Biosekuriti pada Peternakan Babi

Biosekuriti pada Peternakan Babi

Persepsi tentang pentingnya kesehatan hewan dan hubungannya dengan biosekuriti semakin meningkat dalam beberapa tahun terakhir, terutama karena adanya penyakit seperti African Swine Fever (ASF) dan Porcine Epidemic Diarrhoea (PED). Biosekuriti yang lebih baik dapat membantu meningkatkan produktivitas dan berkontribusi mengurangi penggunaan antibiotik. Biosekuriti dapat didefinisikan sebagai penerapan langkah-langkah yang bertujuan untuk mengurangi resiko kemungkinan masuknya patogen (eksternal) dan penyebaran patogen lebih lanjut di dalam peternakan (internal).

Pengetahuan tentang epidemiologi penyakit idealnya menjadi referensi dalam menentukan strategi biosekuriti di lapangan. Dalam menyusun program biosekuriti yang efektif, dokter hewan harus mengetahui bagaimana penyakit ditularkan, resiko dan kepentingannya, tindakan mitigasi mana yang dianggap lebih efektif dan bagaimana mengevaluasi biosekuriti yang dijalankan dan perubahan yang mungkin diperlukan. Oleh karena itu, dalam artikel kali ini kita akan belajar bersama tentang tinjauan teknis yang bisa menjadi sumber informasi mengenai langkah-langkah biosekuriti eksternal dan internal untuk mengurangi resiko penyakit pada peternakan babi, epidemiologi penyakit serta analisis resiko dan penilaian biosekuriti.

Pencegahan penyakit menular pada babi penting untuk kesejahteraan hewan dan produktivitas ekonomi. Selain itu, pencegahan juga penting untuk keamanan pangan dan kesehatan masyarakat ketika patogen zoonosis menjadi perhatian. Biosecurity mencakup semua aspek pencegahan patogen masuk dan menyebar dalam kelompok hewan. Penerapan langkah-langkah biosekuriti di sepanjang rantai produksi meminimalkan risiko masuknya patogen baru ke dalam peternakan, serta penyebarannya di dalam peternakan. Namun demikian, implementasi program biosekuriti yang berkelanjutan dan peningkatannya yang berkelanjutan masih menjadi tantangan bagi banyak peternakan babi.

Konsep biosekuriti pada peternakan babi global ada sejak dekade 1960, dimana produksi babi bergeser secara progresif dari sistem peternakan kecil skala keluarga menuju industri skala besar.  Lalu pada dekade 1980, konsep “minimal disease” atau “specific-pathogen free farms” mulai umum dan mengarah pada konsep biosekuriti yang lebih modern. Definisi awal tentang biosekuriti adalah sebagai bentuk keamanan dari penularan penyakit menular, parasit dan hama. Konsep dan persepsi penyakit telah berubah dari level individu ke peternakan dan dari peternakan ke wilayah karena hal ini menjadi salah satu elemen kunci dalam keberhasilan produksi ternak babi.

BIOSEKURITI EKSTERNAL

Secara umum, biosekuriti eksternal dapat dipahami secara intuitif sebagai pemblokiran peternakan dari bahaya yang datang dari dunia luar. Tindakan ini berfungsi sebagai penghalang fisik yang melarang/membatasi masuknya hewan, manusia, atau kendaraan tertentu.

Lalu lintas ternak. Pengenalan induk pengganti/masuknya hewan baru atau penggunaan semen menjadi faktor resiko tertinggi dalam penularan patogen baru jika kita tidak mengerti asalnya. Untuk menjaga produktifitas ternak babi tetap baik, maka proses peremajaan induk harus dilakukan. Minimal dalam 2-2,5 tahun, umumnya populasi indukan akan berganti agar usaha peternakan tetap optimal. Calon induk bisa diperoleh dari produksi kandang sendiri dengan memilih anakan betina unggul yang dihasilkan, atau membeli dari peternakan lain yang terpercaya. Namun, membeli calon induk dari luar ini ada konsekwensi ganda, yaitu semakin tinggi frekuensi entri baru, semakin tinggi kemungkinan masuknya patogen baru dan semakin tinggi tingkat penggantian induk, semakin sulit mempertahankan level kekebalan dalam kawanan terhadap patogen yang sudah ada di kandang.

Dengan asumsi bahwa masih banyak peternakan yang bergantung pada calon induk eksternal, maka cara pengelolaan hewan baru tersebut akan menjadi kunci keberhasilan. Proses  karantina harus dilakukan untuk memastikan calon induk baru tidak menjadi sumber penularan patogen baru di kandang kita, baru kemudian dilanjutkan dengan proses aklimatisasi untuk mengenalkan calon induk dengan patogen yang sudah bersirkulasi dikandang dan beradaptasi sehingga saat nanti dimasukkan dalam kawanan sudah siap. Proses karantina yang dirancang dan dikelola dengan baik adalah tindakan paling efektif untuk mengurangi risiko yang terkait dengan masuknya patogen eksternal.

Jika kita baru mengawali usaha peternakan babi, proses karantina harus dikelola dalam sistem all-in/all-out (AIAO) yang ketat untuk menghindari potensi penularan patogen antar batch calon induk yang berbeda. Peternak idealnya harus sudah menetapkan target produksi, kapasitas kandang dan memikirkan alur pemasukan ternak dengan baik agar performa yang dihasilkan stabil. Sistem AIAO ini bisa dilakukan dengan intervensi penggunaan preparat hormon untuk proses sinkronisasi estrus pada calon induk. Ingat, semakin besar jumlah batch kawanan induk/calon induk, maka semakin besar ruang yang dibutuhkan untuk menampungnya.

Lokasi kandang karantina yang ideal adalah >1 km dari unit kandang babi lainnya. Jarak ini relatif aman untuk mengantisipasi penularan sebagian besar patogen, terutama yang melalui udara dan juga menurunkan resiko penularan karena vektor hewan pengerat, lalat, dll. Yang patut menjadikan perhatian adalah virus Aujeszky, virus penyakit mulut dan kuku (PMK), porcine reproductive and respiratory syndrome (PRRS), dan bakteri Mycoplasma hyopneumoniae karena telah dilaporkan berpotensi ditularkan melalui udara dari radius yang lebih jauh.

Peternakan modern telah menambahkan filter udara khusus untuk mengantisipasi tantangan ini. Filter HEPA adalah gold standard untuk penyaringan udara karena dapat menahan debu atau partikel yang berukuran mikron. Dalam kondisi laboratorium, kombinasi filter halus (EU kelas M dan F) menghasilkan efektifitas penyaringan > 98% terhadap virus equine arteritvis dan > 99,9% terhadap bakteri Actinobacillus pleuropneumoniae (APP), sedangkan filter MERV 14 (EU 8) atau filter polypropylene berlapis yang diperlakukan dengan senyawa mikrobiosidal sepenuhnya efisien untuk memblokir virus PRRS atau M. hyopneumoniae.

Lalu, berapa lama proses karantina yang baik? Hal ini tergantung 3 elemen, yaitu masa inkubasi penyakit yang terdeteksi, durasi penularan penyakitnya dan waktu untuk menegakkan diagnosa. Observasi status kesehatan ini dilakukan dengan pemeriksaan calon induk setiap hari, dan jika ditemukan hasil positif patogen yang tidak diinginkan, maka isolasi juga harus diperpanjang sampai status kesehatannya baik sebelum lanjut ke proses aklimatisasi.

Perlu dicatat bahwa proses karantina dan aklimatisasi adalah konsep yang agak bertentangan dan berbeda. Karantina bertujuan untuk menghindari masuknya patogen yang dibawa oleh hewan baru yang masuk sehingga mewajibkan meminimal kontak (lokasi sebaiknya terpisah), sedangkan aklimatisasi adalah proses lanjutannya yang dilakukan untuk mengembangkan kekebalan terhadap patogen yang ada di peternakan yang  membutuhkan kontak dekat antara hewan baru baru dan kawanan yang sudah ada di kandang ataupun dengan vaksinasi.

Lalu lintas Orang dan Kendaraan. Orang dan kendaraan dapat menjadi jalur penting untuk penularan penyakit di peternakan. Peternakan biasanya menerima kunjungan orang dan kendaraan baik itu pekerja kandang, dokter hewan, tukang, pengangkutan bahan pakan dan bangkai. Fomites (sepatu bot, pakaian, peralatan dll)  dan orang melalui kulit yang terkontaminasi dapat menyebarkan patogen seperti Salmonella, PRRS, PED, TGE, Brachyspira atau Lawsonia.

Risiko yang terkait dengan kunjungan dapat diminimalkan dengan kombinasi tindakan penghalangan dan peraturan yang membatasi lalu lintas ke area pemeliharaan ternak. Sebaiknya hanya yang berkepentingan saja yang memiliki akses ke dalam lokasi kandang atau jika memang harus masuk maka ada peraturan yang harus ditaati untuk meminimalkan risiko.

Penetapan batasan area bersih dan kotor sangatlah penting.  Bersihkan area yang berada di dalam perimeter peternakan dan  yang bersentuhan dengan ternak babi. Pintu masuk, dinding, kamar mandi, ruang ganti, jalur transportasi harus dibedakan dengan jelas sehingga tidak ada yang boleh melintasi area kotor menuju area bersih tanpa didekontaminasi.

Pagar pembatas dengan pintu tertutup permanen sebaiknya hanya bisa dibuka dari dalam lokasi peternakan, sedangkan pagar keliling juga penting untuk membatasi akses hewan liar seperti babi hutan, anjing, kucing dll. Area parkir sebaiknya ada diluar peternakan, terlebih kendaraan yang tamu.

Kendaraan, pengemudi dan pekerja yang terlibat pengiriman bahan pakan atau mengumpulkan hewan mati sebaiknya juga dipikirkan dengan matang agar kontak bisa diminimalkan. Penempatan gudang pakan/silo, sebaiknya diluar area kandang sehingga mobil tidak mempunyai akses untuk kontak dengan ternak. Sedangkan untuk penanganan hewan mati/bangkai, sebaiknya juga ada jalur khusus yang berbeda dan tidak melewati area ternak sehingga kendaraan pengangkut bangkai ini mudah dalam mengakses tempat penampungan bangkai yang ditempatkan di luar pagar pembatas dan menghindari truk pengumpul memasuki peternakan.

Langkah selanjutnya adalah menetapkan aturan untuk memasuki fasilitas yang berhubungan langsung dengan ternak. Dalam kondisi apapun kendaraan, pengemudi, atau personel asisten lainnya tidak boleh melakukan kontak dengan hewan jika tidak ada keperluan, karena kotoran yang terkontaminasi dalam jumlah kecil di alas kaki/pakaian pengemudi cukup untuk menginfeksi peternakan. Jika ada dokter hewan luar yang perlu masuk ke lokasi kandang, sebaiknya sudah mendapatkan persetujuan terkait maksud dan tujuannya.

Idealnya, prosedur biosekuriti sebelum masuk ke lokasi ternak mewajibkan minimal 24-48 jam sebelumnya tamu tidak ada kontak dengan ternak lain. Di peternakan dengan standar yang baik membutuhkan setidaknya mencuci tangan/mandi, mengganti pakaian luar dan sepatu bot, semprot/celup desinfektan dan sinar UV untuk barang-barang bawaan (HP, laptop dll) karena  resiko penularan dari kontaminasi rambut atau adanya patogen di mukosa oronasal.

Terkait ancaman African Swine Fever (ASF) saat ini, maka konsumsi produk daging babi di peternakan harus dihindari.

Transportasi hewan. Walaupun masih termasuk kendaraan, akan tetapi kendaraan yang digunakan khusus untuk mengangkut hewan antar peternakan atau ke rumah jagal dan pengemudinya dapat memiliki peran penting dalam transmisi patogen antar peternakan. Bagaimana sebaiknya pengaturannya?

Kendaraan ini sebaiknya memang diinvestasikan khusus untuk transportasi ternak yang aman saja. Sebaiknya truk yang ditujukan untuk pengangkutan calon induk, tidak boleh digunakan untuk mengangkut hewan ke rumah potong hewan.  Oleh karena itu, membuat daftar batasan untuk setiap kendaraan beserta desain rutenya akan menjadi langkah pertama yang krusial, kemudian penetapan prosedur proses pembersihan dan disinfeksi truk harus dilakukan secara terencana dan teliti.

Agar pembersihan dan disinfeksi kendaraan ini efektif, maka  prosesnya harus mencakup pembersihan bahan organik terlebih dahulu, dilanjutkan dengan pembersihan dengan air (sebaiknya air panas dan sabun/kerak), lalu dikeringkan dan terakhir baru proses desinfeksi dengan desinfektan. Jadi pastikan materi organik dari setiap sudut dan ceruk di bak truk bisa dibersihkan agar kinerja desinfektan bisa optimal. Tantangan terjadi di musim dingin, karena pengeringan truk secara alami bisa memakan waktu berhari-hari.

Proses transportasi ternak adalah salah satu situasi paling kritis karena terkait kontak hewan di peternakan dengan kendaraan dan atau orang dari luar peternakan. Dengan situasi tantangan ASF saat ini, pendekatan terbaik untuk meminimalkan risiko adalah membangun lokasi khusus untuk bongkar muat di lingkungan kandang (perbatasan area bersih/kandang dan kotor/area truk parkir) atau meeting point yang agak jauh dari area kandang (kendaraan penjual dan pembeli bertemu dengan tetap meminimalkan kontak).

Lingkungan. Lokasi peternakan yang saling berdekatan juga menjadi tantangan tersendiri. Probabilitas infeksi karena lokasi peternakan akan bervariasi dan dipengaruhi oleh populasi, jenis peternakan (pembibitan/penggemukan), keberadaan rumah pemotongan hewan (RPH), tempat pembuangan sampah atau bangkai dalam radius 1 km ke peternakan dapat meningkatkan kemungkinan tersebut.

Salah satu kemungkinan jalur penularan patogen antar tetangga adalah penyebaran melalui udara yangmana juga bervariasi tergantung kondisi cuaca dan kondisi tanah. PMK bisa menular hingga 10 km lebih, apalagi saat terjadi kelembaban tinggi > 60%, kecepatan angin rendah dengan arah stabil, suhu di < 27C dan tidak ada curah hujan. Untuk PRRSV, salah satu faktor utama kelangsungan hidup virus di aerosol adalah suhu dengan waktu paruh yang sangat singkat (kurang dari 30 menit) pada suhu 20C. Dalam kasus PRRSV, studi selama 2 tahun menunjukkan bahwa suhu dingin, tingkat sinar matahari yang rendah, angin dengan kecepatan rendah bersamaan dengan hembusan, peningkatan kelembaban dan tekanan adalah kondisi yang lebih mungkin mendukung transmisi via udara.

Jalur via udara, penularan patogen terkait dengan lingkungan adalah hewan pengerat, vektor mekanis seperti lalat, dan hewan lain (anjing, kucing) atau burung. Hewan pengerat, tikus, walaupun radius aksinya normal <150 m ternyata dapat menjadi pembawa banyak patogen yang menyerang babi, seperti beberapa serovar Salmonella, Leptospira, Yersinia pseudotuberculosis, Toxoplasma gondii, Campylobacter spp., Brachyspira spp., Lawsonia intracellularis atau virus encephalomyocarditis. Lalat yang mempunyai radius terbang 2-3 km dapat bertindak sebagai vektor mekanik untuk penularan PRRS, Streptococcus suis, atau Brachyspira spp. 

Beberapa spesies burung telah dikaitkan dengan wabah penyakit penyakit seperti TGE, Salmonella, Lawsonia intracellularis, Brachyspira hyopdisenteriae dan E. coli dan dapat bertindak sebagai reservoir. Penempatan jaring biasanya cukup membantu mengurangi resiko ini.

Pakan dan air. Bahan pakan itu sendiri umumnya tidak menimbulkan risiko karena kondisi higienis dalam produksi, terutama jika pakan tersebut diberi perlakuan panas. Misalnya, pembuatan pelet mampu menghilangkan porcine epidemic diarrhea virus (PED) dari bahan  pakan yang terkontaminasi. Ada penelitian yang menyebutkan bahwa virus PED, ASF, senecavirus-A (SVA), CSF(classical swine fever/hog cholera), Pseudorabies (PRV), dan PMK dapat ditemukan didalam bungkil kedelai, suplemen vitamin D, lisin dan kolin.

Strategi mitigasi proaktif terkait rantai bahan baku bisa dilakukan dengan mengembangkan fasilitas penyimpanan dan menentukan jadwal sampling untuk bahan yang dianggap berisiko lebih tinggi. Batasi lalu lintas orang (karyawan di pabrik pakan dan pengunjung, seperti tamu, supir truk, dan orang subkontraktor) dan kendaraan yang beresiko mengkontaminasi fasilitas pembuatan pakan.

Penambahan aditif seperti asam organik (format, laktat atau propionat), asam lemak dan minyak esensial telah terbukti memiliki khasiat melawan patogen tertentu. Penambahan formaldehyde telah terbukti efektif dalam mencegah risiko yang terkait dengan PED dan Salmonella, selain juga dapat menyebabkan perpindahan bakteri yang merugikan pada usus babi.  Mengingat pentingnya pakan untuk ternak, maka sangat disarankan untuk membeli dari pemasok yang memiliki reputasi baik dengan sistem jaminan mutu yang diakui.

Terkait dengan kontaminasi air minum, penyakit yang secara klasik dikaitkan adalah leptospirosis. Leptospira dari tikus dan hewan lain dapat mencemari air. Sebagian besar patogen yang mengikuti siklus penularan fekal-oral berpotensi terbawa melalui air, oleh karena itu, kualitas bakteriologis air harus diperiksa secara rutin minimal 1x setahun. Biofilm pada tangki dan pipa harus dibersihkan dan didesinfeksi secara teratur, selain juga pengolahan sumber air merupakan alat penting dalam manajemen risiko. Teknik pengolahan air umum yang bisa dilakukan adalah dengan menghilangkan kontaminan kimia dan biotik secara fisik melalui filtrasi (sistem reverse osmosis dan/atau menonaktifkan patogen dengan menerapkan sinar ultraviolet atau disinfektan oksidan kimia seperti klorin, kloramin dan ozon.

BIOSEKURITI INTERNAL

Biosekuriti internal bertujuan untuk mengurangi kemungkinan penyebaran patogen setelah peternakan terinfeksi. Hal ini meliputi langkah-langkah yang berkaitan dengan pengelolaan ternak, kebersihan umum fasilitas, pembersihan dan disinfeksi dan, dan juga personel.

Manajemen. Langkah-langkah terkait managemen ini bertujuan untuk mengelola ternak dengan mengontrol alur pemeliharaan untuk menghindari pencampuran babi dari kelompok umur yang berbeda. Pengaturan alur ini dapat dicapai dengan penerapan ketat sistem AIAO yang dilengkapi dengan pembersihan dan disinfeksi fasilitas untuk kelompok hewan baru.

