Fakta tentang Kolostrum untuk Anak Babi

Fakta tentang Kolostrum untuk Anak Babi

Apakah kematian anak babi ikut induk di peternakan anda cukup tinggi? Mungkin salah satu penyebabnya adalah managemen kolostrum yang kurang tepat sehingga membahayakan kelangsungan hidup dan kesehatan anak babi. Atau jika ada lebih sering membeli sapihan dan bermasalah, kita juga perlu curiga jika anak babi saat di peternakan asal tidak mendapatkan kolostrum yang cukup.

Saat anak babi dilahirkan, mereka memasuki babak baru kehidupan yang berbahaya karena banyak tantangan yang bisa berakibat fatal. Cadangan energi relatif kecil sehingga anak babi harus segera mendapatkan makanan karena tubuh kehilangan panas dengan cepat. Jika anak babi tidak mendapatkan kolostrum, suhu tubuh akan segera turun dan membuat pergerakan menjadi lamban dan tidak mampu berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Pada induk yang jumlah anaknya banyak, setiap induvidu anak babi harus bersaing  untuk mendapatkan ambing induk babi. Kondisi ini juga sangat beresiko jika peternak tidak melakukan intervensi.

Kondisi lain yang juga berbahaya adalah, jika anak babi dilahirkan tanpa adanya kekebalan yang cukup sehingga menjadi rentan terhadap berbagai virus, bakteri, dan parasit. Status kesehatan induk babi disini memegang peran yang sangat penting, sehingga peternak juga harus memperhatikan nutrisi dan program vaksinasi yang tepat. Jadi, cara sederhana dan alami bagi anak babi untuk mengatasi bahaya pada masa neonatal adalah kolostrum, ‘air susu pertama’ yang kaya akan energi dan antibodi dari induk sebagai imunitas pasif.

Apakah anak babi lahir tanpa kekebalan? Jawabanya adalah TIDAK. Kita perlu memahami lebih banyak tentang sistem kekebalan tubuh, yangmana sistem imun dibagi menjadi tiga subsistem, yaitu imunitas bawaan (innate imunity), imunitas non-spesifik, dan imunitas spesifik.

Imunitas bawaan.
Tidak sepenuhnya benar bahwa anak babi dilahirkan tanpa pertahanan sama sekali. Kulit adalah pertahanan yang mampu  menghalangi patogen menyerang jaringan di bawahnya, mukosa menghasilkan lendir yang untuk menangkap bakteri, silia di trakea membersihkan/menyaring saluran udara dari kotoran dan mikroorganisme, dan pH asam di lambung juga berfungsi sebagai penghalang. Secara keseluruhan, seluruh mekanisme perlindungan ini disebut ‘imunitas bawaan’.

Kekebalan non spesifik
Sistem kekebalan tubuh yang tepat memiliki jaringan yang dapat melawan dan menonaktifkan mekanisme keganasan patogen yang menyerang. Makrofag dapat melahap partikel yang dianggap asing dan mencurigakan. Terdapat imunoglobulin (IgG dan IgA) yang menempel pada patogen yang masuk ke tubuh, kemudian ia akan memberi sinyal pada makrofag bahwa ada benda asing menyerang. Proses ini disebut aglutinasi, dimana imunoglobulin ini menggumpal di sekitar patogen dan menonaktifkannya.

Imunitas spesifik
Ternak pada umumnya  telah mengembangkan mekanisme pertahanan yang sangat rumit untuk mengenali dan menghancurkan patogen yang menyerang. Limfosit adalah sel yang dapat mengenali patogen berbahaya dan menyebabkan patogen tersebut menghancurkan dirinya sendiri. Limfosit lain memanfaatkan kekuatan sistem kekebalan tubuh dan mengarahkannya sel T untuk dihancurkanm, sedangkan sel B akan menghasilkan antibodi yang nantinya akan mengenali protein spesifik (antigen) di dinding sel patogen. Terbentuknya sel memori ini akan membantu sistem kekebalan dalam bereaksi ketika patogen yang sama datang menyerang lagi.

Jadi, imunitas spesifik bisa bekerja setelah terjadi paparan patogen tertentu atau pemberian vaksinansi sehingga tubuh akhirnya mengenalinya sehingga ketika suatu saat patogen itu datang lagi tubuh bisa langsung dengan cepat bereaksi untuk melawan karena sudah terbentuk antibodi yang siap melawan.

Pertanyaan selanjutnya adalah mengapa anak babi di masa laktasi ikut induk masih rawan kematian jika sudah ada kekebalan di dalam tubuhnya? Anak babi yang dilahirkan dari induk yang sehat, setelah mendapatkan kolostrum akan memiliki yang namanya pasif imunity untuk bertahan dari serangan patogen penyebab penyakit. Jika status kesehatan breeding anda tidak baik, maka imunitas dari induk mungkin tidak terbentuk dengan baik sehingga ketika tantangan datang, anak babi tidak cukup kuat untuk melawan dan akhirnya mati.

