Resistensi antimikroba atau yang sering kita dengar dengan istilah antimicrobial resistance (AMR) dalam beberapa tahun terakhir ini menjadi issue yang selalu diangkat. AMR ini menjadi penting karena mengancam proses pencegahan dan pengobatan yang efektif dari berbagai infeksi, baik yang disebabkan oleh bakteri, parasit, virus dan jamur. Antimikroba yang dimaksud disini termasuk antibiotik, antivirus, antijamur, dan antiparasit dimana merupakan obat yang digunakan untuk mencegah dan mengobati infeksi pada manusia, hewan, dan tumbuhan.
Kondisi AMR terjadi ketika bakteri, virus, jamur dan parasit yang berubah dari waktu ke waktu tidak lagi merespon obat yang diberikan. Hal ini kemudian membuat infeksi lebih sulit diobati dan meningkatkan risiko penyebaran penyakit, penyakit menjadi lebih parah dan bisa juga berujung pada kematian. Obat yang tidak efektif ini membuat infeksi tetap ada di dalam tubuh, sehingga meningkatkan risiko penyebaran. Mikroba yang resisten kemudian sering disebut sebagai “superbugs”.
Resistensi antimikroba ini menjadi salah satu hal penting yang menjadi perhatian global. Yang sangat mengkhawatirkan adalah adanya penyebaran secara global yang terjadi cukup cepat dari “superbugs” ini, yang menyebabkan infeksi yang tidak dapat diobati dengan obat antimikroba yang ada. Pada tahun 2017, untuk memandu penelitian dan pengembangan antimikroba, diagnostik, dan vaksin baru, Organisasi kesehatan dunia (WHO) mengembangkan daftar patogen yang menjadi prioritas penelitian dan pengembangan global. Lalu, pada tahun 2019 WHO telah mengidentifikasi 32 antibiotik guna penanganan patogen prioritas, namun hanya 6 di antaranya yang diklasifikasikan sebagai produk inovatif. Kurangnya akses terhadap antimikroba berkualitas saat ini masih tetap menjadi masalah utama.
Terkait kasus bakterial yang mulai tidak berespon terhadap sediaan antibiotik, menunjukkan bahwa telah terjadi resistensi obat yang menyebabkan infeksi tidak tertangani dengan baik. Tuntutan untuk berinovasi menemukan antibakterial baru sangat dibutuhkan. Disisi lain, harus ada aturan dan komitmen untuk mengubah cara penggunaan antibiotik yang saat ini terjadi sehingga antibiotik baru tidak bernasib sama dengan pendahulunya.
Resistensi antimikroba dapat ditemukan pada manusia, hewan, makanan, tanaman, dan lingkungan (air, tanah, udara). Penyebaran bisa terjadi antar manusia atau manusia dan hewan, termasuk dari makanan yang berasal dari hewan. Pendorong utama terjadinya AMR ini antara lain adalah penyalahgunaan dan penggunaan antimikroba yang tidak sesuai aturan serta kurangnya akses air bersih, sanitasi dan kebersihan. Proses pencegahan dan pengendalian infeksi penyakit yang buruk di fasilitas layanan kesehatan dan peternakan juga menjadi faktor yang perlu kita antisipasi, karena akses obat-obatan, vaksin, dan diagnostik yang berkualitas sangat diperlukan. Selain itu, kurangnya kesadaran dan pengetahuan dari kita tentang cara penggunaan antimikrobia yang baik dan benar juga menjadi pemicu lainnya.
