Biosekuriti di era New Normal

Biosekuriti di era New Normal

Biosekuriti adalah pendekatan strategis dan terintegrasi yang mencakup kerangka kebijakan dan peraturan untuk menganalisis dan mengelola resiko yang relevan terhadap kehidupan manusia, hewan dan tumbuhan, serta kesehatan dan lingkungan. Biosekuriti meliputi keamanan pangan, zoonosis, dan pengenalan penyakit serta hama hewan dan tumbuhan, pengenalan dan evaluasi hasil modifikasi organisme hidup (living modified organisms – LMOs) dan produknya (genetik organisme yang dimodifikasi atau genetically modified organisms – GMOs), dan managemen pengelolaan terhadap spesies asing. Jadi biosekuriti adalah konsep holistik yang memiliki relevansi langsung, keberlanjutan dan secara luas meliputi beraneka ragam aspek dalam kesehatan masyarakat dan perlindungan lingkungan, termasuk keanekaragaman hayati. Goal dari biosekuriti secara luas meliputi human life and health (manusia, termasuk keamanan pangan), animal life and health (hewan, termasuk ikan), plant life (tanaman, termasuk hutan), dan environmental protection (lingkungan).

Dalam dunia peternakan, penyakit dapat ditularkan melalui paparan hewan ke hewan, kendaraan, peralatan, pakaian, dan sepatu pengunjung atau karyawan yang pernah kontak dengan kawanan, kontak dengan hewan lain (kuda, anjing, kucing, satwa liar, hewan pengerat, burung, serangga), dan kontaminan yang lainnya termasuk makanan dan pengelolaan kotoran. Pencegahan penyebaran penyakit infeksi di peternakan dan lingkungannya dilakukan dengan menggunakan tindakan biosekuriti yang meliputi kondisi higienis dan iklim pemeliharaan ternak, perawatan, nutrisi, surveilans, regenerasi dan penularan penyakit, pengendalian wabah, perawatan peralatan dan proses produksi. Diperlukan evaluasi menyeluruh terhadap kondisi lingkungan dan sejarah kasus penyakit untuk memetakan tantangan, menganalisa serta menyusun strategi yang sesuai agar usaha peternakan kita menguntungkan. Oleh karena itu, dalam perencanaan program biosekuriti umumnya meliputi kondisi aktual berdasarkan data rekording yang baik, isolasi peternakan (keseluruhan atau individu, termasuk ternak baru dalam kawanan), status kesehatan ternak, evaluasi peralatan kandang dan pegawai, pengendalian lalu lintas (manusia, sumber air dan pakan, pupuk kandang, dan kendaraan, penanganan bangkai), lokasi (kemungkinan kontak dengan hewan liar dan hewan pengerat, burung) serta sanitasi.

Terlepas ada tidaknya program vaksinasi dalam menjalankan usaha peternakan, program biosekuriti menjadi komponen penting untuk mencegah penularan penyakit. Peternakan yang menjalankan manajemen dengan baik dengan didukung program biosekuriti dan vaksinasi yang sesuai dengan tantangan lapangan mempunyai resiko yang lebih kecil terhadap kejadian penyakit. Baca juga : Penyakit Pernafasan pada Babi. Terkait dengan penyakit yang sudah ada vaksinnya, peternak idealnya bisa memaksimalkan imunitas dengan melakukan program vaksinasi. Vaksinasi tentunya tidak menjamin ternak kita aman dari serangan penyakit, akan tetapi dengan vaksinasi kita meminimalkan resiko ternak kita dari kerugian yang parah jika sampai ada outbreak penyakit. Akan tetapi, jika terjadi wabah dimana belum ditemukan vaksin seperti halnya African Swine Fever (ASF) saat ini maka menajemen dan biosekuriti menjadi tumpuan dalam menghadapi resiko serangan penyakit tersebut. Contoh biosekuriti di negara eropa terkait pengendalian ASF adalah pembuatan pagar sebagai barrier fisik untuk mencegah ternak berinteraksi dengan babi hutan/liar dan hewan liar lainnya, pelarangan praktek swill feeding di peternakan babi, kontrol lalu lintas kendaraan dan manusia dengan menempatkan rambu-rambu dilarang masuk/biosecurity allert di pintu masuk lokasi kandang. Pengendalian hewan liar seperti anjing, kucing, burung dan hama (tikus, lalat, nyamuk, serangga) juga menjadi bagian penting dalam program biosekuriti karena bisa jadi vektor penularan penyakit. Baca juga : Pentingnya biosekuriti pada peternakan babi

