Prospek Peternakan tahun 2022

Prospek Peternakan tahun 2022

Tahun baru 2022 sudah kita jalani saat ini. Bagi sebagian besar pelaku usaha peternakan, situasi sekarang ini mungkin masih belum jauh berbeda dengan kondisi yang dihadapi dalam beberapa tahun terakhir. Pandemi covid-19 masih menjadi tantangan yang cukup mengganggu stabilitas usaha, disamping faktor lain seperti penyakit African Swine Fever (ASF) pada ternak babi dunia dan juga kenaikan bahan baku pakan yang signifikan.

Menilik laporan akhir tahun 2021, tentang “Prospek Protein Hewan Global 2022” dari Justin Sherrard, ahli strategi global untuk protein hewani di RaboResearch Food & Agribusiness, memprediksi kemungkinan berlanjutnya volatilitas pasar untuk sektor protein global. Harga akan tetap kuat pada 2022, didukung oleh permintaan dan batasan pasokan yang berkelanjutan. Tetapi harga yang lebih tinggi itu tidak selalu berarti produsen akan memiliki banyak ruang bernapas yang luas mengingat adanya perubahan biaya produksi.

Di Amerikan Utara, harga pakan untuk tahun 2022 diproyeksikan akan tetap tinggi dibandingkan dengan 5 tahun terakhir. Monitor harga pakan Rabobank menunjukkan indeks harga unggas dan indeks harga daging babi berada pada level yang sama atau di bawah indeks pakan, sedangkan indeks harga daging sapi lebih positif. Inflasi akan terus mendorong harga pangan dan harga daging global pada titik tertinggi sejak 2014. Masalah utama lainnya untuk sektor ini adalah kendala tenaga kerja, biaya pengiriman yang tinggi, dan biaya energi.

Secara global, protein hewani berkelanjutan terus mendapatkan momentum. Rabobank melaporkan bahwa tahun 2021 (Januari – Agustus), penerbitan pinjaman/obligasi melanjutkan pertumbuhannya yang stabil. Laporan tersebut mencatat bahwa sementara konsumen “belum menunjukkan kesediaan untuk membayar harga yang lebih tinggi untuk bahan makanan yang lebih berkelanjutan.” Selain itu, ada juga tekanan di bidang peningkatan efisiensi, reputasi brand, modal dan peraturan akan terus berlanjut dan memotivasi rantai pasokan protein untuk menekankan dan  menumbuhkan usaha yang berkelanjutan.

Berikut adalah market analisis yang dikeluarkan oleh United States Department of Agriculture
Foreign Agricultural Service pada tanggal 12 January 2022 lalu. Kita bisa menggunakan ini  sebagai gambaran situasi yang terjadi pada usaha peternakan di dunia pada tahun 2021 dan juga potensi yang ada di tahun 2022 :

Kita awali dari Cina, negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia yang tentunya menjanjikan pasar yang luar biasa besar. Total pasokan daging China pada tahun 2022 diperkirakan mencapai 79 juta ton. Hal ini naik 7 % dari perkiraan sebelumnya dan melebihi total pasokan daging sebelum munculnya kasus ASF. Produksi daging babi diperkirakan akan tumbuh untuk tahun kedua berturut-turut, sementara harga babi sudah terkoreksi turun dari level rekor yang terjadi beberapa tahun terakhir (menguat sejak mencapai titik terendah pada musim gugur).

Untuk produsen dengan skala yang lebih kecil, kemungkinan besar masih akan terus berjuang dalam situasi harga saat ini. Namun, bagi produsen skala besar yang masih mempunyai dukungan dana kemungkinan masih bisa menutup biaya produksi dan bahkan melakukan ekspansi dan  modernisasi agar bisa meningkatkan market share. Dukungan pemerintah Cina yang cukup besar juga diharapkan dapat mempercepat tren menuju kelanjutan konsolidasi pasca ASF, dan juga  memberikan insentif/stimulus bagi pelaku usaha untuk terus memelihara dan memasarkan babi.

Dengan asumsi Cina mampu keluar dari situasi sulit ini, maka diprediksi pasokan daging babi domestik akan melimpah sehingga menyebabkan impor daging babi tahun 2022 turun 12 % dari perkiraan sebelumnya. Walupun demikian, tahun 2022 impor tetap tinggi menurut standar historis yang sudah terjadi. Secara keseluruhan, pasokan daging babi diperkirakan akan mencapai 53,7 juta ton pada tahun 2022 di Cina.