Sistem AIAO dilaporkan efektif untuk mengurangi sirkulasi patogen sehingga mampu mengurangi jumlah dan variasi aplikasi penggunaan obat di peternakan. Walaupun demikian, kontrol alur ini ternyata belum cukup untuk kontrol semua penyakit, terutama untuk penyakit-penyakit yang penularannya dapat terjadi saat persalinan seperti PRRS, cross fostering, bahkan di antara ternak dalam satu kawanan yang sama.

Yang perlu kita pahami saat memelihara ternak babi adalah bahwa induk babi yang kita pelihara menjadi reservoir bagi banyak patogen yang ada di lokasi peternakan. Oleh karena itu, sejak akhir 1970-an sistem penyapihan dini mulai dipelajari dan dipraktekkan untuk mencegah penularan patogen sehingga mengurangi atau bahkan menghilangkan penyakit tertentu, walaupun hal ini sedikit mengabaikan aspek animal welfare.

Hal praktis lainnya yang juga harus diperhatikan adalah menetapkan rutinitas kerja bagi anak kandang untuk  mengatur lalu lintas orang. Rekomendasi yang ideal dalam handling ternak adalah membuat alur kerja mengikuti alur babi, yaitu dari yang umur muda ke yang lebih tua. Jadi pekerja yang sudah bekerja di unit penggemukan tidak boleh masuk ke kandang pembibitan untuk meminimalkan resiko.

Fasilitas Kandang. Desain dan bahan kandang, alas dan partisi/pembatas antar pen serta segala fasilitasnya harus berkontribusi mengurangi resiko penularan penyakit atau menghambat penyebarannya. Saat memulai usaha peternakan babi, maka sangat disarankan untuk merancang layout kandang yang baik sehingga alur pemeliharaan memungkinkan untuk ternak berpindah ke fase pemeliharaan selanjutnya tanpa melewati kandang bacth yang lebih muda.

Pengaturan untuk pekerja bisa dibedakan areanya dengan identitas yang berbeda (seragam, sepatu bot atau cat tembok yang berbeda antar fase pemeliharaan) sehingga pelanggaran wilayah kerja bisa diminimalkan karena pekerja dengan mudah akan teridentifikasi.

Contoh, lantai logam dan plastik lebih bersih baik digunakan untuk kandang melahirkan, walaupun mungkin sedikit kurang nyaman untuk ternak dan alas jerami mungkin lebih nyaman, tetapi meningkatkan risiko wabah diare. Sistem ventilasi juga harus ditambahkan agar sirkulasi lebih baik dan mengurangi jumlah mikroorganisme di lingkungan, terutama patogen pernapasan.

Pembersihan dan Desinfeksi Kandang. Mirip dengan proses pada truk, kandang juga harus dibersihkan terlebih dahulu dari sampah organik, lalu dicuci dengan air sabun/air panas, bilas dan dikeringkan, baru kemudian di desinfeksi.  Streptococcus suis dapat diantisipasi dengan penggunaan desinfektan yang mengandung senyawa fenil, klorin, dan yodium.

Kemudian terkait tindakan higienis saat pemberian vaksin dan obat-obatan, managemen jarum suntik harus dijalankan dengan baik. Seringkali pekerja melihat penggantian jarum sebagai pemborosan waktu sehingga perlu diingatkan dan dimonitor agar transmisi penyakit karena penggunaan jarum tidak dilakukan.  Idealnya adalah 1 induk 1 jarum, atau 1 jarum untuk 1 induk dan anak sekelahirannya.

Pekerja Kandang. Personel yang bekerja di peternakan juga memegang peran penting untuk menjaga biosekuriti internal. Misalnya, seorang pekerja di fase penggemukan tidak boleh pergi ke kandang breeding melahirkan. Untuk memudahkan, umumnya ada pewarnaan area dinding, alas kaki/bot dan pakaian seragam yang berbeda antar fase pemeliharaan.

Penggunaan sarung tangan, mencuci tangan secara berkala, dan perawatan footbath untuk merendam alas kaki akan mengurangi dampak pekerja yang bertindak sebagai sumber penularan. Khusus untuk foot bath membutuhkan perhatian yang terus menerus untuk menghindari penumpukan bahan organik yang berlebihan yang berpotensi menurunkan kinerja desinfektan. Waktu kontak menjadi point utama dalam pemilihan disinfektan mengingat proses ini berjalan relatif cepat. Jika di lokasi peternakan tidak tersedia footbath, maka paling ideal adalah memiliki alas kaki khusus di setiap fase pemeliharaan.

Agar proses desinfeksi optimal, sangat disarankan untuk terlebih dahulu membersihkan sepatu bot dari material organik dengan menggunakan sikat dan air sabun, baru diikuti proses perendaman sepatu bot yang sudah bersih ke dalam larutan disinfektan minimal 5 menit. Larutan desinfektan sebaiknya juga diganti setiap hari.

PENILAIAN BIOSEKURITI.

Tidak ada sistem yang sempurna, oleh karena itu saat sebuah peternakan sudah merancang dan menerapkan program biosekuriti harus tetap dilakukan evaluasi secara berkala. Penilaian tersebut dapat digunakan untuk memprioritaskan tindakan biosekuriti mana yang harus ditingkatkan atau diterapkan terlebih dahulu untuk mengurangi kemungkinan pengenalan dan/atau penyebaran penyakit. Evaluasi ini  memungkinkan untuk meningkatkan manajemen risiko yang terkait dengan penularan penyakit baik di tingkat peternakan maupun di tingkat wilayah sehingga juga mampu meningkatkan motivasi dan kesadaran pada peternak, pekerja dan dokter hewan.

Menilai list program biosekuriti juga termasuk mengukur rute potensial untuk penularan penyakit. Survei terkait epidemiologi termasuk pertanyaan yang mengevaluasi langkah-langkah biosekuriti eksternal dan internal yang diterapkan pada berbagai rute pengenalan dan penyebaran patogen dapat digunakan.

Penilaian Berdasarkan Skor. Penilaian biosekuriti ini yang paling umum dilakukan yang didasarkan pada nilai standart yang ditetapkan tenaga ahli biosekuriti.

Beberapa sistem penilaian sudah dikembangkan, antara lain adalah yang dikembangkan peneliti  dari Universitas Ghent (Biocheck UGent™), dimana nilai praktik biosekuriti dan jalur yang berbeda untuk penularan penyakit dikalikan dengan faktor bobot yang memperhitungkan kepentingan relatifnya, sehingga memperoleh skor berbasis risiko. Sistem evaluasi diatas serupa dengan sistem BioAsseT. Selain evaluasi yang bersifat umum, ada juga dilaporkan sistem yang secara khusus mengevaluasi untuk patogen tertentu (PRRS, Brachyspira hyodysenteriae, Mycoplasma hyopneumoniae). Beberapa metode statistik untuk mengembangkan skor biosekuriti berdasarkan peringkat praktik biosekuriti menurut kepentingannya juga jamak diterapkan di peternakan.

Penilaian Biosecurity dengan Probabilitas. Model statistik multivariat, Bayesian Belief Networks dan mesin algoritma adalah beberapa model statistik yang digunakan untuk mengukur kemungkinan terjadinya penyakit dan untuk mengevaluasi dampak penerapan program biosekuriti. Metode ini mungkin berguna untuk pengembangan alat untuk mengukur, membandingkan, dan mengelola praktek biosekuriti.

Penilaian resiko kuantitatif yang dijelaskan oleh OIE mungkin juga berguna untuk memperkirakan probabilitas pengenalan penyakit dan untuk memprioritaskan tindakan biosekuriti berdasarkan dampaknya terhadap kemungkinan penularan penyakit. Tujuan akhir dari analisis risiko adalah untuk memberikan bukti yang mendukung keputusan yang diambil untuk mengurangi resiko penyebaran penyakit. Model ini mempertimbangkan jalur dan peristiwa yang berbeda dimana patogen dapat diperkenalkan dan ditransmisikan. Probabilitas didasarkan pada pengetahuan terbaik saat itu dengan mempertimbangkan ketidakpastian/variabilitas, dan kemudian ditentukan probabilitas untuk setiap jalur dan secara global dengan indikasi interval kepercayaan. Model penilaian risiko kuantitatif terutama digunakan untuk memperkirakan probabilitas pengenalan penyakit di tingkat negara dan untuk penyakit tertentu.

Model penilaian resiko kuantitatif juga memiliki beberapa keterbatasan karena rumit, memakan waktu dan membutuhkan banyak data yang tidak selalu tersedia. Namun demikian, metode ini membantu dalam memperkirakan kemungkinan masuknya penyakit berdasarkan praktek biosekuriti yang ada sehingga dapat mendukung pengambilan keputusan mengenai tindakan biosekuriti apa saja yang harus diprioritaskan.

Desain dan Implementasi Program Biosekuriti. Program biosekuriti dapat dirancang untuk penyakit tertentu dan fokus pada langkah-langkah terhadap penyakit itu, atau bisa lebih umum dan dapat dirancang untuk mengurangi resiko yang umum terhadap beberapa penyakit yang berbeda. Oleh karena itu, langkah pertama yang harus dilakukan adalah mengetahui daftar penyakit yang bersirkulasi di peternakan dan resiko penyakit lain tidak diinginkan, untuk kemudian dilakukan identifikasi rute penularan yang mungkin terjadi sehingga tindakan pencegahan dapat disiapkan di tempat yang paling efektif.

Setelah program disepakati, maka untuk pelaksanaanya harus dibuat aturan yang detail yang menjelaskan langkah demi langkah tindakan yang akan diterapkan serta disosialisasikan ke seluruh pekerja yang terlibat di peternakan. Training dan pelatihan biosekuriti ini idealnya dilakukan secara periodik untuk menjaga level kewaspadaan tetap tinggi, karena jika program berhasil terkadang bisa membuat kita lengah dan terjadi pelonggaran dalam penerapannya dilapangan. Program ini harus dipahami oleh semua tanpa terkecuali dan ada team khusus yang mengawasi.

Faktor lain yang berdampak besar dalam penerapan langkah-langkah biosekuriti adalah persepsi resiko penyakit dan konsekuensinya di peternakan. Tantangan terbesar praktek biosekuriti ini umumnya terjadi di lingkungan komplek peternakan, dimana tidak semua peternak memiliki pemahaman dan level biosekuriti yang sama. Kekompakan seringnya baru terwujud ketika wabah sudah terlanjur masuk ke area peternakan.  Seharusnya, program biosekuriti dalam suatu komplek peternakan bisa disinergikan sehingga potensi penularan penyakit antar tetangga bisa diminimalkan saat ada wabah terjadi.  Jadi semua peternak harus berpartisipasi dan bertanggung jawab untuk mencegah penyebaran penyakit.

Kesimpulan
Biosekuriti menjadi elemen penting dalam produksi ternak, khususnya dalam sistem pemeliharaan intensif di peternakan skala industri. Upaya menghindari pengenalan patogen baru dan membatasi penyebarannya akan berkontribusi pada peningkatan kesejahteraan babi, produktivitas peternakan dan juga akan berkontribusi pada kesehatan masyarakat.  Pengetahuan yang lebih baik tentang epidemiologi penyakit babi akan berkontribusi pada desain program biosekuriti yang tepat sasaarn. Pastikan semua pihak yang terkait ikut berpartisipasi dan terlibat, serta lakukan evaluasi dan training berkelanjutan untuk menjaga tingkat kewaspadaan tetap tinggi. Baca juga : Biosekuriti di Era New Normal

Referensi :

  1. https://link.springer.com/article/10.1186/s40813-020-00181-z Biosecurity in Pig Farm : a review
Perkembangan Vaksin Hog Cholera

Perkembangan Vaksin Hog Cholera

Masih membahas tentang penyakit babi, penyakit Hog Cholera atau Classical Swine Fever (CSF) sering dianggap “sama” dengan African Swine Fever (ASF). Oleh karena itu, saat ini kita akan belajar bersama mengenai bagaimana perkembangan penelitian vaksin untuk mengendalikan salah satu penyakit menular virus mematikan yang menyerang anggota famili Suidae ini. Kemunculan kembali virus CSF  di beberapa negara di Amerika, Asia, dan sporadis di Eropa menunjukkan bahwa adanya potensi munculnya kembali penyakit ini secara global yang beresiko memperparah kondisi industri babi yang masih berjuang melawan ASF yang sampai saat ini belum ada vaksin yang aman dan ampuh.

Kebijakan untuk melakukan stamping out saat ada wabah saat ini memerlukan biaya relatif tinggi yang mungkin tidak semua negara mempunyai anggaran untuk melakukannya. Masalah etika juga bisa menjadi pertimbangan cara lain untuk melakukan intervensi dalam proses pengendendalian penyakit. Vaksinasi mungkin akan menjadi solusi tindakan pengendalian utama terhadap wabah di masa depan sehingga sangat penting bagi komunitas ilmiah, peneliti dan para expert  untuk terus aktif dalam mengembangkan vaksin yang lebih efektif dan aman melawan patogen, termasuk CSF.

Classical swine fever (CSF) adalah salah satu penyakit infeksi virus yang paling mematikan dan sangat menular pada babi. Virus RNA rantai tunggal yang dikenal sebagai virus CSF dari genus Pestivirus dari keluarga Flaviviridae. Wabah CSF memiliki implikasi sosial dan ekonomi yang negatif, termasuk pembatasan perdagangan internasional, beban keuangan yang tinggi dan aspek etika  terkait lalu lintas ternak terdampak yang berpotensi menularkan ke wilayah lainnya.

Beberapa negara seperti Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan Selandia Baru telah berhasil memberantas penyakit ini, namun CSF tetap endemik di sebagian besar negara di Asia, Eropa Timur serta Amerika Selatan dan Tengah, dan Karibia. Di Uni Eropa, terlepas dari status bebas CSF sebenarnya ada ancaman dimana virus ini tetap endemik pada populasi babi hutan. Hal ini menyebabkan wabah sporadis pada peternakan babi domestik. Selain itu, kemunculan kembali virus CSF di beberapa negara di Amerika seperti Ekuador, Brasil, Kolombia, serta di Asia  seperti Jepang dan Korea Selatan menjadi hal yang perlu diwaspadai karena berpotensi muncul kembali secara global.

Sejarah masa lalu mencatat bahwa, sebagian besar negara yang mencapai status bebas CSF  menggunakan kebijakan stamping-out. Australia 1961 menggabungkan strategi stamping-out dan pembatasan pergerakan/lockdown, Kanada 1963 mencapai dengan menggabungkan kebijakan vaksinasi, Amerika Serikat 1976 menggunakan stamping-out setelah menangguhkan strategi vaksinasi tahun 1962 dan Uni Eropa berhasil  bebas setelah 10 tahun berjuang dimana Italia menjadi anggota terakhir yang berstatus bebas tahun 1990. Kebijakan stamping out ini selain tidak praktis karena biaya yang relatif besar untuk kompensasi area terdampak juga menjadi tantangan animal welfare dimasa sekarang, karena ternak sehat di area terdampak juga harus dimusnahkan.

Selain stamping out, status bebas CSF dengan vaksinasi sebagai tindakan kontrol utama juga berhasil dilakukan oleh Uruguay 1991, Chili 1998, dan Argentina 2005. Pengendalian penyakit dengan vaksinasi harus dijalankan dengan standart yang baik, yaitu dosis dan aplikasi vaksin yang tepat agar mampu membangun kekebalan. Jika program vaksinasi dilakukan sembarangan, maka akan menyebabkan konsekuensi seperti munculnya varian baru dimana virus akan bermutasi yang beresiko munculnya kembali penyakit CSF.

Dengan perkembangan penyakit yang ada saat ini, penting juga menyoroti peran metode diagnostik yang berbeda dalam proses pemberantasan CSF. Dalam hal ini, program pemberantasan yang sukses minimal harus mencakup ketersediaan laboratorium diagnostik molekuler yang mutahir yang mampu mendiagnosa secara akurat dan handal. Selain itu, studi lanjutan tentang hubungan filogenetik antara strain virus yang bersirkulasi dengan karakterisasi patogenesis menjadi langkah penting untuk menjamin strategi intervensi yang efisien untuk pengendalian virus CSF. Oleh karena itu, sangat penting bagi komunitas ilmiah untuk melanjutkan penyelidikan aktif untuk vaksin yang lebih efektif melawan virus CSF. Ada kebutuhan mendesak untuk penyediaan vaksin baru dalam hubungannya dengan tindakan pengendalian tambahan yang dapat diterapkan secara rasional untuk mengendalikan atau mengurangi kerugian yang disebabkan oleh wabah CSF, terutama masalah yang saat ini dihadapi oleh negara dengan status endemik CSF.

Tantangan pengendalian CSF dinegara yang berstatus endemis saat ini sedang hangat dibicarakan. Vaksinasi umumnya sudah dilakukan secara massal dan intensif, sehingga kasus-kasus sporadis ringan dan atipikal menjadi tantangan yang perlu segera mendapatkan solusi. Seperti halnya di Cina, strategi pengendalian utama untuk CSF adalah kombinasi dari bonifikasi dan vaksinasi. Bonifikasi sesuai untuk wilayah di mana CSF telah diberantas atau tidak pernah terjadi, sedangkan vaksinasi lebih umum dilakukan karena mengingat populasi yang besar dianggap lebih hemat biaya dan ekonomis dalam usaha pengendalian di area endemis.

Sejak kasus pertama African SwineFever didiagnosis di Shenyang, Cina 3 Agustus 2018, penyakit ASF ini dengan cepat menyebar dan menyebabkan kerugian ekonomi cukup besar. Gejala klinis dan perubahan patologis CSF dan ASF sangat mirip sehingga dapat mengganggu proses diagnosis jika hanya dilakukan secara visual. Oleh karena itu, pencegahan dan pengendalian ASF yang baik saat ini harus memfasilitasi dekontaminasi CSF, yaitu dengan cara memastikan imunisasi yang baik serta pencegahan dan pengendalian CSF yang memungkinkan diagnosis, pencegahan, dan pengendalian ASF yang lebih baik. Dengan kata lain, jika peternakan kita sudah memiliki  kekebalan yang baik terhadap virus CSF, maka fokus kita bisa lebih baik dalam penanganan ASF. Pentingnya biosekuriti dan kontrol virus CSF ini ditekankan karena belum tersedianya vaksin yang efektif dan aman untuk ASF serta adanya pergeseran dari kejadian CSF tipikal menjadi atipikal (ringan).

