Mendesain Kandang Babi

Mendesain Kandang Babi

Berikut adalah kelanjutan dari serial mengenai tahap-tahap membangun peternakan babi modern ya. Setelah bulan lalu kita membahas tentang lokasi dan studi kelayakan kandang, jika tahap pertama bisa dilalui, maka tahap selanjutnya adalah menerjemahkan rencana Anda ke dalam desain fisik. Tahap ini berfokus pada pembangunan kandang yang tidak hanya kokoh, tetapi juga mendukung efisiensi operasional, biosekuriti, dan kesejahteraan ternak. Kita sudah tidak memiliki keraguan lagi akan kelangsungan usaha, karena pondasi usaha semuanya sudah dikonfirmasi dengan baik.

A. Tipe Kandang Berdasarkan Sistem

Pilihan sistem kandang sangat menentukan tingkat investasi dan cara operasional peternakan Anda.

a. Kandang Tertutup (Closed House)

Sistem ini adalah pilihan paling modern. Kandang dibuat tertutup rapat dengan dinding dan atap yang terisolasi. Sirkulasi udara dikontrol sepenuhnya oleh ventilasi mekanis, menggunakan kipas besar di salah satu sisi dan cooling pad di sisi lainnya.

* Keunggulan: Lingkungan kandang (suhu, kelembaban, kualitas udara) dapat diatur secara presisi. Hal ini menciptakan kondisi optimal untuk pertumbuhan babi dan meminimalkan risiko penyakit dari faktor eksternal. Produksi pakan lebih efisien karena babi tidak perlu mengeluarkan energi ekstra untuk melawan stres panas.

* Kelemahan: Memerlukan investasi awal yang sangat tinggi dan sangat bergantung pada pasokan listrik yang stabil.

b. Kandang Semi-tertutup (Semi-Closed House)

Sistem ini merupakan kombinasi dari ventilasi alami dan mekanis. Kandang biasanya memiliki bukaan di sisi samping untuk sirkulasi udara alami, namun tetap dilengkapi kipas (ventilasi bantuan) yang akan menyala otomatis saat suhu naik.

* Keunggulan: Lebih fleksibel dan hemat energi dibandingkan closed house. Biaya pembangunan lebih rendah.

* Kelemahan: Kontrol lingkungan tidak sepresisi closed house, dan masih rentan terhadap fluktuasi cuaca ekstrem.

c. Kandang Terbuka (Open House)

Ini adalah model tradisional yang mengandalkan sepenuhnya ventilasi alami. Kandang biasanya hanya memiliki atap dan pagar, dengan sirkulasi udara bebas.

* Keunggulan: Biaya investasi paling rendah.

* Kelemahan: Kontrol terhadap suhu dan kelembaban sangat terbatas, rentan terhadap penyebaran penyakit, dan tidak efisien dalam pemanfaatan pakan. Sistem ini kurang direkomendasikan untuk peternakan modern yang berorientasi produktivitas tinggi.

B. Pembagian Area Kandang (Zoning)

Peternakan babi modern membagi kandang menjadi beberapa area khusus untuk manajemen yang lebih baik.

* Kandang Induk Bunting (Gestation): Kandang individu untuk induk babi selama masa kebuntingan. Desainnya membantu mengendalikan pakan dan mencegah perkelahian antar induk.

* Kandang Beranak (Farrowing): Dibuat khusus untuk induk yang akan melahirkan dan menyusui. Dilengkapi dengan palang pelindung (farrowing rail) yang mencegah induk menindih anak babi. Lantainya sering menggunakan lantai berpalang (slats) untuk menjaga kebersihan dan sanitasi.

* Kandang Pejantan (Boar Pen): Area terpisah untuk babi pejantan. Kandangnya harus kokoh dan kuat untuk menahan babi pejantan yang memiliki bobot besar dan agresif.

* Kandang Penggemukan (Fattening): Tempat bagi babi pasca-sapih hingga siap panen. Kandang ini dirancang untuk menampung beberapa ekor babi dalam satu petak, dengan luas minimal 0,75 m² per ekor.

* Kandang Karatina: Area terpisah yang wajib ada untuk menempatkan babi baru atau babi yang sakit guna mencegah penyebaran penyakit ke seluruh populasi.

C. Layout Kandang

Tata letak kandang babi modern yang efisien dan optimal dirancang untuk memaksimalkan produktivitas, mengoptimalkan aliran kerja, dan meningkatkan biosekuriti.

Prinsip Utama Layout Kandang Babi Modern

Tata letak kandang babi modern didasarkan pada prinsip pig flow aliran satu arah (one-way flow). Babi bergerak melalui peternakan dari area dengan risiko biosekuriti paling rendah ke area yang paling tinggi. Aliran ini memastikan babi yang lebih muda dan rentan tidak terpapar penyakit dari babi yang lebih tua atau babi yang baru datang.

Berikut adalah contoh tata letak yang ideal:

1. Area Depan (Front Area) – Ini adalah zona bersih dan merupakan pintu gerbang peternakan.

a. Gerbang Utama: Dilengkapi dengan pos penjaga dan bak celup roda kendaraan berisi desinfektan untuk mencegah masuknya kuman.

b. Kantor Administrasi: Berfungsi sebagai pusat kendali dan administrasi.

c. Gudang Pakan dan Peralatan: Harus terletak dekat dengan gerbang utama untuk memudahkan bongkar muat pakan dari truk.

d.Kamar Mandi dan Ganti Pakaian: Semua staf dan pengunjung wajib mandi dan berganti pakaian dengan seragam peternakan sebelum masuk area kandang.

2. Area Kandang (Housing Area) – Area ini adalah inti peternakan, dibagi berdasarkan fase pertumbuhan babi. Pembagian ini memungkinkan manajemen yang lebih terfokus pada setiap tahapan kehidupan babi.

a. Kandang Karantina: Terletak paling dekat dengan pintu masuk zona kandang. Semua babi baru harus diisolasi di sini selama minimal 2-4 minggu untuk memastikan tidak membawa penyakit.

b. Kandang Pejantan (Boar Pen): Berada di dekat area kandang induk untuk memudahkan proses kawin.

c. Kandang Induk Bunting (Gestation): Terletak setelah area pejantan. Di sini, induk babi ditempatkan dalam kandang individu (jika menggunakan sistem crate) untuk kontrol pakan dan kesehatan.

d. Kandang Beranak (Farrowing): Berada di samping kandang induk bunting. Setelah 110 hari bunting, induk dipindahkan ke kandang ini untuk melahirkan dan menyusui.

e. Kandang Pembesaran (Nursery/Weaning): Lokasi ini diisi oleh anak babi setelah disapih.

f. Kandang Penggemukan (Fattening): Ini adalah area terakhir sebelum babi siap panen. Kandang ini harus memiliki akses yang baik ke jalan untuk memudahkan pengangkutan babi ke pasar.

3. Area Belakang (*Back Area*) – Ini adalah zona kotor di mana semua limbah dikelola. Menempatkan area ini di belakang peternakan akan meminimalkan risiko kontaminasi.

* Sistem Pengolahan Limbah: Termasuk saluran limbah, bak penampungan dan instalasi pengolahan limbah (IPAL) atau digester biogas. Letakkan area ini menjauhi kandang dan jalur utama.

Jadi, dalam kita mndesain kandang harusnya mengacu pada alur Kerja (Flow) yang Efisien pada peternakan babi. Pig Flow management dalam layout peternakan modern ini adalah :

`BABI BARU MASUK (Karantina) → PEJANTAN & INDUK (Kandang Bunting) → BERANAK → ANAK BABI SAPIH → PENGGEMUKAN → PANEN (Keluar)`

Dengan mengikuti tata letak ini, Anda dapat memastikan peternakan babi Anda berjalan secara efisien dan memenuhi standar biosekuriti yang tinggi. Pastikan anda berkonsultasi dengan para ahli untuk memastikan perencanaan kandang sesuai dengan harapan. Sukses selalu…

Sinkronikasi Estrus Pada Peternakan Babi

Sinkronikasi Estrus Pada Peternakan Babi

Setelah 2 bulan terakhir kita membahas mengenai Batch Management. Saat ini kita akan khusus belajar bersama tentang metode sinkronisasi estrus yang umumnya dijalankan di peternakan modern untuk mencapai batch management tersebut. Intervensi preparat hormon pada gilt pool (kelompok induk babi dara) adalah praktik umum dalam manajemen peternakan babi modern untuk mencapai kawin batch yang efisien. Tujuannya adalah membuat sejumlah besar gilts menunjukkan estrus (birahi) pada waktu yang bersamaan atau dalam jendela waktu yang sempit, sehingga dapat dikawinkan secara massal. Ini menjadi pondasi penting untuk menjalankan sistem batch management dan penerapan prinsip All-in All-out (AIAO).

Berikut adalah langkah-langkah metode sinkronisasi estrus:

A. Pemilihan dan Persiapan Gilt/Calon Induk

Sebelum memulai sinkronisasi hormon, pemilihan dan persiapan gilts yang tepat sangat krusial untuk keberhasilan program. Berikut adalah hal-hal yang perlu diperhatikan:

a. Usia dan Berat Badan: Pilih gilts yang sudah mencapai usia pubertas (biasanya 5,5 – 6,5 bulan) dan berat badan yang memadai (sekitar 100-120 kg atau sesuai dengan target peternakan). Gilts yang terlalu muda atau terlalu kurus mungkin tidak merespons hormon dengan baik.

b. Kesehatan: Pastikan gilts dalam kondisi kesehatan prima, bebas dari penyakit, dan sudah divaksinasi sesuai program kesehatan peternakan.

c. Adaptasi Lingkungan: Berikan waktu bagi gilts untuk beradaptasi dengan lingkungan kandang dan pakan baru setelah dipindahkan ke gilt pool. Stres dapat mengganggu respons terhadap hormon.

d. Pemaparan Pejantan (Boar Exposure): Ini adalah langkah non-hormonal yang sangat penting dan seringkali dilakukan bersamaan atau sebelum intervensi hormon.

* Tujuan: Merangsang pubertas dan estrus pertama pada gilts yang belum pernah birahi, serta memperpendek interval dari birahi pertama ke birahi kedua.
* Metode: Tempatkan pejantan dewasa, aktif, dan memiliki libido tinggi di dekat gilts (kontak hidung ke hidung atau di kandang yang berdekatan) selama 15-30 menit per hari. Feromon dan stimulasi visual/auditori dari pejantan ini sangat efektif.
* Waktu: Mulai pemaparan pejantan setidaknya 2-3 minggu sebelum tanggal kawin yang direncanakan.

B. Metode Sinkronisasi Hormon Utama.

Ada dua pendekatan utama dalam sinkronisasi estrus pada babi menggunakan hormon:

a. Menggunakan Progesteron (Progestagen Oral – Altrenogest)

Ini adalah metode yang paling umum dan efektif untuk sinkronisasi estrus pada gilts.

* Mekanisme Kerja: Progestagen meniru efek progesteron alami, yang secara efektif “menekan” atau menunda estrus dan ovulasi selama diaplikasikan. Ketika pemberian dihentikan, kadar progestagen dalam tubuh menurun, memicu pelepasan hormon gonadotropin (FSH dan LH) yang menyebabkan folikel berkembang dan gilts masuk ke fase estrus.

* Protokol Aplikasi:
1. Identifikasi Gilts: Pilih gilts yang akan disinkronkan. Idealnya, gilts sudah menunjukkan setidaknya satu kali estrus sebelumnya untuk respons yang lebih baik, tetapi juga efektif pada gilts yang belum pernah birahi asalkan sudah terpapar oleh pejantan.
2. Pemberian Dosis: Berikan Altrenogest secara oral (bisa cekok atau dicampur/disemprotkan di pakan) dengan dosis harian yang direkomendasikan.
3. Durasi Pemberian: Berikan setiap hari selama 14-18 hari berturut-turut. Konsistensi sangat penting dan jangan sampai ada dosis yang terlewat.
4. Penghentian Pemberian: Setelah periode yang ditentukan, hentikan pemberian Altrenogest.
5. Respons Estrus: Sebagian besar gilts akan menunjukkan estrus dalam 4-9 hari setelah penghentian pemberian. Puncak estrus biasanya terjadi pada hari ke-5 atau ke-6.
6. Kawin/IB: Lakukan kawin atau inseminasi buatan (IB) saat gilts menunjukkan estrus yang jelas (terutama refleks berdiri diam). Lakukan multiple insemination (misalnya, 12 dan 24 jam setelah estrus pertama terdeteksi) untuk hasil optimal.

* Keuntungan:
1. Tingkat sinkronisasi yang sangat tinggi (seringkali >85-90%).
2. Memungkinkan perencanaan kawin yang sangat presisi.
3. Dapat digunakan pada gilts yang cycling maupun yang belum cycling (dengan pemaparan pejantan).

* Kekurangan:
1. Membutuhkan penanganan individu setiap hari untuk memastikan gilts mengonsumsi dosis penuh.
2. Biaya hormon relatif mahal, perlu investasi dana dan tenaga ahli yang baik agar hasilnya baik
3. Membutuhkan waktu tunggu (withdrawal period) sebelum babi dapat disembelih jika tidak bunting.

b. Menggunakan Gonadotropin

Hormon kombinasi antara PMSG (Pregnant Mare Serum Gonadotropin, juga dikenal sebagai eCG) dan hCG (human Chorionic Gonadotropin).

* Mekanisme Kerja:
1. PMSG/eCG: Memiliki aktivitas FSH (Follicle Stimulating Hormone) yang kuat, merangsang pertumbuhan dan perkembangan folikel ovarium.
2. hCG: Memiliki aktivitas LH (Luteinizing Hormone) yang kuat, memicu ovulasi dan pembentukan korpus luteum.

* Protokol Aplikasi:
1. Identifikasi Gilts: Biasanya digunakan pada gilts yang belum mencapai pubertas (pre-pubertal) tetapi sudah mendekati usia pubertas yang diharapkan, atau pada gilts yang mengalami anestrus (tidak birahi).
2. Pemberian Dosis: Diberikan sebagai suntikan tunggal (intramuskular) dengan dosis yang direkomendasikan
3. Respons Estrus: Gilts biasanya akan menunjukkan estrus dalam 3-6 hari setelah injeksi.
4. Kawin/IB: Lakukan kawin atau IB saat gilts menunjukkan estrus.

* Keuntungan:
1. Suntikan tunggal, lebih mudah diaplikasikan.
2. Efektif untuk memicu estrus pertama pada gilts pre-pubertal atau mengatasi anestrus.

* Kekurangan:
1. Tingkat sinkronisasi mungkin tidak sepresisi Altrenogest.
2. Mungkin menyebabkan ovulasi berlebihan (superovulasi) pada beberapa gilts, yang bisa berdampak pada viabilitas embrio.
3. Lebih cocok untuk menginduksi estrus daripada sinkronisasi ketat.

c. Penggunaan Prostaglandin

* Mekanisme: Menyebabkan regresi korpus luteum (CL) yang merupakan struktur di ovarium yang menghasilkan progesteron. Dengan melisiskan CL, kadar progesteron akan turun dan memungkinkan folikel baru untuk tumbuh dan estrus kembali terjadi

* Aplikasi pada babi dara seringkali kurang efektif untuk proses sinkronisasi massal dibandingkan Progestagen. Hal ini karena babi dara tidak memiliki CL yang fungsional secara terus-menerus sampai mereka mengalami siklus estrus yang teratur. Prostaglandin ini lebih efektif pada induk babi yang sudah memiliki CL aktif atau sudah pernah melahirkan / baru selesai sapih

* Keuntungan – cepat melisiskan CL

* Kekurangan – tidak efektif untuk sinkronisasi pada babi dara yang belum memiliki siklus estrus yang teratur.

C. Pemaparan Pejantan Selama dan Setelah Perlakuan Hormon

Terlepas dari metode hormon yang digunakan, kontak/pemaparan pejantan yang berkelanjutan sangat penting. Beberapa hal yang perlu diperhatrikan adalah:

* Selama Pemberian Hormon: Meskipun gilts tidak akan birahi selama pemberian progestagen, pemaparan pejantan dapat membantu “mempersiapkan” sistem reproduksi mereka.

