Kontrol Penyakit Ternak Babi

Kontrol Penyakit Ternak Babi

Terlepas dari berapa banyak ternak yang kita pelihara, kita adalah bagian dari industri peternakan yang besar dan beragam. Kita sebagai pelaku usaha peternakan bertanggung jawab untuk menjaga ternak kita dari ancaman penyakit. Dari hal kecil ini, maka kita juga berperan dalam menjaga semua kawanan ternak di lingkungan sekitar kita, di wilayah Indonesia lainnya bahkan dunia untuk tetap sehat juga. Kawanan ternak yang sehat dimulai dengan memelihara ternak yang sehat di lingkungan kandang kita. Elemen penting dalam pengendalian penyakit kurang lebih ada 3 hal, yaitu biosekuriti, medikasi dan vaksinasi.

Keamanan hayati dimulai saat kita membeli ternak. Managemen pemeliharaan yang baik menjadi kunci dalam kesuksesan kita beternak. Misalkan kita akan memulai beternak babi, maka selain lokasi dan fasilitas kandang yang nyaman dan memadai sangat penting untuk kita memilih bibit yang sehat. Kita bisa membeli dari peternak/breeder yang terpercaya dan mempunyai reputasi baik. Jika kita berbicara peternakan babi, idealnya saat kita membeli calon induk babi harus dilakukan proses aklimatisasi sehingga babi ini siap untuk masuk dalam lokasi kandang kita yangmana tantangannya mungkin berbeda dengan lokasi kandang asalnya. Pada peternakan skala industri, penerapan sistem pemeliharaan all in all out menjadi hal yang penting dalam proses pengendalian penyakit ini. Penggunaan preparat hormon biasanya menjadi opsi intervensi yang dilakukan para peternak agar kondisi pig flow berjalan dengan baik. Manajemen pakan juga menjadi hal yang krusial karena menyangkut kecukupan nutrisi yang nantinya berkaitan dengan performance kandang. Ketika kita memelihara ternak secara intensif, maka sudah menjadi kewajiban kita untuk memenuhi semua kebutuhan yang diperlukan guna menunjang performa peternakan kita. Anak kandang juga menjadi faktor penentu keberhasilan beternak. Jika kita memiliki anak kandang yang baik, yang bisa melayani ternak kita dengan penuh kasih sayang, maka hal ini bisa menjadi faktor penentu dalam keberhasilan kita dalam beternak.

Yang selanjutnya adalah biosekuriti. Biosekuriti adalah tindakan pencegahan yang diambil untuk meminimalkan risiko masuknya penyakit menular ke dalam populasi hewan sehingga setiap kebijakan dan tindakan yang diambil mampu untuk melindungi ternak kita sehingga pasokan pangan dan sumber daya peternakan untuk konsumsi masyarakat bisa terpenuhi dengan aman. Biosekuriti umumnya akan melibatkan proses pengendalian lalu lintas orang, kendaraan, sumber pakan, peralatan atau hewan lain yang beresiko menyebarkan penyakit ke kandang babi kita. Penerapan biosekuriti 3 zona pada lokasi peternakan sudah umum diterapkan dalam upaya pelaksanaan program biosekuriti ini. Pada peternakan modern, keberadaan fasilitas tempat mandi, pakaian dan sepatu bot khusus di area peternakan sangat penting. Orang yang akan masuk ke area bersih di lokasi kandang harus melewati beberapa screening untuk memastikan tidak ada patogen yang terbawa masuk dan beresiko untuk menulari ternak kita. Mereka harus mandi, ganti pakaian dan sepatu booth khusus untuk aktifitas di dalam kandang. Baca Juga : Biosekuriti di era new normal

Medikasi adalah program pemberian suplemen atau pengobatan terhadap kondisi yang terjadi pada peternakan kita. Jika kita berbicara peternakan babi, maka yang menjadi perhatian antara lain adalah kasus diare dan anemia pada anak babi. Pada umumnya para peternak akan melakukan tindakan pencegahan terhadap kasus koksidiosis dengan menggunakan preparat toltrazuril. Sedangkan untuk kasus anemia, pemberian zat besi akan membantu dalam mengurangi resiko kasus ini. Baca juga : Manajemen Pemeliharaan Anak Babi

Pada saat proses kelahiran piglet, kolostrum induk sangat penting. Pada kolostrum ini, anak babi akan mendapatkan kekebalan dari induk yang berguna untuk menjaganya dari serangan penyakit di awal kehidupan. 2 hari pertama setelah kelahiran sangat penting bagi kita untuk memastikan setiap anak babi mendapatkan kolostrum induk yang cukup. Secara teori, maternal antibodi yang didapatkan dsari kolostrum ini hanya bertahan sekitar 1-2 bulan saja. Oleh karena itu, penerapan program vaksinasi pada peternakan babi ini sangat penting untuk menjaga kelangsungan hidup sampai umur panen 5-6 bulan. Jika anak babi kita sudah menunjukkan gejala sakit saat masih umur awal kehidupan, maka kita perlu melakukan evalusi terhadap manajemen kolostrum yang kita jalankan dan juga status kesehatan induk. Jika induk ternyata menderita gangguan penyakit tertentu, maka biasanya level imun yang diturunkan ke anak juga kurang baik.

Program vaksinasi adalah upaya selanjutnya dalam pengendalian penyakit. Kita seharusnya mengetahui tantangan penyakit apa saja yang ada di lingkungan kandang kita. Dari informasi ini, maka kita kemudian bisa menyusun strategi pemeliharaan yang sesuai dengan kebutuhan lapangan. Di Indonesia saat ini, penyakit pada peyternakan babi yang sudah ditemukan di lapangan dan ada vaksinnya antara lain adalah Porcine Reproductive and Respiratory Syndrome (PRRS), Porcine Circovirus type 2, Classical Swine Fever, Mycoplasma hyopneumoniae dan juga Haemophilus parasuis. Jika di lokasi kadang kita terindikasi ada tantangan patogen ini, maka idealnya kita harus menyusun program vaksinasi yang berguna untuk melindungi ternak babi kita dari serangan penyakit ini. Sebaiknya lakukan pengambilan sampel untuk mengkonfirmasi patogen yang bersirkulasi di lokasi kandang kita dan diikuti dengan monitoring tingkat keberhasilan program vaksinansi kita. Baca juga : Penyakit Pernafasan pada Babi.

Jadi, dalam pemeliharaan ternak babi dan ternak lain pada umumnya kita dituntut untuk menguasai semua aspek. Manajemen pemeliharaan harus menjadi pondasi yang kuat dalam menjalankan usaha peternakan. Terkait pengendalian penyakit, maka biosekuriti, medikasi dan vaksinasi juga harus diperhatikan. Kita harus sadari bahwa untuk mencapai kesuksesan itu tidak mudah dan membutuhkan pengorbanan serta kerja keras. Semangat ya !!!

Referensi :

  1. https://www.aasv.org/aasv/BiosecurityforYouthSwineProjects#:~:text=Biosecurity%20begins%20when%20you%20purchase,when%20working%20with%20your%20animals.
  2. https://www.ugm.ac.id/id/berita/21021-penerapan-biosekuriti-tiga-zona-dalam-peternakan
  3. https://www.pigprogress.net/Health/Articles/2018/1/Healthy-pigs-Is-all-in-all-out-the-right-concept-241203E/
  4. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC7348622/#:~:text=Antibacterial%20Vaccines,-Swine%20erysipelas&text=Vaccinate%20gilts%20and%20boars%20at,2%E2%80%934%20weeks%20before%20breeding. Porcine vaccines

 

Biosekuriti di era New Normal

Biosekuriti di era New Normal

Biosekuriti adalah pendekatan strategis dan terintegrasi yang mencakup kerangka kebijakan dan peraturan untuk menganalisis dan mengelola resiko yang relevan terhadap kehidupan manusia, hewan dan tumbuhan, serta kesehatan dan lingkungan. Biosekuriti meliputi keamanan pangan, zoonosis, dan pengenalan penyakit serta hama hewan dan tumbuhan, pengenalan dan evaluasi hasil modifikasi organisme hidup (living modified organisms – LMOs) dan produknya (genetik organisme yang dimodifikasi atau genetically modified organisms – GMOs), dan managemen pengelolaan terhadap spesies asing. Jadi biosekuriti adalah konsep holistik yang memiliki relevansi langsung, keberlanjutan dan secara luas meliputi beraneka ragam aspek dalam kesehatan masyarakat dan perlindungan lingkungan, termasuk keanekaragaman hayati. Goal dari biosekuriti secara luas meliputi human life and health (manusia, termasuk keamanan pangan), animal life and health (hewan, termasuk ikan), plant life (tanaman, termasuk hutan), dan environmental protection (lingkungan).

Dalam dunia peternakan, penyakit dapat ditularkan melalui paparan hewan ke hewan, kendaraan, peralatan, pakaian, dan sepatu pengunjung atau karyawan yang pernah kontak dengan kawanan, kontak dengan hewan lain (kuda, anjing, kucing, satwa liar, hewan pengerat, burung, serangga), dan kontaminan yang lainnya termasuk makanan dan pengelolaan kotoran. Pencegahan penyebaran penyakit infeksi di peternakan dan lingkungannya dilakukan dengan menggunakan tindakan biosekuriti yang meliputi kondisi higienis dan iklim pemeliharaan ternak, perawatan, nutrisi, surveilans, regenerasi dan penularan penyakit, pengendalian wabah, perawatan peralatan dan proses produksi. Diperlukan evaluasi menyeluruh terhadap kondisi lingkungan dan sejarah kasus penyakit untuk memetakan tantangan, menganalisa serta menyusun strategi yang sesuai agar usaha peternakan kita menguntungkan. Oleh karena itu, dalam perencanaan program biosekuriti umumnya meliputi kondisi aktual berdasarkan data rekording yang baik, isolasi peternakan (keseluruhan atau individu, termasuk ternak baru dalam kawanan), status kesehatan ternak, evaluasi peralatan kandang dan pegawai, pengendalian lalu lintas (manusia, sumber air dan pakan, pupuk kandang, dan kendaraan, penanganan bangkai), lokasi (kemungkinan kontak dengan hewan liar dan hewan pengerat, burung) serta sanitasi.

Terlepas ada tidaknya program vaksinasi dalam menjalankan usaha peternakan, program biosekuriti menjadi komponen penting untuk mencegah penularan penyakit. Peternakan yang menjalankan manajemen dengan baik dengan didukung program biosekuriti dan vaksinasi yang sesuai dengan tantangan lapangan mempunyai resiko yang lebih kecil terhadap kejadian penyakit. Baca juga : Penyakit Pernafasan pada Babi. Terkait dengan penyakit yang sudah ada vaksinnya, peternak idealnya bisa memaksimalkan imunitas dengan melakukan program vaksinasi. Vaksinasi tentunya tidak menjamin ternak kita aman dari serangan penyakit, akan tetapi dengan vaksinasi kita meminimalkan resiko ternak kita dari kerugian yang parah jika sampai ada outbreak penyakit. Akan tetapi, jika terjadi wabah dimana belum ditemukan vaksin seperti halnya African Swine Fever (ASF) saat ini maka menajemen dan biosekuriti menjadi tumpuan dalam menghadapi resiko serangan penyakit tersebut. Contoh biosekuriti di negara eropa terkait pengendalian ASF adalah pembuatan pagar sebagai barrier fisik untuk mencegah ternak berinteraksi dengan babi hutan/liar dan hewan liar lainnya, pelarangan praktek swill feeding di peternakan babi, kontrol lalu lintas kendaraan dan manusia dengan menempatkan rambu-rambu dilarang masuk/biosecurity allert di pintu masuk lokasi kandang. Pengendalian hewan liar seperti anjing, kucing, burung dan hama (tikus, lalat, nyamuk, serangga) juga menjadi bagian penting dalam program biosekuriti karena bisa jadi vektor penularan penyakit. Baca juga : Pentingnya biosekuriti pada peternakan babi

Terkait praktek biosekuriti di peternakan babi, Johnna S. Seaman dan Thomas J. Fangman dari Departemen Kedokteran Hewan Universitas Missouri menyampaikan bahwa pengendalian penyakit adalah bagian yang paling menantang bagi produsen/peternak dan dokter hewan. Biosekuriti sering dianggap sebagai upaya menjauhkan penyakit dari kawanan babi. Hal ini menurut saya mungkin benar jika kita mengacu pada kasus ASF, dimana kita tidak ingin ternak kita yang masih “bersih” dari ASF akhirnya terpapar dan berakibat kematian karena ternak kita belum memiliki imunitas terhadap ASF. Namun, dalam konteks penyakit yang sudah ada di lingkungan kandang, program biosekuriti ini lebih ditujukan untuk mencegah patogen tersebut menginfeksi ternak atau jika sampai terinfeksi kejadiannya tidak menular ke kawanan ternak yang lainnya sehingga meminimalkan resiko kerugian. Mengapa demikian? Karena pada kenyataannya, proses mengeliminasi/menghilangkan patogen dalam suatu kandang bukanlah pekerjaan mudah karena faktor alami keberadaan patogen, kondisi endemik suatu kawasan, dan adanya populasi ternak itu sendiri sebagai target dari patogen tersebut. Oleh sebab itu, jika suatu kandang terpapar ASF maka tindakan yang dilakukan saat ini adalah depopulasi, yaitu mengosongkan kandang, proses sanitasi dan desinfeksi, serta istirahat kandang yang relatif lama untuk memastikan virus ASF sudah tidak terdeteksi lagi, baru kemudian memulai proses repopulasi dengan serangkaian uji laboratorium. Secara umum, dengan program biosekuriti yang baik maka pertumbuhan optimal dalam usaha peternakan dapat dicapai dengan meminimalkan efek negatif penyakit dan produktivitas yang tinggi. Prinsipnya adalah bagaimana kita menekan kasus reproduksi di breeding seperti kawin berulang, aborsi, mummifikasi, lahir lemah/mati sehingga jumlah anakan yang dihasilkan induk banyak serta bagaimana kita menekan deplesi di anakan di fase menyusi dan sapihan sehingga angka panen juga tinggi. Untuk bisa mencapai hal itu dan memaksimalkan potensi genetik ternak babi kita, maka paparan terhadap patogen harus diminimalkan dengan manajemen, biosekuriti dan vaksinasi yang baik. Paparan patogen yang minimum ini adalah tujuan dari program biosekuriti di peternakan sehingga penghasilan peternak bisa optimal. Baca juga : Bagaimana-menjalankan-usaha-peternakan-babi-yang-menguntungkan?

