Penyakit Pernafasan Babi

Penyakit Pernafasan Babi

Penyakit pernapasan babi dapat diklasifikasikan ke dalam dua kategori besar. Berdasarkan luas dan durasi penyakit yang menyerang babi, yaitu penyakit yang menyerang dalam sejumlah besar kawanan tetapi durasinya terbatas dan yang tidak terbatas.

Penyakit dalam kategori pertama umumnya relatif mahal, tetapi kerugiannya hanya terbatas dan tidak berkelanjutan. Penyakit pada kategori pertama antara lain termasuk swine influenza (Flu Babi), Classical Swine Fever (Hog Cholera), Pseudorabies, Porcine Circovirus Ascosiated Disease, dan Porcine Reproductive and Respiratory Syndrome (PRRS). Virus penyebab penyakit-penyakit diatas dapat bertahan dalam kawanan, tetapi wabah penyakit terkadang hanya muncul pada saat tertentu saja. Hal inilah terkadang membuat peternak lalai untuk melakukan monitoring dan cinderung mengabaikan karena kejadiannya sering bersifat sporadis.

Penyakit dalam kategori kedua yang paling dominan adalah Mycoplasmosis dan Pleuropneumonia. Athropic Rhinitis (AR) yang pernah dianggap sebagai penyebab signifikan penyakit pernapasan pada babi pada saat ini kejadiannya telah menurun karena pelaksanaan program pemberantasan/eradikasi, sedangkan infeksi Salmonellosis dan Haemophilus parasuis mungkin merupakan masalah yang signifikan pada beberapa ternak. Kejadian AR tingkat sedang yang disebabkan oleh Bordetella bronchiseptica saja mungkin tidak terlalu signifikan, tetapi bila digabungkan dengan adanya infeksi Pasteurellosis yang toksigenik, maka akan menjadi penyebab penting yang merugikan karena penurunan laju pertumbuhan dan pengurangan konversi pakan pada babi muda.

Enzootic Pneumonia, bila disebabkan oleh mikoplasma saja mungkin tidak terlalu berdampak, namun bila dikombinasikan dengan infeksi sekunder lainnya, misalnya Pasteurella multocida, maka kondisi yang dihasilkan bisa cukup parah. Actinobacillus pleuropneumoniae (APP) mungkin berhubungan dengan kerugian yang cukup besar pada beberapa ternak. Migrasi larva cacing atau infeksi penyakit dari kategori pertama seringnya akan menimbulkan masalah yang parah ketika terjadi dengan infeksi pada kategori kedua ini.

Porcine Respiratory Disease Complex

Tingkat keparahan dan kerugian ekonomi penyakit dalam kategori kedua juga terkait dengan tingkat kepadatan, jenis serta ukuran kawanan. Meskipun mortalitas biasanya rendah, kerugian ekonomi bisa disebabkan oleh laju pertumbuhan yang tidak merata, penurunan efisiensi pakan, dan biaya tambahan obat-obatan. Namun, ketika stres dapat dihindari dengan manajemen yang tepat, penyakit tersebut hanya dapat mengakibatkan kerugian minimal. Oleh karena itu, peran manajemen dan lingkungan pada kasus pernafasan di suatu lokasi peternakan sangat berpengatuh besar.

Dari bagan diatas kita bisa mengevaluasi bahwa, masalah penyakit pernapasan pada babi sering kali disebabkan oleh berbagai agen (koinfeksi) dan jarang disebabkan oleh efek patogen tunggal, sehingga kita sering menyebutnya dengan Porcine Respiratory Disease Complex (PRDC).

Untuk mengantisipasi kejadian penyakit pada kategori kedua ini, maka sangat penting bagi kita untuk mempraktekkan manajemen pemeliharaan yang baik. Untuk membuat ternak bebas dari penyakit dalam kategori kedua ini bisa dilakukan dengan teknik seperti repopulasi bibit yang bebas dari patogen-patogen tersebut. Penyapihan dini atau membeli bibit babi dari kawanan bebas pneumonia menjadi syarat yang penting. Idealnya babi harus dibeli dari sumber yang sama dan terpercaya. Baca juga : Proses-aklimatisasi-pada-peternakan-babi-bagian-2

Pada kondisi di lapangan, peternak umumnya relatif sulit untuk menjaga ternak mereka bebas dari penyakit pernapasan. Penularan penyakit lewat udara / aerosol telah dicurigai sebagai sumber masuknya patogen ke peternakan. Organisme seperti Mycoplasma hyopneumoniae secara experimental dapat ditularkan dari jarak sejauh 2 mil. Hal ini tentunya tergantung pada iklim, medan, dan kepadatan babi di lokasi peternakan.