* Setelah Penghentian Hormon: Ini adalah fase paling krusial. Pejantan harus secara aktif berinteraksi dengan gilts (kontak hidung ke hidung, sentuhan) setidaknya dua kali sehari. Stimulasi dari pejantan akan mempercepat dan memperkuat ekspresi estrus.

D. Deteksi Estrus dan Waktu Kawin/IB

1. Deteksi Estrus: Lakukan deteksi estrus secara intensif (minimal 2 kali sehari, pagi dan sore) mulai dari hari ke-3 atau ke-4 setelah penghentian hormon (untuk Altrenogest) atau setelah injeksi (untuk Gonadotropin).
* Tanda-tanda Estrus: Pembengkakan dan kemerahan vulva, keluar lendir bening dari vulva, telinga tegak, gelisah, dan yang paling penting adalah refleks berdiri diam (standing heat) saat punggungnya ditekan atau dinaiki pejantan/pekerja kandang.

2. Waktu Kawin/IB:
* Setelah estrus terdeteksi, lakukan kawin atau IB. Untuk gilts, seringkali disarankan untuk melakukan 2x IB dengan interval 12-24 jam untuk memaksimalkan tingkat pembuahan dan ukuran litter.
* Misalnya, jika estrus terdeteksi pada pagi hari, lakukan IB pertama pada sore hari, dan IB kedua pada pagi hari berikutnya.

E. Pencatatan dan Evaluasi

1. Catat Tanggal: Catat tanggal mulai dan berakhirnya pemberian hormon, tanggal deteksi estrus, dan tanggal kawin/IB untuk setiap gilt.

2. Evaluasi Respons: Pantau persentase gilts yang menunjukkan estrus dan dikawinkan dalam jendela waktu yang diinginkan.

3. Analisis Hasil: Setelah melahirkan, analisis data seperti tingkat kebuntingan, jumlah anak lahir hidup, dan ukuran litter untuk mengevaluasi efektivitas program sinkronisasi.

Jadi, perlu diperhatikan sekali lagi beberapa hal agar proses sinkronisasi berjalan dengan baik, yaitu adalah

1. Kondisi tubuh – harus optimal sebelum proses sinkronisasi dilakukan
2. Nutrisi harus dipastikan baik, terutama protein dan energinya untuk mendukung respon hormon dan tingkat kesuburan
3. Manajemen lingkungan – kurangi faktor stress yang berpotensi mengganggurespon hormonal babi dara
4. Stimulasi pejantan menjadi faktor pendukung yang harus dilakukan untuk memperkuat respon estrus pada babi dara. Kontak visual, suara dan bau feromon akan membantu proses sinkronisasi lebih optimal
5. Catatan yang akurat – kapan pemberian hormon, kapan estrus terdeteksi, tanggal IB akan menjadi bahan evaluasi terkait program yang dijalankan dan acuan untuk penyesuaian jika diperlukan kedepannya
6. Kepatuhan protokol – disiplin dan komitmen menjadi faktor pendukung yang kuat

Demikian paparan lanjutan terkait batch management dengan menggunakan metode sinkronisasi estrus. Diperlukan dedikasi yang kuat untuk melaksanakan setiap protokol yang ada. Oleh karena itu, penting untuk selalu konsultasikan dengan dokter hewan atau ahli reproduksi babi anda sebelum memulai program sinkronisasi dengan preparat hormon. Panduan spesifik mengenai dosis, produk, dan protokol yang paling sesuai dengan kondisi peternakan Anda harus dijalankan dengan baik agar menghasilkan performance yang diharapkan.

Batch Management Pada Peternakan Babi (part-2)

Batch Management Pada Peternakan Babi (part-2)

Melanjutkan materi bulan lalu mengenai Batch Management, di artikel saat ini kita nanti akan belajar langkah-langkah yang idealnya disiapkan untuk pelaksaaan di lapangan. Menerapkan Batch Management pada unit breeding (pembibitan) ternak babi sekali lagi merupakan strategi yang sangat efektif untuk meningkatkan efisiensi operasional, biosekuriti, dan produktivitas. Hal ini sudah jamak diterapkan di peternakan modern, sehingga bisa menjadi referensi bagi kita yang mungkin ingin mengembangkan usaha peternakan babi ke arah yang lebih modern. Kunci penerapannya adalah sinkronisasi siklus reproduksi induk babi sehingga aktivitas kunci (kawin, melahirkan, menyapih) terjadi pada waktu yang bersamaan untuk sekelompok babi.

Berikut adalah langkah-langkah detail cara menerapkan batch management pada breeding ternak babi:

1. Perencanaan dan Penentuan Ukuran Batch

a. Tentukan Siklus Batch: Paling umum adalah siklus 3-mingguan, karena ini sesuai dengan siklus estrus babi (rata-rata 21 hari). Ini memungkinkan induk babi yang disapih minggu ini untuk dikawinkan lagi pada minggu yang sama 3 minggu kemudian.

b. Alternatif: Ada juga sistem 4-mingguan atau 1-mingguan, tetapi 3-mingguan adalah yang paling seimbang untuk kebanyakan peternakan.

c. Tentukan Ukuran Batch Ideal:
* Berapa banyak induk babi yang akan dikawinkan dalam satu batch? Ini tergantung pada kapasitas kandang beranak (farrowing crate) yang Anda miliki. Idealnya, jumlah induk yang dikawinkan harus cukup untuk mengisi seluruh kandang beranak Anda dalam satu periode (misalnya, jika Anda punya 20 farrowing crate, targetkan 20 induk per batch).
* Pertimbangkan target jumlah anak sapih yang ingin Anda produksi per batch.

d. Perhitungkan Back-up: Selalu sisakan kapasitas sedikit lebih banyak atau rencanakan untuk beberapa kegagalan kawin/kebuntingan dalam setiap batch.

2. Penataan Kandang dan Fasilitas (Layout)

Penting untuk memiliki area kandang yang terpisah dan cukup untuk setiap fase produksi untuk memungkinkan penerapan sistem “All-in All-out” (AIAO) yang efektif.

a. Area Kawin/IB: Kandang individu untuk induk yang baru disapih atau gilts yang akan dikawinkan idealnya dekat dengan kandang pejantan.

b. Area Kebuntingan (Gestation Area): Bisa berupa kandang individu (stall) atau kandang kelompok (group pen) untuk induk babi yang sudah bunting dan telah dikonfirmasi. Pastikan ada ruang yang cukup untuk setiap batch.

c. Area Beranak (Farrowing House/Crates): Ini adalah jantung dari batch management. Anda harus memiliki farrowing house yang dapat menampung satu batch penuh induk babi saat melahirkan dan menyusui. Idealnya, memiliki beberapa ruangan terpisah untuk setiap batch sehingga bisa dikosongkan, dibersihkan, dan disanitasi secara menyeluruh setelah setiap batch.

d. Area Sapih (Nursery/Weaner Pens): Kandang untuk anak babi yang baru disapih. Sama seperti farrowing house, harus ada kapasitas yang cukup untuk satu batch penuh dan memungkinkan AIAO.

e. Area Grower/Finisher: Untuk babi setelah fase sapih hingga siap potong. Jika Anda menjalankan sistem farrow-to-finish, area ini juga harus dipertimbangkan dalam perencanaan batch.

f. Area Karantina: Penting untuk babi pengganti (gilts) yang baru masuk.

3. Sinkronisasi Siklus Estrus Induk Babi

Ini adalah langkah krusial untuk membuat batch management berjalan.

a. Penyapihan (Weaning): Ini adalah pemicu alami untuk kembalinya estrus. Induk babi biasanya akan menunjukkan estrus 4-7 hari setelah sapih. Jadi, sapih semua anak babi dari satu batch induk pada hari yang sama agar induk babi mengalami estrus secara bersama-sama juga dalam 4-7 hari kedepan setelah sapih.

b. Sinkronisasi untuk Gilts (Induk Pengganti):
* Pemaparan Pejantan: Perkenalkan gilts ke pejantan aktif selama 15-30 menit per hari. Kontak fisik dan feromon pejantan dapat mempercepat pubertas dan memicu estrus.
* Pemberian Hormon: Dokter hewan dapat merekomendasikan penggunaan preparat progesteron (progestagen oral) untuk menunda atau menyinkronkan estrus pada gilts atau induk babi yang bermasalah. Ini memungkinkan Anda untuk membawa gilts ke status estrus pada waktu yang sama dengan induk lain dalam batch.

c. Flushing (Peningkatan Nutrisi): Tingkatkan pakan (flushing) 10-14 hari sebelum kawin yang direncanakan untuk merangsang ovulasi dan meningkatkan angka telur yang dilepaskan.

4. Jadwal Aktivitas Batch (Contoh Siklus 3-Mingguan)

Ini adalah inti dari jadwal kerja mingguan Anda.

a. Minggu 1:
* Senin-Rabu (Puncak): Inseminasi Buatan (IB) massal untuk batch induk babi yang disapih minggu sebelumnya. Ini adalah batch “A” Anda. Pastikan dilakukan multiple insemination (2-3 kali) selama periode estrus.
* Kamis-Jumat: Pindahkan induk babi dari batch “C” (yang akan melahirkan minggu depan) dari kandang bunting ke kandang beranak (farrowing crate). Bersihkan dan desinfeksi farrowing crate yang baru dikosongkan dari batch “B”.
* Sabtu-Minggu:** Persiapan dan pemeriksaan akhir kandang beranak.

b. Minggu 2:
* Senin-Jumat: Kelahiran (Farrowing) untuk batch “C”. Tim farrowing akan bekerja intensif membantu kelahiran, melakukan perawatan anak babi baru lahir (memotong tali pusar, membersihkan, memberikan kolostrum, suntik zat besi).
* Selasa-Kamis: Konfirmasi kebuntingan (dengan USG lebih akurat) untuk batch “A” yang dikawinkan minggu sebelumnya. Induk yang tidak bunting segera diidentifikasi dan dikawinkan ulang pada batch berikutnya.
* Jumat: Pindahkan anak babi dari batch “B” (yang disapih 3 minggu lalu) dari nursery ke area grower/finisher. Bersihkan dan desinfeksi kandang nursery.

C. Minggu 3:
* Senin-Rabu: Penyapihan (Weaning) untuk batch “C” (anak babi berusia 3 minggu). Pindahkan anak babi ke area sapih (nursery). Bersihkan dan desinfeksi total farrowing crate.
* Kamis-Jumat: Pindahkan induk babi dari batch “A” (yang sudah bunting 3 minggu) dari kandang kawin/IB ke kandang kebuntingan kelompok. Bersihkan dan desinfeksi kandang kawin/IB.
* Sabtu-Minggu: Persiapan untuk siklus baru. Induk dari batch “C” yang baru disapih akan segera masuk estrus dan siap dikawinkan pada minggu 1 berikutnya.

5. Manajemen Harian dalam Sistem Batch

Meskipun aktivitas besar terjadwal, ada tugas harian yang harus terus dilakukan, yaitu:

* Pemberian Pakan sesuai fase produksi babi (bunting awal, bunting akhir, laktasi).
* Penyediaan Air – Pastikan air minum bersih selalu tersedia.
* Pembersihan Rutin untuk menjaga kebersihan kandang setiap hari.
* Pengamatan Kesehatan – Pantau kesehatan semua babi, identifikasi babi sakit, dan segera obati.
* Pencatatan – Catat semua data penting (tanggal kawin, tanggal lahir, jumlah anak lahir hidup/mati, berat lahir, tanggal sapih, berat sapih, dll.).

6. Implementasi Biosekuriti (All-in All-out)

Ini adalah salah satu manfaat terbesar dari batch management. Apa saja yang dilakukan?

* Pengosongan Penuh: Setelah satu batch babi meninggalkan suatu area kandang (misalnya, farrowing house atau nursery), kosongkan area tersebut sepenuhnya.
* Pembersihan Menyeluruh: Cuci semua permukaan (lantai, dinding, pagar, peralatan) dengan air bertekanan tinggi.
* Desinfeksi: Semprotkan desinfektan yang sesuai secara merata.
* Waktu Kering (Downtime): Biarkan area tersebut kering sepenuhnya selama beberapa hari (minimal 24-48 jam, lebih lama lebih baik) sebelum batch berikutnya masuk. Panas dan sinar matahari dapat membantu proses desinfeksi.
* Pengendalian Hama: Pastikan area bebas dari tikus, serangga, dan burung.

7. Penggunaan Data dan Analisis

a. Sistem Pencatatan yang Kuat: Gunakan software manajemen peternakan atau catatan manual yang terorganisir dengan baik untuk melacak setiap individu induk babi dan batch. Untuk peternakan modern yang menggunakan bibit dari perusahaan genetik ternama, biasanya ada aplikasi yang digunakan sebagai bentuk support sehingga memudahkan peternak dalam menjalankan managemen yang sesuai standart.

b. Indikator Kinerja (KPI) yang secara teratur dianalisis seperti:
* Farrowing Rate (tingkat kebuntingan).
* Total Born (total anak lahir).
* Born Alive (anak lahir hidup).
* Weaned Pigs per Litter (anak sapih per litter).
* Pre-weaning Mortality (angka kematian pra-sapih).
* Non-productive Sow Days (hari induk babi tidak produktif).

c. Identifikasi Masalah: Gunakan data ini untuk mengidentifikasi “bottleneck” atau masalah dalam sistem dan melakukan penyesuaian.

Demikian pembahasan mengenai Batch Management, semoga memberikan gambaran bagaimana perusahaan besar dan modern menjalankan usahanya. Berikut tips tambahan untuk meningkatkan angka keberhasilan dalam menjalankan batch management, yaitu:

1. Tim yang Terlatih: Pastikan semua staf memahami sistem batch dan terlatih dalam tugas spesifik mereka.
2. Fleksibilitas (Tapi Terbatas): Meskipun jadwal ketat, tetap ada sedikit ruang untuk penyesuaian jika ada kejadian tak terduga (misalnya, kelahiran prematur).
3. Pejantan: Sangat penting untuk mendukung deteksi estrus yang akurat dalam sistem batch.
4. Ketersediaan Air dan Pakan: Pastikan sistem pakan dan air dapat mendukung kebutuhan batch yang besar.

Menerapkan batch management membutuhkan investasi awal dalam perencanaan dan penyesuaian fasilitas, namun peternak akan menerima manfaat jangka panjang dalam hal efisiensi kerja, biosekuriti, dan produktivitas akan sangat signifikan. Ini sebenarnya adalah fondasi bagi peternakan babi modern yang sukses.

Avian Influenza pada Unggas

Avian Influenza pada Unggas

Avian Influenza (AI) atau yang dikenal sebagai Flu Burung pada unggas. AI adalah penyakit viral yang memiliki dampak ekonomi sangat besar dan potensi risiko kesehatan masyarakat (zoonosis).

A. Etiologi (Penyebab)

Agen Penyebabnya adalah virus Influenza Tipe A dari famili Orthomyxoviridae. Subtipe virus Influenza A diklasifikasikan berdasarkan dua protein permukaan, yaitu Hemagglutinin (H) yang memiliki 16 subtipe (H1-H16) dan Neuraminidase (N) yang memiliki 9 subtipe (N1-N9). Kombinasi keduanya menghasilkan subtipe, contohnya H5N1 atau H9N2. Reservoir Alaminya adalah burung air liar (seperti bebek, angsa) dan seringkali tidak menunjukkan gejala sakit.