Di masa sekarang ini, biosekuriti juga dimaksudkan untuk mengurangi penggunaan antibiotik di peternakan sehingga mengurangi resiko resistensi antibiotik pada manusia. Elemen biosekuriti seharusnya mencakup :

  1. Pembersihan semua ruangan secara menyeluruh dengan mesin bertekanan tinggi dan desinfektan berspektrum luas.
  2. Konstruksi bangunan kandang yang optimal untuk menghindari kontak fisik atau udara bersama di antara kelompok umur babi yang dipelihara.
  3. Jika dalam kandang terdapat banyak ruangan/pen dan populasi babi dari berbagai umur, maka harus diatur urutan pemelihaannya sehingga babi dengan status kesehatan tertinggi (biasanya babi yang lebih muda) harus ditangani terlebih dahulu. Lalu lintas pekerja juga kandang diatur jika dia harus memelihara beberapa kelompok umur.
  4. Pekerja sebelum masuk ke area kandang idealnya harus mandi dan selalu mengenakan pakaian bersih dan alas kaki/sepatu bot khusus untuk aktifitas di dalam kandang serta lakukan pembersihan dan sanitasi pakaian/sepatu bot tersebut dengan baik.
  5. Bangunan kandang harus tahan terhadap hewan pengerat dan lakukan pembasmian/kontrol hama dengan baik
  6. Kendaraan tidak boleh memasuki lokasi kecuali telah dibersihkan dan di desinfeksi.
  7. Tempatkan hewan mati di luar (tempat penampungan khusus) untuk kemudian dipindahkan atau dikuburkan.
  8. Sediakan tempat untuk fasilitas pemuatan saat panen di sekitar kandang – akan lebih baik jika lokasinya agak jauh sehingga tidak ada mobil panen yang masuk dalam lokasi kandang
  9. Minimalkan jumlah pengunjung, dan minta mereka mengenakan pakaian dan sepatu bot yang bersih yang disediakan khusus untuk tamu.
  10. Pasang pagar pembatas di sekitar kandang untuk mencegah kontak yang tidak diinginkan dari orang, hewan peliharaan, dan hewan liar.

Lokasi. Kawanan babi idealnya harus ditempatkan sejauh mungkin dari kawanan babi yang lain (jarak antar lokasi peternakan 1,5 mil). Selain itu, perhatian juga harus diberikan terhadap arah angin dan keberadaan babi hutan/satwa liar lain. Beberapa patogen dapat menyebar melalui udara, seperti Porcine Reproductive and Respiratory Syndrome (PRRS) dan Mycoplasma hyopneumoniae. Jika dalam lokasi peternakan terdapat hewan atau ternak lain, maka fasilitas ternak babi harus ditempatkan setidaknya 100 yard dari hewan lain. Jarak bangunan kandang dalam 1 lokasi peternakan yang sama sebaiknya sekitar 50 yard. Selain itu, bangunan harus terletak setidaknya 100 yard dari jalan umum terutama jika ada lalu lintas/transportasi babi di jalan tersebut untuk meminimalkan paparan. Pagar/pembatas kandang juga idealnya harus dibuat mengelilingi lokasi peternakan untuk menjaga lalu lintas dan interaksi hewan liar/manusia yang tidak berkepentingan. Selain itu, pintu masuk harus dipagari dan dikunci serta memiliki tanda peringatan bahwa peternakan kita memiliki kebijakan biosekuriti.

Orang. Kantor dan pintu masuk utama peternakan sebaiknya terletak di dekat pagar / perimeter dan harus memiliki dapur umum sehingga karyawan dapat makan tanpa harus meninggalkan fasilitas selama hari kerja. Pekerja kandang tidak boleh tinggal di lokasi peternakan babi lain atau bersentuhan dengan babi di luar peternakan tempat mereka bekerja. Sangat disarankan juga untuk menempatkan orang khusus untuk mengawasi lalu lintas orang dan kendaraan dalam aktivitas di peternakan. Jika ada tamu/dokter hewan yang harus masuk ke lokasi kandang, harus dipastikan tidak boleh ada kontak dengan babi setidaknya selama 24 jam sebelum tiba di kandang kita. Buku tamu pengunjung penting untuk menyimpan catatan siapa saja yang telah melakukan kontak dengan ternak kita sehingga jika ada penyakit muncul, dimungkinkan untuk melakukan evaluasi dari mana patogen itu berasal. Pintu harus senantiasa ditutup terutama saat karyawan tidak berada di lokasi, dan selain itu juga bisa berfungsi sebagai penghalang masuknya hewan liar ke dalam lokasi kandang. Semua karyawan dan pengunjung harus mandi sebelum memasuki fasilitas peternakan dan berganti seragam/baju dan alas kaki khusus untuk aktifitas di dalam kandang. Setelah selesai, segera bersihkan alas kaki dan baju kemudian dicuci. Pekerjaan harian harus diselesaikan dalam urutan status kesehatan tertinggi ke status kesehatan terendah untuk mencegah penyebaran patogen dari kawanan ternak ke babi yang lebih muda/rentan.

Pig Flow. Babi seharusnya dipindahkan secara all-in / all-out (AIAO), artinya konsep memindahkan babi dengan usia sama pada waktu yang bersamaan juga. Hal ini bertujuan untuk menghindari resiko penularan penyakit dari babi yang lebih tua ke muda, selain itu hal ini juga bisa meningkatkan efisiensi pakan. Sering kali peternak “meninggalkan” babi yang pertumbuhannya lambat ke kelompok yang lebih kecil. Praktek ini sebaiknya dihindari karena ketika sebuah kelompok dipindahkan dari fasilitas mana pun, area yang ditinggalkan tersebut perlu dibersihkan, dicuci dan di desinfeksi dengan benar (minimal 6-8 jam sebelum kembali diisi hewan baru flok selanjutnya). Jika kandang yang akan dipakai tidak ada perlakuan dan masih ada kelompok umur yang lain tersisa disitu, maka resiko kejadian penyakit akan lebih tinggi. Jadi pengelompokan untuk anak babi yang baru lahir, sapihan, grower, finisher perlu ditempatkan secara terpisah karena tingkat kesehatan dan biosekuriti yang berbeda untuk setiap kelompok umur. Sering ditemukan bahwa agen penyakit mungkin tidak menyebabkan sakit pada satu kelompok usia, tetapi sangat patogen bagi kelompok lain karena perbedaan status imunitas. Untuk pemeliharaan di kandang melahirkan (farrowing house), sebaiknya batasi akses orang yang tidak berkepentingan dan tempatkan indukan bunting yang prediksi kelahirannya berada dalam interval dibawah 14 hari. Karena perbedaan status kekebalan dan paparan patogen, sekali lagi sebaiknya jangan mencampur babi dari kelompok/peternakan yang berbeda dan jika ada babi mati harus segera disingkirkan untuk menghindari cemaran, hewan liar ataupun lalat.

Fasilitas. Semua bangunan, terutama bangunan berventilasi alami / kandang terbuka, harus memiliki sekat/barrier untuk mencegah masuknya serangga, burung, dan hewan peliharaan atau hewan liar. Selalu jaga kebersihan agar lalat, tikus dan hewan pengerat lainnya tidak memiliki akses ke lokasi pakan atau air. Lakukan pembersihan untuk menghilangkan bahan organik yang dapat menghambat kerja sebagian besar disinfektan. Pencucian dengan air panas adalah cara yang baik untuk menjaga kebersihan fasilitas, penggunaan deterjen dan desinfektan akan semakin mengurangi kemungkinan patogen bertahan hidup di dalam lokasi peternakan. Usahakan untuk memilih bahan kandang yang tahan lama dan mudah dicuci. Jika kita menggunakan peralatan bekas pakai sebaiknya didesinfeksi dahulu sebelum memasuki fasilitas. Pastikan kita mempunyai protokol biosekuriti yang baik dan dipahami oleh semua personel di dalam lokasi peternakan kita. Footbath / celup kaki dengan desintektan idealnya ditempatkan di pintu masuk setiap ruangan sehingga meminimalkan resiko penularan jika kondisi karyawan kita terpaksa harus memelihara lebih dari satu kelompok umur babi, dan lakukan penggantian larutan desinfektan tersebut secara teratur.

Fasilitas bongkar muat/panen. Fasilitas ini sebaiknya terletak di luar kandang sehingga kendaraan tidak masuk ke dalam lokasi peternakan. Jika memungkinkan, fasilitas ini bisa berada minimal satu mil dari kandang dengan jalan yang hanya bisa diakses terbatas. Hal ini mungkin memerlukan investasi kendaraan pengangkut dan lokasi meeting point untuk pemindahan ternak, akan tetapi kita lebih aman karena akses ke lokasi peternakan kita bisa minimal. Kendaraan untuk aktifitas transportasi ternak harus dicuci dan didesinfeksi terlebih dahulu untuk meminimalkan resiko. Jika lokasi panen masih di lokasi kandang, pastikan kita mengantisipasi resiko kontaknya. Selain kendaraan, sopir / orang luar yang terlibat dalam proses transportasi ternak ini harus mengenakan pakaian yang bersih dan sepatu bot serta tidak boleh memasuki area dalam kandang. Jadi karena fase panen ini relatif beresiko, maka idealnya kita harus melakukan proses panen dengan meminimalkan kontak antara pegawai kandang dan orang luar. Fasilitas pemuatan harus dicuci dan didisinfeksi segera setelah digunakan, dan pastikan aliran airnya tidak mengarah masuk kembali ke lokasi kandang. Setelah aktifitas panen ini, jika pekerja akan kembali beraktifitas di dalam kandang sangat disarankan untuk mandi dan ganti baju dahulu.

Babi sakit/mati. Pisahkan babi yang sakit dengan membuat kandang isolasi untuk meminimalkan kontak dengan kawanan lainnya. Jika ada masalah penyakit dalam kawanan, pemeriksaan postmortem dan uji laboratorium sangat bermanfaat dalam memberikan informasi status kesehatan ternak kita. Dalam menjalankan usaha peternakan, tentunya kita akan dihadapkan dengan resiko kematian ternak entah karena kesalahan managemen ataupun penyakit. Oleh karena itu, kita seharusnya mempunyai tempat khusus untuk menangani masalah ini. Metode pembuangan bangkai hewan yang diterapkan harus seminimal mungkin mencemari lingkungan kandang untuk menjamin kesehatan ternak kita (dikubur, dibakar, atau menggunakan jasa dari luar). Pastikan hewan pengerat dan lalat ataupun hewan lain tidak memiliki akses ke babi mati karena dikhawatirkan akan membawa agen penyakit kembali ke dalam lokasi kandang.

Pakan dan pengolahan limbah. Gudang pakan jika memungkinkan harus ditempatkan diluar lokasi kandang untuk mengurangi resiko kontaminasi dari truk dari luar / transportasi pengangkut bahan baku pakan. Investasi kendaraan khusus pengangkut pakan ke lokasi farm bisa dipertimbangkan. Pelaksanaan pengiriman pakan bisa dikondisikan dilakukan pagi hari setelah dibersihkan hari sebelumnya (dicuci pada sore/malam setelah aktifitas kandang selesai). Pembuangan limbah feses di kandang juga penting. Feses bisa ditampung di lokasi khusus untuk kemudian diolah menjadi pupuk. Pastikan peralatan yang dipakai tidak dicampur dengan peralatan yang dipakai dalam aktifitas di dalam kandang untuk mengurangi resiko pencemaran.

Membeli dan memasukkan hewan baru ke dalam kawanan. Jika kita mempertimbangkan untuk membeli bibit/anakan dari luar, maka harus dipastikan berasal dari satu sumber yang terpercaya dan jelas status kesehatannya. Kandang breeding memiliki level biosekuriti dan tingkat kesehatan paling tinggi karena merupakan “mesin” uang para peternak agar bisa menghasilkan anakan yang banyak tanpa gangguan penyakit. Oleh karena itu, sangatlah disarankan untuk melakukan proses karantina dan aklimatisasi dahulu minimal 60 hari terhadap calon indukan yang akan dimasukkan ke dalam breeding. Untuk memastikan status kesehatannya, maka calon induk biasanya akan dimonitor tanda-tanda klinis, di uji laboratorium (Elisa dan PCR), cek parasit dan pemberian obat cacing serta disiapkan imunitasnya dengan program vaksinasi yang sesuai dengan tantangan penyakit yang sudah teridentifikasi di kandang. Baca juga : Pentingkah Vaksinasi di Peternakan Babi? Beberapa peternak terkandang juga “mengenalkan” patogen ke hewan baru dengan menggunakan feses / gerusan organ (feedback) dan mencampurkan indukan/babi yang akan diafkir. Jika kita menggunakan inseminasi buatan dan membeli semen dari sumber luar kita juga harus memastikan sumbernya dari farm yang sehat untuk mengurangi resiko penularan penyakit yang berpotensi menimbulkan mengganggu reproduksi breeding kita. Biosekuriti untuk babi pejantan penerapannya hampir sama dengan program biosekuriti unit produksi, termasuk proses isolasi dan aklimatisasi.