Penyakit pernapasan endemik di banyak lokasi peternakan. Faktor utama yang harus diperhatikan adalah manajemen stress, kepadatan kandang, ventilasi, kontrol suhu, pencampuran dan transportasi pemindahan. Oleh karena itu, sangat penting untuk kita bisa mengelola faktor-faktor diatas agar performance kadang kita bisa optimal. Sekali lagi, selain faktor manajemen, program vaksinasi dan biosekuriti idealnya harus dipraktekkan dengan benar untuk menjaga performance kandang selalu baik. Baca juga : Biosekuriti di era New Normal.

Rerefensi :

  1. Respiratory diseases* | Iowa State University (iastate.edu)
  2. https://www.msdvetmanual.com/respiratory-system/respiratory-diseases-of-pigs/overview-of-respiratory-diseases-of-pigs
  3. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK2481/
  4. https://porcinehealthmanagement.biomedcentral.com/articles/10.1186/s40813-017-0065-2

 

Glasser’s Disease (Haemophilus parasuis)

Glasser’s Disease (Haemophilus parasuis)

Glasser’s disease adalah penyakit menular pada babi yang ditandai  dengan adanya meningoensephalitis, polyserositis dan polyarthritis. Penyebab Glasser’s disease adalah  Haemophilus parasuis (Hps), bakteri gram negatif bentuk batang yang kecil dan pleomorfik. Penyakit ini terjadi secara sporadis dan biasa diamati pada babi usia 3-12 minggu, bahkan lebih tua. Kasus biasanya muncul saat stres karena penyapihan, perubahan lingkungan, atau ko-infeksi dengan penyakit lainnya. Sedikitnya 21 serovars Hps yang berhasil  diidentifikasi. Serovars 4, 5, 13 dan 14 lebih lazim di Amerika Utara dan merupakan  Hps yang pathogen di dunia.  Cross proteksi  dapat terjadi tetapi tidak lengkap. Contoh, Vaksin yang berisi Hps serovars 4 & 5 biasanya melindungi terhadap homolog dan heterologous serovars 4 & 5 dan mengurangi jumlah lesi yang disebabkan oleh serovars 13 & 14.

Glasser’s disease biasanya terjadi secara akut dengan gejala demam (40-41°c), hilang nafsu makan, nafas dangkal dan sulit seperti ada gerakan menjulurkan kepala, batuk dan nasal discharge mungkin terjadi,  sendi bengkak dan hangat, mati dalam 2-5 hari. Babi yang bertahan biasanya akan tampak arthritis kronis, pericarditis dan gagal jantung, meningitis atau obstruksi usus.  Hal lain yang harus kita perhatikan, jika ada finisher atau calon induk SEHAT di farm terjadi  kematian mendadak disertai batuk dan demam, maka kemungkinan disebabkan oleh Haemophilus parasuis.

Secara klinis, Hps jika ko-infeksi dengan patogen lain seperti PRRS (Porcine Reproductive and Respiratory Syndrome), PCV2 (Porcine Circovirus type 2), Streptococcus suis dan Pasteurella multocida akan menyebabkan meningkatnya kerugian ekonomi. Ko-infeksi PCV2 dan Hps adalah kombinasi yang paling lazim terkait dengan PMWS (Post weaning  Multisystemic Wasting Syndrome) di Korea dan Cina. Sebuah penelitian yang dilakukan di China menyatakan bahwa, ko-infeksi antara (PCV2) dan Hps4 menginduksi cedera sistem dan meningkatkan keganasan PCV2 di piglet.

Bagaimana mekanisme penyakit ini terjadi sebenarnya kurang dipahami dengan jelas, tetapi vaskulitis memainkan peran penting. Hps dapat menjadi patogen utama, tetapi bisa juga dikaitkan dengan penyakit lain seperti virus PRRS atau virus influenza babi (SIV).  Bakteri Hps akan masuk ke dalam darah dan menyebabkan septicemia,  lalu tumbuh dan berkembang  pada permukaan serosal, seperti pericardium/selaput jantung, pleura/selaput paru-paru, peritoneum/rongga perut, sendi, meninges/otak. Oleh karena itu, lesi-lesi yang muncul biasanya adalah polyserositis, baik itu pericarditis, pleuritis, peritonitis, polyarthritis, dan meningitis.

Diagnosis terhadap  Glasser’s disease bisa dikonfirmasi dengan pengamatan gejala klinis, pemeriksaan post-mortem dan isolasi dari organisme di laboratorium, walaupun  tidak mudah tumbuh. Hps harus dibedakan dengan bakteri lainnya seperti Actinobacillus suis, App., Mulberry heart disease, Streptococcal meningitis, dan Streptococcal septicaemias karena memiliki kemiripan.

Untuk pencegahan, kontrol penyakit ini harus melibatkan perbaikan manajemen untuk mengurangi stress, biosekuriti,  pengendalian penyakit primer seperti PRRS dan SIV, antimikrobials profilaksis (penisilin, ampisilin, tetrasiklin, ceftiofur, enrofloxacin dan trimethoprim-sulphonamide), atau VAKSINASI karena kolonisasi Hps bisa terjadi di fase awal kehidupan, yaitu kurang dari 10 hari. Baca juga : Perlukah Program Vaksinasi pada Peternakan Babi?