Issue AMR ini merupakan masalah kompleks yang memerlukan pendekatan multisektoral. Pendekatan “One Health” sudah diupayakan untuk menyatukan berbagai sektor dan pemangku kepentingan yang terlibat dalam kesehatan manusia, hewan darat dan air dan tumbuhan, produksi pangan dan pakan serta lingkungan. Komunikasi dan kerja sama dilakukan dengan desain dan implementasi program, kebijakan, legislasi serta penelitian untuk mencapai hasil yang lebih baik. Inovasi dan investasi yang besar diperlukan dalam penelitian dan pengembangan obat antimikroba baru, vaksin, dan alat diagnostik yang akurat. Program Antimicrobial Resistance Multi Partner Trust Fund (AMR MPTF), Global Antibiotic Research & Development Partnership (GARDP), AMR Action Fund adalah sebagian dari upaya penggalangan dana guna pencegahan AMR ini. Berikut adalah beberapa agenda atau kegiatan global yang menyangkut AMR :
Global Action Plan (GAP) ditetapkan tahun 2015, dimana secara global negara-negara di dunia berkomitmen pada kerangka kerja tentang AMR. Pengembangan dan implementasi GAP ini merupakan aksi multisektoral yang kemudian disahkan oleh badan pangan dunia (FAO) dan organisasi kesehatan hewan dunia (OIE/WOAH). Sebelum pengesahan GAP, sebenarnya organisasi kesehatan dunia (WHO) juga sudah melakukan upaya global untuk membendung AMR pada tahun 2001 yang menyediakan kerangka kerja intervensi untuk memperlambat kemunculan dan mengurangi penyebaran AMR. Kemudian, pada pertemuan tingkat tinggi PBB pada September 2016, menegaskan fokus yang kuat pada pendekatan yang luas dan terkoordinasi yang melibatkan semua termasuk manusia, hewan, bidang kesehatan tanaman dan lingkungan. Oleh karena itu, saat ini WHO bekerja sama dengan FAO dan OIE/WOAH dalam pendekatan “One Health” untuk mempromosikan praktik terbaik untuk mengurangi tingkat AMR dan memperlambat perkembangannya.
Interagency Coordination Group (IACG) tentang AMR tahun 2016 menyatukan mitra di seluruh anggota PBB, organisasi internasional, dan individu dengan keahlian lintas manusia, kesehatan hewan dan tumbuhan, serta sektor pangan, pakan ternak, perdagangan, pembangunan dan lingkungan hidup, untuk menyusun rencana penanggulangan resistensi antimikroba. Hasilnya, IACG menyerahkan laporan dan rekomendasinya pada tahun 2019 dan menyatakan bahwa “no time to wait : secure the future from drug-resistant infections” artinya sesegera mungkin bertindak untuk mengamankan masa depan dari AMR. Akhirnya, FAO, OIE/WOAH dan WHO sampai saat ini terus bekerja sama mendorong keterlibatan berbagai pemangku kepentingan dalam AMR. Struktur tata kelola utama yang disepakati termasuk Global Leaders Group yang mulai bekerja pada November 2020, lalu ada the Independent Panel on Evidence for Action against AMR and the Multi-Stakeholder Partnership Platform. Untuk panel independen dan platform mitra pemangku kepentingan ini masih dalam proses.
World Antimicrobial Awareness Week (WAAW) atau pekan kesadaran antimikroba dunia telah dicanangkan sejak 2020. Kegiatan ini sudah dilakukan sejak 2015, namun hanya mencakup antibiotik saja, lalu diperluas dengan mencakup semua antimikroba termasuk antibiotik, antijamur, antiparasit, dan antivirus pada tahun 2020. Kampanye global ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran akan resistensi antimikroba di seluruh dunia dan mendorong praktek terbaik di kalangan masyarakat umum, petugas kesehatan, dan pembuat kebijakan untuk memperlambat perkembangan dan penyebaran infeksi yang resistan terhadap obat. Pekan kesadaran ini ditetapkan tanggal 18 – 24 November setiap tahunnya dengan slogan “Antimicrobials : Handle with Care”.
The Global Antimicrobial Resistance and Use Surveillance System (GLASS) atau sistem pengawasan penggunaan antimikrobia diluncurkan oleh WHO tahun 2015 untuk mengisi kesenjangan pengetahuan dan menginformasikan strategi di semua tingkatan masyarakat. Kegiatan ini menggabungkan data secara progresif dari pengawasan AMR pada manusia, pengawasan penggunaan obat antimikroba, serta AMR dalam rantai makanan dan lingkungan. GLASS memberikan pendekatan standar untuk pengumpulan, analisis, interpretasi, dan berbagi data dalam suatu negara dan wilayah, serta memantau status sistem pengawasan nasional yang ada dan yang baru.