Demikianlah uraian mengenai tindakan biosekuriti yang penting untuk diterapkan dalam usaha peternakan kita. Saya mungkin banyak memberikan contoh aplikasi di peternakan babi ya, akan tetapi pada prinsipnya hal ini bisa diterapkan pada peternakan lainnya. Silahkan bisa di modifikasi dan disesuaikan dengan kondisi di lapangan untuk mendapatkan hasil yang terbaik. Jika peternakan babi anda terkena ASF dan merencanakan untuk memulai usaha kembali, silahkan baca dahulu : Proses Repopulasi Pasca Outbreak ASF atau lihat videonya disini.

Semoga bermanfaat. Salam sukses!!

Referensi :

  1. http://www.fao.org/3/a1140e/a1140e01.pdf
  2. https://www.researchgate.net/publication/282946231_MAKING_A_PLAN_OF_BIOSECURITY_ON_A_PIG_FARM
  3. https://extension.missouri.edu/publications/g2340
  4. https://www.thepigsite.com/disease-and-welfare/managing-disease/biosecurity#:~:text=Reduce%20visitors%20to%20a%20minimum,adds%20to%20the%20farm%20biosecurity.

Bagaimana Menjalankan Usaha Peternakan Babi yang Menguntungkan ?

Bagaimana Menjalankan Usaha Peternakan Babi yang Menguntungkan ?

Pada artikel kali ini, kita akan belajar bersama mengenai aspek-aspek penting dalam kita menjalankan usaha peternakan babi. Dalam kacamata bisnis, baik itu peternakan dalam skala kecil – besar, tentunya orientasi yang dituju adalah keuntungan. Bagaimana kita mempersiapkan sarana prasarana dan strategi / managemen pemeliharaan tentunya tidak boleh asal-asalan agar hasil yang didapatkan juga tidak asal-asalan. Banyak faktor yang sebenarnya menentukan keberhasilan usaha ini, antara lain pemilihan bibit/genetik, lokasi, kondisi lingkungan, nutrisi, recording/data performance, manajemen, fasilitas, biosekuriti, dan disease control. Dari 9 aspek diatas yang paling berkaitan langsung dengan resiko usaha ternak selama ini pastinya kita setuju jika masalah penyakit adalah yang terutama, sehingga faktor manajemen, biosecuriti dan program pengendalian penyakit menjadi krusial, selain juga faktor kualitas pakan. Namun demikian, walaupun hampir semua peternak sadar dan tahu kalo penyakit adalah faktor resiko yang mengancam kelangsungan usaha, pada kenyataannya banyak peternak yang mengabaikan/tidak mempunyai strategi pengendalian penyakit di kandang mereka, dalam hal ini program medikasi/vaksinasi. Ironis bukan, menjalankan usaha ternak dengan tujuan memperoleh penghasilan tetapi tanpa didukung dengan praktek manajemen, biosekuriti dan vaksinasi yang baik. Kondisi diatas mungkin menggambarkan kondisi peternakan skala kecil dimana keterbatasan finansial dan akses pengetahuan tentang beternak yang sangat kurang, sehingga kelompok inilah yang dianggap mempunyai faktor resiko tertinggi. Kasus African Swine Fever (ASF) menjadi contoh yang paling nyata saat ini. Semua tahu jika ASF belum ada vaksinnya, oleh karena itu sudah sewajarnya program pengendalian penyakit tidak bisa mengandalkan vaksinasi tetapi memaksimalkan manajemen dan biosekuriti yang baik, termasuk didalamnya menghidari pemberian pakan sisa rumah makan, airport, pelabuhan dll tanpa dimasak terlebih dahulu.

Selain itu, ada juga peternak yang sebenarnya punya kekuatan finansial bagus tetapi mengabaikan faktor resiko terjadinya penyakit karena sejarah masa lalu tidak pernah terjadi kasus yang parah. Sikap peternak ini akan menjadi berbahaya jika berada dalam sebuah area komplek peternakan karena kandangnya akan menjadi sumber penularan terhadap kandang-kandang lain disekitarnya jika sampai terjadi outbreak penyakit. Kembali saya mencontohkan kasus ASF ini. Ada lho peternak yang masih menganggap ASF itu HOAX, berita yang dibesar-besarkan untuk menakuti peternak. Kalo hal ini terjadi dan dia melakukan usaha beternaknya tanpa menerapkan manajemen dan biosekuriti yang bagus, maka potensi virus ASF masuk ke area komplek itu menjadi tinggi. Faktor resiko terbesar adalah dari transportasi, lalu lintas orang dan kendaraan pengangkut babi, pakan dll yang mungkin keluar masuk tanpa perlakuan desinfeksi. Jadi ketika kita beternak pada area komplek, artinya kita seharusnya tahu aspek lokasi ini menjadi tantangan tersendiri dalam usaha peternakan kita. Idealnya semua peternak yang berada dalam satu lokasi ini duduk bersama dan menyamakan persepsi mereka dalam menjalankan usaha, minimal dalam hal ini meningkatkan kesadaran dalam menjalankan praktek manajemen, biosekuriti dan vaksinasi yang baik dalam upaya pengendalian penyakit. Sulit dong…jelas!! Apakah semua itu menjamin penyakit tidak datang?…TIdak juga !!! Tetapi hal ini harus dilakukan sebagai upaya untuk meminimalkan resiko. Penyakit memang yang paling beresiko mencuri keuntungan usaha peternakan kita sehingga program pengendalian/kontrol penyakit biasanya menjadi fokus utama dari para peternak. Namun demikian, sekali lagi jangan lupakan ya faktor / aspek yang lainnya agar usaha peternakan kita benar-benar mendapatkan keuntungan yang optimal…

Terkait penyakit, apa saja sih yang sudah berhasil diidentifikasi di peternakan babi Indonesia? Gangguan pernafasan, pencernaan dan reproduksi adalah yang paling umum bisa kita amati dilapangan. Classical Swine Fever/Hog Cholera, Mycoplasma sp., Porcine Reproductive and Respiratory Syndrome (PRRS), Porcine Circovirus type 2 (PCV2), Haemophilus parasuis, Eschericia coli dan penyakit lainnya dilapangan sudah berhasil diidentifikasi. Jika kita melihat di peternakan babi di Amerika, penyakit yang masih dominan mengganggu adalah PRRS, Pseudorabies dan Porcine Epidemic Diarrhea (PED), sedangkan ASF mereka masih aman, serta CSF dan Foot and Mouth Disease (FMD) sudah berhasil dieradikasi. Biosekuriti menjadi point penting dalam program pengendalian penyakit ini. Baca juga : Apa itu Porcine Respiratory Disease Complex ?

Strategi pencegahan penyakit babi harus menjadi praktik yang umum bagi semua peternak babi. Untuk menjadi peternak sukses, menjaga kesehatan hewan adalah suatu keharusan karena akan membantu meminimalkan timbulnya penyakit. Kejadian penyakit di peternakan dapat berdampak besar bagi ternak, peternakan, dan manusia itu sendiri. Sekali lagi aspek managemen, biosekuriti dan vaksinasi menjadi sangat penting. Biosekuriti adalah tindakan pencegahan yang dirancang untuk menghentikan masuknya atau penyebaran penyakit ke dalam peternakan, termasuk babi. Biosekuriti ini biasanya mencakup praktek manajemen yang baik, pengamatan/monitoring yang cermat, program karantina, pakan yang baik, sanitasi dan desinfeksi serta menyediakan lingkungan yang bersih dan sehat untuk hewan. Baca juga : Pentingnya Biosekuriti pada Peternakan Babi

Jika kita berencana untuk memulai usaha beternak babi, pastikan bahwa kita membeli bibit babi dari sumber yang memiliki reputasi baik dan bersertifikat. Memilih babi yang sehat adalah cara terbaik untuk menghindari penyakit babi. Pengamatan yang jeli adalah kunci untuk melihat ada tidaknya tanda-tanda yang tidak normal atau babi yang berpotensi sakit. Selanjutnya, kita harus melakukan proses karantina terhadap babi yang baru kita beli tadi untuk memastikan status kesehatannya. Jika kita ingin menambah populasi, jangan pernah memasukkan babi baru ke dalam kawanan secara langsung sebelum kita memastikan status kesehatannya di masa karantina. Selama proses aklimatisasi/karantina ini, pastikan ternak diuji terhadap status penyakit tertentu (sesuai tantangan penyakit yang ada) sebelum mereka dicampur dengan populasi babi yang lain. Pengendalian parasit dan vaksinasi merupakan bagian utama dalam pengendalian penyakit, sehingga biasanya peternak juga melakukan vaksinasi dimasa karantina ini sehingga babi mempunyai kekebalan yang dipersiapkan untuk melawan patogen penyebab penyakit. Nutrisi yang baik merupakan faktor penting untuk menjaga kesehatan kawanan, jadi pastikan kita memberikan pakan dengan kualitas bagus agar performa bisa maksimal. Jika kita terpaksa masih penggunaan pakan dari sisa-sisa/limbah rumah makan, airport, pelabuhan dan lain-lain maka sangat disarankan untuk dimasak terlebih dahulu untuk menghindari resiko penyakit, terutama ASF yang saat ini masih merebak. Hal lain yang tidak kalah penting adalah rekording. Pencatatan yang baik akan membantu peternak dalam mengevaluasi performa farm, baik itu reproduksi ataupun status kesehatan pada anakan. Selain itu, peternak juga bisa melakukan evalusi terhadap perlakuan yang dilakukan dikandang, seperti saat mencoba formulasi pakan yang baru, program vaksinasi yang baru, dan perubahan manajemen yang mungkin kita lakukan di dalam kandang. Dengan adanya rekording ini akan memudahkan dalam menjalankan usaha peternakan kita.

Jadi jika kita ingin menjadi peternak yang berhasil, maka diperlukan langkah-langkah dan strategi yang terbaik sesuai dengan tantangan yang ada dilapangan. Pastikan kita menguasai dan mengerti kondisi peternakan kita terutama tantangan penyakit yang ada, kemudian kita mempersiapkan strategi manajemen, biosekuriti dan program vaksinasi yang disesuaikan dengan kondisi lapangan kita untuk menurunkan risiko patogen masuk atau menyebar di peternakan babi. Babi yang sehat menghasilkan daging babi yang aman. Pencegahan jauh lebih menguntungkan daripada pengobatan!!

Referensi :

  1. https://osbornelivestockequipment.com/news/swine-disease-prevention-strategies/
  2. https://www.preventionworks.info/en/swine-diseases
  3. https://www.pork.org/production/animal-disease/
  4. https://rr-asia.oie.int/wp-content/uploads/2020/05/webinar2_biosecurity-small-farms_k-jazdzewski_14may2019.pdf

Proses Repopulasi Pasca Outbreak African Swine Fever (ASF)

Proses Repopulasi Pasca Outbreak African Swine Fever (ASF)

Kasus ASF di dunia menjadi tantangan luar biasa bagi peternakan babi beberapa tahun terakhir ini. Populasi babi yang terkoreksi cukup dalam ini mengakibatkan suplai dan demand terhadap daging babi tidak seimbang dan mengakibatkan fluktuasi harga yang luar biasa. Cara menyikapi kejadian inipun berbeda-beda diantara para pelaku usaha. Di China, beberapa pengusaha melihat ini mungkin sebagai “peluang” karena kebutuhan daging babi dimasa akan datang pastinya akan sangat kurang dan siapa yang bisa suplai tentunya yang akan memetik hasilnya. Lalu strategi apa yang mereka lakukan untuk menghadapi ASF yang belum ada vaksinnya ini? Berikut adalah resume dari langkah-langkah / point penting terkait proses repopulasi yang dilakukan dan mungkin bisa kita modifikasi dan sesuaikan dengan kondisi di Indonesia :