Nah, disinilah peran kolostrum. ‘Air susu pertama’ dari induk babi ini mengandung antibodi IgG dan IgM yang memungkinkan anak babi menangkis sebagian besar serangan sampai mereka mampu mengembangkan respon kekebalannya sendiri. Kolostrum mengandung antibodi yang dimiliki induk babi yang umumnya sudah “berpengalaman” melawan patogen baik secara alami ataupun intervensi dengan program vaksinasi  sehingga antibodi ini spesifik terhadap patogen yang beredar di peternakan tersebut.

Jadi, mulai sekarang lakukan evaluasi terhadap status kesehatan farm anda, apa saja patogen yang bersirkulasi, untuk kemudian lakukan tindakan pencegahan dengan program vaksinasi dan biosekuriti yang baik, sesuai dengan kondisi di lapangan. Walaupun anak babi memiliki sistem kekebalan yang matang di dalam rahim, meraka tidak akan mampu menghasilkan antibodi terhadap patogen yang akan mereka hadapi di dunia luar diawal kehidupan mereka. Oleh karena itu, dengan mendapatkan antibodi spesifik dari induk, anak babi ini diberi kesempatan untuk bertahan hidup karena adanya kolostrum tidak hanya mengandung antibodi, tetapi juga sel kekebalan dan faktor lain yang penting untuk mekanisme pertahanan anak babi yang baru lahir.

Perlu diingat, plasenta babi desainnya berbeda. Pada primata dan hewan pengerat terdapat kontak signifikan antara jaringan induk dan janin sehingga terdapat lebih banyak transfer kekebalan pasif dari dalam rahim. Namun pada sapi, kuda, dan babi, plasentanya sangat efisien dan praktis sehingga tidak ada transfer kekebalan pasif sama sekali saat masih didalam rahim. Inilah alasan mengapa asupan kolostrum adalah persoalan hidup dan mati yang harus diperhatikan. Anak babi yang baru lahir yang tidak minum cukup kolostrum dengan alasan apapun, maka  tidak akan mendapat manfaat dari antibodi induknya karena proses pasif imunity gagal. Baca juga : Kunci pemeliharaan anak babi 

Berikut adalah beberapa hal penting yang perlu kita ketahui terkait managemen kolostrum antara lain adalah :

Nutrisi dan Kesehatan Induk

Perawatan Pra-farrowing.

Pastikan induk babi menerima nutrisi dan air minum yang cukup pada minggu-minggu menjelang farrowing. Hal ini akan membantu mereka menghasilkan kolostrum berkualitas baik dalam jumlah yang cukup.

Program Vaksinasi

Vaksinasi induk babi dilakukan sesuai dengan rekomendasi dokter hewan. Hal ini memperkuat sistem kekebalan tubuh mereka dan mentransfer antibodi ke anak babi melalui kolostrum.

Koleksi Kolostrum 

Seleksi

Kumpulkan kolostrum dari induk babi sehat pada parity akhir (sudah melahirkan 3-5x) dengan ambing yang berkembang dengan baik daripada gilt/dara.

Waktu

Kumpulkan kolostrum 1-3 jam setelah masa farrowing dimulai, setelah anak babi menerima menyusu awal. Idealnya anak babi harus mendapatkan kolostrum dari induk aslinya, sehingga hal ini penting dilakukan jika jumlah anakan yang dilahirkan banyak atau puting susu tidak cukup.

Stimulasi

Pemberian oksitosin (di bawah bimbingan dokter hewan) mungkin perlu dilakukan untuk merangsang keluarnya air susu sehingga mudah dikoleksi.

Kebersihan

Jaga kebersihan selama pengumpulan untuk mencegah kontaminasi. Pastikan lingkungan kandang sudah disanitasi dan desinfeksi unutk meminimalkan kontaminasi.

Pemberian Kolostrum

Waktu

Anak babi perlu mengonsumsi kolostrum dalam 6 jam pertama setelah lahir, atau lebih idealnya dalam 2 jam pertama lebih baik karena semakin lama jeda waktunya, maka kualitas kolostrum mungkin berbeda signifikan atau hanya seperti air susu biasa saja.

Jumlah

Usahakan agar anak babi mengonsumsi setidaknya 150 ml kolostrum per kg berat badannya dalam waktu 16 jam setelah lahir. Pastikan semua anak babi mendapatkan jatah kolostrum yang memadai agar pasif imunity dari induk optimal melindungi anak babi dari penyakit.