Terkait praktek biosekuriti di peternakan babi, Johnna S. Seaman dan Thomas J. Fangman dari Departemen Kedokteran Hewan Universitas Missouri menyampaikan bahwa pengendalian penyakit adalah bagian yang paling menantang bagi produsen/peternak dan dokter hewan. Biosekuriti sering dianggap sebagai upaya menjauhkan penyakit dari kawanan babi. Hal ini menurut saya mungkin benar jika kita mengacu pada kasus ASF, dimana kita tidak ingin ternak kita yang masih “bersih” dari ASF akhirnya terpapar dan berakibat kematian karena ternak kita belum memiliki imunitas terhadap ASF. Namun, dalam konteks penyakit yang sudah ada di lingkungan kandang, program biosekuriti ini lebih ditujukan untuk mencegah patogen tersebut menginfeksi ternak atau jika sampai terinfeksi kejadiannya tidak menular ke kawanan ternak yang lainnya sehingga meminimalkan resiko kerugian. Mengapa demikian? Karena pada kenyataannya, proses mengeliminasi/menghilangkan patogen dalam suatu kandang bukanlah pekerjaan mudah karena faktor alami keberadaan patogen, kondisi endemik suatu kawasan, dan adanya populasi ternak itu sendiri sebagai target dari patogen tersebut. Oleh sebab itu, jika suatu kandang terpapar ASF maka tindakan yang dilakukan saat ini adalah depopulasi, yaitu mengosongkan kandang, proses sanitasi dan desinfeksi, serta istirahat kandang yang relatif lama untuk memastikan virus ASF sudah tidak terdeteksi lagi, baru kemudian memulai proses repopulasi dengan serangkaian uji laboratorium. Secara umum, dengan program biosekuriti yang baik maka pertumbuhan optimal dalam usaha peternakan dapat dicapai dengan meminimalkan efek negatif penyakit dan produktivitas yang tinggi. Prinsipnya adalah bagaimana kita menekan kasus reproduksi di breeding seperti kawin berulang, aborsi, mummifikasi, lahir lemah/mati sehingga jumlah anakan yang dihasilkan induk banyak serta bagaimana kita menekan deplesi di anakan di fase menyusi dan sapihan sehingga angka panen juga tinggi. Untuk bisa mencapai hal itu dan memaksimalkan potensi genetik ternak babi kita, maka paparan terhadap patogen harus diminimalkan dengan manajemen, biosekuriti dan vaksinasi yang baik. Paparan patogen yang minimum ini adalah tujuan dari program biosekuriti di peternakan sehingga penghasilan peternak bisa optimal. Baca juga : Bagaimana-menjalankan-usaha-peternakan-babi-yang-menguntungkan?

Di masa sekarang ini, biosekuriti juga dimaksudkan untuk mengurangi penggunaan antibiotik di peternakan sehingga mengurangi resiko resistensi antibiotik pada manusia. Elemen biosekuriti seharusnya mencakup :

  1. Pembersihan semua ruangan secara menyeluruh dengan mesin bertekanan tinggi dan desinfektan berspektrum luas.
  2. Konstruksi bangunan kandang yang optimal untuk menghindari kontak fisik atau udara bersama di antara kelompok umur babi yang dipelihara.
  3. Jika dalam kandang terdapat banyak ruangan/pen dan populasi babi dari berbagai umur, maka harus diatur urutan pemelihaannya sehingga babi dengan status kesehatan tertinggi (biasanya babi yang lebih muda) harus ditangani terlebih dahulu. Lalu lintas pekerja juga kandang diatur jika dia harus memelihara beberapa kelompok umur.
  4. Pekerja sebelum masuk ke area kandang idealnya harus mandi dan selalu mengenakan pakaian bersih dan alas kaki/sepatu bot khusus untuk aktifitas di dalam kandang serta lakukan pembersihan dan sanitasi pakaian/sepatu bot tersebut dengan baik.
  5. Bangunan kandang harus tahan terhadap hewan pengerat dan lakukan pembasmian/kontrol hama dengan baik
  6. Kendaraan tidak boleh memasuki lokasi kecuali telah dibersihkan dan di desinfeksi.
  7. Tempatkan hewan mati di luar (tempat penampungan khusus) untuk kemudian dipindahkan atau dikuburkan.
  8. Sediakan tempat untuk fasilitas pemuatan saat panen di sekitar kandang – akan lebih baik jika lokasinya agak jauh sehingga tidak ada mobil panen yang masuk dalam lokasi kandang
  9. Minimalkan jumlah pengunjung, dan minta mereka mengenakan pakaian dan sepatu bot yang bersih yang disediakan khusus untuk tamu.
  10. Pasang pagar pembatas di sekitar kandang untuk mencegah kontak yang tidak diinginkan dari orang, hewan peliharaan, dan hewan liar.

