Pada artikel kali ini, kita akan belajar bersama mengenai aspek-aspek penting dalam kita menjalankan usaha peternakan babi. Dalam kacamata bisnis, baik itu peternakan dalam skala kecil – besar, tentunya orientasi yang dituju adalah keuntungan. Bagaimana kita mempersiapkan sarana prasarana dan strategi / managemen pemeliharaan tentunya tidak boleh asal-asalan agar hasil yang didapatkan juga tidak asal-asalan. Banyak faktor yang sebenarnya menentukan keberhasilan usaha ini, antara lain pemilihan bibit/genetik, lokasi, kondisi lingkungan, nutrisi, recording/data performance, manajemen, fasilitas, biosekuriti, dan disease control. Dari 9 aspek diatas yang paling berkaitan langsung dengan resiko usaha ternak selama ini pastinya kita setuju jika masalah penyakit adalah yang terutama, sehingga faktor manajemen, biosecuriti dan program pengendalian penyakit menjadi krusial, selain juga faktor kualitas pakan. Namun demikian, walaupun hampir semua peternak sadar dan tahu kalo penyakit adalah faktor resiko yang mengancam kelangsungan usaha, pada kenyataannya banyak peternak yang mengabaikan/tidak mempunyai strategi pengendalian penyakit di kandang mereka, dalam hal ini program medikasi/vaksinasi. Ironis bukan, menjalankan usaha ternak dengan tujuan memperoleh penghasilan tetapi tanpa didukung dengan praktek manajemen, biosekuriti dan vaksinasi yang baik. Kondisi diatas mungkin menggambarkan kondisi peternakan skala kecil dimana keterbatasan finansial dan akses pengetahuan tentang beternak yang sangat kurang, sehingga kelompok inilah yang dianggap mempunyai faktor resiko tertinggi. Kasus African Swine Fever (ASF) menjadi contoh yang paling nyata saat ini. Semua tahu jika ASF belum ada vaksinnya, oleh karena itu sudah sewajarnya program pengendalian penyakit tidak bisa mengandalkan vaksinasi tetapi memaksimalkan manajemen dan biosekuriti yang baik, termasuk didalamnya menghidari pemberian pakan sisa rumah makan, airport, pelabuhan dll tanpa dimasak terlebih dahulu.
Selain itu, ada juga peternak yang sebenarnya punya kekuatan finansial bagus tetapi mengabaikan faktor resiko terjadinya penyakit karena sejarah masa lalu tidak pernah terjadi kasus yang parah. Sikap peternak ini akan menjadi berbahaya jika berada dalam sebuah area komplek peternakan karena kandangnya akan menjadi sumber penularan terhadap kandang-kandang lain disekitarnya jika sampai terjadi outbreak penyakit. Kembali saya mencontohkan kasus ASF ini. Ada lho peternak yang masih menganggap ASF itu HOAX, berita yang dibesar-besarkan untuk menakuti peternak. Kalo hal ini terjadi dan dia melakukan usaha beternaknya tanpa menerapkan manajemen dan biosekuriti yang bagus, maka potensi virus ASF masuk ke area komplek itu menjadi tinggi. Faktor resiko terbesar adalah dari transportasi, lalu lintas orang dan kendaraan pengangkut babi, pakan dll yang mungkin keluar masuk tanpa perlakuan desinfeksi. Jadi ketika kita beternak pada area komplek, artinya kita seharusnya tahu aspek lokasi ini menjadi tantangan tersendiri dalam usaha peternakan kita. Idealnya semua peternak yang berada dalam satu lokasi ini duduk bersama dan menyamakan persepsi mereka dalam menjalankan usaha, minimal dalam hal ini meningkatkan kesadaran dalam menjalankan praktek manajemen, biosekuriti dan vaksinasi yang baik dalam upaya pengendalian penyakit. Sulit dong…jelas!! Apakah semua itu menjamin penyakit tidak datang?…TIdak juga !!! Tetapi hal ini harus dilakukan sebagai upaya untuk meminimalkan resiko. Penyakit memang yang paling beresiko mencuri keuntungan usaha peternakan kita sehingga program pengendalian/kontrol penyakit biasanya menjadi fokus utama dari para peternak. Namun demikian, sekali lagi jangan lupakan ya faktor / aspek yang lainnya agar usaha peternakan kita benar-benar mendapatkan keuntungan yang optimal…
Terkait penyakit, apa saja sih yang sudah berhasil diidentifikasi di peternakan babi Indonesia? Gangguan pernafasan, pencernaan dan reproduksi adalah yang paling umum bisa kita amati dilapangan. Classical Swine Fever/Hog Cholera, Mycoplasma sp., Porcine Reproductive and Respiratory Syndrome (PRRS), Porcine Circovirus type 2 (PCV2), Haemophilus parasuis, Eschericia coli dan penyakit lainnya dilapangan sudah berhasil diidentifikasi. Jika kita melihat di peternakan babi di Amerika, penyakit yang masih dominan mengganggu adalah PRRS, Pseudorabies dan Porcine Epidemic Diarrhea (PED), sedangkan ASF mereka masih aman, serta CSF dan Foot and Mouth Disease (FMD) sudah berhasil dieradikasi. Biosekuriti menjadi point penting dalam program pengendalian penyakit ini. Baca juga : Apa itu Porcine Respiratory Disease Complex ?
Strategi pencegahan penyakit babi harus menjadi praktik yang umum bagi semua peternak babi. Untuk menjadi peternak sukses, menjaga kesehatan hewan adalah suatu keharusan karena akan membantu meminimalkan timbulnya penyakit. Kejadian penyakit di peternakan dapat berdampak besar bagi ternak, peternakan, dan manusia itu sendiri. Sekali lagi aspek managemen, biosekuriti dan vaksinasi menjadi sangat penting. Biosekuriti adalah tindakan pencegahan yang dirancang untuk menghentikan masuknya atau penyebaran penyakit ke dalam peternakan, termasuk babi. Biosekuriti ini biasanya mencakup praktek manajemen yang baik, pengamatan/monitoring yang cermat, program karantina, pakan yang baik, sanitasi dan desinfeksi serta menyediakan lingkungan yang bersih dan sehat untuk hewan. Baca juga : Pentingnya Biosekuriti pada Peternakan Babi
Jika kita berencana untuk memulai usaha beternak babi, pastikan bahwa kita membeli bibit babi dari sumber yang memiliki reputasi baik dan bersertifikat. Memilih babi yang sehat adalah cara terbaik untuk menghindari penyakit babi. Pengamatan yang jeli adalah kunci untuk melihat ada tidaknya tanda-tanda yang tidak normal atau babi yang berpotensi sakit. Selanjutnya, kita harus melakukan proses karantina terhadap babi yang baru kita beli tadi untuk memastikan status kesehatannya. Jika kita ingin menambah populasi, jangan pernah memasukkan babi baru ke dalam kawanan secara langsung sebelum kita memastikan status kesehatannya di masa karantina. Selama proses aklimatisasi/karantina ini, pastikan ternak diuji terhadap status penyakit tertentu (sesuai tantangan penyakit yang ada) sebelum mereka dicampur dengan populasi babi yang lain. Pengendalian parasit dan vaksinasi merupakan bagian utama dalam pengendalian penyakit, sehingga biasanya peternak juga melakukan vaksinasi dimasa karantina ini sehingga babi mempunyai kekebalan yang dipersiapkan untuk melawan patogen penyebab penyakit. Nutrisi yang baik merupakan faktor penting untuk menjaga kesehatan kawanan, jadi pastikan kita memberikan pakan dengan kualitas bagus agar performa bisa maksimal. Jika kita terpaksa masih penggunaan pakan dari sisa-sisa/limbah rumah makan, airport, pelabuhan dan lain-lain maka sangat disarankan untuk dimasak terlebih dahulu untuk menghindari resiko penyakit, terutama ASF yang saat ini masih merebak. Hal lain yang tidak kalah penting adalah rekording. Pencatatan yang baik akan membantu peternak dalam mengevaluasi performa farm, baik itu reproduksi ataupun status kesehatan pada anakan. Selain itu, peternak juga bisa melakukan evalusi terhadap perlakuan yang dilakukan dikandang, seperti saat mencoba formulasi pakan yang baru, program vaksinasi yang baru, dan perubahan manajemen yang mungkin kita lakukan di dalam kandang. Dengan adanya rekording ini akan memudahkan dalam menjalankan usaha peternakan kita.
Jadi jika kita ingin menjadi peternak yang berhasil, maka diperlukan langkah-langkah dan strategi yang terbaik sesuai dengan tantangan yang ada dilapangan. Pastikan kita menguasai dan mengerti kondisi peternakan kita terutama tantangan penyakit yang ada, kemudian kita mempersiapkan strategi manajemen, biosekuriti dan program vaksinasi yang disesuaikan dengan kondisi lapangan kita untuk menurunkan risiko patogen masuk atau menyebar di peternakan babi. Babi yang sehat menghasilkan daging babi yang aman. Pencegahan jauh lebih menguntungkan daripada pengobatan!!
Kasus ASF di dunia menjadi tantangan luar biasa bagi peternakan babi beberapa tahun terakhir ini. Populasi babi yang terkoreksi cukup dalam ini mengakibatkan suplai dan demand terhadap daging babi tidak seimbang dan mengakibatkan fluktuasi harga yang luar biasa. Cara menyikapi kejadian inipun berbeda-beda diantara para pelaku usaha. Di China, beberapa pengusaha melihat ini mungkin sebagai “peluang” karena kebutuhan daging babi dimasa akan datang pastinya akan sangat kurang dan siapa yang bisa suplai tentunya yang akan memetik hasilnya. Lalu strategi apa yang mereka lakukan untuk menghadapi ASF yang belum ada vaksinnya ini? Berikut adalah resume dari langkah-langkah / point penting terkait proses repopulasi yang dilakukan dan mungkin bisa kita modifikasi dan sesuaikan dengan kondisi di Indonesia :
Kecepatan adalah kunci – deteksi dini, tindakan cepat dan penanganan sumber infeksi sangat penting untuk menghindari penyebaran virus lebih lanjut dalam sistem produksi. Monitoring pergerakan babi pada daerah terdampak juga harus diperketat, dan perlakuan karantina plus pengujian berkala harus dilakukan dengan disiplin dan konsisten. Baca juga : African Swine fever
Desinfeksi terhadap truk pengangkut babi – proses pembersihan, desinfeksi dan pengeringan
Membuat perimeter – zone untuk menahan penyebaran virus secara sistematis : ‘zona wabah’ radius 1 km, ‘zona kontrol’ radius 3-5 km, dan ‘zona pengawasan’ radius >10 km (tergantung Geografis dan kepadatan babi)
Larangan di zona kontrol – batasi akses orang luar yang tidak berkepentingan, dilarang menjual/pindahkan babi ke luar zona, dilarang menyembelih babi, menjual bangkai dan produk sampingannya, pengawasan lalu lintas pakan/bahan baku dan transportasi
Perlakuaan penting di zona kontrol – menempatkan titik pemeriksaan dan desinfeksi di pintu keluar masuk lokasi terdampak dan zona kontrol, desinfeksi kendaraan yang keluar dari zona kontrol, ganti pakaian dan sepatu di pos pemeriksaan sebelum memasuki zona kontrol, dan singkirkan hewan liar.