B. Klasifikasi Berdasarkan Keganasan (Patogenisitas) – Klasifikasi ini adalah kunci utama dalam menentukan penanganan dan potensi risiko:

1. Sangat Patogen – HPAI (Highly Pathogenic Avian Influenza) yang menyebabkan penyakit sistemik parah, kematian mendadak dengan tingkat mortalitas bisa mencapai 100% dalam 48 jam. Merupakan ancaman zoonosis tertinggi. Contoh : H5N1, H5N8, H7N9

2. Patogen Rendah – LPAI (Low Pathogenic Avian Influenza) yang menyebabkan gejala ringan (subklinis) atau hanya terbatas pada gangguan pernapasan dan penurunan produksi telur. LPAI bisa bermutasi menjadi HPAI. Contoh : H9N2, H6N1, H7N3

C. Penularan pada Unggas – AI sangat menular, terutama strain HPAI, dan dapat menyebar melalui:

1. Kontak Langsung: Kontak dengan unggas sakit atau bangkai unggas terinfeksi.

2. Feses: Kotoran unggas sakit mengandung konsentrasi virus yang sangat tinggi dan dapat bertahan lama di lingkungan.

3. Vektor Mekanis: Peralatan peternakan, kendaraan, pakaian, alas kaki, pakan, dan air minum yang terkontaminasi.

4. Burung Liar: Kontak unggas domestik dengan burung air liar (terutama pada peternakan itik atau ayam yang diumbar) menjadi jalur utama masuknya virus.

D. Gejala Klinis pada Unggas – Gejala sangat bervariasi tergantung pada strain virus (HPAI atau LPAI) dan jenis unggas:

1. Gejala HPAI (Sangat Patogen, seperti H5N1):

a. Kematian Mendadak (Sudden Death): Seringkali tanpa gejala yang jelas, tingkat kematian mencapai 80-100%.

b. Perubahan Warna: Jengger, pial, dan kaki berwarna biru keunguan (sianosis).

c. Pembengkakan: Pembengkakan pada kepala, kelopak mata, dan pial.

d. Gangguan Saraf: Kadang-kadang terlihat gejala saraf seperti kelumpuhan atau leher terpuntir, mirip ND (tetapi tidak dominan).

e. Pencernaan: Diare.

f. Reproduksi: Penurunan drastis produksi telur dengan kualitas cangkang yang buruk.

2. Gejala LPAI (Patogen Rendah) – Gejala biasanya ringan, terbatas pada gangguan pernapasan (batuk, bersin, ngorok) dan penurunan produksi/kualitas telur yang tidak disertai kematian tinggi.

E. Risiko Zoonosis (Ancaman bagi Manusia) – AI dianggap sebagai penyakit zoonosis karena memiliki potensi untuk menular dari hewan (unggas) ke manusia.

1. Strain Berisiko Tinggi:H5N1 dan H7N9 adalah subtipe yang paling sering menyebabkan infeksi serius dan kematian pada manusia.

2. Penularan ke Manusia: Terjadi melalui kontak langsung atau tidak langsung yang sangat erat dengan unggas sakit, terutama saat proses penyembelihan, penanganan bangkai, atau berada di lingkungan yang sangat terkontaminasi oleh feses unggas sakit.

3. Potensi Pandemi: Kekhawatiran terbesar adalah mutasi (reassortment) virus yang memungkinkannya menjadi strain yang mudah menular dari manusia ke manusia, yang dapat memicu pandemi global.

F. Pengendalian dan Pencegahan – Pengendalian AI harus melibatkan pendekatan komprehensif antara peternakan dan kesehatan masyarakat. Langkah pengendalian dan detail pelaksanaannya antara lain :

1. Biosekuriti ketat adalah hal yang paling krusial untuk mencegah masuk dan keluarnya virus. Meliputi pembatasan akses, disinfeksi rutin, dan kontrol terhadap burung liar/hama.

2. Vaksinasi – Melakukan program vaksinasi yang tepat dengan menggunakan vaksin AI yang sesuai dengan subtipe virus yang bersirkulasi di daerah tersebut.

3. Penanganan Wabah – Jika terjadi kasus HPAI, tindakan yang dianjurkan adalah Stamping Out (Depopulasi), yaitu pemusnahan seluruh unggas yang sakit dan kontak, diikuti dengan desinfeksi total dan kompensasi bagi peternak, karena HPAI umumnya tidak dapat diobati.

4. Pengobatan tidak ada yang spesifik karena penyebabnya virus. Pemberian antibiotik hanya untuk mengontrol infeksi sekunder bakteri, dan vitamin sebagai suportif.

5. Surveilans – Pemantauan rutin pada unggas, terutama burung liar dan pasar unggas hidup, untuk mendeteksi dini keberadaan virus baru atau mutasi.

Demikian uraian mengenai penyakit AI pada unggas. Semoga bermanfaat…

Batch Management Pada Peternakan Babi

Batch Management Pada Peternakan Babi

Batch Management adalah strategi manajemen yang sangat penting dalam peternakan babi, terutama untuk skala komersial dan peternakan babi hiperprolifik. Konsep dasarnya adalah mengelompokkan induk babi berdasarkan tanggal kawin atau tanggal beranak yang serupa, sehingga semua tahapan produksi (kawin, kebuntingan, melahirkan, menyapih) dapat dilakukan pada waktu yang bersamaan untuk kelompok babi tersebut. Ini berbeda dengan sistem terus-menerus (continuous flow) dimana berbagai tahapan produksi berjalan secara bersamaan setiap saat. Tujuan utama dari batch management adalah meningkatkan efisiensi, produktivitas tenaga kerja, dan biosekuriti peternakan.

Mengapa Batch Management Penting?

1. Efisiensi Tenaga Kerja
* Pekerjaan Terpusat: Dengan sistem batch, tugas-tugas spesifik seperti kawin, pemberian pakan bunting, pemindahan ke kandang beranak, membantu melahirkan, dan menyapih dapat dilakukan untuk seluruh kelompok babi pada hari atau minggu yang sama. Ini mengurangi waktu perjalanan antar kandang dan memungkinkan pekerja fokus pada satu jenis pekerjaan.
* Spesialisasi Tenaga Kerja: Tim atau individu dapat menjadi sangat efisien dalam tugas tertentu (misalnya tim kawin, tim farrowing).

2. Peningkatan Biosekuriti (All-in All-out)
* Sistem batch memfasilitasi penerapan prinsip All-in All-out (AIAO). Ini berarti satu kompartemen atau ruangan kandang diisi dengan satu batch babi pada awal siklus, dikosongkan sepenuhnya setelah batch tersebut pindah ke tahap berikutnya atau disapih, lalu dibersihkan dan didisinfeksi sebelum batch baru masuk.
* Batch management bisa membantu mengurangi resiko penyakit, mengurangi tekanan infeksi, dan memungkinkan penyembuhan atau eliminasi patogen. Risiko penularan dari babi yang lebih tua ke babi yang lebih muda (dan lebih rentan) sangat berkurang.

3. Optimalisasi Penggunaan Fasilitas
* Setiap jenis kandang (kawin, kebuntingan, beranak, sapih) dapat digunakan secara maksimal. Kandang tidak akan terpakai secara acak, melainkan diisi penuh dan dikosongkan secara terencana.
* Memungkinkan peternak untuk merencanakan kapasitas kandang dengan lebih akurat.

4. Manajemen Kesehatan yang Lebih Baik
* Program vaksinasi dan pengobatan dapat dilakukan untuk seluruh kelompok pada waktu yang sama, yang lebih efisien dan efektif.
* Lebih mudah mengamati dan mengidentifikasi masalah kesehatan dalam satu kelompok.

5. Perencanaan Produksi Lebih Mudah
* Estimasi jumlah anak babi yang akan lahir dan disapih menjadi lebih akurat, memudahkan perencanaan penjualan atau pemindahan ke fase penggemukan.
* Alur kerja yang lebih teratur dan dapat diprediksi.

Bagaimana Cara Kerja Batch Management?

Batch Management biasanya diterapkan dengan memilih interval mingguan atau tiga mingguan dst sebagai siklus batch. Sistem tiga mingguan seringkali lebih populer karena sesuai dengan siklus estrus alami babi betina (sekitar 21 hari). Prinsip dasarnya adalah setiap 3 minggu, peternakan akan memiliki satu kelompok induk babi yang siap untuk dikawinkan, dipindahkan ke kandang beranak, serta menyusui dan disapih.

Berikut adalah contoh sistem Batch 3 Minggu :

1. Minggu 1:
* Aktivitas Utama: Kawin/IB (Inseminasi Buatan) untuk batch induk babi yang baru saja menyapih anaknya 4-7 hari sebelumnya. Ini kita sebut sebagai batch “A”.
* Induk babi dari batch “C” dipindahkan dari kandang kebuntingan ke kandang beranak (farrowing crate), sekitar 1 minggu sebelum perkiraan melahirkan.
* Anak babi dari batch “B” yang sudah disapih 3 minggu yang lalu (sekarang berumur 6 minggu) dipindahkan ke fase grower/finisher.

2. Minggu 2:
* Aktivitas Utama: Konfirmasi kebuntingan batch “A” yang dikawinkan minggu lalu. Induk babi dari batch “C” melahirkan.
* Anak babi dari batch “B” yang disapih minggu lalu (sekarang berumur 4 minggu) tetap di kandang sapih (weaner/nursery).

3. Minggu 3:
* Aktivitas Utama: Penyapihan anak babi dari batch “C” (umur 3 minggu). Induk babi dari batch “C” akan kembali estrus dalam 4-7 hari dan siap dikawinkan pada Minggu 1 siklus berikutnya (menjadi batch “A” baru).
* Anak babi yang baru disapih dari batch “C” pindah ke kandang sapih (weaner/nursery).
* Induk babi dari batch “A” yang dikawinkan 3 minggu lalu dan sudah dipastikan bunting, dipindahkan ke kandang kebuntingan kelompok.

Berikut gambaran visualisasi siklus yang akan selalu berulang :

| Minggu | Batch A (Kawin) | Batch B (Menyusui) | Batch C (Melahirkan) |
| —— | ————— | —————— | ——————– |
| **1** | Kawin | Sapih | Pindah ke Beranak |
| **2** | Bunting Awal | Nursery/Grower | Melahirkan |
| **3** | Bunting Lanjut | Nursery/Grower | Sapih |
| **4** | (Batch A minggu 1) | (Batch C minggu 1) | (Batch A minggu 1) |

Parameter Apa Yang Ideal Untuk Menerapkan Batch Management?

1. Ukuran Peternakan:
* Sistem batch paling efektif untuk peternakan dengan skala menengah hingga besar (misalnya 100 induk babi atau lebih), dimana volume babi cukup untuk membentuk kelompok yang solid.
* Peternakan kecil mungkin kesulitan mengisi satu batch penuh.

2. Perencanaan Fasilitas:
* Membutuhkan jumlah kandang yang memadai dan terpisah untuk setiap fase produksi (kawin, bunting individu, bunting kelompok, beranak, sapih, grower, finisher).
* Tata letak peternakan harus mendukung aliran babi (pig flow) yang efisien dari satu area ke area lain (all-in all-out).

3. Manajemen Induk Babi:
* Sinkronisasi Estrus: Untuk mencapai kawin batch yang efektif, seringkali diperlukan penggunaan hormon untuk menyinkronkan estrus induk babi, terutama bagi induk yang baru disapih atau gilts (induk muda).
* Deteksi Birahi yang Akurat: Sangat penting untuk memastikan semua induk dalam batch dapat dikawinkan pada waktu yang tepat.

4. Manajemen Tenaga Kerja:
* Tenaga kerja harus terlatih dan disiplin dalam mengikuti jadwal yang ketat.
* Ada periode puncak pekerjaan (misalnya, di minggu kawin atau minggu penyapihan) yang memerlukan lebih banyak tenaga kerja atau kerja lembur.

5. Manajemen Kesehatan:
* Meskipun AIAO meningkatkan biosekuriti, jika ada wabah penyakit dalam satu batch, dampaknya bisa luas karena semua babi dalam kelompok tersebut terpapar. Oleh karena itu, program vaksinasi dan biosekuriti eksternal harus sangat ketat.

6. Pakan:
* Perencanaan pakan harus disesuaikan dengan kebutuhan batch yang berbeda.

Kelemahan Potensial Batch Management

1. Peningkatan Kebutuhan Kandang: Membutuhkan lebih banyak kandang kosong sementara di antara batch untuk tujuan AIAO.
2. Puncak Kerja: Beberapa minggu akan sangat sibuk, diikuti oleh periode yang lebih tenang. Ini mungkin menantang dalam hal penjadwalan tenaga kerja.
3. Kurang Fleksibel untuk Masalah Individual: Jika ada induk babi yang mengalami masalah reproduksi di luar jadwal batch, penanganannya bisa menjadi tantangan dalam menjaga sinkronisasi.

Secara keseluruhan, Batch Management adalah pendekatan yang terbukti efektif untuk meningkatkan efisiensi dan mengelola risiko penyakit di peternakan babi modern, khususnya bagi peternakan yang mengelola babi hiperprolifik. Dengan perencanaan dan implementasi yang cermat, strategi ini dapat secara signifikan meningkatkan profitabilitas. Jika anda berencana untuk mengembangkan usaha peternakan ke skala yang lebih besar dan modern dengan menggunakan genetik babi yang hiperprolofik, maka perencanaan yang matang dan pengelolaan dengan batch management ini menjadi hal yang sangat penting untuk mengoptimalkan kinerja dan performance di farm.

Kalkulasi Kebutuhan Indukan di Peternakan Babi

Kalkulasi Kebutuhan Indukan di Peternakan Babi

Anada pemula dalam beternak babi? Atau anda baru mau memulai usaha peternakan babi dan masih bingung mulai dari mana? Berikut kita akan mencoba memberikan gambaran kebutuhan jumlah indukan yang harus dipelihara dalam suatu peternakan untuk mencapai target produksi anakan dalam setahun.

Menghitung kebutuhan induk babi pada peternakan adalah langkah krusial dalam perencanaan produksi. Perhitungan ini akan menentukan seberapa besar kapasitas kandang yang dibutuhkan, jumlah pakan, hingga estimasi hasil produksi anak babi.

Berikut adalah cara menghitung kebutuhan induk pada peternakan babi secara detail:

A. Tentukan Target Produksi Tahunan

Langkah pertama adalah menetapkan berapa banyak anak babi siap jual/sapih per tahun yang ingin Anda hasilkan. Ini adalah dasar dari semua perhitungan selanjutnya. Misalkan contoh, Anda ingin menghasilkan 10.000 ekor anak babi sapih per tahun…berapa jumlah indukan yang diperlukan untuk mendapatkan target produksi tersebut? Tertarik untuk belajar lebih lanjut…yuk simak sampai akhir ya

B. Tentukan Produktivitas Induk (KPI Utama)

Ini adalah angka kunci yang paling memengaruhi perhitungan. Produktivitas induk diukur dari jumlah anak babi yang disapih per induk per tahun (Pigs Weaned per Sow per Year – PWSY) atau jumlah anakan yang dihasilkan 1 indukan selama 1 tahun (pig per sow per year – PSY).

Angka ini dipengaruhi oleh:

1. Jumlah anak lahir hidup per litter (Born Alive – BA): Rata-rata anak babi yang lahir hidup dalam satu kelahiran.

2. Tingkat kematian pra-sapih (Pre-weaning Mortality – PWM): Persentase anak babi yang mati sebelum disapih.

3. Jumlah kelahiran per induk per tahun (Litter per Sow per Year – LSY): Ini dihitung dari total hari tidak produktif (non-productive days – NPD) dan hari kebuntingan + laktasi.