Lokasi. Kawanan babi idealnya harus ditempatkan sejauh mungkin dari kawanan babi yang lain (jarak antar lokasi peternakan 1,5 mil). Selain itu, perhatian juga harus diberikan terhadap arah angin dan keberadaan babi hutan/satwa liar lain. Beberapa patogen dapat menyebar melalui udara, seperti Porcine Reproductive and Respiratory Syndrome (PRRS) dan Mycoplasma hyopneumoniae. Jika dalam lokasi peternakan terdapat hewan atau ternak lain, maka fasilitas ternak babi harus ditempatkan setidaknya 100 yard dari hewan lain. Jarak bangunan kandang dalam 1 lokasi peternakan yang sama sebaiknya sekitar 50 yard. Selain itu, bangunan harus terletak setidaknya 100 yard dari jalan umum terutama jika ada lalu lintas/transportasi babi di jalan tersebut untuk meminimalkan paparan. Pagar/pembatas kandang juga idealnya harus dibuat mengelilingi lokasi peternakan untuk menjaga lalu lintas dan interaksi hewan liar/manusia yang tidak berkepentingan. Selain itu, pintu masuk harus dipagari dan dikunci serta memiliki tanda peringatan bahwa peternakan kita memiliki kebijakan biosekuriti.

Orang. Kantor dan pintu masuk utama peternakan sebaiknya terletak di dekat pagar / perimeter dan harus memiliki dapur umum sehingga karyawan dapat makan tanpa harus meninggalkan fasilitas selama hari kerja. Pekerja kandang tidak boleh tinggal di lokasi peternakan babi lain atau bersentuhan dengan babi di luar peternakan tempat mereka bekerja. Sangat disarankan juga untuk menempatkan orang khusus untuk mengawasi lalu lintas orang dan kendaraan dalam aktivitas di peternakan. Jika ada tamu/dokter hewan yang harus masuk ke lokasi kandang, harus dipastikan tidak boleh ada kontak dengan babi setidaknya selama 24 jam sebelum tiba di kandang kita. Buku tamu pengunjung penting untuk menyimpan catatan siapa saja yang telah melakukan kontak dengan ternak kita sehingga jika ada penyakit muncul, dimungkinkan untuk melakukan evaluasi dari mana patogen itu berasal. Pintu harus senantiasa ditutup terutama saat karyawan tidak berada di lokasi, dan selain itu juga bisa berfungsi sebagai penghalang masuknya hewan liar ke dalam lokasi kandang. Semua karyawan dan pengunjung harus mandi sebelum memasuki fasilitas peternakan dan berganti seragam/baju dan alas kaki khusus untuk aktifitas di dalam kandang. Setelah selesai, segera bersihkan alas kaki dan baju kemudian dicuci. Pekerjaan harian harus diselesaikan dalam urutan status kesehatan tertinggi ke status kesehatan terendah untuk mencegah penyebaran patogen dari kawanan ternak ke babi yang lebih muda/rentan.