Anak Babi Lemah

Untuk anak babi yang lemah atau kecil, langsung berikan kolostrum menggunakan wadah atau botol. Peternak harus memperhatikan lebih khusus agar anak babi yang kecil juga mendapatkan kolostrum yang cukup. Jangan biarkan mereka berkompetisi sendiri, karena sudah pasti akan kalah. Ini adalah salah satu alasan mengapa kematian anak babi selama ini cinderung terjadi pada anak babi yang berat badannya kecil, karena mereka kalah bersaing dengan teman-temannya dalam mendapatkan kolostrum induk.

Praktis di Lapangan.

Cross fostering

Jika anak babi yang dilahirkan cukup banyak, pertimbangkan untuk memindahkan beberapa anak babi ke induk babi lain yang memiliki anak lebih sedikit setelah mereka mendapatkan kolostrum dari induk aslinya. Pengasuhan silang ini umum dilakukan para peternak untuk memastikan anak babi mendapatkan kolostrum tambahan dan air susu yang cukup untuk proses pertumbuhannya.

Menyusui terpisah

Jika terdapat ukuran anak babi yang tidak rata, maka untuk anak babi berukuran besar bisa disisihkan terlebih dahulu dan mengutamakan anak babi yang kecil/lemah untuk menyusu induk pertama sehingga tidak kalah dalam berkompetisi dengan anak babi yang besar/kuat.

Bank Kolostrum

Di peternakan babi modern yang lebih besar, menyimpan kolostrum berkualitas tinggi dari induk babi yang sehat dapat menjadi cadangan bagi anak babi yang mengalami gangguan. Penyimpanan dan penanganan yang tepat sangat penting agar kualitas tetap baik.

Referensi :

  1. https://ahdb.org.uk/pork
  2. https://swinehealth.ceva.com/blog/how-to-manage-colostrum-for-optimal-piglet-performance
Anemia pada Piglet

Anemia pada Piglet

Anemia secara umum dapat terjadi karena berkurangnya volume darah karena perdarahan, kekurangan hemoglobin karena ketidakcukupan diet (terutama zat besi dan tembaga), serta berkurangnya jumlah sel darah merah yang diproduksi di sumsum tulang. Sejumlah kecil tembaga juga sangat penting untuk pemanfaatan besi, sehingga kekurangan tembaga juga dapat menyebabkan anemia yang memiliki banyak tanda dan lesi klinis yang sama. Kondisi penyakit tertentu, infeksi atau keadaan toksik juga dapat mempengaruhinya munculnya anemia. Seperti halnya pada kejadian actinobacillus pleuropneumonia (APP) dan glässer’s disease, gejala sekunder yang biasanya teramati adalah anemia.

Peternakan babi modern tentunya tidak asing dengan istilah Iron Deficiency Anemia (IDA), yaitu suatu kondisi anemia yang disebabkan oleh kekurangan zat besi. Mengapa demikian? Anak babi/piglet umumnya dilahirkan dengan cadangan zat besi sangat sedikit. Kolostrum dan susu induk memberikan zat besi hanya 15-50% dari kebutuhan harian. Pertumbuhan yang cepat dan perkembangan volume darah pada anak babi pada periode menyusui ini akan mengakibatkan piglet kekurangan zat besi sehingga akan terjadi anemia jika tidak ada intervensi yang kita lakukan untuk memenuhi kebutuhan zat besi ini. Zat besi ini sebenarnya bisa ditemukan di tanah. Kejadian anemia ini terutama terlihat pada anak babi yang dibesarkan dalam kandang intensif tanpa akses ke tanah atau kotoran yang mengandung zat besi.

Gejala klinis dan nekropsi. Tanda dan lesi defisiensi zat besi bervariasi pada anak babi dari berbagai usia. Tidak adanya tambahan suplemen zat besi akan mengakibatkan anak babi tampak lebih pucat, pertumbuhan melambat dan cinderung cepat kehilangan berat badan atau kondisi tubuhnya menurun dalam 1 minggu kemudian. Jika intervensi yang kita lakukan ternyata juga belum mencukupi, maka anak babi biasanya akan sulit mencapai berat sapih ideal saat usia 3-4 minggu. Kemudian jika kondisinya parah, napasnya menjadi cepat dan bisa mati mendadak.

Ternak babi yang kekurangan zat besi pada saat umur 4-10 minggu akan menunjukkan tanda dan lesi yang serupa. Untuk mengantisipasi kejadian ini, ada beberapa peternak yang memberikan injeksi zat besi sampai 2x, mengingat kelompok ini juga cukup rentan terhadap infeksi bakteri dan memiliki sedikit ketahanan terhadap lingkungan yang dingin.

http://www.vetvip.eu/index.html%3Fq=node%252F51.html

Kondisi secara umum yang bisa teramati pada kejadian anemia antara lain ternak babi nampak lebih pucat, pernafasan cepat, terkadang kulit tampak agak kuning, selaput lendir mata pucat, diare, perdarahan, ,uncul gejala penyakit tertentu, lemah, serta kejadian lahir mati/stillbirth meningkat.