CONTOH PERHITUNGAN:

a. Rumus LSY: 365 / (lama kebuntingan + lama laktasi + non-productive day)

* Lama kebuntingan: 114 hari
* Lama laktasi : 21-28 hari (tergantung kebijakan peternak)
* Non productive days (NPD): Hari dimana induk tidak bunting atau menyusui. Ini termasuk interval sapih-kawin, gagal kawin, keguguran, dan hari kosong lainnya. Target NPD yang baik adalah <20 hari. Contoh: Jika lama laktasi 21 hari dan NPD ideal 15 hari LSY = 365 / (114 + 21 + 15) = 365 / 150 = 2.43 litter/tahun b. Rumus PWSY: BA x (1 - PWM) x LSY * Born alive (BA) = 14 ekor/litter * Pre-weaning Mortality (PWM) = 10% (0.10) * LSY (hitungan awal) = 2.43 litter/tahun Maka, PWSY = 14 x (1 - 0.10) x 2.43 = 14 x 0.90 x 2.43 = 12.6 x 2.43 = 30.6 ekor anak babi sapih/induk/tahun C. Hitung Kebutuhan Induk Bunting (Sow Inventory) Setelah Anda memiliki hitungan target produksi dan PWSY, Anda kemudian bisa menghitung jumlah induk yang dibutuhkan untuk mencapai target tersebut. Rumus Kebutuhan Induk: Target Produksi Tahunan / PWSY * Target produksi = 10.000 anak babi sapih/tahun * PWSY = 30.6 Maka jumlah indukan yang dibutuhkan adalah = 10.000 / 30.6 = 327 ekor induk D. Perhitungkan Angka Afkir (Culling Rate) dan Induk Pengganti (Replacement Gilts) Ingat, induk babi tidak akan produktif selamanya. Sebagian akan diafkir (dikeluarkan dari kawanan) karena usia, masalah reproduksi, masalah kaki, atau performa buruk. Oleh karena itu, peternak perlu memperhitungan pengganti induk yang diafkir dengan gilts (calon induk). Angka Afkir Induk Tahunan: Rata-rata berkisar 35-50% per tahun tergantung manajemen dan umur induk. Rumus Kebutuhan Induk Pengganti (Gilts) / tahun: Kebutuhan Gilts = JUmlah Induk yang dibutuhkan x Angka Afkir Tahunan * Jumlah kebutuhan induk = 327 ekor * Angka Afkir Tahunan = 40% Maka, kebutuhan calon induk penggantinya adalah 327 x 0,40 = 131 ekor gilts/tahun Artinya, peternak perlu menyiapkan sekitar 131 ekor dara per tahun untuk masuk ke dalam breeding sebagai pengganti, baik itu dengan mempersiapkan sendiri atau beli dari sumber lain yang terpercaya. 131 ekor ini kemudian dibagi menjadi beberapa kali masuk, sesuai dengan umur/bacth pemeliharaan di kandang. E. Hitung Kebutuhan Pejantan (Boar Inventory) Pejantan juga penting dalam sistem breeding. Jumlah pejantan yang dibutuhkan tergantung pada metode kawin (IB dan kawin alami) dan frekuensi penggunaannya. Rasio jumlah Induk : Pejantan idealnya adalah * untuk Kawin Alami : Umumnya 1 pejantan untuk 15-20 induk. * untuk Inseminasi Buatan (IB): Kebutuhan pejantan lebih sedikit, 1 pejantan untuk setiap 50-100 induk, atau bahkan lebih sedikit jika mengandalkan semen dari luar. Namun demikian, pejantan ini tetap diperlukan untuk membantu proses deteksi birahi. Jika peternakan sudah bisa melakukan IB, * Jumlah induk 327 induk * rasio pejantan dengan aplikasi IB adalah 1 : 50 Maka, kebutuhan Pejantannya : 327 / 50 = 7 ekor pejantan F. Perhitungan Kebutuhan Kandang (Sow Places) Setelah mengetahui jumlah indukan yang dibutuhkan, tahap selanjutnya adalah menghitung perkirakan kebutuhan kandang untuk setiap fase produksi. 1. Jumlah Kandang Beranak (Farrowing Crates):** Setiap induk akan berada di kandang beranak selama periode laktasi (sekitar 21 hari) ditambah waktu kosong untuk pembersihan dan sanitasi (misalnya 7 hari). Jadi, total hari pemakaian per kelahiran adalah 28 hari. * Hari pakai per tahun per crate = 365 hari * Farrowing Cycles per Crate per Tahun = 365 / 28 = 13 siklus * Total Kelahiran per Tahun = Kebutuhan Induk x LSY = 327 x 2.43 = 795 kelahiran * Kebutuhan Farrowing Crates = Total Kelahiran per Tahun/Farrowing Cycles per Crate per Tahun = 795 / 13 = 61 unit Jika peternak menggunakan batch management skema 3 mingguan, maka diperlukan jumlah kandang beranak yang cukup untuk menampung satu batch penuh induk yang melahirkan. * Misal, jika target rencanakan 20 induk per batch dan ada 2 batch yang overlapping (satu sedang menyusui, satu lagi baru masuk), maka diperlukan minimal 40 farrowing crates yang bisa digunakan di dua ruangan terpisah. 2. Jumlah Kandang Bunting/Gestation Stalls/Pens Induk akan berada di kandang bunting selama 114 hari. * Jumlah Kandang Bunting = Kebutuhan Induk - Jumlah Induk di Farrowing Crates * Sekitar 70-80% dari total induk jika ada di kandang individu/kelompok. 3. Jumlah Kandang Kawin/IB:** Kandang individu untuk induk yang disapih dan gilts yang menunggu kawin, jumlahnya tergantung pada jumlah induk yang masuk estrus setiap batch. 4. Jumlah Kandang untuk Gilts (Replacement Gilts) Kandang untuk menampung gilts dari mulai seleksi hingga siap dikawinkan. Semoga tidak bingung ya he he he... Berikut adalah Contoh Ringkasan Perhitungannya...yuk simak sekali lagi ya. Mari kita rangkum dengan contoh angka: 1. Target Produksi : 10.000 anak babi sapih/tahun 2. Produktivitas Induk: * Born Alive (BA) : 14 ekor/litter * Pre-weaning Mortality (PWM) : 10% * Lama Laktasi : 21 hari * Non-productive Days (NPD) : 15 hari * Litter per Sow per Year (LSY) = 365 / (114 + 21 + 15) = 2.43 * Pigs Weaned per Sow per Year (PWSY) = 14 x (1 - 0.10) x 2.43 = 30.6 3. Kebutuhan Induk Produktif: 10.000 / 30.6 = 327 ekor induk 4. Tingkat Afkir Induk : 40% 5. Kebutuhan Induk Pengganti (Gilts):327 x 0.40 = 131 ekor gilts/tahun 6. Kebutuhan Pejantan (IB): sekitar 7-10 ekor pejantan (termasuk pejantan produksi dan tester). 7. Kebutuhan Kandang Beranak: 795 kelahiran/tahun / 13 siklus/crate/tahun = 61 unit farrowing crates (ini adalah jumlah minimum yang selalu terisi. Untuk penerapan batch management, peternak perlu pertimbangkan jumlah ruangan/unit yang kosong untuk sanitasi). Nah, gimana teman-teman...sudah bisa ada gambaran khan? Coba bisa lakukan simulasi sendiri dengan target kamu dan standart performance yang yakin kamu bisa capai ya...Pastikan beberapa point penting sebagai bahan acuan ya, seperti: 1. Data Riil Peternakan: Gunakan data produktivitas riil dari peternakan Anda sendiri (jika sudah berjalan) untuk perhitungan yang lebih akurat. Jika peternakan baru, gunakan standar industri atau target genetik yang realistis dengan fasilitas kandang yang ada. 2. Buffer/Cadangan: Selalu sediakan sedikit "buffer" atau cadangan dalam perhitungan (misalnya 5-10% lebih banyak) untuk mengantisipasi fluktuasi produksi, kematian mendadak, atau masalah tak terduga. 3. Konsultasi Ahli: Sangat disarankan untuk berkonsultasi dengan ahli nutrisi hewan, dokter hewan, atau konsultan peternakan untuk memvalidasi perhitungan dan perencanaan Anda. Dengan perhitungan yang cermat ini, Anda dapat merencanakan peternakan babi secara efisien, menghindari kekurangan atau kelebihan kapasitas, serta mengoptimalkan keuntungan.

Prospek dan Tantangan Peternakan 2024

Prospek dan Tantangan Peternakan 2024

Prospek peternakan di Indonesia pada tahun 2024 diperkirakan akan tetap positif. Hal ini didukung oleh beberapa faktor, antara lain:

  • Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang diperkirakan mencapai 5,15% pada tahun 2024. Pertumbuhan ekonomi yang positif akan meningkatkan daya beli masyarakat, sehingga permintaan akan produk peternakan juga akan meningkat.
  • Peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya konsumsi protein hewani. Protein hewani merupakan sumber nutrisi yang penting bagi kesehatan, sehingga permintaan akan produk peternakan, seperti daging, telur, dan susu, diperkirakan akan terus meningkat.
  • Pemerintah Indonesia yang terus mendorong pengembangan industri peternakan. Pemerintah telah menetapkan target swasembada daging sapi pada tahun 2026. Untuk mencapai target tersebut, pemerintah telah melakukan berbagai upaya, seperti penyediaan bibit ternak yang berkualitas, pemberian subsidi, dan pengembangan teknologi peternakan.

Berdasarkan faktor-faktor tersebut, komoditas peternakan yang diperkirakan akan memiliki prospek yang baik di tahun 2024 adalah:

  • Daging sapi. Permintaan akan daging sapi diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya konsumsi protein hewani.
  • Telur. Permintaan akan telur juga diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan peningkatan daya beli masyarakat dan kesadaran masyarakat akan pentingnya konsumsi protein hewani.
  • Susu. Permintaan akan susu juga diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan peningkatan daya beli masyarakat dan kesadaran masyarakat akan pentingnya konsumsi protein hewani.

Selain komoditas-komoditas tersebut, komoditas peternakan lain yang juga memiliki prospek yang baik di tahun 2024 adalah:

  • Daging ayam
  • Daging kambing
  • Daging domba
  • Susu sapi
  • Susu kambing

Untuk memanfaatkan prospek yang baik tersebut, para pelaku usaha peternakan perlu meningkatkan produktivitas dan efisiensi usahanya. Selain itu, para pelaku usaha peternakan juga perlu berinovasi dan mengembangkan produk baru yang sesuai dengan kebutuhan konsumen.

Selain prospek yang positif, industri peternakan juga menghadapi beberapa tantangan, antara lain:

  • Harga pakan yang tinggi. Harga pakan merupakan salah satu biaya produksi yang paling besar dalam usaha peternakan. Harga pakan yang tinggi akan menyebabkan biaya produksi juga menjadi tinggi, sehingga akan mengurangi keuntungan usaha peternakan.
    Image of Harga pakan yang tinggi
  • Kelangkaan tenaga kerja. Tenaga kerja merupakan salah satu faktor produksi yang penting dalam usaha peternakan. Namun, saat ini, tenaga kerja yang terampil di bidang peternakan masih terbatas. Hal ini akan menyebabkan kesulitan bagi pelaku usaha peternakan untuk mendapatkan tenaga kerja yang berkualitas.
    Image of Kelangkaan tenaga kerja
  • Penyakit hewan. Penyakit hewan merupakan salah satu ancaman serius bagi industri peternakan. Penyakit hewan dapat menyebabkan kematian ternak, sehingga akan menurunkan produksi dan pendapatan usaha peternakan. Semua ternak memiliki resiko penyakit yang harus diwaspadai, seperti Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) dan Lumphy Skin Disease (LSD) pada ternak sapi, African Swine Fever (ASF) pada ternak babi, Newcastle Disease, Avian Influenza, Infectious Bursal Disease dan Infectious Coryza pada unggas.
  • Perubahan iklim. Perubahan iklim dapat berdampak negatif terhadap industri peternakan. Perubahan iklim dapat menyebabkan kekeringan, banjir, dan hama, sehingga akan mengganggu produksi ternak.
    Image of Perubahan iklim

Untuk mengatasi tantangan-tantangan tersebut, para pelaku usaha peternakan perlu melakukan berbagai upaya, antara lain:

  • Mencari sumber pakan alternatif. Para pelaku usaha peternakan perlu mencari sumber pakan alternatif yang lebih murah dan tersedia secara lokal.
  • Meningkatkan produktivitas ternak. Para pelaku usaha peternakan perlu meningkatkan produktivitas ternak agar dapat mengurangi biaya produksi.
  • Meningkatkan keterampilan tenaga kerja. Para pelaku usaha peternakan perlu meningkatkan keterampilan tenaga kerja agar dapat meningkatkan produktivitas dan efisiensi usaha.
  • Meningkatkan biosekuriti. Para pelaku usaha peternakan perlu meningkatkan biosekuriti untuk mencegah penyebaran penyakit hewan. Vaksinasi juga menjadi faktor penting dalam program pengendalian penyakit. Baca juga : Biosekuriti di era new normal
  • Beradaptasi dengan perubahan iklim. Para pelaku usaha peternakan perlu beradaptasi dengan perubahan iklim dengan menerapkan praktik peternakan yang lebih ramah lingkungan.

Jadi peluang itu ada, hanya kita harus benar-benar berhitung dan mempersiapkan semuanya dengan matang. Dengan kita siap dan mampu menghadapi tantangan-tantangan yang ada saat ini, industri peternakan di Indonesia diharapkan dapat terus berkembang dan memenuhi kebutuhan masyarakat akan protein hewani.

Referensi :

  1. https://www.idxchannel.com/economics/harga-pakan-ternak-terlalu-tinggi-ternyata-ini-sebabnya
  2. https://buletin.bpdp.or.id/?p=1015 Isu kelangkaan tenaga kerja ditengah pandemi
Biosekuriti pada Peternakan Babi

Biosekuriti pada Peternakan Babi

Persepsi tentang pentingnya kesehatan hewan dan hubungannya dengan biosekuriti semakin meningkat dalam beberapa tahun terakhir, terutama karena adanya penyakit seperti African Swine Fever (ASF) dan Porcine Epidemic Diarrhoea (PED). Biosekuriti yang lebih baik dapat membantu meningkatkan produktivitas dan berkontribusi mengurangi penggunaan antibiotik. Biosekuriti dapat didefinisikan sebagai penerapan langkah-langkah yang bertujuan untuk mengurangi resiko kemungkinan masuknya patogen (eksternal) dan penyebaran patogen lebih lanjut di dalam peternakan (internal).

Pengetahuan tentang epidemiologi penyakit idealnya menjadi referensi dalam menentukan strategi biosekuriti di lapangan. Dalam menyusun program biosekuriti yang efektif, dokter hewan harus mengetahui bagaimana penyakit ditularkan, resiko dan kepentingannya, tindakan mitigasi mana yang dianggap lebih efektif dan bagaimana mengevaluasi biosekuriti yang dijalankan dan perubahan yang mungkin diperlukan. Oleh karena itu, dalam artikel kali ini kita akan belajar bersama tentang tinjauan teknis yang bisa menjadi sumber informasi mengenai langkah-langkah biosekuriti eksternal dan internal untuk mengurangi resiko penyakit pada peternakan babi, epidemiologi penyakit serta analisis resiko dan penilaian biosekuriti.

Pencegahan penyakit menular pada babi penting untuk kesejahteraan hewan dan produktivitas ekonomi. Selain itu, pencegahan juga penting untuk keamanan pangan dan kesehatan masyarakat ketika patogen zoonosis menjadi perhatian. Biosecurity mencakup semua aspek pencegahan patogen masuk dan menyebar dalam kelompok hewan. Penerapan langkah-langkah biosekuriti di sepanjang rantai produksi meminimalkan risiko masuknya patogen baru ke dalam peternakan, serta penyebarannya di dalam peternakan. Namun demikian, implementasi program biosekuriti yang berkelanjutan dan peningkatannya yang berkelanjutan masih menjadi tantangan bagi banyak peternakan babi.

Konsep biosekuriti pada peternakan babi global ada sejak dekade 1960, dimana produksi babi bergeser secara progresif dari sistem peternakan kecil skala keluarga menuju industri skala besar.  Lalu pada dekade 1980, konsep “minimal disease” atau “specific-pathogen free farms” mulai umum dan mengarah pada konsep biosekuriti yang lebih modern. Definisi awal tentang biosekuriti adalah sebagai bentuk keamanan dari penularan penyakit menular, parasit dan hama. Konsep dan persepsi penyakit telah berubah dari level individu ke peternakan dan dari peternakan ke wilayah karena hal ini menjadi salah satu elemen kunci dalam keberhasilan produksi ternak babi.

