Mengapa Breeding Performance pada Peternakan Babi itu Penting?

Mengapa Breeding Performance pada Peternakan Babi itu Penting?

Performa reproduksi merupakan faktor penting untuk unit babi yang sukses. Pada artikel kali ini, kita akan melanjutkan pembahasan mengenai managemen breeding yang tentunya merupakan kunci dari usaha peternakan babi. Kita akan belajar bersama mengenai body condition score (BCS),  waktu kawin/servis, dan inseminasi buatan.

Kembali ke pertanyaan kita, “mengapa performa breeding itu penting?” Untuk menjalankan usaha peternakan yang berkelanjutan, maka breeding harus bisa konsisten menghasilkan anakan dan meminimalkan gangguan yang berpotensi menimbulkan kerugian. Intervensi tidak jarang dilakukan di peternakan modern untuk memastikan pig flow management berjalan dengan baik. Hal ini tentunya berhubungan dengan efektifitas farm yang berkorelasi terhadap biaya produksi.  Usaha peternakan yang baik tentunya akan menekan biaya produksi seminimal mungkin agar dapat memaksimalkan keuntungan saat penjualan.

Dengan kita mengetahui bagaimana kinerja breeding farm, maka kita lebih mudah dalam  mengidentifikasi apakah program yang sedang dijalankan berjalan dengan baik atau masih perlu ada perbaikan. Berikut hal-hal penting yang harus kita perhatikan agar performa kandang breeding kita lebih optimal :

Body Condition Score (BCS)

Mempertahankan kondisi optimal sepanjang masa hidup induk  dengan fluktuasi minimal akan membantu kita dalam mendukung kinerja reproduksi, mempertahankan efisiensi produksi, membantu pertimbangan keputusan culling/replacement, dan memperbaiki angka kematian.
Penting untuk secara akurat mengevaluasi kondisi tubuh induk babi dan memastikan nutrisi yang tepat diberikan kepada setiap induk babi dalam proses pemeliharaan, pertumbuhan, reproduksi dan laktasi agar menghasilkan performa reproduksi terbaik.

Diatas adalah gambaran skore 1-5 yang harus kita perhatikan. Kondisi tubuh dapat dievaluasi dengan menggunakan tekanan jari dan tangan pada berbagai bagian babi dimana lemak umumnya disimpan. Daerah ini termasuk tulang rusuk, tulang belakang dan tulang pinggul. Penting untuk mengevaluasi ketiga area ini saat penilaian kondisi tubuh, karena semua hewan menyimpan lemak secara berbeda. Berkonsultasilah dengan nutrisionis dan  dokter hewan untuk menetapkan skor target ternak sesuai dengan formulasi pakan, genetik, dan strategi pengelolaannya.

Kondisi tubuh induk babi akan berfluktuasi mengikuti siklus reproduksinya. Karena itu, penting untuk mendapatkan data BCS selama setiap siklus reproduksi. BCS Caliper adalah alat yang dikembangkan oleh Dr. Mark Knauer dari North Carolina State University. Alat ini meminimalkan aspek subjektif dari penilaian visual karena mampu menghitung sudut kemiringan garis atas babi dan menggunakan derajat sudut untuk menentukan kondisi tubuh babi (sudut sempit = terlalu tipis, sudut lebar = terlalu gemuk).

Induk harus memasuki farrowing dengan skor kondisi tubuh 3–3,5 dan menyelesaikan laktasi empat minggu dengan skor minimum 3–2,5. Induk yang telah kehilangan kondisi tubuh selama menyusui harus ditempatkan pada pola makan yang akan mengembalikannya ke kondisi skor tubuh 3 pada minggu ke lima masa kehamilan.

Dampak negatif jika induk terlalu kurus adalah siklus estrus terganggu, resiko gagal bunting dan pertumbuhan janin yang tidak optimal, serta tingkat konsumsi pakan rendah sehingga proses laktasi juga terganggu. Sedangkan resiko jika induk terlalu gemuk adalah masalah kaki saat melahirkan, menghasilkan anakan sedikit, memiliki asupan pakan yang rendah selama menyusui sehingga berat sapih anak rendah.

Culling Sow

Kebijakan culling atau pemusnahan induk yang sudah tidak produktif harus dilakukan dengan perhitungan yang tepat agar aliran produksi kandang tetap stabil. Induk umumnya akan dikeluarkan dari kawanan karena beberapa alasan, yaitu terencana dan terpaksa. Mengapa ini penting, karena setiap hari kita menanggung biaya produksi yang tidak sedikit.

Culling terencana artinya dilakukan saat sudah sesuai dengan target jumlah kelahiran / parity yang kita tetapkan. Hal ini berkenaan sdengan kondisi induk babi tua yang memiliki kinerja kurang optimal, seperti distokia/kesulitan dalam proses melahirkan, jumlah anakan sedikit, kemampuan laktasi turun/jumlah air susu sedikit, perilaku induk yang buruk atau induk sudah mengalami penurunan produktivitas dibandingkan dengan rata-rata ternak. Sedangkan culling terpaksa dilakukan ketika kondisi anoestrus berkepanjangan, gagal bunting 2x berturut-turut, abortus, lameness/ketimpangan, dan gangguan penyakit. Baca juga : Gangguan reproduksi pada peternakan Babi

Cara yang baik untuk menghindari culling terpaksa/tidak disengaja adalah memastikan pemilihan gilt atau calon indukan yang optimal. BCS yang baik menjadi hal yang harus diperhatikan, yaitu dengan maksimalkan asupan pakan selama menyusui sehingga membantu mengurangi penurunan berat badan, pemberian pakan secara individual saat bunting dan setelah melahirkan atau pemberian pakan kolektif setelah dilakukan pengelompokan induk untuk mencapai BCS yang diharapkan. Selain itu, pastikan lantai tidak licin untuk menghindari cedera pinggul dan kaki yang juga beresiko terhadap culling terpaksa.

Saat induk sudah selesai sapih, sebelum kita programkan untuk kawin sebaiknya dilakukan pemeriksaan kesehatan secara keseluruhan. Kita sebaiknya memeriksa ada tidaknya luka bahu atau cedera lainnya, BCS di skor 3, konformasi yang baik dari indikasi gaya berjalan dan kaki tidak pincang, cek setidaknya ada 12 puting yang berfungsi baik, bebas penyakit dan temperamen yang baik.

Waktu Kawin

Waktu kawin / time of service sangat penting untuk memastikan proses pembuahan terjadi. Proses inseminasi atau perkawinan harus terjadi beberapa jam sebelum ovulasi, yaitu 2/3 dari perjalanan  birahi (36-44 jam setelah permulaan birahi). Waktu yang ‘tepat’ untuk membuahi ini bervariasi sehingga penting untuk menyesuaikan rutinitas inseminasi dengan karakteristik masing-masing peternakan dan indukan.

Peternak harus paham siklus estrus untuk berhasil. Hal yang bisa dilakukan adalah ikut pelatihan khusus dalam pembibitan babi dan inseminasi buatan (IB), sehingga kita terbiasa dengan siklus birahi babi dan memahami apa yang terjadi, kapan, dan apa tanda-tandanya. Kemudian, atur dan catat waktu tindakan sesuai dengan siklus perkembangbiakan babi.

