Swine Influenza atau Flu babi adalah infeksi virus influenza A, RNA virus golongan orthomyxovirus yang sangat menular pada babi. Penyakit ini biasanya menyebar sangat cepat di dalam unit pemeliharaan babi meskipun semua babi yang terinfeksi mungkin tidak menunjukkan tanda-tanda klinis infeksi, kemudian diikuti dengan pemulihan cepat. Subtipe yang paling umum ditemukan pada babi adalah influenza A H1N1, H1N2 dan H3N2. Angka kesakitan penyakit ini mencapai 100%, sedangkan angka kematian pada umumnya rendah. Dampak ekonomi yang terutama terkait dengan perlambatan kenaikan berat badan yang mengakibatkan peningkatan jumlah hari untuk mencapai bobot pasar.
Virus flu babi ditemukan terutama pada babi, tetapi juga ditemukan pada spesies lain termasuk manusia, kalkun, dan bebek. Babi yang terinfeksi dapat mulai mengeluarkan virus flu babi dalam waktu 24 jam setelah terinfeksi, dan biasanya mengeluarkan virus (shedding) selama 7-10 hari. Infeksi flu babi pada manusia pernah dilaporkan dan biasanya terjadi pada orang yang bersentuhan langsung dengan babi yang terinfeksi dan menyerupai influenza musiman. Selain itu virus flu babi sangat jarang menyebar pada populasi manusia. Flu babi juga bukanlah penyakit bawaan makanan sehingga jika ada informasi risiko terinfeksi virus flu babi melalui konsumsi daging babi atau produk babi dapat diabaikan karena virus influenza umumnya terbatas pada saluran pernapasan babi, dan tidak terdeteksi pada otot (daging) babi, bahkan selama sakit akut sekalipun.
Tanda-tanda klinis flu babi pada ternak biasanya muncul dalam 1 -3 hari dan kebanyakan hewan pulih dalam waktu 3-7 hari kemudian jika tidak ada infeksi sekunder atau komplikasi lain. Flu babi adalah penyakit saluran pernapasan atas akut yang ditandai dengan demam, lesu, anoreksia, penurunan berat badan, dan sesak napas. Batuk, bersin, dan ingus biasanya juga terlihat, sedangkan konjungtivitis dan aborsi adalah tanda klinis yang kurang umum tetapi bisa terjadi pada ternak babi kita. Tidak jarang babi yang terkena flu tidak menunjukkan gejala, akan tetapi jika ada komplikasi dengan patogen yang lain termasuk infeksi bakteri sekunder atau virus lainnya biasanya bisa mengakibatkan bronkopneumonia sekunder yang berpotensi fatal. Dari gejala klinis yang nampak dilapangan tersebut, sebenarnya kita bisa dengan mudah melihat kasus flu babi pada ternak kita, akan tetapi untuk memastikan diagnosa sebaiknya tetap dilakukan uji laboratorium (Elisa, PCR) untuk mengantisipasi ada tidaknya patogen yang lain juga.
Kalkun yang terinfeksi virus flu babi dapat mengalami gangguan pernapasan, penurunan produksi telur, atau menghasilkan telur yang tidak normal. Pada kejadian flu babi yang menyerang manusia, gejala yang diamati dan dilaporkan umumnya menyerupai influenza musiman, termasuk penyakit saluran pernapasan atas, penyakit pernapasan akut, atau pneumonia dan namun kejadian di manusia sangat jarang berakibat fatal.
Bagaimana upaya pencegahan dan pengendalian yang bisa kita lakukan? Program biosekuriti yang baik sangat penting untuk mencegah penularan melalui fomites (alat-alat peternakan) dan vektor mekanis. Jika kandang babi terinfeksi flu babi, virus dapat bertahan dalam kawanan dan menyebabkan wabah secara berkala, akan tetapi manajemen yang baik dapat menurunkan resiko penularan tingkat keparahan penyakit. Perlu kita ketahui bahwa setelah flu babi terindikasi muncul di sebuah peternakan, akan sangat sulit untuk sepenuhnya diberantas dan depopulasi ternak mungkin diperlukan. Namun demikian virus influenza sensitif terhadap panas, pengeringan, deterjen, dan disinfektan sehingga sebenarnya relatif mudah untuk dikendalikan jika kita melakukan prosedur biosekuriti yang benar. Baca juga : Pentingnya Biosekuriti pada Peternakan Babi.
Berkaitan dengan kejadian flu babi pada manusia tahun 2009 lalu, sebuah penelitian menyampaikan bahwa babi telah lama dianggap sebagai inang perantara yang potensial sebagai tempat virus avian influenza (flu burung) dapat beradaptasi dengan manusia. Surveilans 2005-2009 menemukan bahwa 52 sampel babi di 4 provinsi telah terinfeksi avian influenza A (H5N1) selama 2005–2007, sedangkan surveilans 2008-2009 hasilnya negatif. Analisia menunjukkan bahwa virus yang normalnya ditemukan pada unggas ini telah masuk ke dalam populasi babi di Indonesia paling sedikit 3 kali. Secara visual, tidak ada babi terinfeksi yang memiliki gejala mirip influenza, sehingga hal ini menunjukkan bahwa virus influenza A (H5N1) yang menginfeksi ternak babi dapat berkembang biak tanpa terdeteksi untuk waktu yang lama dan kemudian memfasilitasi adaptasi virus unggas ke inang mamalia. Dari penelitian ini menunjukkan bahwa babi juga berisiko terinfeksi saat terjadi wabah virus influenza A (H5N1) di unggas. Kesimpulan dari penelitian ini salah satunya adalah meskipun infeksi virus influenza A (H5N1) tidak dilaporkan terjadi di antara pekerja kandang babi di Indonesia, akan tetapi ada pekerja yang menunjukkan peningkatan kadar antibodi terhadap flu babi A ( H1N1) virus. Hal ini menunjukkan bahwa manusia memang rentan terhadap virus hasil adaptasi (mutasi) pada babi. Kemudian ketika terjadi pandemi flu babi (H1N1) tahun 2009 lebih lanjut menunjukkan bahwa babi dapat menjadi sumber virus potensial yang mampu menyebabkan pandemi influenza pada manusia. Penemuan ini menunjukkan bahwa ketika virus avian influenza A (H5N1) menyebar di antara babi dan kemudian beradaptasi untuk mengenali tipe reseptor manusia, maka peternak, pekerja babi, dan keluarganya akan berada pada risiko terbesar untuk terinfeksi oleh virus yang baru beradaptasi di ternak babi tersebut. Baca juga : African Swine Fever.
Bagaimana dengan vaksin influenza ? Mungkin di pasar global sudah ada vaksin influenza yang tersedia untuk dipakai sebagai salah satu upaya pengendalian infeksi virus influenza pada babi. Vaksin akan memberikan perlindungan yang baik, jika mencerminkan subtipe dan strain di suatu wilayah dan harus terus dimonitor tingkat keberhasilannya mengingat mutasi virus yang bisa saja terjadi. Kita harus tahu, vaksin tidak selalu bisa mencegah terjadinya infeksi atau shedding virus di lapangan, tetapi babi yang sudah divaksinasi umumnya memiliki tingkat keparahan penyakit yang lebih ringan jika terinfeksi daripada babi yang tidak divaksin. Di Indonesia, vaksin swine influenza belum tersedia sehingga pelaksanaan managemen pemeliharaan yang baik dan biosekuriti menjadi hal yang harus dioptimalkan dalam upaya pengendalian penyakit ini.
Referensi :
5 Comments