BIOSEKURITI EKSTERNAL

Secara umum, biosekuriti eksternal dapat dipahami secara intuitif sebagai pemblokiran peternakan dari bahaya yang datang dari dunia luar. Tindakan ini berfungsi sebagai penghalang fisik yang melarang/membatasi masuknya hewan, manusia, atau kendaraan tertentu.

Lalu lintas ternak. Pengenalan induk pengganti/masuknya hewan baru atau penggunaan semen menjadi faktor resiko tertinggi dalam penularan patogen baru jika kita tidak mengerti asalnya. Untuk menjaga produktifitas ternak babi tetap baik, maka proses peremajaan induk harus dilakukan. Minimal dalam 2-2,5 tahun, umumnya populasi indukan akan berganti agar usaha peternakan tetap optimal. Calon induk bisa diperoleh dari produksi kandang sendiri dengan memilih anakan betina unggul yang dihasilkan, atau membeli dari peternakan lain yang terpercaya. Namun, membeli calon induk dari luar ini ada konsekwensi ganda, yaitu semakin tinggi frekuensi entri baru, semakin tinggi kemungkinan masuknya patogen baru dan semakin tinggi tingkat penggantian induk, semakin sulit mempertahankan level kekebalan dalam kawanan terhadap patogen yang sudah ada di kandang.

Dengan asumsi bahwa masih banyak peternakan yang bergantung pada calon induk eksternal, maka cara pengelolaan hewan baru tersebut akan menjadi kunci keberhasilan. Proses  karantina harus dilakukan untuk memastikan calon induk baru tidak menjadi sumber penularan patogen baru di kandang kita, baru kemudian dilanjutkan dengan proses aklimatisasi untuk mengenalkan calon induk dengan patogen yang sudah bersirkulasi dikandang dan beradaptasi sehingga saat nanti dimasukkan dalam kawanan sudah siap. Proses karantina yang dirancang dan dikelola dengan baik adalah tindakan paling efektif untuk mengurangi risiko yang terkait dengan masuknya patogen eksternal.

Jika kita baru mengawali usaha peternakan babi, proses karantina harus dikelola dalam sistem all-in/all-out (AIAO) yang ketat untuk menghindari potensi penularan patogen antar batch calon induk yang berbeda. Peternak idealnya harus sudah menetapkan target produksi, kapasitas kandang dan memikirkan alur pemasukan ternak dengan baik agar performa yang dihasilkan stabil. Sistem AIAO ini bisa dilakukan dengan intervensi penggunaan preparat hormon untuk proses sinkronisasi estrus pada calon induk. Ingat, semakin besar jumlah batch kawanan induk/calon induk, maka semakin besar ruang yang dibutuhkan untuk menampungnya.

Lokasi kandang karantina yang ideal adalah >1 km dari unit kandang babi lainnya. Jarak ini relatif aman untuk mengantisipasi penularan sebagian besar patogen, terutama yang melalui udara dan juga menurunkan resiko penularan karena vektor hewan pengerat, lalat, dll. Yang patut menjadikan perhatian adalah virus Aujeszky, virus penyakit mulut dan kuku (PMK), porcine reproductive and respiratory syndrome (PRRS), dan bakteri Mycoplasma hyopneumoniae karena telah dilaporkan berpotensi ditularkan melalui udara dari radius yang lebih jauh.

Peternakan modern telah menambahkan filter udara khusus untuk mengantisipasi tantangan ini. Filter HEPA adalah gold standard untuk penyaringan udara karena dapat menahan debu atau partikel yang berukuran mikron. Dalam kondisi laboratorium, kombinasi filter halus (EU kelas M dan F) menghasilkan efektifitas penyaringan > 98% terhadap virus equine arteritvis dan > 99,9% terhadap bakteri Actinobacillus pleuropneumoniae (APP), sedangkan filter MERV 14 (EU 8) atau filter polypropylene berlapis yang diperlakukan dengan senyawa mikrobiosidal sepenuhnya efisien untuk memblokir virus PRRS atau M. hyopneumoniae.

Lalu, berapa lama proses karantina yang baik? Hal ini tergantung 3 elemen, yaitu masa inkubasi penyakit yang terdeteksi, durasi penularan penyakitnya dan waktu untuk menegakkan diagnosa. Observasi status kesehatan ini dilakukan dengan pemeriksaan calon induk setiap hari, dan jika ditemukan hasil positif patogen yang tidak diinginkan, maka isolasi juga harus diperpanjang sampai status kesehatannya baik sebelum lanjut ke proses aklimatisasi.

Perlu dicatat bahwa proses karantina dan aklimatisasi adalah konsep yang agak bertentangan dan berbeda. Karantina bertujuan untuk menghindari masuknya patogen yang dibawa oleh hewan baru yang masuk sehingga mewajibkan meminimal kontak (lokasi sebaiknya terpisah), sedangkan aklimatisasi adalah proses lanjutannya yang dilakukan untuk mengembangkan kekebalan terhadap patogen yang ada di peternakan yang  membutuhkan kontak dekat antara hewan baru baru dan kawanan yang sudah ada di kandang ataupun dengan vaksinasi.

Lalu lintas Orang dan Kendaraan. Orang dan kendaraan dapat menjadi jalur penting untuk penularan penyakit di peternakan. Peternakan biasanya menerima kunjungan orang dan kendaraan baik itu pekerja kandang, dokter hewan, tukang, pengangkutan bahan pakan dan bangkai. Fomites (sepatu bot, pakaian, peralatan dll)  dan orang melalui kulit yang terkontaminasi dapat menyebarkan patogen seperti Salmonella, PRRS, PED, TGE, Brachyspira atau Lawsonia.

Risiko yang terkait dengan kunjungan dapat diminimalkan dengan kombinasi tindakan penghalangan dan peraturan yang membatasi lalu lintas ke area pemeliharaan ternak. Sebaiknya hanya yang berkepentingan saja yang memiliki akses ke dalam lokasi kandang atau jika memang harus masuk maka ada peraturan yang harus ditaati untuk meminimalkan risiko.

Penetapan batasan area bersih dan kotor sangatlah penting.  Bersihkan area yang berada di dalam perimeter peternakan dan  yang bersentuhan dengan ternak babi. Pintu masuk, dinding, kamar mandi, ruang ganti, jalur transportasi harus dibedakan dengan jelas sehingga tidak ada yang boleh melintasi area kotor menuju area bersih tanpa didekontaminasi.

Pagar pembatas dengan pintu tertutup permanen sebaiknya hanya bisa dibuka dari dalam lokasi peternakan, sedangkan pagar keliling juga penting untuk membatasi akses hewan liar seperti babi hutan, anjing, kucing dll. Area parkir sebaiknya ada diluar peternakan, terlebih kendaraan yang tamu.

Kendaraan, pengemudi dan pekerja yang terlibat pengiriman bahan pakan atau mengumpulkan hewan mati sebaiknya juga dipikirkan dengan matang agar kontak bisa diminimalkan. Penempatan gudang pakan/silo, sebaiknya diluar area kandang sehingga mobil tidak mempunyai akses untuk kontak dengan ternak. Sedangkan untuk penanganan hewan mati/bangkai, sebaiknya juga ada jalur khusus yang berbeda dan tidak melewati area ternak sehingga kendaraan pengangkut bangkai ini mudah dalam mengakses tempat penampungan bangkai yang ditempatkan di luar pagar pembatas dan menghindari truk pengumpul memasuki peternakan.

Langkah selanjutnya adalah menetapkan aturan untuk memasuki fasilitas yang berhubungan langsung dengan ternak. Dalam kondisi apapun kendaraan, pengemudi, atau personel asisten lainnya tidak boleh melakukan kontak dengan hewan jika tidak ada keperluan, karena kotoran yang terkontaminasi dalam jumlah kecil di alas kaki/pakaian pengemudi cukup untuk menginfeksi peternakan. Jika ada dokter hewan luar yang perlu masuk ke lokasi kandang, sebaiknya sudah mendapatkan persetujuan terkait maksud dan tujuannya.

Idealnya, prosedur biosekuriti sebelum masuk ke lokasi ternak mewajibkan minimal 24-48 jam sebelumnya tamu tidak ada kontak dengan ternak lain. Di peternakan dengan standar yang baik membutuhkan setidaknya mencuci tangan/mandi, mengganti pakaian luar dan sepatu bot, semprot/celup desinfektan dan sinar UV untuk barang-barang bawaan (HP, laptop dll) karena  resiko penularan dari kontaminasi rambut atau adanya patogen di mukosa oronasal.

Terkait ancaman African Swine Fever (ASF) saat ini, maka konsumsi produk daging babi di peternakan harus dihindari.

Transportasi hewan. Walaupun masih termasuk kendaraan, akan tetapi kendaraan yang digunakan khusus untuk mengangkut hewan antar peternakan atau ke rumah jagal dan pengemudinya dapat memiliki peran penting dalam transmisi patogen antar peternakan. Bagaimana sebaiknya pengaturannya?

Kendaraan ini sebaiknya memang diinvestasikan khusus untuk transportasi ternak yang aman saja. Sebaiknya truk yang ditujukan untuk pengangkutan calon induk, tidak boleh digunakan untuk mengangkut hewan ke rumah potong hewan.  Oleh karena itu, membuat daftar batasan untuk setiap kendaraan beserta desain rutenya akan menjadi langkah pertama yang krusial, kemudian penetapan prosedur proses pembersihan dan disinfeksi truk harus dilakukan secara terencana dan teliti.

Agar pembersihan dan disinfeksi kendaraan ini efektif, maka  prosesnya harus mencakup pembersihan bahan organik terlebih dahulu, dilanjutkan dengan pembersihan dengan air (sebaiknya air panas dan sabun/kerak), lalu dikeringkan dan terakhir baru proses desinfeksi dengan desinfektan. Jadi pastikan materi organik dari setiap sudut dan ceruk di bak truk bisa dibersihkan agar kinerja desinfektan bisa optimal. Tantangan terjadi di musim dingin, karena pengeringan truk secara alami bisa memakan waktu berhari-hari.

Proses transportasi ternak adalah salah satu situasi paling kritis karena terkait kontak hewan di peternakan dengan kendaraan dan atau orang dari luar peternakan. Dengan situasi tantangan ASF saat ini, pendekatan terbaik untuk meminimalkan risiko adalah membangun lokasi khusus untuk bongkar muat di lingkungan kandang (perbatasan area bersih/kandang dan kotor/area truk parkir) atau meeting point yang agak jauh dari area kandang (kendaraan penjual dan pembeli bertemu dengan tetap meminimalkan kontak).

Lingkungan. Lokasi peternakan yang saling berdekatan juga menjadi tantangan tersendiri. Probabilitas infeksi karena lokasi peternakan akan bervariasi dan dipengaruhi oleh populasi, jenis peternakan (pembibitan/penggemukan), keberadaan rumah pemotongan hewan (RPH), tempat pembuangan sampah atau bangkai dalam radius 1 km ke peternakan dapat meningkatkan kemungkinan tersebut.

Salah satu kemungkinan jalur penularan patogen antar tetangga adalah penyebaran melalui udara yangmana juga bervariasi tergantung kondisi cuaca dan kondisi tanah. PMK bisa menular hingga 10 km lebih, apalagi saat terjadi kelembaban tinggi > 60%, kecepatan angin rendah dengan arah stabil, suhu di < 27C dan tidak ada curah hujan. Untuk PRRSV, salah satu faktor utama kelangsungan hidup virus di aerosol adalah suhu dengan waktu paruh yang sangat singkat (kurang dari 30 menit) pada suhu 20C. Dalam kasus PRRSV, studi selama 2 tahun menunjukkan bahwa suhu dingin, tingkat sinar matahari yang rendah, angin dengan kecepatan rendah bersamaan dengan hembusan, peningkatan kelembaban dan tekanan adalah kondisi yang lebih mungkin mendukung transmisi via udara.

Jalur via udara, penularan patogen terkait dengan lingkungan adalah hewan pengerat, vektor mekanis seperti lalat, dan hewan lain (anjing, kucing) atau burung. Hewan pengerat, tikus, walaupun radius aksinya normal <150 m ternyata dapat menjadi pembawa banyak patogen yang menyerang babi, seperti beberapa serovar Salmonella, Leptospira, Yersinia pseudotuberculosis, Toxoplasma gondii, Campylobacter spp., Brachyspira spp., Lawsonia intracellularis atau virus encephalomyocarditis. Lalat yang mempunyai radius terbang 2-3 km dapat bertindak sebagai vektor mekanik untuk penularan PRRS, Streptococcus suis, atau Brachyspira spp. 

Beberapa spesies burung telah dikaitkan dengan wabah penyakit penyakit seperti TGE, Salmonella, Lawsonia intracellularis, Brachyspira hyopdisenteriae dan E. coli dan dapat bertindak sebagai reservoir. Penempatan jaring biasanya cukup membantu mengurangi resiko ini.

Pakan dan air. Bahan pakan itu sendiri umumnya tidak menimbulkan risiko karena kondisi higienis dalam produksi, terutama jika pakan tersebut diberi perlakuan panas. Misalnya, pembuatan pelet mampu menghilangkan porcine epidemic diarrhea virus (PED) dari bahan  pakan yang terkontaminasi. Ada penelitian yang menyebutkan bahwa virus PED, ASF, senecavirus-A (SVA), CSF(classical swine fever/hog cholera), Pseudorabies (PRV), dan PMK dapat ditemukan didalam bungkil kedelai, suplemen vitamin D, lisin dan kolin.

Strategi mitigasi proaktif terkait rantai bahan baku bisa dilakukan dengan mengembangkan fasilitas penyimpanan dan menentukan jadwal sampling untuk bahan yang dianggap berisiko lebih tinggi. Batasi lalu lintas orang (karyawan di pabrik pakan dan pengunjung, seperti tamu, supir truk, dan orang subkontraktor) dan kendaraan yang beresiko mengkontaminasi fasilitas pembuatan pakan.

Penambahan aditif seperti asam organik (format, laktat atau propionat), asam lemak dan minyak esensial telah terbukti memiliki khasiat melawan patogen tertentu. Penambahan formaldehyde telah terbukti efektif dalam mencegah risiko yang terkait dengan PED dan Salmonella, selain juga dapat menyebabkan perpindahan bakteri yang merugikan pada usus babi.  Mengingat pentingnya pakan untuk ternak, maka sangat disarankan untuk membeli dari pemasok yang memiliki reputasi baik dengan sistem jaminan mutu yang diakui.

Terkait dengan kontaminasi air minum, penyakit yang secara klasik dikaitkan adalah leptospirosis. Leptospira dari tikus dan hewan lain dapat mencemari air. Sebagian besar patogen yang mengikuti siklus penularan fekal-oral berpotensi terbawa melalui air, oleh karena itu, kualitas bakteriologis air harus diperiksa secara rutin minimal 1x setahun. Biofilm pada tangki dan pipa harus dibersihkan dan didesinfeksi secara teratur, selain juga pengolahan sumber air merupakan alat penting dalam manajemen risiko. Teknik pengolahan air umum yang bisa dilakukan adalah dengan menghilangkan kontaminan kimia dan biotik secara fisik melalui filtrasi (sistem reverse osmosis dan/atau menonaktifkan patogen dengan menerapkan sinar ultraviolet atau disinfektan oksidan kimia seperti klorin, kloramin dan ozon.

BIOSEKURITI INTERNAL

Biosekuriti internal bertujuan untuk mengurangi kemungkinan penyebaran patogen setelah peternakan terinfeksi. Hal ini meliputi langkah-langkah yang berkaitan dengan pengelolaan ternak, kebersihan umum fasilitas, pembersihan dan disinfeksi dan, dan juga personel.

Manajemen. Langkah-langkah terkait managemen ini bertujuan untuk mengelola ternak dengan mengontrol alur pemeliharaan untuk menghindari pencampuran babi dari kelompok umur yang berbeda. Pengaturan alur ini dapat dicapai dengan penerapan ketat sistem AIAO yang dilengkapi dengan pembersihan dan disinfeksi fasilitas untuk kelompok hewan baru.