Sebagai pedoman manajemen reproduksi, mengidentifikasi awal estrus secara akurat adalah satu-satunya hal terpenting yang harus dilakukan dengan benar saat menjadwalkan waktu terbaik untuk inseminasi/kawin. Jika proses IB terlambat atau terlalu cepat dapat berakibat jumlah anakan sedikit dan angka kelahiran rendah. Oleh karena itu, lakukan deteksi estrus 2x sehari untuk data yang lebih akurat dan penentuan waktu inseminasi terbaik. Babi estrus dapat menunjukkan berbagai sinyal, namun yang paling penting adalah “standing heat“. Kontak dengan pejantan dapat menjadi alternatif stimulasi yang efektif untuk membantu merangsang dan mengidentifikasi standing heat pada betina. Jangan pernah mengawinkan induk yang tidak menunjukkan birahi kuat.

Setelah kita mendapatkan signal dari betina, maka proses inseminasi idealnya dilakukan setidaknya 2x. Pembuahan biasanya dicapai dengan melakukan inseminasi 24 jam sebelum ovulasi, namun demikian hampir tidak mungkin kita mengetahui secara pasti kapan ovulasi akan terjadi, sehingga periode optimal ini sebaiknya kita lakukan 2-3x IB untuk memaksimalkan keberhasilan.

Variasi waktu estrus induk setelah sapih bisa terjadi, walaupun sebagian besar induk babi yang disapih pada hari yang sama akan tersinkronisasi dengan cukup baik. Induk dengan interval sapih – estrus yang pendek (< 5 hari) dikaitkan dengan periode estrus yang lebih lama (3 hari) dan proses ovulasi yang lebih lambat sehingga kita harus meyesuaikan pengaturan waktu untuk inseminasi. Sedangkan induk dengan interval sapih – estrus estrus yang lama (> 5 hari) dikaitkan dengan periode estrus yang lebih pendek (2 hari) dan proses ovulasi yang lebih awal, sehingga kita juga harus menyesuaikan pengaturan waktu untuk inseminasi.

Recording 

Hal penting lainnya yang harus kita lakukan agar performa reproduksi maksimal adalah catatan. Recording ini akan membantu dalam deteksi tanda-tanda estrus secara akurat dan menjadwalkan inseminasi pada waktu yang optimal sehingga alur produksi tetap stabil.

Pastikan kita melakukan pencatatan informasi setiap induk berupa nomor tag (penyapihan –  interval birahi), tanggal dan waktu siklus (proestrus, durasi birahi, standing heat pertama, waktu  inseminasi), tanggal estimasi kembali estrus dan aktual yang terjadi.  Hal detail yang perlu kita cermati juga adalah jumlah hari antara penyapihan dan birahi, variasi jumlah hari antara  penyapihan dan estrus dan durasi estrus, kejadian kawin berulang / estrus kembali, hari  penyapihan, sapih ke interval kawin kawanan. Kita bisa menyepakati penandaan dengan spidol berwarna sehingga pencatatan lebih jelas dan memudahkan untuk mengetahui apa yang terjadi dengan masing-masing betina dan apa langkah selanjutnya.

Deteksi Estrus

Tidak semua tanda-tanda birahi ditunjukkan pada satu betina dan respons terhadap kontak pejantan juga dapat bervariasi. Oleh karena itu, mengetahui karakter babi di breeding kita akan membantu mengenali tanda-tanda dan mengambil tindakan yang tepat untuk mendeteksi timbulnya birahi secara akurat.

Beberapa hal yang perlu kita perhatikan dalam proses deteksi estrus ini adalah selalu dekati kawanan dengan tenang dan hindari mengganggu perilaku normal mereka, berikan waktu untuk mengamati perilaku mereka yang sebenarnya, biarkan reaksi terhadap kehadiran kita reda, amati tanggapan terhadap kehadiran pejantan (langsung bereaksi atau delay beberapa menit, berdiri saja), sabar.

Untuk mempersiapkan proses kawin, maka deteksi estrus idealnya dilakukan 2x sehari dengan interval sekitar 7 jam. Sinyal pertama yang harus diperhatikan adalah periode proestrus yang terjadi tepat sebelum estrus dan berlangsung sekitar 1 hari. Jika kita mampu mengidentifikasi proestrus maka prediksi waktu standing heat dan inseminasi akan lebih akurat.

Tanda-tanda induk akan estrus yang harus kita cermati meliputi daerah belakang, aktifitas dan suara. Pemeriksaan pada vulva terlihat bengkak dan merah (lebih menonjol pada gilt daripada indukan), cairan encer dari vulva, klitoris rata berwarna merah muda pucat dan lebih menonjol. Induk cinderung gelisah, memanjat-manjat gerbang/dinding, menaiki betina lain, tertarik dengan kehadiran pejantan. Induk juga akan mengeluarkan suara rengekan bernada tinggi.

Tanda-tanda standing heat adalah induk akan diam saat kita naiki atau tekan punggungnya. kemampuan mendeteksi standing heat pertama adalah krusial karena mempengarungi tingkat keberhasilan IB. Masa birahi ini dapat berlangsung 1–3 hari dengan ovulasi sering terjadi pada akhir hari ke-2 masa subur. Berikut tanda-tanda yang harus kita cermati, yaitu bagian belakang – vulva tampak normal (bengkak dan kemerahan mereda), cairan lengket dari vulva, klitoris merah dan menonjol, ekor tegak sambil berdiri, bergerak ke atas dan ke bawah. Aktivitas – nafsu makan buruk, telinga tegang, berdiri dengan punggung melengkung, mata berkaca-kaca, gemetar, tertarik pada orang sekitar, mencari kontak pejantan, berdiri kaku jika ditunggangi. Suara – vokal dengan geraman berulang atau panjang.

Gambar diatas adalah ilustrasi indikator terbaik estrus, yaitu uji refleks standing heat. Lakukan pemeriksaan 2x sehari jika memungkinkan dengan interval 7 jam. Berikan tekanan pada punggung dan panggul babi betina bersamaan dengan kehadiran pejantan. Betina yang reseptif akan berdiri kaku dan telinga sering menegang sebagai tanda siap untuk kawin.

Stimulasi Pejantan

Feromon yang yang dihasilkan oleh pejantan  yang aktif adalah cara paling ampuh dan efektif untuk merangsang refleks berdiri / standing heat pada betina. Pejantan ini digunakan untuk deteksi estrus, tetapi mereka tidak boleh ditempatkan bersama kelompok babi betina yang sudah  menunggu proses IB. Saat stimulasi pejantan dilakukan, selalu pastikan ada karyawan kita yang mengawasi. Betina yang berahi biasanya akan bergerak maju dan melakukan refleks berdiri saat pejantan bergerak di depan mereka.

Untuk mengoptimalkan proses deteksi estrus ini, kita bisa menggunakan kandang khusus yang di desain untuk memudahkan pengamatan dan kontak fisik dengan pejantan. Pemeriksaan ini bisa melibatkan kelompok kecil saja (2 betina sekaligus), dimana kita melakukan tekanan di punggung secara bersamaan dengan kontak pejantan. Tandai dan singkirkan betina yang terdeteksi sedang berahi sehingga pejantan dapat berkonsentrasi merangsang birahi betina lainnya.

Hal lain yang perlu kita perhatikan adalah hindari kontak betina ke pejantan untuk waktu yang lama. Selain itu, pastikan kita juga memililki beberapa pejantan untuk dirotasi dalam proses stimulasi estrus ini sehingga betina tidak bosan.

Bagaimana perlakuan terhadap indukan pasca sapih? Untuk kontak pejantan kita bisa lakukan 10–15 menit/hari selama 3 hari pertama setelah penyapihan. Sangat penting untuk menghilangkan kontak pejantan 24 jam sebelum dimulainya birahi, dimana hal ini akan meningkatkan respons babi sejak hari ke-4 setelah sapih. Tandai dan catat induk babi yang terdeteksi berahi untuk membantu atur waktu inseminasi.