  1. Kecepatan adalah kunci – deteksi dini, tindakan cepat dan penanganan sumber infeksi sangat penting untuk menghindari penyebaran virus lebih lanjut dalam sistem produksi. Monitoring pergerakan babi pada daerah terdampak juga harus diperketat, dan perlakuan karantina plus pengujian berkala harus dilakukan dengan disiplin dan konsisten. Baca juga : African Swine fever
  2. Desinfeksi terhadap truk pengangkut babi – proses pembersihan, desinfeksi dan pengeringan
  3. Membuat perimeter – zone untuk menahan penyebaran virus secara sistematis : ‘zona wabah’ radius 1 km, ‘zona kontrol’ radius 3-5 km, dan ‘zona pengawasan’ radius >10 km (tergantung Geografis dan kepadatan babi)
  4. Larangan di zona kontrol – batasi akses orang luar yang tidak berkepentingan, dilarang menjual/pindahkan babi ke luar zona, dilarang menyembelih babi, menjual bangkai dan produk sampingannya, pengawasan lalu lintas pakan/bahan baku dan transportasi
  5. Perlakuaan penting di zona kontrol – menempatkan titik pemeriksaan dan desinfeksi di pintu keluar masuk lokasi terdampak dan zona kontrol, desinfeksi kendaraan yang keluar dari zona kontrol, ganti pakaian dan sepatu di pos pemeriksaan sebelum memasuki zona kontrol, dan singkirkan hewan liar.
  6. Perlakuan penting di zona wabah – bersihkan semua babi dan produknya dengan seminimal mungkin kontaminasi darah (virus ASF ditemukan dalam jumlah tinggi di dalam darah); bakar/kuburkan babi mati, produk babi, fomites dan semua yang terkontaminasi sedalam 4m, lalu tutup lobang dengan kotoran dan kapur, serta desinfektan agar tidak mengundang hewan liar; proses ini sebisa mungkin dimulai dari lokasi yang paling parah untuk meminimalkan resiko penyebaran/kontaminasi; staf yang terlibat harus menerapkan protokol yang ketat (mandi, ganti baju dan alas kaki dll); lakukan pengendalian vektor
  7. Langkah desinfeksi yang tepat – virus ASF adalah virus ‘DNA enveloped’ yang kompleks dan tahan terhadap lingkungan. Agar disinfektan sepenuhnya efektif, maka sebelumnya harus dilakukan pembersihan semua bahan organik dengan deterjen, dikeringkan baru kemudian masuk ke proses disinfeksi; pastikan waktu kontak dan dosis sesuai rekomendasi, dan penguapan dengan suhu panas jika memungkinkan.
  8. Disinfektan yang terbukti mampu menonaktifkan virus ASF adalah natrium hidroksida, natrium hipoklorit, kalsium hipoklorit, glutaraldehyde, asam sitrat, yodium monoklorida, formaldehida, senyawa amonium kuarter dan kalium peroksimonosulfat. Konsultasikan ke distributor desinfektan anda ya untuk memastikan efektifitasnya terhadap ASF.
  9. Lakukan desinfeksi terhadap semua bahan dan fasilitas kandang yang terkontaminasi saat proses pembersihan memusnahkan babi
  10. Pembersihan intensif fase I – karena virus ASF sangat resisten, maka sekali lagi sangat penting untuk membersihkan dan mendisinfeksi dengan benar semua bahan yang mungkin telah bersentuhan dengan virus. Langkah fase I ini meliputi pembersihan mekanis semua bahan organik (pakan, feses, kotoran) dengan menggunakan sikat dan sekop, buang/bakar peralatan yang tidak dapat didisinfeksi dengan benar, semprotkan air ke semua permukaan, siram dengan deterjen, bilas dengan air dan biarkan waktu mengering serta semprot disinfektan ke semua permukaan dan naikkan suhu ruangan jika memungkinkan.
  11. Pembersihan intensif fase II – ulangi semua proses fase I, pastikan semua peralatan dan fasilitas bersih dan buang/bakar semua pakaian yang digunakan selama desinfeksi. Sedikit saya tambahkan disini, sharing dari kolega dokter hewan di China yang membantu proses repopulasi di sebuah farm besar menyebutkan bahwa, proses cleaning/pembersihan ini harus di test dengan ATP fluorescence detector sebelum masuk ke tahap desinfeksi. Jadi mereka harus melakukan swab terhadap semua permukaan kandang yang diduga masih terdapat cemaran patogen. Jika ternyata hasil deteksi ATP ini masih menunjukkan angka patogen yang melebihi ambang batas yang disarankan maka proses pembersihan harus diulang kembali.
  12. Pembersihan intensif fase III – disinfektsi semua permukaan dengan tekanan rendah atau menggunakan desinfektan bubuk (biarkan < 6 jam), tingkatkan suhu ruangan bila memungkinkan dan tutup area kandang
  13. Perlakuan di lingkungan luar kandang – bersihkan dan desinfeksi lingkungan dengan benar, cek tempat penampungan limbah/kotoran, cek sisa-sisan bahan baku/pakan dan tempat pakan/silo, bakar pakaian yang dipakai selama fase ini dan tutup lokasi kandang selama masa karantina sebelum mulai proses repopulasi.
  14. Bioassay – memulai kembali bisnis harus menjadi salah satu prioritas bagi setiap peternakan yang terkena ASF. Proses pengujian harus detail untuk memastikan patogen sudah tidak terdeteksi lagi. Investasi, daya dan upaya relatif besar untuk memastikan infeksi tidak terulang lagi. Peran otoritas lokal menjadi penting untuk mengatur kapan proses repopulasi bisa dimulai. Bioassay adalah metode analisis yang memastikan apakah sebuah peternakan cukup bersih untuk dihuni kembali. Baca juga : Bagaimana Kondisi Peternak Pasca Outbreak ASF?
  15. Memulai repopulasi dengan memasukkan hewan sentinel – pilih sumber hewan terpercaya dan konfirmasikan melalui pengujian laboratorium, atur transportasi dengan truk yang bersih dan didesinfeksi, tempatkan karyawan untuk tinggal di dalam kandang selama masa observasi (60 hari) dan siapkan pakan sekaligus dari sumber yang terpercaya juga; mulai masukkan babi sentinel 5-10% dari kapasitas peternakan, lalu cuci dan desinfeksi mobil pengangkut babi, keringkan sebelum digunakan kembali.
  16. Perlakuan terhadap hewan sentinel – babi dibiarkan bebas mengakses semua area kandang sehingga memastikan bahwa lingkungan dalam kandang aman dari patogen yang mungkin terlewatkan saat proses pembersihan dan desinfeksi.
  17. Monitoring hewan sentinel – pantau selama 60 hari, lakukan pengujian PCR mingguan dengan jumlah statistik yang signifikan, periksakan semua hewan yang mati ke dokter hewan dan lakukan pengujian laboratorium terhadap ginjal, tonsil, kelenjar getah bening, paru-paru dan limpa; kumpulkan sampel darah dari semua babi di akhir periode 60 hari dan lakukan uji Elisa (cek antibodi) dan uji PCR (deteksi antigen)
  18. Jika semua terlewati selama fase 60 hari (periode karantina berakhir) dan setelah semua tes menunjukkan hasil negatif maka kita kemudian bisa memasukkan populasi babi selanjutnya sampai kapasitas yang diharapkan tetapi harus terus menjalankan program monitoring dan biosekuriti yang ketat karena vaksin belum ditemukan.

Jika di China kita bisa belajar bagaimana mereka sukses dalam proses repopulasi pada peternakan besar, ternyata tidak demikian dengan contoh di Vietnam. Proses repopulasi pada peternakan skala kecil di Vietnam ternyata tidak kuasa untuk menahan gempuran virus ASF karena tindakan biosekuriti mereka yang relatif lemah. Hal ini akhirnya menyebabkan peternak mengalami kerugian ganda karena investasi mereka kembali direnggut oleh ASF. Kita tahu bahwa Vietnam terdampak ASF mulai Februari 2019, dan Oktober 2019 perusahaan skala besar disana sudah bersiap membantu peternak skala kecil untuk mulai usaha kembali. Gejolak kenaikan harga yang sangat tinggi ini juga mendapat respon positif beberapa peternak kecil sehingga mereka berani membeli dan berencana memulai beternak kembali pada bulan November 2019. Namun apa yang terjadi, hanya dalam selang waktu 3 hari setelah babi diterima dikandang ternak tersebut sakit, mati dan dinyatakan positif ASF kembali. Mengapa bisa terjadi reinfeksi setelah sekian lama kandang dikosongkan (>6 bulan) ? Mungkin jawabannya terletak pada proses pembersihan dan desinfeksi pasca ASF yang kurang baik. Baca juga : Bagaimana Proses Eradikasi dimasa lalu dan update perkembangan vaksin saat ini

Pelajaran apa yang bisa kita ambil dari 2 contoh diatas? Secara umum pengendalian penyakit dalam pemeliharaan ternak melibatkan manajemen, vaksinasi dan biosekuriti. Jika kita berbicara ASF untuk saat ini yang belum ada vaksinnya, maka sudah seharusnya kita memaksimalkan perbaikan manajemen dan memperketat biosekuriti. Peternak kecil menjadi sangat beresiko mengingat kemungkinan besar implementasi faktor-faktor tersebut kurang maksimal. Selain itu, biasanya peternak di Indonesia rata-rata juga berada dalam satu lokasi yang sama dengan peternak lainnya. Hal ini juga menjadi tantangan tersendiri, mengingat idealnya peternak dalam suatu komplek wilayah yang sama harus saling terbuka dan memiliki pemahaman yang sama dalam proses pengendalian penyakit ini agar semua populasi aman. Pembentukan kelompok ternak dan bimbingan teknis bisa menjadi sarana yang baik untuk memberikan update informasi kepada para peternak kecil sehingga tidak ada lagi peternak yang menjalankan usahanya “asal-asalan” yang pada akhirnya beresiko terhadap kelangsungan usaha peternak yang lain.

Akhir kata, untuk memulai usaha ternak kembali pasca ASF diperlukan proses cleaning dan desinfeksi, serta istirahat kandang yang relatif lama. Setelah itu, proses repopulasi bisa dilakukan idealnya setelah zona wabah sudah dikonfirm aman (lama waktunya tergantung situasi dilapangan) dan dilakukan monitoring terhadap kemungkinan kejadian penyakit dengan uji-uji laboratorium (ELISA, PCR dll). Sekali lagi, perbaikan manajemen dan biosekuriti memegang peranan penting dalam upaya pengendalian penyakit ASF ini, mengingat vaksin masih dalam tahap penelitian. Lihat juga : Video Strategi Menghadapi ASF

Referensi :

  1. https://www.pigprogress.net/Health/Articles/2019/8/ASF-on-farm-Back-on-track-in-18-steps—Part-1-461484E/
  2. https://www.pigprogress.net/Health/Articles/2019/8/ASF-on-farm-Back-on-track-in-18-steps—part-2-461974E/
  3. https://www.agricensus.com/Article/Vietnam-s-pig-repopulation-plans-in-disarray-after-fresh-ASF-scare-9476.html
  4. http://www.fao.org/3/Y0510E/Y0510E06.htm
Kondisi Peternakan Pasca Outbreak African Swine Fever

Kondisi Peternakan Pasca Outbreak African Swine Fever

Sejarah kasus ASF

Gambaran sejarah tentang situasi ASF sejak 2016 menunjukkan pola peningkatan yang signifikan dalam jumlah wabah telah diidentifikasi. Data update per juni 2020 dari organisasi kesehatan hewan dunia (OIE) menyampaikan bahwa pada periode 2016-2020 ini, kejadian ASF sudah dilaporkan dari Afrika, Eropa, dan Asia dengan total 30% (60/201) negara. Di Eropa, banyak negara yang melaporkan kejadian pertama penyakit itu sejak 2016. Mulai dari Moldova pada September 2016, Republik Ceko pada Juni 2017, Rumania pada Juli 2017, Hongaria pada April 2018, Bulgaria pada Agustus 2018, Belgia pada September 2018 (peristiwa terakhir terjadi pada tahun 1985), Slowakia pada Juli 2019, Serbia pada Januari 2020 dan Yunani pada Februari 2020. Di Asia dan Pasifik, China menjadi negara pertama yang terkena pada Agustus 2018, Mongolia pada Januari 2019, Vietnam pada Februari 2019, Kamboja pada Maret 2019, Hong Kong pada Mei 2019, Korea Utara pada Mei 2019, Laos pada Juni 2019, Myanmar pada Agustus 2019, Filipina pada Juli 2019, Korea Selatan pada September 2019, Timor-Leste pada September 2019, Indonesia pada November 2019, Papua Nugini pada Maret 2020 dan India pada Mei 2020. Berita terkini juga menyebutkan bahwa, September 2020 Jerman mengumumkan kejadian ASF pada populasi babi liar di wilayah perbatasan dengan Polandia. Baca Juga : African Swine Fever

https://academic.oup.com/view-large/figure/209755227/vfaa037f0001.jpg

Kondisi Umum sebelum ASF

Selama tiga dekade terakhir, sebenarnya produksi babi telah tumbuh cepat dari peternak kecil, menengah sampai skala industri di banyak negara Asia Pasifik. Perkembangan teknologi, pengetahuan, dan inovasi di peternakan babi telah mendorong peningkatkan manajemen, sistem perkandangan, formulasi makan dan lain-lain. Performa yang lebih baik ini dapat disebabkan oleh efisiensi galur dan pengelolaan genetik yang lebih baik yang mengarah pada peningkatan produktivitas ternak babi. Namun demikian tipikal peternakan di Asia cinderung masih menggunakan sistem yang boleh dibilang tradisional, sehingga produktifitasnya belum optimal dan masih kalah dengan negara maju yang sudah menggunakan sistem pemeliharaan modern. Di Indonesia, sistem produksi skala besar dan menengah juga telah dipraktekkan, namun demikian jumlahnya masih kalah jauh dari sistem tradisional skala kecil. Sama halnya di Thailand, tahun 2018 peternak babi skala kecil dengan kapasitas <50 babi cukup banyak (93,51%), sedangkan peternak skala besar dibagi lagi menjadi peternakan kecil kapasitas 50-500 babi (4,98%), peternakan sedang kapasitas 500-5000 babi (1,37 %), dan peternakan besar kapasitas >5000 babi (0,13%).

Area utama produksi babi berada di Asia (China memiliki > 50% populasi babi dunia), Uni Eropa, Amerika Serikat, Brasil, dan Rusia. China telah dikenal sebagai negara penghasil dan konsumsi babi terbesar di dunia. Pada tahun 2016, konsumsi daging babi di China mencapai ~ 54,98 juta ton (sekitar 1,62 juta ton daging babi masih harus diimpor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri).