Beralih ke segmen poultry di Cina, total pasokan daging ayam pada tahun 2022 diperkirakan mencapai 15,1 juta ton, turun 1% dari proyeksi bulan Oktober 2021. Pada saat outbreak ASF terjadi beberapa tahun lalu, populasi ayam terus meningkat signifikan sehingga diperkirakan akan menekan angka import tahun ini sampai 11 %. Pasokan daging sapi juga diperkirakan turun hampir 1 % tahun 2022 menjadi 10,2 juta ton karena ekspektasi impor yang stabil dan perkiraan produksi yang sedikit lebih rendah. Impor di Cina kemungkinan masih menjadi menjadi bagian dari proses pemenuhan konsumsi masyarakat yang juga terus meningkat. Produk dalam negeri juga terus berjuang untuk bersaing baik dalam harga maupun kualitasnya.

Setelah kita mengetahui gambaran pasar di Cina, berikut adalah analisa pasar global yang bisa kita cermati bersama :

Daging sapi
Produksi daging sapi global tahun 2022 meningkat dari Oktober 2021 sebesar 58,2 juta ton. Produksi daging sapi Brasil turun 2 % tahun 2021 karena terganggunya penjualan ke Cina pada kuartal keempat. Selain itu, bulan September 2021 Brasil juga melaporkan deteksi atipikal bovine spongiform encephalopathy (BSE) yang menyebabkan Cina untuk sementara membatasi impor daging sapi. Saat ini, masalah sudah terselesaikan dan permintaan dari Cina diharapkan dapat membantu kembali memacu produksi daging sapi Brasil pada tahun 2022.

Di Australia, produksi tahun 2022 diperkirakan lebih tinggi dari sebelumnya. Dengan adanya pemulihan dan pembangunan kembali populasi yang berjalan dengan baik serta beberapa penundaan pemotongan pada bulan Desember karena cuaca buruk yang mempengaruhi transportasi. Perubahan ini cukup mampu mengimbangi pemotongan ke Uni Eropa (UE) dan Cina, dengan memoderasi pertumbuhan produksi yang berimbas pada kecukupan pasokan daging sapi secara global.

Ekspor daging sapi global untuk tahun 2022 diprediksi juga mengalami kenaikan 1 % menjadi 12 juta ton. Hal ini terjadi karena kenaikan populasi di Argentina, Australia, dan Brasil lebih banyak daripada penurunan yang terjadi di Uni Eropa dan Jepang. Impor global kemungkinan besar tidak akan berubah signifikan. Dengan adanya resolusi masalah penyakit BSE antara Brasil dan Cina, maka impor daging sapi Cina tidak berubah karena permintaan yang cukup tinggi dari tahu ke tahun.

Uraian dari Josh Maples dari Mississippi State University menyatakan bahwa pasar sapi di akhir tahun 2021 jauh lebih kuat daripada beberapa tahun terakhir. Optimisme untuk harga yang lebih tinggi pada tahun 2022 telah dibangun selama berbulan-bulan dan aktivitas pasar yang terjadi juga menambah optimisme untuk itu.  Harga kontrak berjangka sapi untuk tahun 2022 yang diperdagangkan di CME juga mencerminkan optimisme akan harga yang lebih tinggi. Awal tahun baru ini adalah saat yang tepat untuk mempertimbangkan peluang dan manajemen risiko yang mungkin berguna di beberapa titik sepanjang tahun. Sebagai pelaku pasar, dengan prospek optimis tahun 2022 ini tetap harus diwaspadai risiko dan hambatan yang mungkin muncul yang berpotensi memberikan dampak pada pasar.


Daging Babi
Produksi daging babi global tahun 2022 kemungkinan akan naik 5 % dari Oktober 2021 menjadi 109,9 juta ton. Hal ini tentunya terjadi karena pemulihan produksi di Cina sendiri yang naik 13 % dari perkiraan sebelumnya menjadi 49,5 juta ton. Pemulihan breeding Cina dilaporkan mencapai puncaknya pada pertengahan tahun 2021. Walaupun kemudian populasi kembali tertekan tetapi pada tahun 2022 ini diprediksi akan mampu memenuhi level kecukupan untuk persediaan di atas  tahun lalu. Produktivitas ternak babi juga meningkat karena babi yang kurang efisien sudah digantikan dengan bibit yang baik. Dengan perbaikan kondisi ini diharapkan dapat mendukung ketersediaan pasar daging babi, terutama pada semester pertama tahun ini.

Ekspor daging babi global pada tahun 2022 diperkirakan mencapai 12,3 juta ton, turun 3 % karena melemahnya permintaan impor dari China. Hal ini bisa mengimbangi permintaan yang lebih tinggi dari Jepang (+2 %) dan Korea Selatan (+3 %) di mana pemulihan ekonomi dan ketersediaan daging babi yang lebih besar di pasar internasional tentunya akan mendukung perdagangan. Impor Meksiko juga diperkirakan 4 % lebih tinggi dari perkiraan.