Walaupun kita sudah melakukan deteksi estrus dan IB sesuai aturan, masih ada kemungkinan bahwa proses pembuahan tidak berhasil dan babi akan menunjukkan gejala estrus kembali. Kita harus melakukan pemeriksaan dalam 18-24 hari setelah proses IB/kawin untuk mengetahui apakah pembuahan terjadi atau tidak. Proses identifikasi betina yang kembali berahi ini penting untuk melakukan evalusi lebih lanjut tentang masalah yang terjadi sebelum kita lakukan penjadwalan ulang waktu kawin.

Hal-hal yang harus dilakukan setelah proses inseminasi/kawin adalah dengan memperhatikan aktivitas induk (gelisah), ada tidak betina yang menunggangi betina lain, berikan dan amati stimulasi pejantan selama 10–15 menit/hari, lalu tandai dan catat setiap kegagalan pembuahan.

Skip a Heat

Skip-a-heat adalah praktek yang paling banyak digunakan pada induk babi yang baru melahirkan 1x (parity 1/P1), untuk menghindari penurunan kinerja reproduksi pada kebuntingan ke selanjutnya.  Melewatkan fase estrus tentu akan meningkatkan jumlah hari non-produktif, tetapi ada beberapa bukti yang dilaporkan terkait peningkatan kinerja reproduksi dan umur panjang induk.

Skip-a-heat juga dapat digunakan untuk induk babi yang lebih tua yang baru selesai melahirkan dimana kondisi BCS nya buruk (<2.5). Kehilangan banyak massa protein dan lemak selama menyusui ini, idealnya kita memberikan waktu ekstra bagi babi untuk memperbaiki kondisi tubuh sebelum siklus berikutnya.

Bagaimana cara kerja skip-a-heat? Kita membutuhkan rekording yang baik untuk menerapkan hal  ini. Nilai kinerja induk babi P1 dan kinerjanya anakan kedua, apakah ada penurunan tingkat konsepsi dan jumlah kelahiran? Pantau BCS induk P1 yang memasuki fase melahirkan dan selama periode laktasi. Catat skor BCS beberapa hari sebelum penyapihan dan putuskan apakah ada babi betina yang bisa diterapkan skip-a-heat, pastikan akomodasi masa kering tambahan selama 21 hari tersedia. Secara praktis, lebih baik mempertahankan jumlah induk babi yang sama setiap minggu/batch untuk dikawinkan 3 minggu kemudian.

Pada gilt, skip-a-heat telah ditemukan mampu meningkatkan perkembangan folikel, tingkat ovulasi dan kelangsungan hidup embrio (2,3 ekstra embrio dibandingkan dengan tidak melewatkan heat) pada hari ke-30 masa kebuntingan. Penelitian dan data menunjukkan bahwa ada tambahan 1-2 anak babi akan dihasilkan pada kelahiran berikutnya setelah aplikasi strategi ini. Baca Juga : Management calon Induk Babi

Dampak Panas pada Produksi Babi

Ada efek musiman pada produksi. Sepanjang periode laktasi, produksi susu akan meningkat dan panas yang dihasilkan induk babi juga meningkat. Oleh karena itu, kerentanan terhadap tekanan panas paling besar terjadi sebelum penyapihan. Pada suhu yang lebih hangat, induk babi dapat mengurangi asupan pakannya sehingga untuk memenuhi kebutuhan metabolisme laktasinya, induk kemudian akan memobilisasi cadangan tubuhnya sendiri. Hal ini mengakibatkan penurunan kondisi tubuh dan kemungkinan efek buruk pada perkembangan folikel ovarium.

Defisit nutrisi ini dikaitkan dengan penurunan produksi hormon luteinising (LH) yang mengakibatkan siklus estrus tertunda, serta penurunan angka konsepsi dan tingkat kelahiran. Pada kondisi ini, induk babi akan mengarahkan aliran darahnya ke kulit dan jaringan susu, dan menjauh dari ovarium. Oleh karena itu, kualitas telur dan kesiapan rahim mereka untuk proses kebuntingan akan terganggu. Berbeda dengan calon induk/gilt, kondisi suhu yang lebih hangat tidak terlalu berpengaruh. Hal ini mungkin karena mereka tidak memiliki kebutuhan metabolisme laktasi yang meningkat sebelum kawin.

Hal yang bisa dilakukan untuk meminimalisir dampak cuaca panas adalah dengan memantau asupan pakan babi yang padat energi, sediakan kubangan atau alat penyiram, atur ventilasi dan penambahan kipas, sistem pencatatan yang detail untuk memudahkan evaluasi, dan faktor genetik (teknologi freeze-thaw untuk semen) untuk mengimbangi produksi turun di musim panas.

Inseminasi Buatan (IB)

Dalam proses ini, kita harus merencanakan akses, ruang dan pintu keluar dari fasilitas untuk mengurangi stres gilt dan indukan serta memaksimalkan kontak pejantan. Pastikan bahwa ada proses yang terencana dengan baik untuk penyimpanan dan penanganan semen di lokasi peternakan dan lakukan pelatihan staf secara teratur, tinjau cara menghitung waktu kawin secara efektif, identifikasi induk babi dan babi estrus dan teknik AI. Selain itu, efektivitas intervensi dan strategi manajemen juga harus tetap dievaluasi, seperti pemilihan induk/calon induk, sinkronisasi birahi, dan recording yang efektif.

Inseminasi buatan adalah penyisipan dan pengiriman semen ke dalam saluran reproduksi babi betina. Metode IB yang paling umum melibatkan pengiriman semen ke serviks (trans-cervical AI), dimana perusahaan pengembangbiakan telah mengembangkan kateter dan teknik untuk menyimpan semen lebih jauh ke dalam sistem reproduksi.

IB post-cervic memungkinkan pengurangan spermatozoa dalam air mani menjadi 1/3 dari yang diperlukan untuk teknik IB standar, sedangkan IB Deep-intrauterine memungkinkan pengurangan spermatozoa 5-20 x lebih sedikit dari IB standar. Setiap perubahan dalam teknik IB harus dilakukan di bawah arahan dari perusahaan genetika yang memasok dosis semen. Pastikan staf IB di kandang mendapatkan pelatihan yang baik, karena 70% kinerja reproduksi tergantung pada kecakapan operator IB. Selain itu, fasilitas yang diperlukan dalam koleksi semen adalah prosedur operasi standar yang baik, termasuk kebersihan, evaluasi dan pengolahan air mani.

Demikian pembahasan kita terkait pentingnya performa breeding yang baik untuk menunjang usaha peternakan babi kita. Semoga bermanfaat!