Dampak Penyebaran ASF

China, sejak wabah ASF pertama dilaporkan Agustus 2018, >1 juta babi telah dimusnahkan dalam upaya menghentikan penyebaran ASF dan berdampak langsung kepada peternak kecil untuk menutup usaha ternak mereka. Kehilangan populasi babi ini tidak hanya terjadi di peternakan yang terinfeksi tetapi juga produsen yang area peternakannya berada di dalam zona terdampak ASF karena juga harus ikut dimusnahkan. Rabobank memperkirakan produksi daging babi China turun 25% pada 2019 dan 10-15% pada 2020. Hampir 70% dari semua wabah ditemukan pada peternak kecil yang memiliki <50 babi karena kurangnya kesadaran mereka tentang penerapan biosekuriti yang tepat. ASF kemudian menyebar cepat dalam waktu 3 bulan. Faktor-faktor yang mempengaruhi adalah kurangnya kontrol pergerakan babi hidup, kurangnya kapasitas deteksi cepat ASF, karantina hewan yang tidak memadai, dan lemahnya penegakan larangan pengangkutan. Selain itu, terbatasnya ruang untuk pembuangan babi dan bangkai yang terinfeksi memaksa peternak di banyak daerah gagal dalam pengelolaan bangkai yang terinfeksi dengan tepat sehingga mengakibatkan terjadinya pembuangan babi mati di jalan, sungai, atau di hutan. Situasi ini juga membuat para peternak panik dan menjual babi mereka secepat mungkin mendapatkan uang tunai yang akhirnya menyebabkan ternak babi dan produk babi yang terkontaminasi berputar dalam rantai pasokan dan menyebar ke seluruh China dan negara tetangga. Dampak lain yang dirasakan adalah perubahan yang dramatis pada fluktuasi harga daging babi. Karena produksi daging babi China sangat terganggu, mengakibatkan harga daging babi mencapai titik tertinggi (naik 47% pada agustus 2019) dan kemudian diikuti dengan peningkatan permintaan sumber protein lain seperti daging ayam dan produk budidaya. Karena permintaan yang tinggi ini akhirnya pengendalian lalu lintas produk babi hidup dan produk babi antar wilayah di China sangat sulit.

Pemerintah China pada awal bulan Desember 2019 merilis “action plan” untuk mempercepat pemulihan dan pengembangan produksi babi dalam 3 tahun. Hal ini bertujuan untuk menjaga ketersediaan ternak babi, menghentikan lonjakan harga babi, memastikan pasokan daging babi stabil, memulihkan rata-rata kapasitas produksi tahunan pada akhir 2020, dan mencapai pemulihan penuh pada tahun 2021. Rencana besar ini meliputi dukungan pembangunan peternakan babi skala besar, mengamankan lahan untuk peternakan babi, membantu peternak kecil dan menengah melalui pola hubungan kemitraan, waralaba, atau sewa dengan perusahaan produksi babi besar, promosikan penilaian dampak lingkungan, memperkuat pencegahan dan pengendalian penyakit hewan utama seperti ASF, membangun dan meningkatkan sistem manajemen resiko penyakit hewan, serta mendukung pembentukan zona bebas penyakit / komunitas (hotline ASF untuk pelaporan).

Sharing pengalaman dari kolega di China, untuk proses repopulasi disana memerlukan waktu sekitar 6 bulan untuk memastikan kandang aman. Proses cleaning dan desinfeksi menjadi kunci penting sebelum proses repopulasi. Setelah proses cleaning, mereka harus melakukan evaluasi dengan serangkaian test dan inspeksi dari pihak terkait. Jika ternyata hasilnya masih belum memenuhi syarat maka proses pembersihan harus diulangi lagi sebelum masuk ke tahapan proses desinfeksi. Selain itu, proses repopulasi juga dilakukan bertahap dengan memasukkan babi sentinel dan dimonitor secara ketat. Jika populasi sentinel aman, baru dilanjutkan memasukan babi batch selanjutnya sampai populasi yang ditargetkan terpenuhi.

Vietnam, Februari 2019 adalah wabah ASF pertama kali dikonfirmasi di provinsi utara Vietnam yangmana memiliki kemiripan dengan strain dari China. Meskipun resiko penularan ini telah diprediksi sebelumnya, strategi dan implementasi pencegahan/pengendalian penyakit ASF ini tidak mampu menghalangi penyebarannya. Perdagangan, perjalanan manusia antar negara, pergerakan hewan dan produk hewan masih sering terjadi dan cukup rumit untuk mencegah resiko penularan dan pengendalian ASF. Ciri khas virus ASF adalah persistensi jangka panjang dan kelangsungan hidup virus dalam makanan terkontaminasi yang berasal dari babi yang terinfeksi, yangmana jika pemeriksaan barang bawaan dari lalu lintas manusia tidak dilakukan dengan baik akan juga meningkatkan resiko penularan ASF. Kejadian penyebaran ASF di Vietnam juga cukup cepat. Epidemi mencapai puncaknya dan menyebar ke lebih dari 8.200 komunitas ternak di seluruh negeri dan jumlah ternak yang terdampak sekitar ~ 6 juta ekor babi (21,5%). Produksi daging babi sangat penting bagi masyarakat Vietnam dan kegiatan sosial ekonomi terkait dengan kebijakan, ketahanan pangan, pakan ternak, dokter hewan, lapangan pekerjaan, ilmu pengetahuan dan pendidikan, transportasi, dan kegiatan terkait lainnya. Akibat penurunan volume produksi ternak babi ini mendorong pertumbuhan pesat produksi unggas (16,5%), ruminansia (>5%), dan hewan ternak lainnya (>3%), sedangkan angka impor daging babi yang meningkat pesat pada tahun 2019 ( 63,0%).

Banyak solusi telah diterapkan pemerintah Vietnam, seperti restrukturisasi sektor peternakan, model produksi daging babi, rantai pasokan lokal yang terpusat dan terkontrol, dan peningkatan pencegahan penyakit dengan meningkatkan biosekuriti di berbagai tingkatan untuk mengurangi resiko ASF dan upaya mereproduksi kapasitas pasokan daging babi. Dalam jangka panjang, kondisi yang diperlukan untuk re-stocking babi dengan biosekuriti tinggi menimbulkan kesulitan bagi peternakan kecil – menengah karena untuk menjaga area bebas dari penyakit diperlukan upaya bersama dan juga investasi yang tidak sedikit, selain juga faktor ketersediaan bibit yang baik.

Repopulasi merupakan strategi implementasi awal untuk mempersiapkan skenario kekurangan daging babi, namun yang harus dilakukan sebelumnya adalah penelitian/evaluasi untuk mengklarifikasi masalah utama termasuk model peternakan yang sesuai di daerah yang terkontaminasi virus ASF, prosedur pengujian bebas penyakit untuk populasi kembali, analisis risiko pada rantai pasokan, dan evaluasi resiko air/pakan yang terkontaminasi. Selain itu, keberadaan babi liar/babi hutan mungkin juga harus dikaji lebih dalam apakah mempunyai peranan besar dalam penularan ASF ke babi domestik seperti di negara Eropa. Program pelatihan dan pendidikan teknis idealnya juga diberikan kepada otoritas lokal, dokter hewan, kelompok peternak dan semua yang terlibat untuk meningkatkan pengetahuan tentang managemen secara umum dan program pengendalian penyakit, terutama ASF. Pada akhirnya, penelitian tentang pengembangan vaksin dan obat antivirus merupakan strategi dan harapan yang lebih proaktif untuk pengendalian penyakit saat ini bagi para peternak babi di negara yang terinfeksi.

Thailand, salah satu negara yang sampai saat ini masih aman dari ASF. Walaupun demikian, resiko masuknya ASF ke Thailand cukup tingi mengingat negara tersebut dikelilingi oleh tetangga yang sudah terinfeksi ASF. Untuk mengantisipasi wabah ini, pemerintah Thailand telah menyetujui anggaran 150 juta baht (USD 4,7 miliar) untuk persiapan keadaan darurat di tingkat nasional dengan melibatkan kerjasama antara Dinas Peternakan dengan instansi terkait, peternak babi, dan pihak swasta. Rencana terdiri dari tiga fase, yaitu pra wabah, wabah, dan pasca wabah. Anggaran ini terutama untuk pengendalian faktor resiko yang terkait dengan pengenalan ASF, yaitu perpindahan ternak babi dan produk babi ilegal di sepanjang daerah perbatasan, pengawasan wisatawan/pengunjung dari negara-negara yang terkena ASF, perlakuan terhadap kendaraan, peralatan, ternak babi, makanan, dan pakan dari area berisiko. Selain itu, pengembangan diagnosis penyakit, pembentukan jaringan laboratorium, dan peningkatan kesadaran masyarakat juga disertakan terutama terhadap peternak skala kecil. Standar biosekuriti di peternakan juga dilakukan dengan mendorong investasi tindakan karantina, manajemen pemeliharaan, pelatihan, program sanitasi dan disinfeksi.

Indonesia, Pemerintah mengumumkan outbreak ASF pertama di Medan, Sumatra Utara akhir tahun 2019. Kasus ini dalam pengamatan dan informasi di lapangan pada akhirnya menyebar ke daerah-daerah kantong peternakan babi di Indonesia. Nusa Tenggara Timur yang merupakan daerah populasi terbesar ternak babi di Indonesia juga ikut terdampak, kemudian dugaan kasus ASF juga terjadi di Bali, Pulau Nias, Palembang, Lampung, Jawa Tengah dan mungkin area lainnya. Penyakit ASF ini menjadi ancaman nyata bagi populasi ternak babi kita yang mencapai 8,5 juta. Estimasi penurunan populasi ternak babi karena ASF ini diperkirakan minimal 30%.

Karena sampai saat ini belum ditemukan vaksin untuk pencegahan ASF, maka perlakuan perbaikan manajemen dan biosekuti harus diperketat. Jika sampai ada kasus, maka diharuskan melakukan langkah isolasi hewan sakit dan peralatan serta dilakukan pengosongan kandang selama 2 bulan, untuk babi yang mati karena penyakit ASF dimasukkan ke dalam kantong dan harus segera dikubur oleh petugas untuk mencegah penularan yang lebih luas, tidak menjual babi/ karkas yang terkena penyakit ASF serta tidak mengkonsumsinya.

Berdasarkan kajian analisa risiko, faktor yang menyebabkan masuknya ASF ke Indonesia diantaranya melalui pemasukan daging babi dan produk babi lainnya, penggunaan sisa-sisa katering transportasi internasional baik dari laut maupun udara untuk pakan ternak tanpa perlakuan, orang yang terkontaminasi virus ASF dan riwayat kontak dengan babi di lingkungannya. Langkah strategis utama dalam mencegah terjadi ASF adalah melalui penerapan biosekuriti dan manajemen peternakan babi yang baik serta pengawasan yang ketat dan intensif  untuk daerah yang berisiko tinggi. Upaya deteksi cepat melalui kapasitasi petugas dan penyediaan reagen untuk mendiagnosa ASF ini telah dilakukan oleh laboratorium Kementerian Pertanian yakni Balai Veteriner dan Balai Besar Veteriner di seluruh Indonesia yang mampu melakukan uji dengan standar internasional. Selain itu, pemerintah juga mengkaji untuk kebijakan ketat terhadap importasi babi hidup dan produk-produk daging babi, terutama dari negara-negara yang tertular ASF. Pemerintah menghimbau agar semua provinsi dengan populasi babi yang tinggi, seperti NTT, Sulut, Kalbar, Sulsel, Bali, Jateng, Sulteng, Kepri, dan Papua selalu waspada dan siap siaga terhadap resiko kejadian penyakit ASF dan terus aktif melakukan sosialiasi kepada peternak serta advokasi kepada pimpinan daerah terkait ancaman ASF.

Tantangan pasca ASF

Setelah wabah ASF, ketahanan pangan global akan dihadapkan pada kondisi suplai dan permintaan babi/produk babi yang tidak seimbang. Kekurangan ketersediaan daging babi saat ini berdampak pada harga daging babi dan mengubah perilaku konsumsi daging ke sumber protein alternatif lainnya. Uni Eropa telah menjadi benua teratas pengekspor produk daging babi setelah wabah ASF di Asia, selain Amerika Serikat, Kanada, dan Brasil. Secara bisnis ini adalah peluang sebenarnya, tinggal bagaimana kita mempersiapkan strategi untuk meminimalkan resiko ASF.

Untuk memulai usaha ternak babi kembali pasca ASF, perbaikan manajemen, proses sanitasi dan desinfeksi, program biosecuriti serta dampak kenaikan harga bahan pakan terhadap biaya produksi ternak juga akan berpengaruh pada kekuatan investasi masing-masing pelaku usaha, mengingat 60-70% biaya produksi babi terserap pada biaya pakan. Kondisi ini kemungkinan akan menyebabkan beberapa peternak skala kecil-menengah berpikir ulang untuk repopulasi kembali, atau bahkan sudah melirik usaha yang lain. Oleh karena itu, transformasi industri babi dari peternakan skala kecil ke peternakan skala menengah dan besar bersama dengan perbaikan sistem produksi dan didukung dengan manajemen serta biosekuriti yang lebih baik akan bertahan di masa depan. Baca Juga : Biosekuriti pada Peternakan babi . Jika semua aspek diatas bisa ditangani, kendala pasca ASF selanjutnya adalah terbatasnya ketersediaan calon induk yang baik untuk memulai restocking. Pastikan kita memilih suplier yang terpercaya dan babi yang kita beli bebas dari penyakit. Lakukan monitoring kesehatan ternak secara berkala untuk memastikan status kesehatnya terjamin dan jangan lupa untuk tetap memperhatikan tantangan penyakit selain ASF, penggunaan program vaksinasi bisa dioptimalkan untuk mengendalikan penyakit-penyakit tersebut.

