Semua kembali ke tujuan masing-masing peternak, apakah ingin fokus di pembibitan, penggemukan atau bahkan keduanya. Semua ini memerlukan persiapan dan penguasaan manajemen pemeliharaan yang baik agar bisa memberikan hasil yang optimal.

Sistem pemeliharaan ternak sapi potong (beef cattle) umumnya dapat dibagi menjadi breeding farm dan penggemukan. Siklus peternakan sapi dimulai pada operasional breeding farm untuk menghasilkan anak sapi, baik yang nantinya diperuntukkan sebagai calon indukan, pejantan, atau anak sapi/pedet yang akan dijadikan ternak potong untuk dikonsumsi manusia. Target pemeliharaan breeding ini adalah setiap induk sapi mampu untuk menghasilkan satu anak sapi per tahun (1 calf/cow/year).

https://extension.uga.edu/publications/detail.html?number=C859&title=Selecting%20a%20Beef%20Breed

Setidaknya 250 breed sapi potong diakui di seluruh dunia. Namun demikian, daging sapi yang dihasilkan saat ini secara luas diklasifikasikan dari keturunan awal, yaitu sapi eropa (subspesies Eurasia) dan sapi zebu (subspesies India) yang dikenal memiliki toleransi panas. Breeding farm sapi potong adalah bagian yang relatif kecil dari industri daging sapi namun sangat krusial. Hal ini karena breeding farm ini berfungsi untuk menghasilkan sapi ras murni dan proses perbaikan genetik breed tertentu. Tren peternakan sapi potong saat ini cinderung menginginkan jenis sapi yang tingkat pertumbuhannya lebih cepat. Hal ini tentunya memerlukan sapi dengan bobot lahir yang lebih besar walaupun nantinya ada potensi peningkatan potensi kesulitan saat melahirkan. Selain itu, peternak juga menginginkan indukan sapi yang produksi susunya lebih banyak dengan postur tubuh berukuran besar. Hal ini juga menimbulkan konsekwensi lain, yaitu kebutuhan pakan lebih tinggi untuk performa reproduksinya. Untuk mengakomodasi tantangan industri ini, maka proses persilangan antar breed sapi dilakukan. Crossbred ini untuk memberikan kekuatan genetik baru pada keturunan yang dihasilkan. Dengan persilangan ini diharapkan dapat meningkatkan laju pertumbuhan, efisiensi reproduksi, dan menghasilkan karakteristik karkas/daging yang baik sehingga peternakan bisa lebih efisien.

https://extension.uga.edu/publications/detail.html?number=C859&title=Selecting%20a%20Beef%20Breed

Dari tabel diatas, jika kita hanya mengandalkan breed murni untuk menghasilkan sapi potong dengan kualitas daging yang baik tetapi dengan biaya produksi yang lebih rendah sepertinya relatif sulit. Dengan durasi waktu reproduksi yang relatif lama, maka diperlukan investasi waktu dan juga dana cukup besar. Hal ini harus dilakukan guna menghasilkan keturunan hasil persilangan antar breed untuk mendapatkan perpaduan karakter dan sifat yang diinginkan. Hal inilah mengapa peternakan di level ini terbatas jumlahnya dan lebih banyak peternak yang menggeluti usaha penggemukan saja.

http://www.wifss.ucdavis.edu/

Terlepas dari tantangan yang dihadapi di level perbaikan genetika diatas, pengembangbiakan ternak sapi ini umumnya bisa dilakukan dengan kawin alami ataupun kawin suntik (inseminasi buatan) dengan bibit pejantan unggul. Sapi betina yang telah dikawinkan dan bunting akan melahirkan anak sapi sekitar sembilan bulan kemudian dengan berat lahir sekitar 60–100 lbs atau 27-45 kg. Anak sapi ini akan disapih ketika mencapai umur 6-10 bulan dengan berat 450-700 lbs atau 210-320 kg. Pada fase ini, beberapa peternak sudah bisa melakukan seleksi terhadap anak sapi yang nantinya akan digunakan sebagai calon induk pengganti dan akan tetap tinggal dalam kawanan. Sapi-sapi dara ini kemudian akan dikawinkan sekitar umur 15 bulan dan akan melahirkan anak pertama mereka pada umur 2 tahun. Program pemeliharaan harus dipersiapkan dengan baik sesuai kondisi tantangan di lapangan, terlebih dalam hal pengendalian penyakit. Baca juga : Penyakit Pernafasan pada Sapi.