Referensi :

  1. https://ahdb.org.uk/knowledge-library/breeding-performance-in-pigs
  2. https://www.ontario.ca/page/determining-size-finisher-pigs-replacement-gilts-and-sows
  3. https://ahdb.org.uk/knowledge-library/body-condition-scoring-sows
  4. https://ahdb.org.uk/knowledge-library/sow-culling
  5. https://ahdb.org.uk/knowledge-library/timing-of-service-in-sows
  6. https://ahdb.org.uk/knowledge-library/pig-breeding-and-record-keeping
  7. https://ahdb.org.uk/knowledge-library/heat-detection-in-pigs
  8. https://ahdb.org.uk/knowledge-library/using-boars-for-heat-detection-in-sows
  9. https://ahdb.org.uk/knowledge-library/when-to-skip-a-heat-in-sows-and-gilts
  10. https://ahdb.org.uk/knowledge-library/weather-seasons-and-pig-breeding
  11. https://ahdb.org.uk/knowledge-library/artificial-insemination-ai-of-pigs
Management Reproduksi Sapi

Management Reproduksi Sapi

Setelah beberapa lalu kita membahas mengenai gangguan reproduksi pada sapi, maka saat ini kita akan mengulas mengenai management reproduksinya. Ilmu reproduksi terus mengalami perkembangan dan kemajuan yang tentunya membantu para dokter hewan dan pelaku usaha peternakan yang fokus pada pembibitan.

https://www.researchgate.net/publication/289505953_Balancing_Beef_Cow_Nutrient_Requirements_and_Seasonal_Forage_Quality_on_Annual_Rangeland

Faktor utama yang mempengaruhi pemilihan waktu beranak pada negara dengan 4 musim adalah meliputi kondisi cuaca, kualitas dan ketersediaan pakan ternak, pakan tambahan, tenaga kerja, modal, target produksi (persentase beranak, bobot sapih, interval beranak), bobot relatif pedet, dan tantangan penyakit. Idealnya, sapi harus dikawinkan kembali dalam 80 – 85 hari setelah melahirkan jika interval beranak 365 hari ingin dipertahankan. Kalender reproduksi sapi diatas  adalah jadwal yang sangat ketat jika tujuannya adalah untuk menghasilkan 1 ekor anak sapi setiap tahun dari setiap indukan sapi. Nutrisi yang memadai sangat penting untuk memenuhi tujuan ini.

Periode dari pembuahan – lahir adalah sekitar 283 hari. Kebanyakan sapi tidak akan estrus/berahi sekitar  30 – 45 hari setelah melahirkan (bisa lebih lama jika kualitas nutrisi buruk). Sapi akan mengalami estrus dengan interval 21 hari. Dari 365 hari dalam setahun jika kita kurangi masa kebuntingan 283 hari dan 40 hari lagi masa tidak estrus setelah melahirkan, maka praktis kita hanya memiliki sisa waktu 42 hari (dua siklus) jika kita tetap pada jadwal untuk tahun berikutnya.. Artinya, kita harus memastikan induk sapi akan kembali bunting dalam maksimum 2x kesempatan proses perkawinan/insminasi buatan. Inilah tantangan yang kita hadapi sebagai pelaku usaha peternakan sapi agar bisa memperoleh hasil yang optimal.

Tantangan target 1 calf per cow per year ini idealnya harus  diimbangi dengan update pengetahuan terkait perkembangan terbaru dari ilmu reproduksi agar tingkat keberhasilannya tinggi.  Perkembangan folikel ovarium dengan regresi corpus luteum (CL) selama siklus estrus adalah salah satu yang mengalami kemajuan besar yang harus kita kuasai. Kita bisa belajar dari para peneliti dimana mereka dapat memantau dinamika perkembangan folikel dari hari ke hari pada hewan yang sama tanpa mengorbankan status ovarium dan endokrin sapi dengan menggunakan pencitraan ultrasonografi.

https://www.journalofdairyscience.org/article/S0022-0302%2806%2972194-4/fulltext#secd17180470e109

Gambar diatas menunjukan adanya gelombang folikel yang terjadi pada siklus estrus sapi. Folikel-folikel berukuran besar yang berulang berkembang dalam gelombang sebagai respons terhadap lonjakan FSH (follicle stimulating hormone). Setiap gelombang ini terdiri dari fase berurutan, yaitu seleksi, deviasi, dominasi, dan atresia. Rekrutmen folikel terjadi setiap 8 – 10 hari, dimana  sapi pada umumnya akan memiliki 2 – 3 gelombang folikel selama siklus estrusnya. Dari gelombang folikel yang direkrut FSH ini kemudian dipilih 1 folikel dan mengalami deviasi pada ukuran sekitar 8,5 mm. Folikel yang terseleksi ini akan tumbuh secara linier menjadi dominan, sedangkan folikel lainnya berhenti tumbuh dan kemudian mengalami atresia. Folikel dominan ini akan menghalangi perekrutan gelombang folikel berikutnya sampai mengalami atresia.

Pemahaman tentang mekanisme kontrol gelombang folikel ini sangat penting bagi peternak dalam  mengembangkan sistem yang optimal dalam mengontrol kesuburan pada ternak sapi, terutama sapi perah yang umumnya dipelihara secara intensif dalam kandang. Folikel yang dipilih sebagai menjadi dominan memiliki konsentrasi estradiol yang lebih tinggi dalam cairan folikel dan konsentrasi yang lebih besar dari insulin-like growth factor (IGF)-I yang berkontribusi pada potensi estrogenik folikel. Peningkatan sekresi estradiol dan inhibin ovarium akan mencapai kelenjar hipofisis melalui sirkulasi dan menyebabkan penurunan sekresi FSH, sehingga mencegah pertumbuhan lebih lanjut dari folikel bawahan lainnya. Setelah fase deviasi dimana folikel dominan mencapai 10 mm, sel granulosa mulai mengekspresikan reseptor LH (luteinizing hormone) dan dapat diinduksi untuk berovulasi dengan ukuran sekitar 12 mm. Pertumbuhan berkelanjutan dan dominasi folikel dominan ini tergantung pada sekresi LH sehingga dengan tidak adanya peningkatan frekuensi LH, folikel dominan akan mengalami atresia fungsional yang  memungkinkan peningkatan sekresi FSH dan perekrutan gelombang folikel baru kembali.

Peristiwa ini berulang pada setiap gelombang sampai regresi CL spontan terjadi karena sekresi hormon prostaglandin (PGF2α) melalui mekanisme luteolitik. Jika level progesteron rendah setelah luteolisis, umpan balik negatif pada hipofisis akan berkurang dan LH meningkat, sehingga mengarah pada perkembangan akhir folikel dominan. Saat ukuran mencapai 17 – 20 mm, maka folikel dominan menjadi sepenuhnya estrogenik dan menginduksi lonjakan LH pra-ovulasi yang pada akhirnya akan memicu terjadinya ovulasi.

Kembali ke sistem produksi farm komersial yang dilakukan secara intensif, untuk sapi perah laktasi akan memerlukan manajemen pemuliaan yang cermat, yaitu memprogram gelombang folikel, regresi CL, dan induksi ovulasi. Hal ini terjadi karena tingkat produksi susu yang tinggi, asupan dry matter (DM) dan metabolisme sapi perah menyusui cinderung menurunkan efisiensi deteksi estrus yang pada akhirnya akan menurunkan tingkat kebuntingan. Keadaan ini tidak terlihat pada sapi dara atau sapi yang tidak laktasi sehingga kesulitan dalam deteksi estrus hampir tidak terjadi dan angka kebuntingan cinderung lebih baik dari sapi laktasi.

Pemahaman tentang mekanisme siklus estrus saat ini telah mengarah pada pengembangan sistem kontrol ovulasi untuk menentukan waktu inseminasi. Pada peternakan modern, sistem ini dikembangkan dengan memanfaatkan preparat hormonal atau obat-obatan yang sebanding dengan hormon atau analognya yang mengatur fungsi ovarium normal pada sapi. Salah satu kisah sukses dalam intervensi sistem reproduksi sapi adalah penggunaan PGF2α pada awal 1970-an sebagai luteolysin uterus alami pada sapi. PGF2α dikembangkan untuk menginduksi regresi CL.