Baca juga : Classical Swine Fever

Ternak babi yang dibudidayakan secara intensif umumnya sudah memiliki imun karena sudah mendapatkan vaksinasi CSF. Namun demikian,  harus dicatat bahwa strain virus CSF  virulen atau dilemahkan dapat menyebabkan infeksi persisten dan infeksi resesif, imunosupresi, dan sindrom pembawa virus pada babi yang rentan, sehingga dapat mengakibatkan disfungsi imun dan  kegagalan imun.  Pengembangan vaksin CSF jenis baru harus memiliki efek kekebalan dari vaksin hidup yang dilemahkan dan mampu membedakan antara infeksi virus lapangan dan virus vaksin. Saat ini, berbagai lembaga penelitian sedang mempelajari vaksin virus hidup yang ditingkatkan, vaksin subunit, vaksin penanda, dll. Berikut adalah jenis-jenis vaksin CSF yang sudah ada dipasaran dan yang sedang dikembangkan :

1. LAV – live attenuated vaccine  
Secara historis, vaksinasi CSF menggunakan vaksin hidup yang dilemahkan (LAVs) telah diterapkan di beberapa negara sebagai program pengendalian wajib selama lebih dari 50 tahun  dan berhasil. Vaksin ini mengandung strain imunogen utama virus CSF yang telah dilemahkan oleh mutasi adaptif. Di antara strain yang paling umum digunakan adalah Lapinized Coronel Filipina (LPC strain), C-Strain atau “Chinese hog cholera lapinized virus” (HCLV), vaksin Rusia strain LK-VNIVViM yang diadaptasi pada suhu rendah, Strain guinea-pig exaltation-negative (GPE-strain) Jepang, kultur sel Prancis Strain Thiverval, dan strain PAV-250 Meksiko.

Vaksin CSF hidup yang dilemahkan ini telah terbukti aman untuk hewan target termasuk dua  kategori utama: babi muda dan babi bunting. Selain itu, beberapa penelitian telah menunjukkan
kapasitas vaksin yang dilemahkan untuk memberikan perlindungan dini terhadap serangan strain virulen. Secara penelitian, jika respon individual ternak cukup baik maka kekebalan yang terbentuk dapat bertahan dari 10 bulan jika diberikan secara oral dan seumur hidup dengan inokulasi  intramuskular. Selain perlindungan horizontal, jenis vaksin ini mampu menginduksi perlindungan vertikal pada babi bunting dan mencegah transmisi virus transplasental.

Vaksin yang dilemahkan di atas telah digunakan untuk pengendalian dan pemberantasan CSF di beberapa wilayah di dunia. Vaksin ini memiliki karakteristik umum dalam hal stabilitas genetik, respon imun protektif, tetapi juga memiliki perbedaan tertentu. Perbedaan ini terutama didasarkan pada kapasitas mereka untuk bereplikasi menjadi hewan yang divaksinasi, jangka waktu viremia, rute, dan kapasitas ekskresi strain vaksin virus.

1.1 Vaksin LOM
Strain LOM awalnya berasal dari strain virulensi rendah dari isolat Miyagi Jepang pada tahun 1956 dan selanjutnya dilemahkan melalui propagasi terus menerus dalam sel ginjal sapi. Strain LOM pertama kali diuji sebagai kandidat vaksin dari tahun 1968-1969 di lapangan oleh Institute of Veterinary Research (IVR) di Korea Selatan, dan selanjutnya vaksin ini mulai digunakan secara luas di seluruh negeri untuk memberantas CSFV sejak 1974. Fakta vaksin LOM telah digunakan di Korea Selatan selama bertahun-tahun menunjukkan bahwa vaksin ini mungkin aman dengan respon imunogenik yang tinggi pada babi selama beberapa dekade, tetapi di lapangan wabah sporadis CSF masih terjadi terus menerus.

Selain itu, penting untuk menunjukkan bahwa strain LOM telah disimpan melalui beberapa bagian dalam sel ginjal sapi / babi selama bertahun-tahun dan dianggap stabil secara genetik, namun ada petunjuk tentang potensi untuk kembali menjadi virulen. Hal ini dikuatkan dengan kejadian di pulau Jeju dimana setelah dilakukan vaksinasi strain LOM pada tahun 2014, CSF muncul kembali di pulau itu setelah wilayah ini bebas CSF dengan kebijakan non-vaksinasi selama satu dekade. Sejak kemunculan kembali tersebut, wabah endemik CSF telah terjadi di pulau itu dan  menyebabkan kerugian besar pada peternakan babi.

1.2 Vaksin Lapinized Strain-C
Vaksin C-strain telah dianggap sebagai salah satu vaksin yang paling efektif digunakan
di seluruh dunia untuk pengendalian CSF pada babi domestik. Asal usul strain ini tidak jelas, namun telah dilaporkan bahwa C-strain dikembangkan oleh Chinese Institute of Veterinary Drug Control and Harbin Animal Research Institute tahun 1956. Beberapa vaksin telah dikembangkan dari C-strain adalah Pestiffa di Prancis, SUVAC di Hungaria, Cellpest di Polandia, Suiferin C di Jerman, Vadimun di Amerika Serikat, Duvaxin dan Riems di Jerman, Norden dan Porcivac di
Meksiko, PS Poreo di Brasil, Tipest di Slovakia, TVM-1 di Republik Ceko, dan LK Rusia.

Vaksin Lapinized selama ini secara luas diakui sebagai sangat aman dan efektif terhadap penyakit, yang juga dapat memperoleh respon imun protektif terhadap semua CSFV genotipe. Namun, sebuah penelitian baru-baru ini memperingatkan tentang kurangnya kapasitas vaksin lapinisasi untuk melindungi terhadap semua genotipe sehingga dilaporkan munculnya mutan yang lolos dari netralisasi dari genotipe 2 galur CSFV di Cina sehingga perlu mengembangkan vaksin CSF baru untuk mencegah mutan yang lolos. 

Fitur penting dari vaksin C-strain adalah kapasitasnya untuk menginduksi perlindungan bahkan
beberapa hari setelah imunisasi dan sebelum serokonversi. Pembentukan kekebalan lengkap terhadap strain virulen setelah vaksinasi oral pada 10 hari post vaksin telah ditunjukkan oleh penelitian sebelumnya. Dengan menggunakan vaksin C-strain, proses replikasinya lambat dan terbatas dalam jaringan, kekebalan bertahan lama, bertahan selama selang waktu dari 6-11 bulan atau bahkan seumur hidup.

Vaksinasi menggunakan strain-C telah terbukti memberikan perlindungan klinis penuh (hewan yang divaksinasi tidak menunjukkan tanda-tanda klinis yang kompatibel dengan CSF) dan perlindungan steril (kurangnya viremia, tidak adanya pelepasan virus, dan bukan partikel virus atau genom yang terdeteksi). Disamping keampuhan yang luar biasa, vaksin C-strain telah terbukti sangat aman di target dan spesies non-target dengan keuntungan utama bahwa infeksi transplasental oleh strain virus virulen dicegah. Selain itu, beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa vaksin lapinized atau vaksin strain-C tidak berpotensi untuk kembali menjadi virulen.

1.3 GPE-Strain
Vaksin guinea-pig exaltation-negative strain (GPE-) Jepang dikembangkan di 1969 oleh Departemen Penyakit Eksotis di Institut Nasional Kesehatan Hewan di Tokyo. Strain vaksin yang dilemahkan ini berasal dari strain ALD tipe lapangan/wild melalui beberapa bagian dan kloning biologis dalam sel testis babi, sel testis sapi, dan sel ginjal babi guinea primer. Babi yang diinokulasi dengan vaksin GPE tidak menunjukkan gejala klinis seperti anoreksia dan demam.  Strain GPE jarang menimbulkan viremia pada hewan yang diinokulasi dan tidak menunjukkan bukti shedding. Selain itu, vaksinasi berdasarkan strain GPE telah terbukti aman untuk babi bunting, anak babi baru lahir, dan babi dewasa.

Vaksin ini juga mampu menghasilkan kekebalan protektif terhadap perkembangan tanda-tanda klinis CSF. Laporan awal pengamatan perlindungan vaksin GPE- bisa terjadi dalam 3 hari setelah vaksin dilakukan. Respon humoral ditandai dengan kehadiran antibodi dalam 10-14 hari selama minimal 2 tahun tanpa terjadi penurunan titer antibodi. Namun demikian, studi terbaru memperingatkan komunitas ilmiah tentang potensi galur virus GPE untuk kembali ke virulen. Hal ini tentu menjadi penting, karena vaksin galur GPE Jepang telah digunakan di negara-negara Asia dan Pasifik selama beberapa dekade sehingga perlu kewaspadaan tentang hal ini.

1.4 Strain Thiverval
Strain vaksin Thiverval diturunkan dari strain virus CSF Alfort yang virulen melalui lebih dari 170 bagian serial dalam sel pada 29-30 C. Vaksin ini dipatenkan di Prancis tahun 1971 dan telah menunjukkan stabilitas genetik dan tingkat keamanan yang tinggi bahkan ketika digunakan pada ternak babi yang mengalami imunosupresi. Selain itu, strain vaksin Thiverval tidak menunjukkan adanya potensi virulensi residual atau kembali menjadi virulen. Selama beberapa dekade dari bukti yang dikumpulkan vaksin strain Thiverval telah menunjukkan tingkat keampuhan dan keamanan yang baik, yaitu kemampuan untuk mencegah transmisi vertikal virus CSF ketika digunakan pada induk babi bunting sehingga tidak berpengaruh pada perkembangan kebuntingan atau pada janin yang baru lahir.

Vaksin jenis ini adalah yang direkomendasikan oleh OIE (WOAH), organisasi kesehatan hewan dunia. Kita nanti akan membahas lebih detail di artikel selanjutnya ya…

1.5  PAV-250
Strain PAV-250 diperoleh dari virus CSF strain A yang dilemahkan dalam 250 sekuensial melewati garis sel PK15. Vaksin ini telah berhasil digunakan untuk pengendalian dan pemberantasan CSF di Meksiko sejak 1979. PAV-250 telah diuji secara luas pada babi, memberikan perlindungan klinis dan antivirus, dengan respon imunologis dimulai antara 3-5 hari setelah vaksinasi dilakukan. Vaksin ini juga telah terbukti aman pada babi bunting, respons imunogenik kuat, menunjukkan stabilitas genetik yang tinggi, kurangnya transmisibilitas, dan kapasitas untuk melindungi terhadap strain virulen CSF yang berbeda. Vaksin PAV-250 juga tidak menunjukkan tanda-tanda kembali ke virulensi.

Jadi secara umum, vaksin hidup yang dilemahkan diatas memiliki beberapa keunggulan, termasuk dalam hal keamanan dan jangkauan perlindungan yang luas. Akan tetapi, kelemahan utama dari jenis vaksin ini adalah bahwa mereka tidak dapat dibedakan antara hewan yang terinfeksi dan di vaksinasi berdasarkan uji serologis.

2. Vaksin DIVA
Konsep vaksin penanda/marker muncul dari kebutuhan untuk membedakan hewan yang terinfeksi
dari mereka yang divaksinasi. Terkait dengan konsep DIVA yang dijelaskan di atas, masing-masing
vaksin penanda harus digabungkan dengan uji diskriminatif, yang harus dapat secara selektif menentukan kawanan yang divaksinasi, mana yang bebas atau tidak dari galur lapangan yang bersirkulasi.

Di selain tujuan utama munculnya jenis vaksin ini, mereka dianggap alat yang relevan dalam penyelidikan mendasar untuk mengungkap mekanisme yang terlibat dalam induksi dan kontrol respon imun.  Secara umum, pengembangan dan pembuatan vaksin penanda sejauh ini telah mencakup 4 strategi utama, yaitu vaksin subunit, vektor virus (vaksin dan replika chimera), peptida CSFV imunogenik, dan DNA vaksin.

2.1 MLV – modified live vaccine

Konstruksi genetik virus wabah chimeric telah terbukti menjadi strategi yang menjanjikan untuk menghasilkan MLV yang sangat efisien dengan sifat penanda. Vaksin penanda CP7_E2Alf adalah chimera virus yang dibangun dengan mengganti gen E2 BVDV dengan gen E2 dari Alfort/187 strain CSF. Vaksin CP7_E2alf ini secara efektif melindungi babi dari serangan virus CSF yang kuat, baik secara intramuskuler maupun oral, memberikan perlindungan lengkap untuk induk babi bunting dan anak babi, serta tahan terhadap galur lapangan dari genotipe 2.1 dan 2.3. Namun, karena hubungan antigenik yang dekat antara virus CSF dan virus BVD, antibodi reaktif silang dapat menyebabkan reaksi positif palsu dan kegagalan pengenalan DIVA.

Pada tahun 2017, Korea Selatan menyetujui vaksin DIVA lain, bernama FLC-LOM-BERns, virus wabah chimeric berdasarkan LOM strain.  Vaksin ini dibangun dengan mengganti bagian protein kapsid dan glikoprotein Erns full-length dari strain KD26 BVDV menggunakan LOM strain virus CSF. Induk babi di vaksin 3 minggu sebelum inseminasi dan ditantang selama kebuntingan, hasilnya vaksin dapat memberikan perlindungan menyeluruh bagi induk babi bunting dan mencegah penularan vertikal, asupan pakan dan pertambahan berat badan babi normal, usia panen lebih cepat dan produktivitas meningkat secara signifikan jika dibandingkan dengan vaksin LOM yang dilemahkan biasa. Selain itu, hewan yang kebal dan terinfeksi dapat dibedakan dengan mendeteksi antibodi terhadap protein virus CSF dan virus BVD Erns.

Karena galur C tidak dapat membedakan infeksi dari inokulasi serologis, maka vaksin dengan prinsip DIVA dibuat dengan 3 strain mutan rHCLV-E2F117A, rHCLV-E2G119A, dan rHCLV-E2P122A yang menggantikan daerah pHCLV yang sesuai dengan 3 gen fusi yang mengandung mutasi asam amino tunggal 117F, 119G, atau 122P pada epitop pengenalan mAb HQ06. Oleh karena itu, hewan yang diimunisasi dengan strain C dapat dibedakan dengan mendeteksi antibodi terhadap epitop antibodi monoklonal mAb HQ06 yang diakui.

Studi menarik lainnya mengembangkan penanda antigenik ganda strain CSF yang dilemahkan, vaksin FlagT4v dengan menghapus epitop spesifik CSF yang sangat terkonservasi dan memasukkan epitop sintetis Flag®. Namun dalam prakteknya di lapangan, vaksin kembali ke virulensinya selama beberapa generasi ternak babi secara berturut-turut. Lalu para peneliti melakukan perbaikan dan membuat virus baru dengan stabilitas genetik yang lebih tinggi, FlagT4Gv yang akhirnya mampu memberikan perlindungan yang memadai terhadap serangan virus CSF pada 3-7 hari pasca vaksinasi.

2.2 Vektor vaksin  

Vektor virus efektif untuk mengekspresikan protein asing, yaitu dengan memasukkan gen antigen pelindung eksogen ke dalam genom virus untuk mendapatkan virus rekombinan, imunisasi pada ternak akan menginduksi respon imun pada organisme. Beberapa vektor vaksin masih dalam proses penelitian lebih lanjut, antara lain sbb :

Adenovirus rekombinan adalah sistem pengiriman dan ekspresi gen universal. Penelitian telah menunjukkan bahwa adenovirus adalah vektor yang baik untuk persiapan vaksin.  Vektor vaksin chimeric replika adenovirus / SFV (rAdV-SFV-E2) yang dikembangkan mampu menginduksi antibodi khusus untuk CSF dan memberikan kekebalan aseptik dan perlindungan lengkap terhadap serangan mematikan. Penelitian tentang vaksin ini menunjukkan bahwa (1) vaksin aman untuk tikus, kelinci, dan babi (2) memberikan perlindungan lengkap terhadap tantangan virus CSF yang mematikan (3) antibodi yang diturunkan dari induk tidak memiliki efek penghambatan terhadap keampuhan vaksin (4) vaksin tidak menginduksi kekebalan anti-vektor yang mengganggu (5) jika dikombinasikan dengan vaksin pseudorabies tidak saling mengganggu. Dari data eksperimen ini menunjukkan bahwa vaksin vektor chimeric rAdV-SFV-E2 adalah vaksin penanda CSF yang menjanjikan.

Rekombinan pseudorabies virus (PRV) digunakan sebagai vektor vaksin yang mengekspresikan gen asing dan dapat digunakan untuk mengembangkan vaksin polivalen melawan pseudorabies dan penyakit lainnya. Virus rekombinan rPRVTJ-delgE/gI/TK-E2 dapat digunakan untuk mengembangkan vaksin bivalen melawan virus CSF dan PRV. Kemudian, tim peneliti selanjutnya memverifikasi kemungkinan penyiapan vaksin trivalen, untuk kombinasi proteksi terhadap CSF, PRV dan Porcine Circovirus tipe 2.

Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa virus Porcine Reproductive and respiratory Syndrome (PRRS) juga dapat digunakan sebagai vektor vaksin. Hasilnya menunjukkan bahwa virus rekombinan rPRRSV-E2 dapat ditransmisikan secara stabil setidaknya 25 kali dalam sel MARC-145. Injeksi vaksin rPRRSV-E2 intramuskular dosis tunggal dapat melindungi anak babi dari tantangan mematikan yang sangat patogen dari virus HP-PRRS dan CSF. Durasi imun bertahan sampai 5 bulan dan antibodi induk (MDA) yang sudah ada sebelumnya tidak  mempengaruhi efek kekebalan dari vaksin rPRRSV-E2.

Virus cacar pada babi (Swine Pox Virus) memiliki kapasitas pengemasan yang kuat untuk DNA rekombinan dan bisa mengkodekan sejumlah besar protein rekombinan yang dapat menginduksi respon imun serta dapat digunakan untuk mengembangkan vaksin rekombinan. Ekspresi protein CSFV E2 dalam virus cacar babi memberikan imunogenisitas pada babi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rSPV-E2 dapat menginduksi respon imun humoral dan seluler serta melindungi babi dari viremia. Ini juga termasuk calon vaksin yang menjanjikan.

Recombinant Newcastle disease virus (rNDV) telah terbukti menjadi vektor yang mengekspresikan gen asing dari virus hewan.  Recombinant Newcastle disease virus (rNDV) dipakai untuk mengekspresikan protein E2 dan Erns dari CSF dalam kultur sel dan embrio ayam. Vaksin rNDV-E2 dan rNDV-Erns menginduksi antibodi pada babi dengan vaksinasi intranasal, dan uji ELISA berdasarkan protein E2 dan Erns yang diekspresikan oleh rNDV dapat digunakan untuk menyaring infeksi CSFV dan membedakan babi yang terinfeksi CSFV dari babi yang divaksinasi.

Dalam penelitian lain, potensi galur C sebagai vektor vaksin virus sedang dievaluasi. Antibodi terhadap CSFV dan PCV terdeteksi pada kelinci yang diinokulasi dengan rHCLV-uspCap dan rHCLV-pspCap. Sebaliknya, hanya antibodi CSFV yang terdeteksi pada kelinci yang divaksin dengan rHCLV-2ACap, dan tidak ada antibodi anti-Cap.