Pig Flow. Babi seharusnya dipindahkan secara all-in / all-out (AIAO), artinya konsep memindahkan babi dengan usia sama pada waktu yang bersamaan juga. Hal ini bertujuan untuk menghindari resiko penularan penyakit dari babi yang lebih tua ke muda, selain itu hal ini juga bisa meningkatkan efisiensi pakan. Sering kali peternak “meninggalkan” babi yang pertumbuhannya lambat ke kelompok yang lebih kecil. Praktek ini sebaiknya dihindari karena ketika sebuah kelompok dipindahkan dari fasilitas mana pun, area yang ditinggalkan tersebut perlu dibersihkan, dicuci dan di desinfeksi dengan benar (minimal 6-8 jam sebelum kembali diisi hewan baru flok selanjutnya). Jika kandang yang akan dipakai tidak ada perlakuan dan masih ada kelompok umur yang lain tersisa disitu, maka resiko kejadian penyakit akan lebih tinggi. Jadi pengelompokan untuk anak babi yang baru lahir, sapihan, grower, finisher perlu ditempatkan secara terpisah karena tingkat kesehatan dan biosekuriti yang berbeda untuk setiap kelompok umur. Sering ditemukan bahwa agen penyakit mungkin tidak menyebabkan sakit pada satu kelompok usia, tetapi sangat patogen bagi kelompok lain karena perbedaan status imunitas. Untuk pemeliharaan di kandang melahirkan (farrowing house), sebaiknya batasi akses orang yang tidak berkepentingan dan tempatkan indukan bunting yang prediksi kelahirannya berada dalam interval dibawah 14 hari. Karena perbedaan status kekebalan dan paparan patogen, sekali lagi sebaiknya jangan mencampur babi dari kelompok/peternakan yang berbeda dan jika ada babi mati harus segera disingkirkan untuk menghindari cemaran, hewan liar ataupun lalat.

Fasilitas. Semua bangunan, terutama bangunan berventilasi alami / kandang terbuka, harus memiliki sekat/barrier untuk mencegah masuknya serangga, burung, dan hewan peliharaan atau hewan liar. Selalu jaga kebersihan agar lalat, tikus dan hewan pengerat lainnya tidak memiliki akses ke lokasi pakan atau air. Lakukan pembersihan untuk menghilangkan bahan organik yang dapat menghambat kerja sebagian besar disinfektan. Pencucian dengan air panas adalah cara yang baik untuk menjaga kebersihan fasilitas, penggunaan deterjen dan desinfektan akan semakin mengurangi kemungkinan patogen bertahan hidup di dalam lokasi peternakan. Usahakan untuk memilih bahan kandang yang tahan lama dan mudah dicuci. Jika kita menggunakan peralatan bekas pakai sebaiknya didesinfeksi dahulu sebelum memasuki fasilitas. Pastikan kita mempunyai protokol biosekuriti yang baik dan dipahami oleh semua personel di dalam lokasi peternakan kita. Footbath / celup kaki dengan desintektan idealnya ditempatkan di pintu masuk setiap ruangan sehingga meminimalkan resiko penularan jika kondisi karyawan kita terpaksa harus memelihara lebih dari satu kelompok umur babi, dan lakukan penggantian larutan desinfektan tersebut secara teratur.

Fasilitas bongkar muat/panen. Fasilitas ini sebaiknya terletak di luar kandang sehingga kendaraan tidak masuk ke dalam lokasi peternakan. Jika memungkinkan, fasilitas ini bisa berada minimal satu mil dari kandang dengan jalan yang hanya bisa diakses terbatas. Hal ini mungkin memerlukan investasi kendaraan pengangkut dan lokasi meeting point untuk pemindahan ternak, akan tetapi kita lebih aman karena akses ke lokasi peternakan kita bisa minimal. Kendaraan untuk aktifitas transportasi ternak harus dicuci dan didesinfeksi terlebih dahulu untuk meminimalkan resiko. Jika lokasi panen masih di lokasi kandang, pastikan kita mengantisipasi resiko kontaknya. Selain kendaraan, sopir / orang luar yang terlibat dalam proses transportasi ternak ini harus mengenakan pakaian yang bersih dan sepatu bot serta tidak boleh memasuki area dalam kandang. Jadi karena fase panen ini relatif beresiko, maka idealnya kita harus melakukan proses panen dengan meminimalkan kontak antara pegawai kandang dan orang luar. Fasilitas pemuatan harus dicuci dan didisinfeksi segera setelah digunakan, dan pastikan aliran airnya tidak mengarah masuk kembali ke lokasi kandang. Setelah aktifitas panen ini, jika pekerja akan kembali beraktifitas di dalam kandang sangat disarankan untuk mandi dan ganti baju dahulu.

