Nipah Virus

Nipah Virus

Beberapa minggu ini kita mendengar dan membaca berita tentang ancaman potensi pandemi baru, yaitu virus Nipah (NiV). Nah, apa sih virus Nipah itu? Mengapa bisa disimpulkan berpotensi sebagai pandemi baru? Bagaimana dengan kondisi di Indonesia? Pada artikel ini kita akan belajar bersama untuk lebih mengenal apa itu virus Nipah agar kita bisa lebih waspada.

Apa itu virus Nipah? Virus Nipah adalah agen penyakit menular yang muncul pertama kali pada babi domestik di Malaysia dan Singapura tahun 1998 dan 1999. Nama Nipah berasal dari desa/sungai di Malaysia tempat virus isi ditemukan. Kelelawar adalah inang alami dari virus ini, sedangkan babi berperan sebagi inang perantaranya. Virus Nipah ini bersifat zoonosis, artinya bisa menular dari hewan ke manusia. Selain itu virus ini juga dapat ditularkan melalui makanan/buah-buahan yang terkontaminasi atau langsung antar manusia, seperti yang terjadi di India dan Bangladesh. Jika manusia terinfeksi virus Nipah akan menyebabkan berbagai penyakit dari infeksi asimtomatik / subklinis sampai penyakit pernapasan akut dan encephalitis (radang otak). Pada kejadian di peternakan babi, virus ini juga dapat menyebabkan gangguan pernafasan dan saraf parah yang mengakibatkan kerugian ekonomi yang signifikan bagi peternak. Virus Nipah adalah RNA virus dari famili Paramyxoviridae, genus Henipavirus dan berkerabat dekat dengan Hendra virus. Selain itu, terdapat laporan juga bahwa virus Nipah bisa menginfeksi beberapa spesies hewan peliharaan termasuk anjing, kucing, kambing/domba, dan kuda.

Penularan. Kelelawar buah (flying foxes) dari genus Pteropus adalah inang reservoir alami dari virus Nipah dan virus Hendra. Virus ini terdeteksi ada dalam urin, kotoran, air liur, dan cairan tubuh lain dari kelelawar. Kasus pertama di Malaysia terjadi di peternakan babi yang kebetulan memiliki banyak tanaman buah-buahan di area peternakannya. Mungkin sebagai akibat dari penggundulan hutan, akhirnya tanaman tersebut menarik kelelawar dari hutan tropis untuk datang dan memakan buah-buahan itu sehingga babi domestik yang dipelihara itu tertular virus Nipah. Diperkirakan bahwa ekskresi dan sekresi ini memicu infeksi pada babi yang kemudian disusul dengan penyebaran yang cepat. Selain itu, penularan antar peternakan mungkin terjadi karena perantaraan fomites, yaitu virus yang menempel pada pakaian, peralatan, sepatu bot, kendaraan dan lain-lain. Kejadian penularan virus Nipah ke manusia di Malaysia dan Singapura hampir selalu dari kontak langsung dengan ekskresi atau sekresi babi yang terinfeksi. Sedangkan laporan kejadian wabah di Bangladesh dan India menunjukkan penularan dari kelelawar tanpa inang perantara, yaitu karena kebiasaan manusia mengkonsumsi buah-buahan dan produknya yang ternyata terkontaminasi dengan urin, air liur dan kotoran kelelawar, atau saat proses memanjat pohon buah yang yang banyak kontaminan cairan tubuh dari kelelawar. Di Bangladesh dan India juga berulang kali dilaporkan adanya penularan penyakit dari manusia ke manusia sehingga tindakan pencegahan diperlukan untuk para keluarga penderita atau pekerja rumah sakit yang merawat pasien yang terinfeksi. Tindakan pencegahan juga harus diambil saat mengirimkan dan menangani sampel untuk uji laboratorium, selain juga di rumah pemotongan hewan. Jadi, virus Nipah dapat menyebar ke manusia melalui kontak langsung dengan hewan terinfeksi (kelelawar, babi, atau cairan tubuh mereka seperti darah, urin, air liur), mengkonsumsi produk makanan yang telah terkontaminasi (nira sawit, buah-buahan yang terkontaminasi oleh kelelawar), serta kontak dekat dengan orang yang terinfeksi (leleran hidung, pernapasan, urin, atau darah).