2.3 Vaksin Sub unit
Vaksin CSF strain C adalah vaksin hidup klasik, tetapi dengan meningkatnya kompleksitas lingkungan perkembangbiakan di Cina, cacat dan kekurangannya seperti kuantifikasi antigen yang sulit, gangguan serius antibodi pada induk, toleransi kekebalan, dan ketidakmampuan untuk membedakan diagnosis telah menjadi semakin terlihat. Rekayasa genetik subunit vaksin adalah solusi yang baik untuk masalah ini, dengan tingkat antibodi yang tinggi, identifikasi yang mudah, dan keseragaman antibodi yang baik, yang merupakan satu-satunya cara untuk memberantas virus CSF di masa depan.

Vaksin sub unit mengacu pada jenis vaksin baru di mana urutan asam nukleat dari antigen yang dilestarikan dari mikroorganisme patogen dikloning menjadi bakteri atau sel melalui rekayasa genetika. Protein antigen diekspresikan secara efisien dan digunakan dalam kombinasi dengan adjuvant vaksin. E2, protein struktural virus CSF, memiliki karakteristik antigenik yang baik dan terkait dengan menginduksi tubuh untuk menghasilkan antibodi, yang telah banyak digunakan untuk mengembangkan vaksin subunit, dan dapat mewujudkan strategi DIVA untuk antibodi Erns atau NS3.

Kesimpulan

Dalam beberapa tahun terakhir, karakteristik epidemi, gejala klinis, dan perubahan patologis CSF telah berubah secara bertahap, ditandai dengan morbiditas dan mortalitas yang rendah, infeksi resesif, infeksi campuran, dan epidemi regional sporadis. Perubahan ini sangat membatasi perkembangan industri babi di Cina dan membawa tantangan yang signifikan terhadap pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan CSF dan juga ASF, dimana gejala klinis yang muncul sangat mirip.

Untuk waktu yang lama, vaksinasi skala besar dari vaksin hidup yang dilemahkan secara efektif mengendalikan penyebaran CSF. Namun, karena kurangnya penanda serum yang cocok untuk vaksin hidup yang dilemahkan, sulit untuk membedakan antara hewan yang terinfeksi dan hewan yang divaksinasi, yang menimbulkan kesulitan untuk pemberantasan CSF.

Dalam beberapa tahun terakhir, berbagai lembaga penelitian ilmiah telah mencoba mengeksplorasi kemungkinan vaksin penanda CSF dan telah membuat kemajuan yang baik. Vaksin DIVA yang aman dan efisien dikombinasikan dengan teknik diagnostik yang akurat dan langkah-langkah biosafety diharapkan dapat mengendalikan dan memberantas CSF dengan lebih baik. Ketika virus CSF sudah terkendali dengan vaksin yang baik, maka fokus penanganan terhadap ASF diharapkan juga lebih baik.

Referensi :

  1. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC9026404/ The Development of Classical Swine Fever Marker Vaccine in Recent Years
  2. https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/34066376/ Early and Solid Protection Afforded by the Thiverval Vaccine Provides Novel Vaccination Alternatives Against Classical Swine Fever Virus
Perkembangan African Swine Fever Terkini

Perkembangan African Swine Fever Terkini

Sudah hampir 4 tahun peternakan babi di dunia mengalami cekaman penyakit African Swine Fever (ASF). Di Asia, saat ini situasinya juga masih belum membaik. Thailand dan Malaysia pada akhirnya juga mengalami masalah yang sama setelah mereka mampu bertahan sekian lamanya. Risiko utama penyebaran ASF adalah tindakan biosekuriti yang tidak memadai dan perilaku manusia. Mengingat relatif sulitnya mencapai kondisi ideal dalam pelaksanaan biosekuriti dan terutama kontrol perilaku manusia, maka kebutuhan vaksin yang aman dan efektif tampaknya menjadi tuntutan yang masuk akal untuk pencegahan dan pengendalian ASF.

Virus ASF menyebabkan penyakit hemoragik/perdarahan akut pada babi domestik dengan kematian mendekati 100% dan merupakan ancaman penyakit baru yang paling signifikan pada babi saat ini di dunia. Wabah ASF yang menghancurkan usaha peternakan babi dan epidemi yang berkelanjutan di Kaukasus region dan Rusia (2007 – sampai saat ini) juga menjadikan alasan pentingnya ancaman penyakit ini. Baca juga : Proses Eradikasi ASF di masa lalu

Tidak adanya vaksin ASF yang aman dan efektif sampai saat ini menjadikan proses  depopulasi/stamping out ternak menjadi pilihan terbaik dalam upaya pengendalian penyakit yang efektif sampai saat ini. Sejauh ini, perkembangan dalam penelitian vaksinasi terhadap ASF ini sangat dimungkinkan karena perlindungan terhadap infeksi dengan strain homolog virus ASF telah menunjukkan hasil yang jelas. Namun demikian, pengembangan vaksin ASF ini sedikit terhambat oleh adanya kesenjangan besar dalam pengetahuan tentang proses infeksi virus ASF dan mekanisme kekebalan itu sendiri, serta tingkat variasi strain ASF di alam serta identifikasi protein virus (antigen protektif) yang bertanggung jawab untuk menginduksi respon imun yang mampu menimbulkan kekebalan pada babi.

https://www.fao.org/ag/againfo/programmes/en/empres/ASF/situation_update.html

Melihat peta kasus ASF yang dikeluarkan oleh FAO terupdate (periode laporan 20 januari – 2 Februari 2022), kita bisa melihat bahwa kondisi Thailand saat ini cukup mengkhawatirkan. Philipina, Vietnam dan Malaysia juga masih mengalami masalah yang sama.

Bagaimana dengan Indonesia? Berdasarkan update FAO ini, sejak Kementerian Pertanian melaporkan wabah pertama di Sumatra Utara tahun 2019 sampai Desember 2021 lalu, data resmi kasus ASF terkonfirmasi terjadi di 10 dari 34 provinsi. Ditjen PKH (peternakan dan kesehatan hewan Deptan) terakhir juga mengkonfirmasi kejadian di 6 kabupaten dan 1 kota di Provinsi Kalimantan Barat. Berdasarkan info dari media, kita juga mendapatkan informasi bahwa babi itu berasal dari 2 desa di Kecamatan Awang, Kabupaten Barito Timur. Selain itu, Provinsi Kalimantan Tengah dinyatakan positif ASF serta ada dugaan kasus juga di Kalimantan Utara dan Kalimantan Timur. Media juga melaporkan bahwa bangkai babi hutan dinyatakan positif ASF di Kabupaten Agam, Provinsi Sumatera Barat, banyak babi mati di Kabupaten Tanggamus, Provinsi Lampung, ASF telah terdeteksi pada babi di Kepulauan Riau di Kota Batam serta di Kabupaten Bengkulu Utara, Provinsi Bengkulu.

Perkembangan vaksin ASF.

Sampai saat artikel ini dibagikan, tidak ada vaksin komersial berlisensi untuk penanggulangan kasus ASF di dunia. Namun demikian, para ahli mengatakan bahwa ada kemajuan yang baik dalam proses development vaksin ini. Paul Sundberg (Swine Health Information Center Executive Director) pernah menyatakan bahwa ada banyak pekerjaan yang harus dilakukan terkait proses pembuatan vaksin ASF ini.  Estimasi mungkin dalam waktu 3 tahun, para ahli akan mampu untuk mengamankan vaksin ASF yang aman dan efektif. Prototipe vaksin saat ini sedang diuji di lapangan sekarang.

Mengapa Vaksin ASF sangat sulit dikembangkan? Ini adalah pertanyaan yang mungkin sampai saat ini menjadi tanda tanya besar bagi para pelaku usaha peternakan babi di dunia. Dokter hewan Patrick Webb (acting chief veterinarian for the National Pork Board) menjelaskan bahwa, ASF ini ini adalah virus DNA yang besar. Pertama, para ahli harus mencari tahu protein mana yang harus dipilih yang akhirnya mampu memberikan kekebalan yang dibutuhkan. Selain waktu, dana yang besar juga diperlukan dalam penelitian ini.

Di Eropa, proyek pengembangan vaksin saat ini sudah memperoleh beberapa kandidat yang menjanjikan. USDA juga memiliki platform untuk melakukan uji coba lapangan dan ada beberapa kandidat lain yang sedang memasuki tahap penyelesaian pengembangan atau sedang dalam tahap evaluasi. Namun demikian, proses ini masih memerlukan waktu yang relatif panjang untuk memastikan efikasi dan keamanannya. Saat ini, biosekuriti masih menjadi strategi yang terbaik untuk mencegah virus ASF menghancurkan usaha peternakan babi kita. Baca juga : Biosekuriti di Era new Normal.

Berikut adalah perkembangan hasil penelitian terkait vaksin ASF saat ini yang telah dicapai dalam penelitian, yaitu peneliti USDA telah berhasil mengidentifikasi cell line  yang dapat digunakan untuk produksi vaksin ASF di masa depan. Pada penelitian sebelumnya, beberapa babi yang divaksinasi menjadi sensitif/peka dan menunjukkan reaksi alergi ketika mereka bersentuhan dengan virus lapangan, dan kemudian akan mati lebih cepat dibandingkan kelompok yang tidak divaksinasi. Oleh karena itu, saat ini kandidat vaksin ASF lebih  memanfaatkan teknologi pengeditan/manipulasi gen yang berfokus pada protein spesifik untuk dapat memberikan kekebalan. Para ahli berfokus pada mencari tahu dari mana membuat vaksin dari bagian virus DNA yang besar ini. Mereka sedang berusaha untuk mengembangan vaksin ASF yang aman dan efektif, yang mampu mengendalikan virus lapangan.

Pendekatan vaksin ASF yang saat ini dilakukan antara lain adalah live attenuated ASF vaccine (LAV : virus hidup yang dilemahkan), vaksin killed ASF dan vaksin sub unit ASF. Pendekatan menggunakan LAV mungkin memiliki keunggulan dibandingkan jenis vaksin lainnya, terutama vaksin yang sudah dimodifikasi dengan menghapus gen yang terkait virulensi. Vaksin ini kemungkinan akan digunakan dalam keadaan darurat dan bersyarat di area berbahaya/outbreak jika virus ASF tidak terkendali. Namun demikian, jika kita menggunakan kandidat modified LAV ini maka diperlukan evaluasi klinis yang komprehensif sebelum diaplikasikan di lapangan. Poin terpenting adalah cell line yang stabil untuk pembuatan vaksin, dan kemampuan uji untuk membedakan/differensiasi hewan yang terinfeksi dari hewan yang divaksinasi atau infeksi virus lapangan (strategi DIVA), serta perlindungan silang dari genotipe yang berbeda.

Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) mengembangkan kandidat vaksin eksperimental rekombinan, ASFV-G-ΔI177L. Mereka sudah menghapus gen I177L dari genom strain ASFV pandemi yang sangat ganas (Georgia), yang secara efektif melindungi babi dari virus induknya. Di sini, studi awal menunjukkan bahwa ASFV-G-ΔI177L mampu melindungi babi dari isolat virus ASF virulen yang saat ini beredar dan menyebabkan penyakit di Vietnam dengan tingkat proteksi/efikasi yang sama seperti yang dilaporkan terhadap galur Georgia. Studi perbandingan yang dilakukan dengan menggunakan sejumlah besar babi asal Eropa dan Vietnam menunjukkan bahwa dosis perlindungan minimum 102 HAD50 dari ASFV-G-ΔI177L sama-sama melindungi hewan dari kedua breed. Sejalan dengan hasil tersebut, timbulnya kekebalan pada breed hewan ini menunjukkan munculnya perlindungan pada kira-kira sepertiga hewan pada minggu kedua pasca vaksinasi, dengan perlindungan penuh dicapai pada minggu keempat pasca vaksinasi. Oleh karena itu, hasil yang disajikan di sini menunjukkan bahwa ASFV-G-ΔI177L mampu menginduksi perlindungan terhadap strain virus ASF Vietnam yang virulen dan efektif dalam melindungi breed babi lokal secara efisien yang ditunjukkan sebelumnya untuk babi ras Eropa. Ini adalah laporan pertama yang menunjukkan kemanjuran kandidat vaksin berbasis Georgia 2007 pada babi ras Asia atau ditantang dengan strain virus ASF Asia.

Jadi, perlu digaris bawahi lagi bahwasanya sampai saat ini BELUM ADA vaksin ASF yang terbukti aman dan efektif di lapangan. Ada beberapa kemajuan dalam proses penelitian dan uji coba kandidat vaksin ASF, namun semua masih memerlukan penyempurnaan untuk bisa dikomersialkan. Oleh karena itu, pendekatan biosekuriti untuk area yang masih aman dan stamping out/depopulasi untuk area outbreak ASF masih menjadi pilihan yang paling ideal agar penyebaran virus ASF tidak semakin liar. Kandang yang berada di area komplek peternakan babi tentunya memiliki tingkat resiko yang lebih tinggi dibandingkan lokasi kadang yang soliter, karena pada umumnya masing-masing peternak memiliki pola managemen pemeliharaan dan level biosekuriti yang tidak seragam. Oleh karena itu, tetap waspada dan pastikan kita memperbaiki menajemen pemeliharaan kita serta up grade level biosekuriti di kandang. Jika kita berada dalam area komplek peternakan babi, idealnya dilakukan kesepakatan bersama terkait biosekuriti wilayah sehingga meminimalkan resiko serangan ASF.  Baca juga : Proses repopulasi pasca outbreak ASF

Demikian sekilas update mengenai perkembangan kasus ASF dan juga penelitian vaksin yang sudah dilakukan. Semoga bermanfaat!

Referensi :

  1. https://www.fao.org/ag/againfo/programmes/en/empres/ASF/situation_update.html
  2. https://idpjournal.biomedcentral.com/articles/10.1186/s40249-021-00920-6 Current efforts towards safe and effective live attenuated vaccines against African swine fever: challenges and prospects
  3. https://onlinelibrary.wiley.com/doi/abs/10.1111/tbed.14329 African swine fever virus vaccine candidate ASFV-G-ΔI177L efficiently protects European and native pig breeds against circulating Vietnamese field strain
  4. https://pdf.sciencedirectassets.com/271229/1-s2.0-S0378113517X00084/1-s2.0-S0378113516304539/D_L_Rock_African_swine_fever_2016.pdf?X-Amz-Security-Token=IQoJb3JpZ2luX2VjEDEaCXVzLWVhc3QtMSJIMEYCIQC%2Fo%2FyPV7vGJifO6mXfDlymxNqlaLsZb7f5D68t1zUz%2FwIhAPZlRZoDQhdBrMKFP7dOJeO1oQUQI4h0vqwRQwQhVsvSKvoDCHoQBBoMMDU5MDAzNTQ2ODY1IgxiPYSH78XfyXno5F8q1wPn7%2F1DtvIXZ4WUMS62IFjmwKwXqdXBnc6vMwWxJMrWfpe7nrGzUG3W%2BbAEzw3F78redvghvQlBE944E6aFO9HWBWmn%2F6s4ZIE%2BodyNlS2Uz5Tqqc2aITr7OlK3jI0DAxH0dL0ZTzJ%2BquqBzNcMPJW7fclKT47rroeVOeM63AZB7WFsAxf45bEL5LwQpmuJBiw2aS0tAL1HDTr3hx3L3VklRLpZs%2FcunaZHkk9xAm5Pcdhna%2FpAnXdS%2BWSMm99xNfuq0%2FvDG3MwtCxXj2h%2BTkuqcWsJmMq%2FjWBELa4vo5XTFPzD31ED%2FInzYZv%2BTi1AER%2BLSpbGzMLnfEAomdtNR2w3inSce%2Fj%2F5aufVMoQ5cXOYDq8qGT2oSr0HXtc1stAiciXee%2Bk48EcrX1SaHAJHPMrGoSjluqQUTQCJPH7zNnm8f4XECF9ul%2BZbX%2B8r8QmSC5PFBGfPoMObA%2BfwvIqd%2F2OLNqIkdo10DyEO0VxPMvRqAHEy4bt5p%2BsPkMCG1Yphp5yu3E%2Bjz%2BxOBYg61IzgUdXeuVMWrR1CQPVS3pJigr4ZqMjOM%2B9K6mMSRwRjDO2xjm6Ou2VMnI3TuhYehVxFkZtibyUugF9CyE5d8Ks5NdgyJpAlGeHfnEwpeGkkAY6pAEhRHEIHH%2BhfNpvBk0Tn8WQHKLwLr6IfR3bpUtRyX%2FczOsXMZOVbcijgei6byu8AqBlwqPr0uyc3lUhkAVHpRFAKes40rnlrbRoHwm4Upa7JhKzO1jfc2OA7sX0RFDnfSc3yyy0EgVIuIT7Gq4WZqFZ%2BoEKyl%2FeR5MnJ7M78ZDD1CNwsT%2FllatKrQKRKB9WucPqieyP94dWZ1dJxVYgsu39O4gbTQ%3D%3D&X-Amz-Algorithm=AWS4-HMAC-SHA256&X-Amz-Date=20220213T172918Z&X-Amz-SignedHeaders=host&X-Amz-Expires=300&X-Amz-Credential=ASIAQ3PHCVTY76ISKG4U%2F20220213%2Fus-east-1%2Fs3%2Faws4_request&X-Amz-Signature=ec88ad4981ff707268fd880edcb8d9832ca45c41cf234bce24da9e574867976d&hash=0a0ce68e65fdf25fbf0f2856a4b9c8e03578fcf553ce06dff09504eb8dd68c74&host=68042c943591013ac2b2430a89b270f6af2c76d8dfd086a07176afe7c76c2c61&pii=S0378113516304539&tid=pdf-eec5265b-6e9a-498f-86ed-ee04acff67da&sid=d7b69fc29ede624c946909f0433246f45279gxrqb&type=client
  5. https://www.porkbusiness.com/news/industry/asf-vaccines-waiting-game-almost-over
  6. https://www.pigprogress.net/health-nutrition/asf-vietnam-experimental-vaccine-proves-efficacy/
  7. https://www.foodsafetynews.com/2021/10/vaccine-finally-offers-pork-producers-a-defense-against-african-swine-fever-virus/
  8. https://www.ars.usda.gov/news-events/news/research-news/2021/usdas-vaccine-candidate-successful-in-blocking-spread-of-african-swine-fever-virus/
  9. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC8704102/Prevention and Control Strategies of African Swine Fever and Progress on Pig Farm Repopulation in China
Perkembangan Vaksin ASF

Perkembangan Vaksin ASF

Kasus African Swine Fever (ASF) di Asia sudah berjalan hampir 3 tahun ini sejak pertama kali ditemukan di China Agustus 2018 lalu. Namun demikian, tanda-tanda perkembangan penelitian vaksin sepertinya masih belum sesuai harapan dan peternak dibuat galau menunggu. Kenyataan bahwa ASF sudah ditemukan sejak tahun 1910 di Kenya Afrika tidak serta merta membuatnya menjadi prioritas utama dalam pengembangan vaksin. Negara-negara di Eropa lebih mengutamakan biosekuriti dalam upaya penaanggulangan ASF selama ini, sedangkan negara-negara di Asia harus berjuang ekstra keras untuk melawan ganasnya serangan virus ASF, termasuk negara kita. Perbedaan sistem pemeliharaan di Asia yang didominasi backyard farm membuat ASF seperti dengan mudahnya menyerang karena lemahnya biosekuriti dan juga kondisi peternakan yang umumnya saling berdekatan dalam suatu kompleks. Berikut adalah laporan update laporan perkembangan penyebaran kasus ASF periode 1-15 april 2021 :

Lalu apa sebenarnya yang membuat vaksin ASF belum ada sampai saat ini? Mari kita coba belajar bersama mengenai hal ini.