Suntikan PGF2α untuk meregresi CL berhasil setelah hari ke-5 dari siklus estrus. Selain itu, ada perbedaan yang cukup besar mengenai kapan estrus akan terjadi selama periode diestrus yang responsif. Interval terpendek terjadinya estrus adalah 2 – 3 hari, dimana ini bisa terjadi ketika PGF2α diberikan antara hari ke-7 dan 9 atau hari ke-14 dan 16 dari siklus estrus. Interval yang lebih lama terjadi dalam 4 – 7 hari, dimana terjadi jika waktu pemberian dilakukan antara hari ke-10 dan 12 dari siklus.

Waktu injeksi PGF2α dan fase gelombang folikel yang tidak diketahui pasti ini menyebabkan variasi dalam respon di lapangan. Jika injeksi PGF2α dilakukan saat ada folikel aktif estrogen yang dominan, misalnya pada hari ke-7 siklus maka akan terjadi estrus lebih awal dibandingkan jika injeksi diberikan pada hari ke-11. Hal ini terjadi karena pada hari ke 11 folikel gelombang kedua sedang diseleksi dan diperlukan sekitar 7 hari untuk perkembangan folikel dominan baru dan estrus. Oleh karena itu, strategi awal intervensi untuk menyinkronkan estrus dengan injeksi PGF2α didasarkan pada 2 injeksi berturut-turut dengan jarak 11 hari (sapi dara) atau 14 hari (sapi menyusui). Hal ini untuk memastikan sebagian besar hewan akan menjalani regresi CL pada injeksi PGF2α kedua dan memiliki tingkat sinkronisasi estrus yang lebih tinggi. Baca juga : Gangguan Reproduksi pada Sapi

Berdasarkan pemahaman dinamika folikel normal selama siklus estrus, menjadi jelas bahwa sinkronisasi folikel harus digabungkan dengan regresi CL yang diinduksi untuk lebih mengontrol ketepatan terjadinya estrus. Pelepasan LH yang diinduksi GnRH menyebabkan ovulasi atau luteinisasi folikel dominan >10 mm. Pergantian folikel dominan yang diinduksi GnRH mengarah pada perekrutan gelombang folikel baru, sehingga folikel dominan baru yang matang hadir 7 hari kemudian, ketika seseorang dapat menginduksi regresi CL dan/atau yang diinduksi GnRH, serta meningkatkan presisi dari estrus yang diinduksi. Urutan terprogram seperti itu adalah dasar dari program inseminasi yang disebut Ovsynch, di mana injeksi GnRH primer diberikan pada waktu yang telah ditentukan setelah melahirkan, diikuti oleh PGF2α 7 hari kemudian. Injeksi tambahan GnRH diberikan 48 jam setelah injeksi PGF2α. Inseminasi harus terjadi 12 – 16 jam setelah injeksi GnRH, yang akan diikuti oleh ovulasi tersinkronisasi pada 28 jam setelah GnRH.

https://www.journalofdairyscience.org/article/S0022-0302%2806%2972194-4/fulltext

Dari gambar diatas, kita bisa melihat alternatif manajemen reproduksi untuk meningkatkan performa reproduksi sapi perah laktasi dengan penggunaan presynchronization. Perawatan endokrin meliputi injeksi bovine somatotropin (bST) dan injeksi human chorionic gonadotropin (hCG) pada hari ke-5 setelah inseminasi. Sinkronisasi ulang sapi yang tidak bunting akan melibatkan penyisipan perangkat progesteron intravaginal (CIDR=controlled internal drug release) antara hari ke 14 dan 23 setelah inseminasi buatan dan injeksi GnRH pada hari ke 23 pada saat penghentian CIDR. Sapi yang terindikasi tidak bunting pada hari ke 30 menerima suntikan PGF2α, dan pada hari ke 33 disuntik dengan GnRH dan diinseminasi secara bersamaan.

Kemampuan injeksi GnRH pertama untuk menginduksi pergantian folikel tergantung pada induksi ovulasi dari folikel dominan. Jika penyuntikan pertama dilakukan pada fase metestrus, maka folikel baru tidak akan diinduksi dan folikel ovulasi pada penyuntikan GnRH kedua adalah folikel tua dengan tingkat fertilitas yang lebih rendah saat diinseminasi. Oleh karena itu, intervensi program presynch/ovsynch dilakukan dengan pemberian 2x suntikan PGF2α dengan interval 14 hari, dan program ini dimulai 12 – 14 hari setelah injeksi PGF2α kedua dari fase prasinkronisasi.

Jika sapi mengekspresikan estrus antara hari ke 3 – 7 setelah penyuntikan kedua PGF2α, mereka akan berada di antara hari ke 5 – 11 dari siklus estrus ketika ovsynch dimulai. Oleh karena itu, sekitar 80% sapi harus memiliki folikel yang berovulasi saat injeksi GnRH pertama dan semua sapi harus memiliki CL fungsional selama interval antara injeksi GnRH dan PGF2α. Hal ini bertujuan untuk mengurangi terjadinya ovulasi prematur sebelum injeksi GnRH kedua. Skema sinkronisasi folikel ini meningkatkan kemungkinan memperoleh folikel fresh yang berovulasi, diikuti dengan injeksi GnRH kedua untuk mengarah pada pengembangan CL yang memadai guna pemeliharaan kebuntingan.

Tehnologi terbaru saat ini sudah menyediakan perangkat intravaginal untuk pelepasan progesteron (CIDR) yang bisa diaplikasikan pada sapi perah laktasi sebagai alat tambahan untuk sinkronisasi. Pada sapi perah laktasi, perangkat CIDR dapat dimasukkan kedalam vagina pada saat injeksi GnRH pertama dan dilepas saat PGF2α disuntikkan sebagai bagian dari program ovsynch. Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya estrus prematur sebelum injeksi ovulasi GnRH pada sapi yang mengalami regresi CL selama 7 hari pertama protokol ovsynch, dan dapat juga menginduksi aktivitas siklik pada sapi anovulasi yang diobati dengan program ini. CIDR ini berfungsi sebagai alat pra-sinkronisasi untuk memastikan sinkronisasi folikel atau ovulasi ke program ovsynch berikutnya, dan sinkronisasi ulang estrus pada sapi yang tidak berhasil bunting pada inseminasi buatan pertama.

Perlu diingat, bahwa sapi perah laktasi memiliki konsentrasi progesteron dan estradiol yang suboptimal dan dianggap kurang subur karena metabolisme yang terkait dengan asupan DM yang tinggi. Oleh karena itu, program inseminasi buatan pada sapi laktasi yang mencakup estradiol eksogen (estradiol cypionate) yang diberikan 24 jam setelah PGF2α ternyata mampu mendorong terjadinya estrus dan benar-benar meningkatkan tingkat konsepsi. Namun demikian, dibeberapa negara seperti Amerika Utara, penggunaan preparat estrogen pada sapi perah laktasi masih diperdebatkan karena dianggap berpotensi mengganggu pasokan makanan karena issue residu yang masih membutuhkan pembuktian lebih lanjut.