Pada pemeriksaan bedah bangkai, anak babi akan cinderung pucat, jantung berdinding tipis, serta terjadi edema paru-paru, otot dan jaringan ikat. Pembesaran jantung dan limpa yang nyata, hidroperikardium, asites, dan perubahan lemak di hati juga bisa teramati.

Diagnosis. Untuk melakukan evaluasi kondisi anemia, kita dapat melihat riwayat kejadian yang kita catat dalam rekording pemeliharaan. Dokumentasi mengenai perkembangan kondisi pemeliharaan di kandang sangat penting. Kita bisa melakukan pencatatan terhadap kurangnya suplementasi dengan zat besi, tanda-tanda klinis dan lesi postmortem untuk memperkuat diagnosis. Selain itu, uji laboratorium lebih disarankan untuk mengkonfirmasi kejadian anemia. Preparat apus darah dapat mengungkapkan anemia mikrositik hipokromik, sedangkan uji hematologi dan kimia serum akan menunjukkan penurunan saturasi besi dan transferin serum serta hematokrit yang rendah.

Kejadian anemia selain karena kekurangan zat besi/tembaga juga bisa disebabkan oleh eperitrozoonosis (Epe), tukak/ulser lambung, hematoma, pendarahan organ dalam, porcine enterophaty (PE), prolaps rektum, torsi perut dan usus, kesalahan nutrisi, dan keracunan warfarin.

Pencegahan dan treatment. Pemenuhan kebutuhan zat besi tambahan sebanyak 100-200mg adalah salah satu solusi yang umumnya dilakukan di lapangan. Intervensi bisa dilakukan secara per oral ataupun injeksi. Pemberian parenteral paling sering dilakukan dan memiliki keuntungan karena dosis yang diberikan lebih tepat. Zat besi disuntikkan ke otot leher pada anak babi yang baru dilahirkan. Kita bisa berikan pada 3 hari pertama kehidupan, setelah mereka mendapatkan asupan kolostrum terlebih dahulu. baca juga : Manajemen Pemeliharaan Anak Babi

Selain intervensi dengan pemberian zat besi, kita sebaiknya juga melaksanakan program pengendalian cacing secara teratur dan/atau periksa sampel feses untuk kemungkinan adanya manifestasi parasit setiap 3-6 bulan, serta memantau kadar zat besi dalam pakan. Hal ini penting, mengingat usus babi hanya dapat menyerap sejumlah kecil zat besi setiap hari, sehingga proses pemulihan dari anemia umumnya akan berjalan relatif lambat. Jika kondisi usus tidak optimal, maka penyerapan nutrisi termasuk zat besi juga akan terganggu. Selain itu, anak babi yang kekurangan vitamin E/selenium sangat rentan terhadap keracunan zat besi. Jadi pastikan kita juga benar-benar mengerti kondisi keseluruhan ternak kita sebelum melakukan intervensi.

Referensi :

  1. https://vetmed.iastate.edu/vdpam/FSVD/swine/index-diseases/iron-deficiency-anemia
  2. https://www.aasv.org/shap/issues/v24n1/v24n1p10.pdf An investigation of iron deficiency and anemia in piglets and the effect of iron status at weaning on post-weaning performance
  3. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6315738/ Iron Supplementation in Suckling Piglets: An Ostensibly Easy Therapy of Neonatal Iron Deficiency Anemia
  4. https://www.thepigsite.com/disease-guide/anaemia-iron-deficiency
Porcine Reproductive and Respiratory Syndrome pada Babi

Porcine Reproductive and Respiratory Syndrome pada Babi

Porcine Reproductive and Respiratory Syndrome (PRRS) adalah salah satu penyakit virus yang menyebabkan kerugian besar pada industri peternakan babi di dunia. PRRS menyebabkan tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi, performance reproduksi tidak baik dan pertumbuhan yang lambat pada anak babi karena gangguan pernafasan.

Di US, PRRS diperkirakan menyebabkan kerugian sekitar $ 664 juta/tahun. Pada tahun 2012, analisa ekonomi pada 9 breeding babi di Belanda menunjukkan bahwa kerugian akibat outbreak PRRS selama 18 minggu adalah 126 euro/induk  atau sekitar 2 juta rupiah/induk. PRRS relative sulit untuk dikontrol, namun demikian sebuah studi di Denmark berhasil membuktikan bahwa eliminasi PRRS bisa dilakukan dari wilayah Horne Peninsula, dimana 12 farm yang saling berdekatan berkomitmen untuk saling support dan bekerja sama melakukan proyek ini.

Kita tahu bahwa PRRS mulai merebak di dunia pada tahun 1980an. Penyakit ini kemudian disinyalir masuk ke Indonesia tahun 1990an. Paling tidak sudah ada 2  penelitian membuktikan bahwa PRRS telah terdeteksi di wilayah Indonesia. Maka, sudah sewajarnya kita memproteksi asset kita agar tidak mengalami kerugian. Baca juga : Apa itu Porcine Respiratory Disease Complex?