Epidemiologi. Periode panjang kejadian ASF di Afrika kemungkinan telah menyebabkan terjadinya variasi virus dengan berbagai tingkat virulensi / keganasan. Ada 23 Genotipe virus ASF yang berbeda telah berhasil di identifikasi oleh para ahli dengan area geografis yang berbeda dalam waktu yang lama di Afrika. Babi Hutan / liar di Afrika yang sudah terinfeksi ASF dalam jangka panjang akhirnya sudah “kebal” dengan virus ini. Babi ini walaupun terpapar oleh virus ASF tidak menunjukkan gejala klinis (subklinis dan asimptomatik).

ASF hanya mempengaruhi spesies dalam family suidae, baik babi liar maupun domestik dari semua ras dan usia. Saat ASF pertama masuk ke Eropa tahu 1950an, babi hutan / liarnya (Sus scrofa) dan babi domestiknya yang masih FREE ASF akhirnya mengalami wabah seperti yang dialami Asia saat ini. Babi hutan / liar di Eropa saat itu masih sangat rentan terhadap virus ASF dan menunjukkan gejala klinis yang sama dan mematikan seperti kejadian pada babi domestik. Saat itu, banyak negara di Eropa menerapkan startegi biosekuriti ketat dan depopulasi total untuk peternakan domestik yang terdampak ASF. Hal ini tentunya bertujuan untuk eliminasi virus ASF di lapangan dan menghindari adanya babi carrier yang berpotensi sebagai sumber penularan. Opsi penggunaan vaksin sempat dilakukan di Spanyol tetapi berakibat sulitnya eliminasi virus ASF tersebut. Karena penggunaan vaksin yang belum teruji keamanan dan keampuhannya ini, maka penyebaran virus menjadi sulit dikendalikan dan memerlukan waktu 30 tahun untuk proses eliminasinya. Oleh karena itu, penerapan strategi deteksi dini, depopulasi dan biosekuriti ketat menjadi pilihan negara-negara Eropa dan terbukti berhasil mengendalikan penyebaran ASF di peternakan domestik dalam jangka waktu yang cukup lama. Baca juga : Pengendalian Penyakit ASF di Masa Lalu.

Tahun 2007 ASF kembali muncul di Eropa (Georgia) dan dari tahun ke tahun ternyata kejadian ASF semakin meluas. Mengingat situasi yang semakin berbahaya ini, maka tahun 2017 diputuskanlah untuk memulai proyek pengembangan vaksin ASF oleh European Commission (Kesehatan dan keamanan pangan) dengan target 8-10 tahun. Artinya proses penemuan vaksin yang aman dan ampuh ini ditargetkan terwujud paling cepat pada tahun 2025. Penelitian ini melibatkan beberapa ahli dan laboratorium di seluruh dunia sebagai upaya untuk mendapatkan vaksin ASF yang aman dan ampuh. Semoga berhasil ya, karena kita sudah beberapa kali mendengar adanya informasi progress pengembangan vaksin yang baik dalam 2 tahun terakhir.

Terkait kejadian di peternakan babi domestik, ini umumnya terjadi pada kandang yang masih menerapkan sistem free range. Sistem ini tentunya lebih rentan dengan kontak langsung dengan babi hutan / liar yang kemungkinan besar sudah positif ASF. Jadi skenario epidemiologi yang terjadi di Eropa ini terjadi kemungkinan karena tidak adanya upaya pengendalian dan kontrol ASF terhadap babi hutan / liar. Penyebaran virus diantara babi hutan / liar sulit terdeteksi, sehingga terjadi peningkatan jumlah hewan pembawa yang menjadi reservoar / sumber penularan diantara populasi tersebut. Berikut adalah gambaran epidemiologi / perkembangan kasus ASF di Eropa yang memperlihatkan peningkatan kasus ASF dari tahun ke tahun.

Mutasi virus ASF di China. Dari update penelitian terbaru, dilaporkan bahwa pengawasan terhadap virus ASF di 7 propinsi Cina, dari periode Juni – Desember 2020 ditemukan ada sebanyak 22 virus ASF jenis baru. Semua virus ASF yang berhasil diisolasi ini dicirikan dan termasuk dalam genotipe II, tetapi menunjukkan gambaran mutasi, penghapusan, penyisipan, atau penggantian fragmen pendek yang terjadi di semua isolat. Hal ini berbeda dengan virus ASF yang berhasil diisolasi pada awal kejadian di Cina, yaitu Pig/HLJ/2018 (HLJ/18).

Proses panjang dan tantangan infeksi yang terus-menerus, mengakibatkan ternak babi bertindak sebagai reservoir virus dan menyebabkan infeksi terus-menerus selama hidupnya. Hal ini bisa terjadi dalam kondisi outbreak yang meninggalkan populasi yang selamat sebagai hewan carrier ataupun penggunaan vaksin yang belum terbukti keamanan dan keampuhannya. Inilah gambaran yang juga terjadi di Cina, dimana penelitian juga berhasil mengidentifikasi virus ASF yang kehilangan 2 gennya (double gen deleted). Proses ini tentunya bukan merupakan mutasi alamiah yang dimungkinkan terjadi pada virus, melainkan ini diyakini merupakan hasil intervensi manusia. Ada oknum yang berusaha memproduksi vaksin dengan memanipulasi gen virus ASF tetapi proses pembuatannya tidak sempurna sehingga mengakibatkan virus yang disuntikkan tersebut akhirnya “terlepas” ke lingkungan dan menjadi strain baru yang menyulitkan dalam monitoring dan pengendaliannya.

Temuan virus vaksin ilegal ini kemudian diteliti lebih jauh terkait dampaknya di peternakan. Vaksin double gene deleted ini menimbulkan efek samping berupa gejala yang mirip dengan penyakit PRRS (Porcine Reproductive and Respiratory Syndrome). Gangguan yang ditimbulkan pada breeding meliputi stillbirth, mumifikasi, embryonic death, infertilitas dan aborsi, serta terkadang juga berakhir dengan kematian (walaupun sedikit). Untuk kejadian di anakan babi umumnya lahir lemah dan yang bisa bertahan sampai periode grower dan finisher akan mengeluarkan virus terus-menerus dan sehingga menjadi sumber penularan yang berbahaya. Peternak akhirnya juga mengalami kesulitan membedakan antara kasus PRRS dengan PRRS like karena vaksin ilegal ini. Bentuk kronis ini bisa mengganggu sistem kekebalan tubuh ternak. Lesi yang terlihat umumnya berupa infark dan juga perubahan pada limpoglandula dan ginjal, sedangkan secara mikroskopis akan terlihat kerusakan jaringan dan perdarahan pada berbagai organ.

Penggunaan ilegal vaksin secara umum memang bisa memunculkan antibodi untuk melawan ASF setelah 2-3 minggu pelaksanaan vaksinasi, tetapi ini ternyata terjadi hanya pada sebagian ternak babi saja. Kondisi outbreak ASF bisa meninggalkan 5-20% ternak yang selamat. Namun, selain terbentuknya antibodi dalam tubuh survival tadi ternyata didalam tubuh ternak tersebut juga ditemukan adanya virus ASF (wild type). Kondisi ini bisa terjadi dalam beberapa minggu bahkan beberapa bulan setelah paparan virus ASF. Selain ditemukan didalam darah, wild type virus ini juga bisa terdeteksi di jaringan.

Mekanisme sistem kekebalan yang belum sepenuhnya dipahami ini juga menjadi alasan mengapa vaksin ASF yang aman dan ampuh sampai saat ini belum bisa ditemukan. Harbin veterinary research juga sedang melakukan penelitian terkait vaksin attenuated dengan memotong 7 gen dari virus ASF, namun mereka tidak mau terburu-buru untuk melakukan produksi masal untuk komersial sebelum berhasil lolos uji keamanan yang diwajibkan oleh otoritas yang berwenang.

Februari lalu, Navetco National Veterinary JSC yang berada dibawah Departemen Pertanian Vietnam, juga mengumumkan hasil yang menggembirakan berkenaan dengan keberhasilan uji coba vaksin ASF mereka. Penelitian yang bekerja sama dengan USDA (Departemen Pertanian Amerika Serikat) ini mencatatkan 5x trial dengan tingkat proteksi 94,7%. Namun demikian, mereka menyatakan bahwa masih ada tantangan untuk memproduksi vaksin ini dalam skala besar. Selain terkait biaya produksi, memastikan kualitas produk yang konsisten dengan menjaga kemurnian untuk menghindari efek samping juga menjadi perhatian besar. Jadi, sekali lagi masalah safety / keamanan masih menjadi issue yang harus diselesaikan sebelum melangkah ke tahapan pengembangan vaksin selanjutnya.

ASF Alert. Setelah adanya publikasi bahwa ada mutasi virus ASF di China, maka FAO dan OIE mengeluarkan surat tentang adanya “atypical ASF Strain” ini pada tanggal 29 Maret 2021 untuk meningkatkan kewaspadaan para pelaku usaha peternakan babi, terutama terhadap bahaya penggunaan vaksin ilegal ini. Dengan tegas mereka menyatakan bahwa :

  1. BELUM ADA satupun vaksin ASF yang direstui di dunia ini, yang bisa membuktikan dengan kelengkapan bukti data safety dan efficacy. Jadi, jika dilapangan anda menemukan adanya vaksin ASF dalam bentuk apapun yang ditawarkan, maka itu adalah vaksin palsu ataupun vaksin yang berisi virus ASF yang tidak stabil / proses pelemahannya tidak sempurna yang beresiko mencemari lingkungan dan berpotesi menjadi sumber penyebaran virus ASF.
  2. BIOSEKURITI tetap menjadi strategi pengendalian dan kontrol ASF yang terbukti efektif. Kombinasi antara upaya deteksi dini dan respon cepat menjadi kunci dalam mencegah penyebaran virus ASF. Pengawasan ketat di perbatasan harus dimaksimalkan, sedangkan pengawasan lalu lintas pergerakan babi hutan / liar masih memerlukan usaha yang ekstra.
  3. Penggunaan vaksin yang belum teruji keefektifan dan keamanannya akan menimbulkan dampak besar bagi industri peternakan babi dan berpotensi mengganggu usaha pengendalian dan kontrol ASF di level negara dan internasional. Vaksin ASF yang saat ini beredar tidak akan mampu melindungi ternak babi secara penuh dan beresiko menjadi sumber penularan kepada peternakan lainnya. Efek buruk penggunaan vaksin ilegal ini bisa teramati di fase penggemukan dan breeding. Selain itu, angka kejadian kasus ASF bentuk kronis juga akan meningkat sehingga semakin menyulitkan dalam mengidentifikasi dan mengeliminasi virus ini. Jika ternyata proses pembuatan vaksin tidak benar maka juga akan berpotensi terjadinya kontaminasi patogen lain yang akan meningkatkan resiko penularan penyakit yang lain.
  4. Penggunaan vaksin ilegal ini akan meningkatkan resiko dalam jangka panjang. Semua vaksin harus melewati tahapan uji yang ketat untuk memastikan keamanan dan keampuhannya, serta harus melalui persetujuan dari pihak-pihak yang berwenang sebelum kemudian menjadi produk final yang berbukti klinis aman dan ampuh. Jika vaksin yang dibuat ini merupakan virus hidup yang dilemahkan (attenuated) tetapi tidak melewati uji keamanan dan keampuhan maka bisa mengakibatkan terulangnya sejarah kelam di Spanyol dan Portugal pada tahun 1960an, dimana vaksin ilegal akhirnya membuat proses eradikasi memakan waktu sekitar 30 tahun.
  5. Temuan ASF “jenis baru” ini entah karena penggunaan ilegal vaksin ataupun mutasi alami akan mengakibatkan kajian epidemiologi menjadi semakin sulit. Jika gejala klinis berubah menjadi bentuk kronis atau tanpa gejala maka tindakan deteksi dini, surveilence dan upaya pencegahan menjadi terlambat.

Terlampir adalah surat resmi berkenaan dengan ditemukannya mutasi virus ASF :

Nah, bagaimana…apakah kita sudah memiliki sudut pandang yang positif dari perkembangan vaksin ASF saat ini. Vaksin yang aman dan ampuh pasti akan ditemukan, namun kita memang harus lebih bersabar dan tetap menunggu dengan sikap optimis. Proses penelitian dan uji-uji klinis masih terus berjalan dan memerlukan waktu untuk memastikan industri ini mendapatkan vaksin yang aman dan ampuh tanpa efek samping yang membahayakan. Jangan tergoda untuk mencoba menggunakan vaksin ilegal demi kelangsungan industri babi yang berkelanjutan. Pastikan kita meningkatkan kemampuan deteksi dini dan juga meningkatkan fasilitas kandang terutama menyangkut biosekuriti, karena hanya dengan cara inilah kita bisa mengupayakan pengendalian dan kontrol ASF dengan cara yang baik. Baca juga : Pentingnya Biosekuriti pada Peternakan Babi. dan Bioosekuriti di Era New Normal.

Sukses selalu.

Referensi :

  1. Events detail (gf-tads.org)
  2. African_swine_fever_virus_virion_TEM.jpg (625×625) (wikimedia.org)
  3. Emergence and prevalence of naturally occurring lower virulent African swine fever viruses in domestic pigs in China in 2020 (sciengine.com)
  4. PigProgress – ASFv mutation in China: What does it mean on-farm?
  5. PigProgress – ASF China: Mutations confirmed by Chinese scientists
  6. ASF vaccine on track for unveiling (vir.com.vn)
  7. African Swine Fever – Generalized Conditions – Merck Veterinary Manual (merckvetmanual.com)
  8. African swine fever: OIE – World Organisation for Animal Health
  9. cff_animal_vet-progs_asf_blue-print-road-map.pdf (europa.eu)
Bagaimana Menjalankan Usaha Peternakan Babi yang Menguntungkan ?

Bagaimana Menjalankan Usaha Peternakan Babi yang Menguntungkan ?

Pada artikel kali ini, kita akan belajar bersama mengenai aspek-aspek penting dalam kita menjalankan usaha peternakan babi. Dalam kacamata bisnis, baik itu peternakan dalam skala kecil – besar, tentunya orientasi yang dituju adalah keuntungan. Bagaimana kita mempersiapkan sarana prasarana dan strategi / managemen pemeliharaan tentunya tidak boleh asal-asalan agar hasil yang didapatkan juga tidak asal-asalan. Banyak faktor yang sebenarnya menentukan keberhasilan usaha ini, antara lain pemilihan bibit/genetik, lokasi, kondisi lingkungan, nutrisi, recording/data performance, manajemen, fasilitas, biosekuriti, dan disease control. Dari 9 aspek diatas yang paling berkaitan langsung dengan resiko usaha ternak selama ini pastinya kita setuju jika masalah penyakit adalah yang terutama, sehingga faktor manajemen, biosecuriti dan program pengendalian penyakit menjadi krusial, selain juga faktor kualitas pakan. Namun demikian, walaupun hampir semua peternak sadar dan tahu kalo penyakit adalah faktor resiko yang mengancam kelangsungan usaha, pada kenyataannya banyak peternak yang mengabaikan/tidak mempunyai strategi pengendalian penyakit di kandang mereka, dalam hal ini program medikasi/vaksinasi. Ironis bukan, menjalankan usaha ternak dengan tujuan memperoleh penghasilan tetapi tanpa didukung dengan praktek manajemen, biosekuriti dan vaksinasi yang baik. Kondisi diatas mungkin menggambarkan kondisi peternakan skala kecil dimana keterbatasan finansial dan akses pengetahuan tentang beternak yang sangat kurang, sehingga kelompok inilah yang dianggap mempunyai faktor resiko tertinggi. Kasus African Swine Fever (ASF) menjadi contoh yang paling nyata saat ini. Semua tahu jika ASF belum ada vaksinnya, oleh karena itu sudah sewajarnya program pengendalian penyakit tidak bisa mengandalkan vaksinasi tetapi memaksimalkan manajemen dan biosekuriti yang baik, termasuk didalamnya menghidari pemberian pakan sisa rumah makan, airport, pelabuhan dll tanpa dimasak terlebih dahulu.

Selain itu, ada juga peternak yang sebenarnya punya kekuatan finansial bagus tetapi mengabaikan faktor resiko terjadinya penyakit karena sejarah masa lalu tidak pernah terjadi kasus yang parah. Sikap peternak ini akan menjadi berbahaya jika berada dalam sebuah area komplek peternakan karena kandangnya akan menjadi sumber penularan terhadap kandang-kandang lain disekitarnya jika sampai terjadi outbreak penyakit. Kembali saya mencontohkan kasus ASF ini. Ada lho peternak yang masih menganggap ASF itu HOAX, berita yang dibesar-besarkan untuk menakuti peternak. Kalo hal ini terjadi dan dia melakukan usaha beternaknya tanpa menerapkan manajemen dan biosekuriti yang bagus, maka potensi virus ASF masuk ke area komplek itu menjadi tinggi. Faktor resiko terbesar adalah dari transportasi, lalu lintas orang dan kendaraan pengangkut babi, pakan dll yang mungkin keluar masuk tanpa perlakuan desinfeksi. Jadi ketika kita beternak pada area komplek, artinya kita seharusnya tahu aspek lokasi ini menjadi tantangan tersendiri dalam usaha peternakan kita. Idealnya semua peternak yang berada dalam satu lokasi ini duduk bersama dan menyamakan persepsi mereka dalam menjalankan usaha, minimal dalam hal ini meningkatkan kesadaran dalam menjalankan praktek manajemen, biosekuriti dan vaksinasi yang baik dalam upaya pengendalian penyakit. Sulit dong…jelas!! Apakah semua itu menjamin penyakit tidak datang?…TIdak juga !!! Tetapi hal ini harus dilakukan sebagai upaya untuk meminimalkan resiko. Penyakit memang yang paling beresiko mencuri keuntungan usaha peternakan kita sehingga program pengendalian/kontrol penyakit biasanya menjadi fokus utama dari para peternak. Namun demikian, sekali lagi jangan lupakan ya faktor / aspek yang lainnya agar usaha peternakan kita benar-benar mendapatkan keuntungan yang optimal…

Terkait penyakit, apa saja sih yang sudah berhasil diidentifikasi di peternakan babi Indonesia? Gangguan pernafasan, pencernaan dan reproduksi adalah yang paling umum bisa kita amati dilapangan. Classical Swine Fever/Hog Cholera, Mycoplasma sp., Porcine Reproductive and Respiratory Syndrome (PRRS), Porcine Circovirus type 2 (PCV2), Haemophilus parasuis, Eschericia coli dan penyakit lainnya dilapangan sudah berhasil diidentifikasi. Jika kita melihat di peternakan babi di Amerika, penyakit yang masih dominan mengganggu adalah PRRS, Pseudorabies dan Porcine Epidemic Diarrhea (PED), sedangkan ASF mereka masih aman, serta CSF dan Foot and Mouth Disease (FMD) sudah berhasil dieradikasi. Biosekuriti menjadi point penting dalam program pengendalian penyakit ini. Baca juga : Apa itu Porcine Respiratory Disease Complex ?

