Parasit pada Sapi

Parasit pada Sapi

Sapi rentan terhadap berbagai macam parasit, baik internal maupun eksternal, yang dapat berdampak signifikan terhadap kesehatan dan produktivitas mereka. Berikut adalah beberapa parasit penting yang umumnya ditemukan saat kita beternak sapi :

Parasit internal

Cacing gelang (roundworm)

Ini adalah parasit internal yang paling umum pada sapi, termasuk cacing perut, cacing usus, dan cacing paru-paru. Mereka memakan darah dan jaringan hewan, menyebabkan penurunan berat badan, diare, anemia, dan penurunan produksi susu.

Contoh cacing gelang yang biasa ditemui adalah Brown stomach worm (Ostertagia ostertagi), instestinal worms (Cooperia oncophora and punctata, Nematodirus helvetianus), dan cacing paru ((Dictyocaulus viviparous).

Gambar diatas adalah siklus hidup cacing Ostertagia ostertagi, namun sebenarnya siklus hidup parasit cacing gelang lainnya seperti Cooperia oncophora, Cooperia puntata, Nematodirus helvetiatianus sangat mirip. Kunci penularan dan pengendalian parasit untuk spesies cacing gelang ini adalah kontaminasi padang rumput.

Cacing pipih (Flukes)

Cacing pipih ini hidup di hati atau rumen sapi, dimana mereka merusak jaringan dan mengganggu pencernaan. Hal ini dapat menyebabkan penurunan berat badan, produksi air susu yang buruk, dan bahkan kematian.

Menggembalakan ternak di padang rumput dekat perairan berlumpur atau dangkal sangat rentan terhadap serangan cacing hati pada sapi (fasciola hepatica) atau cacing hati pada rusa (fasciola magna). Dibawah ini adalah gambaran siklus hidup cacing pipih :

Cacing pita (tapeworm)

Cacing bersegmen ini menempel pada lapisan usus kecil, tempat mereka menyerap nutrisi dari makanan hewani. Hal ini dapat menyebabkan penurunan berat badan, diare dan pertumbuhan yang buruk.

Berikuta adalah gambaran siklus hidup tidak langsung dari cacing pita yang biasa ditemukan pada sapi, yaitu Moniezia benedeni dimana melibatkan tungau rumput (mites) sebagai inang perantara dan sapi sebagai inang terakhir.

Protozoa

Organisme bersel tunggal ini, seperti coccidia, dapat menyebabkan diare, dehidrasi, dan penurunan berat badan pada anak sapi.

Untuk informasi lebih lanjut mengenai ini silahkan bisa baca di artikel ini : Diare pada sapi

Parasit eksternal

Lalat (fly)

Lalat tanduk (horn flies), lalat kuda (horse flies), lalat muka (face flies), lalat tumit (heel flies) dan lalat kandang (stable flies) merupakan hama utama yang mengganggu ternak dan dapat menurunkan produksi susu.

Lalat tanduk adalah lalat kecil penghisap darah yang paling banyak terlihat dan banyak terdapat pada ternak yang digembalakan. Lalat kandang, yang biasanya menjadi hama di sekitar kandang ternak, telah menjadi masalah bagi ternak yang digembalakan juga. Lalat kuda, Tabanus abactor adalah vektor mekanis anaplasmosis. Lalat muka berperan penting dalam penyebaran Moraxella bovis, bakteri penyebab penyakit Pink Eye pada sapi. Lalat muka bukanlah pengisap darah seperti lainnya, menyerupai lalat rumah dan makan tanaman berbunga serta air mata, air liur, lendir, dan darah yang mungkin keluar/mengalir dari hewan ternak kita. Terakhir adalah lalat tumit, lalat tumit yang berukuran sebesar lebah madu. Lalat ini bertelur dan menetas menjadi larva yang mampu menembus kulit ternak.

Kutu (lice)

Serangga kecil ini mengiritasi kulit dan menyebabkan ternak gatal, sehingga dapat merusak kulitnya dan mengganggu pertambahan berat badan, terutama pada sapi potong.

Kutu dapat menyebabkan stres ekstrem pada ternak karena  menghabiskan banyak energi untuk menggaruk, menjilat, dan mencakar bagian tubuhnya sendiri karena gangguan yang dihasilkan. Dan pada kasus yang parah, kutu bahkan bisa menyebabkan anemia. Perlu ketelitian dalam evaluasi dilapangan, karena kurap (ringworm) terkadang bisa disalahartikan sebagai infestasi kutu.

Dari gambar diatas, ada kita tahu bahwa ada 2 jenis kutu yang menyerang sapi potong, yaitu kutu pengunyah (chewing lice), seperti cattle biting louse dan kutu penghisap (sucking lice), seperti the long-nosed cattle louse, the little blue cattle louse dan the short-nosed cattle louse. Kutu kunyah sering ditemukan di bagian atas dan samping ternak, sedangkan kutu penghisap di sepanjang kepala dan bahu ternak.

Tungau (mite)

Tungau adalah parasit yang umum ditemukan pada banyak hewan, termasuk anjing, ayam, dan sapi. Makhluk ini berada dibawah kulit untuk mencari makan dan berkembang biak, yang pada akhirnya menyebabkan terbentuknya keropeng besar. Tungau ini menyebabkan kudis (mange), suatu kondisi kulit yang menyebabkan gatal-gatal, rambut rontok, dan penurunan berat badan.

Berbagai macam tungau menginfeksi ternak, dan beberapa di antaranya dapat menyebabkan jenis kudis (penyakit kulit) tertentu. Spesies tungau yang umum meliputi:

  1. Sarcoptes scabiei (tungau kudis)
  2. Psoroptes ovis (tungau psoroptik)
  3. Chorioptes bovis (tungau keropeng chorioptic)
  4. Demodex bovis (tungau folikel sapi)

Sapi yang terkena Psoroptes bovis mungkin menderita keropeng sapi, atau kudis psoroptik. Selain keropeng, kondisi ini dapat menimbulkan gejala berikut:

  1. Infeksi kulit
  2. Iritasi/Gatal
  3. Berdarah
  4. Penurunan berat badan
  5. Abrasi kulit
  6. Pembuluh darah bengkak

Sapi yang terkena Chorioptes bovis  akan mengalami chorioptic scab. Gejala yang paling umum adalah keropeng pada kulit, sedangkan gejala lain yang mungkin mungkin muncul adalah lesi berisi nanah, skaling, kulit yang menebal, rambut rontok, gerakan menghentak (stomping), menggosok dan mengunyah, serta eritema (ruam kulit).

Tungau keropeng korioptik sering kali berada di tungkai dan kaki sapi,  oleh karena itu sering disebut kudis kaki/tungkai. Sapi yang sehat juga mungkin membawa tungau tetapi tidak menunjukkan gejala apa punm sehingga terkadang dapat menulari sapi-sapi yang sistem imunnya lemah.

Caplak (tick)

Parasit penghisap darah ini dapat menularkan penyakit seperti babesiosis dan anaplasmosis, yang dapat berakibat fatal bagi ternak. Dibawah ini adalah macam-macam caplak yang bisa temui pada ternak sapi di seluruh dunia :

 

Diperkirakan lebih dari 80% populasi sapi di seluruh dunia terkena serangan caplak. Di Mexico, Rhipicephalus (Boophilus) microplus (Canestrini), R. (B.) annulatus (Say) dan Amblyomma mixtum (Koch) adalah yang paling  penting.

 

Dampak parasit

Infestasi parasit dapat menimbulkan dampak negatif yang signifikan terhadap kesehatan, produktivitas, dan keuntungan ternak. Hal ini dapat menyebabkan:

  1. Mengurangi pertambahan berat badan dan produksi susu
  2. Konversi pakan buruk
  3. Peningkatan kerentanan terhadap penyakit lain
  4. Kematian

Pengendalian dan Pencegahan

Program pengendalian parasit yang komprehensif sangat penting untuk menjaga kesehatan dan produktivitas ternak. Program ini idealnya harus mencakup:

  1. Pengujian tinja secara teratur untuk mengidentifikasi parasit internal
  2. Pengobatan yang sesuai
  3. Pengendalian lalat dengan penggunaan pengusir lalat dan ear tag insektisida
  4. Pengelolaan kotoran yang tepat untuk mengurangi risiko infeksi ulang
  5. Karantina dan pengobatan hewan baru
  6. Vaksinasi terhadap beberapa parasit, seperti cacing paru

Baca juga : Antiparasit pada Sapi

Dengan menerapkan langkah-langkah ini, produsen ternak dapat membantu melindungi hewan mereka dari parasit,  memastikan kesehatan dan produktivitas jangka panjang, serta memaksimalkan keuntungan.

Ini adalah gambaran singkat mengenai parasit pada sapi. Secara bertahap, kami akan membahas satu-persatu di artikel selanjutnya.

Semoga informasi ini bermanfaat! Silahkan hubungi kami jika anda memiliki pertanyaan DISINI.

Referensi :

  1. https://www.beefresearch.ca/topics/parasites-internal/
  2. https://www.canadiancattlemen.ca/livestock/controlling-liver-flukes-in-beef-cattle/
  3. https://wormboss.com.au/about-worms/worm-life-cycles-and-life-stages/cattle-tapeworm-life-cycle-adult-worms-in-cattle-herbivorous/
  4. https://extension.okstate.edu/fact-sheets/beef-cattle-ectoparasites.html
  5. https://onpasture.com/2020/11/02/got-lice-keep-them-from-sucking-the-life-out-of-your-herd/
  6. https://diamondhoofcare.com/8-common-causes-of-scabs-on-cows/
  7. https://www.frontiersin.org/articles/10.3389/ffunb.2021.657694/full Entomopathogenic Fungi for Tick Control in Cattle Livestock From Mexico
Brucellosis pada Sapi

Brucellosis pada Sapi

Brucellosis merupakan penyakit bakteri yang disebabkan oleh Brucella sp., yang terutama menginfeksi sapi, babi, kambing, domba dan anjing. Brucellosis bersifat zoonosis, dan manusia umumnya tertular melalui kontak langsung dengan hewan yang terinfeksi, makan atau minum produk hewani yang terkontaminasi, atau dengan menghirup bakteri yang ditularkan melalui udara. Namun, sebagian besar kasus pada manusia disebabkan oleh konsumsi susu atau keju yang tidak dipasteurisasi dari kambing atau domba yang terinfeksi. Gejala brucellosis pada manusia antara lain demam, berkeringat, anoreksia, malaise, penurunan berat badan, depresi, sakit kepala, dan nyeri sendi.

 Brucellosis adalah salah satu penyakit zoonosis yang paling luas ditularkan melalui hewan dan di daerah endemik, brucellosis pada manusia mempunyai konsekuensi kesehatan masyarakat yang serius. Perluasan industri peternakan dan urbanisasi, serta kurangnya tindakan higienis dalam peternakan dan penanganan makanan, turut menyebabkan brucellosis tetap menjadi bahaya kesehatan masyarakat.

Penyebab

Brucellosis disebabkan oleh bakteri Brucella abortus yang terdiri dari 8 biovar (1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, dan 9) berdasarkan sebaran geografis. Brucella abortus menyebabkan penyakit terutama pada sapi, domba, kambing, dan hewan peliharaan lainnya.  Sapi juga bisa terinfeksi Brucella suis dan Brucella melitensis ketika ternak ini berada pada pada tempat penggembalaan bersama babi, kambing, atau domba yang terinfeksi. Brucella abortus adalah bakteri intraseluler kecil, Gram-negatif, dan fakultatif.

Gejala Klinis

Gejala utama adalah terjadinya aborsi pada tahap akhir kebuntingan pada sapi betina, serta orchitis dan bursitis pada sapi jantan. Infeksi ini dapat menyebabkan aborsi, anak lahir mati, retensi plasenta, prematur dan kelemahan pada anak sapi. Retensi selaput fetus dan endometritis umumnya adalah akibat lanjutan setelah kejadian aborsi, sedangkan higroma pada sendi kaki sapi  merupakan tanda khas akibat infeksi kronis Brucella sp.

Penularan 

Brucellosis biasanya ditularkan ke sapi lain melalui interaksi langsung atau tidak langsung dengan sapi yang sakit atau kotorannya. Konsumsi pakan, air minum, atau koilostrum yang terkontaminasi bakteri saat proses kelahiran atau induk sapi  menjilati anaknya yang baru lahir bisa menjadi rute penularan juga karena cairan uterus mungkin memiliki tingkat bakteri yang sangat tinggi dan merupakan sumber utama infeksi.  Brucellosis jarang menular melalui proses kawin alami pada sapi, namun inseminasi buatan (IB) terbukti menyebarkan infeksi dari sapi yang terinfeksi ke sapi yang sehat.

Manusia biasanya tertular melalui konsumsi susu atau produk susu yang tidak dipasteurisasi. Interaksi mukosa dengan cairan atau jaringan fetus yang abortus dari sapi yang sakit juga dapat menjadi sumber penyakit pada manusia sehingga pekerja rumah potong hewan, peternakan, dan laboratorium, serta dokter hewan memiliki resiko tinggi terinfeksi.

Faktor Resiko

Faktor resiko umumnya dipengaruhi oleh berbagai hal yang berhubungan dengan sistem manajemen, inang, dan lingkungan. Hal ini mencakup umur, jenis kelamin, dan ras sapi (ada anggapan ras campuran lebih rentan), ukuran dan jenis ternak, serta agroekologi.