Oleh karena itu, mulai sekarang kenali dan evaluasi patogen apa saja yang sudah bersirkulasi di farm kita, sehingga kita bisa menyusun program vaksinasi, medikasi dan biosekuriti yang baik agar usaha kita terus menghasilkan keuntungan yang optimal.

References :

  1. https://vetmed.iastate.edu/vdpam/FSVD/swine/index-diseases/glasser-disease
  2. https://www.pigprogress.net/Health/Health-Tool/diseases/Glassers-Disease-/
  3. https://thepigsite.com/disease-guide/glässers-disease-haemophilus-parasuis-hps
  4. https://www.sciencedirect.com/topics/agricultural-and-biological-sciences/haemophilus-parasuis
  5. https://www.pig333.com/articles/glassers-disease-an-update_11406/
  6. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5696968/#!po=0.806452
Porcine Reproductive and Respiratory Syndrome pada Babi

Porcine Reproductive and Respiratory Syndrome pada Babi

Porcine Reproductive and Respiratory Syndrome (PRRS) adalah salah satu penyakit virus yang menyebabkan kerugian besar pada industri peternakan babi di dunia. PRRS menyebabkan tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi, performance reproduksi tidak baik dan pertumbuhan yang lambat pada anak babi karena gangguan pernafasan.

Di US, PRRS diperkirakan menyebabkan kerugian sekitar $ 664 juta/tahun. Pada tahun 2012, analisa ekonomi pada 9 breeding babi di Belanda menunjukkan bahwa kerugian akibat outbreak PRRS selama 18 minggu adalah 126 euro/induk  atau sekitar 2 juta rupiah/induk. PRRS relative sulit untuk dikontrol, namun demikian sebuah studi di Denmark berhasil membuktikan bahwa eliminasi PRRS bisa dilakukan dari wilayah Horne Peninsula, dimana 12 farm yang saling berdekatan berkomitmen untuk saling support dan bekerja sama melakukan proyek ini.

Kita tahu bahwa PRRS mulai merebak di dunia pada tahun 1980an. Penyakit ini kemudian disinyalir masuk ke Indonesia tahun 1990an. Paling tidak sudah ada 2  penelitian membuktikan bahwa PRRS telah terdeteksi di wilayah Indonesia. Maka, sudah sewajarnya kita memproteksi asset kita agar tidak mengalami kerugian. Baca juga : Apa itu Porcine Respiratory Disease Complex?

Program kontrol penyakit PRRS ataupun penyakit lain pada umumnya adalah sama, yaitu bagaimana kita mencegah infeksi, memaksimalkan kekebalan dan meminimalkan tantangan lapangan. Kontrol PRRS tidak cukup  hanya terpaku pada program vaksinasi saja, tetapi menuntut lebih banyak pihak untuk secara mendasar tahu tentang penyakit ini dan tahu kondisi kandang/lingkungan, dan juga managemen yang baik agar bisa sukses dalam jangka panjang. Biosecurity memiliki peran penting untuk menunjang program vaksinasi agar berjalan maksimal. Kemampuan menganalisa faktor resiko dari luar dan dalam, lingkungan dan managemen  menjadi titik kritis keberhasilan farm dalam menanggulangi datangnya penyakit.

Pada kondisi kandang yang lokasinya berdekatan satu sama lain tidak jarang komitmen antar peternak sulit untuk dilakukan. Maka, memaksimalkan kontrol terhadap faktor resiko Internal dan managemen menjadi hal yang wajib dilakukan. Disisi lain, pengawasaan terhadap resiko dari  faktor lokasi dan resiko ekternal tetap harus dimonitor meski  lebih sulit karena diluar kendali kita.  Baca juga : Pentingnya Biosekuriti pada Peternakan Babi.

Silahkan anda dapat mengunjungi www.prrs.com untuk lebih detail mengenal penyakit PRRS dan juga mengunduh aplikasi COMBAT for PRRS di android/IOS untuk mengukur level biosecurity di farm kita. Semoga dengan pemahaman yang baik akan penyakit PRRS akan membantu kita dalam upaya kontrol penyakit ini sehingga pada akhirnya performance farm menjadi optimal.

References

 1.  Lunney JK, Benfield DA, Rowland RR. Porcine reproductive and respiratory syndrome virus: an update on an emerging and re-emerging viral disease of swine. Virus Res. 2010;154:1–6.

 2.  Holtkamp DJ, Kliebenstein JB, Neumann EJ, Zimmerman J, Rotto H, Yoder T, et al. Assessment of the economic impact of porcine reproductive and respiratory syndrome virus on United States pork producers. J Swine Health Prod. 2013;21:72–84.

 3.  Nieuwenhuis N, Duinhof TF, van Nes A. Economic analysis of outbreaks of porcine reproductive and respiratory syndrome virus in nine sow herds.Vet Rec. 2012;170:225.