Strategi pencegahan penyakit babi harus menjadi praktik yang umum bagi semua peternak babi. Untuk menjadi peternak sukses, menjaga kesehatan hewan adalah suatu keharusan karena akan membantu meminimalkan timbulnya penyakit. Kejadian penyakit di peternakan dapat berdampak besar bagi ternak, peternakan, dan manusia itu sendiri. Sekali lagi aspek managemen, biosekuriti dan vaksinasi menjadi sangat penting. Biosekuriti adalah tindakan pencegahan yang dirancang untuk menghentikan masuknya atau penyebaran penyakit ke dalam peternakan, termasuk babi. Biosekuriti ini biasanya mencakup praktek manajemen yang baik, pengamatan/monitoring yang cermat, program karantina, pakan yang baik, sanitasi dan desinfeksi serta menyediakan lingkungan yang bersih dan sehat untuk hewan. Baca juga : Pentingnya Biosekuriti pada Peternakan Babi

Jika kita berencana untuk memulai usaha beternak babi, pastikan bahwa kita membeli bibit babi dari sumber yang memiliki reputasi baik dan bersertifikat. Memilih babi yang sehat adalah cara terbaik untuk menghindari penyakit babi. Pengamatan yang jeli adalah kunci untuk melihat ada tidaknya tanda-tanda yang tidak normal atau babi yang berpotensi sakit. Selanjutnya, kita harus melakukan proses karantina terhadap babi yang baru kita beli tadi untuk memastikan status kesehatannya. Jika kita ingin menambah populasi, jangan pernah memasukkan babi baru ke dalam kawanan secara langsung sebelum kita memastikan status kesehatannya di masa karantina. Selama proses aklimatisasi/karantina ini, pastikan ternak diuji terhadap status penyakit tertentu (sesuai tantangan penyakit yang ada) sebelum mereka dicampur dengan populasi babi yang lain. Pengendalian parasit dan vaksinasi merupakan bagian utama dalam pengendalian penyakit, sehingga biasanya peternak juga melakukan vaksinasi dimasa karantina ini sehingga babi mempunyai kekebalan yang dipersiapkan untuk melawan patogen penyebab penyakit. Nutrisi yang baik merupakan faktor penting untuk menjaga kesehatan kawanan, jadi pastikan kita memberikan pakan dengan kualitas bagus agar performa bisa maksimal. Jika kita terpaksa masih penggunaan pakan dari sisa-sisa/limbah rumah makan, airport, pelabuhan dan lain-lain maka sangat disarankan untuk dimasak terlebih dahulu untuk menghindari resiko penyakit, terutama ASF yang saat ini masih merebak. Hal lain yang tidak kalah penting adalah rekording. Pencatatan yang baik akan membantu peternak dalam mengevaluasi performa farm, baik itu reproduksi ataupun status kesehatan pada anakan. Selain itu, peternak juga bisa melakukan evalusi terhadap perlakuan yang dilakukan dikandang, seperti saat mencoba formulasi pakan yang baru, program vaksinasi yang baru, dan perubahan manajemen yang mungkin kita lakukan di dalam kandang. Dengan adanya rekording ini akan memudahkan dalam menjalankan usaha peternakan kita.

Jadi jika kita ingin menjadi peternak yang berhasil, maka diperlukan langkah-langkah dan strategi yang terbaik sesuai dengan tantangan yang ada dilapangan. Pastikan kita menguasai dan mengerti kondisi peternakan kita terutama tantangan penyakit yang ada, kemudian kita mempersiapkan strategi manajemen, biosekuriti dan program vaksinasi yang disesuaikan dengan kondisi lapangan kita untuk menurunkan risiko patogen masuk atau menyebar di peternakan babi. Babi yang sehat menghasilkan daging babi yang aman. Pencegahan jauh lebih menguntungkan daripada pengobatan!!

Referensi :

  1. https://osbornelivestockequipment.com/news/swine-disease-prevention-strategies/
  2. https://www.preventionworks.info/en/swine-diseases
  3. https://www.pork.org/production/animal-disease/
  4. https://rr-asia.oie.int/wp-content/uploads/2020/05/webinar2_biosecurity-small-farms_k-jazdzewski_14may2019.pdf

Proses Repopulasi Pasca Outbreak African Swine Fever (ASF)

Proses Repopulasi Pasca Outbreak African Swine Fever (ASF)

Kasus ASF di dunia menjadi tantangan luar biasa bagi peternakan babi beberapa tahun terakhir ini. Populasi babi yang terkoreksi cukup dalam ini mengakibatkan suplai dan demand terhadap daging babi tidak seimbang dan mengakibatkan fluktuasi harga yang luar biasa. Cara menyikapi kejadian inipun berbeda-beda diantara para pelaku usaha. Di China, beberapa pengusaha melihat ini mungkin sebagai “peluang” karena kebutuhan daging babi dimasa akan datang pastinya akan sangat kurang dan siapa yang bisa suplai tentunya yang akan memetik hasilnya. Lalu strategi apa yang mereka lakukan untuk menghadapi ASF yang belum ada vaksinnya ini? Berikut adalah resume dari langkah-langkah / point penting terkait proses repopulasi yang dilakukan dan mungkin bisa kita modifikasi dan sesuaikan dengan kondisi di Indonesia :

  1. Kecepatan adalah kunci – deteksi dini, tindakan cepat dan penanganan sumber infeksi sangat penting untuk menghindari penyebaran virus lebih lanjut dalam sistem produksi. Monitoring pergerakan babi pada daerah terdampak juga harus diperketat, dan perlakuan karantina plus pengujian berkala harus dilakukan dengan disiplin dan konsisten. Baca juga : African Swine fever
  2. Desinfeksi terhadap truk pengangkut babi – proses pembersihan, desinfeksi dan pengeringan
  3. Membuat perimeter – zone untuk menahan penyebaran virus secara sistematis : ‘zona wabah’ radius 1 km, ‘zona kontrol’ radius 3-5 km, dan ‘zona pengawasan’ radius >10 km (tergantung Geografis dan kepadatan babi)
  4. Larangan di zona kontrol – batasi akses orang luar yang tidak berkepentingan, dilarang menjual/pindahkan babi ke luar zona, dilarang menyembelih babi, menjual bangkai dan produk sampingannya, pengawasan lalu lintas pakan/bahan baku dan transportasi
  5. Perlakuaan penting di zona kontrol – menempatkan titik pemeriksaan dan desinfeksi di pintu keluar masuk lokasi terdampak dan zona kontrol, desinfeksi kendaraan yang keluar dari zona kontrol, ganti pakaian dan sepatu di pos pemeriksaan sebelum memasuki zona kontrol, dan singkirkan hewan liar.
  6. Perlakuan penting di zona wabah – bersihkan semua babi dan produknya dengan seminimal mungkin kontaminasi darah (virus ASF ditemukan dalam jumlah tinggi di dalam darah); bakar/kuburkan babi mati, produk babi, fomites dan semua yang terkontaminasi sedalam 4m, lalu tutup lobang dengan kotoran dan kapur, serta desinfektan agar tidak mengundang hewan liar; proses ini sebisa mungkin dimulai dari lokasi yang paling parah untuk meminimalkan resiko penyebaran/kontaminasi; staf yang terlibat harus menerapkan protokol yang ketat (mandi, ganti baju dan alas kaki dll); lakukan pengendalian vektor
  7. Langkah desinfeksi yang tepat – virus ASF adalah virus ‘DNA enveloped’ yang kompleks dan tahan terhadap lingkungan. Agar disinfektan sepenuhnya efektif, maka sebelumnya harus dilakukan pembersihan semua bahan organik dengan deterjen, dikeringkan baru kemudian masuk ke proses disinfeksi; pastikan waktu kontak dan dosis sesuai rekomendasi, dan penguapan dengan suhu panas jika memungkinkan.
  8. Disinfektan yang terbukti mampu menonaktifkan virus ASF adalah natrium hidroksida, natrium hipoklorit, kalsium hipoklorit, glutaraldehyde, asam sitrat, yodium monoklorida, formaldehida, senyawa amonium kuarter dan kalium peroksimonosulfat. Konsultasikan ke distributor desinfektan anda ya untuk memastikan efektifitasnya terhadap ASF.
  9. Lakukan desinfeksi terhadap semua bahan dan fasilitas kandang yang terkontaminasi saat proses pembersihan memusnahkan babi
  10. Pembersihan intensif fase I – karena virus ASF sangat resisten, maka sekali lagi sangat penting untuk membersihkan dan mendisinfeksi dengan benar semua bahan yang mungkin telah bersentuhan dengan virus. Langkah fase I ini meliputi pembersihan mekanis semua bahan organik (pakan, feses, kotoran) dengan menggunakan sikat dan sekop, buang/bakar peralatan yang tidak dapat didisinfeksi dengan benar, semprotkan air ke semua permukaan, siram dengan deterjen, bilas dengan air dan biarkan waktu mengering serta semprot disinfektan ke semua permukaan dan naikkan suhu ruangan jika memungkinkan.
  11. Pembersihan intensif fase II – ulangi semua proses fase I, pastikan semua peralatan dan fasilitas bersih dan buang/bakar semua pakaian yang digunakan selama desinfeksi. Sedikit saya tambahkan disini, sharing dari kolega dokter hewan di China yang membantu proses repopulasi di sebuah farm besar menyebutkan bahwa, proses cleaning/pembersihan ini harus di test dengan ATP fluorescence detector sebelum masuk ke tahap desinfeksi. Jadi mereka harus melakukan swab terhadap semua permukaan kandang yang diduga masih terdapat cemaran patogen. Jika ternyata hasil deteksi ATP ini masih menunjukkan angka patogen yang melebihi ambang batas yang disarankan maka proses pembersihan harus diulang kembali.
  12. Pembersihan intensif fase III – disinfektsi semua permukaan dengan tekanan rendah atau menggunakan desinfektan bubuk (biarkan < 6 jam), tingkatkan suhu ruangan bila memungkinkan dan tutup area kandang
  13. Perlakuan di lingkungan luar kandang – bersihkan dan desinfeksi lingkungan dengan benar, cek tempat penampungan limbah/kotoran, cek sisa-sisan bahan baku/pakan dan tempat pakan/silo, bakar pakaian yang dipakai selama fase ini dan tutup lokasi kandang selama masa karantina sebelum mulai proses repopulasi.
  14. Bioassay – memulai kembali bisnis harus menjadi salah satu prioritas bagi setiap peternakan yang terkena ASF. Proses pengujian harus detail untuk memastikan patogen sudah tidak terdeteksi lagi. Investasi, daya dan upaya relatif besar untuk memastikan infeksi tidak terulang lagi. Peran otoritas lokal menjadi penting untuk mengatur kapan proses repopulasi bisa dimulai. Bioassay adalah metode analisis yang memastikan apakah sebuah peternakan cukup bersih untuk dihuni kembali. Baca juga : Bagaimana Kondisi Peternak Pasca Outbreak ASF?
  15. Memulai repopulasi dengan memasukkan hewan sentinel – pilih sumber hewan terpercaya dan konfirmasikan melalui pengujian laboratorium, atur transportasi dengan truk yang bersih dan didesinfeksi, tempatkan karyawan untuk tinggal di dalam kandang selama masa observasi (60 hari) dan siapkan pakan sekaligus dari sumber yang terpercaya juga; mulai masukkan babi sentinel 5-10% dari kapasitas peternakan, lalu cuci dan desinfeksi mobil pengangkut babi, keringkan sebelum digunakan kembali.
  16. Perlakuan terhadap hewan sentinel – babi dibiarkan bebas mengakses semua area kandang sehingga memastikan bahwa lingkungan dalam kandang aman dari patogen yang mungkin terlewatkan saat proses pembersihan dan desinfeksi.
  17. Monitoring hewan sentinel – pantau selama 60 hari, lakukan pengujian PCR mingguan dengan jumlah statistik yang signifikan, periksakan semua hewan yang mati ke dokter hewan dan lakukan pengujian laboratorium terhadap ginjal, tonsil, kelenjar getah bening, paru-paru dan limpa; kumpulkan sampel darah dari semua babi di akhir periode 60 hari dan lakukan uji Elisa (cek antibodi) dan uji PCR (deteksi antigen)
  18. Jika semua terlewati selama fase 60 hari (periode karantina berakhir) dan setelah semua tes menunjukkan hasil negatif maka kita kemudian bisa memasukkan populasi babi selanjutnya sampai kapasitas yang diharapkan tetapi harus terus menjalankan program monitoring dan biosekuriti yang ketat karena vaksin belum ditemukan.

Jika di China kita bisa belajar bagaimana mereka sukses dalam proses repopulasi pada peternakan besar, ternyata tidak demikian dengan contoh di Vietnam. Proses repopulasi pada peternakan skala kecil di Vietnam ternyata tidak kuasa untuk menahan gempuran virus ASF karena tindakan biosekuriti mereka yang relatif lemah. Hal ini akhirnya menyebabkan peternak mengalami kerugian ganda karena investasi mereka kembali direnggut oleh ASF. Kita tahu bahwa Vietnam terdampak ASF mulai Februari 2019, dan Oktober 2019 perusahaan skala besar disana sudah bersiap membantu peternak skala kecil untuk mulai usaha kembali. Gejolak kenaikan harga yang sangat tinggi ini juga mendapat respon positif beberapa peternak kecil sehingga mereka berani membeli dan berencana memulai beternak kembali pada bulan November 2019. Namun apa yang terjadi, hanya dalam selang waktu 3 hari setelah babi diterima dikandang ternak tersebut sakit, mati dan dinyatakan positif ASF kembali. Mengapa bisa terjadi reinfeksi setelah sekian lama kandang dikosongkan (>6 bulan) ? Mungkin jawabannya terletak pada proses pembersihan dan desinfeksi pasca ASF yang kurang baik. Baca juga : Bagaimana Proses Eradikasi dimasa lalu dan update perkembangan vaksin saat ini

Pelajaran apa yang bisa kita ambil dari 2 contoh diatas? Secara umum pengendalian penyakit dalam pemeliharaan ternak melibatkan manajemen, vaksinasi dan biosekuriti. Jika kita berbicara ASF untuk saat ini yang belum ada vaksinnya, maka sudah seharusnya kita memaksimalkan perbaikan manajemen dan memperketat biosekuriti. Peternak kecil menjadi sangat beresiko mengingat kemungkinan besar implementasi faktor-faktor tersebut kurang maksimal. Selain itu, biasanya peternak di Indonesia rata-rata juga berada dalam satu lokasi yang sama dengan peternak lainnya. Hal ini juga menjadi tantangan tersendiri, mengingat idealnya peternak dalam suatu komplek wilayah yang sama harus saling terbuka dan memiliki pemahaman yang sama dalam proses pengendalian penyakit ini agar semua populasi aman. Pembentukan kelompok ternak dan bimbingan teknis bisa menjadi sarana yang baik untuk memberikan update informasi kepada para peternak kecil sehingga tidak ada lagi peternak yang menjalankan usahanya “asal-asalan” yang pada akhirnya beresiko terhadap kelangsungan usaha peternak yang lain.

Akhir kata, untuk memulai usaha ternak kembali pasca ASF diperlukan proses cleaning dan desinfeksi, serta istirahat kandang yang relatif lama. Setelah itu, proses repopulasi bisa dilakukan idealnya setelah zona wabah sudah dikonfirm aman (lama waktunya tergantung situasi dilapangan) dan dilakukan monitoring terhadap kemungkinan kejadian penyakit dengan uji-uji laboratorium (ELISA, PCR dll). Sekali lagi, perbaikan manajemen dan biosekuriti memegang peranan penting dalam upaya pengendalian penyakit ASF ini, mengingat vaksin masih dalam tahap penelitian. Lihat juga : Video Strategi Menghadapi ASF

Referensi :

  1. https://www.pigprogress.net/Health/Articles/2019/8/ASF-on-farm-Back-on-track-in-18-steps—Part-1-461484E/
  2. https://www.pigprogress.net/Health/Articles/2019/8/ASF-on-farm-Back-on-track-in-18-steps—part-2-461974E/
  3. https://www.agricensus.com/Article/Vietnam-s-pig-repopulation-plans-in-disarray-after-fresh-ASF-scare-9476.html
  4. http://www.fao.org/3/Y0510E/Y0510E06.htm
Kondisi Peternakan Pasca Outbreak African Swine Fever

Kondisi Peternakan Pasca Outbreak African Swine Fever

Sejarah kasus ASF

Gambaran sejarah tentang situasi ASF sejak 2016 menunjukkan pola peningkatan yang signifikan dalam jumlah wabah telah diidentifikasi. Data update per juni 2020 dari organisasi kesehatan hewan dunia (OIE) menyampaikan bahwa pada periode 2016-2020 ini, kejadian ASF sudah dilaporkan dari Afrika, Eropa, dan Asia dengan total 30% (60/201) negara. Di Eropa, banyak negara yang melaporkan kejadian pertama penyakit itu sejak 2016. Mulai dari Moldova pada September 2016, Republik Ceko pada Juni 2017, Rumania pada Juli 2017, Hongaria pada April 2018, Bulgaria pada Agustus 2018, Belgia pada September 2018 (peristiwa terakhir terjadi pada tahun 1985), Slowakia pada Juli 2019, Serbia pada Januari 2020 dan Yunani pada Februari 2020. Di Asia dan Pasifik, China menjadi negara pertama yang terkena pada Agustus 2018, Mongolia pada Januari 2019, Vietnam pada Februari 2019, Kamboja pada Maret 2019, Hong Kong pada Mei 2019, Korea Utara pada Mei 2019, Laos pada Juni 2019, Myanmar pada Agustus 2019, Filipina pada Juli 2019, Korea Selatan pada September 2019, Timor-Leste pada September 2019, Indonesia pada November 2019, Papua Nugini pada Maret 2020 dan India pada Mei 2020. Berita terkini juga menyebutkan bahwa, September 2020 Jerman mengumumkan kejadian ASF pada populasi babi liar di wilayah perbatasan dengan Polandia. Baca Juga : African Swine Fever

https://academic.oup.com/view-large/figure/209755227/vfaa037f0001.jpg

Kondisi Umum sebelum ASF

Selama tiga dekade terakhir, sebenarnya produksi babi telah tumbuh cepat dari peternak kecil, menengah sampai skala industri di banyak negara Asia Pasifik. Perkembangan teknologi, pengetahuan, dan inovasi di peternakan babi telah mendorong peningkatkan manajemen, sistem perkandangan, formulasi makan dan lain-lain. Performa yang lebih baik ini dapat disebabkan oleh efisiensi galur dan pengelolaan genetik yang lebih baik yang mengarah pada peningkatan produktivitas ternak babi. Namun demikian tipikal peternakan di Asia cinderung masih menggunakan sistem yang boleh dibilang tradisional, sehingga produktifitasnya belum optimal dan masih kalah dengan negara maju yang sudah menggunakan sistem pemeliharaan modern. Di Indonesia, sistem produksi skala besar dan menengah juga telah dipraktekkan, namun demikian jumlahnya masih kalah jauh dari sistem tradisional skala kecil. Sama halnya di Thailand, tahun 2018 peternak babi skala kecil dengan kapasitas <50 babi cukup banyak (93,51%), sedangkan peternak skala besar dibagi lagi menjadi peternakan kecil kapasitas 50-500 babi (4,98%), peternakan sedang kapasitas 500-5000 babi (1,37 %), dan peternakan besar kapasitas >5000 babi (0,13%).