Program kontrol penyakit PRRS ataupun penyakit lain pada umumnya adalah sama, yaitu bagaimana kita mencegah infeksi, memaksimalkan kekebalan dan meminimalkan tantangan lapangan. Kontrol PRRS tidak cukup  hanya terpaku pada program vaksinasi saja, tetapi menuntut lebih banyak pihak untuk secara mendasar tahu tentang penyakit ini dan tahu kondisi kandang/lingkungan, dan juga managemen yang baik agar bisa sukses dalam jangka panjang. Biosecurity memiliki peran penting untuk menunjang program vaksinasi agar berjalan maksimal. Kemampuan menganalisa faktor resiko dari luar dan dalam, lingkungan dan managemen  menjadi titik kritis keberhasilan farm dalam menanggulangi datangnya penyakit.

Pada kondisi kandang yang lokasinya berdekatan satu sama lain tidak jarang komitmen antar peternak sulit untuk dilakukan. Maka, memaksimalkan kontrol terhadap faktor resiko Internal dan managemen menjadi hal yang wajib dilakukan. Disisi lain, pengawasaan terhadap resiko dari  faktor lokasi dan resiko ekternal tetap harus dimonitor meski  lebih sulit karena diluar kendali kita.  Baca juga : Pentingnya Biosekuriti pada Peternakan Babi.

Silahkan anda dapat mengunjungi www.prrs.com untuk lebih detail mengenal penyakit PRRS dan juga mengunduh aplikasi COMBAT for PRRS di android/IOS untuk mengukur level biosecurity di farm kita. Semoga dengan pemahaman yang baik akan penyakit PRRS akan membantu kita dalam upaya kontrol penyakit ini sehingga pada akhirnya performance farm menjadi optimal.

References

 1.  Lunney JK, Benfield DA, Rowland RR. Porcine reproductive and respiratory syndrome virus: an update on an emerging and re-emerging viral disease of swine. Virus Res. 2010;154:1–6.

 2.  Holtkamp DJ, Kliebenstein JB, Neumann EJ, Zimmerman J, Rotto H, Yoder T, et al. Assessment of the economic impact of porcine reproductive and respiratory syndrome virus on United States pork producers. J Swine Health Prod. 2013;21:72–84.

 3.  Nieuwenhuis N, Duinhof TF, van Nes A. Economic analysis of outbreaks of porcine reproductive and respiratory syndrome virus in nine sow herds.Vet Rec. 2012;170:225.

4.https://www.researchgate.net/publication/312267717_Control_and_eradication_of_porcine_reproductive_and_respiratory_syndrome_virus_type_2_using_a_modified-live_type_2_vaccine_in_combination_with_a_load_close_homogenise_model_An_area_elimination_study10 Golden Rules

5.https://www.prrs.com/en/publications/articles/prrs-underestimated-disease/

6.https://www.researchgate.net/publication/256131165_SEROLOGICAL_SURVEILLANCE_OF_PORCINE_REPRODUCTIVE_AND_RESPIRATORY_SYNDROME_IN_PIGGERIES_IN_BALI

7.https://www.researchgate.net/publication/267689332_DETEKSI_ANTIBODI_TERHADAP_VIRUS_PORCINE_REPRODUCTIVE_AND_RESPIRATORYSYNDROME_PRRS_PADA_BABI_DI_BEBERAPA_DAERAH_INDONESIA_BAGIAN_TIMUR

Mikoplasma pada Babi

Mikoplasma pada Babi

Mikoplasma adalah penyakit pernafasan kronis yang meluas pada babi yang ditandai dengan batuk, gangguian pertumbuhan dan berkurangnya efisiensi pakan. Mikoplasma pada babi yang sering disebut dengan “Enzootic Pneumonia (EP)” adalah penyakit yang umum dan tersebar luas yang terjadi sepanjang tahun. EP sering lebih terlihat dalam bentuk kronis di mana ada populasi ternak babi dengan kondisi peternakan dan lingkungan yang buruk. Penyakit ini bisa muncul setelah penyapihan, yaitu ketika kekebalan pasif telah berkurang, tetapi lebih sering terjadi pada tahap grower dan finisher. Pneumonia karena Mikoplasma sering berinteraksi dan berkontribusi pada penyakit pernapasan lainnya dan dianggap memiliki peran sentral terjadinya penyakit pernapasan komplek babi (PRDC). EP dilaporkan di sebagian besar negara yang mempunyai peternakan babi dan dikenal sebagai penyakit babi yang merugikan karena efek negatifnya pada tingkat pertumbuhan dan efisiensi pakan, dan juga perannya dalam kejadian PRDC.