Umur menjadi faktor intrinsik, dimana seroprevalensinya lebih tinggi ditemukan pada sapi dewasa dibandingkan pada sapi muda dimana bakteri akan tumbuh karena adanya konsentrasi eritriol yang dihasilkan fetus sapi didalam rahim. Sapi betina lebih besar kemungkinannya terkena infeksi dibandingkan sapi jantan sehingga gejala seperti epididimitis dan orchitis pada pejantan relatif lebih mudah diatasi. Pada sapi betina yang tidak bunting brucellosis bisa menjadi kronis, carrier dan sulit diidentifikasi dengan metode serologis standar.

Terkait kawanan, populasi besar cinderung memiliki resiko penularan yang relatif besar jika tidak menerapkan managemen yang baik. Interaksi antar ternak, kompleks peternakan atau penggunaan lahan penggembalaan bersama, serta teknik pembersihan dan disinfeksi yang tidak memadai akan memicu tingginya kasus bucellosis jika ada ternak yang terinfeksi.

Penggembalaan beberapa spesies ternak dalam satu kawasan juga menjadi faktor resiko brucellosis, meskipun tidak ada indikasi kerentanan yang lebih tinggi pada spesies tertentu.  Kejadian brucellosis sendiri jarang menyebar dari ruminansia kecil ke sapi, namun demikian ancaman terhadap peternakan sapi yang juga memelihara ruminansia kecil dilokasi yang sama menunjukkan bukti bahwa beberapa kasus mungkin berasal dari ruminansia kecil, karena ternyata B. melitensis biovar 3 telah diisolasi dari air susu sapi.

Sapi perah mempunyai kemungkinan yang jauh lebih besar untuk tidak hanya tertular infeksi Brucellosis namun juga menyebarkannya lebih cepat dibandingkan sapi potong. Sapi yang dipelihara di area kecil akan lebih mudah terjadi kontak  satu sama lain saat diberi pakan dan diperah. Selain itu, jika kondisi peternakan tidak nyaman, sapi perah akan mengalami stres sehingga hal ini lebih kondusif bagi infeksi Brucellosis. Sebagian besar penyakit menular pada ternak yang sebelumnya bebas brucellosis dimulai dengan aktifitas pembelian sapi yang sakit/carrier. Oleh karena itu, pastikan kita membeli dari peternak yang mempunyai reputasi baik dan terpercaya.

Agroekologi juga diakui sebagai faktor resiko infeksi Brucellosis. Prevalensi yang lebih tinggi umumnya terjadi di daerah yang  kering, karena kurangnya padang rumput menyebabkan ternak terkonsentrasi atau ditempatkan dilokasi yang memungkinkan interaksi antar ternak yang tidak terkendali.  Selain itu, kemungkinan besar terjadi penularan melalui penghirupan aerosol dari debu yang terkontaminasi dari cairan fetus atau aborsi dari ternak yang terinfeksi. Pengelolaan intensif dengan managemen pemeliharaan yang baik idealnya akan mengurangi resiko penularan penyakit karena proses pengelolaan aborsi, identifikasi ternak yang sakit, serta interaksi antar ternak bisa dimonitor dan dibatasi.

Diagnosa

Brucellosis tidak dapat didiagnosis hanya berdasarkan gejalanya saja, sehingga perlu dilakukan pengujian laboratorium terhadap sampel darah atau air susu, serta uji kultur dari selaput fetus, leleran vagina atau air susu dari sapi yang terinfeksi.

Diagnosa langsung. 

Dapat dipastikan dengan ditemukannya bakteri pada preparat apus dengan pewarnaan mikroskopis. Preparat apus dapat dibuat dari sekret vagina, plasenta, kolostrum, cairan lambung fetus, lokia sapi yang diaborsi, atau abomasum fetus yang diaborsi, dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen (MZN) yang dimodifikasi, dengan hasil tampak  coccobacilli intraseluler berwarna merah atau berbentuk batang, sedangkan bakteri lain berwarna biru.

Semua strain Brucella tumbuh relatif lambat dan karena spesimen yang diisolasi seringkali sangat terkontaminasi, maka  penggunaan media selektif (media Farrell, media Brucella albimi) sangat dianjurkan untuk proses inkubasi.  Sampel yang dapat digunakan untuk isolasi B. abortus antara lain cairan lambung fetus, limpa, hati, plasenta, lokia, air susu (kolostrum atau air susu dalam waktu seminggu setelah melahirkan), air mani, dan kelenjar getah bening (limpoglandula supramammary untuk infeksi laten/kronis dan limpoglandula retrofaringeal untuk infeksi awal). Jika reaksi serologis diduga disebabkan oleh strain vaksin S19, maka kelenjar getah bening prescapular juga harus diambil. Semua isolat kemudian dikirim ke laboratorium yang memiliki fasilitas biotyping.

Diagnosis Tidak Langsung

Jika tidak ada fasilitas kultur bakteri, diagnosa brucell0sis biasanya didasarkan pada uji serologis, dengan berbagai uji aglutinasi seperti Rose Bengal Plate Test (RBPT), uji aglutinasi serum, dan antiglobulin. Deteksi antibodi merupakan metode yang lebih sensitif dan dapat digunakan untuk monitoring suatu kawanan. Uji Indirect Elisa (i-ELISA) dan Competitive Elisa (c-ELISA) juga bisa digunakan untuk konfirmasi diagnosa brucellosis.

RBPT adalah tes yang sangat sensitif yang digunakan untuk skrining sampel serum, cepat, murah dan mudah dilakukan namun metode ini tidak dapat membedakan antara reaksi lapangan dan strain vaksin S19. Diagnosa bisa dipengaruhi oleh adanya reaksi silang yang memberikan hasil tes serologis positif palsu hasil vaksin S19 atau bakteri gram negatif lain yang memiliki epitop serupa. Bakteri B. abortus O-chain polysaccharides, Yersinia enterocolitica 0:9Escherichia coli 0157:H7Salmonella group N (0:30), Francisella tularemiaStenotrophomonas maltophiliaPasteurella sp., dan Vibrio cholera  dapat bereaksi dalam uji serologis ini. Oleh karena itu, reaksi positif ini harus ditindaklanjuti dengan konfirmasi serologi yang sesuai dan/atau penyelidikan epidemiologi lebih lanjut. The complement fixation test (CFT) adalah tes yang paling umum digunakan untuk konfirmasi serologis kasus brucellosis pada sapi dan direkomendasikan oleh Organisasi Kesehatan Hewan Dunia ketika uji RBPT positif. Uji CFT didasarkan pada deteksi antibodi IgM dan IgG1.

Spesifisitas c-ELISA adalah sangat tinggi dan mampu mengidentifikasi semua isotop antibodi (IgM, IgG1, IgG2, dan IgA). c-ELISA memiliki spesifisitas diagnostik yang tinggi (100%) dan sensitivitas 98,8%, sehingga dianggap sebagai uji yang paling tes spesifik. Uji i-ELISA juga telah digunakan untuk diagnosis serologis serum atau air susu sapi, serta sensitif dan  spesifik untuk B. abortus atau B. melitensis, namun tidak mampu membedakan antibodi yang diinduksi oleh strain vaksin S19 atau Rev1. Sensitivitas i-ELISA bervariasi dari 96-100% dan spesifisitasnya dari 93,8-100%. Uji konfirmasi ini harus menunjukkan tingkat spesifisitas diagnostik yang tinggi dan mempertahankan sensitivitas yang efektif untuk mengurangi jumlah reaksi positif palsu hingga paling minimum.

Baca juga : 5 Penyakit penting pada sapi perah

Pencegahan/Pengobatan

Pengobatan brucellosis yang dilakukan di lapangan umumnya tidak efektif karena bersifat intraseluler, yaitu bakteri dapat bertahan dan berkembang biak di dalam sel. Infeksi biasanya masuk ke dalam kawanan karena adanya ternak yang sakit, atau dari semen pejantan yang terinfeksi dan fomites yang terkontaminasi. Program vaksinasi pada anak sapi atau sapi dara merupakan cara yang paling efektif dalam menangani Brucellosis di daerah endemik.

Jika ingin memasukkan sapi baru, harus dipastikan sapi sehat dan berasal dari daerah bebas penyakit. Ternak harus melalui proses karantina dan diuji terhadap brucellosis sebelum dimasukkan ke dalam kelompok. Brucellosis dapat diberantas dengan mengkarantina sapi yang terinfeksi, vaksinasi, serta metode uji dan penyembelihan.

Sangat penting untuk mewaspadai sapi-sapi impor. Walaupun mungkin telah dites negatif sebelum diimpor, namun pada banyak sapi, hasil tesnya akan negatif sampai sapi tersebut beranak atau abortus. Semua sapi yang diimpor harus diuji setelah melahirkan meskipun anak sapi tersebut normal.

Peraturan yang berlaku saat ini mengharuskan semua ternak yang pernah melakukan kontak dengan hewan yang terinfeksi harus disembelih. Artinya, jika sapi impor yang kemudian diketahui terinfeksi brucellosis, dicampur dengan indukan sebelum beranak, maka sapi-sapi yang dicampur tersebut harus disembelih juga. Oleh karena itu penting untuk memastikan bahwa hewan impor dikarantina dengan benar sampai hasil tes brucellosis mereka negatif setelah melahirkan untuk pertama kalinya. Selain itu, lakukan program biosekuriti yang tepat dan berkonsultasi dengan dokter hewan untuk semua proses ini.

Bagaimana di Indonesia?

Bovine brucellosis merupakan penyakit zoonosis dan endemik di Indonesia yang menyebabkan kerugian ekonomi signifikan akibat aborsi, lahir mati, infertilitas, sterilitas, dan berkurangnya produksi susu. Brucella abortus terdiri dari 8 biovar (1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, dan 9) berdasarkan sebaran geografis.  Sebuah penelitian dilakukan untuk mengetahui biovar mana yang bertanggung jawab terhadap brucellosis di peternakan sapi di Indonesia. Hasilnya adalah dari 50 isolat B. abortus  yang diisolasi dari sampel susu (29 sampel) dan cairan hygroma (21 sampel), ditemukan bahwa 42 isolat (84%) merupakan B. abortus biovar 1, lalu 2 isolat merupakan biovar 2 (12%), dan 3 isolat merupakan biovar 3 (4%). Maka, dari penelitian ini mengungkapkan bahwa B. abortus biovar 1 adalah penyebab paling umum dari brucellosis pada sapi di Indonesia.

Brucellosis adalah penyakit serius dengan implikasi ekonomi dan kesehatan masyarakat yang signifikan. Dengan kita  mengerti kondisi tantangan ini, maka menyusun program pemeliharaan dan biosekuriti yang benar, serta melakukan vaksinasi untuk area-area yang memang sudah endemik menjadi sebuah keharusan. Hal ini penting untuk meminimalkan resiko kejadian brucellosis, baik itu pada ternak maupun manusia.

Referensi:

  1. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC8752066/ Bovine Brucellosis :epidemiology, public health implication and status of brucellosis in Ethiopia
  2. https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/brucellosis
  3. https://www.nadis.org.uk/disease-a-z/cattle/brucellosis/
  4. https://scholar.ui.ac.id/en/publications/identification-of-brucella-abortus-biovars-isolated-from-cattle-i
  5. https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/01652176.2020.1868616 bovine brucellosis – comprehensive review
  6. https://cuidateplus.marca.com/enfermedades/infecciosas/brucelosis.html
Leptospirosis pada Sapi

Leptospirosis pada Sapi

Leptospirosis adalah salah satu penyakit zoonosis yang paling luas penyebarannya di seluruh dunia. Setiap tahun diperkirakan 1,03 juta orang terinfeksi, 873.000 orang mengalami infeksi parah, dan 49.000 orang meninggal karena tertular bakteri ini. Penyakit ini umumnya menyerang berbagai hewan mamalia, termasuk sapi dimana dapat menyebabkan kerugian ekonomi yang signifikan bagi peternak. Leptospirosis dapat menyebabkan kematian pada ternak, penurunan produksi susu, dan gangguan reproduksi (infertilitas, aborsi).

Leptospirosis pada sapi dapat menyebar melalui kontak langsung antara sapi yang terinfeksi dan sapi yang rentan. Bakteri Leptospira dapat masuk ke tubuh sapi melalui kulit yang terluka, mukosa, atau saluran pencernaan. Bakteri Leptospira juga dapat menyebar melalui air atau makanan yang terkontaminasi.

Leptospirosis dapat menyerang manusia dan menyebabkan gejala mirip influenza dengan sakit kepala parah, namun dapat diobati secara efektif. Peternak sapi perah sangat berisiko tertular penyakit akibat percikan urin ke wajah saat memerah susu sapi. Namun demikian, dengan proses pasteurisasi organisme yang diekskresikan dalam air susu ini masih dapat  dihancurkan.

Penyebab
Leptospirosis disebabkan oleh bakteri Leptospira hardjo, yaitu Leptospira borgpetersenii serovar Hardjo dan Leptospira interrogans serovar Hardjo. Infeksi timbul dari kontak dengan urin yang terinfeksi atau produk aborsi. Di negara 4 musin, penyakit ini paling sering menyebar pada musim semi dan musim panas saat ternak berada di padang rumput. Leptospira sp. rentan terhadap kekeringan, paparan sinar matahari, pH<5,8 atau suhu ekstrem.

Leptospira Hardjo tidak dibawa oleh hama atau satwa liar tetapi ternak domba dapat menjadi carrier dan shedding bakteri ini ke lingkungan, sehingga jika dalam padang gembalaan terjadi kontak maka resiko tertular sangat tinggi.
Faktor resiko penting lainnya yang perlu diperhatikan adalah penggunakan pejantan terinfeksi dan cemaran pada sumber air di padang penggembalaan.