Lalu bagimana dengan anak-anak sapi yang lainnya? Anak sapi yang tidak terseleksi sebagai calon induk pengganti maka akan dimasukkan dalam kandang lainnya untuk dibesarkan sebagai sapi potong. Untuk anak sapi yang lebih muda/berat badannya tidak standar biasanya akan dikategorikan sebagai ‘stockers‘ untuk dibesarkan sampai umur 12-16 bulan. Pada fase ini, ternak akan digembalakan dengan sumber pakan berupa rumput/hijauan lainnya. Diperlukan lokasi padang gembalaan atau minimal kita sudah mempersiapkan lahan hijauan agar biaya pakan bisa lebih ekonomis. Hal ini bertujuan untuk mengembangkan massa otot dan membentuk frame tubuhnya sebelum memasuki selanjutnya. Fase terakhir dalam produksi sapi potong adalah feedlot di mana ternak akan digemukkan dengan target pemeliharaan sekitar 3-6 bulan sebelum akhirnya dikirim ke rumah potong hewan. Pada umumnya pemeliharaan sapi di fase feedlot ini dilakukan secara intensif menggunakan formulasi pakan khusus dengan kandungan energi yang tinggi. Pemberian biji-bijian seperti jagung, gandum serta tambahan premik bisa digunakan untuk mengejar bobot panen sapi potong yang berkisar antara 1200-1400 lbs atau 550-650kg pada umur 18-22 bulan.

Bagaimana dengan kondisi peternakan sapi potong di Indonesia? Peternakan sapi di Indonesia saat ini memang lebih didominasi dengan backyard farm dimana peternakan sapi di level ini biasanya hanya sebagai tabungan saja karenamanajemen pemeliharaannya tidak intensif dengan kualitas pakan yang seadanya sehingga produktifitasnya juga relatif kurang baik. Oleh karena itu, program pemerintah di tingkat peternak ini selalu ditujukan untuk meningkatkan populasi sapi domestik sehingga secara tidak langsung juga akan meningkatkan kondisi ekonomi para peternak kecil. Namun sayangnya upaya ini masih belum mampu untuk mencapai target swasembada yang dicanangkan. Kesenjangan antara pasokan dan permintaan daging sapi yang semakin meningkat menjadikan impor sapi hidup dan daging beku sebagai jalan pintas dalam jangka pendek-menengah.

Dengan lebih dari 270 juta penduduk, konsumsi rata-rata daging Indonesia diproyeksikan mencapai 3,36 kg/kapita/tahun pada tahun 2024. Meningkatnya permintaan untuk daging ini ternyata belum diimbangi dengan produksi daging sapi dalam negeri, dimana pasokannya baru terpenuhi 71,9% dari kebutuhan nasional di tahun 2020 dan sisanya harus import. Selama satu dekade terakhir, populasi atau produksi sapi potong di Indonesia bergerak fluktuatif dan cenderung stagnan pada periode 2011-2020. Di sisi lain, permintaan atau kebutuhan daging sapi pada periode yang sama cenderung mengalami peningkatan (khususnya 2016-2020) dan jumlah kebutuhannya jauh lebih besar dari produksinya. Inilah tantangan yang kita hadapi saat ini. Baca juga : Peternakan sapi Perah di Indonesia.


Jadi, kita bisa melihat bahwasanya masih ada peluang bagi kita untuk masuk ke bisnis peternakan sapi potong ini. Namun demikian, saat kita akan memulai usaha peternakan sapi kita harus mengawalinya dengan tujuan yang benar, apakah kita akan fokus pada pembibitan atau penggemukan. Dari sini kita kemudian bisa memilih breed yang sesuai dengan tujuan beternak kita, menyiapkan sumber daya manusia dan lahan hijauannya untuk memperoleh hasil yang optimal. Selain itu, faktor yang mempengaruhi keberhasilan usaha peternakan sapi antara lain adalah persentase panen anak sapi, bobot sapih, harga pasar dan biaya sapi tahunan (tanah, pakan, kesehatan kawanan, dan modal pembelian sapi). Semua ini harus menjadi pertimbangan dalam kita memulai sebuah usaha peternakan sapi potong. Terkait pengembangan peternakan sapi potong di Indonesia, idealnya dilakukan kolaborasi produktif antara pemerintah, akademisi, pelaku usaha, serta komunitas sehingga arah pembangunannya jelas dan terarah. Selain itu pola pengembangan peternakan juga harus disesuaikan dengan kondisi Indonesia.

Referensi :

  1. http://www.wifss.ucdavis.edu/wp-content/uploads/2015/FDA/fdacoursefinal1/Beef_Food_Animal_Production.pdf
  2. https://www.thecattlesite.com/breeds/beef/
  3. https://extension.uga.edu/publications/detail.html?number=C859&title=Selecting%20a%20Beef%20Breed
  4. https://fapet.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/1211/2018/03/AJAS-18-0233_Proof-file_2.Widi_.confirmed.pdf
  5. http://berkas.dpr.go.id/puskajianggaran/buletin-apbn/public-file/buletin-apbn-public-125.pdf
  6. https://fapet.ugm.ac.id/id/dinamika-industri-sapi-potong-di-masa-pandemi-covid-19-2/
  7. Gambar oleh Liam Ortiz dari Pixabay

error: Content is protected !!