Sistem AIAO dilaporkan efektif untuk mengurangi sirkulasi patogen sehingga mampu mengurangi jumlah dan variasi aplikasi penggunaan obat di peternakan. Walaupun demikian, kontrol alur ini ternyata belum cukup untuk kontrol semua penyakit, terutama untuk penyakit-penyakit yang penularannya dapat terjadi saat persalinan seperti PRRS, cross fostering, bahkan di antara ternak dalam satu kawanan yang sama.

Yang perlu kita pahami saat memelihara ternak babi adalah bahwa induk babi yang kita pelihara menjadi reservoir bagi banyak patogen yang ada di lokasi peternakan. Oleh karena itu, sejak akhir 1970-an sistem penyapihan dini mulai dipelajari dan dipraktekkan untuk mencegah penularan patogen sehingga mengurangi atau bahkan menghilangkan penyakit tertentu, walaupun hal ini sedikit mengabaikan aspek animal welfare.

Hal praktis lainnya yang juga harus diperhatikan adalah menetapkan rutinitas kerja bagi anak kandang untuk  mengatur lalu lintas orang. Rekomendasi yang ideal dalam handling ternak adalah membuat alur kerja mengikuti alur babi, yaitu dari yang umur muda ke yang lebih tua. Jadi pekerja yang sudah bekerja di unit penggemukan tidak boleh masuk ke kandang pembibitan untuk meminimalkan resiko.

Fasilitas Kandang. Desain dan bahan kandang, alas dan partisi/pembatas antar pen serta segala fasilitasnya harus berkontribusi mengurangi resiko penularan penyakit atau menghambat penyebarannya. Saat memulai usaha peternakan babi, maka sangat disarankan untuk merancang layout kandang yang baik sehingga alur pemeliharaan memungkinkan untuk ternak berpindah ke fase pemeliharaan selanjutnya tanpa melewati kandang bacth yang lebih muda.

Pengaturan untuk pekerja bisa dibedakan areanya dengan identitas yang berbeda (seragam, sepatu bot atau cat tembok yang berbeda antar fase pemeliharaan) sehingga pelanggaran wilayah kerja bisa diminimalkan karena pekerja dengan mudah akan teridentifikasi.

Contoh, lantai logam dan plastik lebih bersih baik digunakan untuk kandang melahirkan, walaupun mungkin sedikit kurang nyaman untuk ternak dan alas jerami mungkin lebih nyaman, tetapi meningkatkan risiko wabah diare. Sistem ventilasi juga harus ditambahkan agar sirkulasi lebih baik dan mengurangi jumlah mikroorganisme di lingkungan, terutama patogen pernapasan.

Pembersihan dan Desinfeksi Kandang. Mirip dengan proses pada truk, kandang juga harus dibersihkan terlebih dahulu dari sampah organik, lalu dicuci dengan air sabun/air panas, bilas dan dikeringkan, baru kemudian di desinfeksi.  Streptococcus suis dapat diantisipasi dengan penggunaan desinfektan yang mengandung senyawa fenil, klorin, dan yodium.

Kemudian terkait tindakan higienis saat pemberian vaksin dan obat-obatan, managemen jarum suntik harus dijalankan dengan baik. Seringkali pekerja melihat penggantian jarum sebagai pemborosan waktu sehingga perlu diingatkan dan dimonitor agar transmisi penyakit karena penggunaan jarum tidak dilakukan.  Idealnya adalah 1 induk 1 jarum, atau 1 jarum untuk 1 induk dan anak sekelahirannya.

Pekerja Kandang. Personel yang bekerja di peternakan juga memegang peran penting untuk menjaga biosekuriti internal. Misalnya, seorang pekerja di fase penggemukan tidak boleh pergi ke kandang breeding melahirkan. Untuk memudahkan, umumnya ada pewarnaan area dinding, alas kaki/bot dan pakaian seragam yang berbeda antar fase pemeliharaan.

Penggunaan sarung tangan, mencuci tangan secara berkala, dan perawatan footbath untuk merendam alas kaki akan mengurangi dampak pekerja yang bertindak sebagai sumber penularan. Khusus untuk foot bath membutuhkan perhatian yang terus menerus untuk menghindari penumpukan bahan organik yang berlebihan yang berpotensi menurunkan kinerja desinfektan. Waktu kontak menjadi point utama dalam pemilihan disinfektan mengingat proses ini berjalan relatif cepat. Jika di lokasi peternakan tidak tersedia footbath, maka paling ideal adalah memiliki alas kaki khusus di setiap fase pemeliharaan.

Agar proses desinfeksi optimal, sangat disarankan untuk terlebih dahulu membersihkan sepatu bot dari material organik dengan menggunakan sikat dan air sabun, baru diikuti proses perendaman sepatu bot yang sudah bersih ke dalam larutan disinfektan minimal 5 menit. Larutan desinfektan sebaiknya juga diganti setiap hari.

PENILAIAN BIOSEKURITI.

Tidak ada sistem yang sempurna, oleh karena itu saat sebuah peternakan sudah merancang dan menerapkan program biosekuriti harus tetap dilakukan evaluasi secara berkala. Penilaian tersebut dapat digunakan untuk memprioritaskan tindakan biosekuriti mana yang harus ditingkatkan atau diterapkan terlebih dahulu untuk mengurangi kemungkinan pengenalan dan/atau penyebaran penyakit. Evaluasi ini  memungkinkan untuk meningkatkan manajemen risiko yang terkait dengan penularan penyakit baik di tingkat peternakan maupun di tingkat wilayah sehingga juga mampu meningkatkan motivasi dan kesadaran pada peternak, pekerja dan dokter hewan.

Menilai list program biosekuriti juga termasuk mengukur rute potensial untuk penularan penyakit. Survei terkait epidemiologi termasuk pertanyaan yang mengevaluasi langkah-langkah biosekuriti eksternal dan internal yang diterapkan pada berbagai rute pengenalan dan penyebaran patogen dapat digunakan.

Penilaian Berdasarkan Skor. Penilaian biosekuriti ini yang paling umum dilakukan yang didasarkan pada nilai standart yang ditetapkan tenaga ahli biosekuriti.

Beberapa sistem penilaian sudah dikembangkan, antara lain adalah yang dikembangkan peneliti  dari Universitas Ghent (Biocheck UGent™), dimana nilai praktik biosekuriti dan jalur yang berbeda untuk penularan penyakit dikalikan dengan faktor bobot yang memperhitungkan kepentingan relatifnya, sehingga memperoleh skor berbasis risiko. Sistem evaluasi diatas serupa dengan sistem BioAsseT. Selain evaluasi yang bersifat umum, ada juga dilaporkan sistem yang secara khusus mengevaluasi untuk patogen tertentu (PRRS, Brachyspira hyodysenteriae, Mycoplasma hyopneumoniae). Beberapa metode statistik untuk mengembangkan skor biosekuriti berdasarkan peringkat praktik biosekuriti menurut kepentingannya juga jamak diterapkan di peternakan.

Penilaian Biosecurity dengan Probabilitas. Model statistik multivariat, Bayesian Belief Networks dan mesin algoritma adalah beberapa model statistik yang digunakan untuk mengukur kemungkinan terjadinya penyakit dan untuk mengevaluasi dampak penerapan program biosekuriti. Metode ini mungkin berguna untuk pengembangan alat untuk mengukur, membandingkan, dan mengelola praktek biosekuriti.

Penilaian resiko kuantitatif yang dijelaskan oleh OIE mungkin juga berguna untuk memperkirakan probabilitas pengenalan penyakit dan untuk memprioritaskan tindakan biosekuriti berdasarkan dampaknya terhadap kemungkinan penularan penyakit. Tujuan akhir dari analisis risiko adalah untuk memberikan bukti yang mendukung keputusan yang diambil untuk mengurangi resiko penyebaran penyakit. Model ini mempertimbangkan jalur dan peristiwa yang berbeda dimana patogen dapat diperkenalkan dan ditransmisikan. Probabilitas didasarkan pada pengetahuan terbaik saat itu dengan mempertimbangkan ketidakpastian/variabilitas, dan kemudian ditentukan probabilitas untuk setiap jalur dan secara global dengan indikasi interval kepercayaan. Model penilaian risiko kuantitatif terutama digunakan untuk memperkirakan probabilitas pengenalan penyakit di tingkat negara dan untuk penyakit tertentu.

Model penilaian resiko kuantitatif juga memiliki beberapa keterbatasan karena rumit, memakan waktu dan membutuhkan banyak data yang tidak selalu tersedia. Namun demikian, metode ini membantu dalam memperkirakan kemungkinan masuknya penyakit berdasarkan praktek biosekuriti yang ada sehingga dapat mendukung pengambilan keputusan mengenai tindakan biosekuriti apa saja yang harus diprioritaskan.

Desain dan Implementasi Program Biosekuriti. Program biosekuriti dapat dirancang untuk penyakit tertentu dan fokus pada langkah-langkah terhadap penyakit itu, atau bisa lebih umum dan dapat dirancang untuk mengurangi resiko yang umum terhadap beberapa penyakit yang berbeda. Oleh karena itu, langkah pertama yang harus dilakukan adalah mengetahui daftar penyakit yang bersirkulasi di peternakan dan resiko penyakit lain tidak diinginkan, untuk kemudian dilakukan identifikasi rute penularan yang mungkin terjadi sehingga tindakan pencegahan dapat disiapkan di tempat yang paling efektif.

Setelah program disepakati, maka untuk pelaksanaanya harus dibuat aturan yang detail yang menjelaskan langkah demi langkah tindakan yang akan diterapkan serta disosialisasikan ke seluruh pekerja yang terlibat di peternakan. Training dan pelatihan biosekuriti ini idealnya dilakukan secara periodik untuk menjaga level kewaspadaan tetap tinggi, karena jika program berhasil terkadang bisa membuat kita lengah dan terjadi pelonggaran dalam penerapannya dilapangan. Program ini harus dipahami oleh semua tanpa terkecuali dan ada team khusus yang mengawasi.

Faktor lain yang berdampak besar dalam penerapan langkah-langkah biosekuriti adalah persepsi resiko penyakit dan konsekuensinya di peternakan. Tantangan terbesar praktek biosekuriti ini umumnya terjadi di lingkungan komplek peternakan, dimana tidak semua peternak memiliki pemahaman dan level biosekuriti yang sama. Kekompakan seringnya baru terwujud ketika wabah sudah terlanjur masuk ke area peternakan.  Seharusnya, program biosekuriti dalam suatu komplek peternakan bisa disinergikan sehingga potensi penularan penyakit antar tetangga bisa diminimalkan saat ada wabah terjadi.  Jadi semua peternak harus berpartisipasi dan bertanggung jawab untuk mencegah penyebaran penyakit.

Kesimpulan
Biosekuriti menjadi elemen penting dalam produksi ternak, khususnya dalam sistem pemeliharaan intensif di peternakan skala industri. Upaya menghindari pengenalan patogen baru dan membatasi penyebarannya akan berkontribusi pada peningkatan kesejahteraan babi, produktivitas peternakan dan juga akan berkontribusi pada kesehatan masyarakat.  Pengetahuan yang lebih baik tentang epidemiologi penyakit babi akan berkontribusi pada desain program biosekuriti yang tepat sasaarn. Pastikan semua pihak yang terkait ikut berpartisipasi dan terlibat, serta lakukan evaluasi dan training berkelanjutan untuk menjaga tingkat kewaspadaan tetap tinggi. Baca juga : Biosekuriti di Era New Normal

Referensi :

  1. https://link.springer.com/article/10.1186/s40813-020-00181-z Biosecurity in Pig Farm : a review
Perkembangan Vaksin ASF

Perkembangan Vaksin ASF

Kasus African Swine Fever (ASF) di Asia sudah berjalan hampir 3 tahun ini sejak pertama kali ditemukan di China Agustus 2018 lalu. Namun demikian, tanda-tanda perkembangan penelitian vaksin sepertinya masih belum sesuai harapan dan peternak dibuat galau menunggu. Kenyataan bahwa ASF sudah ditemukan sejak tahun 1910 di Kenya Afrika tidak serta merta membuatnya menjadi prioritas utama dalam pengembangan vaksin. Negara-negara di Eropa lebih mengutamakan biosekuriti dalam upaya penaanggulangan ASF selama ini, sedangkan negara-negara di Asia harus berjuang ekstra keras untuk melawan ganasnya serangan virus ASF, termasuk negara kita. Perbedaan sistem pemeliharaan di Asia yang didominasi backyard farm membuat ASF seperti dengan mudahnya menyerang karena lemahnya biosekuriti dan juga kondisi peternakan yang umumnya saling berdekatan dalam suatu kompleks. Berikut adalah laporan update laporan perkembangan penyebaran kasus ASF periode 1-15 april 2021 :

Lalu apa sebenarnya yang membuat vaksin ASF belum ada sampai saat ini? Mari kita coba belajar bersama mengenai hal ini.

Epidemiologi. Periode panjang kejadian ASF di Afrika kemungkinan telah menyebabkan terjadinya variasi virus dengan berbagai tingkat virulensi / keganasan. Ada 23 Genotipe virus ASF yang berbeda telah berhasil di identifikasi oleh para ahli dengan area geografis yang berbeda dalam waktu yang lama di Afrika. Babi Hutan / liar di Afrika yang sudah terinfeksi ASF dalam jangka panjang akhirnya sudah “kebal” dengan virus ini. Babi ini walaupun terpapar oleh virus ASF tidak menunjukkan gejala klinis (subklinis dan asimptomatik).

ASF hanya mempengaruhi spesies dalam family suidae, baik babi liar maupun domestik dari semua ras dan usia. Saat ASF pertama masuk ke Eropa tahu 1950an, babi hutan / liarnya (Sus scrofa) dan babi domestiknya yang masih FREE ASF akhirnya mengalami wabah seperti yang dialami Asia saat ini. Babi hutan / liar di Eropa saat itu masih sangat rentan terhadap virus ASF dan menunjukkan gejala klinis yang sama dan mematikan seperti kejadian pada babi domestik. Saat itu, banyak negara di Eropa menerapkan startegi biosekuriti ketat dan depopulasi total untuk peternakan domestik yang terdampak ASF. Hal ini tentunya bertujuan untuk eliminasi virus ASF di lapangan dan menghindari adanya babi carrier yang berpotensi sebagai sumber penularan. Opsi penggunaan vaksin sempat dilakukan di Spanyol tetapi berakibat sulitnya eliminasi virus ASF tersebut. Karena penggunaan vaksin yang belum teruji keamanan dan keampuhannya ini, maka penyebaran virus menjadi sulit dikendalikan dan memerlukan waktu 30 tahun untuk proses eliminasinya. Oleh karena itu, penerapan strategi deteksi dini, depopulasi dan biosekuriti ketat menjadi pilihan negara-negara Eropa dan terbukti berhasil mengendalikan penyebaran ASF di peternakan domestik dalam jangka waktu yang cukup lama. Baca juga : Pengendalian Penyakit ASF di Masa Lalu.

Tahun 2007 ASF kembali muncul di Eropa (Georgia) dan dari tahun ke tahun ternyata kejadian ASF semakin meluas. Mengingat situasi yang semakin berbahaya ini, maka tahun 2017 diputuskanlah untuk memulai proyek pengembangan vaksin ASF oleh European Commission (Kesehatan dan keamanan pangan) dengan target 8-10 tahun. Artinya proses penemuan vaksin yang aman dan ampuh ini ditargetkan terwujud paling cepat pada tahun 2025. Penelitian ini melibatkan beberapa ahli dan laboratorium di seluruh dunia sebagai upaya untuk mendapatkan vaksin ASF yang aman dan ampuh. Semoga berhasil ya, karena kita sudah beberapa kali mendengar adanya informasi progress pengembangan vaksin yang baik dalam 2 tahun terakhir.