Gejala Klinis
Penurunan produksi susu secara tiba-tiba dapat teramati dalam 2-7 hari setelah sapi yang rentan terinfeksi, dimana ambing akan menjadi lunak dan lembek dan terlihat sekret seperti kolostrum atau susu yang mengandung darah. Gejala yang nampak mungkin terlihat ringan atau tidak terdeteksi, namun beberapa sapi akan menjadi lesu, kaku disertai demam dan berkurangnya nafsu makan.

Aborsi dapat terjadi dalam 3-12  minggu setelah infeksi dan sebagian besar terjadi pada 3 bulan terakhir fase kebuntingan, atau jika mampu bertahan umumnya anak sapi akan lahir prematur dan lemah. Gangguan lain yang bisa diamati adalah tingginya kasus kawin berulang pada induk sapi yang terinfeksi saluran reproduksinya. Leptospira Hardjo juga dapat menyebabkan kematian embrio.

Penularan lewat proses perkawinan dengan pejantan bisa terjadi, namun umumnya tidak berdampak buruk karena Leptospira Hardjo akan mati oleh sistem pertahanan pada rahim selama periode estrus. Percobaan aplikasi vaksinasi leptospira di area endemik menunjukkan peningkatan parameter kesuburan pada sapi dibandingkan dengan yang tidak divaksin.

Diagnosis banding
Dilapangan, jika ada kejadian penurunan volume air susu tidak serta merta disebabkan oleh Leptospira sp., oleh karena itu kita harus tetap melakukan pengujian dan evaluasi lebih lanjut sebelum melakukan terapi. Sebaiknya anda berkonsultasi dengan dokter hewan agar diagnosa tidak salah.

Kejadian penurunan produksi air susu dapat dipengaruhi perubahan mendadak dalam pola makan/komposisi nutrisi didalam pakan. Sedangkan selain Leptospirosis, penyakit lain yang bisa menyebabkan penurunan produksi air susu antara lain adalah Bovine Virus Diarrhea (BVD), infestasi cacing paru-paru, Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR), Bovine Respiratory Syncytial Virus (BRSV), influenza A dan Salmonellosis.

Untuk kejadian aborsi, selain Leptospirosis kita juga harus memperhatikan gangguan infeksi lain seperti Neospora caninum, BVD, Salmonella spp., Bacillus likeniformis, atau Campylobacter.

Baca juga : 5 penyakit penting pada sapi perah

Diagnosa

Diagnosis leptospirosis pada sapi dapat dilakukan dengan pemeriksaan laboratorium terhadap sampel darah, urin, atau jaringan tubuh. Pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan dengan metode kultur, serologi, atau molekuler. Tes untuk mendeteksi antibodi terhadap Leptospira Hardjo dari sampel darah dengan titer MAT serum >1/100 yang dianggap cukup  signifikan.

Jika kita menghadapi kasus penurunan produksi air susu, pada infeksi yang akut, pengambilan 2x sampel serum dengan interval  waktu 3-4 minggu biasanya akan menunjukkan peningkatan konsentrasi MAT atau ELISA. Sedangkan jika menggunakan sampel urin, bakteri Leptospira dapat dilihat menggunakan dark-field microscopy.

Jika terjadi kasus aborsi, kita bisa melakukan uji Elisa terhadap indukan namun penggunaannya terbatas karena titer MAT dapat turun dengan cepat setelah infeksi akut dan menjadi negatif pada saat kejadian aborsi sehingga hasil positif mungkin hanya mencerminkan paparan sebelumnya. Selama ada peningkatan kasus aborsi, gambaran titer MAT >1/400 pada beberapa sapi  mungkin bermakna. Titer Elisa dilaporkan tetap positif lebih lama setelah infeksi sehingga mungkin hanya mengindikasikan paparan sebelumnya.

Selain uji Elisa terhadap induk yang mengalami aborsi, kita juga bisa melakukan uji terhadap fetus yang diaborsi. Antibodi yang terdeteksi dalam cairan fetus mungkin mengindikasikan paparan Leptospira Hardjo di dalam rahim setelah usia kebuntingan 4 bulan, namun fetus kemungkinan mati sebelum respon imunnya meningkat. Konfirmasi deteksi antigen dapat dilakukan dengan Tes antibodi fluoresen (FAT) menggunakan sampel jaringan fetus, dimana ginjal dan paru-paru adalah sampel terbaik untuk memastikan diagnosis kasus aborsi. Pastikan sampel diambil segera setelah kasus terdeteksi agar tidak terjadi autolisis yang berpotensi mengacaukan hasil uji.

Untuk mengevaluasi kawanan, maka uji Elisa bisa dilakukan terhadap semua kelompok induk secara berkala sebagai bagian dari program pengawasan pada kelompok yang naif. Selain itu, sampling terhadap sapi dara laktasi pertama juga idealnya dilakukan untuk memantau status infeksi dalam suatu kawanan.

Perlakuan
Pemberian antibiotik pada kasus penurunan produksi air susu sangat dianjurkan untuk mengurangi ekskresi bakteri leptospira dan resiko penularan terhadap manusia (zoonosis). Suntikan tunggal menggunakan streptomisin/dihidrostrepomisin secara  intramuskular (IM) sebanyak 25mg/kg akan menghilangkan infeksi pada sebagian besar ternak. Namun, vaksinasi adalah pendekatan yang lebih baik untuk menghindari penggunaan antibiotik yang tidak perlu karena tidak semua antibiotik zero residu di air susu sehingga meningkatkan resiko terjadinya kasus antimikrobial resistensi jika dikonsumsi oleh manusia.

Tindakan pencegahan bisa dilakukan dengan penambahan streptomisin ke air mani sapi jantan yang dikoleksi untuk  inseminasi buatan (IB). Pengendalian Leptospira Hardjo pada ternak sapi bergantung pada kombinasi keputusan manajemen untuk mengurangi risiko infeksi, pengobatan antibiotik strategis, dan vaksinasi.

Untuk program vaksinasi, diprogramkan dengan memberikan 2x suntikan dengan interval waktu 4 minggu, diikuti dengan booster tahunan. Vaksinasi diharapkan mampu mencegah shedding bakteri leptospira melalui urin saat ada paparan penyakit serta akan melindungi terhadap kejadian penurunan produksi air susu dan aborsi.

Jika dalam suatu kelompok ternak tidak ada bukti adanya infeksi leptospirosis sebelumnya atau kita berencana memasukkan kawanan baru yang naif, maka semua hewan ternak  pengganti, termasuk pejantan harus diisolasi selama 3 minggu dan diberikan 2x suntikan streptomisin 25 mg/kg dengan interval waktu 10-14 hari sebelum dimasukkan ke dalam kelompok baru.

Untuk pemeliharaan kawanan di kawasan yang endemik dan dikonfirmasi melalui skrining kelompok atau catatan serologi kasus aborsi maka yang harus dilakukan adalah pelaksanaan program vaksinasi dengan booster tahunan. Sapi dara pengganti harus menyelesaikan program vaksinasi sebelum dikawinkan.

Selain tindakan pencegahan diatas, yang tidak kalah penting adalah penerapkan biosekuriti yang ketat. Tindakan biosekuriti yang dapat dilakukan untuk mencegah penyebaran leptospirosis meliputi:

  • Isolasi ternak baru
  • Pemeriksaan kesehatan ternak secara rutin
  • Desinfeksi kandang dan peralatan secara teratur
  • Pembersihan dan sanitasi pekerja, kendaraan dan fasilitas lainnya

Referensi :

  1. https://www.nadis.org.uk/disease-a-z/cattle/leptospirosis-in-cattle/
  2. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC9360731Bovine leptospirosis: effects on reproduction and an approach to research in Colombia
Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR)

Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR)

Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR) adalah penyakit pernapasan yang disebabkan oleh virus Bovine Herpesvirus Type-1 (BHV-1). Penyakit ini dapat menyerang sapi, kerbau, dan hewan ruminansia lainnya. IBR adalah penyakit strategis yang dapat menyebabkan kerugian ekonomi yang besar bagi peternak karena virus ini sangat menular dan menyerang ternak dari segala usia.

Infeksi IBR dapat terjadi melalui pernafasan dan memerlukan kontak antar hewan yang menyebar dengan cepat ke seluruh kelompok. Penyakit ini ditandai dengan peradangan pada saluran pernafasan bagian atas, selain dapat juga menyebabkan vulvovaginitis pustular menular pada sapi betina dan balanoposthitis menular pada pejantan, serta bisa menyebabkan aborsi dan kelainan pada janin. Sapi yang terinfeksi akan mengalami infeksi laten setelah sembuh dari infeksi awal dan meskipun secara klinis tampak normal, penyakit ini dapat kambuh kembali saat berada dalam kondisi stres.

Epidemiologi 
Selama infeksi primer, sapi mengeluarkan virus dalam jumlah banyak di cairan hidung dan mata selama kurang lebih 14 hari, yang dapat menginfeksi hewan yang melakukan kontak.

Setelah bereplikasi di lapisan hidung, BoHV-1 diangkut melalui saraf dan menjadi laten di jaringan saraf dekat tempat masuknya virus, dan menetap di sana selama masa hidup hewan tersebut.

Stres atau pengobatan kortikosteroid dapat menyebabkan reaktivasi BoHV-1, yang kemudian diangkut kembali sepanjang saraf ke tempat infeksi utama. Pelepasan BoHV-1 yang diaktifkan kembali mungkin disertai atau tidak disertai dengan tanda-tanda klinis penyakit. Setiap hewan yang pernah terinfeksi BoHV-1 berpotensi menjadi pembawa virus seumur hidup dan menimbulkan risiko bagi hewan ternak yang bebas BoHV-1.

Penularan langsung terjadi melalui kontak dengan hewan yang terinfeksi akut dan hewan yang terinfeksi secara laten dimana terjadi reaktivasi virus. Sedangkan penularan tidak langsung dapat terjadi melalui air mani yang terkontaminasi, transfer embrio, manusia, bahan yang terkontaminasi atau penularan melalui udara.

Gejala klinis

Tanda-tanda klinis utama IBR adalah gejala pernafasan dan pada kasus yang lebih ringan sangat mirip dengan penyebab lain dari pneumonia pada sapi. Dalam kasus yang lebih ringan, konjungtivitis, batuk sesekali, dan produksi ASI yang buruk mungkin merupakan tanda yang mungkin terlihat.

Tanda-tanda klinis umumnya pertama kali muncul dalam 2-3 minggu setelah proses pengangkutan, penjualan atau peristiwa stres lainnya seperti melahirkan anak. Selama wabah IBR, angka kesakitan mungkin mencapai 100% namun angka kematian umumnya kurang dari 2%. Sapi yang terkena dampak akan kehilangan nafsu makan dan mungkin mengalami demam tinggi (41-42°C) dengan keluarnya cairan bernanah pada mata dan hidung.

Tanda-tanda klinis bervariasi dalam tingkat keparahan tergantung jenis virus. Hewan yang terkena dampak parah akan sangat tertekan, lambat untuk bangkit, dan berdiri dengan kepala menunduk. Kelopak mata mungkin bengkak karena konjungtivitis dan mungkin terdapat bisul di hidung pada kasus yang parah. Tidak ada lesi mulut tetapi mungkin ada air liur yang keluar karena stasis rumen. Terdapat halitosis akibat nanah di laring dan trakea, serta sesak napas dengan berbagai derajat.

Hewan yang terkena dampak sering batuk dan palpasi laring tidak disukai. Terdapat peningkatan frekuensi pernafasan tetapi tidak ada bunyi paru abnormal kecuali bunyi yang berasal dari saluran pernafasan atas. Kurangnya nafsu makan, penurunan berat badan, dan penurunan ASI sering terjadi dan bisa berakibat parah. Kematian tidak biasa terjadi tetapi bisa disebabkan oleh kerusakan parah, nekrosis, dan infeksi bakteri sekunder pada trakea yang disertai pneumonia inhalasi. Virus IBR juga dapat meningkatkan patogenisitas Moraxella bovis (pink eye) dan lesi keratokonjungtivitis menular yang parah dapat terjadi pada anak sapi.

Jadi gejala IBR pada sapi dapat bervariasi tergantung pada tingkat keparahan infeksi dengan manifestasi 2 bentuk, yaitu :

  • Bentuk pernapasan

Bentuk pernapasan adalah bentuk yang paling umum terjadi pada sapi. Gejala yang muncul pada bentuk pernapasan meliputi demam, batuk, sekresi hidung, konjungtivitis, dan anoreksia. Gejala pernapasan dapat menyebabkan penurunan produksi susu.

  • Bentuk neonatal

Bentuk neonatal adalah bentuk IBR yang terjadi pada pedet. Gejala yang muncul pada bentuk neonatal meliputi demam, anoreksia, dan diare. Bentuk neonatal dapat menyebabkan kematian pedet.

Baca juga : Penyakit Pernafasan pada Sapi

Penyebaran IBR

IBR dapat menyebar melalui kontak langsung antara sapi yang terinfeksi dan sapi yang rentan. Virus IBR juga dapat menyebar melalui udara, air, dan peralatan yang terkontaminasi.

Diagnosis IBR

Diagnosis IBR dapat dilakukan dengan pemeriksaan laboratorium terhadap sampel swab hidung atau sampel darah. Pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan dengan metode PCR, ELISA, atau Western Blot. Uji serologi dengan sampel darah untuk infeksi laten, sedangkan untuk deteksi langsung adanya virus dilakukan dengan uji PCR atau antibodi fluoresen pada sekret mata atau hidung saat terjadi infeksi aktif/wabah.

Mengukur titer antibodi pada air susu (bulk milk) dapat menjadi cara yang sangat berguna untuk menentukan status IBR suatu ternak. Namun, hasil yang negatif tidak selalu menunjukkan bahwa suatu ternak bebas IBR karena hingga 20% dari ternak yang diperah dapat terinfeksi IBR secara laten sebelum hasilnya menjadi positif, oleh karena itu tes darah sangat penting untuk memastikan status bebas IBR dalam kawanan.