Perlakuan penting di zona wabah – bersihkan semua babi dan produknya dengan seminimal mungkin kontaminasi darah (virus ASF ditemukan dalam jumlah tinggi di dalam darah); bakar/kuburkan babi mati, produk babi, fomites dan semua yang terkontaminasi sedalam 4m, lalu tutup lobang dengan kotoran dan kapur, serta desinfektan agar tidak mengundang hewan liar; proses ini sebisa mungkin dimulai dari lokasi yang paling parah untuk meminimalkan resiko penyebaran/kontaminasi; staf yang terlibat harus menerapkan protokol yang ketat (mandi, ganti baju dan alas kaki dll); lakukan pengendalian vektor
Langkah desinfeksi yang tepat – virus ASF adalah virus ‘DNA enveloped’ yang kompleks dan tahan terhadap lingkungan. Agar disinfektan sepenuhnya efektif, maka sebelumnya harus dilakukan pembersihan semua bahan organik dengan deterjen, dikeringkan baru kemudian masuk ke proses disinfeksi; pastikan waktu kontak dan dosis sesuai rekomendasi, dan penguapan dengan suhu panas jika memungkinkan.
Disinfektan yang terbukti mampu menonaktifkan virus ASF adalah natrium hidroksida, natrium hipoklorit, kalsium hipoklorit, glutaraldehyde, asam sitrat, yodium monoklorida, formaldehida, senyawa amonium kuarter dan kalium peroksimonosulfat. Konsultasikan ke distributor desinfektan anda ya untuk memastikan efektifitasnya terhadap ASF.
Lakukan desinfeksi terhadap semua bahan dan fasilitas kandang yang terkontaminasi saat proses pembersihan memusnahkan babi
Pembersihan intensif fase I – karena virus ASF sangat resisten, maka sekali lagi sangat penting untuk membersihkan dan mendisinfeksi dengan benar semua bahan yang mungkin telah bersentuhan dengan virus. Langkah fase I ini meliputi pembersihan mekanis semua bahan organik (pakan, feses, kotoran) dengan menggunakan sikat dan sekop, buang/bakar peralatan yang tidak dapat didisinfeksi dengan benar, semprotkan air ke semua permukaan, siram dengan deterjen, bilas dengan air dan biarkan waktu mengering serta semprot disinfektan ke semua permukaan dan naikkan suhu ruangan jika memungkinkan.
Pembersihan intensif fase II – ulangi semua proses fase I, pastikan semua peralatan dan fasilitas bersih dan buang/bakar semua pakaian yang digunakan selama desinfeksi. Sedikit saya tambahkan disini, sharing dari kolega dokter hewan di China yang membantu proses repopulasi di sebuah farm besar menyebutkan bahwa, proses cleaning/pembersihan ini harus di test dengan ATP fluorescence detector sebelum masuk ke tahap desinfeksi. Jadi mereka harus melakukan swab terhadap semua permukaan kandang yang diduga masih terdapat cemaran patogen. Jika ternyata hasil deteksi ATP ini masih menunjukkan angka patogen yang melebihi ambang batas yang disarankan maka proses pembersihan harus diulang kembali.
Pembersihan intensif fase III – disinfektsi semua permukaan dengan tekanan rendah atau menggunakan desinfektan bubuk (biarkan < 6 jam), tingkatkan suhu ruangan bila memungkinkan dan tutup area kandang
Perlakuan di lingkungan luar kandang – bersihkan dan desinfeksi lingkungan dengan benar, cek tempat penampungan limbah/kotoran, cek sisa-sisan bahan baku/pakan dan tempat pakan/silo, bakar pakaian yang dipakai selama fase ini dan tutup lokasi kandang selama masa karantina sebelum mulai proses repopulasi.
Bioassay – memulai kembali bisnis harus menjadi salah satu prioritas bagi setiap peternakan yang terkena ASF. Proses pengujian harus detail untuk memastikan patogen sudah tidak terdeteksi lagi. Investasi, daya dan upaya relatif besar untuk memastikan infeksi tidak terulang lagi. Peran otoritas lokal menjadi penting untuk mengatur kapan proses repopulasi bisa dimulai. Bioassay adalah metode analisis yang memastikan apakah sebuah peternakan cukup bersih untuk dihuni kembali. Baca juga : Bagaimana Kondisi Peternak Pasca Outbreak ASF?
Memulai repopulasi dengan memasukkan hewan sentinel – pilih sumber hewan terpercaya dan konfirmasikan melalui pengujian laboratorium, atur transportasi dengan truk yang bersih dan didesinfeksi, tempatkan karyawan untuk tinggal di dalam kandang selama masa observasi (60 hari) dan siapkan pakan sekaligus dari sumber yang terpercaya juga; mulai masukkan babi sentinel 5-10% dari kapasitas peternakan, lalu cuci dan desinfeksi mobil pengangkut babi, keringkan sebelum digunakan kembali.
Perlakuan terhadap hewan sentinel – babi dibiarkan bebas mengakses semua area kandang sehingga memastikan bahwa lingkungan dalam kandang aman dari patogen yang mungkin terlewatkan saat proses pembersihan dan desinfeksi.
Monitoring hewan sentinel – pantau selama 60 hari, lakukan pengujian PCR mingguan dengan jumlah statistik yang signifikan, periksakan semua hewan yang mati ke dokter hewan dan lakukan pengujian laboratorium terhadap ginjal, tonsil, kelenjar getah bening, paru-paru dan limpa; kumpulkan sampel darah dari semua babi di akhir periode 60 hari dan lakukan uji Elisa (cek antibodi) dan uji PCR (deteksi antigen)
Jika semua terlewati selama fase 60 hari (periode karantina berakhir) dan setelah semua tes menunjukkan hasil negatif maka kita kemudian bisa memasukkan populasi babi selanjutnya sampai kapasitas yang diharapkan tetapi harus terus menjalankan program monitoring dan biosekuriti yang ketat karena vaksin belum ditemukan.
Jika di China kita bisa belajar bagaimana mereka sukses dalam proses repopulasi pada peternakan besar, ternyata tidak demikian dengan contoh di Vietnam. Proses repopulasi pada peternakan skala kecil di Vietnam ternyata tidak kuasa untuk menahan gempuran virus ASF karena tindakan biosekuriti mereka yang relatif lemah. Hal ini akhirnya menyebabkan peternak mengalami kerugian ganda karena investasi mereka kembali direnggut oleh ASF. Kita tahu bahwa Vietnam terdampak ASF mulai Februari 2019, dan Oktober 2019 perusahaan skala besar disana sudah bersiap membantu peternak skala kecil untuk mulai usaha kembali. Gejolak kenaikan harga yang sangat tinggi ini juga mendapat respon positif beberapa peternak kecil sehingga mereka berani membeli dan berencana memulai beternak kembali pada bulan November 2019. Namun apa yang terjadi, hanya dalam selang waktu 3 hari setelah babi diterima dikandang ternak tersebut sakit, mati dan dinyatakan positif ASF kembali. Mengapa bisa terjadi reinfeksi setelah sekian lama kandang dikosongkan (>6 bulan) ? Mungkin jawabannya terletak pada proses pembersihan dan desinfeksi pasca ASF yang kurang baik. Baca juga : Bagaimana Proses Eradikasi dimasa lalu dan update perkembangan vaksin saat ini
Pelajaran apa yang bisa kita ambil dari 2 contoh diatas? Secara umum pengendalian penyakit dalam pemeliharaan ternak melibatkan manajemen, vaksinasi dan biosekuriti. Jika kita berbicara ASF untuk saat ini yang belum ada vaksinnya, maka sudah seharusnya kita memaksimalkan perbaikan manajemen dan memperketat biosekuriti. Peternak kecil menjadi sangat beresiko mengingat kemungkinan besar implementasi faktor-faktor tersebut kurang maksimal. Selain itu, biasanya peternak di Indonesia rata-rata juga berada dalam satu lokasi yang sama dengan peternak lainnya. Hal ini juga menjadi tantangan tersendiri, mengingat idealnya peternak dalam suatu komplek wilayah yang sama harus saling terbuka dan memiliki pemahaman yang sama dalam proses pengendalian penyakit ini agar semua populasi aman. Pembentukan kelompok ternak dan bimbingan teknis bisa menjadi sarana yang baik untuk memberikan update informasi kepada para peternak kecil sehingga tidak ada lagi peternak yang menjalankan usahanya “asal-asalan” yang pada akhirnya beresiko terhadap kelangsungan usaha peternak yang lain.