Kesimpulan

ASF memang menjadi predator yang mematikan bagi para peternak babi di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Kita sudah banyak mendengar, membaca dan menyaksikan sendiri, bahwa penyebaran ASF yang cepat ini mengakibatkan hilangnya populasi babi yang sangat besar berdampak signifikan terhadap pasokan protein global sehingga mengubah perilaku konsumsi daging babi ke sumber protein alternatif lainnya. Tetapi kita juga bisa belajar dari pengalaman tersebut untuk mengawali semuanya kembali dengan sikap optimis. Dalam skenario apapun, segmen yang paling terkena dampak dan paling rentan dari populasi babi adalah peternak skala kecil. Pendampingan dan transformasi industri babi menjadi peternakan skala menengah dan besar bersama dengan sistem manajemen produksi dan biosekuriti yang baik akan bertahan di masa depan. Walaupun strategi pengendalian penyakit dari berbagai sistem produksi babi di Asia memang menjadi tantangan tersendiri, tetapi dengan komitmen dan kerja sama semua pihak terkait tidak mustahil perbaikan dan pemulihan pasca ASF ini akan berhasil

Referensi :

  1. https://www.oie.int/en/animal-health-in-the-world/information-on-aquatic-and-terrestrial-animal-diseases/african-swine-fever/reports-on-asf/
  2. https://academic.oup.com/af/article/10/4/30/5943513
  3. https://www.pig333.com/latest_swine_news/asf-in-china-plan-to-recover-from-asf-announced_15600/
  4. https://www.thepigsite.com/articles/global-update-on-african-swine-fever-asia-russia-germany-romania
  5. https://www.pertanian.go.id/home/?show=news&act=view&id=4141#:~:text=KEMENTERIAN%20PERTANIAN%20REPUBLIK%20INDONESIA&text=African%20Swine%20Fever%20(ASF)%20adalah,relatif%20lebih%20tahan%20terhadap%20disinfektan.
Porcine Circovirus Associated Disease (PCVAD)

Porcine Circovirus Associated Disease (PCVAD)

Sejak tahun 1990-an, industri babi di dunia telah melihat peningkatan yang dramatis terhadap kasus Porcine Circovirus type 2 (PCV2). Istilah PCVAD dipakai di Amerika, sedangkan di Eropa mereka lebih mengenal dengan sebutan Porcine Circoviral Disease (PCVD). Kejadian penyakit ini meluas baik di Amerika, Eropa dan dilaporkan juga di sebagian besar daerah-daerah penghasil babi. Virus ini menyerang  nodus limpa sehingga merusak sistem kekebalan tubuh dan menyebabkan babi rentan terhadap penyakit lainnya.

Pneumonia dan penyakit pernapasan lainnya yang sering disebut dengan Porcine Respiratory Disease Complex (PRDC),  Postweaning Multisystemic Wasting Syndrome (PMWS),  Porcine Dermatitis and Nephropathy Syndrome (PDNS), dan Enteritis adalah beberapa penyakit yang sering dikaitkan dengan PCV2.  

Kejadian PCVAD secara umum dapat mengakibatkan kerugian yang signifikan karena peningkatan kematian dan culling, penurunan berat badan, serta terkadang terjadi juga gangguan reproduksi (aborsi, lahir mati, mummifikasi fetus).  Gejala klinis juga terkadang tidak spesifik, seperti lesu, lemah, dyspnea, limpadenopati, diare, pucat/ikterus pada mukosa. Karena kerugian yang luar biasa, akhirnya penelitian terus dilakukan para ahli saat itu dan akhirnya pada tahun 2004 vaksin PCV2 pertama berhasil diluncurkan untuk membantu melindungi ternak babi di dunia. Baca Juga : Perlukah Program Vaksinasi di Peternakan Babi?

Penularan PCVAD umumnya dapat terjadi secara vertikal saat kebuntingan/selama menyusui dan secara horisontal melalui sekresi hidung dan feses. Kondisi bisa semakin parah jika ada faktor penunjang seperti adanya  infeksi patogen yang lain (PRRS, virus influenza IAV/SIV, Porcine Parvovirus, Salmonella dan Mycoplasma hyopneumoniae). Faktor stress karena lingkungan dan managemen juga bisa menjadi faktor lain yang memperberat resiko.

Bagaimana dengan Indonesia? Penelitian tahun 2008 telah berhasil mendeteksi adanya PCV2 dari deteksi Polymerase Chain Reaction (PCR) pada babi yang dikirim dari Indonesia ke Singapura (c). Selain itu, penelitian tahun 2015 menyimpulkan bahwa infeksi PCV2 pada peternakan babi di Bali bersifat endemis dengan prevalensi antibody anti-PCV2 sebesar 84,1% dan prevalensi virus PCV2 sebesar 1,7%. Bahkan,  tahun 2016 juga sudah ada yang berhasil meneliti karakteristik PCV2 di Papua. Jadi, tantangan ini sebenarnya sudah ada di lapangan dan siap sewaktu-waktu untuk mencuri keuntungan kita.

Oleh karena itu, mengingat tantangan penyakit yang semakin sulit, alangkah baiknya jika kita selalu menerapkan prinsip dasar  dalam pengendalian penyakit dengan baik.  Pencegahan infeksi (Biosecurity, Pig Flow, Managemen), maksimalkan IMUNITAS (Vaksinasi induk dan anak babi) , dan meminimalkan tantangan (Program menyeluruh) harus menjadi prosedur standart yang wajib dilakukan agar kontrol terhadap penyakit lebih optimal.

Referensi :

  1. https://www.bi-vetmedica.com/species/swine/diseases/PCVAD.html
  2. Allan, G.M. and Ellis, J.A., 2000.Porcine Circoviruses : a review. J Vet Diagn Invest. 12 : 3-14
  3. Manokaran,G., Lin, Y.N., Soh, M.L., Lim, E.A., Lim, C.W., and Tan, B.H., 2008. Detection of Porcine Circovirus Type 2 in Pigs Imported from Indonesia. Veterinary Microbiology 132 (1-2)  : 165-170
  4. Suartha, I.N., Anthara I.M.S., Wirata, W., Dewi, N.M.R.K., Narendra, I.G.N., Mahardika, I.G.N., 2015. Prevalensi Porcine Circo Virus secara Serologis pada Peternakan Babi di Bali. Jurnal Kedokteran Hewan Vol.9 No.1
  5. Nugroho, W., Hemmatzadeh, F., Artanto, S., Reichel, M.P., 2016.Complete Genome Characteristics of Porcine Circovirus Type 2(PCV2) Isolates from Papuan Pigs, Indonesia. International Journal of Advanced Veterinary Science and Technology. Vol.5, Issue1, pp.239-247.
  6. https://vetmed.iastate.edu/vdpam/FSVD/swine/index-diseases/circovirus
Eradikasi African Swine Fever di Masa Lalu

Eradikasi African Swine Fever di Masa Lalu

Sejarah ASF hampir mencapai satu abad dan dalam periode ini beberapa elemen kunci dapat dikumpulkan dari sudut pandang epidemiologi. Penyakit ini terbatas di Afrika sampai akhir tahun 1950-an ketika muncul di Portugal pada tahun 1957. Setelah 2 tahun diam, penyakit ini muncul kembali di Lisbon pada tahun 1960 dan menyebar ke Semenanjung Iberia dan negara Eropa lainnya, yaitu Spanyol pada tahun 1960; Prancis pada tahun 1964, 1968 dan 1974; daratan Italia pada tahun 1967, dengan pengulangan pada tahun 1969 dan 1983; Malta pada tahun 1978; Belgia pada tahun 1985; dan Belanda pada tahun 1986. Antara 1971 dan 1980, ASF muncul di beberapa negara Amerika, yaitu Kuba pada 1971 dan kembali pada 1980; Brasil pada 1978; Republik Dominika pada 1978 dan Haiti pada 1979. Dahulu, baik di negara Eropa maupun Amerika penyakit tersebut telah berhasil dibasmi, sedangkan pada epidemi saat ini hanya Republik Ceko yang berhasil memberantas penyakit pada populasi babi hutan.

Pencegahan, deteksi dini, reaksi cepat, dan komunikasi memainkan peran penting dalam pengendalian ASF. Surveilans yang tepat mampu mendeteksi penyakit secara dini baik pada hewan peliharaan maupun liar, dan implementasi rencana yang terkonsolidasi dengan baik dianggap sebagai cara paling efektif untuk mengendalikan penyakit ini. Sebuah penelitian dengan tinjauan sistematis telah dilakukan untuk mendapatkan pelajaran yang dapat diambil melalui sejarah pemberantasan penyakit ASF secara global, kemudian kita bisa mengevalusi dan menetapkan strategi mana yang berhasil untuk pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan ASF, serta kesalahan apa yang tidak boleh diulangi. Berikut beberapa strategi pengawasan dan pengendalian yang diterapkan oleh negara-negara di seluruh dunia untuk pemberantasan ASF di masa lalu yang bisa menjadi acuan bagi kita dalam menghadapi bahaya ASF.

Laporan dari Belgia, Brasil, Kuba, Republik Dominika dan Haiti, Prancis, Italia, Malta, Portugal, dan Spanyol bisa menjadi referensi bagi kita dalam pengendalian ASF. Terlepas dari sumber daya ekonomi yang dialokasikan dan upaya yang dilakukan, pemberantasan ASF berhasil dilakukan hanya di 8 negara dalam kurun waktu antara tahun 50-an dan 90-an di abad kedua puluh ini. Dalam konteks epidemiologi dan budaya yang berbeda, proses pengendalian inipun mempunyai rentang waktu yang relatif besar, yaitu <1 tahun sampai 40 tahun . Strategi surveilence klasik, seperti pengawasan aktif dan pasif baik di tingkat peternakan dan rumah pemotongan hewan bersama dengan tindakan biosafety dan sanitasi konvensional terbukti mampu meredam kasus ASF. Hal ini menekankan bahwa data tentang surveilans dan populasi hewan sangat penting untuk perencanaan pengawasan yang efektif, dan menargetkan strategi pengendalian dan intervensi yang tepat.

Berikut negara-negara yang berhasil dalam pengendalian ASF beserta ringkasan strategi yang dilakukan :

Belgia (Maret 1985 / Mei 1985). Model penularan dari babi ke babi dengan faktor resiko karena penggunaan jarum suntik yang terinfeksi secara tidak tepat. Strategi intervensi yang dilakukan adalah penyembelihan hewan di peternakan yang terinfeksi dan pemusnahan/culling semua hewan yang terinfeksi maupun dan tidak terinfeksi, kemudian dilakukan pembersihan dan desinfeksi. Surveilence aktif dan pasif dilakukan babi sentinel di peternakan untuk mendemonstrasikan masih ada tidaknya virus ASF di kandang.

Brasil (Mei 1978 / Des 1984). Model penularan dari babi ke babi dengan faktor resiko dari makanan terkontaminasi yang digunakan untuk pakan babi. Strategi intervensi yang dilakukan adalah 1.) larangan pergerakan/lalu lintas babi di dalam dan dari daerah yang terkena serangan ASF; larangan kendaraan dan pergerakan manusia; larangan pembukaan pertunjukan/pameran babi dan pasar babi; larangan memberi makan limbah sebagai pakan babi; 2.) pemeriksaan di pelabuhan, bandara, dan kantor pos dengan lebih memperhatikan area berisiko; 3.) pemusnahan dan pembakaran semua babi yang berada di daerah terdampak ASF; 4.) membersihkan dan mendisinfeksi kendaraan, gedung, dan benda yang terkontaminasi dan 5.) program pelatihan. Untuk strategi surveilence, aktif dilakukan di rumah pemotongan hewan (tes serologi), di tingkat hewan (pengawasan khusus untuk perdagangan di beberapa wilayah berisiko; uji di tempat asal dan tujuan); dan di tingkat kawanan (sertifikasi kandang yang akan melakukan perdagangan/pameran).

Kuba Mei 1971/1980. Model penularan dari babi ke babi dengan faktor resiko berasal dari kontak antara kompartemen berbeda dari kandang produksi babi yang memiliki tingkat biosekuriti yang berbeda. Strategi intervensi yang dilakukan saat epidemi 1971 dan 1980 adalah 1.) karantina dan larangan pergerakan babi, larangan swill feeding; 2.) pemusnahan semua babi yang terinfeksi dan babi sehat yang bersentuhan, serta pemotongan semua babi dalam radius 5 km dan pemotongan semua babi milik pribadi dengan pemberian kompensasi sebagian; 3.) pembersihan dan desinfeksi bangunan, kendaraan pengangkut, dan penggunaan alat pelindung diri; 4.) pelatihan diagnosis; 5.) pengendalian jalur keluar masuk melalui rel kereta api, jalan raya, kapal, dan pesawat. Sedangkan strategi intervensi untuk radius 10–15 km di sekitar tempat tertular adalah 1.) pemberian kompensasi untuk semua babi yang dimusnahkan; 2.) transportasi dengan tindakan biosekuriti tinggi; 3.) pembatasan pergerakan semua babi, komoditas, manusia, dan kendaraan; 4.) sensus lengkap semua populasi babi. Strategi surveilence yang dilakukan adalah 1.) Risk Base Surveillance dengan pembagian zona risiko berdasarkan karakteristik geografis dan politik serta kepadatan produksi daging babi; 2.) pasif surveilence dengan mengevaluasi kejadian kematian pada babi; 3.) aktif surveilence dengan mengevaluasi babi sentinel di farm dan RPH; 4.) fase pemberantasan dengan melakukan aktif dan pasif surveilance babi sentinel di tingkat peternakan, lengkap dengan pendekatan uji diagnosis dan pemeriksaan di RPH; 5) fase repopulasi / rencana pemulihan di daerah yang terkena dampak dengan melakukan surveilence aktif babi sentinel untuk membuktikan masih ada tidaknya virus di lapangan.