Global Antibiotic Research and Development Partnership (GARDP) adalah kerja sama nirlaba yang mengembangkan penelitian terkait perawatan infeksi yang resistan terhadap obat. Diharapkan dengan adanya penelitian dan pengembangan yang dilakukan ini akan mengurangi ancaman kesehatan yang mungkin terjadi. GARDP bekerja lintas sektor untuk memastikan akses yang adil dalam pengobatan dan mempromosikan penggunaannya secara bertanggung jawab.
Dari sisi FAO, terkait program “One Health” yang dijalankan bersama, prioritasnya meliputi 1.) peningkatkan sistem peringatan dini terhadap hama dan penyakit hewan serta tumbuhan, termasuk penyakit zoonosis pada human-animal-plant-environment (HAPE), 2.) memperkuat biosekuriti untuk pengelolaan hama dan penyakit pada hewan dan tumbuhan, termasuk penyakit zoonosis, hama dan pengelolaan spesies asing invasif, 3.) memfasilitasi kesiapsiagaan dan respon darurat yang efektif untuk tindakan antisipatif dan respon terhadap keadaan darurat terhadap rantai makanan, masalah keamanan pangan dan peristiwa kesehatan lainnya pada manusia, hewan, tumbuhan, dan lingkungan, 4.) meningkatkan manajemen risiko AMR di tingkat nasional, regional dan global dengan mendukung respon “One Health” terhadap AMR di sektor pangan dan pertanian, 5.) meningkatkan kinerja sistem melalui penguatan kontribusi terhadap program dan keanekaragaman hayati, serta kondisi ekosistem, kesehatan lingkungan, tanah, air, keamanan pangan, dan keberlanjutan sistem pertanian pangan.
Peran OIE/WOAH juga tidak kalah penting. Kejadian pandemi COVID-19 merupakan contoh krisis kesehatan masyarakat akibat virus yang berpotensi berasal dari hewan. Hal ini menjadikan validitas konsep “One Health” dalam memahami dan menghadapi resiko kesehatan global memang memerlukan upaya multisektoral. Tindakan pencegahan, kesiapsiagaan dan respon penyakit zoonosis (penyakit yang dapat menular dari hewan ke manusia, atau manusia ke hewan) menjadi pendekatan yang sangat penting untuk proses pengendaliannya. Penyakit zoonosis yang menjadi prioritas antara lain adalah rabies, flu burung, dan ebola.
Sekali lagi, saat ini resiko kesehatan meningkat secara signifikan. Faktor pendukungnya adalah perubahan iklim dan tata guna lahan, praktek pertanian yang tidak berkelanjutan, globalisasi, dan perdagangan satwa liar. Hal ini memberikan banyak peluang bagi patogen untuk berevolusi menjadi bentuk baru yang meningkatkan resiko terjadinya AMR. Dan resiko tidak hanya untuk manusia karena penyakit juga dapat menular dari manusia ke hewan dan berdampak besar pada kesehatan hewan peliharaan maupun hewan liar. COVID-19, tuberkulosis dan influenza dapat menginfeksi atau berakibat fatal pada berbagai spesies hewan. Gorila dan simpanse yang memiliki susunan genetik mirip manusia juga sangat rentan terhadap penyakit jika manusia sedang tidak dalam kondisi sehat saat terjadi kontak. Baca juga : Antibiotik dalam Kedokteran Hewan
Jadi, mengelola resiko kesehatan global saat ini tidak mungkin dilakukan sendirian karena membutuhkan kerja sama penuh dari sektor kesehatan hewan, manusia, tumbuhan dan lingkungan. Mari kita juga turut berperan serta aktif dalam mencegah kejadian AMR dengan tindakan nyata. Mari kita ikut mempromosikan pendekatan “One Health”, mengakui dan menyadari adanya saling ketergantungan antara kesehatan hewan, manusia dan lingkungan. Kesehatan hewan dan lingkungan sangat bergantung pada aktivitas manusia dan hubungan kita dengan alam dan disisi lain kesehatan hewan dan lingkungan juga menentukan kesehatan manusia.
Ayo sambut pekan kesadaran antimikrobial dunia bulan ini dengan berperan aktif dan mensosialisasikan bahaya AMR demi masa depan yang lebih baik.
Referensi :