Tantangan lain yang umumnya dihadapi peternak adalah terjadinya kematian embrio. Terlepas dari kemajuan dalam biologi reproduksi dan berbagai teknik yang tersedia untuk mengontrol proses reproduksi, pada kenyataannya efisiensi reproduksi kawanan terus menurun pada sapi perah laktasi. Berbagai faktor yang bisa kita evaluasi terhadap kejadian subfertilitas ini adalah adanya ovulasi folikel persisten atau tua, ovulasi folikel praovulasi berukuran kecil, periode pro-estrus yang lebih pendek, paparan progesteron yang tidak memadai selama periode sinkronisasi, dan insufisiensi luteal setelah ovulasi yang diinduksi. Total kerugian dari pembuahan sampai kelahiran pada sapi perah laktasi mencapai 60% dengan tingkat konsepsi akhir hanya sebesar 28%. Hal ini disebabkan oleh rendahnya angka pembuahan, penurunan viabilitas embrio, ukuran embrio, serta kehilangan embrio pada umur 24 – 42 hari.   Baca juga : Analisa Fertilitas pada Ternak Sapi

Gangguan saat proses kelahiran seperti kejadian distokia, retensi placenta dan milk fever akan mempengaruhi tingkat kesuburan sapi periode selanjutnya. Kejadian metritis dan endometritis subklinis juga berpotensi mengurangi tingkat kebuntingan. Oleh karena itu, penting bagi para peternak untuk mengoptimalkan kualitas nutrisi, kandungan gizi dan status kesehatan sapi selama periode kebuntingan dan pasca kelahiran dimana fungsi kekebalan umumnya sedikit terganggu pada periode awal laktasi.

Demikian paparan mengenai siklus reproduksi dan intervensi yang umumnya bisa dilakukan di kalangan industri peternakan sapi. Pada artikel selanjutnya kita nanti akan belajar bersama mengenai teknologi yang dikembangkan untuk mengoptimalkan performa reproduksi ternak.

Terima kasih.

Referensi :

  1. https://www.journalofdairyscience.org/article/S0022-0302%2806%2972194-4/fulltext
  2. https://www.researchgate.net/publication/289505953_Balancing_Beef_Cow_Nutrient_Requirements_and_Seasonal_Forage_Quality_on_Annual_Rangeland
  3. https://www.researchgate.net/publication/323832298_Practical_guide_to_bovine_reproduction_management
Gangguan Reproduksi pada Sapi

Gangguan Reproduksi pada Sapi

Tantangan terbesar dalam peternakan adalah bagaimana kita bisa menjalankan usaha dengan baik, dengan minimal resiko dan mengoptimalkan keuntungan. Pengendalian penyakit menjadi hal yang krusial, mengingat ternak tidak akan menghasilkan performance terbaik jika terjadi masalah. Jika kita bergerak di usaha pembibitan atau sapi perah, penyakit pada organ reproduksi menjadi hal yang harus ditangani dengan baik.

Gangguan reproduksi pada sapi biasanya berkembang secara kronis sehingga terkadang tidak disadari. Hewan yang terinfeksi biasanya tidak mati, dalam kebanyakan kasus terutama pada pejantan akan nampak tetap sehat. Beberapa hewan tidak pernah menunjukkan gejala penyakit, namun tetap menjadi ancaman utama bagi kawanan lainnya karena mereka membawa organisme penyakit. Jika hal ini tidak terdeteksi sedini mungkin, maka kerugian karena waktu dan biaya pakan sudah pasti cukup besar.

Untuk mencegah penyakit reproduksi, produsen/peternak harus selalu waspada dan idealnya mempraktekkan manajemen yang baik seperti pengadaan ruang isolasi sapi yang baru didatangkan dan melakukan vaksinasi bila diperlukan. Tenaga dokter hewan profesional juga sebaiknya juga ada untuk menjaga status kesehatan ternak yang kita pelihara.

Sebelum kita membahas tentang penyakit reproduksi, ada baiknya kita juga sedikit mengingat kembali apa saja yang harus kita kuasai terkait reproduksi pada sapi. Tingkat fertitas yang buruk dalam suatu farm akan menghasilkan produktivitas yang lebih rendah, peningkatan culling rate, keturunan yang kurang baik dan tentunya pada akhirnya menggerus keuntungan peternak.

Apapun sistem peternakannya, manajemen reproduksi perlu efisien sehingga sapi mempunyai level kesuburan yang baik, dan segera bunting dengan perlakuan layanan kawin/inseminasi buatan yang seminimal mungkin. Manajemen reproduksi tidak hanya melibatkan sapi indukan ataupun sapi perah dewasa saja, tetapi juga sudah dimulai dari ketika sapi dara lahir. Proses mencetak bibit unggul dan pemeliharaan sapi dara yang berkualitas sangat penting untuk mendapatkan sapi yang dewasa kelamin pada umur 13 bulan, bunting umur 15 bulan dan melahirkan pada usia 24 bulan.  Jadi pada setiap tahap kehidupan sapi, kita memerlukan rencana pengelolaan yang efektif untuk memaksimalkan kesuburan yang akhirnya akan mempengaruhi performa reproduksi dan tentunya jumlah air susu jika kita bicara uasaha sapi perah.

https://www.nadis.org.uk/disease-a-z/cattle/fertility-in-dairy-herds/part-1-the-basics-of-reproduction/

Siklus berahi
Sapi adalah poliestrus, yang berarti mereka menjadi memiliki siklus birahi sepanjang tahun secara berkala. Hormon utama dalam reproduksi adalah progesteron dan estrogen. Progesteron adalah hormon kehamilan dan diproduksi di ovarium oleh corpus luteum (CL), sedangkan estrogen adalah hormon utama yang bertanggung jawab untuk munculnya perilaku estrus (3M – abang, abuh, anget) yang  diproduksi di ovarium oleh folikel tempat sel telur berasal.

Sapi menjadi estrus ketika progesteron turun dan estrogen naik. Rata-rata siklus estrus sapi adalah setiap 21-22 hari (atau berkisar 18-26 hari). Heifer atau sapi dara cenderung memiliki interval yang lebih pendek, tetapi hanya sekitar satu hari atau lebih. Sapi dengan interval di luar rentang 18-26 hari kemungkinan besar tidak normal dan kita harus melakukan evaluasi detail sebelum memutuskan untuk tahap selanjutnya dalam proses breeding. Jika kondisi tidak membaik, biasanya sapi ini akan dijadikan untuk penggemukan, bukan sebagai bibit.

Masa pubertas
Usia di mana sapi dara mencapai pubertas tergantung pada berat badan mereka. Sapi dara yang lebih ringan mulai siklus lebih lambat daripada hewan yang lebih berat. Jadi, untuk bisa  memaksimalkan kesuburan sapi, kita membutuhkan penambahan berat badan yang baik dan konsisten selama masa pemeliharaan

Untuk membuat sapi dara bunting pada umur 15 bulan dan melahirkan pada umur 2 tahun, mereka harus mulai dewasa kelamin pada umur 12-13 bulan. Kita bisa mulai mengawinkan sapi dara pada siklus estrus mereka yang ke-2 atau 3 kali idealnya untuk memastikan kesiapan organ reproduksinya.

Untuk memastikan bahwa semua sapi dara bisa mengalami dewasa kelamin pada 12-13 bulan, sapi dara harus memiliki berat sekitar 50% dari berat badan dewasa yang diharapkan pada saat berumur 12 bulan dan bertambah sekitar 10% lagi saat 15 bulan. Misalkan sapi Holstein yang berat dewasanya bisa sampai 600 kg, maka idealnya harus memiliki berat minimal 300 kg pada umur 12 bulan dan menambah 60 kg lagi sebelum 15 bulan. Mengukur bobot sapi dara dan menetapkan target bobot hidup merupakan bagian penting dari manajemen kesuburan sapi.

Post Partus
Setelah melahirkan, sistem reproduksi perlu memperbaiki dan memulihkan dirinya sendiri sebelum siklus estrusnya normal kembali. Untuk ternak sapi,  perah pada khususnya, kebanyakan siklus normal akan berlangsung kembali dalam 40 hari setelah melahirkan. Kegagalan untuk melanjutkan siklus normal setelah melahirkan adalah salah satu penyebab utama dari fertilitas yang buruk. Hal ini umumnya bisa nampak dari tertundanya estrus 80-100 hari setelah melahirkan, atau sapi bisa mulai estrus 20 hari setelah melahirkan tetapi kemudian berhenti. Jadi, dampak utama dari kondisi delay estrus ini adalah bahwa sapi tidak bisa dikawinkan dan interval antara saat melahirkan dan estrus kembali menjadi lebih lama sehingga angka kebuntingan menjadi jauh lebih rendah.