Babi sakit/mati. Pisahkan babi yang sakit dengan membuat kandang isolasi untuk meminimalkan kontak dengan kawanan lainnya. Jika ada masalah penyakit dalam kawanan, pemeriksaan postmortem dan uji laboratorium sangat bermanfaat dalam memberikan informasi status kesehatan ternak kita. Dalam menjalankan usaha peternakan, tentunya kita akan dihadapkan dengan resiko kematian ternak entah karena kesalahan managemen ataupun penyakit. Oleh karena itu, kita seharusnya mempunyai tempat khusus untuk menangani masalah ini. Metode pembuangan bangkai hewan yang diterapkan harus seminimal mungkin mencemari lingkungan kandang untuk menjamin kesehatan ternak kita (dikubur, dibakar, atau menggunakan jasa dari luar). Pastikan hewan pengerat dan lalat ataupun hewan lain tidak memiliki akses ke babi mati karena dikhawatirkan akan membawa agen penyakit kembali ke dalam lokasi kandang.

Pakan dan pengolahan limbah. Gudang pakan jika memungkinkan harus ditempatkan diluar lokasi kandang untuk mengurangi resiko kontaminasi dari truk dari luar / transportasi pengangkut bahan baku pakan. Investasi kendaraan khusus pengangkut pakan ke lokasi farm bisa dipertimbangkan. Pelaksanaan pengiriman pakan bisa dikondisikan dilakukan pagi hari setelah dibersihkan hari sebelumnya (dicuci pada sore/malam setelah aktifitas kandang selesai). Pembuangan limbah feses di kandang juga penting. Feses bisa ditampung di lokasi khusus untuk kemudian diolah menjadi pupuk. Pastikan peralatan yang dipakai tidak dicampur dengan peralatan yang dipakai dalam aktifitas di dalam kandang untuk mengurangi resiko pencemaran.

Membeli dan memasukkan hewan baru ke dalam kawanan. Jika kita mempertimbangkan untuk membeli bibit/anakan dari luar, maka harus dipastikan berasal dari satu sumber yang terpercaya dan jelas status kesehatannya. Kandang breeding memiliki level biosekuriti dan tingkat kesehatan paling tinggi karena merupakan “mesin” uang para peternak agar bisa menghasilkan anakan yang banyak tanpa gangguan penyakit. Oleh karena itu, sangatlah disarankan untuk melakukan proses karantina dan aklimatisasi dahulu minimal 60 hari terhadap calon indukan yang akan dimasukkan ke dalam breeding. Untuk memastikan status kesehatannya, maka calon induk biasanya akan dimonitor tanda-tanda klinis, di uji laboratorium (Elisa dan PCR), cek parasit dan pemberian obat cacing serta disiapkan imunitasnya dengan program vaksinasi yang sesuai dengan tantangan penyakit yang sudah teridentifikasi di kandang. Baca juga : Pentingkah Vaksinasi di Peternakan Babi? Beberapa peternak terkandang juga “mengenalkan” patogen ke hewan baru dengan menggunakan feses / gerusan organ (feedback) dan mencampurkan indukan/babi yang akan diafkir. Jika kita menggunakan inseminasi buatan dan membeli semen dari sumber luar kita juga harus memastikan sumbernya dari farm yang sehat untuk mengurangi resiko penularan penyakit yang berpotensi menimbulkan mengganggu reproduksi breeding kita. Biosekuriti untuk babi pejantan penerapannya hampir sama dengan program biosekuriti unit produksi, termasuk proses isolasi dan aklimatisasi.

Demikianlah uraian mengenai tindakan biosekuriti yang penting untuk diterapkan dalam usaha peternakan kita. Saya mungkin banyak memberikan contoh aplikasi di peternakan babi ya, akan tetapi pada prinsipnya hal ini bisa diterapkan pada peternakan lainnya. Silahkan bisa di modifikasi dan disesuaikan dengan kondisi di lapangan untuk mendapatkan hasil yang terbaik. Jika peternakan babi anda terkena ASF dan merencanakan untuk memulai usaha kembali, silahkan baca dahulu : Proses Repopulasi Pasca Outbreak ASF atau lihat videonya disini.

Semoga bermanfaat. Salam sukses!!

Referensi :

  1. http://www.fao.org/3/a1140e/a1140e01.pdf
  2. https://www.researchgate.net/publication/282946231_MAKING_A_PLAN_OF_BIOSECURITY_ON_A_PIG_FARM
  3. https://extension.missouri.edu/publications/g2340
  4. https://www.thepigsite.com/disease-and-welfare/managing-disease/biosecurity#:~:text=Reduce%20visitors%20to%20a%20minimum,adds%20to%20the%20farm%20biosecurity.