4.https://www.researchgate.net/publication/312267717_Control_and_eradication_of_porcine_reproductive_and_respiratory_syndrome_virus_type_2_using_a_modified-live_type_2_vaccine_in_combination_with_a_load_close_homogenise_model_An_area_elimination_study10 Golden Rules

5.https://www.prrs.com/en/publications/articles/prrs-underestimated-disease/

6.https://www.researchgate.net/publication/256131165_SEROLOGICAL_SURVEILLANCE_OF_PORCINE_REPRODUCTIVE_AND_RESPIRATORY_SYNDROME_IN_PIGGERIES_IN_BALI

7.https://www.researchgate.net/publication/267689332_DETEKSI_ANTIBODI_TERHADAP_VIRUS_PORCINE_REPRODUCTIVE_AND_RESPIRATORYSYNDROME_PRRS_PADA_BABI_DI_BEBERAPA_DAERAH_INDONESIA_BAGIAN_TIMUR

Mikoplasma pada Babi

Mikoplasma pada Babi

Mikoplasma adalah penyakit pernafasan kronis yang meluas pada babi yang ditandai dengan batuk, gangguian pertumbuhan dan berkurangnya efisiensi pakan. Mikoplasma pada babi yang sering disebut dengan “Enzootic Pneumonia (EP)” adalah penyakit yang umum dan tersebar luas yang terjadi sepanjang tahun. EP sering lebih terlihat dalam bentuk kronis di mana ada populasi ternak babi dengan kondisi peternakan dan lingkungan yang buruk. Penyakit ini bisa muncul setelah penyapihan, yaitu ketika kekebalan pasif telah berkurang, tetapi lebih sering terjadi pada tahap grower dan finisher. Pneumonia karena Mikoplasma sering berinteraksi dan berkontribusi pada penyakit pernapasan lainnya dan dianggap memiliki peran sentral terjadinya penyakit pernapasan komplek babi (PRDC). EP dilaporkan di sebagian besar negara yang mempunyai peternakan babi dan dikenal sebagai penyakit babi yang merugikan karena efek negatifnya pada tingkat pertumbuhan dan efisiensi pakan, dan juga perannya dalam kejadian PRDC.

Mycoplasma hyopneumoniae yang merupakan agen penyebab EP sulit diisolasi dan tumbuh lambat di laboratorium. Patogen ini relatif kecil, dan sebenarnya hanya bertahan dalam waktu singkat di lingkungan kandang babi dan dapat dihancurkan oleh sebagian besar disinfektan. Namun jika penanganannya tidak tepat, Mycoplasma hyopneumoniae beresiko meningkatkan keparahan beberapa infeksi lain, termasuk penyakit sindrom reproduksi dan pernapasan babi (PRRS) dan influenza. Selain itu, dia juga mampu bertindak sendiri sebagai patogen primer yang signifikan. Selain Mycoplasma hyopneumoniae, pada babi juga terdapat Mycoplasma hyosynoviae yang menjadi penyebab sporadis dari sinovitis epidemik pada babi yang sedang tumbuh dan Mycoplasma hyorhinis yang umumnya dilaporkan menyebabkan poliserositis fibrinosa pada babi muda.

Babi carrier/pembawa adalah sumber infeksi yang paling umum dan sangat penting, karena M. hyopneumoniae tidak dapat bertahan lama di lingkungan. Organisme ini bertahan selama berbulan-bulan di paru-paru babi yang terinfeksi, termasuk ternak muda. Organisme ini sering diisolasi dari sekresi hidung sehingga penularan melalui kontak langsung dan batuk mungkin terjadi. Penularan lewat udara juga sangat mungkin terjadi, bukti empiris menunjukkan bahwa penyebaran aerosol dapat terjadi dalam beberapa mil sehingga status populasi babi yang bebas mikoplasma relatif sulit untuk dipertahankan.

Mycoplasma hyopneumoniae dapat diamati secara mikroskopis pada epitel siliaris trakea, bronkus dan bronkiolus. Faktor virulensi yang berasal dari protein membran luar M. hyopneumoniae akan merusak beberapa mekanisme pertahanan pernapasan dan memfasilitasi infeksi. Membran sel akan menyamarkan antigen pelindung, membuat respons imun menjadi tidak efisien. Kualitas udara yang buruk (debu atau gas berbahaya) dapat mengiritasi saluran udara dan meningkatkan kerentanan. Lesi awal EP adalah bronkitis dan bronkiolitis. Ada hiperplasia sel yang mengeluarkan lendir di mukosa dan hilangnya silia dari banyak sel epitel saluran udara. Reaksi radang kemudian akan menyebar ke alveoli sekitarnya menyebabkan alveolitis, pneumonia, obstruksi jalan napas, dan atelektasis. Peningkatan lendir di saluran udara, ciliostasis, dan tekanan jaringan limfoid di sekitarnya kemudian akan mengganggu pembersihan lendir dan eksudat paru. Dengan kondisi ini, infeksi patogen/bakteri sekunder lainnya berkontribusi secara substansial dan merupakan penyebab umum dari pneumonia berat dan kematian.