Mycoplasma hyopneumoniae yang merupakan agen penyebab EP sulit diisolasi dan tumbuh lambat di laboratorium. Patogen ini relatif kecil, dan sebenarnya hanya bertahan dalam waktu singkat di lingkungan kandang babi dan dapat dihancurkan oleh sebagian besar disinfektan. Namun jika penanganannya tidak tepat, Mycoplasma hyopneumoniae beresiko meningkatkan keparahan beberapa infeksi lain, termasuk penyakit sindrom reproduksi dan pernapasan babi (PRRS) dan influenza. Selain itu, dia juga mampu bertindak sendiri sebagai patogen primer yang signifikan. Selain Mycoplasma hyopneumoniae, pada babi juga terdapat Mycoplasma hyosynoviae yang menjadi penyebab sporadis dari sinovitis epidemik pada babi yang sedang tumbuh dan Mycoplasma hyorhinis yang umumnya dilaporkan menyebabkan poliserositis fibrinosa pada babi muda.

Babi carrier/pembawa adalah sumber infeksi yang paling umum dan sangat penting, karena M. hyopneumoniae tidak dapat bertahan lama di lingkungan. Organisme ini bertahan selama berbulan-bulan di paru-paru babi yang terinfeksi, termasuk ternak muda. Organisme ini sering diisolasi dari sekresi hidung sehingga penularan melalui kontak langsung dan batuk mungkin terjadi. Penularan lewat udara juga sangat mungkin terjadi, bukti empiris menunjukkan bahwa penyebaran aerosol dapat terjadi dalam beberapa mil sehingga status populasi babi yang bebas mikoplasma relatif sulit untuk dipertahankan.

Mycoplasma hyopneumoniae dapat diamati secara mikroskopis pada epitel siliaris trakea, bronkus dan bronkiolus. Faktor virulensi yang berasal dari protein membran luar M. hyopneumoniae akan merusak beberapa mekanisme pertahanan pernapasan dan memfasilitasi infeksi. Membran sel akan menyamarkan antigen pelindung, membuat respons imun menjadi tidak efisien. Kualitas udara yang buruk (debu atau gas berbahaya) dapat mengiritasi saluran udara dan meningkatkan kerentanan. Lesi awal EP adalah bronkitis dan bronkiolitis. Ada hiperplasia sel yang mengeluarkan lendir di mukosa dan hilangnya silia dari banyak sel epitel saluran udara. Reaksi radang kemudian akan menyebar ke alveoli sekitarnya menyebabkan alveolitis, pneumonia, obstruksi jalan napas, dan atelektasis. Peningkatan lendir di saluran udara, ciliostasis, dan tekanan jaringan limfoid di sekitarnya kemudian akan mengganggu pembersihan lendir dan eksudat paru. Dengan kondisi ini, infeksi patogen/bakteri sekunder lainnya berkontribusi secara substansial dan merupakan penyebab umum dari pneumonia berat dan kematian.

Tanda klinis EP yang utama adalah batuk kronis, persisten, dan tidak produktif. Onset sering terjadi sekitar 2-3 minggu setelah terpapar dan biasanya bertahap dalam kawanan dan bisa berlangsung selama berminggu-minggu hingga berbulan-bulan. Debu yang berlebihan, gas yang mengiritasi, atau infeksi yang terjadi secara bersamaan dapat menyebabkan batuk yang lebih parah. Saat pneumonia berkembang pada beberapa babi, dispnea/gangguan pernafasan menjadi lebih jelas dan pertumbuhan menjadi terhambat serta efisiensi pakan menurun, walaupun nafsu makan sebenarnya cinderung masih normal. Morbiditas/angka kesakitan karena EP sangat tinggi, tetapi mortalitasnya rendah, jika tidak ada infeksi campuran agen penyakit yang lainnya.

Pada babi yang terkena EP, lesi pneumonik pada paru-paru sebagian besar berbatas tegas pada cranioventral dan melibatkan lobus apikal, intermediate, serta jantung. Kejadian bisa meluas ke lobus diafragma pada kasus yang parah. Lesi kronis biasanya berkurang volumenya dan berwarna abu-abu gelap, sedangkan lesi yang lebih baru cenderung berwarna coklat kemerahan atau abu-abu terang dengan diikuti edema, lendir/eksudat mukopurulen, dan sel radang yang terlihat di saluran udara. Area menonjol yang berdekatan dengan area pneumonia sering kali berwarna merah muda dan lebih pucat daripada paru-paru normal. Infeksi sekunder dengan patogen pernapasan lain sering terjadi dan dapat mengubah tampilan lesi yang dipicu oleh mikoplasma.