Akhir kata, untuk memulai usaha ternak kembali pasca ASF diperlukan proses cleaning dan desinfeksi, serta istirahat kandang yang relatif lama. Setelah itu, proses repopulasi bisa dilakukan idealnya setelah zona wabah sudah dikonfirm aman (lama waktunya tergantung situasi dilapangan) dan dilakukan monitoring terhadap kemungkinan kejadian penyakit dengan uji-uji laboratorium (ELISA, PCR dll). Sekali lagi, perbaikan manajemen dan biosekuriti memegang peranan penting dalam upaya pengendalian penyakit ASF ini, mengingat vaksin masih dalam tahap penelitian. Lihat juga : Video Strategi Menghadapi ASF
Gambaran sejarah tentang situasi ASF sejak 2016 menunjukkan pola peningkatan yang signifikan dalam jumlah wabah telah diidentifikasi. Data update per juni 2020 dari organisasi kesehatan hewan dunia (OIE) menyampaikan bahwa pada periode 2016-2020 ini, kejadian ASF sudah dilaporkan dari Afrika, Eropa, dan Asia dengan total 30% (60/201) negara. Di Eropa, banyak negara yang melaporkan kejadian pertama penyakit itu sejak 2016. Mulai dari Moldova pada September 2016, Republik Ceko pada Juni 2017, Rumania pada Juli 2017, Hongaria pada April 2018, Bulgaria pada Agustus 2018, Belgia pada September 2018 (peristiwa terakhir terjadi pada tahun 1985), Slowakia pada Juli 2019, Serbia pada Januari 2020 dan Yunani pada Februari 2020. Di Asia dan Pasifik, China menjadi negara pertama yang terkena pada Agustus 2018, Mongolia pada Januari 2019, Vietnam pada Februari 2019, Kamboja pada Maret 2019, Hong Kong pada Mei 2019, Korea Utara pada Mei 2019, Laos pada Juni 2019, Myanmar pada Agustus 2019, Filipina pada Juli 2019, Korea Selatan pada September 2019, Timor-Leste pada September 2019, Indonesia pada November 2019, Papua Nugini pada Maret 2020 dan India pada Mei 2020. Berita terkini juga menyebutkan bahwa, September 2020 Jerman mengumumkan kejadian ASF pada populasi babi liar di wilayah perbatasan dengan Polandia. Baca Juga : African Swine Fever
Kondisi Umum sebelum ASF
Selama tiga dekade terakhir, sebenarnya produksi babi telah tumbuh cepat dari peternak kecil, menengah sampai skala industri di banyak negara Asia Pasifik. Perkembangan teknologi, pengetahuan, dan inovasi di peternakan babi telah mendorong peningkatkan manajemen, sistem perkandangan, formulasi makan dan lain-lain. Performa yang lebih baik ini dapat disebabkan oleh efisiensi galur dan pengelolaan genetik yang lebih baik yang mengarah pada peningkatan produktivitas ternak babi. Namun demikian tipikal peternakan di Asia cinderung masih menggunakan sistem yang boleh dibilang tradisional, sehingga produktifitasnya belum optimal dan masih kalah dengan negara maju yang sudah menggunakan sistem pemeliharaan modern. Di Indonesia, sistem produksi skala besar dan menengah juga telah dipraktekkan, namun demikian jumlahnya masih kalah jauh dari sistem tradisional skala kecil. Sama halnya di Thailand, tahun 2018 peternak babi skala kecil dengan kapasitas <50 babi cukup banyak (93,51%), sedangkan peternak skala besar dibagi lagi menjadi peternakan kecil kapasitas 50-500 babi (4,98%), peternakan sedang kapasitas 500-5000 babi (1,37 %), dan peternakan besar kapasitas >5000 babi (0,13%).
Area utama produksi babi berada di Asia (China memiliki > 50% populasi babi dunia), Uni Eropa, Amerika Serikat, Brasil, dan Rusia. China telah dikenal sebagai negara penghasil dan konsumsi babi terbesar di dunia. Pada tahun 2016, konsumsi daging babi di China mencapai ~ 54,98 juta ton (sekitar 1,62 juta ton daging babi masih harus diimpor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri).
Dampak Penyebaran ASF
China, sejak wabah ASF pertama dilaporkan Agustus 2018, >1 juta babi telah dimusnahkan dalam upaya menghentikan penyebaran ASF dan berdampak langsung kepada peternak kecil untuk menutup usaha ternak mereka. Kehilangan populasi babi ini tidak hanya terjadi di peternakan yang terinfeksi tetapi juga produsen yang area peternakannya berada di dalam zona terdampak ASF karena juga harus ikut dimusnahkan. Rabobank memperkirakan produksi daging babi China turun 25% pada 2019 dan 10-15% pada 2020. Hampir 70% dari semua wabah ditemukan pada peternak kecil yang memiliki <50 babi karena kurangnya kesadaran mereka tentang penerapan biosekuriti yang tepat. ASF kemudian menyebar cepat dalam waktu 3 bulan. Faktor-faktor yang mempengaruhi adalah kurangnya kontrol pergerakan babi hidup, kurangnya kapasitas deteksi cepat ASF, karantina hewan yang tidak memadai, dan lemahnya penegakan larangan pengangkutan. Selain itu, terbatasnya ruang untuk pembuangan babi dan bangkai yang terinfeksi memaksa peternak di banyak daerah gagal dalam pengelolaan bangkai yang terinfeksi dengan tepat sehingga mengakibatkan terjadinya pembuangan babi mati di jalan, sungai, atau di hutan. Situasi ini juga membuat para peternak panik dan menjual babi mereka secepat mungkin mendapatkan uang tunai yang akhirnya menyebabkan ternak babi dan produk babi yang terkontaminasi berputar dalam rantai pasokan dan menyebar ke seluruh China dan negara tetangga. Dampak lain yang dirasakan adalah perubahan yang dramatis pada fluktuasi harga daging babi. Karena produksi daging babi China sangat terganggu, mengakibatkan harga daging babi mencapai titik tertinggi (naik 47% pada agustus 2019) dan kemudian diikuti dengan peningkatan permintaan sumber protein lain seperti daging ayam dan produk budidaya. Karena permintaan yang tinggi ini akhirnya pengendalian lalu lintas produk babi hidup dan produk babi antar wilayah di China sangat sulit.
Pemerintah China pada awal bulan Desember 2019 merilis “action plan” untuk mempercepat pemulihan dan pengembangan produksi babi dalam 3 tahun. Hal ini bertujuan untuk menjaga ketersediaan ternak babi, menghentikan lonjakan harga babi, memastikan pasokan daging babi stabil, memulihkan rata-rata kapasitas produksi tahunan pada akhir 2020, dan mencapai pemulihan penuh pada tahun 2021. Rencana besar ini meliputi dukungan pembangunan peternakan babi skala besar, mengamankan lahan untuk peternakan babi, membantu peternak kecil dan menengah melalui pola hubungan kemitraan, waralaba, atau sewa dengan perusahaan produksi babi besar, promosikan penilaian dampak lingkungan, memperkuat pencegahan dan pengendalian penyakit hewan utama seperti ASF, membangun dan meningkatkan sistem manajemen resiko penyakit hewan, serta mendukung pembentukan zona bebas penyakit / komunitas (hotline ASF untuk pelaporan).
Sharing pengalaman dari kolega di China, untuk proses repopulasi disana memerlukan waktu sekitar 6 bulan untuk memastikan kandang aman. Proses cleaning dan desinfeksi menjadi kunci penting sebelum proses repopulasi. Setelah proses cleaning, mereka harus melakukan evaluasi dengan serangkaian test dan inspeksi dari pihak terkait. Jika ternyata hasilnya masih belum memenuhi syarat maka proses pembersihan harus diulangi lagi sebelum masuk ke tahapan proses desinfeksi. Selain itu, proses repopulasi juga dilakukan bertahap dengan memasukkan babi sentinel dan dimonitor secara ketat. Jika populasi sentinel aman, baru dilanjutkan memasukan babi batch selanjutnya sampai populasi yang ditargetkan terpenuhi.
Vietnam, Februari 2019 adalah wabah ASF pertama kali dikonfirmasi di provinsi utara Vietnam yangmana memiliki kemiripan dengan strain dari China. Meskipun resiko penularan ini telah diprediksi sebelumnya, strategi dan implementasi pencegahan/pengendalian penyakit ASF ini tidak mampu menghalangi penyebarannya. Perdagangan, perjalanan manusia antar negara, pergerakan hewan dan produk hewan masih sering terjadi dan cukup rumit untuk mencegah resiko penularan dan pengendalian ASF. Ciri khas virus ASF adalah persistensi jangka panjang dan kelangsungan hidup virus dalam makanan terkontaminasi yang berasal dari babi yang terinfeksi, yangmana jika pemeriksaan barang bawaan dari lalu lintas manusia tidak dilakukan dengan baik akan juga meningkatkan resiko penularan ASF. Kejadian penyebaran ASF di Vietnam juga cukup cepat. Epidemi mencapai puncaknya dan menyebar ke lebih dari 8.200 komunitas ternak di seluruh negeri dan jumlah ternak yang terdampak sekitar ~ 6 juta ekor babi (21,5%). Produksi daging babi sangat penting bagi masyarakat Vietnam dan kegiatan sosial ekonomi terkait dengan kebijakan, ketahanan pangan, pakan ternak, dokter hewan, lapangan pekerjaan, ilmu pengetahuan dan pendidikan, transportasi, dan kegiatan terkait lainnya. Akibat penurunan volume produksi ternak babi ini mendorong pertumbuhan pesat produksi unggas (16,5%), ruminansia (>5%), dan hewan ternak lainnya (>3%), sedangkan angka impor daging babi yang meningkat pesat pada tahun 2019 ( 63,0%).
Banyak solusi telah diterapkan pemerintah Vietnam, seperti restrukturisasi sektor peternakan, model produksi daging babi, rantai pasokan lokal yang terpusat dan terkontrol, dan peningkatan pencegahan penyakit dengan meningkatkan biosekuriti di berbagai tingkatan untuk mengurangi resiko ASF dan upaya mereproduksi kapasitas pasokan daging babi. Dalam jangka panjang, kondisi yang diperlukan untuk re-stocking babi dengan biosekuriti tinggi menimbulkan kesulitan bagi peternakan kecil – menengah karena untuk menjaga area bebas dari penyakit diperlukan upaya bersama dan juga investasi yang tidak sedikit, selain juga faktor ketersediaan bibit yang baik.