Terkait kejadian di peternakan babi domestik, ini umumnya terjadi pada kandang yang masih menerapkan sistem free range. Sistem ini tentunya lebih rentan dengan kontak langsung dengan babi hutan / liar yang kemungkinan besar sudah positif ASF. Jadi skenario epidemiologi yang terjadi di Eropa ini terjadi kemungkinan karena tidak adanya upaya pengendalian dan kontrol ASF terhadap babi hutan / liar. Penyebaran virus diantara babi hutan / liar sulit terdeteksi, sehingga terjadi peningkatan jumlah hewan pembawa yang menjadi reservoar / sumber penularan diantara populasi tersebut. Berikut adalah gambaran epidemiologi / perkembangan kasus ASF di Eropa yang memperlihatkan peningkatan kasus ASF dari tahun ke tahun.

Mutasi virus ASF di China. Dari update penelitian terbaru, dilaporkan bahwa pengawasan terhadap virus ASF di 7 propinsi Cina, dari periode Juni – Desember 2020 ditemukan ada sebanyak 22 virus ASF jenis baru. Semua virus ASF yang berhasil diisolasi ini dicirikan dan termasuk dalam genotipe II, tetapi menunjukkan gambaran mutasi, penghapusan, penyisipan, atau penggantian fragmen pendek yang terjadi di semua isolat. Hal ini berbeda dengan virus ASF yang berhasil diisolasi pada awal kejadian di Cina, yaitu Pig/HLJ/2018 (HLJ/18).

Proses panjang dan tantangan infeksi yang terus-menerus, mengakibatkan ternak babi bertindak sebagai reservoir virus dan menyebabkan infeksi terus-menerus selama hidupnya. Hal ini bisa terjadi dalam kondisi outbreak yang meninggalkan populasi yang selamat sebagai hewan carrier ataupun penggunaan vaksin yang belum terbukti keamanan dan keampuhannya. Inilah gambaran yang juga terjadi di Cina, dimana penelitian juga berhasil mengidentifikasi virus ASF yang kehilangan 2 gennya (double gen deleted). Proses ini tentunya bukan merupakan mutasi alamiah yang dimungkinkan terjadi pada virus, melainkan ini diyakini merupakan hasil intervensi manusia. Ada oknum yang berusaha memproduksi vaksin dengan memanipulasi gen virus ASF tetapi proses pembuatannya tidak sempurna sehingga mengakibatkan virus yang disuntikkan tersebut akhirnya “terlepas” ke lingkungan dan menjadi strain baru yang menyulitkan dalam monitoring dan pengendaliannya.

Temuan virus vaksin ilegal ini kemudian diteliti lebih jauh terkait dampaknya di peternakan. Vaksin double gene deleted ini menimbulkan efek samping berupa gejala yang mirip dengan penyakit PRRS (Porcine Reproductive and Respiratory Syndrome). Gangguan yang ditimbulkan pada breeding meliputi stillbirth, mumifikasi, embryonic death, infertilitas dan aborsi, serta terkadang juga berakhir dengan kematian (walaupun sedikit). Untuk kejadian di anakan babi umumnya lahir lemah dan yang bisa bertahan sampai periode grower dan finisher akan mengeluarkan virus terus-menerus dan sehingga menjadi sumber penularan yang berbahaya. Peternak akhirnya juga mengalami kesulitan membedakan antara kasus PRRS dengan PRRS like karena vaksin ilegal ini. Bentuk kronis ini bisa mengganggu sistem kekebalan tubuh ternak. Lesi yang terlihat umumnya berupa infark dan juga perubahan pada limpoglandula dan ginjal, sedangkan secara mikroskopis akan terlihat kerusakan jaringan dan perdarahan pada berbagai organ.

Penggunaan ilegal vaksin secara umum memang bisa memunculkan antibodi untuk melawan ASF setelah 2-3 minggu pelaksanaan vaksinasi, tetapi ini ternyata terjadi hanya pada sebagian ternak babi saja. Kondisi outbreak ASF bisa meninggalkan 5-20% ternak yang selamat. Namun, selain terbentuknya antibodi dalam tubuh survival tadi ternyata didalam tubuh ternak tersebut juga ditemukan adanya virus ASF (wild type). Kondisi ini bisa terjadi dalam beberapa minggu bahkan beberapa bulan setelah paparan virus ASF. Selain ditemukan didalam darah, wild type virus ini juga bisa terdeteksi di jaringan.

Mekanisme sistem kekebalan yang belum sepenuhnya dipahami ini juga menjadi alasan mengapa vaksin ASF yang aman dan ampuh sampai saat ini belum bisa ditemukan. Harbin veterinary research juga sedang melakukan penelitian terkait vaksin attenuated dengan memotong 7 gen dari virus ASF, namun mereka tidak mau terburu-buru untuk melakukan produksi masal untuk komersial sebelum berhasil lolos uji keamanan yang diwajibkan oleh otoritas yang berwenang.

Februari lalu, Navetco National Veterinary JSC yang berada dibawah Departemen Pertanian Vietnam, juga mengumumkan hasil yang menggembirakan berkenaan dengan keberhasilan uji coba vaksin ASF mereka. Penelitian yang bekerja sama dengan USDA (Departemen Pertanian Amerika Serikat) ini mencatatkan 5x trial dengan tingkat proteksi 94,7%. Namun demikian, mereka menyatakan bahwa masih ada tantangan untuk memproduksi vaksin ini dalam skala besar. Selain terkait biaya produksi, memastikan kualitas produk yang konsisten dengan menjaga kemurnian untuk menghindari efek samping juga menjadi perhatian besar. Jadi, sekali lagi masalah safety / keamanan masih menjadi issue yang harus diselesaikan sebelum melangkah ke tahapan pengembangan vaksin selanjutnya.

ASF Alert. Setelah adanya publikasi bahwa ada mutasi virus ASF di China, maka FAO dan OIE mengeluarkan surat tentang adanya “atypical ASF Strain” ini pada tanggal 29 Maret 2021 untuk meningkatkan kewaspadaan para pelaku usaha peternakan babi, terutama terhadap bahaya penggunaan vaksin ilegal ini. Dengan tegas mereka menyatakan bahwa :

  1. BELUM ADA satupun vaksin ASF yang direstui di dunia ini, yang bisa membuktikan dengan kelengkapan bukti data safety dan efficacy. Jadi, jika dilapangan anda menemukan adanya vaksin ASF dalam bentuk apapun yang ditawarkan, maka itu adalah vaksin palsu ataupun vaksin yang berisi virus ASF yang tidak stabil / proses pelemahannya tidak sempurna yang beresiko mencemari lingkungan dan berpotesi menjadi sumber penyebaran virus ASF.
  2. BIOSEKURITI tetap menjadi strategi pengendalian dan kontrol ASF yang terbukti efektif. Kombinasi antara upaya deteksi dini dan respon cepat menjadi kunci dalam mencegah penyebaran virus ASF. Pengawasan ketat di perbatasan harus dimaksimalkan, sedangkan pengawasan lalu lintas pergerakan babi hutan / liar masih memerlukan usaha yang ekstra.
  3. Penggunaan vaksin yang belum teruji keefektifan dan keamanannya akan menimbulkan dampak besar bagi industri peternakan babi dan berpotensi mengganggu usaha pengendalian dan kontrol ASF di level negara dan internasional. Vaksin ASF yang saat ini beredar tidak akan mampu melindungi ternak babi secara penuh dan beresiko menjadi sumber penularan kepada peternakan lainnya. Efek buruk penggunaan vaksin ilegal ini bisa teramati di fase penggemukan dan breeding. Selain itu, angka kejadian kasus ASF bentuk kronis juga akan meningkat sehingga semakin menyulitkan dalam mengidentifikasi dan mengeliminasi virus ini. Jika ternyata proses pembuatan vaksin tidak benar maka juga akan berpotensi terjadinya kontaminasi patogen lain yang akan meningkatkan resiko penularan penyakit yang lain.
  4. Penggunaan vaksin ilegal ini akan meningkatkan resiko dalam jangka panjang. Semua vaksin harus melewati tahapan uji yang ketat untuk memastikan keamanan dan keampuhannya, serta harus melalui persetujuan dari pihak-pihak yang berwenang sebelum kemudian menjadi produk final yang berbukti klinis aman dan ampuh. Jika vaksin yang dibuat ini merupakan virus hidup yang dilemahkan (attenuated) tetapi tidak melewati uji keamanan dan keampuhan maka bisa mengakibatkan terulangnya sejarah kelam di Spanyol dan Portugal pada tahun 1960an, dimana vaksin ilegal akhirnya membuat proses eradikasi memakan waktu sekitar 30 tahun.
  5. Temuan ASF “jenis baru” ini entah karena penggunaan ilegal vaksin ataupun mutasi alami akan mengakibatkan kajian epidemiologi menjadi semakin sulit. Jika gejala klinis berubah menjadi bentuk kronis atau tanpa gejala maka tindakan deteksi dini, surveilence dan upaya pencegahan menjadi terlambat.

Terlampir adalah surat resmi berkenaan dengan ditemukannya mutasi virus ASF :

Nah, bagaimana…apakah kita sudah memiliki sudut pandang yang positif dari perkembangan vaksin ASF saat ini. Vaksin yang aman dan ampuh pasti akan ditemukan, namun kita memang harus lebih bersabar dan tetap menunggu dengan sikap optimis. Proses penelitian dan uji-uji klinis masih terus berjalan dan memerlukan waktu untuk memastikan industri ini mendapatkan vaksin yang aman dan ampuh tanpa efek samping yang membahayakan. Jangan tergoda untuk mencoba menggunakan vaksin ilegal demi kelangsungan industri babi yang berkelanjutan. Pastikan kita meningkatkan kemampuan deteksi dini dan juga meningkatkan fasilitas kandang terutama menyangkut biosekuriti, karena hanya dengan cara inilah kita bisa mengupayakan pengendalian dan kontrol ASF dengan cara yang baik. Baca juga : Pentingnya Biosekuriti pada Peternakan Babi. dan Bioosekuriti di Era New Normal.

Sukses selalu.

Referensi :

  1. Events detail (gf-tads.org)
  2. African_swine_fever_virus_virion_TEM.jpg (625×625) (wikimedia.org)
  3. Emergence and prevalence of naturally occurring lower virulent African swine fever viruses in domestic pigs in China in 2020 (sciengine.com)
  4. PigProgress – ASFv mutation in China: What does it mean on-farm?
  5. PigProgress – ASF China: Mutations confirmed by Chinese scientists
  6. ASF vaccine on track for unveiling (vir.com.vn)
  7. African Swine Fever – Generalized Conditions – Merck Veterinary Manual (merckvetmanual.com)
  8. African swine fever: OIE – World Organisation for Animal Health
  9. cff_animal_vet-progs_asf_blue-print-road-map.pdf (europa.eu)
Biosekuriti di era New Normal

Biosekuriti di era New Normal

Biosekuriti adalah pendekatan strategis dan terintegrasi yang mencakup kerangka kebijakan dan peraturan untuk menganalisis dan mengelola resiko yang relevan terhadap kehidupan manusia, hewan dan tumbuhan, serta kesehatan dan lingkungan. Biosekuriti meliputi keamanan pangan, zoonosis, dan pengenalan penyakit serta hama hewan dan tumbuhan, pengenalan dan evaluasi hasil modifikasi organisme hidup (living modified organisms – LMOs) dan produknya (genetik organisme yang dimodifikasi atau genetically modified organisms – GMOs), dan managemen pengelolaan terhadap spesies asing. Jadi biosekuriti adalah konsep holistik yang memiliki relevansi langsung, keberlanjutan dan secara luas meliputi beraneka ragam aspek dalam kesehatan masyarakat dan perlindungan lingkungan, termasuk keanekaragaman hayati. Goal dari biosekuriti secara luas meliputi human life and health (manusia, termasuk keamanan pangan), animal life and health (hewan, termasuk ikan), plant life (tanaman, termasuk hutan), dan environmental protection (lingkungan).

Dalam dunia peternakan, penyakit dapat ditularkan melalui paparan hewan ke hewan, kendaraan, peralatan, pakaian, dan sepatu pengunjung atau karyawan yang pernah kontak dengan kawanan, kontak dengan hewan lain (kuda, anjing, kucing, satwa liar, hewan pengerat, burung, serangga), dan kontaminan yang lainnya termasuk makanan dan pengelolaan kotoran. Pencegahan penyebaran penyakit infeksi di peternakan dan lingkungannya dilakukan dengan menggunakan tindakan biosekuriti yang meliputi kondisi higienis dan iklim pemeliharaan ternak, perawatan, nutrisi, surveilans, regenerasi dan penularan penyakit, pengendalian wabah, perawatan peralatan dan proses produksi. Diperlukan evaluasi menyeluruh terhadap kondisi lingkungan dan sejarah kasus penyakit untuk memetakan tantangan, menganalisa serta menyusun strategi yang sesuai agar usaha peternakan kita menguntungkan. Oleh karena itu, dalam perencanaan program biosekuriti umumnya meliputi kondisi aktual berdasarkan data rekording yang baik, isolasi peternakan (keseluruhan atau individu, termasuk ternak baru dalam kawanan), status kesehatan ternak, evaluasi peralatan kandang dan pegawai, pengendalian lalu lintas (manusia, sumber air dan pakan, pupuk kandang, dan kendaraan, penanganan bangkai), lokasi (kemungkinan kontak dengan hewan liar dan hewan pengerat, burung) serta sanitasi.

Terlepas ada tidaknya program vaksinasi dalam menjalankan usaha peternakan, program biosekuriti menjadi komponen penting untuk mencegah penularan penyakit. Peternakan yang menjalankan manajemen dengan baik dengan didukung program biosekuriti dan vaksinasi yang sesuai dengan tantangan lapangan mempunyai resiko yang lebih kecil terhadap kejadian penyakit. Baca juga : Penyakit Pernafasan pada Babi. Terkait dengan penyakit yang sudah ada vaksinnya, peternak idealnya bisa memaksimalkan imunitas dengan melakukan program vaksinasi. Vaksinasi tentunya tidak menjamin ternak kita aman dari serangan penyakit, akan tetapi dengan vaksinasi kita meminimalkan resiko ternak kita dari kerugian yang parah jika sampai ada outbreak penyakit. Akan tetapi, jika terjadi wabah dimana belum ditemukan vaksin seperti halnya African Swine Fever (ASF) saat ini maka menajemen dan biosekuriti menjadi tumpuan dalam menghadapi resiko serangan penyakit tersebut. Contoh biosekuriti di negara eropa terkait pengendalian ASF adalah pembuatan pagar sebagai barrier fisik untuk mencegah ternak berinteraksi dengan babi hutan/liar dan hewan liar lainnya, pelarangan praktek swill feeding di peternakan babi, kontrol lalu lintas kendaraan dan manusia dengan menempatkan rambu-rambu dilarang masuk/biosecurity allert di pintu masuk lokasi kandang. Pengendalian hewan liar seperti anjing, kucing, burung dan hama (tikus, lalat, nyamuk, serangga) juga menjadi bagian penting dalam program biosekuriti karena bisa jadi vektor penularan penyakit. Baca juga : Pentingnya biosekuriti pada peternakan babi

Terkait praktek biosekuriti di peternakan babi, Johnna S. Seaman dan Thomas J. Fangman dari Departemen Kedokteran Hewan Universitas Missouri menyampaikan bahwa pengendalian penyakit adalah bagian yang paling menantang bagi produsen/peternak dan dokter hewan. Biosekuriti sering dianggap sebagai upaya menjauhkan penyakit dari kawanan babi. Hal ini menurut saya mungkin benar jika kita mengacu pada kasus ASF, dimana kita tidak ingin ternak kita yang masih “bersih” dari ASF akhirnya terpapar dan berakibat kematian karena ternak kita belum memiliki imunitas terhadap ASF. Namun, dalam konteks penyakit yang sudah ada di lingkungan kandang, program biosekuriti ini lebih ditujukan untuk mencegah patogen tersebut menginfeksi ternak atau jika sampai terinfeksi kejadiannya tidak menular ke kawanan ternak yang lainnya sehingga meminimalkan resiko kerugian. Mengapa demikian? Karena pada kenyataannya, proses mengeliminasi/menghilangkan patogen dalam suatu kandang bukanlah pekerjaan mudah karena faktor alami keberadaan patogen, kondisi endemik suatu kawasan, dan adanya populasi ternak itu sendiri sebagai target dari patogen tersebut. Oleh sebab itu, jika suatu kandang terpapar ASF maka tindakan yang dilakukan saat ini adalah depopulasi, yaitu mengosongkan kandang, proses sanitasi dan desinfeksi, serta istirahat kandang yang relatif lama untuk memastikan virus ASF sudah tidak terdeteksi lagi, baru kemudian memulai proses repopulasi dengan serangkaian uji laboratorium. Secara umum, dengan program biosekuriti yang baik maka pertumbuhan optimal dalam usaha peternakan dapat dicapai dengan meminimalkan efek negatif penyakit dan produktivitas yang tinggi. Prinsipnya adalah bagaimana kita menekan kasus reproduksi di breeding seperti kawin berulang, aborsi, mummifikasi, lahir lemah/mati sehingga jumlah anakan yang dihasilkan induk banyak serta bagaimana kita menekan deplesi di anakan di fase menyusi dan sapihan sehingga angka panen juga tinggi. Untuk bisa mencapai hal itu dan memaksimalkan potensi genetik ternak babi kita, maka paparan terhadap patogen harus diminimalkan dengan manajemen, biosekuriti dan vaksinasi yang baik. Paparan patogen yang minimum ini adalah tujuan dari program biosekuriti di peternakan sehingga penghasilan peternak bisa optimal. Baca juga : Bagaimana-menjalankan-usaha-peternakan-babi-yang-menguntungkan?