Republik Dominika (1978/1981) & Haiti (1978/1982). Model penularan dari babi ke babi. Strategi intervensi yang dilakukan Republik Dominika adalah total depopulasi babi, sedangkan Haiti adalah dengan pemusnahan dengan kompensasi menggunakan tentara militer, pembersihan dan desinfeksi, serta pelatihan dan pendidikan umum untuk berbagai pemangku kepentingan dan kerjasama dengan penduduk di pedesaan. Strategi surveilence yang dilakukan Republik Dominika adalah aktif surveilence dengan menggunakan babi sentinel untuk propses repopulasi, sedangkan Haiti melakukan aktif surveilence juga dengan babi sentinel.

Prancis (1964/1964) dan (1974). Model penularan babi ke babi. Strategi pasif surveilence dilakukan dengan eksplorasi termal dan pengambilan sampel darah hewan yang positif.

Italia (1967 / Juni 1967 1969 1983). Model penularan dari babi ke babi dengan faktor resiko dari pemberian pakan babi dari limbah makanan yang terinfeksi. Strategi intervensi yang dilakukan adalah tindakan keamanan hayati (biosafety) dan sanitasi, serta stamping out di peternakan yang terinfeksi.

Malta Maret 1978 / April 1978. Model penularan dari babi ke babi dengan faktor resiko adalah memberi makan babi yang terinfeksi / swill feeding dan waktu/proses deteksi dan pelaporan penyakit yang lama. Strategi intervensi yang dilakukan adalah 1.) kebijakan pemotongan diterapkan secara ketat (larangan pemotongan) dengan kompensasi; 2.) stamping-out, pembatasan pergerakan babi, karantina hewan dan bangunan yang terinfeksi dan tidak terinfeksi, pemindahan bangkai dan pembakaran; 3.) penelusuran wabah; 4.) larangan penjualan daging babi dan larangan swill feeding. Aktif surveilence dilakukan di rumah potong hewan (pengambilan serum) dan di tingkat peternakan.

Portugal (Epizootik Mei 1957 / Juni 1958 dan Epizootik April 1960 / November 1999). Model penularan dari babi ke babi dan juga kutu dengan faktor resiko adalah transportasi dan penggunaan yang tidak tepat dari limbah makanan yang terkontaminasi, serta pergerakan lalu lintas hewan yang tidak terkendali. Strategi intervensi yang dilakukan adalah 1.) stamping-out di dalam peternakan yang terinfeksi dengan kompensasi; 2.) pembersihan dan desinfeksi kandang, pengangkutan, dan penggunaan alat pelindung diri; 3.) pembatasan pergerakan babi dan produk babi dari zona tertular atau di bawah pengawasan; larangan pergerakan babi dan produk babi atau produk sampingan babi dari zona tertular; 4.) larangan aktifitas di pasar dan pameran di zona tertular dan diduga tertular, serta larangan swill feeding dan repopulasi. Strategi surveilence yang dilakukan adalah pemberitahuan wajib untuk kasus yang dicurigai dan dikonfirmasi.

Spanyol (1960 / September 1994). Model penularan dari babi ke babi dan kutu dengan faktor resiko adalah kontak antar babi yang terinfeksi dan adanya hubungan antara kutu O. erraticus dan babi. Strategi intervensi yang dilakukan adalah stamping out di peternakan yang terinfeksi dengan kompensasi, tindakan keamanan hayati (biosafety) dan sanitasi seperti pembuatan pagar, pembuangan kotoran secara aman, serta proses pembersihan dan desinfeksi. Strategi pada fase pemberantasan, dilakukan strategi aktif surveilence di rumah potong hewan dan di tingkat peternakan, sedangkan pada fase repopulasi dilakukan surveilence pada babi.

Dari semua contoh diatas, kita bisa belajar bagaimana African Swine Fever dapat dikendalikan dan diberantas melalui tindakan pengawasan dan pengendalian klasik. Tindakan klasik didasarkan pada metode pengendalian penyakit, termasuk strategi pengawasan, penyelidikan epidemiologi, penelusuran dan pemusnahan babi di kandang yang terinfeksi, dikombinasikan dengan tindakan karantina dan biosekuriti yang ketat pada babi domestik, kandang, dan kontrol pergerakan hewan. Namun demikian, bukti juga menunjukkan bahwa strategi ini sulit dipertahankan dalam waktu lama dalam situasi endemik dimana ASF menyerang wilayah yang lebih luas. Keterlibatan populasi babi hutan dalam penyebaran virus juga menghambat pemberantasan ASF dan hal ini merupakan faktor risiko yang relevan memfasilitasi penyebaran virus ke seluruh perbatasan negara. Oleh karena itu, strategi yang efisien untuk pencegahan atau pengendalian ASF harus didasarkan pada pengetahuan yang mendalam tentang populasi babi domestik dan babi liar, kondisi lingkungan dan jenis sektor babi. Mengingat penyebaran ASF ini juga tidak mengenal batas, maka sebaiknya semua strategi harus memperhitungkan kebijakan bersama dalam menetapkannya sehingga semua pihak bisa mempunyai pemahaman dan kesadaran yang sama dalam usaha pengendalian ASF.

Bagaimana dengan perkembangan penelitian vaksin ASF saat ini? Pengamat industri mengatakan bahwa saat ini masih belum tersedia vaksin yang efektif untuk melawan virus ASF, peternakan babi dan RPH sangat bergantung pada biosekuriti. Baca juga : Pentingnya biosekuriti di Peternakan Babi. Desinfeksi lingkungan menjadi sesuatu yang penting selain pengawasan ketat terhadap barang yang mungkin terkontaminasi seperti pakan ternak, kandang babi, dan kendaraan yang mengangkut babi dan lain-lain. Vaksin ASF yang saat ini sedang dikembangkan oleh para peneliti di seluruh dunia, termasuk di China, UK, Vietnam dan juga mungkin di Indonesia. Banyaknya faktor ketidakpastian yang belum terjawab tentang karakter ASF inilah salah satu penyebab vaksin masih dalam fase penelitian dan belum bisa dikomersialisasikan dalam waktu dekat.

Semoga kita bisa belajar dari pengalaman masa lalu dan siap melakukan strategi yang tepat guna mencegah serangan ASF. Saatnya semua pihak bergandengan tangan untuk menentukan kebijakan yang terbaik untuk menjaga peternakan babi kita.

Badai pasti berlalu !

 

Referensi :

  1. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC7296109/
  2. https://www.globaltimes.cn/content/1198136.shtml#:~:text=A%20China%2Ddeveloped%20vaccine%20that,for%20pigs%20against%20the%20disease.
  3. https://www.thepigsite.com/news/2020/11/vietnam-hints-at-asf-vaccine-progress
  4. https://www.pigprogress.net/Health/Articles/2020/5/British-ASF-vaccine-said-to-protect-100-of-pigs-587286E/
  5. https://www.mdpi.com/2076-393X/8/3/531/pdf

 

Porcine Reproductive and Respiratory Syndrome pada Babi

Porcine Reproductive and Respiratory Syndrome pada Babi

Porcine Reproductive and Respiratory Syndrome (PRRS) adalah salah satu penyakit virus yang menyebabkan kerugian besar pada industri peternakan babi di dunia. PRRS menyebabkan tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi, performance reproduksi tidak baik dan pertumbuhan yang lambat pada anak babi karena gangguan pernafasan.

Di US, PRRS diperkirakan menyebabkan kerugian sekitar $ 664 juta/tahun. Pada tahun 2012, analisa ekonomi pada 9 breeding babi di Belanda menunjukkan bahwa kerugian akibat outbreak PRRS selama 18 minggu adalah 126 euro/induk  atau sekitar 2 juta rupiah/induk. PRRS relative sulit untuk dikontrol, namun demikian sebuah studi di Denmark berhasil membuktikan bahwa eliminasi PRRS bisa dilakukan dari wilayah Horne Peninsula, dimana 12 farm yang saling berdekatan berkomitmen untuk saling support dan bekerja sama melakukan proyek ini.

Kita tahu bahwa PRRS mulai merebak di dunia pada tahun 1980an. Penyakit ini kemudian disinyalir masuk ke Indonesia tahun 1990an. Paling tidak sudah ada 2  penelitian membuktikan bahwa PRRS telah terdeteksi di wilayah Indonesia. Maka, sudah sewajarnya kita memproteksi asset kita agar tidak mengalami kerugian. Baca juga : Apa itu Porcine Respiratory Disease Complex?

Program kontrol penyakit PRRS ataupun penyakit lain pada umumnya adalah sama, yaitu bagaimana kita mencegah infeksi, memaksimalkan kekebalan dan meminimalkan tantangan lapangan. Kontrol PRRS tidak cukup  hanya terpaku pada program vaksinasi saja, tetapi menuntut lebih banyak pihak untuk secara mendasar tahu tentang penyakit ini dan tahu kondisi kandang/lingkungan, dan juga managemen yang baik agar bisa sukses dalam jangka panjang. Biosecurity memiliki peran penting untuk menunjang program vaksinasi agar berjalan maksimal. Kemampuan menganalisa faktor resiko dari luar dan dalam, lingkungan dan managemen  menjadi titik kritis keberhasilan farm dalam menanggulangi datangnya penyakit.

Pada kondisi kandang yang lokasinya berdekatan satu sama lain tidak jarang komitmen antar peternak sulit untuk dilakukan. Maka, memaksimalkan kontrol terhadap faktor resiko Internal dan managemen menjadi hal yang wajib dilakukan. Disisi lain, pengawasaan terhadap resiko dari  faktor lokasi dan resiko ekternal tetap harus dimonitor meski  lebih sulit karena diluar kendali kita.  Baca juga : Pentingnya Biosekuriti pada Peternakan Babi.

Silahkan anda dapat mengunjungi www.prrs.com untuk lebih detail mengenal penyakit PRRS dan juga mengunduh aplikasi COMBAT for PRRS di android/IOS untuk mengukur level biosecurity di farm kita. Semoga dengan pemahaman yang baik akan penyakit PRRS akan membantu kita dalam upaya kontrol penyakit ini sehingga pada akhirnya performance farm menjadi optimal.

References

 1.  Lunney JK, Benfield DA, Rowland RR. Porcine reproductive and respiratory syndrome virus: an update on an emerging and re-emerging viral disease of swine. Virus Res. 2010;154:1–6.

 2.  Holtkamp DJ, Kliebenstein JB, Neumann EJ, Zimmerman J, Rotto H, Yoder T, et al. Assessment of the economic impact of porcine reproductive and respiratory syndrome virus on United States pork producers. J Swine Health Prod. 2013;21:72–84.

 3.  Nieuwenhuis N, Duinhof TF, van Nes A. Economic analysis of outbreaks of porcine reproductive and respiratory syndrome virus in nine sow herds.Vet Rec. 2012;170:225.

4.https://www.researchgate.net/publication/312267717_Control_and_eradication_of_porcine_reproductive_and_respiratory_syndrome_virus_type_2_using_a_modified-live_type_2_vaccine_in_combination_with_a_load_close_homogenise_model_An_area_elimination_study10 Golden Rules

5.https://www.prrs.com/en/publications/articles/prrs-underestimated-disease/

6.https://www.researchgate.net/publication/256131165_SEROLOGICAL_SURVEILLANCE_OF_PORCINE_REPRODUCTIVE_AND_RESPIRATORY_SYNDROME_IN_PIGGERIES_IN_BALI

7.https://www.researchgate.net/publication/267689332_DETEKSI_ANTIBODI_TERHADAP_VIRUS_PORCINE_REPRODUCTIVE_AND_RESPIRATORYSYNDROME_PRRS_PADA_BABI_DI_BEBERAPA_DAERAH_INDONESIA_BAGIAN_TIMUR

Mikoplasma pada Babi

Mikoplasma pada Babi

Mikoplasma adalah penyakit pernafasan kronis yang meluas pada babi yang ditandai dengan batuk, gangguian pertumbuhan dan berkurangnya efisiensi pakan. Mikoplasma pada babi yang sering disebut dengan “Enzootic Pneumonia (EP)” adalah penyakit yang umum dan tersebar luas yang terjadi sepanjang tahun. EP sering lebih terlihat dalam bentuk kronis di mana ada populasi ternak babi dengan kondisi peternakan dan lingkungan yang buruk. Penyakit ini bisa muncul setelah penyapihan, yaitu ketika kekebalan pasif telah berkurang, tetapi lebih sering terjadi pada tahap grower dan finisher. Pneumonia karena Mikoplasma sering berinteraksi dan berkontribusi pada penyakit pernapasan lainnya dan dianggap memiliki peran sentral terjadinya penyakit pernapasan komplek babi (PRDC). EP dilaporkan di sebagian besar negara yang mempunyai peternakan babi dan dikenal sebagai penyakit babi yang merugikan karena efek negatifnya pada tingkat pertumbuhan dan efisiensi pakan, dan juga perannya dalam kejadian PRDC.

Mycoplasma hyopneumoniae yang merupakan agen penyebab EP sulit diisolasi dan tumbuh lambat di laboratorium. Patogen ini relatif kecil, dan sebenarnya hanya bertahan dalam waktu singkat di lingkungan kandang babi dan dapat dihancurkan oleh sebagian besar disinfektan. Namun jika penanganannya tidak tepat, Mycoplasma hyopneumoniae beresiko meningkatkan keparahan beberapa infeksi lain, termasuk penyakit sindrom reproduksi dan pernapasan babi (PRRS) dan influenza. Selain itu, dia juga mampu bertindak sendiri sebagai patogen primer yang signifikan. Selain Mycoplasma hyopneumoniae, pada babi juga terdapat Mycoplasma hyosynoviae yang menjadi penyebab sporadis dari sinovitis epidemik pada babi yang sedang tumbuh dan Mycoplasma hyorhinis yang umumnya dilaporkan menyebabkan poliserositis fibrinosa pada babi muda.