Gejala klinis pada ternak. Virus Nipah pada babi mempengaruhi sistem pernapasan dan saraf yang sering dikenal dengan Porcine Respiratory and Neurologic Syndrome, Porcine Respiratory and Encephalitic Syndrome (PRES), and Barking Pig Syndrome (BPS). Penyakit ini sangat menular pada babi, namun tanda klinisnya bervariasi tergantung pada usia dan respon ternak terhadap virus. Secara umum mortalitas (angka kematian) rendah kecuali jika kejadiannya pada anak babi, sedangkan morbiditas (angka kesakitan) tinggi pada semua kelompok umur. Kebanyakan babi akan menunjukkan gejala sulit bernafas, demam, dan batuk yang parah. Selain itu tanda gangguan saraf nya adalah gemetar, gangguan dan kelemahan otot, kejang, serta kematian. Yang lebih berbahaya adalah jika babi yang sakit tidak menunjukkan gejala (asimtomatik) sehingga peternak tidak bisa mengidentifikasi jika babinya sedang sakit. Infeksi alami pada anjing dapat menyebabkan sindrom seperti distemper dengan tingkat kematian yang tinggi. Baca juga penyakit zoonosis lainnya, yaitu swine influenza, Newcastle Disease dan Avian Influenza.

Gejala klinis pada manusia. Biasanya infeksi pada manusia muncul sebagai sindrom encephalitis yang ditandai dengan demam, sakit kepala, mengantuk, disorientasi, kebingungan mental, koma, dan kematian. Saat wabah di Malaysia, tercatat ada 265 kasus pada manusia dimana 105 diantaranya klinis berakhir dengan kematian. Tanda awal orang yang terinfeksi biasanya meliputi demam, sakit kepala, mialgia, muntah dan sakit tenggorokan. Hal ini kemudian dapat diikuti juga dengan pusing, mengantuk, tingkat kesadaran menurun, dan tanda neurologis/gangguan saraf yang mengindikasikan kejadian enchepalitis akut. Beberapa orang juga dapat mengalami pneumonia atipikal dan masalah pernapasan yang parah atau akut. Pada kasus radang otak dan kejang biasanya akan terjadi pada kasus yang parah, kemudian berkembang menjadi kondisi koma dalam 24-48 jam. Masa inkubasi virus Nipah ini antara 4-14 hari, akan tetapi ada juga laporan yang menunjukkan sampai 45 hari. Tingkat kematian kasus infeksi virus Nipah bervariasi antara 40-75% tergantung pada pengawasan dan manajemen klinis saat terjadi wabah. Jika manusia berhasil sembuh dari penyakit ini kondisinya juga bervariasi, ada yang bisa sembuh total atau masih menyisakan sedikit gangguan saraf akibat encephalitis akut dan bisa juga kambuh kembali.

Diagnosis. Penyakit ini sulit untuk di diagnosis jika hanya berdasarkan tanda-tanda klinis saja. Sangat disarankan untuk melakukan konfirmasi melalui tes laboratorium. Idealnya, jika muncul gejala awal penyakit segera lakukan uji real time polymerase chain reaction (RT-PCR) di laboratorium dengan sampel dari swab tenggorokan, hidung, cairan serebrospinal, urin, atau darah. Kemudian dalam perjalanan penyakit dan setelah pemulihan kita bisa melakukan monitoring antibodi dengan uji enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). Sekali lagi, diagnosis dini infeksi virus Nipah ini masih menjadi tantangan karena gejala awal penyakit yang terkadang tidak spesifik sehingga diperlukan kesadaran dari orang yang sakit ini untuk segera mengkonfirmasi dengan uji laboratorium. Hal ini menjadi krusial mengingat resiko terburuk pada manusia adalah kematian, dan selain itu respon yang cepat bisa mencegah penularan ke orang lain sehingga wabah yang meluas bisa dihindari.

Pengendalian dan perlakuan. Belum ada vaksin yang bisa dipakai dalam upaya pengendalian virus Nipah di peternakan, oleh karena itu jika ada wabah langkah pemberantasannya dilakukan dengan depopulasi/pemusnahan babi yang terinfeksi disertai pembatasan kontak diwilayah wabah. Selain itu uji laboratorium untuk monitoring antigen dan antibodi dari peternakan berisiko tinggi bisa dipertimbangkan untuk mencegah wabah di masa depan serta peningkatan praktek biosekuriti. Salah satu tindakan biosekuriti yang paling penting untuk daerah yang terkena dampak adalah untuk mengurangi kemungkinan reservoir kelelawar bersentuhan dengan fasilitas produksi babi atau dengan meminimalkan tanaman buah-buahan yang beresiko mengundang kelelawar untuk datang ke lokasi kandang.