Program Vaksin di Peternakan Ayam

Program Vaksin di Peternakan Ayam

Unggas dipelihara sebagai sumber protein hewani yang proses produksinya relatif singkat dan harga yang terjangkau. Sistem produksi unggas berbeda, mulai dari pedesaan dipelihara dibelakang rumah sampai skala industri yang modern. Dengan semakin berkembangnya dunia perunggasan dan meningkatnya kebutuhan akan protein hewani, maka tidak jarang diikuti dengan meningkatnya tantangan penyakit di peternakan. Distribusi luas Newcastle disease (ND) dan avian influenza (AI) yang terjadi memberikan contoh dampak negatif dari penyakit tersebut pada sektor produksi unggas dan masyarakat secara keseluruhan. Strategi yang berbeda dapat diterapkan untuk mencegah dan mengendalikan penyebaran penyakit di tingkat internasional, nasional dan peternakan.

Program vaksinasi merupakan komponen penting dalam upaya pencegahan dan pengendalian penyakit unggas di seluruh dunia. Vaksinasi tidak bisa bekerja sendiri, tetapi harus juga diimbangi dengan pelaksanaan manajemen yang baik dan biosekuriti yang maksimal karena vaksin juga hampir tidak mungkin dapat memberikan perlindungan 100%. Vaksinasi umumnya harus disesuaikan dengan kondisi tantangan di setiap kandang. Beberapa faktor lain yang perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaan program vaksin adalah jenis produksi unggas (komersial atau pedesaan), kepadatan dalam suatu wilayah, situasi penyakit di kandang, ketersediaan vaksin dan sumber daya yang ada (pekerja kandang peralatan pendukungnya) dan tentunya pertimbangan biaya.

Jika kita memelihara ternak ayam baik layer maupun broiler komersial, maka program vaksin harus mulai dipikirkan untuk melindungi ternak dari resiko terserang penyakit yang berakibat pada kerugian dalam usaha. Secara umum, penyakit yang menyerang baik ayam broiler maupun layer hampir sama, hanya saja karena umur ayam petelur lebih panjang maka program vaksinnya juga lebih komplit dan agak rumit. Peternak broiler komersial biasanya menggunakan vaksin ND, Infectious Bronchitis (IB), Infectious Bursal Disease (IBD) dan terkadang juga AI, tergantung tantangan di area kandang tersebut. Untuk ayam layer selain semua vaksin diatas, mereka juga menambahkan program vaksin untuk Infectious Laringotracheitis (ILT), Infectious Coriza, Fowlpox/Cacar, Egg Drop syndrom (EDS) dan terkadang juga vaksin Mycoplasma. Semua program vaksin diatas harus disusun sedemikian rupa agar terbentuk kekebalan yang merata dalam kelompok ternak sehingga ketika ada tantangan penyakit gejala klinis yang muncul bisa lebih ringan dan resiko kerugian juga minimal.

Penanganan vaksin di peternakan membutuhkan kehati-hatian guna menjaga potensinya tetap baik. Prosedur penanganan yang buruk, dalam banyak kasus akan mengakibatkan penurunan potensi yang cepat. Saat menerima vaksin di peternakan, pastikan bahwa vaksin ditempatkan dalam keadaan dingin (suhu yang tidak sesuai akan mengakibatkan hilangnya potensi dengan cepat), jenis vaksin apakah sesuai jadwal dan jumlahnya sesuai yang dibutuhkan serta masih belum kedaluwarsa. Vaksin live kering beku harus disimpan pada suhu di bawah titik beku dan pengencernya pada suhu di atas titik beku. Vaksin cair umumnya disimpan pada suhu di atas titik beku dan sebelum pemakaian idealnya di lakukan thawing terlebih dahulu agar tidak menimbulkan stress dingin saat disuntikkan ke ayam. Pastikan kondisi ayam sehat saat akan melakukan vaksinasi agar respon kekebalan yang dihasilkan optimal. Selain itu pastikan juga pelaksanaan vaksin dilapangan menggunakan metode yang sesuai dengan jenis vaksinnya, contohnya vaksinasi ND live (tetes mata, via air minum, spray), vaksin kill ND EDS IB, AI dan Coriza (suntik otot dada, subkutan), FowlPox (tusuk sayap, swab kloaka).