Tanda klinis EP yang utama adalah batuk kronis, persisten, dan tidak produktif. Onset sering terjadi sekitar 2-3 minggu setelah terpapar dan biasanya bertahap dalam kawanan dan bisa berlangsung selama berminggu-minggu hingga berbulan-bulan. Debu yang berlebihan, gas yang mengiritasi, atau infeksi yang terjadi secara bersamaan dapat menyebabkan batuk yang lebih parah. Saat pneumonia berkembang pada beberapa babi, dispnea/gangguan pernafasan menjadi lebih jelas dan pertumbuhan menjadi terhambat serta efisiensi pakan menurun, walaupun nafsu makan sebenarnya cinderung masih normal. Morbiditas/angka kesakitan karena EP sangat tinggi, tetapi mortalitasnya rendah, jika tidak ada infeksi campuran agen penyakit yang lainnya.

Pada babi yang terkena EP, lesi pneumonik pada paru-paru sebagian besar berbatas tegas pada cranioventral dan melibatkan lobus apikal, intermediate, serta jantung. Kejadian bisa meluas ke lobus diafragma pada kasus yang parah. Lesi kronis biasanya berkurang volumenya dan berwarna abu-abu gelap, sedangkan lesi yang lebih baru cenderung berwarna coklat kemerahan atau abu-abu terang dengan diikuti edema, lendir/eksudat mukopurulen, dan sel radang yang terlihat di saluran udara. Area menonjol yang berdekatan dengan area pneumonia sering kali berwarna merah muda dan lebih pucat daripada paru-paru normal. Infeksi sekunder dengan patogen pernapasan lain sering terjadi dan dapat mengubah tampilan lesi yang dipicu oleh mikoplasma.

Perubahan lesi paru-paru mungkin khas, tetapi tidak patognomonik untuk M. hyopneumoniae, jadi disaat kita melihat konsolidasi paru-paru kranioventral atau bronkogenik dengan batas-batas yang jelas merupakan ciri khas bronkopneumonia bakterial, hal ini masih perlu dianalisa lebih lanjut karena tidak selalu berhubungan dengan keberadaan M. hyopneumoniae. Oleh karena itu, disinilah peran uji laboratorium dalam menegakkan diagnosa. Proses isolasi biasanya memerlukan waktu yang lama, melelahkan, sulit serta umumnya tidak tersedia secara rutin. Identifikasi agen dalam sampel paru-paru yang diambil saat nekropsi dimungkinkan menggunakan teknik antibodi fluoresen, imunohistokimia, atau polymerase chain reaction (PCR). Tes serologis termasuk tes fiksasi komplemen dan tes enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) dapat berguna tetapi interpretasi harus dibuat dengan hati-hati. Pengujian per individu memiliki nilai yang kecil karena banyak babi tanpa penyakit ternyata aktif memiliki antibodi terhadap M. hyopneumoniae atau mikoplasma lain yang bereaksi silang dan cinderung berkembang perlahan pada banyak hewan yang terinfeksi. Tes PCR memungkinkan diagnosis infeksi yang lebih dini dan lebih akurat karena deteksi organisme ini menegaskan keberadaan organisme.

Banyak metode pengendalian EP yang digunakan. Beberapa breeding berusaha agar stok genetik dipertahankan negatif untuk M. hyopneumoniae walaupun harus memiliki protokol isolasi, aklimatisasi, pengujian, dan biosekuriti yang cermat untuk memastikan organisme tidak dimasukkan ke dalam stok pengembangbiakan. Ternak yang paling negatif adalah hasil depopulasi dan repopulasi dengan bibit negatif. Dalam beberapa kasus, ternak menjadi negatif melalui pengobatan ketat atau penyapihan awal dipisahkan, dan program penyakit minimal lainnya. Mempertahankan ternak komersial bebas dari infeksi M. hyopneumoniae jika ditempatkan di daerah padat babi relatif sulit dalam jangka panjang. Baca juga : Pentingnya Biosekuriti pada Peternakan Babi.

Strategi pengendalian yang dikembangkan di Eropa dikenal dengan “depopulasi Swiss”. Strategi eliminasi ini relatif sulit karena melibatkan periode vaksinasi intensif untuk semua hewan di peternakan diikuti dengan pemindahan semua hewan yang berusia kurang dari 10 bulan. Untuk jangka waktu 3 minggu setelah ini, proses farrowing dihentikan. Selama periode stand-down, semua hewan yang tersisa di peternakan secara intensif diobati dengan antibiotik yang ditujukan untuk menghilangkan organisme M. hyopneumoniae yang mungkin berada di hewan pembawa. Pemusnahan semua babi yang rentan dikombinasikan dengan program vaksinasi / pengobatan umumnya menghasilkan penurunan efek yang signifikan dari penyakit hingga dua tahun.