Untuk pencegahan pada manusia sampai saat ini juga belum ada obat atau vaksin yang secara khusus menargetkan infeksi virus Nipah, namun WHO telah mengidentifikasi Nipah sebagai penyakit prioritas. Proses penelitian dan pengembangan vaksin Nipah sedang berlangsung di Australia dan Perancis. Perawatan suportif yang intensif direkomendasikan untuk mengobati komplikasi pernapasan dan neurologis yang parah pada manusia termasuk istirahat, mencegah dehidrasi, dan pengobatan berdasarkan gejala klinis yang muncul. Ribavirin dilaporkan digunakan untuk mengobati sejumlah kecil pasien saat awal wabah di Malaysia, tetapi tingkat keampuhannya tidak cukup jelas. Selain langkah-langkah yang dapat diambil tiap individu untuk menurunkan risiko infeksi, peran penting para ilmuwan, peneliti, dan komunitas untuk terus mempelajari tentang virus Nipah ini sangat vital sebagai upaya pencegah wabah di masa mendatang. Upaya pencegahan yang lebih luas meliputi pengawasan hewan dan manusia di daerah di mana virus Nipah terdeteksi, meningkatkan penelitian tentang ekologi kelelawar buah untuk memahami di mana mereka tinggal dan bagaimana mereka menyebarkan virus ke hewan dan manusia lain, evaluasi teknologi atau metode baru untuk meminimalkan penyebaran virus di dalam populasi kelelawar, memperbaiki alat untuk mendeteksi virus sejak dini di masyarakat dan ternak, memperkuat protokol untuk pengaturan perawatan kesehatan pada praktek pengendalian infeksi standar untuk mencegah penyebaran antar manusia, meningkatkan kesadaran tentang tanda, gejala, dan risiko virus Nipah diantara populasi berisiko tinggi. Area beresiko tinggi ini meliputi lokasi geografis, area kontak dengan kelelawar buah atau barang yang terkontaminasi oleh kelelawar buah, area kontak dengan babi atau hewan yang dapat bersentuhan dengan kelelawar buah, serta lingkungan pekerja rumah sakit/keluarga di yang merawat pasien Nipah.

Distribusi geografis. Wabah infeksi Virus Nipah telah dilaporkan pada peternakan babi di Malaysia dan Singapura, sedangkan kasus penyakit Nipah pada manusia sudah dilaporkan di Malaysia, Singapura, India, dan Bangladesh. Kelelawar buah berasal dari family Pteropodidae, dan spesies yang termasuk dalam genus Pteropus adalah inang alami virus Nipah. Melihat pola penyebaran dan habitat kelelawar genus Pteropus ini, maka lokasi geografis lain yang mungkin berisiko terhadap wabah virus Nipah di masa mendatang adalah Kamboja, Indonesia, Madagaskar, Filipina, dan Thailand. Diasumsikan bahwa distribusi geografis Henipaviruses tumpang tindih, yang diperkuat dengan hipotesis dengan bukti adanya infeksi Henipavirus pada kelelawar Pteropus dari Australia, Bangladesh, Kamboja, China, India, Indonesia, Madagaskar, Malaysia, Papua Nugini, Thailand, dan Timor-Leste. Sedangkan kelelawar buah Afrika dari genus Eidolon, family Pteropodidae juga ditemukan positif antibodi terhadap virus Nipah dan Hendra, sehingga menunjukkan bahwa virus ini mungkin ada dalam distribusi geografis kelelawar Pteropodidae di Afrika.

Apakah virus Nipah sudah ada di Indonesia? Sejauh ini belum ada kasus Nipah di Indonesia, baik pada ternak babi maupun manusia. Beberapa penelitian sudah dilakukan untuk mengidentifikasi keberadaan virus Nipah pada populasi kelelawar/kalong dan babi di beberapa wilayah Indonesia.