Dengan menerapkan managemen pemeliharaan yang baik dan didukung dengan biosekuriti yang ketat, maka program vaksinasi yang kita susun berdasarkan tantangan di lapangan diharapkan akan menghasilkan tingkat proteksi yang baik, sehingga performance terbaik akan tercapai yang pada akhirnya akan memberikan keuntungan yang optimal dalam usaha peternakan kita.

Referensi :

  1. https://www.oie.int/doc/ged/D4243.PDF
  2. https://www.msdvetmanual.com/poultry/nutrition-and-management-poultry/vaccination-programs-in-poultry#:~:text=Vaccination%20Program%20for%20Broilers,-a&text=b-,Most%20USA%20commercial%20broiler%20hatcheries%20use%20an%20in%20ovo%20vaccination,combined%20with%20Marek’s%20disease%20vaccines.
  3. http://www.poultryhub.org/health/health-management/vaccination/
Swine Influenza pada Babi

Swine Influenza pada Babi

Swine Influenza atau Flu babi adalah infeksi virus influenza A, RNA virus golongan orthomyxovirus yang sangat menular pada babi. Penyakit ini biasanya menyebar sangat cepat di dalam unit pemeliharaan babi meskipun semua babi yang terinfeksi mungkin tidak menunjukkan tanda-tanda klinis infeksi, kemudian diikuti dengan pemulihan cepat. Subtipe yang paling umum ditemukan pada babi adalah influenza A H1N1, H1N2 dan H3N2. Angka kesakitan penyakit ini mencapai 100%, sedangkan angka kematian pada umumnya rendah. Dampak ekonomi yang terutama terkait dengan perlambatan kenaikan berat badan yang mengakibatkan peningkatan jumlah hari untuk mencapai bobot pasar.

Virus flu babi ditemukan terutama pada babi, tetapi juga ditemukan pada spesies lain termasuk manusia, kalkun, dan bebek. Babi yang terinfeksi dapat mulai mengeluarkan virus flu babi dalam waktu 24 jam setelah terinfeksi, dan biasanya mengeluarkan virus (shedding) selama 7-10 hari. Infeksi flu babi pada manusia pernah dilaporkan dan biasanya terjadi pada orang yang bersentuhan langsung dengan babi yang terinfeksi dan menyerupai influenza musiman. Selain itu virus flu babi sangat jarang menyebar pada populasi manusia. Flu babi juga bukanlah penyakit bawaan makanan sehingga jika ada informasi risiko terinfeksi virus flu babi melalui konsumsi daging babi atau produk babi dapat diabaikan karena virus influenza umumnya terbatas pada saluran pernapasan babi, dan tidak terdeteksi pada otot (daging) babi, bahkan selama sakit akut sekalipun.

Tanda-tanda klinis flu babi pada ternak biasanya muncul dalam 1 -3 hari dan kebanyakan hewan pulih dalam waktu 3-7 hari kemudian jika tidak ada infeksi sekunder atau komplikasi lain. Flu babi adalah penyakit saluran pernapasan atas akut yang ditandai dengan demam, lesu, anoreksia, penurunan berat badan, dan sesak napas. Batuk, bersin, dan ingus biasanya juga terlihat, sedangkan konjungtivitis dan aborsi adalah tanda klinis yang kurang umum tetapi bisa terjadi pada ternak babi kita. Tidak jarang babi yang terkena flu tidak menunjukkan gejala, akan tetapi jika ada komplikasi dengan patogen yang lain termasuk infeksi bakteri sekunder atau virus lainnya biasanya bisa mengakibatkan bronkopneumonia sekunder yang berpotensi fatal. Dari gejala klinis yang nampak dilapangan tersebut, sebenarnya kita bisa dengan mudah melihat kasus flu babi pada ternak kita, akan tetapi untuk memastikan diagnosa sebaiknya tetap dilakukan uji laboratorium (Elisa, PCR) untuk mengantisipasi ada tidaknya patogen yang lain juga.

Kalkun yang terinfeksi virus flu babi dapat mengalami gangguan pernapasan, penurunan produksi telur, atau menghasilkan telur yang tidak normal. Pada kejadian flu babi yang menyerang manusia, gejala yang diamati dan dilaporkan umumnya menyerupai influenza musiman, termasuk penyakit saluran pernapasan atas, penyakit pernapasan akut, atau pneumonia dan namun kejadian di manusia sangat jarang berakibat fatal.