Langkah-langkah lain untuk membantu dalam pengendalian tetapi tidak mengeliminasi patogen adalah proses penyapihan dini, penyapihan dini dengan pengobatan (MEW = medicated early weaning) atau modifikasi MEW. Anak babi disapih sebelum usia 21 hari, untuk mencegah penularan M. hyopneumoniae (dan organisme lain) dari induk. Sapihan ini dipindahkan ke tempat pembibitan yang terpisah dan bersih serta dikondiskan terpisah sesuai kelompok umur dengan sistem manajemen menyeluruh yang baik. Baca juga : Perlukah Program Vaksinasi pada Peternakan Babi.

Dengan strategi yang sudah ada ini, baik dengan menghilangkan atau mengendalikan M. hyopneumoniae ternyata penyakit ini tetap menjadi masalah ekonomi yang signifikan, terutama jika lokasi peternakan tersebut virus PRRS atau virus influenza babi (SIV) bersifat endemik. Vaksin umumnya dianggap berkhasiat dan dapat efektif dalam mengurangi kerugian akibat infeksi M. hyopneumoniae karena vaksin akan membantu mengurangi lesi paru-paru dan meningkatkan kinerja pertumbuhan. Pada beberapa kasus, induk betina biasanya juga divaksinasi tetapi sebagian besar program bergantung pada vaksinasi anak babi yang dilakukan sebelum sapih. Selain itu, antibiotik dapat digunakan untuk membantu perbaikan manajemen walaupun seringkali dengan hasil yang tidak konsisten. Khasiat antimikroba dalam mengendalikan M. hyopneumoniae mungkin terkait dengan aktivitas antimikoplasma atau ada tidaknya infeksi lain. Antibiotik yang dilaporkan berkhasiat untuk M. hyopneumoniae antara lain adalah lincomycin, tiamulin, tetracyclines, tylosin, tilmicosin, tulathromycin, enrofloxacin.

Referensi :

  1. https://vetmed.iastate.edu/vdpam/FSVD/swine/index-diseases/mycoplasmal-pneumonia
  2. Mycoplasma-Related Diseases | Iowa State University (iastate.edu)
  3. https://www.pigprogress.net/Health/Health-Tool/diseases/Enzootic-Pneumonia-EP/
Apa itu Porcine Respiratory Diseases Complex (PRDC) ?

Apa itu Porcine Respiratory Diseases Complex (PRDC) ?

Penyakit pernapasan adalah masalah ekonomi yang serius bagi produsen babi dan dokter hewan di seluruh dunia sampai saat ini. Istilah kompleks penyakit pernapasan babi (PRDC) telah digunakan untuk menggambarkan pola kemunculan penyakit pernapasan ini. PRDC bersifat multifaktorial, melibatkan faktor manajemen dan berbagai patogen. Gejala klinis PRDC antara lain adalah lesu, anoreksia, demam, keluarnya cairan dari hidung, kotoran pada mata, batuk, sulit bernapas, dan perubahan warna ungu pada kulit, terutama ujung telinga. Tidak semua menampakkan kasus yang sama, beberapa mungkin lebih ringan dari yang lain dan sebaliknya ada juga yang muncul dengan kematian dan kerusakan permanen yang parah terjadi pada kasus yang paling serius.Patogen yang terlibat dalam PRDC dapat berupa virus atau bakteri, atau kombinasi keduanya. Agen virus yang sering terlibat termasuk PRRSV, virus corona, virus flu babi, dan circovirus (PCV2). Agen bakteri yang sering terlibat utamanya adalah Mycoplasma hyopneumoniae, Haemophilus parasuis, Streptococcus suis, Bordetella bronchiseptica, Actinobacillus suis, dan Actinobacillus pleuropneumoniae.

Oral fluid adalah metoda analisa yang sekarang ini paling umum dilakukan untuk memantau kasus penyakit pada populasi babi. Sebuah penelitian di Korea, menggunakan metoda ini untuk mengetahui tingkat dan korelasi positif dari delapan patogen yang terkait dengan kompleks penyakit pernapasan babi (PRDC) dengan menganalisis sampel cairan oral dari 214 kelompok babi dari 56 peternakan komersial. Koleksi sampel dilakukan dengan menempatkan tali pada kelompok babi yang dicurigai, secara alami tali yang digantungkan tersebut akan dikunyah-kunyah oleh babi dan kemudian kita bisa mendapatkan cairan oral yang mewakili kelompok babi tersebut. Cairan oral kemudian diuji dengan reverse-transcription polymerase chain reaction (RT-PCR) atau standar PCR bergantung pada mikroorganisme. Patogen dibagi menjadi kelompok virus dan bakteri. Dari penelitian ini dikonfirmasi adanya sindrom reproduksi dan pernafasan babi (PRRSV) dan circovirus tipe 2 (PCV2), Pasteurella multocida (PM), Haemophilus parasuis (HPS), Actinobacillus pleuropneumoniae (APP), Mycoplasma hyopneumoniae (MHP), Mycoplasma hyorhinis (MHR), dan Streptococcus suis (SS). Semua patogen terdeteksi lebih dari satu kali dalam reaksi PCR, dan analisis berdasarkan distribusi usia menunjukkan adanya peningkatan angka PCR positif untuk PCV2 dan MHP seiring dengan bertambahnya usia, sedangkan SS berbanding terbalik.