Repopulasi merupakan strategi implementasi awal untuk mempersiapkan skenario kekurangan daging babi, namun yang harus dilakukan sebelumnya adalah penelitian/evaluasi untuk mengklarifikasi masalah utama termasuk model peternakan yang sesuai di daerah yang terkontaminasi virus ASF, prosedur pengujian bebas penyakit untuk populasi kembali, analisis risiko pada rantai pasokan, dan evaluasi resiko air/pakan yang terkontaminasi. Selain itu, keberadaan babi liar/babi hutan mungkin juga harus dikaji lebih dalam apakah mempunyai peranan besar dalam penularan ASF ke babi domestik seperti di negara Eropa. Program pelatihan dan pendidikan teknis idealnya juga diberikan kepada otoritas lokal, dokter hewan, kelompok peternak dan semua yang terlibat untuk meningkatkan pengetahuan tentang managemen secara umum dan program pengendalian penyakit, terutama ASF. Pada akhirnya, penelitian tentang pengembangan vaksin dan obat antivirus merupakan strategi dan harapan yang lebih proaktif untuk pengendalian penyakit saat ini bagi para peternak babi di negara yang terinfeksi.
Thailand, salah satu negara yang sampai saat ini masih aman dari ASF. Walaupun demikian, resiko masuknya ASF ke Thailand cukup tingi mengingat negara tersebut dikelilingi oleh tetangga yang sudah terinfeksi ASF. Untuk mengantisipasi wabah ini, pemerintah Thailand telah menyetujui anggaran 150 juta baht (USD 4,7 miliar) untuk persiapan keadaan darurat di tingkat nasional dengan melibatkan kerjasama antara Dinas Peternakan dengan instansi terkait, peternak babi, dan pihak swasta. Rencana terdiri dari tiga fase, yaitu pra wabah, wabah, dan pasca wabah. Anggaran ini terutama untuk pengendalian faktor resiko yang terkait dengan pengenalan ASF, yaitu perpindahan ternak babi dan produk babi ilegal di sepanjang daerah perbatasan, pengawasan wisatawan/pengunjung dari negara-negara yang terkena ASF, perlakuan terhadap kendaraan, peralatan, ternak babi, makanan, dan pakan dari area berisiko. Selain itu, pengembangan diagnosis penyakit, pembentukan jaringan laboratorium, dan peningkatan kesadaran masyarakat juga disertakan terutama terhadap peternak skala kecil. Standar biosekuriti di peternakan juga dilakukan dengan mendorong investasi tindakan karantina, manajemen pemeliharaan, pelatihan, program sanitasi dan disinfeksi.
Indonesia, Pemerintah mengumumkan outbreak ASF pertama di Medan, Sumatra Utara akhir tahun 2019. Kasus ini dalam pengamatan dan informasi di lapangan pada akhirnya menyebar ke daerah-daerah kantong peternakan babi di Indonesia. Nusa Tenggara Timur yang merupakan daerah populasi terbesar ternak babi di Indonesia juga ikut terdampak, kemudian dugaan kasus ASF juga terjadi di Bali, Pulau Nias, Palembang, Lampung, Jawa Tengah dan mungkin area lainnya. Penyakit ASF ini menjadi ancaman nyata bagi populasi ternak babi kita yang mencapai 8,5 juta. Estimasi penurunan populasi ternak babi karena ASF ini diperkirakan minimal 30%.
Karena sampai saat ini belum ditemukan vaksin untuk pencegahan ASF, maka perlakuan perbaikan manajemen dan biosekuti harus diperketat. Jika sampai ada kasus, maka diharuskan melakukan langkah isolasi hewan sakit dan peralatan serta dilakukan pengosongan kandang selama 2 bulan, untuk babi yang mati karena penyakit ASF dimasukkan ke dalam kantong dan harus segera dikubur oleh petugas untuk mencegah penularan yang lebih luas, tidak menjual babi/ karkas yang terkena penyakit ASF serta tidak mengkonsumsinya.
Berdasarkan kajian analisa risiko, faktor yang menyebabkan masuknya ASF ke Indonesia diantaranya melalui pemasukan daging babi dan produk babi lainnya, penggunaan sisa-sisa katering transportasi internasional baik dari laut maupun udara untuk pakan ternak tanpa perlakuan, orang yang terkontaminasi virus ASF dan riwayat kontak dengan babi di lingkungannya. Langkah strategis utama dalam mencegah terjadi ASF adalah melalui penerapan biosekuriti dan manajemen peternakan babi yang baik serta pengawasan yang ketat dan intensif untuk daerah yang berisiko tinggi. Upaya deteksi cepat melalui kapasitasi petugas dan penyediaan reagen untuk mendiagnosa ASF ini telah dilakukan oleh laboratorium Kementerian Pertanian yakni Balai Veteriner dan Balai Besar Veteriner di seluruh Indonesia yang mampu melakukan uji dengan standar internasional. Selain itu, pemerintah juga mengkaji untuk kebijakan ketat terhadap importasi babi hidup dan produk-produk daging babi, terutama dari negara-negara yang tertular ASF. Pemerintah menghimbau agar semua provinsi dengan populasi babi yang tinggi, seperti NTT, Sulut, Kalbar, Sulsel, Bali, Jateng, Sulteng, Kepri, dan Papua selalu waspada dan siap siaga terhadap resiko kejadian penyakit ASF dan terus aktif melakukan sosialiasi kepada peternak serta advokasi kepada pimpinan daerah terkait ancaman ASF.
Tantangan pasca ASF
Setelah wabah ASF, ketahanan pangan global akan dihadapkan pada kondisi suplai dan permintaan babi/produk babi yang tidak seimbang. Kekurangan ketersediaan daging babi saat ini berdampak pada harga daging babi dan mengubah perilaku konsumsi daging ke sumber protein alternatif lainnya. Uni Eropa telah menjadi benua teratas pengekspor produk daging babi setelah wabah ASF di Asia, selain Amerika Serikat, Kanada, dan Brasil. Secara bisnis ini adalah peluang sebenarnya, tinggal bagaimana kita mempersiapkan strategi untuk meminimalkan resiko ASF.
Untuk memulai usaha ternak babi kembali pasca ASF, perbaikan manajemen, proses sanitasi dan desinfeksi, program biosecuriti serta dampak kenaikan harga bahan pakan terhadap biaya produksi ternak juga akan berpengaruh pada kekuatan investasi masing-masing pelaku usaha, mengingat 60-70% biaya produksi babi terserap pada biaya pakan. Kondisi ini kemungkinan akan menyebabkan beberapa peternak skala kecil-menengah berpikir ulang untuk repopulasi kembali, atau bahkan sudah melirik usaha yang lain. Oleh karena itu, transformasi industri babi dari peternakan skala kecil ke peternakan skala menengah dan besar bersama dengan perbaikan sistem produksi dan didukung dengan manajemen serta biosekuriti yang lebih baik akan bertahan di masa depan. Baca Juga : Biosekuriti pada Peternakan babi . Jika semua aspek diatas bisa ditangani, kendala pasca ASF selanjutnya adalah terbatasnya ketersediaan calon induk yang baik untuk memulai restocking. Pastikan kita memilih suplier yang terpercaya dan babi yang kita beli bebas dari penyakit. Lakukan monitoring kesehatan ternak secara berkala untuk memastikan status kesehatnya terjamin dan jangan lupa untuk tetap memperhatikan tantangan penyakit selain ASF, penggunaan program vaksinasi bisa dioptimalkan untuk mengendalikan penyakit-penyakit tersebut.
Kesimpulan
ASF memang menjadi predator yang mematikan bagi para peternak babi di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Kita sudah banyak mendengar, membaca dan menyaksikan sendiri, bahwa penyebaran ASF yang cepat ini mengakibatkan hilangnya populasi babi yang sangat besar berdampak signifikan terhadap pasokan protein global sehingga mengubah perilaku konsumsi daging babi ke sumber protein alternatif lainnya. Tetapi kita juga bisa belajar dari pengalaman tersebut untuk mengawali semuanya kembali dengan sikap optimis. Dalam skenario apapun, segmen yang paling terkena dampak dan paling rentan dari populasi babi adalah peternak skala kecil. Pendampingan dan transformasi industri babi menjadi peternakan skala menengah dan besar bersama dengan sistem manajemen produksi dan biosekuriti yang baik akan bertahan di masa depan. Walaupun strategi pengendalian penyakit dari berbagai sistem produksi babi di Asia memang menjadi tantangan tersendiri, tetapi dengan komitmen dan kerja sama semua pihak terkait tidak mustahil perbaikan dan pemulihan pasca ASF ini akan berhasil
Sejak tahun 1990-an, industri babi di dunia telah melihat peningkatan yang dramatis terhadap kasus Porcine Circovirus type 2 (PCV2). Istilah PCVAD dipakai di Amerika, sedangkan di Eropa mereka lebih mengenal dengan sebutan Porcine Circoviral Disease (PCVD). Kejadian penyakit ini meluas baik di Amerika, Eropa dan dilaporkan juga di sebagian besar daerah-daerah penghasil babi. Virus ini menyerang nodus limpa sehingga merusak sistem kekebalan tubuh dan menyebabkan babi rentan terhadap penyakit lainnya.
Pneumonia dan penyakit pernapasan lainnya yang sering disebut dengan Porcine Respiratory Disease Complex (PRDC), Postweaning Multisystemic Wasting Syndrome (PMWS), Porcine Dermatitis and Nephropathy Syndrome (PDNS), dan Enteritis adalah beberapa penyakit yang sering dikaitkan dengan PCV2.
Kejadian PCVAD secara umum dapat mengakibatkan kerugian yang signifikan karena peningkatan kematian dan culling, penurunan berat badan, serta terkadang terjadi juga gangguan reproduksi (aborsi, lahir mati, mummifikasi fetus). Gejala klinis juga terkadang tidak spesifik, seperti lesu, lemah, dyspnea, limpadenopati, diare, pucat/ikterus pada mukosa. Karena kerugian yang luar biasa, akhirnya penelitian terus dilakukan para ahli saat itu dan akhirnya pada tahun 2004 vaksin PCV2 pertama berhasil diluncurkan untuk membantu melindungi ternak babi di dunia. Baca Juga : Perlukah Program Vaksinasi di Peternakan Babi?