Faktor penyakit dan defisiensi nutrisi juga mempengaruhi seberapa cepat kembalinya siklus estrus normal. Untuk pubertas pada sapi dara, salah satu faktor penting yang mempengaruhi kembalinya siklus adalah berat badan. Sapi yang kehilangan berat badan berlebihan pasca melahirkan, umumnya memiliki siklus abnormal dan untuk mencapai kebuntingan selanjutnya juga relatif lebih sulit/lambat. Oleh karena itu, upaya untuk mengembalikan body condition score (BCS) dan meminimalkan kehilangan berat badan induk pasca melahirkan merupakan bagian penting dari pengelolaan fertilitas pada sapi laktasi, terutama induk muda yang baru mengalami masa laktasi awal. Kelompok sapi ini harus menghadapi pemerahan untuk pertama kalinya, mempertahankan pertumbuhan tubuh dan menyesuaikan diri dengan kondisi baru pada saat yang bersamaan sehingga kita sebagai peternak harus memberikan perhatian ekstra.

Kesuburan optimal terlihat pada sapi dengan BCS rata-rata 2,5 saat melahirkan. Dalam kelompok kandang breeding, induk laktasi dengan kondisi BCS > 3 tidak boleh lebih dari 15%, sedangkan BCS < 2 harus dibawah 15% saat melahirkan agar performa reproduksi lebih terjaga. Cara terbaik  adalah dengan mengkondisikan sapi sebelum pengeringan dan kemudian mengelola sapi selama periode kering untuk memenuhi target BCS. Jika masalah utamanya adalah kondisi yang buruk, maka kita harus melakukan evaluasi kandungan nutrisi agar pakan yang kita berikan sesuai dengan kebutuhan induk. Pemberian pakan tambahan pada akhir masa laktasi adalah waktu yang paling ekonomis dan efektif untuk mencapai kondisi BCS yang ideal sebelum dikawinkan kembali.

https://cdn-ext.agnet.tamu.edu/wp-content/uploads/2018/12/EL-5223-reproductive-diseases-in-cattle.pdf

Setelah kita sedikit refresh mengenai siklus reproduksi normal sapi dan kendala teknis yang mungkin muncul, maka saat ini kita juga akan belajar tentang penyakit reproduksi pada sapi. Gangguan reproduksi sapi yang paling umum adalah brucellosis,  leptospirosis, infectiousi bovine rhinotracheitis (IBR) dan bovine viral diarhea (BVD), vibriosis, serta trikomoniasis.

Brucellosis
Brucellosis masih menyebabkan aborsi dan infertilitas yang mengganggu di kalangan pengusaha pembibitan sapi atau sapi perah. Penting untuk dipahami bahwa tidak semua sapi yang terinfeksi brucellosis akan mengalami aborsi, menghasilkan anak sapi yang lemah, mempertahankan plasenta atau mengalami kesulitan untuk berkembang biak kembali. Karena bisa terjadi seekor sapi yang terpapar brucellosis tampak normal. Lalu apa yang harus kita alamti?

Setiap kali induk melahirkan atau mengeluarkan cairan kelamin, jutaan organisme brucella mungkin ada di permukaan plasenta, anak sapi, atau kotorannya. Kotoran yang dihasilkan tersebut kemudian mencemari padang rumput, peralatan kadang dan lingkungan tempat mereka berada, termasuk mungkin bahan pakan lainnya, seperti jerami. Hal inilah yang menjadi biang malapetakan di suatu peternakan yang tentunya mengancam ternak lainnya. Jika hewan dalam kawanan ada yang dalam kondisi lemah/rentan dan terpapar bakteri ini, kemungkinan besar mereka akan terinfeksi juga.

Meskipun infeksi biasanya terjadi melalui saluran pencernaan, hewan yang rentan juga dapat terpapar bakteri melalui kulit atau mata. Pakan, tempat tidur, air atau tempat yang terkontaminasi dapat tetap infektif selama beberapa hari hingga beberapa minggu, tergantung pada kondisi lingkungan. Infeksi menyebar terutama ketika ternak yang terinfeksi dimasukkan ke dalam kawanan, baik melalui pembelian individu/kelompok baru atau ketika mereka berada di padang rumput dengan ternak dengan gangguan subklinis.

Untuk menjaga kawanan dari brucellosis, maka hal yang perlu dilakukan adalah memelihara  kawanan secara eksklusif dengan memproduksi sendiri sapi dara untuk menggantikan sapi-sapi tua yang akan diafkir. Jika hal ini belum bisa dilakukan hal ini, maka sangat disarankan untuk kita membeli dari sumber yang dapat dipercaya sehingga mengurangi resiko kita memasukkan patogen penyakit dari lokasi lain. Jika harus membeli sapi dara pengganti, anda harus mengetahui reputasi peternakan/penjualnya. Pastikan bahwa semua ternak yang Anda beli berasal dari kawanan yang bersih, manajemen yang baik dan program vaksinnya jelas.

Apa lagi yang harus kita lakukan? Isolasi bibit pembibitan selama 30-60 hari setelah tiba di lokasi peternakan kita, dimonitor status kesehatannya dan uji ulang pada akhir periode isolasi sebelum dimasukkan ke dalam kawanan. Repot ya? Ya memang, tetapi jika melihat ini sebagai proses membangun kawanan yang baik, maka ini adalah investasi/upaya awal yang akan mempengaruhi tingkat keberhasilan usaha pembibitan anda. Kelangsungan usaha peternakan dalam jangka panjang dipertaruhkan dari upaya kita membangun kawanan yang berkualitas. Pada saat fase isolasi ini, kita juga harus melakukan uji guna melihat status kesehatan ternak baru untuk potensi penyakit lainnya. Jadi peran dokter hewan sangat penting disini. Pada umumnya, peternak melakukan program vaksinasi sesuai tantangan yang sudah ada di kandang. Semua sapi dara berusia 4-12 bulan harus sudah mendapatkan program yang lengkap. Jika kita berbicara dalam skala industri, sapi harus diidentifikasi dengan benar. Ear tag sistem dengan label telinga resmi dan tato di telinga kanan akan lebih memudahkan peternak untuk melihat silsilah dari sapi yang dibeli.

Lalu bagaimana dengan pejantan? Pastikan sapi jantan bebas dari brucellosis dan semua penyakit reproduksi. Meskipun brucellosis jarang menyebar melalui pembiakan, tetapi jika peternak melakukan model pemeliharaan yang diumbar dan kawin alami, maka pejantan yang kita miliki berpotensi terinfeksi dari induk yang bermasalah saat mereka berada di padang umbaran. Jika hal ini terjadi, maka pejantan ini akan berpotensi menularkan ke induk yang lainnya. Gejala yang bisa kita lihat adalah ukuran testis atau skrotum yang membengkak. Jika produsen sudah menggunakan teknik inseminasi buatan (IB), maka sebaiknya juga harus menghindari semen dari pejantan yang terinfeksi brucellosis, karena air mani mereka dapat menjadi sumber penularan.