Bagaimana upaya pencegahan dan pengendalian yang bisa kita lakukan? Program biosekuriti yang baik sangat penting untuk mencegah penularan melalui fomites (alat-alat peternakan) dan vektor mekanis. Jika kandang babi terinfeksi flu babi, virus dapat bertahan dalam kawanan dan menyebabkan wabah secara berkala, akan tetapi manajemen yang baik dapat menurunkan resiko penularan tingkat keparahan penyakit. Perlu kita ketahui bahwa setelah flu babi terindikasi muncul di sebuah peternakan, akan sangat sulit untuk sepenuhnya diberantas dan depopulasi ternak mungkin diperlukan. Namun demikian virus influenza sensitif terhadap panas, pengeringan, deterjen, dan disinfektan sehingga sebenarnya relatif mudah untuk dikendalikan jika kita melakukan prosedur biosekuriti yang benar. Baca juga : Pentingnya Biosekuriti pada Peternakan Babi.

Berkaitan dengan kejadian flu babi pada manusia tahun 2009 lalu, sebuah penelitian menyampaikan bahwa babi telah lama dianggap sebagai inang perantara yang potensial sebagai tempat virus avian influenza (flu burung) dapat beradaptasi dengan manusia. Surveilans 2005-2009 menemukan bahwa 52 sampel babi di 4 provinsi telah terinfeksi avian influenza A (H5N1) selama 2005–2007, sedangkan surveilans 2008-2009 hasilnya negatif. Analisia menunjukkan bahwa virus yang normalnya ditemukan pada unggas ini telah masuk ke dalam populasi babi di Indonesia paling sedikit 3 kali. Secara visual, tidak ada babi terinfeksi yang memiliki gejala mirip influenza, sehingga hal ini menunjukkan bahwa virus influenza A (H5N1) yang menginfeksi ternak babi dapat berkembang biak tanpa terdeteksi untuk waktu yang lama dan kemudian memfasilitasi adaptasi virus unggas ke inang mamalia. Dari penelitian ini menunjukkan bahwa babi juga berisiko terinfeksi saat terjadi wabah virus influenza A (H5N1) di unggas. Kesimpulan dari penelitian ini salah satunya adalah meskipun infeksi virus influenza A (H5N1) tidak dilaporkan terjadi di antara pekerja kandang babi di Indonesia, akan tetapi ada pekerja yang menunjukkan peningkatan kadar antibodi terhadap flu babi A ( H1N1) virus. Hal ini menunjukkan bahwa manusia memang rentan terhadap virus hasil adaptasi (mutasi) pada babi. Kemudian ketika terjadi pandemi flu babi (H1N1) tahun 2009 lebih lanjut menunjukkan bahwa babi dapat menjadi sumber virus potensial yang mampu menyebabkan pandemi influenza pada manusia. Penemuan ini menunjukkan bahwa ketika virus avian influenza A (H5N1) menyebar di antara babi dan kemudian beradaptasi untuk mengenali tipe reseptor manusia, maka peternak, pekerja babi, dan keluarganya akan berada pada risiko terbesar untuk terinfeksi oleh virus yang baru beradaptasi di ternak babi tersebut. Baca juga : African Swine Fever.

Bagaimana dengan vaksin influenza ? Mungkin di pasar global sudah ada vaksin influenza yang tersedia untuk dipakai sebagai salah satu upaya pengendalian infeksi virus influenza pada babi. Vaksin akan memberikan perlindungan yang baik, jika mencerminkan subtipe dan strain di suatu wilayah dan harus terus dimonitor tingkat keberhasilannya mengingat mutasi virus yang bisa saja terjadi. Kita harus tahu, vaksin tidak selalu bisa mencegah terjadinya infeksi atau shedding virus di lapangan, tetapi babi yang sudah divaksinasi umumnya memiliki tingkat keparahan penyakit yang lebih ringan jika terinfeksi daripada babi yang tidak divaksin. Di Indonesia, vaksin swine influenza belum tersedia sehingga pelaksanaan managemen pemeliharaan yang baik dan biosekuriti menjadi hal yang harus dioptimalkan dalam upaya pengendalian penyakit ini.

Referensi :

  1. https://www.oie.int/en/animal-health-in-the-world/animal-diseases/Swine-influenza/
  2. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3294999/
  3. https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/19516283/
  4. https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/18258038/
  5. https://www.pigprogress.net/Health/Health-Tool/diseases/Swine-influenza-SI/
error: Content is protected !!