Penularan PCVAD umumnya dapat terjadi secara vertikal saat kebuntingan/selama menyusui dan secara horisontal melalui sekresi hidung dan feses. Kondisi bisa semakin parah jika ada faktor penunjang seperti adanya infeksi patogen yang lain (PRRS, virus influenza IAV/SIV, Porcine Parvovirus, Salmonella dan Mycoplasma hyopneumoniae). Faktor stress karena lingkungan dan managemen juga bisa menjadi faktor lain yang memperberat resiko.
Bagaimana dengan Indonesia? Penelitian tahun 2008 telah berhasil mendeteksi adanya PCV2 dari deteksi Polymerase Chain Reaction (PCR) pada babi yang dikirim dari Indonesia ke Singapura (c). Selain itu, penelitian tahun 2015 menyimpulkan bahwa infeksi PCV2 pada peternakan babi di Bali bersifat endemis dengan prevalensi antibody anti-PCV2 sebesar 84,1% dan prevalensi virus PCV2 sebesar 1,7%. Bahkan, tahun 2016 juga sudah ada yang berhasil meneliti karakteristik PCV2 di Papua. Jadi, tantangan ini sebenarnya sudah ada di lapangan dan siap sewaktu-waktu untuk mencuri keuntungan kita.
Oleh karena itu, mengingat tantangan penyakit yang semakin sulit, alangkah baiknya jika kita selalu menerapkan prinsip dasar dalam pengendalian penyakit dengan baik. Pencegahan infeksi (Biosecurity, Pig Flow, Managemen), maksimalkan IMUNITAS (Vaksinasi induk dan anak babi) , dan meminimalkan tantangan (Program menyeluruh) harus menjadi prosedur standart yang wajib dilakukan agar kontrol terhadap penyakit lebih optimal.
Allan, G.M. and Ellis, J.A., 2000.Porcine Circoviruses : a review. J Vet Diagn Invest. 12 : 3-14
Manokaran,G., Lin, Y.N., Soh, M.L., Lim, E.A., Lim, C.W., and Tan, B.H., 2008. Detection of Porcine Circovirus Type 2 in Pigs Imported from Indonesia. Veterinary Microbiology 132 (1-2) : 165-170
Suartha, I.N., Anthara I.M.S., Wirata, W., Dewi, N.M.R.K., Narendra, I.G.N., Mahardika, I.G.N., 2015. Prevalensi Porcine Circo Virus secara Serologis pada Peternakan Babi di Bali. Jurnal Kedokteran Hewan Vol.9 No.1
Nugroho, W., Hemmatzadeh, F., Artanto, S., Reichel, M.P., 2016.Complete Genome Characteristics of Porcine Circovirus Type 2(PCV2) Isolates from Papuan Pigs, Indonesia. International Journal of Advanced Veterinary Science and Technology. Vol.5, Issue1, pp.239-247.
Sejarah ASF hampir mencapai satu abad dan dalam periode ini beberapa elemen kunci dapat dikumpulkan dari sudut pandang epidemiologi. Penyakit ini terbatas di Afrika sampai akhir tahun 1950-an ketika muncul di Portugal pada tahun 1957. Setelah 2 tahun diam, penyakit ini muncul kembali di Lisbon pada tahun 1960 dan menyebar ke Semenanjung Iberia dan negara Eropa lainnya, yaitu Spanyol pada tahun 1960; Prancis pada tahun 1964, 1968 dan 1974; daratan Italia pada tahun 1967, dengan pengulangan pada tahun 1969 dan 1983; Malta pada tahun 1978; Belgia pada tahun 1985; dan Belanda pada tahun 1986. Antara 1971 dan 1980, ASF muncul di beberapa negara Amerika, yaitu Kuba pada 1971 dan kembali pada 1980; Brasil pada 1978; Republik Dominika pada 1978 dan Haiti pada 1979. Dahulu, baik di negara Eropa maupun Amerika penyakit tersebut telah berhasil dibasmi, sedangkan pada epidemi saat ini hanya Republik Ceko yang berhasil memberantas penyakit pada populasi babi hutan.
Pencegahan, deteksi dini, reaksi cepat, dan komunikasi memainkan peran penting dalam pengendalian ASF. Surveilans yang tepat mampu mendeteksi penyakit secara dini baik pada hewan peliharaan maupun liar, dan implementasi rencana yang terkonsolidasi dengan baik dianggap sebagai cara paling efektif untuk mengendalikan penyakit ini. Sebuah penelitian dengan tinjauan sistematis telah dilakukan untuk mendapatkan pelajaran yang dapat diambil melalui sejarah pemberantasan penyakit ASF secara global, kemudian kita bisa mengevalusi dan menetapkan strategi mana yang berhasil untuk pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan ASF, serta kesalahan apa yang tidak boleh diulangi. Berikut beberapa strategi pengawasan dan pengendalian yang diterapkan oleh negara-negara di seluruh dunia untuk pemberantasan ASF di masa lalu yang bisa menjadi acuan bagi kita dalam menghadapi bahaya ASF.
Laporan dari Belgia, Brasil, Kuba, Republik Dominika dan Haiti, Prancis, Italia, Malta, Portugal, dan Spanyol bisa menjadi referensi bagi kita dalam pengendalian ASF. Terlepas dari sumber daya ekonomi yang dialokasikan dan upaya yang dilakukan, pemberantasan ASF berhasil dilakukan hanya di 8 negara dalam kurun waktu antara tahun 50-an dan 90-an di abad kedua puluh ini. Dalam konteks epidemiologi dan budaya yang berbeda, proses pengendalian inipun mempunyai rentang waktu yang relatif besar, yaitu <1 tahun sampai 40 tahun . Strategi surveilence klasik, seperti pengawasan aktif dan pasif baik di tingkat peternakan dan rumah pemotongan hewan bersama dengan tindakan biosafety dan sanitasi konvensional terbukti mampu meredam kasus ASF. Hal ini menekankan bahwa data tentang surveilans dan populasi hewan sangat penting untuk perencanaan pengawasan yang efektif, dan menargetkan strategi pengendalian dan intervensi yang tepat.
Berikut negara-negara yang berhasil dalam pengendalian ASF beserta ringkasan strategi yang dilakukan :
Belgia (Maret 1985 / Mei 1985). Model penularan dari babi ke babi dengan faktor resiko karena penggunaan jarum suntik yang terinfeksi secara tidak tepat. Strategi intervensi yang dilakukan adalah penyembelihan hewan di peternakan yang terinfeksi dan pemusnahan/culling semua hewan yang terinfeksi maupun dan tidak terinfeksi, kemudian dilakukan pembersihan dan desinfeksi. Surveilence aktif dan pasif dilakukan babi sentinel di peternakan untuk mendemonstrasikan masih ada tidaknya virus ASF di kandang.
Brasil (Mei 1978 / Des 1984). Model penularan dari babi ke babi dengan faktor resiko dari makanan terkontaminasi yang digunakan untuk pakan babi. Strategi intervensi yang dilakukan adalah 1.) larangan pergerakan/lalu lintas babi di dalam dan dari daerah yang terkena serangan ASF; larangan kendaraan dan pergerakan manusia; larangan pembukaan pertunjukan/pameran babi dan pasar babi; larangan memberi makan limbah sebagai pakan babi; 2.) pemeriksaan di pelabuhan, bandara, dan kantor pos dengan lebih memperhatikan area berisiko; 3.) pemusnahan dan pembakaran semua babi yang berada di daerah terdampak ASF; 4.) membersihkan dan mendisinfeksi kendaraan, gedung, dan benda yang terkontaminasi dan 5.) program pelatihan. Untuk strategi surveilence, aktif dilakukan di rumah pemotongan hewan (tes serologi), di tingkat hewan (pengawasan khusus untuk perdagangan di beberapa wilayah berisiko; uji di tempat asal dan tujuan); dan di tingkat kawanan (sertifikasi kandang yang akan melakukan perdagangan/pameran).
Kuba Mei 1971/1980. Model penularan dari babi ke babi dengan faktor resiko berasal dari kontak antara kompartemen berbeda dari kandang produksi babi yang memiliki tingkat biosekuriti yang berbeda. Strategi intervensi yang dilakukan saat epidemi 1971 dan 1980 adalah 1.) karantina dan larangan pergerakan babi, larangan swill feeding; 2.) pemusnahan semua babi yang terinfeksi dan babi sehat yang bersentuhan, serta pemotongan semua babi dalam radius 5 km dan pemotongan semua babi milik pribadi dengan pemberian kompensasi sebagian; 3.) pembersihan dan desinfeksi bangunan, kendaraan pengangkut, dan penggunaan alat pelindung diri; 4.) pelatihan diagnosis; 5.) pengendalian jalur keluar masuk melalui rel kereta api, jalan raya, kapal, dan pesawat. Sedangkan strategi intervensi untuk radius 10–15 km di sekitar tempat tertular adalah 1.) pemberian kompensasi untuk semua babi yang dimusnahkan; 2.) transportasi dengan tindakan biosekuriti tinggi; 3.) pembatasan pergerakan semua babi, komoditas, manusia, dan kendaraan; 4.) sensus lengkap semua populasi babi. Strategi surveilence yang dilakukan adalah 1.) Risk Base Surveillance dengan pembagian zona risiko berdasarkan karakteristik geografis dan politik serta kepadatan produksi daging babi; 2.) pasif surveilence dengan mengevaluasi kejadian kematian pada babi; 3.) aktif surveilence dengan mengevaluasi babi sentinel di farm dan RPH; 4.) fase pemberantasan dengan melakukan aktif dan pasif surveilance babi sentinel di tingkat peternakan, lengkap dengan pendekatan uji diagnosis dan pemeriksaan di RPH; 5) fase repopulasi / rencana pemulihan di daerah yang terkena dampak dengan melakukan surveilence aktif babi sentinel untuk membuktikan masih ada tidaknya virus di lapangan.
Republik Dominika (1978/1981) & Haiti (1978/1982). Model penularan dari babi ke babi. Strategi intervensi yang dilakukan Republik Dominika adalah total depopulasi babi, sedangkan Haiti adalah dengan pemusnahan dengan kompensasi menggunakan tentara militer, pembersihan dan desinfeksi, serta pelatihan dan pendidikan umum untuk berbagai pemangku kepentingan dan kerjasama dengan penduduk di pedesaan. Strategi surveilence yang dilakukan Republik Dominika adalah aktif surveilence dengan menggunakan babi sentinel untuk propses repopulasi, sedangkan Haiti melakukan aktif surveilence juga dengan babi sentinel.