Babi carrier/pembawa adalah sumber infeksi yang paling umum dan sangat penting, karena M. hyopneumoniae tidak dapat bertahan lama di lingkungan. Organisme ini bertahan selama berbulan-bulan di paru-paru babi yang terinfeksi, termasuk ternak muda. Organisme ini sering diisolasi dari sekresi hidung sehingga penularan melalui kontak langsung dan batuk mungkin terjadi. Penularan lewat udara juga sangat mungkin terjadi, bukti empiris menunjukkan bahwa penyebaran aerosol dapat terjadi dalam beberapa mil sehingga status populasi babi yang bebas mikoplasma relatif sulit untuk dipertahankan.

Mycoplasma hyopneumoniae dapat diamati secara mikroskopis pada epitel siliaris trakea, bronkus dan bronkiolus. Faktor virulensi yang berasal dari protein membran luar M. hyopneumoniae akan merusak beberapa mekanisme pertahanan pernapasan dan memfasilitasi infeksi. Membran sel akan menyamarkan antigen pelindung, membuat respons imun menjadi tidak efisien. Kualitas udara yang buruk (debu atau gas berbahaya) dapat mengiritasi saluran udara dan meningkatkan kerentanan. Lesi awal EP adalah bronkitis dan bronkiolitis. Ada hiperplasia sel yang mengeluarkan lendir di mukosa dan hilangnya silia dari banyak sel epitel saluran udara. Reaksi radang kemudian akan menyebar ke alveoli sekitarnya menyebabkan alveolitis, pneumonia, obstruksi jalan napas, dan atelektasis. Peningkatan lendir di saluran udara, ciliostasis, dan tekanan jaringan limfoid di sekitarnya kemudian akan mengganggu pembersihan lendir dan eksudat paru. Dengan kondisi ini, infeksi patogen/bakteri sekunder lainnya berkontribusi secara substansial dan merupakan penyebab umum dari pneumonia berat dan kematian.

Tanda klinis EP yang utama adalah batuk kronis, persisten, dan tidak produktif. Onset sering terjadi sekitar 2-3 minggu setelah terpapar dan biasanya bertahap dalam kawanan dan bisa berlangsung selama berminggu-minggu hingga berbulan-bulan. Debu yang berlebihan, gas yang mengiritasi, atau infeksi yang terjadi secara bersamaan dapat menyebabkan batuk yang lebih parah. Saat pneumonia berkembang pada beberapa babi, dispnea/gangguan pernafasan menjadi lebih jelas dan pertumbuhan menjadi terhambat serta efisiensi pakan menurun, walaupun nafsu makan sebenarnya cinderung masih normal. Morbiditas/angka kesakitan karena EP sangat tinggi, tetapi mortalitasnya rendah, jika tidak ada infeksi campuran agen penyakit yang lainnya.

Pada babi yang terkena EP, lesi pneumonik pada paru-paru sebagian besar berbatas tegas pada cranioventral dan melibatkan lobus apikal, intermediate, serta jantung. Kejadian bisa meluas ke lobus diafragma pada kasus yang parah. Lesi kronis biasanya berkurang volumenya dan berwarna abu-abu gelap, sedangkan lesi yang lebih baru cenderung berwarna coklat kemerahan atau abu-abu terang dengan diikuti edema, lendir/eksudat mukopurulen, dan sel radang yang terlihat di saluran udara. Area menonjol yang berdekatan dengan area pneumonia sering kali berwarna merah muda dan lebih pucat daripada paru-paru normal. Infeksi sekunder dengan patogen pernapasan lain sering terjadi dan dapat mengubah tampilan lesi yang dipicu oleh mikoplasma.

Perubahan lesi paru-paru mungkin khas, tetapi tidak patognomonik untuk M. hyopneumoniae, jadi disaat kita melihat konsolidasi paru-paru kranioventral atau bronkogenik dengan batas-batas yang jelas merupakan ciri khas bronkopneumonia bakterial, hal ini masih perlu dianalisa lebih lanjut karena tidak selalu berhubungan dengan keberadaan M. hyopneumoniae. Oleh karena itu, disinilah peran uji laboratorium dalam menegakkan diagnosa. Proses isolasi biasanya memerlukan waktu yang lama, melelahkan, sulit serta umumnya tidak tersedia secara rutin. Identifikasi agen dalam sampel paru-paru yang diambil saat nekropsi dimungkinkan menggunakan teknik antibodi fluoresen, imunohistokimia, atau polymerase chain reaction (PCR). Tes serologis termasuk tes fiksasi komplemen dan tes enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) dapat berguna tetapi interpretasi harus dibuat dengan hati-hati. Pengujian per individu memiliki nilai yang kecil karena banyak babi tanpa penyakit ternyata aktif memiliki antibodi terhadap M. hyopneumoniae atau mikoplasma lain yang bereaksi silang dan cinderung berkembang perlahan pada banyak hewan yang terinfeksi. Tes PCR memungkinkan diagnosis infeksi yang lebih dini dan lebih akurat karena deteksi organisme ini menegaskan keberadaan organisme.

Banyak metode pengendalian EP yang digunakan. Beberapa breeding berusaha agar stok genetik dipertahankan negatif untuk M. hyopneumoniae walaupun harus memiliki protokol isolasi, aklimatisasi, pengujian, dan biosekuriti yang cermat untuk memastikan organisme tidak dimasukkan ke dalam stok pengembangbiakan. Ternak yang paling negatif adalah hasil depopulasi dan repopulasi dengan bibit negatif. Dalam beberapa kasus, ternak menjadi negatif melalui pengobatan ketat atau penyapihan awal dipisahkan, dan program penyakit minimal lainnya. Mempertahankan ternak komersial bebas dari infeksi M. hyopneumoniae jika ditempatkan di daerah padat babi relatif sulit dalam jangka panjang. Baca juga : Pentingnya Biosekuriti pada Peternakan Babi.

Strategi pengendalian yang dikembangkan di Eropa dikenal dengan “depopulasi Swiss”. Strategi eliminasi ini relatif sulit karena melibatkan periode vaksinasi intensif untuk semua hewan di peternakan diikuti dengan pemindahan semua hewan yang berusia kurang dari 10 bulan. Untuk jangka waktu 3 minggu setelah ini, proses farrowing dihentikan. Selama periode stand-down, semua hewan yang tersisa di peternakan secara intensif diobati dengan antibiotik yang ditujukan untuk menghilangkan organisme M. hyopneumoniae yang mungkin berada di hewan pembawa. Pemusnahan semua babi yang rentan dikombinasikan dengan program vaksinasi / pengobatan umumnya menghasilkan penurunan efek yang signifikan dari penyakit hingga dua tahun.

Langkah-langkah lain untuk membantu dalam pengendalian tetapi tidak mengeliminasi patogen adalah proses penyapihan dini, penyapihan dini dengan pengobatan (MEW = medicated early weaning) atau modifikasi MEW. Anak babi disapih sebelum usia 21 hari, untuk mencegah penularan M. hyopneumoniae (dan organisme lain) dari induk. Sapihan ini dipindahkan ke tempat pembibitan yang terpisah dan bersih serta dikondiskan terpisah sesuai kelompok umur dengan sistem manajemen menyeluruh yang baik. Baca juga : Perlukah Program Vaksinasi pada Peternakan Babi.

Dengan strategi yang sudah ada ini, baik dengan menghilangkan atau mengendalikan M. hyopneumoniae ternyata penyakit ini tetap menjadi masalah ekonomi yang signifikan, terutama jika lokasi peternakan tersebut virus PRRS atau virus influenza babi (SIV) bersifat endemik. Vaksin umumnya dianggap berkhasiat dan dapat efektif dalam mengurangi kerugian akibat infeksi M. hyopneumoniae karena vaksin akan membantu mengurangi lesi paru-paru dan meningkatkan kinerja pertumbuhan. Pada beberapa kasus, induk betina biasanya juga divaksinasi tetapi sebagian besar program bergantung pada vaksinasi anak babi yang dilakukan sebelum sapih. Selain itu, antibiotik dapat digunakan untuk membantu perbaikan manajemen walaupun seringkali dengan hasil yang tidak konsisten. Khasiat antimikroba dalam mengendalikan M. hyopneumoniae mungkin terkait dengan aktivitas antimikoplasma atau ada tidaknya infeksi lain. Antibiotik yang dilaporkan berkhasiat untuk M. hyopneumoniae antara lain adalah lincomycin, tiamulin, tetracyclines, tylosin, tilmicosin, tulathromycin, enrofloxacin.

Referensi :

  1. https://vetmed.iastate.edu/vdpam/FSVD/swine/index-diseases/mycoplasmal-pneumonia
  2. Mycoplasma-Related Diseases | Iowa State University (iastate.edu)
  3. https://www.pigprogress.net/Health/Health-Tool/diseases/Enzootic-Pneumonia-EP/
Apa itu Porcine Respiratory Diseases Complex (PRDC) ?

Apa itu Porcine Respiratory Diseases Complex (PRDC) ?

Penyakit pernapasan adalah masalah ekonomi yang serius bagi produsen babi dan dokter hewan di seluruh dunia sampai saat ini. Istilah kompleks penyakit pernapasan babi (PRDC) telah digunakan untuk menggambarkan pola kemunculan penyakit pernapasan ini. PRDC bersifat multifaktorial, melibatkan faktor manajemen dan berbagai patogen. Gejala klinis PRDC antara lain adalah lesu, anoreksia, demam, keluarnya cairan dari hidung, kotoran pada mata, batuk, sulit bernapas, dan perubahan warna ungu pada kulit, terutama ujung telinga. Tidak semua menampakkan kasus yang sama, beberapa mungkin lebih ringan dari yang lain dan sebaliknya ada juga yang muncul dengan kematian dan kerusakan permanen yang parah terjadi pada kasus yang paling serius.Patogen yang terlibat dalam PRDC dapat berupa virus atau bakteri, atau kombinasi keduanya. Agen virus yang sering terlibat termasuk PRRSV, virus corona, virus flu babi, dan circovirus (PCV2). Agen bakteri yang sering terlibat utamanya adalah Mycoplasma hyopneumoniae, Haemophilus parasuis, Streptococcus suis, Bordetella bronchiseptica, Actinobacillus suis, dan Actinobacillus pleuropneumoniae.

Oral fluid adalah metoda analisa yang sekarang ini paling umum dilakukan untuk memantau kasus penyakit pada populasi babi. Sebuah penelitian di Korea, menggunakan metoda ini untuk mengetahui tingkat dan korelasi positif dari delapan patogen yang terkait dengan kompleks penyakit pernapasan babi (PRDC) dengan menganalisis sampel cairan oral dari 214 kelompok babi dari 56 peternakan komersial. Koleksi sampel dilakukan dengan menempatkan tali pada kelompok babi yang dicurigai, secara alami tali yang digantungkan tersebut akan dikunyah-kunyah oleh babi dan kemudian kita bisa mendapatkan cairan oral yang mewakili kelompok babi tersebut. Cairan oral kemudian diuji dengan reverse-transcription polymerase chain reaction (RT-PCR) atau standar PCR bergantung pada mikroorganisme. Patogen dibagi menjadi kelompok virus dan bakteri. Dari penelitian ini dikonfirmasi adanya sindrom reproduksi dan pernafasan babi (PRRSV) dan circovirus tipe 2 (PCV2), Pasteurella multocida (PM), Haemophilus parasuis (HPS), Actinobacillus pleuropneumoniae (APP), Mycoplasma hyopneumoniae (MHP), Mycoplasma hyorhinis (MHR), dan Streptococcus suis (SS). Semua patogen terdeteksi lebih dari satu kali dalam reaksi PCR, dan analisis berdasarkan distribusi usia menunjukkan adanya peningkatan angka PCR positif untuk PCV2 dan MHP seiring dengan bertambahnya usia, sedangkan SS berbanding terbalik.

Kasus PRDC dapat secara signifikan meningkatkan biaya produksi karena peningkatan kebutuhan pengobatan, penurunan tingkat pertumbuhan dan efisiensi pakan serta kematian yang lebih tinggi. Pencegahan yang berhasil membutuhkan vaksinasi yang tepat waktu, menghilangkan stresor lingkungan dan, perubahan manajemen. Faktor kunci dalam pencegahan dan kontrol PRDC antara lain adalah menerapkan biosekuriti yang ketat, hindari mencampur babi lebih dari yang diperlukan/pindahkan babi jika benar-benar penting saja, jangan terlalu padat, program vaksinasi yang sesuai dengan tantangan di kandang, pantau suhu setiap hari dan hindari fluktuasi suhu (± 2 ° C), kelembapan relatif dijaga di bawah 70 persen dengan menggunakan sistem ventilasi yang dirancang dan dioperasikan dengan baik, hindari kadar amonia yang berlebihan (> 50 ppm) dengan membuang udara pengap dengan ventilasi yang baik, kurangi migrasi larva Ascaris dengan menerapkan rencana pengendalian cacing yang baik.

Referensi :

  1. https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0749072015300062
  2. https://www.researchgate.net/publication/307591679_A_survey_of_porcine_respiratory_disease_complex_PRDC_associated_pathogens_among_commercial_pig_farms_of_Korea_via_oral_fluid_method
  3. https://www.thepigsite.com/articles/porcine-respiratory-disease-complex

error: Content is protected !!