Pengobatan

Tidak ada pengobatan khusus untuk IBR, namun untuk infeksi bakteri sekunder yang muncul dapat ditangani dengan antibiotik dan hewan yang demam tinggi diobati dengan obat antiinflamasi nonsteroid.

Pencegahan

Vaksinasi bisa menjadi intervensi yang terbaik untuk membantu pengendalian dan  meminimalkan penyebaran penyakit di kawanan yang sehat. Ada beragam vaksin IBR efektif yang tersedia di pasaran (sayangnya di Indonesia belum ada yang teregistrasi), termasuk vaksin penanda (vaksin DIVA) yang memungkinkan hewan yang divaksinasi dibedakan dari hewan yang terinfeksi secara alami melalui uji serologi.

Beberapa vaksin bersifat multivalen termasuk patogen saluran pernafasan sapi lainnya. Vaksinasi IBR tidak mahal, baik dengan suntikan intranasal atau intramuskular tunggal sehingga alangkah baiknya jika dijadwalkan dalam program pengendalian penyakit.

Selain program vaksinasi, pencegahan IBR dapat dilakukan dengan menerapkan biosekuriti yang ketat. Tindakan biosekuriti yang dapat dilakukan untuk mencegah penyebaran IBR meliputi:

  • Isolasi ternak baru
  • selektif Culling (strategi DIVA)
  • Pemeriksaan kesehatan ternak secara rutin / Monitoring
  • Desinfeksi kandang dan peralatan secara teratur
  • Pembersihan dan sanitasi diri

Referensi :

  1. https://www.nadis.org.uk/disease-a-z/cattle/ibr-infectious-bovine-rhinotracheitis/
  2. https://ugm.ac.id/en/news/ibr-disease-continues-to-menace-indonesian-cattle-farms/
  3. https://www.msd-animal-health.ie/species/cattle/infectious-bovine-rhinotracheitis-ibr/#:~:text=Introduction,economic%20losses%20to%20cattle%20producers.
Bovine Viral Diarrhea (BVD)

Bovine Viral Diarrhea (BVD)

Bovine Viral Diarrhea (BVD) merupakan penyakit virus utama pada ternak yang mempunyai dampak ekonomi yang signifikan. Hal ini dapat menyebabkan berbagai masalah klinis dan reproduksi, sehingga menyebabkan hilangnya produktivitas, kesuburan, dan kesehatan anak sapi.

Bovine virus diare (BVD) adalah virus RNA dalam genus Pestivirus dari keluarga Flaviviridae. Genus Pestivirus ini, selain ada virus BVD tipe 1 dan 2, juga berkerabat dekat dengan Classical Swine Fever (CSF pada babi) dan Ovine Border Disease pada domba.

Sapi dari segala umur rentan terhadap infeksi BVD. Penyebaran virus ini adalah di seluruh dunia meskipun beberapa negara baru-baru ini telah memberantas virus ini. Infeksi BVD menyebabkan berbagai macam penyakit dengan manifestasi klinis, termasuk penyakit enterik dan pernafasan atau reproduksi dan janin. Infeksi mungkin bersifat subklinis atau meluas hingga fatal. Gambaran klinis dan tingkat keparahan penyakit dapat bervariasi tergantung jenis virus yang berbeda.

Virus BVDV juga menyebabkan penekanan kekebalan yang dapat membuat hewan yang terinfeksi lebih rentan terhadap infeksi virus lain dan bakteri. Dampak klinis mungkin lebih nyata pada ternak yang dikelola secara intensif. Hewan yang bertahan dari infeksi in-utero pada trimester pertama kebuntingan hampir selalu akan terinfeksi secara persisten (PI), dimana ternak ini menjadi reservoir utama dalam suatu populasi dan mengeluarkan sejumlah besar virus (shedding) melalui urin, feses, kotoran, susu dan air mani.

Virus ini menyebar terutama melalui kontak erat antara hewan PI dengan ternak lainnya dan dapat bertahan di lingkungan untuk waktu yang singkat ataupun lama, serta ditularkan melalui bahan/material reproduksi yang terkontaminasi. Transmisi vertikal memainkan peran penting.

Baca juga : 5 Penyakit penting pada Sapi Perah

Jenis Virus BVD:

BVDV-1: Jenis ini menyebabkan infeksi akut dan persisten. Infeksi akut sering kali menimbulkan gejala pernapasan dan pencernaan, sedangkan infeksi yang menetap dapat menyebabkan terhambatnya pertumbuhan, masalah reproduksi, dan menekan kekebalan.
BVDV-2: Jenis ini terutama menyebabkan penyakit mukosa, suatu bentuk BVD parah yang menyerang anak sapi  secara persisten di dalam rahim. Gejalanya meliputi maag, demam, diare, dan seringkali kematian.

Tanda Klinis

BVD akut: Demam, kehilangan nafsu makan, gangguan pernapasan, diare, penurunan produksi ASI, aborsi.
BVD yang persisten: Seringkali tanpa gejala, namun dapat muncul dengan pertumbuhan terhambat, kinerja buruk, peningkatan kerentanan terhadap penyakit lain.
Penyakit Mukosa: Demam tinggi, diare parah disertai darah, sariawan, penurunan berat badan yang cepat, kematian dalam 5-10 hari.

Diagnosa

Tes ELISA atau PCR pada sampel darah atau jaringan dapat mendeteksi keberadaan virus atau antibodi.
Tes kebuntingan dapat mengidentifikasi kebuntingan yang terkena dampak BVD.

Dampak Ekonomi

BVD menyebabkan hilangnya produktivitas secara signifikan karena penurunan produksi susu, kematian anak sapi, dan peningkatan kerentanan terhadap penyakit lain. Pembatasan perdagangan dapat diberlakukan pada ternak yang terinfeksi BVD, sehingga berdampak lebih jauh pada pendapatan.

Ada dua jenis hewan yang terinfeksi secara persisten, yaitu  hewan “pestiferous” yang mengeluarkan sejumlah besar virus dan menimbulkan risiko yang signifikan terhadap kawanannya, dan hewan “non-pestiferous” yang hanya mengeluarkan sedikit atau tidak ada virus sama sekali sehingga minim resiko terhadap penyakit lain.

Pencegahan dan Pengendalian

Vaksinasi: Memvaksinasi sapi yang rentan sebelum dibiakkan dapat membantu mencegah infeksi pada janin dan perkembangan hewan yang terinfeksi secara terus-menerus.
Biosekuriti: Mengisolasi hewan baru, mengkarantina sapi bunting, dan menerapkan kebersihan yang baik dapat membantu mencegah penularan.
Pemantauan: Pengujian rutin terhadap anak sapi dan sapi bunting dapat membantu mengidentifikasi hewan yang terinfeksi untuk dikeluarkan dari kawanannya.

Jadi, dengan memahami BVD, menerapkan langkah-langkah pencegahan dan pengendalian yang tepat, maka peternak dapat secara signifikan mengurangi dampaknya terhadap ternak mereka dan meningkatkan keuntungan secara keseluruhan.

Referensi :

  1. https://www.woah.org/fileadmin/Home/eng/Health_standards/tahm/3.04.07_BVD.pdf
  2. https://journal.ipb.ac.id/index.php/actavetindones/article/download/25152/19154/
Antiparasit pada Ternak Sapi

Antiparasit pada Ternak Sapi

Antiparasit adalah bahan yang digunakan untuk mengendalikan/menghilangkan parasit dari hewan, baik itu parasit internal ataupun eksternal. Anthelmentik/0bat cacing yang baik menunjukkan tingkat kemanjuran yang tinggi terhadap cacing dan tidak beracun bagi inangnya. Anthelmintik dapat diklasifikasikan dalam spektrum luas atau spektrum sempit sesuai tingkat keampuhannya dalam melawan jenis parasit yang berbeda-beda. Khasiat obat bergantung pada toksisitas yang melekat pada senyawa terhadap parasit, kemampuan obat cacing untuk mencapai parasit (farmakokinetik), dan dosis yang diberikan.

Keamanan atau indeks terapeutik adalah rasio dosis maksimum yang dapat ditoleransi dengan dosis yang dianjurkan.
Faktor lain yang mempengaruhi penggunaan obat anthelmintik antara lain formulasi, dimana hal ini juga mempengaruhi rute pemberian obat sehingga peternak bisa memilih mana yang tepat dan cocok dengan sistem pengelolaan di kandang. Dalam penggunaan antiparasit, baik itu sediaan injeksi, bolus, ataupun lainnya harus memperhatikan waktu henti obat untuk memastikan tidak ada residu pada daging maupun air susu sebelum dikonsumsi manusia.

Banyak produsen sekarang yang menyadari bahwa parasit gastrointestinal dapat menurunkan performa ternak, sehingga program pengendalian semakin lazim dilakukan di peternakan. Parasit gastrointestinal biasanya dikendalikan melalui penggunaan obat yang disebut anthelmintik/obat cacing. Ada 3 kategori utama obat cacing yang tersedia, yaitu benzimidazol, lakton makrosiklik, dan imidazothiazoles. Obat cacing golongan benzimidazol dan makrosiklik lakton paling banyak digunakan pada ternak. Lakton makrosiklik tersedia dalam bentuk pour on atau injeksi, sedangkan benzimidazol biasanya diberikan secara oral.

Pengobatan dengan anthelmintik pada kenyataannya juga  berkontribusi terhadap kejadian resistensi. Seperti halnya  resistensi antibiotik, penggunaan obat cacing yang berlebihan secara terus-menerus beresiko terjadinya resistensi terhadap obat cacing, dimana akhirnya kondisi ini memaksa peternak  harus menerapkan strategi untuk mengatasi berkurangnya kemanjuran pengobatan obat cacing secara signifikan.  Baca juga : Antibiotik dalam dunia kedokteran hewan

Praktek pemberian obat cacing secara rutin terhadap semua ternak dalam kawanan di peternakan memang umum dilakukan, tetapi hal ini berpotensi terjadinya pemberikan obat cacing pada hewan yang sebenarnya tidak perlu diberikan atau pemberikan produk dengan khasiat yang buruk pada ternak. Situasi ini merupakan kerugian ekonomi bagi produsen dan berkontribusi terhadap berkembangnya resistensi terhadap obat. Oleh karena itu, mitigasi perkembangan resistensi obat cacing dalam sistem produksi ternak harus dilakukan dengan  mengevaluasi dan menyesuaikan program pengendalian parasit sesuai kebutuhan.

Evaluasi program bisa dilakukan dengan tes pengurangan jumlah telur pada feses sekelompok ternak sebelum dan sesudah aplikasi obat sehingga dapat diukur tingkat  kemanjuran obat cacing yang dipilih. Obat cacing dianggap efektif apabila terjadi penurunan minimal sebesar 95%. Jika hasil evaluasi menemukan bahwa program tidak efektif, maka beberapa hal yang harus mempertimbangkan adalah :

  1. Hanya berikan obat cacing pada hewan yang “berisiko tinggi”, seperti sapi muda (<16 bulan), terutama pedet. Sapi yang lebih tua umumnya sudah beradaptasi dan  lebih toleransi terhadap parasit gastrointestinal dan lebih mampu mengatasi keberadaan parasit tersebut dibandingkan hewan yang lebih muda.
  2. Tidak disarankan memberantas cacing dengan sistem kalender. Ternak hanya boleh diberi obat cacing ketika mereka membutuhkannya, bukan hanya karena musim atau waktu dalam setahun. Penghitungan telur cacing pada feses dapat dilakukan pada sekelompok sapi untuk mengevaluasi beban parasit saat ini.
  3. Lakukan perawatan selektif non-treatment untuk membantu  memastikan bahwa masih ada cukup parasit yang tidak terpapar obat anthelmintik sehingga akan membantu mempertahankan populasi parasit yang rentan (“refugia”). Untuk menerapkan strategi ini, peternak harus memberikan obat cacing pada semua hewan dalam kelompok beresiko tinggi kecuali 10-15% hewan dengan kinerja terberat/terbaik.
  4. Gunakan perawatan kombinasi. Strategi ini melibatkan pengobatan simultan dengan setidaknya dua obat dengan  golongan berbeda (benzimidazol dan makrosiklik lakton; levamisol dan benzimidazol, dll). Dengan pendekatan ini, setiap parasit yang resisten terhadap satu golongan obat kemungkinan besar akan rentan terhadap golongan obat lainnya, sehingga akan sangat mengurangi tekanan seleksi terhadap resistensi terhadap salah satu obat tersebut. Metode ini jauh lebih efektif dalam mengendalikan perkembangan resistensi dibandingkan merotasi antar golongan obat.
  5. Hindari pemberian dosis yang terlalu rendah. Pemberian dosis yang kurang biasanya terjadi ketika hewan tidak ditimbang sebelum diberikan perlakuan sehingga efektifitasnya tidak maksimal. Ini adalah masalah serius yang tentunya berkontribusi pada terjadinya resistensi. Oleh karena itu, untuk menghindari kekurangan dosis maka pastikan menimbang hewan terlebih dahulu.
  6. Periksa tempat penggembalaan dengan menerapkan sistem penggembalaan bergilir sehingga tersedia cukup hijauan dan memberikan istirahat yang cukup (4-5 minggu) pada kandang juga dapat membantu memutus siklus hidup parasit dan mengurangi risiko paparan.
  7. Terus evaluasi program untuk memastikan efektivitasnya dengan tes pengurangan jumlah telur pada feses secara berkala.