Prancis (1964/1964) dan (1974). Model penularan babi ke babi. Strategi pasif surveilence dilakukan dengan eksplorasi termal dan pengambilan sampel darah hewan yang positif.
Italia (1967 / Juni 1967 1969 1983). Model penularan dari babi ke babi dengan faktor resiko dari pemberian pakan babi dari limbah makanan yang terinfeksi. Strategi intervensi yang dilakukan adalah tindakan keamanan hayati (biosafety) dan sanitasi, serta stamping out di peternakan yang terinfeksi.
Malta Maret 1978 / April 1978. Model penularan dari babi ke babi dengan faktor resiko adalah memberi makan babi yang terinfeksi / swill feeding dan waktu/proses deteksi dan pelaporan penyakit yang lama. Strategi intervensi yang dilakukan adalah 1.) kebijakan pemotongan diterapkan secara ketat (larangan pemotongan) dengan kompensasi; 2.) stamping-out, pembatasan pergerakan babi, karantina hewan dan bangunan yang terinfeksi dan tidak terinfeksi, pemindahan bangkai dan pembakaran; 3.) penelusuran wabah; 4.) larangan penjualan daging babi dan larangan swill feeding. Aktif surveilence dilakukan di rumah potong hewan (pengambilan serum) dan di tingkat peternakan.
Portugal (Epizootik Mei 1957 / Juni 1958 dan Epizootik April 1960 / November 1999). Model penularan dari babi ke babi dan juga kutu dengan faktor resiko adalah transportasi dan penggunaan yang tidak tepat dari limbah makanan yang terkontaminasi, serta pergerakan lalu lintas hewan yang tidak terkendali. Strategi intervensi yang dilakukan adalah 1.) stamping-out di dalam peternakan yang terinfeksi dengan kompensasi; 2.) pembersihan dan desinfeksi kandang, pengangkutan, dan penggunaan alat pelindung diri; 3.) pembatasan pergerakan babi dan produk babi dari zona tertular atau di bawah pengawasan; larangan pergerakan babi dan produk babi atau produk sampingan babi dari zona tertular; 4.) larangan aktifitas di pasar dan pameran di zona tertular dan diduga tertular, serta larangan swill feeding dan repopulasi. Strategi surveilence yang dilakukan adalah pemberitahuan wajib untuk kasus yang dicurigai dan dikonfirmasi.
Spanyol (1960 / September 1994). Model penularan dari babi ke babi dan kutu dengan faktor resiko adalah kontak antar babi yang terinfeksi dan adanya hubungan antara kutu O. erraticus dan babi. Strategi intervensi yang dilakukan adalah stamping out di peternakan yang terinfeksi dengan kompensasi, tindakan keamanan hayati (biosafety) dan sanitasi seperti pembuatan pagar, pembuangan kotoran secara aman, serta proses pembersihan dan desinfeksi. Strategi pada fase pemberantasan, dilakukan strategi aktif surveilence di rumah potong hewan dan di tingkat peternakan, sedangkan pada fase repopulasi dilakukan surveilence pada babi.
Dari semua contoh diatas, kita bisa belajar bagaimana African Swine Fever dapat dikendalikan dan diberantas melalui tindakan pengawasan dan pengendalian klasik. Tindakan klasik didasarkan pada metode pengendalian penyakit, termasuk strategi pengawasan, penyelidikan epidemiologi, penelusuran dan pemusnahan babi di kandang yang terinfeksi, dikombinasikan dengan tindakan karantina dan biosekuriti yang ketat pada babi domestik, kandang, dan kontrol pergerakan hewan. Namun demikian, bukti juga menunjukkan bahwa strategi ini sulit dipertahankan dalam waktu lama dalam situasi endemik dimana ASF menyerang wilayah yang lebih luas. Keterlibatan populasi babi hutan dalam penyebaran virus juga menghambat pemberantasan ASF dan hal ini merupakan faktor risiko yang relevan memfasilitasi penyebaran virus ke seluruh perbatasan negara. Oleh karena itu, strategi yang efisien untuk pencegahan atau pengendalian ASF harus didasarkan pada pengetahuan yang mendalam tentang populasi babi domestik dan babi liar, kondisi lingkungan dan jenis sektor babi. Mengingat penyebaran ASF ini juga tidak mengenal batas, maka sebaiknya semua strategi harus memperhitungkan kebijakan bersama dalam menetapkannya sehingga semua pihak bisa mempunyai pemahaman dan kesadaran yang sama dalam usaha pengendalian ASF.
Bagaimana dengan perkembangan penelitian vaksin ASF saat ini? Pengamat industri mengatakan bahwa saat ini masih belum tersedia vaksin yang efektif untuk melawan virus ASF, peternakan babi dan RPH sangat bergantung pada biosekuriti. Baca juga : Pentingnya biosekuriti di Peternakan Babi. Desinfeksi lingkungan menjadi sesuatu yang penting selain pengawasan ketat terhadap barang yang mungkin terkontaminasi seperti pakan ternak, kandang babi, dan kendaraan yang mengangkut babi dan lain-lain. Vaksin ASF yang saat ini sedang dikembangkan oleh para peneliti di seluruh dunia, termasuk di China, UK, Vietnam dan juga mungkin di Indonesia. Banyaknya faktor ketidakpastian yang belum terjawab tentang karakter ASF inilah salah satu penyebab vaksin masih dalam fase penelitian dan belum bisa dikomersialisasikan dalam waktu dekat.
Semoga kita bisa belajar dari pengalaman masa lalu dan siap melakukan strategi yang tepat guna mencegah serangan ASF. Saatnya semua pihak bergandengan tangan untuk menentukan kebijakan yang terbaik untuk menjaga peternakan babi kita.
Glasser’s disease adalah penyakit menular pada babi yang ditandai dengan adanya meningoensephalitis, polyserositis dan polyarthritis. Penyebab Glasser’s disease adalah Haemophilus parasuis (Hps), bakteri gram negatif bentuk batang yang kecil dan pleomorfik. Penyakit ini terjadi secara sporadis dan biasa diamati pada babi usia 3-12 minggu, bahkan lebih tua. Kasus biasanya muncul saat stres karena penyapihan, perubahan lingkungan, atau ko-infeksi dengan penyakit lainnya. Sedikitnya 21 serovars Hps yang berhasil diidentifikasi. Serovars 4, 5, 13 dan 14 lebih lazim di Amerika Utara dan merupakan Hps yang pathogen di dunia. Cross proteksi dapat terjadi tetapi tidak lengkap. Contoh, Vaksin yang berisi Hps serovars 4 & 5 biasanya melindungi terhadap homolog dan heterologous serovars 4 & 5 dan mengurangi jumlah lesi yang disebabkan oleh serovars 13 & 14.
Glasser’s disease biasanya terjadi secara akut dengan gejala demam (40-41°c), hilang nafsu makan, nafas dangkal dan sulit seperti ada gerakan menjulurkan kepala, batuk dan nasal discharge mungkin terjadi, sendi bengkak dan hangat, mati dalam 2-5 hari. Babi yang bertahan biasanya akan tampak arthritis kronis, pericarditis dan gagal jantung, meningitis atau obstruksi usus. Hal lain yang harus kita perhatikan, jika ada finisher atau calon induk SEHAT di farm terjadi kematian mendadak disertai batuk dan demam, maka kemungkinan disebabkan oleh Haemophilus parasuis.
Secara klinis, Hps jika ko-infeksi dengan patogen lain seperti PRRS (Porcine Reproductive and Respiratory Syndrome), PCV2 (Porcine Circovirus type 2), Streptococcus suis dan Pasteurella multocida akan menyebabkan meningkatnya kerugian ekonomi. Ko-infeksi PCV2 dan Hps adalah kombinasi yang paling lazim terkait dengan PMWS (Post weaning Multisystemic Wasting Syndrome) di Korea dan Cina. Sebuah penelitian yang dilakukan di China menyatakan bahwa, ko-infeksi antara (PCV2) dan Hps4 menginduksi cedera sistem dan meningkatkan keganasan PCV2 di piglet.
Bagaimana mekanisme penyakit ini terjadi sebenarnya kurang dipahami dengan jelas, tetapi vaskulitis memainkan peran penting. Hps dapat menjadi patogen utama, tetapi bisa juga dikaitkan dengan penyakit lain seperti virus PRRS atau virus influenza babi (SIV). Bakteri Hps akan masuk ke dalam darah dan menyebabkan septicemia, lalu tumbuh dan berkembang pada permukaan serosal, seperti pericardium/selaput jantung, pleura/selaput paru-paru, peritoneum/rongga perut, sendi, meninges/otak. Oleh karena itu, lesi-lesi yang muncul biasanya adalah polyserositis, baik itu pericarditis, pleuritis, peritonitis, polyarthritis, dan meningitis.
Diagnosis terhadap Glasser’s disease bisa dikonfirmasi dengan pengamatan gejala klinis, pemeriksaan post-mortem dan isolasi dari organisme di laboratorium, walaupun tidak mudah tumbuh. Hps harus dibedakan dengan bakteri lainnya seperti Actinobacillus suis, App., Mulberry heart disease, Streptococcal meningitis, dan Streptococcal septicaemias karena memiliki kemiripan.
Untuk pencegahan, kontrol penyakit ini harus melibatkan perbaikan manajemen untuk mengurangi stress, biosekuriti, pengendalian penyakit primer seperti PRRS dan SIV, antimikrobials profilaksis (penisilin, ampisilin, tetrasiklin, ceftiofur, enrofloxacin dan trimethoprim-sulphonamide), atau VAKSINASI karena kolonisasi Hps bisa terjadi di fase awal kehidupan, yaitu kurang dari 10 hari. Baca juga : Perlukah Program Vaksinasi pada Peternakan Babi?
Oleh karena itu, mulai sekarang kenali dan evaluasi patogen apa saja yang sudah bersirkulasi di farm kita, sehingga kita bisa menyusun program vaksinasi, medikasi dan biosekuriti yang baik agar usaha kita terus menghasilkan keuntungan yang optimal.