Area utama produksi babi berada di Asia (China memiliki > 50% populasi babi dunia), Uni Eropa, Amerika Serikat, Brasil, dan Rusia. China telah dikenal sebagai negara penghasil dan konsumsi babi terbesar di dunia. Pada tahun 2016, konsumsi daging babi di China mencapai ~ 54,98 juta ton (sekitar 1,62 juta ton daging babi masih harus diimpor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri).

Dampak Penyebaran ASF

China, sejak wabah ASF pertama dilaporkan Agustus 2018, >1 juta babi telah dimusnahkan dalam upaya menghentikan penyebaran ASF dan berdampak langsung kepada peternak kecil untuk menutup usaha ternak mereka. Kehilangan populasi babi ini tidak hanya terjadi di peternakan yang terinfeksi tetapi juga produsen yang area peternakannya berada di dalam zona terdampak ASF karena juga harus ikut dimusnahkan. Rabobank memperkirakan produksi daging babi China turun 25% pada 2019 dan 10-15% pada 2020. Hampir 70% dari semua wabah ditemukan pada peternak kecil yang memiliki <50 babi karena kurangnya kesadaran mereka tentang penerapan biosekuriti yang tepat. ASF kemudian menyebar cepat dalam waktu 3 bulan. Faktor-faktor yang mempengaruhi adalah kurangnya kontrol pergerakan babi hidup, kurangnya kapasitas deteksi cepat ASF, karantina hewan yang tidak memadai, dan lemahnya penegakan larangan pengangkutan. Selain itu, terbatasnya ruang untuk pembuangan babi dan bangkai yang terinfeksi memaksa peternak di banyak daerah gagal dalam pengelolaan bangkai yang terinfeksi dengan tepat sehingga mengakibatkan terjadinya pembuangan babi mati di jalan, sungai, atau di hutan. Situasi ini juga membuat para peternak panik dan menjual babi mereka secepat mungkin mendapatkan uang tunai yang akhirnya menyebabkan ternak babi dan produk babi yang terkontaminasi berputar dalam rantai pasokan dan menyebar ke seluruh China dan negara tetangga. Dampak lain yang dirasakan adalah perubahan yang dramatis pada fluktuasi harga daging babi. Karena produksi daging babi China sangat terganggu, mengakibatkan harga daging babi mencapai titik tertinggi (naik 47% pada agustus 2019) dan kemudian diikuti dengan peningkatan permintaan sumber protein lain seperti daging ayam dan produk budidaya. Karena permintaan yang tinggi ini akhirnya pengendalian lalu lintas produk babi hidup dan produk babi antar wilayah di China sangat sulit.

Pemerintah China pada awal bulan Desember 2019 merilis “action plan” untuk mempercepat pemulihan dan pengembangan produksi babi dalam 3 tahun. Hal ini bertujuan untuk menjaga ketersediaan ternak babi, menghentikan lonjakan harga babi, memastikan pasokan daging babi stabil, memulihkan rata-rata kapasitas produksi tahunan pada akhir 2020, dan mencapai pemulihan penuh pada tahun 2021. Rencana besar ini meliputi dukungan pembangunan peternakan babi skala besar, mengamankan lahan untuk peternakan babi, membantu peternak kecil dan menengah melalui pola hubungan kemitraan, waralaba, atau sewa dengan perusahaan produksi babi besar, promosikan penilaian dampak lingkungan, memperkuat pencegahan dan pengendalian penyakit hewan utama seperti ASF, membangun dan meningkatkan sistem manajemen resiko penyakit hewan, serta mendukung pembentukan zona bebas penyakit / komunitas (hotline ASF untuk pelaporan).

Sharing pengalaman dari kolega di China, untuk proses repopulasi disana memerlukan waktu sekitar 6 bulan untuk memastikan kandang aman. Proses cleaning dan desinfeksi menjadi kunci penting sebelum proses repopulasi. Setelah proses cleaning, mereka harus melakukan evaluasi dengan serangkaian test dan inspeksi dari pihak terkait. Jika ternyata hasilnya masih belum memenuhi syarat maka proses pembersihan harus diulangi lagi sebelum masuk ke tahapan proses desinfeksi. Selain itu, proses repopulasi juga dilakukan bertahap dengan memasukkan babi sentinel dan dimonitor secara ketat. Jika populasi sentinel aman, baru dilanjutkan memasukan babi batch selanjutnya sampai populasi yang ditargetkan terpenuhi.

Vietnam, Februari 2019 adalah wabah ASF pertama kali dikonfirmasi di provinsi utara Vietnam yangmana memiliki kemiripan dengan strain dari China. Meskipun resiko penularan ini telah diprediksi sebelumnya, strategi dan implementasi pencegahan/pengendalian penyakit ASF ini tidak mampu menghalangi penyebarannya. Perdagangan, perjalanan manusia antar negara, pergerakan hewan dan produk hewan masih sering terjadi dan cukup rumit untuk mencegah resiko penularan dan pengendalian ASF. Ciri khas virus ASF adalah persistensi jangka panjang dan kelangsungan hidup virus dalam makanan terkontaminasi yang berasal dari babi yang terinfeksi, yangmana jika pemeriksaan barang bawaan dari lalu lintas manusia tidak dilakukan dengan baik akan juga meningkatkan resiko penularan ASF. Kejadian penyebaran ASF di Vietnam juga cukup cepat. Epidemi mencapai puncaknya dan menyebar ke lebih dari 8.200 komunitas ternak di seluruh negeri dan jumlah ternak yang terdampak sekitar ~ 6 juta ekor babi (21,5%). Produksi daging babi sangat penting bagi masyarakat Vietnam dan kegiatan sosial ekonomi terkait dengan kebijakan, ketahanan pangan, pakan ternak, dokter hewan, lapangan pekerjaan, ilmu pengetahuan dan pendidikan, transportasi, dan kegiatan terkait lainnya. Akibat penurunan volume produksi ternak babi ini mendorong pertumbuhan pesat produksi unggas (16,5%), ruminansia (>5%), dan hewan ternak lainnya (>3%), sedangkan angka impor daging babi yang meningkat pesat pada tahun 2019 ( 63,0%).

Banyak solusi telah diterapkan pemerintah Vietnam, seperti restrukturisasi sektor peternakan, model produksi daging babi, rantai pasokan lokal yang terpusat dan terkontrol, dan peningkatan pencegahan penyakit dengan meningkatkan biosekuriti di berbagai tingkatan untuk mengurangi resiko ASF dan upaya mereproduksi kapasitas pasokan daging babi. Dalam jangka panjang, kondisi yang diperlukan untuk re-stocking babi dengan biosekuriti tinggi menimbulkan kesulitan bagi peternakan kecil – menengah karena untuk menjaga area bebas dari penyakit diperlukan upaya bersama dan juga investasi yang tidak sedikit, selain juga faktor ketersediaan bibit yang baik.

Repopulasi merupakan strategi implementasi awal untuk mempersiapkan skenario kekurangan daging babi, namun yang harus dilakukan sebelumnya adalah penelitian/evaluasi untuk mengklarifikasi masalah utama termasuk model peternakan yang sesuai di daerah yang terkontaminasi virus ASF, prosedur pengujian bebas penyakit untuk populasi kembali, analisis risiko pada rantai pasokan, dan evaluasi resiko air/pakan yang terkontaminasi. Selain itu, keberadaan babi liar/babi hutan mungkin juga harus dikaji lebih dalam apakah mempunyai peranan besar dalam penularan ASF ke babi domestik seperti di negara Eropa. Program pelatihan dan pendidikan teknis idealnya juga diberikan kepada otoritas lokal, dokter hewan, kelompok peternak dan semua yang terlibat untuk meningkatkan pengetahuan tentang managemen secara umum dan program pengendalian penyakit, terutama ASF. Pada akhirnya, penelitian tentang pengembangan vaksin dan obat antivirus merupakan strategi dan harapan yang lebih proaktif untuk pengendalian penyakit saat ini bagi para peternak babi di negara yang terinfeksi.

Thailand, salah satu negara yang sampai saat ini masih aman dari ASF. Walaupun demikian, resiko masuknya ASF ke Thailand cukup tingi mengingat negara tersebut dikelilingi oleh tetangga yang sudah terinfeksi ASF. Untuk mengantisipasi wabah ini, pemerintah Thailand telah menyetujui anggaran 150 juta baht (USD 4,7 miliar) untuk persiapan keadaan darurat di tingkat nasional dengan melibatkan kerjasama antara Dinas Peternakan dengan instansi terkait, peternak babi, dan pihak swasta. Rencana terdiri dari tiga fase, yaitu pra wabah, wabah, dan pasca wabah. Anggaran ini terutama untuk pengendalian faktor resiko yang terkait dengan pengenalan ASF, yaitu perpindahan ternak babi dan produk babi ilegal di sepanjang daerah perbatasan, pengawasan wisatawan/pengunjung dari negara-negara yang terkena ASF, perlakuan terhadap kendaraan, peralatan, ternak babi, makanan, dan pakan dari area berisiko. Selain itu, pengembangan diagnosis penyakit, pembentukan jaringan laboratorium, dan peningkatan kesadaran masyarakat juga disertakan terutama terhadap peternak skala kecil. Standar biosekuriti di peternakan juga dilakukan dengan mendorong investasi tindakan karantina, manajemen pemeliharaan, pelatihan, program sanitasi dan disinfeksi.

Indonesia, Pemerintah mengumumkan outbreak ASF pertama di Medan, Sumatra Utara akhir tahun 2019. Kasus ini dalam pengamatan dan informasi di lapangan pada akhirnya menyebar ke daerah-daerah kantong peternakan babi di Indonesia. Nusa Tenggara Timur yang merupakan daerah populasi terbesar ternak babi di Indonesia juga ikut terdampak, kemudian dugaan kasus ASF juga terjadi di Bali, Pulau Nias, Palembang, Lampung, Jawa Tengah dan mungkin area lainnya. Penyakit ASF ini menjadi ancaman nyata bagi populasi ternak babi kita yang mencapai 8,5 juta. Estimasi penurunan populasi ternak babi karena ASF ini diperkirakan minimal 30%.

Karena sampai saat ini belum ditemukan vaksin untuk pencegahan ASF, maka perlakuan perbaikan manajemen dan biosekuti harus diperketat. Jika sampai ada kasus, maka diharuskan melakukan langkah isolasi hewan sakit dan peralatan serta dilakukan pengosongan kandang selama 2 bulan, untuk babi yang mati karena penyakit ASF dimasukkan ke dalam kantong dan harus segera dikubur oleh petugas untuk mencegah penularan yang lebih luas, tidak menjual babi/ karkas yang terkena penyakit ASF serta tidak mengkonsumsinya.

Berdasarkan kajian analisa risiko, faktor yang menyebabkan masuknya ASF ke Indonesia diantaranya melalui pemasukan daging babi dan produk babi lainnya, penggunaan sisa-sisa katering transportasi internasional baik dari laut maupun udara untuk pakan ternak tanpa perlakuan, orang yang terkontaminasi virus ASF dan riwayat kontak dengan babi di lingkungannya. Langkah strategis utama dalam mencegah terjadi ASF adalah melalui penerapan biosekuriti dan manajemen peternakan babi yang baik serta pengawasan yang ketat dan intensif  untuk daerah yang berisiko tinggi. Upaya deteksi cepat melalui kapasitasi petugas dan penyediaan reagen untuk mendiagnosa ASF ini telah dilakukan oleh laboratorium Kementerian Pertanian yakni Balai Veteriner dan Balai Besar Veteriner di seluruh Indonesia yang mampu melakukan uji dengan standar internasional. Selain itu, pemerintah juga mengkaji untuk kebijakan ketat terhadap importasi babi hidup dan produk-produk daging babi, terutama dari negara-negara yang tertular ASF. Pemerintah menghimbau agar semua provinsi dengan populasi babi yang tinggi, seperti NTT, Sulut, Kalbar, Sulsel, Bali, Jateng, Sulteng, Kepri, dan Papua selalu waspada dan siap siaga terhadap resiko kejadian penyakit ASF dan terus aktif melakukan sosialiasi kepada peternak serta advokasi kepada pimpinan daerah terkait ancaman ASF.

Tantangan pasca ASF

Setelah wabah ASF, ketahanan pangan global akan dihadapkan pada kondisi suplai dan permintaan babi/produk babi yang tidak seimbang. Kekurangan ketersediaan daging babi saat ini berdampak pada harga daging babi dan mengubah perilaku konsumsi daging ke sumber protein alternatif lainnya. Uni Eropa telah menjadi benua teratas pengekspor produk daging babi setelah wabah ASF di Asia, selain Amerika Serikat, Kanada, dan Brasil. Secara bisnis ini adalah peluang sebenarnya, tinggal bagaimana kita mempersiapkan strategi untuk meminimalkan resiko ASF.

Untuk memulai usaha ternak babi kembali pasca ASF, perbaikan manajemen, proses sanitasi dan desinfeksi, program biosecuriti serta dampak kenaikan harga bahan pakan terhadap biaya produksi ternak juga akan berpengaruh pada kekuatan investasi masing-masing pelaku usaha, mengingat 60-70% biaya produksi babi terserap pada biaya pakan. Kondisi ini kemungkinan akan menyebabkan beberapa peternak skala kecil-menengah berpikir ulang untuk repopulasi kembali, atau bahkan sudah melirik usaha yang lain. Oleh karena itu, transformasi industri babi dari peternakan skala kecil ke peternakan skala menengah dan besar bersama dengan perbaikan sistem produksi dan didukung dengan manajemen serta biosekuriti yang lebih baik akan bertahan di masa depan. Baca Juga : Biosekuriti pada Peternakan babi . Jika semua aspek diatas bisa ditangani, kendala pasca ASF selanjutnya adalah terbatasnya ketersediaan calon induk yang baik untuk memulai restocking. Pastikan kita memilih suplier yang terpercaya dan babi yang kita beli bebas dari penyakit. Lakukan monitoring kesehatan ternak secara berkala untuk memastikan status kesehatnya terjamin dan jangan lupa untuk tetap memperhatikan tantangan penyakit selain ASF, penggunaan program vaksinasi bisa dioptimalkan untuk mengendalikan penyakit-penyakit tersebut.

Kesimpulan

ASF memang menjadi predator yang mematikan bagi para peternak babi di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Kita sudah banyak mendengar, membaca dan menyaksikan sendiri, bahwa penyebaran ASF yang cepat ini mengakibatkan hilangnya populasi babi yang sangat besar berdampak signifikan terhadap pasokan protein global sehingga mengubah perilaku konsumsi daging babi ke sumber protein alternatif lainnya. Tetapi kita juga bisa belajar dari pengalaman tersebut untuk mengawali semuanya kembali dengan sikap optimis. Dalam skenario apapun, segmen yang paling terkena dampak dan paling rentan dari populasi babi adalah peternak skala kecil. Pendampingan dan transformasi industri babi menjadi peternakan skala menengah dan besar bersama dengan sistem manajemen produksi dan biosekuriti yang baik akan bertahan di masa depan. Walaupun strategi pengendalian penyakit dari berbagai sistem produksi babi di Asia memang menjadi tantangan tersendiri, tetapi dengan komitmen dan kerja sama semua pihak terkait tidak mustahil perbaikan dan pemulihan pasca ASF ini akan berhasil

Referensi :

  1. https://www.oie.int/en/animal-health-in-the-world/information-on-aquatic-and-terrestrial-animal-diseases/african-swine-fever/reports-on-asf/
  2. https://academic.oup.com/af/article/10/4/30/5943513
  3. https://www.pig333.com/latest_swine_news/asf-in-china-plan-to-recover-from-asf-announced_15600/
  4. https://www.thepigsite.com/articles/global-update-on-african-swine-fever-asia-russia-germany-romania
  5. https://www.pertanian.go.id/home/?show=news&act=view&id=4141#:~:text=KEMENTERIAN%20PERTANIAN%20REPUBLIK%20INDONESIA&text=African%20Swine%20Fever%20(ASF)%20adalah,relatif%20lebih%20tahan%20terhadap%20disinfektan.
Eradikasi African Swine Fever di Masa Lalu

Eradikasi African Swine Fever di Masa Lalu

Sejarah ASF hampir mencapai satu abad dan dalam periode ini beberapa elemen kunci dapat dikumpulkan dari sudut pandang epidemiologi. Penyakit ini terbatas di Afrika sampai akhir tahun 1950-an ketika muncul di Portugal pada tahun 1957. Setelah 2 tahun diam, penyakit ini muncul kembali di Lisbon pada tahun 1960 dan menyebar ke Semenanjung Iberia dan negara Eropa lainnya, yaitu Spanyol pada tahun 1960; Prancis pada tahun 1964, 1968 dan 1974; daratan Italia pada tahun 1967, dengan pengulangan pada tahun 1969 dan 1983; Malta pada tahun 1978; Belgia pada tahun 1985; dan Belanda pada tahun 1986. Antara 1971 dan 1980, ASF muncul di beberapa negara Amerika, yaitu Kuba pada 1971 dan kembali pada 1980; Brasil pada 1978; Republik Dominika pada 1978 dan Haiti pada 1979. Dahulu, baik di negara Eropa maupun Amerika penyakit tersebut telah berhasil dibasmi, sedangkan pada epidemi saat ini hanya Republik Ceko yang berhasil memberantas penyakit pada populasi babi hutan.