Di masa sekarang ini, biosekuriti juga dimaksudkan untuk mengurangi penggunaan antibiotik di peternakan sehingga mengurangi resiko resistensi antibiotik pada manusia. Elemen biosekuriti seharusnya mencakup :

  1. Pembersihan semua ruangan secara menyeluruh dengan mesin bertekanan tinggi dan desinfektan berspektrum luas.
  2. Konstruksi bangunan kandang yang optimal untuk menghindari kontak fisik atau udara bersama di antara kelompok umur babi yang dipelihara.
  3. Jika dalam kandang terdapat banyak ruangan/pen dan populasi babi dari berbagai umur, maka harus diatur urutan pemelihaannya sehingga babi dengan status kesehatan tertinggi (biasanya babi yang lebih muda) harus ditangani terlebih dahulu. Lalu lintas pekerja juga kandang diatur jika dia harus memelihara beberapa kelompok umur.
  4. Pekerja sebelum masuk ke area kandang idealnya harus mandi dan selalu mengenakan pakaian bersih dan alas kaki/sepatu bot khusus untuk aktifitas di dalam kandang serta lakukan pembersihan dan sanitasi pakaian/sepatu bot tersebut dengan baik.
  5. Bangunan kandang harus tahan terhadap hewan pengerat dan lakukan pembasmian/kontrol hama dengan baik
  6. Kendaraan tidak boleh memasuki lokasi kecuali telah dibersihkan dan di desinfeksi.
  7. Tempatkan hewan mati di luar (tempat penampungan khusus) untuk kemudian dipindahkan atau dikuburkan.
  8. Sediakan tempat untuk fasilitas pemuatan saat panen di sekitar kandang – akan lebih baik jika lokasinya agak jauh sehingga tidak ada mobil panen yang masuk dalam lokasi kandang
  9. Minimalkan jumlah pengunjung, dan minta mereka mengenakan pakaian dan sepatu bot yang bersih yang disediakan khusus untuk tamu.
  10. Pasang pagar pembatas di sekitar kandang untuk mencegah kontak yang tidak diinginkan dari orang, hewan peliharaan, dan hewan liar.

Lokasi. Kawanan babi idealnya harus ditempatkan sejauh mungkin dari kawanan babi yang lain (jarak antar lokasi peternakan 1,5 mil). Selain itu, perhatian juga harus diberikan terhadap arah angin dan keberadaan babi hutan/satwa liar lain. Beberapa patogen dapat menyebar melalui udara, seperti Porcine Reproductive and Respiratory Syndrome (PRRS) dan Mycoplasma hyopneumoniae. Jika dalam lokasi peternakan terdapat hewan atau ternak lain, maka fasilitas ternak babi harus ditempatkan setidaknya 100 yard dari hewan lain. Jarak bangunan kandang dalam 1 lokasi peternakan yang sama sebaiknya sekitar 50 yard. Selain itu, bangunan harus terletak setidaknya 100 yard dari jalan umum terutama jika ada lalu lintas/transportasi babi di jalan tersebut untuk meminimalkan paparan. Pagar/pembatas kandang juga idealnya harus dibuat mengelilingi lokasi peternakan untuk menjaga lalu lintas dan interaksi hewan liar/manusia yang tidak berkepentingan. Selain itu, pintu masuk harus dipagari dan dikunci serta memiliki tanda peringatan bahwa peternakan kita memiliki kebijakan biosekuriti.

Orang. Kantor dan pintu masuk utama peternakan sebaiknya terletak di dekat pagar / perimeter dan harus memiliki dapur umum sehingga karyawan dapat makan tanpa harus meninggalkan fasilitas selama hari kerja. Pekerja kandang tidak boleh tinggal di lokasi peternakan babi lain atau bersentuhan dengan babi di luar peternakan tempat mereka bekerja. Sangat disarankan juga untuk menempatkan orang khusus untuk mengawasi lalu lintas orang dan kendaraan dalam aktivitas di peternakan. Jika ada tamu/dokter hewan yang harus masuk ke lokasi kandang, harus dipastikan tidak boleh ada kontak dengan babi setidaknya selama 24 jam sebelum tiba di kandang kita. Buku tamu pengunjung penting untuk menyimpan catatan siapa saja yang telah melakukan kontak dengan ternak kita sehingga jika ada penyakit muncul, dimungkinkan untuk melakukan evaluasi dari mana patogen itu berasal. Pintu harus senantiasa ditutup terutama saat karyawan tidak berada di lokasi, dan selain itu juga bisa berfungsi sebagai penghalang masuknya hewan liar ke dalam lokasi kandang. Semua karyawan dan pengunjung harus mandi sebelum memasuki fasilitas peternakan dan berganti seragam/baju dan alas kaki khusus untuk aktifitas di dalam kandang. Setelah selesai, segera bersihkan alas kaki dan baju kemudian dicuci. Pekerjaan harian harus diselesaikan dalam urutan status kesehatan tertinggi ke status kesehatan terendah untuk mencegah penyebaran patogen dari kawanan ternak ke babi yang lebih muda/rentan.

Pig Flow. Babi seharusnya dipindahkan secara all-in / all-out (AIAO), artinya konsep memindahkan babi dengan usia sama pada waktu yang bersamaan juga. Hal ini bertujuan untuk menghindari resiko penularan penyakit dari babi yang lebih tua ke muda, selain itu hal ini juga bisa meningkatkan efisiensi pakan. Sering kali peternak “meninggalkan” babi yang pertumbuhannya lambat ke kelompok yang lebih kecil. Praktek ini sebaiknya dihindari karena ketika sebuah kelompok dipindahkan dari fasilitas mana pun, area yang ditinggalkan tersebut perlu dibersihkan, dicuci dan di desinfeksi dengan benar (minimal 6-8 jam sebelum kembali diisi hewan baru flok selanjutnya). Jika kandang yang akan dipakai tidak ada perlakuan dan masih ada kelompok umur yang lain tersisa disitu, maka resiko kejadian penyakit akan lebih tinggi. Jadi pengelompokan untuk anak babi yang baru lahir, sapihan, grower, finisher perlu ditempatkan secara terpisah karena tingkat kesehatan dan biosekuriti yang berbeda untuk setiap kelompok umur. Sering ditemukan bahwa agen penyakit mungkin tidak menyebabkan sakit pada satu kelompok usia, tetapi sangat patogen bagi kelompok lain karena perbedaan status imunitas. Untuk pemeliharaan di kandang melahirkan (farrowing house), sebaiknya batasi akses orang yang tidak berkepentingan dan tempatkan indukan bunting yang prediksi kelahirannya berada dalam interval dibawah 14 hari. Karena perbedaan status kekebalan dan paparan patogen, sekali lagi sebaiknya jangan mencampur babi dari kelompok/peternakan yang berbeda dan jika ada babi mati harus segera disingkirkan untuk menghindari cemaran, hewan liar ataupun lalat.

Fasilitas. Semua bangunan, terutama bangunan berventilasi alami / kandang terbuka, harus memiliki sekat/barrier untuk mencegah masuknya serangga, burung, dan hewan peliharaan atau hewan liar. Selalu jaga kebersihan agar lalat, tikus dan hewan pengerat lainnya tidak memiliki akses ke lokasi pakan atau air. Lakukan pembersihan untuk menghilangkan bahan organik yang dapat menghambat kerja sebagian besar disinfektan. Pencucian dengan air panas adalah cara yang baik untuk menjaga kebersihan fasilitas, penggunaan deterjen dan desinfektan akan semakin mengurangi kemungkinan patogen bertahan hidup di dalam lokasi peternakan. Usahakan untuk memilih bahan kandang yang tahan lama dan mudah dicuci. Jika kita menggunakan peralatan bekas pakai sebaiknya didesinfeksi dahulu sebelum memasuki fasilitas. Pastikan kita mempunyai protokol biosekuriti yang baik dan dipahami oleh semua personel di dalam lokasi peternakan kita. Footbath / celup kaki dengan desintektan idealnya ditempatkan di pintu masuk setiap ruangan sehingga meminimalkan resiko penularan jika kondisi karyawan kita terpaksa harus memelihara lebih dari satu kelompok umur babi, dan lakukan penggantian larutan desinfektan tersebut secara teratur.

Fasilitas bongkar muat/panen. Fasilitas ini sebaiknya terletak di luar kandang sehingga kendaraan tidak masuk ke dalam lokasi peternakan. Jika memungkinkan, fasilitas ini bisa berada minimal satu mil dari kandang dengan jalan yang hanya bisa diakses terbatas. Hal ini mungkin memerlukan investasi kendaraan pengangkut dan lokasi meeting point untuk pemindahan ternak, akan tetapi kita lebih aman karena akses ke lokasi peternakan kita bisa minimal. Kendaraan untuk aktifitas transportasi ternak harus dicuci dan didesinfeksi terlebih dahulu untuk meminimalkan resiko. Jika lokasi panen masih di lokasi kandang, pastikan kita mengantisipasi resiko kontaknya. Selain kendaraan, sopir / orang luar yang terlibat dalam proses transportasi ternak ini harus mengenakan pakaian yang bersih dan sepatu bot serta tidak boleh memasuki area dalam kandang. Jadi karena fase panen ini relatif beresiko, maka idealnya kita harus melakukan proses panen dengan meminimalkan kontak antara pegawai kandang dan orang luar. Fasilitas pemuatan harus dicuci dan didisinfeksi segera setelah digunakan, dan pastikan aliran airnya tidak mengarah masuk kembali ke lokasi kandang. Setelah aktifitas panen ini, jika pekerja akan kembali beraktifitas di dalam kandang sangat disarankan untuk mandi dan ganti baju dahulu.

Babi sakit/mati. Pisahkan babi yang sakit dengan membuat kandang isolasi untuk meminimalkan kontak dengan kawanan lainnya. Jika ada masalah penyakit dalam kawanan, pemeriksaan postmortem dan uji laboratorium sangat bermanfaat dalam memberikan informasi status kesehatan ternak kita. Dalam menjalankan usaha peternakan, tentunya kita akan dihadapkan dengan resiko kematian ternak entah karena kesalahan managemen ataupun penyakit. Oleh karena itu, kita seharusnya mempunyai tempat khusus untuk menangani masalah ini. Metode pembuangan bangkai hewan yang diterapkan harus seminimal mungkin mencemari lingkungan kandang untuk menjamin kesehatan ternak kita (dikubur, dibakar, atau menggunakan jasa dari luar). Pastikan hewan pengerat dan lalat ataupun hewan lain tidak memiliki akses ke babi mati karena dikhawatirkan akan membawa agen penyakit kembali ke dalam lokasi kandang.

Pakan dan pengolahan limbah. Gudang pakan jika memungkinkan harus ditempatkan diluar lokasi kandang untuk mengurangi resiko kontaminasi dari truk dari luar / transportasi pengangkut bahan baku pakan. Investasi kendaraan khusus pengangkut pakan ke lokasi farm bisa dipertimbangkan. Pelaksanaan pengiriman pakan bisa dikondisikan dilakukan pagi hari setelah dibersihkan hari sebelumnya (dicuci pada sore/malam setelah aktifitas kandang selesai). Pembuangan limbah feses di kandang juga penting. Feses bisa ditampung di lokasi khusus untuk kemudian diolah menjadi pupuk. Pastikan peralatan yang dipakai tidak dicampur dengan peralatan yang dipakai dalam aktifitas di dalam kandang untuk mengurangi resiko pencemaran.

Membeli dan memasukkan hewan baru ke dalam kawanan. Jika kita mempertimbangkan untuk membeli bibit/anakan dari luar, maka harus dipastikan berasal dari satu sumber yang terpercaya dan jelas status kesehatannya. Kandang breeding memiliki level biosekuriti dan tingkat kesehatan paling tinggi karena merupakan “mesin” uang para peternak agar bisa menghasilkan anakan yang banyak tanpa gangguan penyakit. Oleh karena itu, sangatlah disarankan untuk melakukan proses karantina dan aklimatisasi dahulu minimal 60 hari terhadap calon indukan yang akan dimasukkan ke dalam breeding. Untuk memastikan status kesehatannya, maka calon induk biasanya akan dimonitor tanda-tanda klinis, di uji laboratorium (Elisa dan PCR), cek parasit dan pemberian obat cacing serta disiapkan imunitasnya dengan program vaksinasi yang sesuai dengan tantangan penyakit yang sudah teridentifikasi di kandang. Baca juga : Pentingkah Vaksinasi di Peternakan Babi? Beberapa peternak terkandang juga “mengenalkan” patogen ke hewan baru dengan menggunakan feses / gerusan organ (feedback) dan mencampurkan indukan/babi yang akan diafkir. Jika kita menggunakan inseminasi buatan dan membeli semen dari sumber luar kita juga harus memastikan sumbernya dari farm yang sehat untuk mengurangi resiko penularan penyakit yang berpotensi menimbulkan mengganggu reproduksi breeding kita. Biosekuriti untuk babi pejantan penerapannya hampir sama dengan program biosekuriti unit produksi, termasuk proses isolasi dan aklimatisasi.

Demikianlah uraian mengenai tindakan biosekuriti yang penting untuk diterapkan dalam usaha peternakan kita. Saya mungkin banyak memberikan contoh aplikasi di peternakan babi ya, akan tetapi pada prinsipnya hal ini bisa diterapkan pada peternakan lainnya. Silahkan bisa di modifikasi dan disesuaikan dengan kondisi di lapangan untuk mendapatkan hasil yang terbaik. Jika peternakan babi anda terkena ASF dan merencanakan untuk memulai usaha kembali, silahkan baca dahulu : Proses Repopulasi Pasca Outbreak ASF atau lihat videonya disini.

Semoga bermanfaat. Salam sukses!!

Referensi :

  1. http://www.fao.org/3/a1140e/a1140e01.pdf
  2. https://www.researchgate.net/publication/282946231_MAKING_A_PLAN_OF_BIOSECURITY_ON_A_PIG_FARM
  3. https://extension.missouri.edu/publications/g2340
  4. https://www.thepigsite.com/disease-and-welfare/managing-disease/biosecurity#:~:text=Reduce%20visitors%20to%20a%20minimum,adds%20to%20the%20farm%20biosecurity.

error: Content is protected !!