Porcine Reproductive and Respiratory Syndrome (PRRS) adalah salah satu penyakit virus yang menyebabkan kerugian besar pada industri peternakan babi di dunia. PRRS menyebabkan tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi, performance reproduksi tidak baik dan pertumbuhan yang lambat pada anak babi karena gangguan pernafasan.
Di US, PRRS diperkirakan menyebabkan kerugian sekitar $ 664 juta/tahun. Pada tahun 2012, analisa ekonomi pada 9 breeding babi di Belanda menunjukkan bahwa kerugian akibat outbreak PRRS selama 18 minggu adalah 126 euro/induk atau sekitar 2 juta rupiah/induk. PRRS relative sulit untuk dikontrol, namun demikian sebuah studi di Denmark berhasil membuktikan bahwa eliminasi PRRS bisa dilakukan dari wilayah Horne Peninsula, dimana 12 farm yang saling berdekatan berkomitmen untuk saling support dan bekerja sama melakukan proyek ini.
Kita tahu bahwa PRRS mulai merebak di dunia pada tahun 1980an. Penyakit ini kemudian disinyalir masuk ke Indonesia tahun 1990an. Paling tidak sudah ada 2 penelitian membuktikan bahwa PRRS telah terdeteksi di wilayah Indonesia. Maka, sudah sewajarnya kita memproteksi asset kita agar tidak mengalami kerugian. Baca juga : Apa itu Porcine Respiratory Disease Complex?
Program kontrol penyakit PRRS ataupun penyakit lain pada umumnya adalah sama, yaitu bagaimana kita mencegah infeksi, memaksimalkan kekebalan dan meminimalkan tantangan lapangan. Kontrol PRRS tidak cukup hanya terpaku pada program vaksinasi saja, tetapi menuntut lebih banyak pihak untuk secara mendasar tahu tentang penyakit ini dan tahu kondisi kandang/lingkungan, dan juga managemen yang baik agar bisa sukses dalam jangka panjang. Biosecurity memiliki peran penting untuk menunjang program vaksinasi agar berjalan maksimal. Kemampuan menganalisa faktor resiko dari luar dan dalam, lingkungan dan managemen menjadi titik kritis keberhasilan farm dalam menanggulangi datangnya penyakit.
Pada kondisi kandang yang lokasinya berdekatan satu sama lain tidak jarang komitmen antar peternak sulit untuk dilakukan. Maka, memaksimalkan kontrol terhadap faktor resiko Internal dan managemen menjadi hal yang wajib dilakukan. Disisi lain, pengawasaan terhadap resiko dari faktor lokasi dan resiko ekternal tetap harus dimonitor meski lebih sulit karena diluar kendali kita. Baca juga : Pentingnya Biosekuriti pada Peternakan Babi.
Silahkan anda dapat mengunjungi www.prrs.com untuk lebih detail mengenal penyakit PRRS dan juga mengunduh aplikasi COMBAT for PRRS di android/IOS untuk mengukur level biosecurity di farm kita. Semoga dengan pemahaman yang baik akan penyakit PRRS akan membantu kita dalam upaya kontrol penyakit ini sehingga pada akhirnya performance farm menjadi optimal.
References
1. Lunney JK, Benfield DA, Rowland RR. Porcine reproductive and respiratory syndrome virus: an update on an emerging and re-emerging viral disease of swine. Virus Res. 2010;154:1–6.
2. Holtkamp DJ, Kliebenstein JB, Neumann EJ, Zimmerman J, Rotto H, Yoder T, et al. Assessment of the economic impact of porcine reproductive and respiratory syndrome virus on United States pork producers. J Swine Health Prod. 2013;21:72–84.
3. Nieuwenhuis N, Duinhof TF, van Nes A. Economic analysis of outbreaks of porcine reproductive and respiratory syndrome virus in nine sow herds.Vet Rec. 2012;170:225.
Mikoplasmosis pada unggas disebabkan oleh Mycoplasma spp., yangmana lebih dikenal sebagai agen bakterial dikalangan peternak. Akan tetapi, sebenarnya agak sulit untuk menempatkan penggolongannya karena para ahli menyatakan bahwa Mycoplasma itu bukan merupakan virus maupun bakteri. Apapun itu, spesies Mycoplasma yang paling signifikan dalam produksi unggas adalah M. gallisepticum, M. synoviae, M. meleagridis, M. iowae. Penyakit ini tersebar luas di seluruh dunia dan memiliki signifikansi ekonomi yang besar. Higiene dan antibiotik membantu pengendalian penyakit ini.
M. Gallisepticum
Infeksi MG biasanya disebut penyakit pernapasan kronis (CRD) pada ayam dan sinusitis infeksius pada kalkun. Penyakit ini berlangsung lama dan gejala muncul perlahan-lahan, antara lain saluran napas, batuk, ingus, sinusitis dengan pembengkakan sinus pada kalkun. Infeksi seringkali dipersulit oleh E. coli. Terkadang, CRD ini disalah artikan sebagai snot / coriza karena gejalanya mirip. Baca juga : Infectious Coriza pada Unggas. Penyakit CRD ini sering kali ditemukan pada peternakan ayam broiler dan layer. Program medikasi biasanya menjadi alternatif pengobatan yang dilakukan di peternakan untuk mengurangi resiko kerugian. Pada beberapa kasus di peternakan layer/petelor yang mungkin berat atau peternakan skala industri (breeding), penggunaan vaksin juga menjadi pilihan.
M. Synoviae
Hal ini sering menyebabkan infeksi saluran pernapasan atas subklinis atau, bila sistemik, sinovitis menular pada ayam dan kalkun. Gangguan sendi sering kali juga dihubungkan dengan patogen ini. Gejala yang mungkin bisa diamati adalah bengkak pada persendian kaki dan malas bergerak.
M. Meleagridis
Patogen khusus untuk kalkun Ini adalah penekan kekebalan dan menginduksi tanda-tanda klinis seperti airsacculitis, kelainan tulang dan kinerja pertumbuhan yang buruk. Ini dapat dikaitkan dengan Mycoplasma atau patogen lain.
M. Iowae
Ini adalah penyakit penting di tingkat peternak kalkun, karena menyebabkan penurunan daya tetas serta kematian embrio.
Kita tahu sekarang bahwa mikoplasma ada beberapa spesies, namun demikian CRD sepertinya menjadi penyakit yang paling umum ditemukan di Indonesia karena peternakan kalkun di masih belum ada dalam skala industri yang besar. Penerapan management dan sanitasi lingkungan turut membantu dalam program pengendalian penyakit ini. Antibiotik atau vaksin sudah biasa juga dipraktekkan di lingkungan peternakan unggas untuk meminimalkan resiko. Baca juga : Program vaksin di Peternakan Ayam.
Industri peternakan babi di dunia masih disibukkan dengan penyakit African Swine Fever (ASF) sampai sekarang. Pengobatan maupun vaksin yang tepat untuk mengontrol ASF masih belum ditemukan, sehingga peternak babi di seluruh dunia masih terus memantau inovasi dari penelitian vaksin, temasuk peternak kita di Indonesia. Mengapa vaksin ASF ditunggu-tunggu dan menjadi penting? ASF membunuh hampir semua babi yang terinfeksi dan telah menghancurkan usaha peternakan babi sejak terjadinya outbreak di Cina pada 2018, dan kejadian ini masih berlanjut bahkan menyebar ke negara lain di Asia.
Koreksi populasi karena ASF ini menyebabkan suply dan demand tidak seimbang, serta diikuti dengan fluktuasi harga daging babi di pasaran yang cenderung melambung tinggi. Hal ini menjadi sebuah tantangan dan peluang tersendiri, mengingat yang dapat bertahan hampir dipastikan akan memetik hasilnya dimasa depan. Investasi biosecurity yang ketat dapat menjadi pertahanan utama dalam menangkal ASF, serta manajemen pemeliharaan yang baik (pengaturan nutrisi, program medikasi dan vaksinasi terhadap penyakit-penyakit penting) dapat mengoptimalkan performa farm.
Lalu bagaimana dengan penyakit-penyakit yang vaksinnya sudah tersedia di market? Apakah kita sudah mengoptimalkan penggunaannya? Di Indonesia, penyakit pada babi yang sudah tersedia vaksinnya antara lain adalah Classical Swine Fever (Hog Cholera, Mycopasma, PCV2 (Porcine Circovirus Associated Disease = PCVAD), Porcine Reproductive and Respiratory syndrome (PRRS), Haemophilus parasuis. Secara fakta dilapangan, penyakit-penyakit diatas sudah terdeteksi dilapangan dan sebenarnya juga juga perlu diwaspadai selain ASF saat ini. Baca juga : Swine Influenza pada Babi.
Walaupun tingkat mortalitas PCVAD tidak seganas ASF, tetapi kejadian ini cukup merugikan peternak karena performa farm menjadi tidak maksimal, apalagi jika disertai tantangan infeksi PRRS dan Porcine Parvovirus (PPV). Selain manifestasi Post-weaning Multisystemic Wasting Syndrome (PMWS), Porcine Dermatitis and Nephropathy Syndrome (PDNS), Porcine Respiratory Disease Complex (PRDC) pada anakan, PCVAD juga bisa menyerang induk. Kombinasi PRRS, PPV dan PCV2 telah menjelma menjadi penyakit yang paling merugikan pada breeding farm karena dapat menyebabkan gangguan reproduksi. Namun pada kenyataannya, peternak masih banyak mengabaikan/tidak menyadari penyakit ini karena “hanya bersifat sindrom” dan tidak jarang tanpa gejala.
Gambaran klinis PCVAD pada anakan selalu mencakup wasting, kurangnya respon terhadap pengobatan dan mortalitas. Mortalitas sangat bervariasi dan dapat bersifat sporadis. Angka mortalitas bisa mencapai 10-15%, dan terkadang jauh lebih tinggi jika disertai dengan infeksi lain, seperti virus PRRS. Gejala klinis yang dapat terlihat diantaranya diare, pucat, ikhterus dan lesi kulit yang biasanya dapat diamati antara usia 5-20 minggu.