Kasus PRDC dapat secara signifikan meningkatkan biaya produksi karena peningkatan kebutuhan pengobatan, penurunan tingkat pertumbuhan dan efisiensi pakan serta kematian yang lebih tinggi. Pencegahan yang berhasil membutuhkan vaksinasi yang tepat waktu, menghilangkan stresor lingkungan dan, perubahan manajemen. Faktor kunci dalam pencegahan dan kontrol PRDC antara lain adalah menerapkan biosekuriti yang ketat, hindari mencampur babi lebih dari yang diperlukan/pindahkan babi jika benar-benar penting saja, jangan terlalu padat, program vaksinasi yang sesuai dengan tantangan di kandang, pantau suhu setiap hari dan hindari fluktuasi suhu (± 2 ° C), kelembapan relatif dijaga di bawah 70 persen dengan menggunakan sistem ventilasi yang dirancang dan dioperasikan dengan baik, hindari kadar amonia yang berlebihan (> 50 ppm) dengan membuang udara pengap dengan ventilasi yang baik, kurangi migrasi larva Ascaris dengan menerapkan rencana pengendalian cacing yang baik.

Referensi :

  1. https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0749072015300062
  2. https://www.researchgate.net/publication/307591679_A_survey_of_porcine_respiratory_disease_complex_PRDC_associated_pathogens_among_commercial_pig_farms_of_Korea_via_oral_fluid_method
  3. https://www.thepigsite.com/articles/porcine-respiratory-disease-complex

Perlukah Program Vaksinasi pada Ternak Babi ?

Perlukah Program Vaksinasi pada Ternak Babi ?

Industri peternakan babi di dunia masih disibukkan dengan penyakit African Swine Fever (ASF) sampai sekarang. Pengobatan maupun vaksin yang tepat untuk mengontrol ASF masih belum ditemukan, sehingga peternak babi di seluruh dunia masih terus memantau inovasi dari penelitian vaksin, temasuk peternak kita di Indonesia. Mengapa vaksin ASF ditunggu-tunggu dan menjadi penting? ASF membunuh hampir semua babi yang terinfeksi dan telah menghancurkan usaha peternakan babi sejak terjadinya outbreak di Cina pada 2018, dan kejadian ini masih berlanjut bahkan menyebar ke negara lain di Asia.

Koreksi populasi karena ASF ini menyebabkan suply dan demand tidak seimbang, serta diikuti dengan fluktuasi harga daging babi di pasaran yang cenderung melambung tinggi. Hal ini menjadi sebuah tantangan dan peluang tersendiri, mengingat yang dapat bertahan hampir dipastikan akan memetik hasilnya dimasa depan. Investasi biosecurity yang ketat dapat menjadi pertahanan utama dalam menangkal ASF, serta manajemen pemeliharaan yang baik (pengaturan nutrisi, program medikasi dan vaksinasi terhadap penyakit-penyakit penting) dapat mengoptimalkan performa farm.

Lalu bagaimana dengan penyakit-penyakit yang vaksinnya sudah tersedia di market? Apakah kita sudah mengoptimalkan penggunaannya? Di Indonesia, penyakit pada babi yang sudah tersedia vaksinnya antara lain adalah Classical Swine Fever (Hog Cholera, Mycopasma, PCV2 (Porcine Circovirus Associated Disease = PCVAD), Porcine Reproductive and Respiratory syndrome (PRRS), Haemophilus parasuis. Secara fakta dilapangan, penyakit-penyakit diatas sudah terdeteksi dilapangan dan sebenarnya juga juga perlu diwaspadai selain ASF saat ini. Baca juga : Swine Influenza pada Babi.

Walaupun tingkat mortalitas PCVAD tidak seganas ASF, tetapi kejadian ini cukup merugikan peternak karena performa farm menjadi tidak maksimal, apalagi jika disertai tantangan infeksi PRRS dan Porcine Parvovirus (PPV). Selain manifestasi Post-weaning Multisystemic Wasting Syndrome (PMWS), Porcine Dermatitis and Nephropathy Syndrome (PDNS), Porcine Respiratory Disease Complex (PRDC) pada anakan, PCVAD juga bisa menyerang induk. Kombinasi PRRS, PPV dan PCV2 telah menjelma menjadi penyakit yang paling merugikan pada breeding farm karena dapat menyebabkan gangguan reproduksi. Namun pada kenyataannya, peternak masih banyak mengabaikan/tidak menyadari penyakit ini karena “hanya bersifat sindrom” dan tidak jarang tanpa gejala.