Demikian informasi mengenai antiparasit pada ternak sapi yang bisa menjadi referensi.

Referensi :

  1. https://extension.umd.edu/resource/best-deworming-practices-cattle
  2. https://www.sciencedirect.com/sdfe/pdf/download/eid/1-s2.0-S0749072015312597/first-page-pdf
Prospek Peternakan Tahun 2023

Prospek Peternakan Tahun 2023

Tahun 2022 telah berlalu dengan segala tantangan yang ada. Lalu bagaimana dengan prospek peternakan pada tahun 2023 ini. Jika mengacu pada prediksi prospek protein hewani global 2023 dari Rabobank, berikut beberapa informasi penting yang bisa menjadi referensi kita dalam mengarungi tantangan sektor peternakan di tahun ini :

Meskipun produksi protein hewani global diperkirakan akan tumbuh secara moderat pada tahun 2023, tahun ini akan menjadi tahun perubahan bagi sektor ini. Industri peternakan akan menghadapi biaya tinggi di sepanjang rantai pasokan, tingkat konsumsi masyarakat yang belum stabil, dan area ketidakpastian lainnya bagi produsen (tekanan penyakit yang meningkat serta perubahan regulasi dan hal lain yang digerakkan oleh pasar). Akibatnya, margin akan terjepit karena pembeli akan menekan biaya produksi yang lebih tinggi lagi akibat menurunnya daya beli. Dengan kata lain, peluang tetap ada, meski akan lebih dibatasi.

Ringkasan global.
Kami melihat pertumbuhan yang mendukung produk “value for money“, perusahaan produsen dan pemrosesan yang efisien, perusahaan yang gesit, eksportir yang diuntungkan oleh pergerakan nilai tukar mata uang, dan produsen yang aman.

“Beberapa perusahaan protein hewani akan melihat tahun 2023 sebagai tahun untuk mengkalibrasi ulang ekspektasi dan rencana pertumbuhan mereka,” kata Justin Sherrard, Pakar Strategi Global – Protein Hewani. “Beberapa perusahaan akan mempertahankan fokus jangka pendek dan memperkuat ketangkasan sehingga mereka dapat mengikuti perubahan siklus yang terjadi. Perusahaan protein hewani lainnya akan fokus pada pertumbuhan jangka panjang dan mulai berinvestasi dan memposisikan diri untuk sukses mengingat perubahan struktural di masa depan.”

Tren keseluruhan untuk tahun 2023 adalah pertumbuhan produksi yang cinderung melambat  dengan keuntungan kecil di beberapa wilayah tetapi kontraksi di wilayah lain. Pertumbuhan yang lambat ini diperkirakan terjadi di Cina pada semua kelompok spesies, dan pertumbuhan berkelanjutan diperkirakan terjadi di Brasil dan Asia Tenggara. Oseania akan mengalami pertumbuhan yang lambat, sementara produksi Amerika Utara dan Eropa akan menyusut.

Akuakultur memimpin pertumbuhan global di seluruh kelompok spesies, dan perluasannya yang berkelanjutan didukung oleh kemandirian relatif dari harga komoditas pertanian. Unggas akan mempertahankan pola pertumbuhannya yang konsisten, tangkapan liar akan sedikit meningkat, produksi daging sapi akan sedikit menurun, dan daging babi juga diprediksi akan mengalami penurunan.

Berikut adalah beberapa poin penting dari prospek protein hewani pada tahun 2023 :

Amerika Utara: Daging sapi akan berkontraksi saat siklus AS berubah dan memasuki penurunan, unggas akan berkembang karena permintaan yang kuat, meskipun ada tekanan penyakit, sementara daging babi akan cinderung stabil.

Eropa: Produksi akan berada di bawah tekanan untuk semua spesies karena resiko penyakit, perubahan yang didorong oleh pasar dan peraturan, dan pengurangan kapasitas ekspor. Konsumsi diharapkan tetap stabil, dengan unggas kemungkinana lebih diuntungkan sementara daging babi dan sapi akan sedikit menurun.

Cina: Produksi daging babi akan mengalami pertumbuhan marjinal, dengan pembatasan layanan makanan masih berpotensi menekan permintaan. Unggas diperkirakan akan sedikit berkembang namun tertahan oleh biaya tinggi dan ketidakpastian. Daging sapi cinderung akan lebih mudah.

Brazil: Produksi daging sapi akan terus meningkat dan didukung oleh aktivitas ekspor. Produksi ayam dan babi juga ditetapkan untuk tujuan ekspansi dan berpotensi mendapatkan keuntungan ekspor.

Asia Tenggara: Produksi daging babi diperkirakan akan pulih di Vietnam dan Filipina karena risiko ASF berkurang. Produksi unggas juga berkembang secara perlahan, karena permintaan terus pulih.

Australia & Selandia Baru: Produksi daging sapi dan domba Australia diperkirakan akan berkembang dengan dinamika kawanan yang terjadi. Namun, di Selandia Baru produksi daging sapi dan domba diperkirakan akan menurun akibat tekanan pasar.

Ikan salmon
Kehadiran ritel yang kuat akan mendukung harga pada tahun 2023, meskipun fundamental ekonomi makro melemah.

Udang
Pasokan tetap kuat, meskipun harga lebih rendah dan biaya lebih tinggi. Ekuador dan Amerika Latin diperkirakan akan terus mendorong pasokan udang tambak pada tahun 2023.

Tepung Ikan dan Minyak Ikan
Harga komoditas yang bersaing mendukung harga keduanya, yang mungkin sedikit menurun pada tahun 2023.

Protein Alternatif
Tahun 2023 akan menjadi tahun konsolidasi. Pertumbuhan luar biasa produk nabati baru-baru ini tertahan dan investor mengalihkan fokus.

Lalu bagaimana dengan prospek peternakan di Indonesia ?

Industri peternakan di Indonesia pastinya juga akan mengalami hal yang kurang lebih sama dengan tantangan yang ada di global. Fluktuasi harga kemungkinan masih akan menjadi tantangan bagi para pengusaha/peternak pada kondisi ekonomi yang saat ini relatif belum stabil. Selain itu, tantangan penyakit adalah hal yang mungkin harus ditanggapi dengan serius jika ingin hasil yang kita harapkan optimal.

Di sektor peternakan babi, African Swine Fever (ASF) masih menjadi tantangan terberat selain juga penyakit-penyakit lainnya seperti Hog Cholera, Mycoplasma hyopneumoniae (Enzootic Pneumonia), Porcine Circovirus tipe 2 (PCV2), Porcine Reproductive and Respiratory Syndrome (PRRS), Glaesserella (Haemophilus) parasuis. Terkait ASF, peternak babi dituntut untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya biosekuriti mengingat vaksin yang aman dan efektif sampai saat ini belum tersedia. Selain itu, program vaksinasi terhadap tantangan penyakit lain dan juga praktek managemen pemeliharaan yang baik juga akan menjadi faktor pembeda yang menentukan keberhasilan dalam beternak. Baca juga : Biosekuriti di era New Normal

Di sektor peternakan Sapi, outbreak Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) tahun lalu menjadi pukulan berat bagi para pelaku usaha disaat kondisi peternakan sebenarnya juga sedang tidak baik-baik saja. PMK ini selain berdampak besar pada peternakan sapi, juga bisa menyerang peternakan kambing/domba dan peternakan babi. Selain itu, Lumpy Skin Disease (LSD) baru-baru ini juga kembali merebak dan membutuhkan penanganan yang terbaik guna menyelamatkan peternakan sapi. Untuk vaksin PMK dan LSD, saat ini para peternak bisa mendapatkannya dari support pemerintah. Diharapkan, dengan adanya vaksin dan upgrade biosekuriti dan managemen pemeliharaan maka resiko serangan penyakit bisa diminimalkan.

Dalam Rapat Koordinasi Teknis Nasional (Rakorteknas) Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan pada 25 Januari 2023, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo mendorong pengembangan peternakan modern berbasis teknologi presisi yang mampu memproduksi kebutuhan dalam negeri secara konsisten. Pada kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementan, Nasrullah mengatakan bahwa pemerintah telah menyusun strategi dalam menghadapi krisis pangan dunia. Di antaranya peningkatan kapasitas produksi pangan untuk komoditas daging sapi, kerbau, ayam ras, ayam buras, dan babi.

Pemerintah akan melakukan pengembangan terhadap pangan substitusi impor seperti daging domba/kambing dan itik untuk substitusi daging sapi. Disisi lain, kementan juga terus meningkatan kapasitas produksi dan peningkatan laju ekspor seperti produk sarang burung walet, ayam, dan telur ayam ke berbagai negara di Asia. Pengembangan komoditas ternak prioritas berbasis korporasi, presisi dan terintegrasi ini dilakukan melalui sinergi pelaku usaha dengan program penyediaan ternak 10 juta ekor melalui pengembangan kambing/domba, itik dan ayam.

Semoga dengan peran semua pihak, baik pemerintah maupun swasta, peternakan di Indonesia bisa kuat dalam menghadapi tantangan di tahun 2023 ini dan ketersediaan protein hewani boleh tetap terjaga dengan baik.

Referensi :

  1. https://research.rabobank.com/far/en/sectors/animal-protein/ap-outlook-2023.html
  2. https://pertanian.go.id/home/?show=news&act=view&id=5217
Perkembangan Teknologi Reproduksi Sapi

Perkembangan Teknologi Reproduksi Sapi

Setelah beberapa waktu lalu kita membahas tentang managemen reproduksi pada sapi, artikel kali ini akan mengulas lebih jauh tentang tehnologi yang dikembangkan untuk menunjang performa reproduksi peternakan sapi. Jika anda belum membaca, kami sarankan untuk membaca terlebih dahulu sebelum masuk ke artikel kali ini agar mendapatkan sudat pandang yang utuh : Managemen Reproduksi Sapi.

Trimester terakhir kebuntingan umumnya terjadi keseimbangan energi negatif selama periode postpartum dan peningkatan suhu tubuh (respon stress). Hal ini akan mengganggu interaksi antara oosit dan sel granulosa di dalam folikel, sehingga menimbulkan masalah pada tingkat kesuburan dan berkontribusi terhadap inefisiensi dalam perkembangan embrio atau bahkan meningkatkan resiko kehilangan embrio. Area ini memerlukan penyelidikan intensif karena kemungkinan efek pada hierarki folikel dapat berkontribusi pada durasi penurunan kesuburan selama periode postpartum dan periode penurunan kesuburan yang diperpanjang setelah periode stres panas musiman.

Beberapa perkembangan tehnologi telah mampu meningkatkan kinerja reproduksi sapi perah laktasi. Pemberian hormon progesteron sebelum hari ke-6 setelah inseminasi buatan (AI) telah berhasil meningkatkan angka kehamilan. Selain itu, induksi korpus luteum (CL) dengan injeksi human chorionic gonadotropin (hCG) pada hari ke-5 setelah AI juga mampu meningkatkan angka kebuntingan. Strategi untuk meningkatkan perkembangan CL dan atau peningkatan sinkronisasi sebelumnya dalam progesteron kemungkinan akan memajukan perkembangan embrio dan meningkatkan sekresi selanjutnya dari sinyal antiluteolitik, yaitu interferon-τ yang bertanggung jawab untuk pemeliharaan kebuntingan.

https://www.journalofdairyscience.org/article/S0022-0302%2806%2972194-4/fulltext

Penggunaan perparat Bovine Somatotropin (bST) bisa memicu pertumbuhan dan meningkatkan  produksi susu. Penggunaan bST saat inseminasi pada sapi mengikuti protokol Ovsynch  atau saat deteksi estrus meningkatkan angka kebuntingan dan mengurangi kematian embrio akhir antara hari 31 – 45 setelah inseminasi. Selain itu, bST juga mampu meningkatkan angka pembuahan, mempercepat perkembangan embrio, meningkatkan kualitas embrio, dan meningkatkan panjang konsepsi pada saat kebuntingan dipertahankan. Peningkatan fertilitas secara keseluruhan tampak paling nyata setelah inseminasi pertama setelah masa tunggu postpartus.

Identifikasi awal sapi yang tidak bunting hingga inseminasi pertama (∼23 – 24 hari) melalui sinkronisasi estrus yang tepat waktu dengan penggunaan insert progesteron intravaginal (CIDR)  dan atau AI waktunya segera setelah diagnosis tidak bunting merupakan strategi tambahan untuk meningkatkan kinerja reproduksi. Dalam skenario terakhir dari sinkronisasi ulang, sapi yang menerima perangkat CIDR antara hari ke 14 – 23 setelah inseminasi menerima suntikan GnRH pada saat penarikan CIDR untuk membalik folikel pada hari ke 23. Test kebuntingan bisa dikonfirmasi dengan diagnosis ultrasound 7 hari kemudian, yaitu pada hari ke 30 setelah inseminasi. Jika sapi tidak bunting maka PGF2α disuntikkan dan diikuti 3 hari kemudian dengan injeksi GnRH dan AI waktunya bersamaan. Akibatnya, re-inseminasi terjadi dalam 3 hari setelah diagnosis tidak bunting atau hari ke-33 setelah inseminasi sebelumnya. Baca juga : Kawin Silang Ternak Sapi Potong

Selama 25 tahun terakhir, teknologi reproduksi buatan (ART) telah menjadi yang terdepan dalam penelitian reproduksi. Meskipun banyak teknik sekarang tersedia yang menjanjikan untuk meningkatkan kinerja reproduksi, penyempurnaan dan pengoptimalan tambahan yang memungkinkan perkembangan embrio selanjutnya dan kesejahteraan keturunan juga tetap diperlukan. Berikut beberapa tehnologi yang sudah mulai dikembangkan :

Superovulasi dan Transfer Embrio
Munculnya manipulasi hormonal dari siklus reproduksi sapi, menginduksi beberapa ovulasi, ditambah dengan AI, koleksi embrio, dan transfer embrio, memungkinkan produsen susu untuk mendapatkan banyak keturunan dari betina unggul secara genetik, dengan mentransfer embrio mereka ke penerima manfaat genetik yang lebih rendah. . Selain itu, embrio dengan keunggulan genetik tinggi dapat dibekukan untuk kemudian ditransfer atau dijual. Prosedur transfer embrio nonsurgical pertama kali dikembangkan pada tahun 1964, lalu tahun 1972 mulai bisa dilakukan pengumpulan embrio dan kemudian tersedia secara komersial sejak tahun 1980-an. Upaya terbaru telah memasukkan transfer embrio berjangka waktu, membuat proses ini lebih mudah dikelola oleh produsen. Saat ini, biaya yang terkait dengan superovulasi dan pengumpulan serta penyimpanan embrio adalah sekitar $100/embrio, dan biaya transfer rata-rata $25 – $50/transfer.