Perubahan organ yang dapat diamati saat nekropsi adalah paru-paru yang tidak collapse secara normal, pembesaran limfonodus/kelenjar getah bening dan ginjal (dengan/tanpa bintik putih). Lesi lain yang mungkin bisa terlihat adalah edema interlobular paru-paru, edema mesenterium, infark kecil pada limpa (membesar dengan spot area gelap). Tidak terdapat lesi tunggal yang muncul pada semua kasus, sehingga seringkali perlu dilakukan nekropsi pada beberapa babi yang sakit, sehingga hasilnya representatif dalam mengidentifikasi lesi.
Vaksinasi terhadap Circovirus tipe 2 (PCV2) menjadi strategi intervensi yang paling umum secara global, dan digunakan pada babi yang sedang dalam masa pertumbuhan. Sejak tahun 2006, sudah terdapat beberapa produk yang tersedia secara komersial. Prof John C.S. Harding, peneliti PCV2 dari Universitas Saskatchewan Kanada menyatakan bahwa vaksinasi di anakan terbukti sangat ampuh mencegah PCVAD di seluruh dunia. Untuk menilai keefektifan vaksinasi PCV2 di lapangan, kita dapat melihat dari penurunan angka mortalitas dan culling, peningkatan pertumbuhan berat badan serta pengurangan penggunaan obat sebagai parameter yang paling relevan untuk diukur. Program vaksinasi terhadap PCV2 biasanya dilakukan pada anak babi menjelang usia sapih, dan jika diperlukan induk juga bisa dilakukan program vaksinasi secara periodik untuk menjaga performa reproduksinya.
Kita tidak boleh melupakan dampak PCVAD terhadap industri babi baik di induk maupun anakan, sehingga kita perlu untuk mengingat pentingnya pelaksanaan vaksinasi PCV2 dengan benar. Kita harus terus berupaya untuk menentukan program pengendalian yang ideal dan sesuai untuk farm masing-masing, sehingga dapat memperoleh manfaat maksimal dari investasi vaksin.
Sekali lagi, African Swine Fever (ASF) mungkin menyadarkan kita pentingnya vaksin karena dampak mortalitas yang mencapai 100%. Tetapi perlu diingat, penyakit – penyakit lain yang sudah terdeteksi di lapangan dan tidak tertangani dengan baik juga berpotensi untuk menurunkan performa farm yang tentunya juga berdampak pada tidak tercapainya potensi keuntungan yang maksimal. Jika ingin lebih optimal dan berhasil, mari kita lakukan evaluasi dan mulai menerapkan manajemen pemeliharaan yang terbaik untuk ternak babi kita dengan menyusun program biosekuriti, medikasi, nutrisi dan juga vaksinasi yang baik. Baca juga : Pentingnya Biosekuriti pada Peternakan Babi.
Swine Influenza atau Flu babi adalah infeksi virus influenza A, RNA virus golongan orthomyxovirus yang sangat menular pada babi. Penyakit ini biasanya menyebar sangat cepat di dalam unit pemeliharaan babi meskipun semua babi yang terinfeksi mungkin tidak menunjukkan tanda-tanda klinis infeksi, kemudian diikuti dengan pemulihan cepat. Subtipe yang paling umum ditemukan pada babi adalah influenza A H1N1, H1N2 dan H3N2. Angka kesakitan penyakit ini mencapai 100%, sedangkan angka kematian pada umumnya rendah. Dampak ekonomi yang terutama terkait dengan perlambatan kenaikan berat badan yang mengakibatkan peningkatan jumlah hari untuk mencapai bobot pasar.
Virus flu babi ditemukan terutama pada babi, tetapi juga ditemukan pada spesies lain termasuk manusia, kalkun, dan bebek. Babi yang terinfeksi dapat mulai mengeluarkan virus flu babi dalam waktu 24 jam setelah terinfeksi, dan biasanya mengeluarkan virus (shedding) selama 7-10 hari. Infeksi flu babi pada manusia pernah dilaporkan dan biasanya terjadi pada orang yang bersentuhan langsung dengan babi yang terinfeksi dan menyerupai influenza musiman. Selain itu virus flu babi sangat jarang menyebar pada populasi manusia. Flu babi juga bukanlah penyakit bawaan makanan sehingga jika ada informasi risiko terinfeksi virus flu babi melalui konsumsi daging babi atau produk babi dapat diabaikan karena virus influenza umumnya terbatas pada saluran pernapasan babi, dan tidak terdeteksi pada otot (daging) babi, bahkan selama sakit akut sekalipun.
Tanda-tanda klinis flu babi pada ternak biasanya muncul dalam 1 -3 hari dan kebanyakan hewan pulih dalam waktu 3-7 hari kemudian jika tidak ada infeksi sekunder atau komplikasi lain. Flu babi adalah penyakit saluran pernapasan atas akut yang ditandai dengan demam, lesu, anoreksia, penurunan berat badan, dan sesak napas. Batuk, bersin, dan ingus biasanya juga terlihat, sedangkan konjungtivitis dan aborsi adalah tanda klinis yang kurang umum tetapi bisa terjadi pada ternak babi kita. Tidak jarang babi yang terkena flu tidak menunjukkan gejala, akan tetapi jika ada komplikasi dengan patogen yang lain termasuk infeksi bakteri sekunder atau virus lainnya biasanya bisa mengakibatkan bronkopneumonia sekunder yang berpotensi fatal. Dari gejala klinis yang nampak dilapangan tersebut, sebenarnya kita bisa dengan mudah melihat kasus flu babi pada ternak kita, akan tetapi untuk memastikan diagnosa sebaiknya tetap dilakukan uji laboratorium (Elisa, PCR) untuk mengantisipasi ada tidaknya patogen yang lain juga.
Kalkun yang terinfeksi virus flu babi dapat mengalami gangguan pernapasan, penurunan produksi telur, atau menghasilkan telur yang tidak normal. Pada kejadian flu babi yang menyerang manusia, gejala yang diamati dan dilaporkan umumnya menyerupai influenza musiman, termasuk penyakit saluran pernapasan atas, penyakit pernapasan akut, atau pneumonia dan namun kejadian di manusia sangat jarang berakibat fatal.
Bagaimana upaya pencegahan dan pengendalian yang bisa kita lakukan? Program biosekuriti yang baik sangat penting untuk mencegah penularan melalui fomites (alat-alat peternakan) dan vektor mekanis. Jika kandang babi terinfeksi flu babi, virus dapat bertahan dalam kawanan dan menyebabkan wabah secara berkala, akan tetapi manajemen yang baik dapat menurunkan resiko penularan tingkat keparahan penyakit. Perlu kita ketahui bahwa setelah flu babi terindikasi muncul di sebuah peternakan, akan sangat sulit untuk sepenuhnya diberantas dan depopulasi ternak mungkin diperlukan. Namun demikian virus influenza sensitif terhadap panas, pengeringan, deterjen, dan disinfektan sehingga sebenarnya relatif mudah untuk dikendalikan jika kita melakukan prosedur biosekuriti yang benar. Baca juga : Pentingnya Biosekuriti pada Peternakan Babi.
Berkaitan dengan kejadian flu babi pada manusia tahun 2009 lalu, sebuah penelitian menyampaikan bahwa babi telah lama dianggap sebagai inang perantara yang potensial sebagai tempat virus avian influenza (flu burung) dapat beradaptasi dengan manusia. Surveilans 2005-2009 menemukan bahwa 52 sampel babi di 4 provinsi telah terinfeksi avian influenza A (H5N1) selama 2005–2007, sedangkan surveilans 2008-2009 hasilnya negatif. Analisia menunjukkan bahwa virus yang normalnya ditemukan pada unggas ini telah masuk ke dalam populasi babi di Indonesia paling sedikit 3 kali. Secara visual, tidak ada babi terinfeksi yang memiliki gejala mirip influenza, sehingga hal ini menunjukkan bahwa virus influenza A (H5N1) yang menginfeksi ternak babi dapat berkembang biak tanpa terdeteksi untuk waktu yang lama dan kemudian memfasilitasi adaptasi virus unggas ke inang mamalia. Dari penelitian ini menunjukkan bahwa babi juga berisiko terinfeksi saat terjadi wabah virus influenza A (H5N1) di unggas. Kesimpulan dari penelitian ini salah satunya adalah meskipun infeksi virus influenza A (H5N1) tidak dilaporkan terjadi di antara pekerja kandang babi di Indonesia, akan tetapi ada pekerja yang menunjukkan peningkatan kadar antibodi terhadap flu babi A ( H1N1) virus. Hal ini menunjukkan bahwa manusia memang rentan terhadap virus hasil adaptasi (mutasi) pada babi. Kemudian ketika terjadi pandemi flu babi (H1N1) tahun 2009 lebih lanjut menunjukkan bahwa babi dapat menjadi sumber virus potensial yang mampu menyebabkan pandemi influenza pada manusia. Penemuan ini menunjukkan bahwa ketika virus avian influenza A (H5N1) menyebar di antara babi dan kemudian beradaptasi untuk mengenali tipe reseptor manusia, maka peternak, pekerja babi, dan keluarganya akan berada pada risiko terbesar untuk terinfeksi oleh virus yang baru beradaptasi di ternak babi tersebut. Baca juga : African Swine Fever.
Bagaimana dengan vaksin influenza ? Mungkin di pasar global sudah ada vaksin influenza yang tersedia untuk dipakai sebagai salah satu upaya pengendalian infeksi virus influenza pada babi. Vaksin akan memberikan perlindungan yang baik, jika mencerminkan subtipe dan strain di suatu wilayah dan harus terus dimonitor tingkat keberhasilannya mengingat mutasi virus yang bisa saja terjadi. Kita harus tahu, vaksin tidak selalu bisa mencegah terjadinya infeksi atau shedding virus di lapangan, tetapi babi yang sudah divaksinasi umumnya memiliki tingkat keparahan penyakit yang lebih ringan jika terinfeksi daripada babi yang tidak divaksin. Di Indonesia, vaksin swine influenza belum tersedia sehingga pelaksanaan managemen pemeliharaan yang baik dan biosekuriti menjadi hal yang harus dioptimalkan dalam upaya pengendalian penyakit ini.