Leptospirosis
Leptospirosis umumnya bisa menjadi masalah, terutama pada ternak yang tidak divaksinasi di daerah yang endemis. Penyakit ini menyebabkan kasus yang selalu berulang, karena bisa terjadi infeksi rahim, aborsi, mastitis dan kadang-kadang infeksi sistemik. Strain bakteri yang dominan pada sapi adalah Leptospira pomona, Leptospira hardjo dan Leptospira grippotyphosa.

Sama dengan brucellosis, leptospirosis dapat terjadi dalam suatu kawanan tanpa kita sadari karena minimnya gejala klinis yang muncul. Sapi yang dipelihara secara intensif tetapi dengan sanitasi yang buruk mungkin lebih beresiko karena tetesan urin dari sapi yang terinfeksi dapat menginfeksi sapi normal setelah kontak dengan mata atau selaput lendir hidung atau mulut. Penyakit ini mampu menginfeksi lebih banyak ternak setiap hari dan menggangu performa reproduksi breeding kita.

Untuk mencegah leptospirosis, sebaiknya lakukan vaksinasi dengan bakterin yang mengandung 3-5 serotipe setiap 6 bulan, perbaiki sanitasi/kebersihan kadang dan hindari/perbaiki area yang berpotensi air menggenang dan yang tidak kalah penting adalah kontrol vektor. Pengendalian populasi hewan pengerat terutama tikus dari gudang pakan dan lingkungan kandang menjadi faktor penting dalam upaya pengendalian kasus leptospirosis.

IBR dan BVD
Kasus komplek yang melibatkan IBR dan BVD adalah penyakit yang disebabkan oleh virus yang bertanggung jawab atas banyak aborsi dan kemungkinan infeksi pernapasan, lesi “mata merah” dan lesi kaki. Infertilitas sementara dapat terjadi mengikuti kejadian IBR karena vaginitis dan/atau infeksi uterus ringan. Baca juga : Penyakit Pernafasan pada Sapi

Karena penyakit ini sangat kompleks, sebaiknya kita melakukan evaluasi secara detail sebelum melakukan intervensi. Penggunaan vaksin menjadi hal yang penting dalam upaya pengendalian penyakit ini dalam jangka panjang. Aplikasi vaksin diharapkan dilakukan dengan hati-hati, mengingat pada beberapa kejadian, pelaksanaan vaksin disaat yang tidak tepat juga berpotensi  menyebabkan aborsi. Pastikan status kesehatan kawanan dalam kondisi baik. Oleh karena itu, sebelum memutuskan untuk melakukan vaksinasi  konsultasikan dengan dokter hewan untuk mendapatkan saran tentang prosedur vaksinasi dalam suatu untuk kawanan. Baca juga : Diare pada Sapi

Vibriosis
Vibriosis adalah penyakit kelamin yang menyebabkan kemandulan dan terkadang juga aborsi. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Campylobacter yang hidup di celah-celah kulit pejantan (kulup). Sumber utamanya adalah pejantan yang berumur diatas 4 tahun karena disitulah celah-celah kulit mulai terbentuk dan menjadi tempat persembunyian bakteri ini.

Vibriosis menyebar dari sapi jantan yang terinfeksi ke induk selama proses perkawinan, dan hal itu terus bergulir saling menularkan jika kita tidak menyadarinya. Penyakit ini juga berpotensi ditularkan melalui inseminasi buatan jika tindakan pemeriksaan terhadap semen dan perlakuan untuk pencegahan ini tidak dilakukan. Pejantan yang positif terhadap vibrosis jika yang tidak diobati dapat tetap menjadi pembawa untuk waktu yang lama dan menjadi sumber penularan dalam kawanan.

Vibriosis yang terjadi pada induk dapat menyebabkan endometritis dan mengakibatkan kegagalan proses kebuntingan atau kematian embrio. Induk terkadang masih bisa mengalami kebuntingan dan tidak menunjukkan gejala berahi 21 hari kemudian, namun embrio yang baru terbentuk kemudian mati dan diserap kembali oleh induk. Jika hal ini terjadi, maka induk sapi akan menunjukkan gejala estrus 27-53 hari setelah proses perkawinan, artinya ada keterlambatan dalam siklus estrus normalnya. Aborsi dapat juga terjadi pada akhir masa kebuntingan, tetapi sangat jarang.

Diagnosis untuk penyakit ini relatif sulit. Kita idealnya melakukan identifikasi biakan organisme dari alat kelamin sapi yang terinfeksi, atau dari abomasum janin yang aborsi. Setelah kita mendapatkan konfirmasi bakteri yang menyerang, maka kita bisa melakukan tindakan pencegahan dengan program vaksinasi untuk meningkatkan kekebalan terhadap penyakit vibrosis. Selain itu, kita juga harus melakukan pemeliharaan yang baik terhadap pejantan yang semennya kita koleksi untuk proses  inseminasi buatan (IB), mengobati sampai sembuh sebelum semennya kita gunakan kembali yang terinfeksi, dan melakukan pengecekan secara berkala terhadap kualitas semen yang dihasilkan agar performa reproduksi yang dihasilkan baik.

Trikomoniasis
Tenyakit ini disebabkan oleh protozoa, yaitu Trichomonas yang menyebabkan gangguan penyakit kelamin. Gejala yang ditimbulkan meliputi aborsi sesekali dan pyometra (adanya nanah dalam rahim) yang berpotensi mengganggu efisiensi proses perkawinan. Pyometra ini akan berkembang setelah embrio sapi yang berada dalam rahim induk terinfeksi dan mati.

Untuk pengobatan di induk, kita harus melakukan treatment terhadap infeksi rahim sampai bersih dan untuk sementara tidak dikawinkan dahulu sampai benar-benar sehat. Umumnya kan diperlukan sekitar 90 hari istirahat seksual untuk menghilangkan protozoa ini dari rahim. Kita mungkin perlu berhitung jika hal ini terjadi di indukan tua, apakah kita akan mempertahankan atau kita ganti dengan sapi dara.

Vaksinasi juga merupakan pilihan jika memang tersedia dipasaran. Upaya pencegahan yang bisa kita lakukan selain vaksin adalah rutin melakukan uji status kesehatan dari pejantan dan indukan di breeding farm kita. Metode kultur setidaknya 3x dalam interval mingguan. Pemilihan calon induk, pejantan atau semen yang berkualitas juga menjadi screening pertama yang wajib kita lakukan untuk meminimalkan resiko terjadinya infeksi. Air mani beku yang mengandung organisme ini dapat menyebabkan infeksi jika kita gunakan dalam proses IB.

Kesimpulan

Manajemen reproduksi membutuhkan fokus pada semua tahap kehidupan sejak sapi dilahirkan.
Siklus estrus pada sapi adalah keseimbangan antara progesteron dan estrogen, dimana itu akan berulang setiap 21-22 hari sampai akhirnya mereka bunting. Sapi dara diharapkan mulai dewasa kelamin siklus saat umur 12 bulan, kawin umur 15 bulan dan melahirkan saat berumur 24 bulan. Menetapkan dan memenuhi target BCS sangat penting untuk mengoptimalkan performa reproduksi  pada sapi, terutama sapi dara sehingga induk bisa segera kembali estrus dan memiliki tingkat kesuburan yang baik. Managemen pengendalian penyakit reproduksi juga menjadi faktor penentu keberhasilan dalam usaha breeding ataupun sapi perah. Pastikan kita mempunyai strategi yang tepat agar peternakan kita bisa memberikan hasil terbaik.

Referensi :

  1. https://agrilifeextension.tamu.edu/library/ranching/reproductive-diseases-in-cattle/
  2. https://www.nadis.org.uk/disease-a-z/cattle/fertility-in-dairy-herds/part-1-the-basics-of-reproduction/
error: Content is protected !!