Produksi Embrio In Vitro
Manipulasi in vitro gamet untuk produksi embrio pertama kali berhasil pada tikus pada tahun 1958 dan pada kelinci pada tahun 1959. Pada awalnya, oosit matang yang diambil dari betina dibuahi dengan sperma di laboratorium diikuti dengan transfer ke ibu penerima. Pada tahun 1981, anak sapi hidup pertama diproduksi dengan fertilisasi in vitro (IVF/ in vitro fertilization). Kemajuan telah dibuat dalam kondisi kultur, sehingga oosit yang belum matang sekarang dapat diambil dan dimatangkan secara in vitro (IVM/matured in vitro). Anak sapi hidup pertama dari oosit matang in vitro dilaporkan pada tahun 1986. Tiga tahun kemudian, Sirard dan rekan kerja melaporkan anak sapi hidup pertama yang diproduksi oleh IVM/IVF dan kultur in vitro. Kemajuan ini memungkinkan untuk produksi embrio yang layak dari oosit yang diisolasi dari ovarium yang diperoleh di rumah jagal. Penggunaan semen dengan nilai genetik tinggi untuk membuahi oosit yang diambil dari ovarium rumah jagal adalah salah satu metode untuk menghasilkan embrio dalam jumlah besar dengan potensi genetik yang lebih baik.

Kemajuan besar lainnya dalam bidang ini adalah teknik pengambilan sel telur (OPU/ovum pick-up) non-bedah. Pada tahun 1988, Pieterse dan rekan menunjukkan bahwa pemeriksaan ultrasound transvaginal dengan panduan jarum dapat digunakan untuk mengaspirasi oosit dari folikel yang sedang tumbuh pada betina donor hidup. Oosit kemudian dimatangkan dan dibuahi secara in vitro untuk menghasilkan embrio yang layak untuk ditransfer. Kemajuan ini memungkinkan pengambilan oosit dari betina pada hampir semua usia atau status reproduksi, termasuk sapi dara prapubertas dan sapi bunting. Ini memiliki potensi untuk secara substansial meningkatkan produktivitas seumur hidup betina dengan prestasi genetik tinggi, dan secara efektif mengurangi interval generasi.

Saat ini, 20 – 50% oosit yang dibuahi secara in vitro berkembang menjadi embrio yang hidup tergantung pada kondisi kultur, dan cocok untuk transfer embrio ke penerima. Tingkat konsepsi untuk embrio IVF (30 – 40%) berkurang dibandingkan dengan AI atau embrio yang dipulihkan tanpa pembedahan dari hewan donor (50 – 70%). Kehilangan paling sering terjadi selama 30 hari pertama kebuntingan, walaupun hal ini bisa terjadi juga di semua fase. Selain itu, beberapa keturunan yang diproduksi secara in vitro memiliki masa kebuntingan yang relatif berkepanjangan dengan peningkatan berat badan lahir (8 – 50% lebih besar). Hal ini sering dikaitkan dengan sindrom keturunan besar (LOS/large offspring syndrome), dan operasi caesar sering diperlukan sebagai intervensi proses kelahiran. Masalah-masalah ini menunjukkan bahwa kondisi kultur in vitro masih memerlukan perbaikan tambahan untuk mencapai tingkat perkembangan yang serupa dengan embrio yang diproduksi secara in vivo.

Seleksi Semen
Mengubah rasio jenis kelamin untuk mendukung anak sapi dara akan menjadi keuntungan besar bagi industri susu untuk memproduksi sapi dara pengganti. Sampai saat ini, satu-satunya pilihan adalah embrio seks.

https://www.journalofdairyscience.org/article/S0022-0302%2806%2972194-4/fulltext

Tahun 1987, Larry Johnson di USDA memperkenalkan metode untuk menyortir sperma  berdasarkan kandungan DNA. Menggunakan pewarna fluoresen pengikat DNA (Hoechst 33342), sperma diwarnai dan disortir pada penyortir sel yang diaktifkan fluoresensi (FACS). Sperma yang mengandung kromosom X dari sapi mengandung DNA 3,8% lebih banyak daripada sperma yang mengandung Y, memungkinkan untuk dipisahkan. Teknologi ini sekarang tersedia secara komersial melalui XY Inc., yang berbasis di Fort Collins, CO, yang telah melisensikan teknologi untuk semen sapi ke Inguran di Texas dan TransOva Genetics di Iowa.

Saat ini, tehnologi ini 95% efektif menghasilkan sapi jenis kelamin yang diinginkan, namun demikian ada 2 kelemahan yang terkait dengan teknologi ini. Pertama, ini adalah proses yang sangat lambat, hanya menghasilkan 150 – 200 sedotan air mani berjenis kelamin/mesin/hari, sehingga diperlukan alat yang sangat banyak untuk memenuhi target. Selain itu, 70% sperma gagal disortir karena rusak atau tidak dapat dibedakan, sehingga membuat teknologi ini menjadi sangat mahal bagi produsen. Kedua, rendahnya tingkat konsepsi. Tingkat konsepsi pada sapi dara dengan menggunakan semen berjenis kelamin rata-rata hanya 35% vs 55% untuk semen tanpa kelamin.

Strategi penggunaan semen jenis kelamin untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas biaya sedang dikembangkan. Salah satu strategi tersebut adalah dengan melakukan service breeding pertama dengan sexed semen yang dilanjutkan dengan penggunaan unsexed seed pada repeat breeding. Metode ini telah terbukti menghasilkan 62% keturunan betina saat pertama kali melahirkan. Cara lain untuk meningkatkan efisiensi dengan air mani berjenis kelamin adalah penggunaannya untuk program fertilisasi in vitro. Rata-rata, dianjurkan untuk menggunakan 2  juta sperma berjenis kelamin untuk membuahi seekor sapi betina. Sebaliknya, kurang dari 100.000 sperma dapat secara efektif membuahi 100 oosit secara in vitro, sehingga mengurangi masalah kecepatan dan jumlah sperma yang rendah setelah kawin. Perbaikan lebih lanjut perlu diterapkan agar teknologi ini dapat digunakan secara luas di industri susu.

Kloning
Kloning adalah produksi salinan atau salinan individu, dan terjadi pada hewan baik secara alami atau buatan, ketika embrio dibelah untuk menghasilkan kembar identik. Kata “klon” juga telah digunakan untuk menggambarkan hewan yang dihasilkan untuk produksi keturunan identik secara genetik dalam jumlah tak terbatas. Keberhasilan pertama dalam mengkloning ternak terjadi pada tahun 1986, ketika Steen Willadsen menggabungkan sel dari embrio 16 sel menjadi oosit  bernukleus.

Terobosan terbesar dalam kloning datang pada tahun 1996, ketika Ian Wilmut dan rekan-rekannya menghasilkan domba Dolly dengan menggabungkan sel somatik dewasa yang dikultur dengan oosit yang dienukleasi. Meskipun masih cukup tidak efisien, kloning dengan sel dewasa menawarkan keuntungan dari kloning hewan yang terbukti secara genetik dan memiliki persediaan sel donor yang tidak terbatas. Kloning sel somatik kini telah berhasil menghasilkan semua spesies ternak, serta banyak hewan laboratorium dan hewan peliharaan.

Aplikasi utama kloning pada industri susu adalah untuk memperluas penggunaan hewan yang unggul secara genetik. Hewan yang berjasa tinggi tersebut, jantan atau betina, dapat dipilih untuk kloning berdasarkan sifat yang diinginkan, termasuk produksi susu, pertumbuhan, efisiensi pakan, atau ketahanan terhadap penyakit. Selanjutnya, gizi, reproduksi, dan kesehatan hewan hasil kloning harus lebih mudah dikelola karena keseragaman hewan. Transplantasi juga berguna untuk menghasilkan individu unggul secara genetik yang sudah tua, terluka, atau baru saja mati. Selain itu, kloning akan bermanfaat untuk menghasilkan sapi perah yang dimodifikasi secara genetik, dengan menambahkan sifat-sifat yang menguntungkan atau menghilangkan sifat-sifat yang kurang diinginkan.

Prosedur kloning melibatkan pemindahan DNA kromosom dari oosit dewasa dan menggantinya dengan sel dari hewan donor untuk dikloning. Sel donor kemudian menyatu dengan oosit enukleasi dan diaktifkan baik secara kimia atau dengan kelistrikan untuk menginduksi aktivasi dan pemrograman ulang genom sel somatik dengan genom embrionik. Embrio kloning yang direkonstruksi kemudian dikultur selama 6 – 9 hari dan embrio yang layak dipindahkan ke penerima yang disinkronkan untuk menghasilkan keturunan kloning hidup.

https://www.journalofdairyscience.org/article/S0022-0302%2806%2972194-4/fulltext

Meskipun kloning tersedia secara komersial, teknologinya masih cukup tidak efisien dan sangat mahal. Inefisiensi berasal dari mikromanipulasi oosit dan embrio dan kultur sel donor dan embrio kloning. Proses kloning ini relatif sangat sulit, karena banyaknya aborsi yang terjadi sepanjang masa kebuntingan, umur kebuntingan lebih lama dan ukuran berat lahir besar (LOS) sehingga harus intervensi dengan operasi sesar karena adanya distokia. Keturunan yang besar ini sering mengalami kelemahan pasca kelahiran, hipoksia, hipoglikemia, asidosis metabolik, dan hipotermia yang memerlukan perawatan intensif segera, sehingga masalah ini menghambat penerapan tehnologi kloning ini secara luas pada industri susu.

Akhirnya, tantangan terbesar lainnya adalah potensi hilangnya keanekaragaman genetik. Meskipun jumlah sapi identik yang tidak terbatas dapat diproduksi dengan kloning, hal itu tidak boleh menggantikan pembiakan alami. Jika hal itu terjadi, dapat mengakibatkan perkawinan sedarah dan hilangnya variasi genetik yang tidak diinginkan. Kekhawatiran yang sama ketika AI diimplementasikan secara komersial dan luas. Kloning diperkirakan tidak akan digunakan secara luas seperti AI karena relatif mahal. Dengan manajemen skema pemuliaan yang tepat, masalah seperti ini seharusnya tidak akan terjadi.

Transgenesis
Metode tradisional untuk melakukan perbaikan genetik oleh produsen susu adalah melalui analisis silsilah dan seleksi genetik stok benih. Meskipun ini akan terus menjadi yang terdepan, produsen akan segera melihat hasil dari pendekatan baru untuk meningkatkan genetika sapi perah. Teknologi transgenik memungkinkan perbaikan yang saat ini tidak mungkin dilakukan melalui skema pemuliaan tradisional. Sifat-sifat yang menguntungkan dapat ditambahkan dari spesies lain. Sebagai contoh, baru-baru ini ditunjukkan bahwa gen bakteri dapat diekspresikan dalam kelenjar susu yang memungkinkan resistensi terhadap jenis mastitis tertentu. Selain itu, Brophy dan rekan meningkatkan kualitas susu dengan meningkatkan produksi kasein. Perubahan ini meningkatkan padatan susu yang tersedia untuk dijual dan meningkatkan sifat produksi keju.

Perusahaan farmasi juga menaruh minat pada sapi perah sebagai unit produksi biofarmasi, dimana sapi transgenik diproduksi yang mengandung gen untuk obat tertentu yang hanya diekspresikan dalam susu. Selama menyusui, sapi berfungsi sebagai pabrik yang sangat efisien, memproduksi sejumlah besar obat dalam susu yang kemudian dapat dipanen dan dimurnikan dengan harga yang lebih murah dibandingkan metode pembuatan obat-obatan tradisional. Obat ini sedang dalam uji klinis dan kemungkinan besar akan dipasarkan dalam beberapa tahun ke depan.

Produksi hewan transgenik pertama kali diperkenalkan pada tahun 1980 oleh Jon Gordon dan rekan. Salinan gen asing disuntikkan ke dalam pronukleus embrio tikus 1 sel yang baru dibuahi. Teknologi yang sama ini juga dikembangkan pada produksi babi, kambing, domba, dan sapi transgenik yang berhasil. Namun demikian, tingkat efisiensinya sangat rendah dan seringkali < 1%. Dibutuhkan biaya hingga $5  juta untuk memproduksi satu hewan transgenik penghasil biofarmasi.

Modifikasi genetik sapi perah melalui transgenesis menawarkan banyak manfaat untuk meningkatkan kesehatan dan produksi hewan, namun inefisiensi dan pertimbangan etis dapat menghambat penerimaannya.  Selain itu, pemahaman dan respon penerimaan publik saat ini terhadap makanan yang dimodifikasi secara genetik masih belum semuanya positif. Agar teknologi ini berdampak pada industri susu, efisiensi produksi embrio transgenik dan persepsi publik tentang sains harus meningkat secara substansial.