Perubahan lesi paru-paru mungkin khas, tetapi tidak patognomonik untuk M. hyopneumoniae, jadi disaat kita melihat konsolidasi paru-paru kranioventral atau bronkogenik dengan batas-batas yang jelas merupakan ciri khas bronkopneumonia bakterial, hal ini masih perlu dianalisa lebih lanjut karena tidak selalu berhubungan dengan keberadaan M. hyopneumoniae. Oleh karena itu, disinilah peran uji laboratorium dalam menegakkan diagnosa. Proses isolasi biasanya memerlukan waktu yang lama, melelahkan, sulit serta umumnya tidak tersedia secara rutin. Identifikasi agen dalam sampel paru-paru yang diambil saat nekropsi dimungkinkan menggunakan teknik antibodi fluoresen, imunohistokimia, atau polymerase chain reaction (PCR). Tes serologis termasuk tes fiksasi komplemen dan tes enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) dapat berguna tetapi interpretasi harus dibuat dengan hati-hati. Pengujian per individu memiliki nilai yang kecil karena banyak babi tanpa penyakit ternyata aktif memiliki antibodi terhadap M. hyopneumoniae atau mikoplasma lain yang bereaksi silang dan cinderung berkembang perlahan pada banyak hewan yang terinfeksi. Tes PCR memungkinkan diagnosis infeksi yang lebih dini dan lebih akurat karena deteksi organisme ini menegaskan keberadaan organisme.

Banyak metode pengendalian EP yang digunakan. Beberapa breeding berusaha agar stok genetik dipertahankan negatif untuk M. hyopneumoniae walaupun harus memiliki protokol isolasi, aklimatisasi, pengujian, dan biosekuriti yang cermat untuk memastikan organisme tidak dimasukkan ke dalam stok pengembangbiakan. Ternak yang paling negatif adalah hasil depopulasi dan repopulasi dengan bibit negatif. Dalam beberapa kasus, ternak menjadi negatif melalui pengobatan ketat atau penyapihan awal dipisahkan, dan program penyakit minimal lainnya. Mempertahankan ternak komersial bebas dari infeksi M. hyopneumoniae jika ditempatkan di daerah padat babi relatif sulit dalam jangka panjang. Baca juga : Pentingnya Biosekuriti pada Peternakan Babi.

Strategi pengendalian yang dikembangkan di Eropa dikenal dengan “depopulasi Swiss”. Strategi eliminasi ini relatif sulit karena melibatkan periode vaksinasi intensif untuk semua hewan di peternakan diikuti dengan pemindahan semua hewan yang berusia kurang dari 10 bulan. Untuk jangka waktu 3 minggu setelah ini, proses farrowing dihentikan. Selama periode stand-down, semua hewan yang tersisa di peternakan secara intensif diobati dengan antibiotik yang ditujukan untuk menghilangkan organisme M. hyopneumoniae yang mungkin berada di hewan pembawa. Pemusnahan semua babi yang rentan dikombinasikan dengan program vaksinasi / pengobatan umumnya menghasilkan penurunan efek yang signifikan dari penyakit hingga dua tahun.

Langkah-langkah lain untuk membantu dalam pengendalian tetapi tidak mengeliminasi patogen adalah proses penyapihan dini, penyapihan dini dengan pengobatan (MEW = medicated early weaning) atau modifikasi MEW. Anak babi disapih sebelum usia 21 hari, untuk mencegah penularan M. hyopneumoniae (dan organisme lain) dari induk. Sapihan ini dipindahkan ke tempat pembibitan yang terpisah dan bersih serta dikondiskan terpisah sesuai kelompok umur dengan sistem manajemen menyeluruh yang baik. Baca juga : Perlukah Program Vaksinasi pada Peternakan Babi.

Dengan strategi yang sudah ada ini, baik dengan menghilangkan atau mengendalikan M. hyopneumoniae ternyata penyakit ini tetap menjadi masalah ekonomi yang signifikan, terutama jika lokasi peternakan tersebut virus PRRS atau virus influenza babi (SIV) bersifat endemik. Vaksin umumnya dianggap berkhasiat dan dapat efektif dalam mengurangi kerugian akibat infeksi M. hyopneumoniae karena vaksin akan membantu mengurangi lesi paru-paru dan meningkatkan kinerja pertumbuhan. Pada beberapa kasus, induk betina biasanya juga divaksinasi tetapi sebagian besar program bergantung pada vaksinasi anak babi yang dilakukan sebelum sapih. Selain itu, antibiotik dapat digunakan untuk membantu perbaikan manajemen walaupun seringkali dengan hasil yang tidak konsisten. Khasiat antimikroba dalam mengendalikan M. hyopneumoniae mungkin terkait dengan aktivitas antimikoplasma atau ada tidaknya infeksi lain. Antibiotik yang dilaporkan berkhasiat untuk M. hyopneumoniae antara lain adalah lincomycin, tiamulin, tetracyclines, tylosin, tilmicosin, tulathromycin, enrofloxacin.