Pencegahan, deteksi dini, reaksi cepat, dan komunikasi memainkan peran penting dalam pengendalian ASF. Surveilans yang tepat mampu mendeteksi penyakit secara dini baik pada hewan peliharaan maupun liar, dan implementasi rencana yang terkonsolidasi dengan baik dianggap sebagai cara paling efektif untuk mengendalikan penyakit ini. Sebuah penelitian dengan tinjauan sistematis telah dilakukan untuk mendapatkan pelajaran yang dapat diambil melalui sejarah pemberantasan penyakit ASF secara global, kemudian kita bisa mengevalusi dan menetapkan strategi mana yang berhasil untuk pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan ASF, serta kesalahan apa yang tidak boleh diulangi. Berikut beberapa strategi pengawasan dan pengendalian yang diterapkan oleh negara-negara di seluruh dunia untuk pemberantasan ASF di masa lalu yang bisa menjadi acuan bagi kita dalam menghadapi bahaya ASF.

Laporan dari Belgia, Brasil, Kuba, Republik Dominika dan Haiti, Prancis, Italia, Malta, Portugal, dan Spanyol bisa menjadi referensi bagi kita dalam pengendalian ASF. Terlepas dari sumber daya ekonomi yang dialokasikan dan upaya yang dilakukan, pemberantasan ASF berhasil dilakukan hanya di 8 negara dalam kurun waktu antara tahun 50-an dan 90-an di abad kedua puluh ini. Dalam konteks epidemiologi dan budaya yang berbeda, proses pengendalian inipun mempunyai rentang waktu yang relatif besar, yaitu <1 tahun sampai 40 tahun . Strategi surveilence klasik, seperti pengawasan aktif dan pasif baik di tingkat peternakan dan rumah pemotongan hewan bersama dengan tindakan biosafety dan sanitasi konvensional terbukti mampu meredam kasus ASF. Hal ini menekankan bahwa data tentang surveilans dan populasi hewan sangat penting untuk perencanaan pengawasan yang efektif, dan menargetkan strategi pengendalian dan intervensi yang tepat.

Berikut negara-negara yang berhasil dalam pengendalian ASF beserta ringkasan strategi yang dilakukan :

Belgia (Maret 1985 / Mei 1985). Model penularan dari babi ke babi dengan faktor resiko karena penggunaan jarum suntik yang terinfeksi secara tidak tepat. Strategi intervensi yang dilakukan adalah penyembelihan hewan di peternakan yang terinfeksi dan pemusnahan/culling semua hewan yang terinfeksi maupun dan tidak terinfeksi, kemudian dilakukan pembersihan dan desinfeksi. Surveilence aktif dan pasif dilakukan babi sentinel di peternakan untuk mendemonstrasikan masih ada tidaknya virus ASF di kandang.

Brasil (Mei 1978 / Des 1984). Model penularan dari babi ke babi dengan faktor resiko dari makanan terkontaminasi yang digunakan untuk pakan babi. Strategi intervensi yang dilakukan adalah 1.) larangan pergerakan/lalu lintas babi di dalam dan dari daerah yang terkena serangan ASF; larangan kendaraan dan pergerakan manusia; larangan pembukaan pertunjukan/pameran babi dan pasar babi; larangan memberi makan limbah sebagai pakan babi; 2.) pemeriksaan di pelabuhan, bandara, dan kantor pos dengan lebih memperhatikan area berisiko; 3.) pemusnahan dan pembakaran semua babi yang berada di daerah terdampak ASF; 4.) membersihkan dan mendisinfeksi kendaraan, gedung, dan benda yang terkontaminasi dan 5.) program pelatihan. Untuk strategi surveilence, aktif dilakukan di rumah pemotongan hewan (tes serologi), di tingkat hewan (pengawasan khusus untuk perdagangan di beberapa wilayah berisiko; uji di tempat asal dan tujuan); dan di tingkat kawanan (sertifikasi kandang yang akan melakukan perdagangan/pameran).

Kuba Mei 1971/1980. Model penularan dari babi ke babi dengan faktor resiko berasal dari kontak antara kompartemen berbeda dari kandang produksi babi yang memiliki tingkat biosekuriti yang berbeda. Strategi intervensi yang dilakukan saat epidemi 1971 dan 1980 adalah 1.) karantina dan larangan pergerakan babi, larangan swill feeding; 2.) pemusnahan semua babi yang terinfeksi dan babi sehat yang bersentuhan, serta pemotongan semua babi dalam radius 5 km dan pemotongan semua babi milik pribadi dengan pemberian kompensasi sebagian; 3.) pembersihan dan desinfeksi bangunan, kendaraan pengangkut, dan penggunaan alat pelindung diri; 4.) pelatihan diagnosis; 5.) pengendalian jalur keluar masuk melalui rel kereta api, jalan raya, kapal, dan pesawat. Sedangkan strategi intervensi untuk radius 10–15 km di sekitar tempat tertular adalah 1.) pemberian kompensasi untuk semua babi yang dimusnahkan; 2.) transportasi dengan tindakan biosekuriti tinggi; 3.) pembatasan pergerakan semua babi, komoditas, manusia, dan kendaraan; 4.) sensus lengkap semua populasi babi. Strategi surveilence yang dilakukan adalah 1.) Risk Base Surveillance dengan pembagian zona risiko berdasarkan karakteristik geografis dan politik serta kepadatan produksi daging babi; 2.) pasif surveilence dengan mengevaluasi kejadian kematian pada babi; 3.) aktif surveilence dengan mengevaluasi babi sentinel di farm dan RPH; 4.) fase pemberantasan dengan melakukan aktif dan pasif surveilance babi sentinel di tingkat peternakan, lengkap dengan pendekatan uji diagnosis dan pemeriksaan di RPH; 5) fase repopulasi / rencana pemulihan di daerah yang terkena dampak dengan melakukan surveilence aktif babi sentinel untuk membuktikan masih ada tidaknya virus di lapangan.

Republik Dominika (1978/1981) & Haiti (1978/1982). Model penularan dari babi ke babi. Strategi intervensi yang dilakukan Republik Dominika adalah total depopulasi babi, sedangkan Haiti adalah dengan pemusnahan dengan kompensasi menggunakan tentara militer, pembersihan dan desinfeksi, serta pelatihan dan pendidikan umum untuk berbagai pemangku kepentingan dan kerjasama dengan penduduk di pedesaan. Strategi surveilence yang dilakukan Republik Dominika adalah aktif surveilence dengan menggunakan babi sentinel untuk propses repopulasi, sedangkan Haiti melakukan aktif surveilence juga dengan babi sentinel.

Prancis (1964/1964) dan (1974). Model penularan babi ke babi. Strategi pasif surveilence dilakukan dengan eksplorasi termal dan pengambilan sampel darah hewan yang positif.

Italia (1967 / Juni 1967 1969 1983). Model penularan dari babi ke babi dengan faktor resiko dari pemberian pakan babi dari limbah makanan yang terinfeksi. Strategi intervensi yang dilakukan adalah tindakan keamanan hayati (biosafety) dan sanitasi, serta stamping out di peternakan yang terinfeksi.

Malta Maret 1978 / April 1978. Model penularan dari babi ke babi dengan faktor resiko adalah memberi makan babi yang terinfeksi / swill feeding dan waktu/proses deteksi dan pelaporan penyakit yang lama. Strategi intervensi yang dilakukan adalah 1.) kebijakan pemotongan diterapkan secara ketat (larangan pemotongan) dengan kompensasi; 2.) stamping-out, pembatasan pergerakan babi, karantina hewan dan bangunan yang terinfeksi dan tidak terinfeksi, pemindahan bangkai dan pembakaran; 3.) penelusuran wabah; 4.) larangan penjualan daging babi dan larangan swill feeding. Aktif surveilence dilakukan di rumah potong hewan (pengambilan serum) dan di tingkat peternakan.

Portugal (Epizootik Mei 1957 / Juni 1958 dan Epizootik April 1960 / November 1999). Model penularan dari babi ke babi dan juga kutu dengan faktor resiko adalah transportasi dan penggunaan yang tidak tepat dari limbah makanan yang terkontaminasi, serta pergerakan lalu lintas hewan yang tidak terkendali. Strategi intervensi yang dilakukan adalah 1.) stamping-out di dalam peternakan yang terinfeksi dengan kompensasi; 2.) pembersihan dan desinfeksi kandang, pengangkutan, dan penggunaan alat pelindung diri; 3.) pembatasan pergerakan babi dan produk babi dari zona tertular atau di bawah pengawasan; larangan pergerakan babi dan produk babi atau produk sampingan babi dari zona tertular; 4.) larangan aktifitas di pasar dan pameran di zona tertular dan diduga tertular, serta larangan swill feeding dan repopulasi. Strategi surveilence yang dilakukan adalah pemberitahuan wajib untuk kasus yang dicurigai dan dikonfirmasi.

Spanyol (1960 / September 1994). Model penularan dari babi ke babi dan kutu dengan faktor resiko adalah kontak antar babi yang terinfeksi dan adanya hubungan antara kutu O. erraticus dan babi. Strategi intervensi yang dilakukan adalah stamping out di peternakan yang terinfeksi dengan kompensasi, tindakan keamanan hayati (biosafety) dan sanitasi seperti pembuatan pagar, pembuangan kotoran secara aman, serta proses pembersihan dan desinfeksi. Strategi pada fase pemberantasan, dilakukan strategi aktif surveilence di rumah potong hewan dan di tingkat peternakan, sedangkan pada fase repopulasi dilakukan surveilence pada babi.

Dari semua contoh diatas, kita bisa belajar bagaimana African Swine Fever dapat dikendalikan dan diberantas melalui tindakan pengawasan dan pengendalian klasik. Tindakan klasik didasarkan pada metode pengendalian penyakit, termasuk strategi pengawasan, penyelidikan epidemiologi, penelusuran dan pemusnahan babi di kandang yang terinfeksi, dikombinasikan dengan tindakan karantina dan biosekuriti yang ketat pada babi domestik, kandang, dan kontrol pergerakan hewan. Namun demikian, bukti juga menunjukkan bahwa strategi ini sulit dipertahankan dalam waktu lama dalam situasi endemik dimana ASF menyerang wilayah yang lebih luas. Keterlibatan populasi babi hutan dalam penyebaran virus juga menghambat pemberantasan ASF dan hal ini merupakan faktor risiko yang relevan memfasilitasi penyebaran virus ke seluruh perbatasan negara. Oleh karena itu, strategi yang efisien untuk pencegahan atau pengendalian ASF harus didasarkan pada pengetahuan yang mendalam tentang populasi babi domestik dan babi liar, kondisi lingkungan dan jenis sektor babi. Mengingat penyebaran ASF ini juga tidak mengenal batas, maka sebaiknya semua strategi harus memperhitungkan kebijakan bersama dalam menetapkannya sehingga semua pihak bisa mempunyai pemahaman dan kesadaran yang sama dalam usaha pengendalian ASF.

Bagaimana dengan perkembangan penelitian vaksin ASF saat ini? Pengamat industri mengatakan bahwa saat ini masih belum tersedia vaksin yang efektif untuk melawan virus ASF, peternakan babi dan RPH sangat bergantung pada biosekuriti. Baca juga : Pentingnya biosekuriti di Peternakan Babi. Desinfeksi lingkungan menjadi sesuatu yang penting selain pengawasan ketat terhadap barang yang mungkin terkontaminasi seperti pakan ternak, kandang babi, dan kendaraan yang mengangkut babi dan lain-lain. Vaksin ASF yang saat ini sedang dikembangkan oleh para peneliti di seluruh dunia, termasuk di China, UK, Vietnam dan juga mungkin di Indonesia. Banyaknya faktor ketidakpastian yang belum terjawab tentang karakter ASF inilah salah satu penyebab vaksin masih dalam fase penelitian dan belum bisa dikomersialisasikan dalam waktu dekat.

Semoga kita bisa belajar dari pengalaman masa lalu dan siap melakukan strategi yang tepat guna mencegah serangan ASF. Saatnya semua pihak bergandengan tangan untuk menentukan kebijakan yang terbaik untuk menjaga peternakan babi kita.

Badai pasti berlalu !

 

Referensi :

  1. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC7296109/
  2. https://www.globaltimes.cn/content/1198136.shtml#:~:text=A%20China%2Ddeveloped%20vaccine%20that,for%20pigs%20against%20the%20disease.
  3. https://www.thepigsite.com/news/2020/11/vietnam-hints-at-asf-vaccine-progress
  4. https://www.pigprogress.net/Health/Articles/2020/5/British-ASF-vaccine-said-to-protect-100-of-pigs-587286E/
  5. https://www.mdpi.com/2076-393X/8/3/531/pdf

 

Virus African Swine Fever pada Ternak Babi

Virus African Swine Fever pada Ternak Babi

African Swine Fever (ASF) adalah penyakit virus yang sangat menular dan mematikan baik pada babi domestic ataupun babi liar. Namun demikian, ASF bukanlah penyakit zoonosis jadi bukan ancaman bagi kesehatan manusia karena tidak bisa ditularkan dari babi ke manusia.

Sejarah mencatat bahwa ASF pertama kali ditemukan tahun 1921 dan menjadi penyakit endemis di beberapa negara di Afrika. Tahun 1957 Portugal menjadi negara pertama diluar Afika yang terserang ASF, dan kemudian penyakit ini menyebar di Eropa, Brazil, Cuba, Haiti, dan Republik Dominica. Program eradikasi di beberapa negara  terbukti berhasil  dengan menerapkan larangan import babi dan produk babi dari negara yang terpapar ASF dan juga mengeliminasi/memberikan peraturan praktis tentang pemberian pakan dari sisa/limbah (waste-food feeding) kepada peternak.

ASF merupakan DNA virus dari family Asfarviridae. Secara epidemiologi, transmisi dan penyebaran ASF sangat komplek dan bervariasi tergantung faktor lingkungan, sistem pemeliharaan, vektor, manusia dan babi liar. Rute penularan meliputi a) Kontak langsung dengan babi yang terinfeksi, baik babi domestik dan babi liar. b) Kontak tidak langsung melalui ingesti pakan, sisa makanan/sampah yang terkontaminasi. c) Material atau objek yang bisa membawa pathogen (baju, sepatu/sandal, alat dll) atau adanya vektor biologis yaitu soft tick genus Ornithodoros.

Kejadian ASF dilapangan bisa per akut,  akut, sub akut dan kronis. Jika kejadian per akut, babi biasanya mati sangat cepat dan  tanpa menunjukan gejala sedangkan jika akut akan muncul gejala berupa   demam tinggi, depresi, nafsu makan turun, perdarahan di kulit (daerah telinga, abdomen dan kaki), aborsi, cyanosis, muntah, diare, dan kematian dalam 6-13 hari bisa mencapai 100%. Jika kasusnya sub akut dan kronis gejala klinisnya lebih ringan dari bentuk akut, seperti penurunan berat badan, demam intermittent, gejala pernafasan, ulser kulit dan arthritis, tetapi kematian masih berkisar 30-70%.

Diagnosa suspect ASF bisa kita lihat dari gejala klinis, tetapi untuk konfirmasi harus berdasarkan uji laboratorium mengingat gejala ASF juga mirip dengan Classical Swine Fever (CSF). Sampel terbaik untuk uji ASF adalah darah, kelenjar getah bening, dan limpa. Jika kasusnya kronis kita bisa lakukan juga uji serologi dengan serum. Sampai saat ini belum ada vaksin yang tersedia untuk melindungi dari ASF,  oleh karena itu pencegahan dan kontrol ASF tergantung pada pelaksanaan program biosecurity yang ketat. Tidak ada treatment yang bisa dilakukan jika babi kita sudah terkena ASF. Semua babi yang terinfeksi harus diisolasi dan sesegera mungkin di culling setelah ada konfirmasi adanya virus tersebut agar kondisi tidak semakin parah.  

Bagaimana dengan Indonesia? Setelah ASF menyerang ternak babi di China September 2018, akhirnya ASF juga sampai ke Indonesia. Pemerintah mengkonfirmasi kejadian ASF di Medan-Sumatra Utara akhir tahun 2019 dan yang terbaru adalah suspect ASF di Bali.

 ASF sampai saat ini sudah menghampiri hampir semua negara di asia tenggara dan masih berlangsung secara global. Menurut data organisasi kesehatan hewan dunia (OIE), periode 31 januari – 13 Februari 2020 tercatat sudah 23 negara yang saat ini sedang terdampak ASF yaitu 11 negara EROPA  (Bulgaria, Yunani, Hungaria, Latvia, Moldova, Polandia, Rumania, Rusia, Serbia, SAlovakia, Ukraina), 9 negara ASIA (Cina, INDONESIA, Korea Utara, Korea Selatan, Laos, Vietnam, Timor-Leste, Philipina), dan 4 negara Afrika (Pantai Gading, Sierra Leone, Afrika selatan, Zimbabwe).

Menjawab tantangan BIOSEKURITI yang menjadi salah satu kunci keberhasilan mencegah ASF masuk ke farm kita, ada beberapa aplikasi yang bisa diakses via android/IOS untuk membantu peternak. Salah satunya adalah ASF COMBAT yang merupakan aplikasi yang bisa membantu evaluasi terhadap level keamanan/tingkat resiko farm terhadap serangan ASF. Evaluasi faktor resiko di ASF COMBAT meliputi 6 aspek yaitu hewan, transportasi, managemen, orang, pakan dan lokasi. Baca Juga : Pentingnya Biosekuriti pada Peternakan Babi.

Saatnya up grade level biosekuriti farm kita agar resiko ASF bisa diminimalkan. Semangat !!!

Referensi :

  1. https://www.aphis.usda.gov/…/swine-disease-information/african-swine-fever
  2. https://vetmed.iastate.edu/vdpam/FSVD/swine/index-diseases/african-swine-fever
  3. https://www.oie.int/en/animal-health-in-the-world/animal-diseases/african-swine-fever
  4. https://thepigsite.com/disease-guide/african-swine-fever-asfhttps://thepigsite.com/disease-guide/african-swine-fever-asf
  5. https://prevent-asf.com/index.php?action=users_public_login
error: Content is protected !!