Lee Schulz, ekonom pemasaran peternakan di Iowa State University mengatakan bahwa kondisi harga yang membaik biasanya akan menarik pelaku usaha untuk memulai usaha dan melakukan ekspansi. Harga daging babi tahun 2021 adalah yang tertinggi sejak 2014, dan ada kemungkinan akan turun tahun 2022. Yang menjadi perhatian besar sekali lagi adalah biaya produksi, dimana ternyata tahun 2021 lebih tinggi 30% dibandingkan pada tahun 2020. Faktor yang bisa mempengaruhi harga adalah penyebaran kasus ASF, kondisi ekonomi domestik dan global, dan harga biji-bijian/bahan baku. Baca juga : Biosekuriti di era new Normal


Daging ayam
Produksi daging ayam global tahun 2022 diperkirakan sebesar 100,8 juta ton, hampir tidak berubah dari Oktober 2021. Sebuah prospek yang lebih baik untuk produksi di Amerika Serikat umumnya diimbangi oleh ekspektasi yang lebih rendah dari pertumbuhan di UE yang terus dihantui oleh wabah Flu Burung (HPAI). Produksi di Brasil meningkat sedikit ke rekor 14,8 juta ton karena adanya permintaan luar negeri dan domestik yang relatif kuat. Prospek untuk Cina tetap tidak berubah karena perusahaan integrator masih mampu mengatasi fluktuasi harga daging broiler yang lebih rendah karena tingkat profitabilitas yang relatif baik di hatchery/usaha penetasan dan hasil olahannya.

Ekspor daging ayam dunia untuk tahun 2022 naik 1 % menjadi 13,4 juta ton. Eksportir di Brasil diperkirakan mencapai rekor 4,3 juta ton meskipun ada penurunan permintaan dari Cina. Amerika Serikat diperkirakan naik < 1 %, yaitu 3,4 juta ton karena prospek yang lebih baik untuk pasar utama mereka ke Meksiko, Kuba, dan Angola. Sementara itu, ekspor Thailand kemungkinan lebih rendah karena industrinya terus pulih dari COVID-19, walaupun belum bisa kembali ke level yang sama sebelum pandemi.

Setelah kita mendapatkan update dari analisa pasar global, lalu bagaimana dengan prospek peternakan di Indonesia tahun ini?? Pada 16 Desember 2021 lalu, ASOHI mengadakan webinar mengenai “Outlook Bisnis Peternakan” yang melibatkan hampir semua pelaku usaha di bidang perunggasan, ruminansia, babi dan juga industri obat hewan. Secara singkat, berikut adalah gambaran evaluasi dan potensi yang disampaikan dalam agenda nasional tersebut :

Poultry. Potret industri perunggasan pada tahun 2018-2021 menunjukkan fluktuasi harga livebird ayam ras pedaging yang sangat tinggi, sedangkan harga telor relatif stabil walaupun dalam beberapa waktu juga mengalami koreksi yang lumayan dalam. Dilain pihak, tren harga yang cinderung mengalami penurunan ini diikuti dengan peningkatan beban biaya produksi (terutama biaya pakan) sehingga kondisi perunggasan sangat merugikan bagi pelaku usaha.

Dengan situasi tantangan ini, banyak peternak rakyat mandiri yang tidak mampu bertahan sedangkan perusahaan integrator yang mempunyai dana besar relatif aman dan mampu bertahan, bahkan melakukan ekspansi.

Bulan Juli 2021 adalah titik terendah harga livebird, dimana terjadi penurunan permintaan dan juga Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) level 4. Hal ini membuat penyerapan di sektor perhotelan, restoran, rumah makan dan rumah tangga mengalami koreksi sampai dibawah harga pokok produksi yang sudah mencapai 19,000.  Pengembangan rumah potong ayam dengan cold storage menjadi alternatif untuk menampung over supplai yang terjadi, namun demikian hal ini tentunya harus diimbangi dengan kebijakan yang tepat. Surplus day old chick (DOC) pada tahun 2021 berimbas juga pada kebijakan cutting HE dan afkir dini untuk menstabilkan harga pasar.

Tahun 2022 sepertinya kondisi tidak akan berbeda jauh. Pengaturan suplai dan demand pasar broiler harus benar-benar dijalankan agar situasi bisnis lebih kondusif dan menguntungkan, sedangkan untuk pasar petelor diharapkan juga bisa meningkat dan para peternak tetap optimis walaupun dimasa yang sulit.