Referensi :

  1. https://vetmed.iastate.edu/vdpam/FSVD/swine/index-diseases/mycoplasmal-pneumonia
  2. Mycoplasma-Related Diseases | Iowa State University (iastate.edu)
  3. https://www.pigprogress.net/Health/Health-Tool/diseases/Enzootic-Pneumonia-EP/
Apa itu Porcine Respiratory Diseases Complex (PRDC) ?

Apa itu Porcine Respiratory Diseases Complex (PRDC) ?

Penyakit pernapasan adalah masalah ekonomi yang serius bagi produsen babi dan dokter hewan di seluruh dunia sampai saat ini. Istilah kompleks penyakit pernapasan babi (PRDC) telah digunakan untuk menggambarkan pola kemunculan penyakit pernapasan ini. PRDC bersifat multifaktorial, melibatkan faktor manajemen dan berbagai patogen. Gejala klinis PRDC antara lain adalah lesu, anoreksia, demam, keluarnya cairan dari hidung, kotoran pada mata, batuk, sulit bernapas, dan perubahan warna ungu pada kulit, terutama ujung telinga. Tidak semua menampakkan kasus yang sama, beberapa mungkin lebih ringan dari yang lain dan sebaliknya ada juga yang muncul dengan kematian dan kerusakan permanen yang parah terjadi pada kasus yang paling serius.Patogen yang terlibat dalam PRDC dapat berupa virus atau bakteri, atau kombinasi keduanya. Agen virus yang sering terlibat termasuk PRRSV, virus corona, virus flu babi, dan circovirus (PCV2). Agen bakteri yang sering terlibat utamanya adalah Mycoplasma hyopneumoniae, Haemophilus parasuis, Streptococcus suis, Bordetella bronchiseptica, Actinobacillus suis, dan Actinobacillus pleuropneumoniae.

Oral fluid adalah metoda analisa yang sekarang ini paling umum dilakukan untuk memantau kasus penyakit pada populasi babi. Sebuah penelitian di Korea, menggunakan metoda ini untuk mengetahui tingkat dan korelasi positif dari delapan patogen yang terkait dengan kompleks penyakit pernapasan babi (PRDC) dengan menganalisis sampel cairan oral dari 214 kelompok babi dari 56 peternakan komersial. Koleksi sampel dilakukan dengan menempatkan tali pada kelompok babi yang dicurigai, secara alami tali yang digantungkan tersebut akan dikunyah-kunyah oleh babi dan kemudian kita bisa mendapatkan cairan oral yang mewakili kelompok babi tersebut. Cairan oral kemudian diuji dengan reverse-transcription polymerase chain reaction (RT-PCR) atau standar PCR bergantung pada mikroorganisme. Patogen dibagi menjadi kelompok virus dan bakteri. Dari penelitian ini dikonfirmasi adanya sindrom reproduksi dan pernafasan babi (PRRSV) dan circovirus tipe 2 (PCV2), Pasteurella multocida (PM), Haemophilus parasuis (HPS), Actinobacillus pleuropneumoniae (APP), Mycoplasma hyopneumoniae (MHP), Mycoplasma hyorhinis (MHR), dan Streptococcus suis (SS). Semua patogen terdeteksi lebih dari satu kali dalam reaksi PCR, dan analisis berdasarkan distribusi usia menunjukkan adanya peningkatan angka PCR positif untuk PCV2 dan MHP seiring dengan bertambahnya usia, sedangkan SS berbanding terbalik.

Kasus PRDC dapat secara signifikan meningkatkan biaya produksi karena peningkatan kebutuhan pengobatan, penurunan tingkat pertumbuhan dan efisiensi pakan serta kematian yang lebih tinggi. Pencegahan yang berhasil membutuhkan vaksinasi yang tepat waktu, menghilangkan stresor lingkungan dan, perubahan manajemen. Faktor kunci dalam pencegahan dan kontrol PRDC antara lain adalah menerapkan biosekuriti yang ketat, hindari mencampur babi lebih dari yang diperlukan/pindahkan babi jika benar-benar penting saja, jangan terlalu padat, program vaksinasi yang sesuai dengan tantangan di kandang, pantau suhu setiap hari dan hindari fluktuasi suhu (± 2 ° C), kelembapan relatif dijaga di bawah 70 persen dengan menggunakan sistem ventilasi yang dirancang dan dioperasikan dengan baik, hindari kadar amonia yang berlebihan (> 50 ppm) dengan membuang udara pengap dengan ventilasi yang baik, kurangi migrasi larva Ascaris dengan menerapkan rencana pengendalian cacing yang baik.

Referensi :

  1. https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0749072015300062
  2. https://www.researchgate.net/publication/307591679_A_survey_of_porcine_respiratory_disease_complex_PRDC_associated_pathogens_among_commercial_pig_farms_of_Korea_via_oral_fluid_method
  3. https://www.thepigsite.com/articles/porcine-respiratory-disease-complex

error: Content is protected !!