Penelitian seroepidemiologi dari Balai Besar Penelitian Veteriner (Balitvet) di lakukan terhadap 156 sampel serum kelelawar Pteropus vampyrus dan 2740 sampel serum ternak babi dengan uji serologi (ELISA) terhadap antibodi virus Nipah. Dari 156 sample kelelawar yang diuji, ada 37 sampel yang positif artinya 23,7% serum kelelawar mengandung antibodi terhadap virus Nipah. Prevalensi virus Nipah pada kelelawar bervariasi mulai di daerah Jawa Tengah sebesar 33% (1/3), Sumatra Utara 30,6% (19/62), Jawa Timur 19% (10/52) dan Jawa Barat 18% (7/39). Sedangkan untuk hasil uji serologis 2740 sampel serum ternak babi tidak ada satupun yang positif terhadap virus Nipah. Sampel serum babi ini diambil dari Rumah Potong Hewan (Jakarta, Medan, Riau) dan beberapa wilayah peternakan di Riau, Sulawesi Utara, Sumatra Utara dan Sumatra Barat.

Screening virus Nipah juga dilakukan di Kalimantan Barat dengan uji serologi (ELISA) terhadap 610 serum babi dan 99 serum kelelawar (84 serum dari jenis Pteropus vampyrus dan 15 serum dari jenis Cynopterus brachyotis). Dari uji ini didapatkan bahwa pada semua sampel serum babi dan serum kelelawar Cynopterus brachyotis tidak terdeteksi adanya antibodi terhadap virus Nipah, sedangkan 19% dari 84 sampel kelelawar Pteropus vampyrus adalah positif. Selain itu dari wawancara dengan para petani atau peternak di daerah tersebut juga tidak ada laporan kejadian encephalitis atau gejala pernapasan pada diri mereka sendiri, keluarga, pekerja atau ternak babi mereka.

Selain uji serologi (ELISA) untuk mendeteksi antibodi, terdapat juga penelitian dengan melakukan uji RT-PCR untuk mendeteksi antigen dari virus Nipah ini. Penelitian dilakukan pada kelelawar Pteropus vampyrus di Sumatra Utara, tepatnya di kota Medan dan Deli Serdang. Sampel diambil dari urin, kandung kemih, oro-pharangyeal swab dan juga darah dari kelelawar tersebut. Semua sampel dari kota Medan hasilnya negatif (0/48), tetapi beberapa sampel dari Deli Serdang ada yang positif (4/96). Penelitian ini memberikan bukti molekuler pertama bahwa virus Nipah memang beredar di populasi kelelawar di Indonesia.

Berdasarkan hasil beberapa penelitian diatas, dapat disimpulkan bahwa infeksi virus Nipah sudah terdeteksi pada kelelawar (flying fox) di beberapa bagian di Indonesia, tetapi tidak pada ternak babi ataupun manusia. Walaupun demikian, virus Nipah di Indonesia tetap harus diantisipasi dan dimonitor termasuk resiko penyebarannya pada babi dan manusia terutama di wilayah yang berbatasan dengan Malaysia dan daerah lain yang terdapat habitat kelelawar. KIta harus meningkatkan kewaspadaan terhadap resiko kejadian penyakit Nipah dengan program pengendalian dan pencegahan yang baik sehingga pandemi yang ditakutkan tidak terjadi.

Semoga bermanfaat. Stay safe and stay healthy.

Referensi :

  1. https://www.who.int/health-topics/nipah-virus-infection#tab=tab_1
  2. https://www.oie.int/en/animal-health-in-the-world/animal-diseases/Nipah-Virus/
  3. https://www.researchgate.net/publication/253336499_Nipah_Virus_in_the_Fruit_Bat_Pteropus_vampyrus_in_Sumatera_Indonesia
  4. https://www.researchgate.net/publication/26701115_Screening_for_Nipah_Virus_Infection_in_West_Kalimantan_Province_Indonesia
  5. http://bbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2015/11/ANALISA-RISIKO-KUALITATIF-NIPAH-VIRUS-DI-INDONESIA.pdf
  6. http://download.garuda.ristekdikti.go.id/article.php?article=578986&val=9634&title=Seroepidemiologi%20Nipah%20Virus%20pada%20Kalong%20dan%20Ternak%20Babi%20di%20Beberapa%20Wilayah%20di%20Indonesia
  7. https://www.cdc.gov/vhf/nipah/index.html
  8. https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/19108397/ Lessons from the Nipah virus outbreak in Malaysia

1 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!