Demikian beberapa tehnologi yang saat ini dikembangkan untuk meningkatkan produksi terutama pada sapi perah. Semua bertujuan baik, tetapi mungkin tidak semua segmen bisa menerapkannya karena biaya yang relatif besar.

Referensi :

  1. https://www.journalofdairyscience.org/article/S0022-0302%2806%2972194-4/fulltext
  2. https://www.researchgate.net/publication/289505953_Balancing_Beef_Cow_Nutrient_Requirements_and_Seasonal_Forage_Quality_on_Annual_Rangeland
  3. https://www.researchgate.net/publication/323832298_Practical_guide_to_bovine_reproduction_management
Management Reproduksi Sapi

Management Reproduksi Sapi

Setelah beberapa lalu kita membahas mengenai gangguan reproduksi pada sapi, maka saat ini kita akan mengulas mengenai management reproduksinya. Ilmu reproduksi terus mengalami perkembangan dan kemajuan yang tentunya membantu para dokter hewan dan pelaku usaha peternakan yang fokus pada pembibitan.

https://www.researchgate.net/publication/289505953_Balancing_Beef_Cow_Nutrient_Requirements_and_Seasonal_Forage_Quality_on_Annual_Rangeland

Faktor utama yang mempengaruhi pemilihan waktu beranak pada negara dengan 4 musim adalah meliputi kondisi cuaca, kualitas dan ketersediaan pakan ternak, pakan tambahan, tenaga kerja, modal, target produksi (persentase beranak, bobot sapih, interval beranak), bobot relatif pedet, dan tantangan penyakit. Idealnya, sapi harus dikawinkan kembali dalam 80 – 85 hari setelah melahirkan jika interval beranak 365 hari ingin dipertahankan. Kalender reproduksi sapi diatas  adalah jadwal yang sangat ketat jika tujuannya adalah untuk menghasilkan 1 ekor anak sapi setiap tahun dari setiap indukan sapi. Nutrisi yang memadai sangat penting untuk memenuhi tujuan ini.

Periode dari pembuahan – lahir adalah sekitar 283 hari. Kebanyakan sapi tidak akan estrus/berahi sekitar  30 – 45 hari setelah melahirkan (bisa lebih lama jika kualitas nutrisi buruk). Sapi akan mengalami estrus dengan interval 21 hari. Dari 365 hari dalam setahun jika kita kurangi masa kebuntingan 283 hari dan 40 hari lagi masa tidak estrus setelah melahirkan, maka praktis kita hanya memiliki sisa waktu 42 hari (dua siklus) jika kita tetap pada jadwal untuk tahun berikutnya.. Artinya, kita harus memastikan induk sapi akan kembali bunting dalam maksimum 2x kesempatan proses perkawinan/insminasi buatan. Inilah tantangan yang kita hadapi sebagai pelaku usaha peternakan sapi agar bisa memperoleh hasil yang optimal.

Tantangan target 1 calf per cow per year ini idealnya harus  diimbangi dengan update pengetahuan terkait perkembangan terbaru dari ilmu reproduksi agar tingkat keberhasilannya tinggi.  Perkembangan folikel ovarium dengan regresi corpus luteum (CL) selama siklus estrus adalah salah satu yang mengalami kemajuan besar yang harus kita kuasai. Kita bisa belajar dari para peneliti dimana mereka dapat memantau dinamika perkembangan folikel dari hari ke hari pada hewan yang sama tanpa mengorbankan status ovarium dan endokrin sapi dengan menggunakan pencitraan ultrasonografi.

https://www.journalofdairyscience.org/article/S0022-0302%2806%2972194-4/fulltext#secd17180470e109

Gambar diatas menunjukan adanya gelombang folikel yang terjadi pada siklus estrus sapi. Folikel-folikel berukuran besar yang berulang berkembang dalam gelombang sebagai respons terhadap lonjakan FSH (follicle stimulating hormone). Setiap gelombang ini terdiri dari fase berurutan, yaitu seleksi, deviasi, dominasi, dan atresia. Rekrutmen folikel terjadi setiap 8 – 10 hari, dimana  sapi pada umumnya akan memiliki 2 – 3 gelombang folikel selama siklus estrusnya. Dari gelombang folikel yang direkrut FSH ini kemudian dipilih 1 folikel dan mengalami deviasi pada ukuran sekitar 8,5 mm. Folikel yang terseleksi ini akan tumbuh secara linier menjadi dominan, sedangkan folikel lainnya berhenti tumbuh dan kemudian mengalami atresia. Folikel dominan ini akan menghalangi perekrutan gelombang folikel berikutnya sampai mengalami atresia.

Pemahaman tentang mekanisme kontrol gelombang folikel ini sangat penting bagi peternak dalam  mengembangkan sistem yang optimal dalam mengontrol kesuburan pada ternak sapi, terutama sapi perah yang umumnya dipelihara secara intensif dalam kandang. Folikel yang dipilih sebagai menjadi dominan memiliki konsentrasi estradiol yang lebih tinggi dalam cairan folikel dan konsentrasi yang lebih besar dari insulin-like growth factor (IGF)-I yang berkontribusi pada potensi estrogenik folikel. Peningkatan sekresi estradiol dan inhibin ovarium akan mencapai kelenjar hipofisis melalui sirkulasi dan menyebabkan penurunan sekresi FSH, sehingga mencegah pertumbuhan lebih lanjut dari folikel bawahan lainnya. Setelah fase deviasi dimana folikel dominan mencapai 10 mm, sel granulosa mulai mengekspresikan reseptor LH (luteinizing hormone) dan dapat diinduksi untuk berovulasi dengan ukuran sekitar 12 mm. Pertumbuhan berkelanjutan dan dominasi folikel dominan ini tergantung pada sekresi LH sehingga dengan tidak adanya peningkatan frekuensi LH, folikel dominan akan mengalami atresia fungsional yang  memungkinkan peningkatan sekresi FSH dan perekrutan gelombang folikel baru kembali.

Peristiwa ini berulang pada setiap gelombang sampai regresi CL spontan terjadi karena sekresi hormon prostaglandin (PGF2α) melalui mekanisme luteolitik. Jika level progesteron rendah setelah luteolisis, umpan balik negatif pada hipofisis akan berkurang dan LH meningkat, sehingga mengarah pada perkembangan akhir folikel dominan. Saat ukuran mencapai 17 – 20 mm, maka folikel dominan menjadi sepenuhnya estrogenik dan menginduksi lonjakan LH pra-ovulasi yang pada akhirnya akan memicu terjadinya ovulasi.

Kembali ke sistem produksi farm komersial yang dilakukan secara intensif, untuk sapi perah laktasi akan memerlukan manajemen pemuliaan yang cermat, yaitu memprogram gelombang folikel, regresi CL, dan induksi ovulasi. Hal ini terjadi karena tingkat produksi susu yang tinggi, asupan dry matter (DM) dan metabolisme sapi perah menyusui cinderung menurunkan efisiensi deteksi estrus yang pada akhirnya akan menurunkan tingkat kebuntingan. Keadaan ini tidak terlihat pada sapi dara atau sapi yang tidak laktasi sehingga kesulitan dalam deteksi estrus hampir tidak terjadi dan angka kebuntingan cinderung lebih baik dari sapi laktasi.

Pemahaman tentang mekanisme siklus estrus saat ini telah mengarah pada pengembangan sistem kontrol ovulasi untuk menentukan waktu inseminasi. Pada peternakan modern, sistem ini dikembangkan dengan memanfaatkan preparat hormonal atau obat-obatan yang sebanding dengan hormon atau analognya yang mengatur fungsi ovarium normal pada sapi. Salah satu kisah sukses dalam intervensi sistem reproduksi sapi adalah penggunaan PGF2α pada awal 1970-an sebagai luteolysin uterus alami pada sapi. PGF2α dikembangkan untuk menginduksi regresi CL.

Suntikan PGF2α untuk meregresi CL berhasil setelah hari ke-5 dari siklus estrus. Selain itu, ada perbedaan yang cukup besar mengenai kapan estrus akan terjadi selama periode diestrus yang responsif. Interval terpendek terjadinya estrus adalah 2 – 3 hari, dimana ini bisa terjadi ketika PGF2α diberikan antara hari ke-7 dan 9 atau hari ke-14 dan 16 dari siklus estrus. Interval yang lebih lama terjadi dalam 4 – 7 hari, dimana terjadi jika waktu pemberian dilakukan antara hari ke-10 dan 12 dari siklus.

Waktu injeksi PGF2α dan fase gelombang folikel yang tidak diketahui pasti ini menyebabkan variasi dalam respon di lapangan. Jika injeksi PGF2α dilakukan saat ada folikel aktif estrogen yang dominan, misalnya pada hari ke-7 siklus maka akan terjadi estrus lebih awal dibandingkan jika injeksi diberikan pada hari ke-11. Hal ini terjadi karena pada hari ke 11 folikel gelombang kedua sedang diseleksi dan diperlukan sekitar 7 hari untuk perkembangan folikel dominan baru dan estrus. Oleh karena itu, strategi awal intervensi untuk menyinkronkan estrus dengan injeksi PGF2α didasarkan pada 2 injeksi berturut-turut dengan jarak 11 hari (sapi dara) atau 14 hari (sapi menyusui). Hal ini untuk memastikan sebagian besar hewan akan menjalani regresi CL pada injeksi PGF2α kedua dan memiliki tingkat sinkronisasi estrus yang lebih tinggi. Baca juga : Gangguan Reproduksi pada Sapi

Berdasarkan pemahaman dinamika folikel normal selama siklus estrus, menjadi jelas bahwa sinkronisasi folikel harus digabungkan dengan regresi CL yang diinduksi untuk lebih mengontrol ketepatan terjadinya estrus. Pelepasan LH yang diinduksi GnRH menyebabkan ovulasi atau luteinisasi folikel dominan >10 mm. Pergantian folikel dominan yang diinduksi GnRH mengarah pada perekrutan gelombang folikel baru, sehingga folikel dominan baru yang matang hadir 7 hari kemudian, ketika seseorang dapat menginduksi regresi CL dan/atau yang diinduksi GnRH, serta meningkatkan presisi dari estrus yang diinduksi. Urutan terprogram seperti itu adalah dasar dari program inseminasi yang disebut Ovsynch, di mana injeksi GnRH primer diberikan pada waktu yang telah ditentukan setelah melahirkan, diikuti oleh PGF2α 7 hari kemudian. Injeksi tambahan GnRH diberikan 48 jam setelah injeksi PGF2α. Inseminasi harus terjadi 12 – 16 jam setelah injeksi GnRH, yang akan diikuti oleh ovulasi tersinkronisasi pada 28 jam setelah GnRH.

https://www.journalofdairyscience.org/article/S0022-0302%2806%2972194-4/fulltext

Dari gambar diatas, kita bisa melihat alternatif manajemen reproduksi untuk meningkatkan performa reproduksi sapi perah laktasi dengan penggunaan presynchronization. Perawatan endokrin meliputi injeksi bovine somatotropin (bST) dan injeksi human chorionic gonadotropin (hCG) pada hari ke-5 setelah inseminasi. Sinkronisasi ulang sapi yang tidak bunting akan melibatkan penyisipan perangkat progesteron intravaginal (CIDR=controlled internal drug release) antara hari ke 14 dan 23 setelah inseminasi buatan dan injeksi GnRH pada hari ke 23 pada saat penghentian CIDR. Sapi yang terindikasi tidak bunting pada hari ke 30 menerima suntikan PGF2α, dan pada hari ke 33 disuntik dengan GnRH dan diinseminasi secara bersamaan.

Kemampuan injeksi GnRH pertama untuk menginduksi pergantian folikel tergantung pada induksi ovulasi dari folikel dominan. Jika penyuntikan pertama dilakukan pada fase metestrus, maka folikel baru tidak akan diinduksi dan folikel ovulasi pada penyuntikan GnRH kedua adalah folikel tua dengan tingkat fertilitas yang lebih rendah saat diinseminasi. Oleh karena itu, intervensi program presynch/ovsynch dilakukan dengan pemberian 2x suntikan PGF2α dengan interval 14 hari, dan program ini dimulai 12 – 14 hari setelah injeksi PGF2α kedua dari fase prasinkronisasi.

Jika sapi mengekspresikan estrus antara hari ke 3 – 7 setelah penyuntikan kedua PGF2α, mereka akan berada di antara hari ke 5 – 11 dari siklus estrus ketika ovsynch dimulai. Oleh karena itu, sekitar 80% sapi harus memiliki folikel yang berovulasi saat injeksi GnRH pertama dan semua sapi harus memiliki CL fungsional selama interval antara injeksi GnRH dan PGF2α. Hal ini bertujuan untuk mengurangi terjadinya ovulasi prematur sebelum injeksi GnRH kedua. Skema sinkronisasi folikel ini meningkatkan kemungkinan memperoleh folikel fresh yang berovulasi, diikuti dengan injeksi GnRH kedua untuk mengarah pada pengembangan CL yang memadai guna pemeliharaan kebuntingan.

Tehnologi terbaru saat ini sudah menyediakan perangkat intravaginal untuk pelepasan progesteron (CIDR) yang bisa diaplikasikan pada sapi perah laktasi sebagai alat tambahan untuk sinkronisasi. Pada sapi perah laktasi, perangkat CIDR dapat dimasukkan kedalam vagina pada saat injeksi GnRH pertama dan dilepas saat PGF2α disuntikkan sebagai bagian dari program ovsynch. Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya estrus prematur sebelum injeksi ovulasi GnRH pada sapi yang mengalami regresi CL selama 7 hari pertama protokol ovsynch, dan dapat juga menginduksi aktivitas siklik pada sapi anovulasi yang diobati dengan program ini. CIDR ini berfungsi sebagai alat pra-sinkronisasi untuk memastikan sinkronisasi folikel atau ovulasi ke program ovsynch berikutnya, dan sinkronisasi ulang estrus pada sapi yang tidak berhasil bunting pada inseminasi buatan pertama.