Gambaran klinis PCVAD pada anakan selalu mencakup wasting, kurangnya respon terhadap pengobatan dan mortalitas. Mortalitas sangat bervariasi dan dapat bersifat sporadis. Angka mortalitas bisa mencapai 10-15%, dan terkadang jauh lebih tinggi jika disertai dengan infeksi lain, seperti virus PRRS. Gejala klinis yang dapat terlihat diantaranya diare, pucat, ikhterus dan lesi kulit yang biasanya dapat diamati antara usia 5-20 minggu.

Perubahan organ yang dapat diamati saat nekropsi adalah paru-paru yang tidak collapse secara normal, pembesaran limfonodus/kelenjar getah bening dan ginjal (dengan/tanpa bintik putih). Lesi lain yang mungkin bisa terlihat adalah edema interlobular paru-paru, edema mesenterium, infark kecil pada limpa (membesar dengan spot area gelap). Tidak terdapat lesi tunggal yang muncul pada semua kasus, sehingga seringkali perlu dilakukan nekropsi pada beberapa babi yang sakit, sehingga hasilnya representatif dalam mengidentifikasi lesi.

Vaksinasi terhadap Circovirus tipe 2 (PCV2) menjadi strategi intervensi yang paling umum secara global, dan digunakan pada babi yang sedang dalam masa pertumbuhan. Sejak tahun 2006, sudah terdapat beberapa produk yang tersedia secara komersial. Prof John C.S. Harding, peneliti PCV2 dari Universitas Saskatchewan Kanada menyatakan bahwa vaksinasi di anakan terbukti sangat ampuh mencegah PCVAD di seluruh dunia. Untuk menilai keefektifan vaksinasi PCV2 di lapangan, kita dapat melihat dari penurunan angka mortalitas dan culling, peningkatan pertumbuhan berat badan serta pengurangan penggunaan obat sebagai parameter yang paling relevan untuk diukur. Program vaksinasi terhadap PCV2 biasanya dilakukan pada anak babi menjelang usia sapih, dan jika diperlukan induk juga bisa dilakukan program vaksinasi secara periodik untuk menjaga performa reproduksinya.

Kita tidak boleh melupakan dampak PCVAD terhadap industri babi baik di induk maupun anakan, sehingga kita perlu untuk mengingat pentingnya pelaksanaan vaksinasi PCV2 dengan benar. Kita harus terus berupaya untuk menentukan program pengendalian yang ideal dan sesuai untuk farm masing-masing, sehingga dapat memperoleh manfaat maksimal dari investasi vaksin.

Sekali lagi, African Swine Fever (ASF) mungkin menyadarkan kita pentingnya vaksin karena dampak mortalitas yang mencapai 100%. Tetapi perlu diingat, penyakit – penyakit lain yang sudah terdeteksi di lapangan dan tidak tertangani dengan baik juga berpotensi untuk menurunkan performa farm yang tentunya juga berdampak pada tidak tercapainya potensi keuntungan yang maksimal. Jika ingin lebih optimal dan berhasil, mari kita lakukan evaluasi dan mulai menerapkan manajemen pemeliharaan yang terbaik untuk ternak babi kita dengan menyusun program biosekuriti, medikasi, nutrisi dan juga vaksinasi yang baik. Baca juga : Pentingnya Biosekuriti pada Peternakan Babi.

Referensi :
https://www.thepigsite.com/news/2020/06/vaccine-for-asf-shows-promise-in-clinical-trials
https://research.rabobank.com/far/en/sectors/animal-protein/pork-quarterly-q2-2020.html
https://www.oie.int/en/animal-health-in-the-world/oie-listed-diseases-2020/
https://porkgateway.org/resource/porcine-circovirus-associated-disease-description-cause-and-transmission/
https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0167587714003444?via%3Dihub
https://www.pigprogress.net/Home/General/2009/9/PCV2-vaccination-changing-the-pig-industry-PP005946W/
https://www.semanticscholar.org/paper/PCV2-vaccination-changing-the-pig-industry%3A-Part-2.-Siebel/de555bcf57a5bcd471654d2a9a06db5d3dd46b23
https://www.pigprogress.net/Home/General/2010/12/PCV2-vaccination-changing-the-pig-industry-Part-3-Reduced-antibiotic-usage-and-improved-performance-go-together-PP007016W/
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/16711565/
https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0021997599903377?via%3Dihub
https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0167587710003387?via%3Dihub
https://www.pig333.com/articles/what-has-changed-about-porcine-circovirus-epidemiology_16002/
https://www.pigprogress.net/Health-Diseases/Health/2013/9/Boehringer-Vaccine-for-PCV2-and-Mycoplasma-1367177W/

error: Content is protected !!