Sapi. Jika melihat kondisi saat ini, ketergantungan import untuk memenuhi kebutuhan daging sapi dalam negeri masih relatif tinggi. Namun demikian, tingginya ketergantungan kita terhadap pasokan dari Australia akhirnya menjadi masalah besar di negara kita ketika supplai mengalami gangguan sehingga import daging kerbau beku dari India juga sempat dilakukan. Realisasi import bakalan para feedlotter bahkan mengalami penurunan dalam 3 tahun terakhir karena ketersediaan yang terbatas.

Upaya pemerintah untuk meningkatkan populasi ternak dan produksi daging sapi dan kerbau sebenarnya sudah cukup banyak. Program Sikomandan, desa korporasi sapi, pengembangan breed baru dll. Namun pada kenyataanya, peningkatan populasi yang sudah dilakukan setiap tahun ternyata tidak mampu menurunkan gab konsumsi nasional jika hanya mengandalkan produksi dalam negeri. Jadi, secara potensi pasar sebenarnya ada peluang, hanya saja kondisi pelemahan ekonomi akibat pandemi dan biaya produksi yang tinggi membuat para pelaku usaha juga masih harus menghitung ulang dalam menjalankan usahanya. Baca juga : Tantangan peternakan sapi potong

Industri sapi perah juga tidak kalah menarik. Populasi dalam negeri yang cinderung berjalan ditempat membuat pemenuhan air susu masih tergantung juga dari import. Peluang cukup terbuka untuk segmen ini, sehingga diperlukan banyak investor yang mau mengembangkan usaha peternakan sapi perah demi meningkatkan produksi air susu guna pemenuhan kebutuhan dalam negeri. Baca juga : Peternakan sapi perah di Indonesia

Babi. Peternakan babi di Indonesia saat ini secara populasi mengalami penurunan yang sangat tajam akibat dari wabah ASF. Dalam kondisi ini, peternak yang kandangnya aman dari serangan ASF tentunya mendapatkan keuntungan yang relatif besar, mengingat harga saat ini cukup tinggi. Jika estimasi pemulihan populasi ternak babi saat ini berkisar 10 %/tahun, maka diperlukan waktu minimal 6 tahun lagi untuk kembali ke posisi sebelum outbreak ASF.  Baca juga : Proses repopulasi pasca ASF

Vaksin ASF yang sampai saat ini masih dalam proses development membuat banyak pelaku usaha yang menunggu atau beralih ke usaha lainnya. Kondisi peternakan babi di Indonesia, terutama backyard farm umumnya berada dalam 1 komplek peternakan memerlukan kerja sama dan keterbukaan antar peternak. Hal yang sampai saat ini relatif sulit untuk dilakukan. Jika belajar dari kasus ASF kemarin, ketika biosekuriti tidak dilakukan dengan standart yang ketat maka virus akan dengan mudah menyerang dan menghabiskan semua populasi babi di suatu wilayah.

Jika kita pelaku usaha yang mempunyai profil resiko yang moderat, maka usaha peternakan babi ini memiliki potensi keuntungan yang cukup baik. Namun, semuanya harus dipersiapkan dengan baik. Investasi di fasilitas kandang terutama biosekuriti memegang peran yang paling penting dalam pencegahan penyakit ASF. Perlu upaya bersama dalam usaha mengembalikan populasi ternak babi di Indonesia. Baca juga : Kontrol penyakit pada ternak Babi

Apa yang bisa kita dapatkan dari analisa ini? Tahun 2022 adalah momentum pemulihan ekonomi dimana pandemi sudah mulai relatif lebih terkendali. Tantangan usaha tentunya masih akan terus ada, baik itu dari sisi penyakit maupun biaya produksi yang tinggi sehingga setiap pelaku usaha harus melakukan analisa kembali untuk bisa bertahan ataupun berkembang disituasi yang sulit saat ini.

Semoga bermanfaat. Tetap semangat dan optimis. Maju terus peternakan Indonesia!!

Referensi :

  1. https://apps.fas.usda.gov/psdonline/circulars/livestock_poultry.pdf
  2. https://www.dtnpf.com/agriculture/web/ag/livestock/article/2021/11/23/input-costs-will-continue-challenge
  3. https://www.beefmagazine.com/beef/cattle-markets-2022
  4. https://www.agupdate.com/iowafarmertoday/news/livestock/strong-livestock-prices-should-hold-in-2022-economist-says/article_c7f9ab92-67ff-11ec-b83a-8b9e33617e4b.html
  5. https://www.drovers.com/news/beef-production/cattle-outlook-optimistic-2022
  6. <a href=”https://www.freepik.com/vectors/infographic”>Infographic vector created by nucleartist – www.freepik.com</a>
  7. Webinar Nasional ASOHI “Outlook Bisnis Peternakan” tanggal 16 Desember 2021

1 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!