Perlu diingat, bahwa sapi perah laktasi memiliki konsentrasi progesteron dan estradiol yang suboptimal dan dianggap kurang subur karena metabolisme yang terkait dengan asupan DM yang tinggi. Oleh karena itu, program inseminasi buatan pada sapi laktasi yang mencakup estradiol eksogen (estradiol cypionate) yang diberikan 24 jam setelah PGF2α ternyata mampu mendorong terjadinya estrus dan benar-benar meningkatkan tingkat konsepsi. Namun demikian, dibeberapa negara seperti Amerika Utara, penggunaan preparat estrogen pada sapi perah laktasi masih diperdebatkan karena dianggap berpotensi mengganggu pasokan makanan karena issue residu yang masih membutuhkan pembuktian lebih lanjut.

Tantangan lain yang umumnya dihadapi peternak adalah terjadinya kematian embrio. Terlepas dari kemajuan dalam biologi reproduksi dan berbagai teknik yang tersedia untuk mengontrol proses reproduksi, pada kenyataannya efisiensi reproduksi kawanan terus menurun pada sapi perah laktasi. Berbagai faktor yang bisa kita evaluasi terhadap kejadian subfertilitas ini adalah adanya ovulasi folikel persisten atau tua, ovulasi folikel praovulasi berukuran kecil, periode pro-estrus yang lebih pendek, paparan progesteron yang tidak memadai selama periode sinkronisasi, dan insufisiensi luteal setelah ovulasi yang diinduksi. Total kerugian dari pembuahan sampai kelahiran pada sapi perah laktasi mencapai 60% dengan tingkat konsepsi akhir hanya sebesar 28%. Hal ini disebabkan oleh rendahnya angka pembuahan, penurunan viabilitas embrio, ukuran embrio, serta kehilangan embrio pada umur 24 – 42 hari.   Baca juga : Analisa Fertilitas pada Ternak Sapi

Gangguan saat proses kelahiran seperti kejadian distokia, retensi placenta dan milk fever akan mempengaruhi tingkat kesuburan sapi periode selanjutnya. Kejadian metritis dan endometritis subklinis juga berpotensi mengurangi tingkat kebuntingan. Oleh karena itu, penting bagi para peternak untuk mengoptimalkan kualitas nutrisi, kandungan gizi dan status kesehatan sapi selama periode kebuntingan dan pasca kelahiran dimana fungsi kekebalan umumnya sedikit terganggu pada periode awal laktasi.

Demikian paparan mengenai siklus reproduksi dan intervensi yang umumnya bisa dilakukan di kalangan industri peternakan sapi. Pada artikel selanjutnya kita nanti akan belajar bersama mengenai teknologi yang dikembangkan untuk mengoptimalkan performa reproduksi ternak.

Terima kasih.

Referensi :

  1. https://www.journalofdairyscience.org/article/S0022-0302%2806%2972194-4/fulltext
  2. https://www.researchgate.net/publication/289505953_Balancing_Beef_Cow_Nutrient_Requirements_and_Seasonal_Forage_Quality_on_Annual_Rangeland
  3. https://www.researchgate.net/publication/323832298_Practical_guide_to_bovine_reproduction_management
Ras Sapi Dunia

Ras Sapi Dunia

Sapi adalah jenis hewan berkuku yang berhasil didomestikasi oleh manusia, kemudian diternakkan untuk diambil daging, susu, kulit ataupun manfaat lainnya. Sapi jantan disebut BULL, sapi betina disebut COW dan anak sapi disebut CALF. Ada > 450 jenis sapi di dunia dan mereka diklasifikasikan 4 jenis, yaitu breed sapi perah, breed sapi potong, breed dual purpose dan breed draft. Setiap breed memiliki karakteristik unik yang membuatnya cocok untuk tujuan tertentu. Misalnya, sapi Brahman tahan terhadap penyakit tropis dan beradaptasi dengan baik pada iklim tropis yang panas dan lembab.

Ras genetik sapi dapat dibagi menjadi dua klasifikasi dasar, yaitu bos taurus dan bos indicus (zebu). Bos taurus atau sapi yang tidak berpunuk di Amerika Serikat berasal dari Kepulauan Inggris dan benua Eropa barat. Bos indicus atau sapi berpunuk umumnya dijumpai di Asia tengah selatan.

Secara fungsional, pemilihan jenis sapi tentunya tergantung pada tujuan yang akan dicapai dari masing-masing peternak. Hal-hal penting yang mungkin menjadi pertimbangan antara lain adalah ukuran tubuh, potensi produksi air susu, usia saat pubertas, kemampuan beradaptasi terhadap iklim, kemampuan menghasilkan daging, ekspresi otot, cutability dan marbling.

Karakteristis dari bos indicus bisa terlihat pada ukuran tubuh. Anak sapi dari bendungan yang mengandung warisan bos indicus biasanya relatif kecil saat lahir sehingga proses kelahiran relatif lebih lancar. Namun, anak sapi bos indicus dari indukan bendungan bos taurus seringkali relatif besar sehingga sering terjadi distokia atau kesulitan dalam proses melahirkan.

Untuk mengkarakterisasi potensi pemerahan secara akurat, kita bisa mengevaluasi melalui ukuran tubuh juga. Betina yang menghasilkan air susu lebih tinggi umumnya membutuhkan lebih banyak nutrisi untuk tubuh dan proses pemeilharaannya membutuhkan diet berkualitas lebih tinggi. Usia pubertas sapi juga berhubungan dengan ukuran tubuh, potensi pemerahan air susu dan klasifikasi genetik. Individu yang lebih kecil dan jenis penghasil air susu tinggi biasanya cinderung akan matang lebih awal, sedangkan bos indicus matang relatif terlambat namun produktifitasnya lebih lama.

Adaptasi iklim panas tertinggi bisa kita dapatkan dari sapi bos indicus, walaupun beberapa bos taurus cukup toleran juga terhadap panas dan mampu beradaptasi di lingkungan tropis. Hewan yang kurang beradaptasi dengan lingkungannya umumnya memiliki kemampuan pertumbuhan massa otot yang rendah. Bos indicus cinderung lebih mudah digemukkan walaupun dengan kualitas hijauan dan serat rendah.

Cutability atau persentase lean tergantung pada jumlah relatif lemak, otot dan tulang.  Peternak dapat dengan mudah mengubah perbedaan cutability dengan variasi nutrisi untuk mencapai tingkat kegemukan yang sama. Marbling atau lemak intramuskular adalah faktor utama
menentukan grade/kualitas daging di AS. Indikator yang diamati adalah faktor palatabilitas kelembutan, juiciness dan rasa. Marbling meningkat seiring bertambahnya usia hingga kematangan fisiologis dan umumnya lebih tinggi pada sapi dengan pubertas awal atau penghasil susu yang tinggi. Bos indicus dan sebagian sapi yang berotot, sapi dengan air susu sedikit cinderung memiliki kandungan lemak intramuskular yang relatif rendah.

Beberapa daftar breed sapi potong yang terkenal antara lain adalah Angus Hitam, Sapi Hereford, Sapi Piedmont, Brahman, Beefmaster, Aubrac, Caracu, Darkensberger, limousin, Mongolia, Angus Merah, Santa Gertrudis, Texas Longhorn, Gelbvieh, Wagyu.

Jenis sapi potong terbaik saat ini adalah Angus. Angus menjadi ras sapi potong yang banyak digemari di dunia karena kemampuannya yang cepat dalam pertumbuhan berat badan dan juga  memiliki tingkat masalah yang sangat rendah terkait dengan reproduksi yang menjadikannya ‘penghasil uang’ bagi produsen ternak.

Beberapa breed sapi di Inggris pada awalnya dikembangkan di Kepulauan Inggris dan kemudian dibawa ke AS pada akhir 1800-an. Contoh umum breed Inggris adalah Hereford, Angus, dan Shorthorn. Walaupun secara ukuran umumnya lebih kecil tetapi kemampuan mereka cukup unik, yaitu tingkat kesuburan dan proses melahirkan relatif lebih mudah ditangani. Kemudian terkait breed Eropa Kontinental atau dikenal sebagai breed eksotis, jenis Gelbvieh, Limousin, Simmental, Charolais adalah termasuk didalamnya. Sapi eksotis ini diimpor ke AS pada awal 1970-an untuk meningkatkan laju pertumbuhan breed yang ada. Trah ini berukuran lebih besar ketika mereka mencapai usia dewasa dan memiliki lebih sedikit lemak.

Untuk breed sapi perah yang umumnya digunakan adalah Holstein, Jersey, Brown Swiss, Guernsey/the Royal Breed, Ayrshire/Dunlops, Milking Shorthorn.

Breed sapi yang peruntukannya bisa ganda antara lain adalah Dutch Belted, Devon dan Shorthorn. Sapi jenis ini bisa dimanfaatkan daging sekaligus produksi air susunya. Kelompok terakhir adalah breed draft. Sapi ini dibiakkan untuk dimanfaatkan tenaganya daripada produksi daging atau susu. Trah draft terbesar adalah Belgian Blue, sedangkan yang terkecil adalah Dexter.

Kombinasi breed dalam program pemuliaan ternak memiliki pengaruh yang cukup besar pada profitabilitas dan efisiensi industri produksi suatu peternakan. Setiap breed memiliki efisiensi reproduksi, tingkat pertumbuhan, sifat keibuan yang berbeda sehingga spesifikasi produk akhir akan bervariasi dari satu breed ke breed lainnya. Biaya produksi dan kebutuhan nutrisi keseluruhan sepenuhnya tergantung pada jenis breed yang kita pilih karena ini terkait dengan ukuran hewan dan tingkat pertumbuhan. Oleh karena itu, dalam program perkawinan silang, penting untuk memilih breed yang sesuai dan tujuan yang ingin dicapai.

Ras Sapi di Indonesia. Peternakan sapi sudah menjadi hal yang umum di Indonesia, baik itu skala rumahan maupun industri. Sapi diternakkan umumnya untuk diambil daging, air susu, kulit dan juga membantu aktifitas pertanian lainnya. Ada setidaknya 3 jenis ras sapi di Indonesia, yaitu zebu (Bos indicus), sapi Bali (Bos javanicus), dan taurin (Bos taurus). Zebu diperkenalkan oleh orang India pada awal abad pertama, sedangkan breed taurin diimpor pada awal abad ke-18 untuk digunakan sebagai sapi perah. Sapi Bali (Bos javanicus) yang merupakan hasil domestikasi dari banteng liar (Bos javanicus javanicus).

Di  Indonesia, breed sapi utama adalah sapi Bali, sapi persilangan ongole, dan sapi madura. Terdapat beberapa breed sapi lokal zebu yang telah beradaptasi dengan kondisi di Indonesia misalnya sapi persilangan Ongole (PO), sapi Aceh, sapi Pesisir, Sumba Ongole (SO), dan sapi Galekan Trenggalek. Selain itu, ada juga ada juga hasil persilangan antara sapi zebu dan sapi Bali seperti sapi Madura, sapi Jabres dari Brebes, sapi Rancah dari Ciamis, dan sapi Rambon dari Bondowoso Banyuwangi dan sekitarnya. Persilangan zebu dan taurin menghasilkan sapi perah Grati atau kita kenal dengan Friesian Holstein Indonesia (PO x FH). Baca juga : Kawin silang pada ternak Sapi Potong

Dalam beberapa dekade terakhir, kegiatan persilangan melalui inseminasi buatan antara sapi lokal dan sapi taurin cukup masif dilakukan untuk menghasilkan sapi potong yang unggul, terutama Simmental dan Limousin. Persilangan ini telah menghasilkan beberapa breed baru antara lain Simpo (Simmental x PO), Limpo (Limousin x PO), Simbal (Simmental x sapi Bali), Limbal
(Limousin x sapi Bali), dan Madrasin atau Limad (Limousin x sapi Madura). Kekurangan dari persilangan ini adalah dihasilkannya keturunan jantan yang mandul, sedangkan keturunan betina memiliki kapasitas reproduksi yang lebih rendah dari induknya. Hal ini tentunya beresiko menimbulkan ketidakpastian atas jaminan pemenuhan kebutuhan protein di masa yang akan datang dan semakin meningkatnya ketergantungan import bakalan dari luar negeri. Saat ini, import bakalan sapi di Indonesia kebanyakan berasal dari Australia (ACC).

Referensi :

  1. https://smujo.id/biodiv/article/view/124 Review: The diversity of local cattle in Indonesia and the efforts to develop superior indigenous cattle breeds
  2. https://smujo.id/biodiv/article/view/75 Review: Genetic diversity of local and exotic cattle and their crossbreeding impact on the quality of Indonesian cattle
  3. https://www.researchgate.net/publication/301239930_The_diversity_of_local_cattle_in_Indonesia_and_the_efforts_to_develop_superior_indigenous_cattle_breeds
  4. https://www.thecattlesite.com/breeds/
  5. https://animalcare.folio3.com/beef-cattle-breeds/
  6. https://www.dairydiscoveryzone.com/blog/name-cow-6-great-dairy-breeds
  7. https://www.livestocking.net/list-cattle-breeds
  8. http://counties.agrilife.org/ector/files/2011/07/cattlebreeds_3.pdf
error: Content is protected !!